• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III. Capaian Pembangunan Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab III. Capaian Pembangunan Manusia"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

APS 2014 14

Bab III.

Capaian Pembangunan Manusia

Pembangunan suatu wilayah secara kasat mata lebih mudah dilihat dari pertumbuhan fisik atau perekonomiannya. Sehingga sering pembangunan fisik atau ekonomi dijadikan patokan berkembang atau tidaknya suatu wilayah. Padahal pembangunan tidak hanya identik dengan pertumbuhan ekonomi saja, sebab orientasi dan titik sentral pembangunan yang hanya bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi saja tidak lagi dijadikan model pembangunan, meskipun pembangunan ekonomi mempunyai peranan penting sebagai salah satu ukuran kemajuan negara.

Dalam pelaksanaan pembangunan pada suatu wilayah, pembangunan ekonomi harus sejalan/seimbang dengan pembangunan manusia. Pembangunan manusia yang secara internasional disepakati diukur menggunakan Indeks Pembangunan Manusia, yang diharapkan dapat merefleksikan tingkat pencapaian proses/kinerja pembangunan manusia dalam suatu wilayah.

Penghitungan IPM memposisikan manusia sebagai subyek pembangunan, yang harus mampu melakukan akselerasi pembangunan di wilayahnya. Peningkatan kualitas manusia diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembangunan yang dihasilkannya.

Pembahasan pencapaian IPM yang dirinci menurut komponennya diharapkan akan memberikan arah prioritas pembangunan manusia secara umum, maupun berfokus kepada pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.

(3)

APS 2014 15 3.1. Capaian IPM Kabupaten

3.1.1.Capaian IPM Bidang Kesehatan

Pembangunan manusia di bidang kesehatan ditandai dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat di suatu wilayah. Kabupaten Bandung dengan jumlah penduduk yang cukup banyak memiliki tantangan yang besar untuk dapat menciptakan strategi yang tepat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.

Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo)/Expectation of Life at

Birth (e0), Angka Kematian Bayi (AKB)/Infant Mortality Rate (IMR), angka

kematian kasar, dan status gizi merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan. Dari beberapa indikator tersebut yang disepakati untuk digunakan sebagai acuan dalam mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo).Angka Harapan Hidup (AHH) pada waktu lahir merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup.Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup.

Teori menurut "B-Pichart classification"-Stan D'Souza (1984) dalam Brotowasisto (1990) tentang angka Kematian bayi diuraikan sebagai berikut: Angka Kematian Bayi dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu:

(4)

APS 2014 16 1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai

daerah soft-rock, di mana sebagian besar kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular.

2. Daerah dengan AKB 30-100 per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya.

3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital.

Gambar 1.

Katagori/wilayah Angka Kematian Bayi Menurut Stan D’Souza

Sumber: B-Pichart classification"-Stan D'Souza (1984).

Daerah soft rock

AKB > 100

Daerah intermediate rock

AKB 30-100

Daerah hard rock AKB < 30

(5)

APS 2014 17 Perbandingan dua indikator bidang kesehatan di kabupaten Bandung diperlihatkan pada grafik 3.1. berikut:

Grafik 3.1.

Angka Harapan Hidup (AHH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) Kabupaten Bandung, Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2010-2014 Grafik 3.1. memperlihatkan bahwa selama periode tahun 2010-2014 Angka Harapan Hidup (AHH) cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung mencapai 69,40 tahun dan meningkat pada tahun 2014 menjadi 70,54 tahun. Seiring dengan teori yang ada, Angka Harapan Hidup (AHH) berbanding terbalik dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah 1 tahun, kematian anak dibawah lima tahun dan kematian ibu). Semakin tinggi kualitas kesehatan maka angka kematian semakin rendah dan berakibat kepada meningkatnya harapan untuk hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Bandung menunjukkan tren yang menurun. Pada tahun 2010

69.40 70.06 70.28 70.34 70.54 34.75 34.17 34.05 34.01 33.90 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 2010 2011 2012 2013 2014 AHH AKB

(6)

APS 2014 18 Angka Kematian Bayi (AKB) tercatat masih sebesar 34 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2014 Angka Kematian Bayi (AKB) sudah berhasil ditekan hingga mencapai 34 bayi per 1000 kelahiran hidup. Dalam rentang waktu lima tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang cukup signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan disegala bidang, termasuk didalamnya ada intervensi program kesehatan yang dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Bandung.

Berdasarkan kriteria diatas, maka dengan tingkat kematian bayi yang terjadi pada tahun 2014, Kabupaten Bandung masih termasuk kategori daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya.

Pendapat Singarimbun (1988: vii-viii) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki kekuatan dalam menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, diuraikan sebagai berikut: a. Adanya kemajuan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup;

b. Adanya kemajuan teknologi kesehatan;

c. Adanya kesadaran perbaikan sanitasi dan higiena; dan

d. Adanya peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi.

Resiko kematian bayi lebih besar bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi dibandingkan dengan ibu yang memiliki gizi cukup. Pada umumnya kekurangan gizi berkorelasi positif dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman, dan perawatan bayi pada saat dilahirkan.

(7)

APS 2014 19 Grafik 3.2.

Pertumbuhan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2010-2014 Dampak dari menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) adalah meningkatnya Angka Harapan Hidup (AHH). Dalam rentang waktu lima tahun Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan pertumbuhan yang positif. Grafik 3.2. memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kabupaten Bandung sebesar 70,06 tahun (naik sebesar 0,66 poin dibandingkan tahun 2010). Demikian pula pada tahun 2012 Angka Harapan Hidup (AHH) kembali meningkat hingga mencapai 70,28 tahun(naik sebesar 0,22 poin dibandingkan tahun 2011). Hal yang sama terjadi pada tahun 2013 dan 2014 dimana Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kabupaten Bandung sebesar 70,34 tahun dan 70,54 tahun (masing-masing naik sebesar 0,06 poin dan 0,20 poin). Meningkatnya Angka Harapan Hidup (AHH) sejalan dengan naiknya indeks kesehatan Kabupaten Bandung yang pada tahun 2014 tercatat sebesar 75,56. 0.66 0.22 0.06 0.06 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014

(8)

APS 2014 20 Upaya perbaikan derajat kesehatan yang ditunjukkan dengan makin meningkatnya Angka Harapan Hidup (AHH) dan terus menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) harus tetap menjadi prioritas. Berbagai kasus kesehatan, terutama kasus yang mewabah harus dapat ditekan perkembangannya. Penanggulangan terhadap keluhan kesehatan yang ditunjukkan dengan adanya indikasi peningkatan pada tahun 2014 harus lebih ditingkatkan lagi.

Beberapa indikator yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat menurut (Iqbal, Mubarak, Wahit, 2005) adalah umur harapan hidup (life expectations) dan angka kematian bayi (infant mortality). Umur harapan hidup yang direpresentasikan oleh besaran angka harapan hidup saat dilahirkan( AHHo) digunakan sebagai acuan dalam mengukur kemajuan pembangunan manusia di suatu wilayah. Angka harapan hidup penduduk di Kabupaten Bandung selama periode 2010-2014 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung sebesar 69, 40 tahun. Dalam jangka waktu lima tahun, angka harapan hidup penduduk meningkat menjadi 70, 54 tahun. Hal ini menunjukkan penduduk di Kabupaten Bandung semakin memiliki umur yang panjang sebagai dampak dari pola hidup penduduk yang semakin sehat dan program kesehatan dari pemerintah yang tepat sasaran. Indikator lainnya selain angka harapan hidup yang berhubungan dengan derajat kesehatan adalah angka kematian bayi. Peningkatan derajat kesehatan dilakukan dengan menurunkan angka kematian khususnya angka kematian bayi, angka kematian ibu, dan angka kematian balita (Mantra: 2003). Kualitas kesehatan yang semakin membaik ditandai dengan angka kematian yang semakin rendah. Rendahnya angka kematian bayi akan berdampak pada meningkatnya harapan untuk hidup. Gambaran mengenai perbandingan dua indikator bidang kesehatan tersebut di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada grafik 3.1.

(9)

APS 2014 21 Grafik 3.1.juga menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Kabupaten Bandung menunjukkan tren yang menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada tahun 2009, angka kematian bayi tercatat sebesar 36 bayi per 1000 kelahiran hidup dan dalam jangka waktu lima tahun dapat ditekan hingga mencapai 34 bayi per 1000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian bayi yang sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup menunjukkan derajat kesehatan yang semakin membaik. Hal ini merupakan dampak dari berhasilnya pelaksanaan program pembangunan di bidang kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bandung.

Resiko kematian bayi lebih besar bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi dibandingkan dengan ibu yang memiliki gizi cukup. Pada umumnya kekurangan gizi berkorelasi positif dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman, dan perawatan bayi pada saat dilahirkan.

Dampak dari menurunnya angka kematian bayi adalah meningkatnya angka harapan hidup. Dalam rentang waktu lima tahun angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pada tahun 2010 angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung sebesar 69,40 tahun (naik sebesar 0,46 poin dibandingkan tahun 2009). Demikian pula pada tahun 2011, angka harapan hidup kembali meningkat hingga mencapai 70,06 tahun. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012 dan 2013 dimana angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung masing-masing naik sebesar 0,22 poin dan 0,06 poin hingga mencapai 70,28 tahun dan 70,34 tahun. Demikian pula pada tahun 2014, angka harapan hidup meningkat hingga mencapai 70,54 tahun. Hal ini sejalan dengan meningkatnya indeks kesehatan masyarakat Kabupaten Bandung yang pada tahun 2014 tercatat sebesar 75,90.

(10)

APS 2014 22 3.1.2 Capaian IPM Bidang Pendidikan

Pentingnya pembangunan manusia di bidang pendidikan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Tujuan mulia tersebut akan dapat dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, pada UUD 1945 ayat 31 dinyatakan bahwa, “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”; dan dalam ayat 2 ditegaskan bahwa, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Untuk mengaktualisasikan amanah UUD 1945 tersebut, maka pemerintah Indonesia mengatur penyelenggaraan pendidikan melalui Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengedepankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Menjelang era globalisasi, pendidikan merupakan kebutuhan yang semakin penting. Hal ini dikarenakan SDM yang berkualitaslah yang akan mampu bersaing dengan SDM di negara lain. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memfasilitasi pemenuhan kebutuhan pendidikan

(11)

APS 2014 23 bagi masyarakatnya untuk mewujudkan SDM yang bermutu sebagai syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang maju.

Capaian pembangunan manusia dalam bidang pendidikan di Kabupaten Bandung selama lima tahun terakhir (periode 2010-2014) masih perlu ditingkatkan lagi terutama dalam peningkatan rata-rata lama sekolah. Peranan komponen indeks pendidikan memang paling tinggi dibandingkan dua komponen IPM lainnya, yaitu kesehatan dan daya beli. Nilai IPM Kabupaten Bandung yang telah mencapai angka 75,69 ditahun 2014, ditopang oleh indeks pendidikan yang mencapai 85,28. Kondisi pendidikan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan indeks kesehatan yang baru mencapai 75,90; maupun indeks daya beli yang mencapai sebesar 65,89. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan percepatan/akselerasi pembangunan dibidang kesehatan dan perekonomian masyarakat guna mendukung daya beli.

Tingginya indeks pendidikan dibandingkan dengan dua komponen lainnya belum cukup menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan manusia Kabupaten Bandung dibidang pendidikan sudah baik. Bila dilihat dari laju perkembangannya, terlihat adanya penurunan pertumbuhan komponen pendidikan pada periode tahun 2010-2014 dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya. Pembangunan di bidang pendidikan cenderung mengalami perlambatan pertumbuhan dari periode sebelumnya karena pada komponen rata-rata lama sekolah sangat rentan dipengaruhi oleh perpindahan/mutasi penduduk.

Indikator melek huruf menggambarkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang diukur dari aspek pendidikan. Angka melek huruf yang digunakan pada bahasan berikut dihitung pada penduduk dewasa (berumur 15 tahun keatas) yang dapat membaca dan menulis minimal

(12)

kata-APS 2014 24 kata/kalimat sederhana aksara tertentu, baik mampu membaca dan menulis huruf latin maupun huruf lainnya.

Secara umum pembangunan pendidikan di Kabupaten Bandung sudah berjalan sesuai perencanaan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya persentase penduduk yang melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

Grafik 3.3. Angka Buta Huruf

Kabupaten Bandung, Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2010-2014. Grafik 3.3. memperlihatkan bahwa Angka Buta Huruf di Kabupaten Bandung pada tahun 2010 mencapai 1,59 persen; pada tahun 2011 mencapai 1,52 persen; pada tahun 2012 mencapai 1,31 persen; pada tahun 2013 mencapai 1,16 persen; dan terus menurun pada tahun 2014 menjadi sebesar 1,14 persen. 1.59 1.52 1.31 1.16 1.14 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2010 2011 2012 2013 2014

(13)

APS 2014 25 Grafik 3.4. memperlihatkan bahwa Angka Melek Huruf (AMH) di Kabupaten Bandung pada tahun 2010 mencapai 98,41 persen; pada tahun 2011 mencapai 98,48 persen;pada tahun 2012 mencapai 98,69 persen; pada tahun 2013 mencapai 98,84persen; dan terus meningkat pada tahun 2014 sebesar 98,86persen.

Grafik 3.4.

Angka Melek Huruf (AMH) Kabupaten Bandung, Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2010-2014 Pencapaian pembangunan manusia dari komponen pendidikan diperlihatkan bahwa laju pertumbuhan komponen pendidikan yaitu Angka Melek Huruf (AMH) terus mengalami peningkatan. Grafik 3.5. memperlihatkan bahwa pertumbuhan Angka Melek Huruf (AMH) pada periode 2009-2010 terkoreksi sebesar 0,46 poin; kemudian meningkat kembali pada periode 2010-2011 sebesar 0,07 poin; pada periode 2011-2012 meningkat sebesar 0,21 poin; pada periode 2012-2013 meningkat sebesar

98.41

98.48

98.69

98.84 98.86

(14)

APS 2014 26 0,15 poin; dan pada periode 2013-2014 terus mengalami peningkatan sebesar 0,02 poin.

Grafik 3.5.

Pertumbuhan Angka Melek Huruf (AMH) Kabupaten Bandung, Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2010-2014

Pencapaian AMH yang relatif lambat kenaikan setiap tahunnya, serta belum tercapainya bebas buta huruf, kemungkinan disebabkan oleh masih ada penduduk berusia diatas 15 tahun yang sudah berusia lanjut dan tidak bisa membaca dan menulis. Ada anggapan pada masyarakat awam, bahwa kebutuhan untuk bisa membaca dan menulis adalah dalam kaitannya untuk kepentingan bekerja. Sehingga apabila mereka sudah berumur tua dan tidak akan bekerja lagi, atau pekerjaannya tidak memerlukan kecakapan membaca dan menulis, maka mereka menganggap tidak perlu lagi untuk belajar membaca dan menulis. Untuk itu tetap harus disusun strategi intervensi

-0.46 0.07 0.21 0.15 0.02 2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014

(15)

APS 2014 27 penanganan buta huruf, sehingga kedepannya tidak lagi menjadi beban dalam pencapaian pembangunan di bidang pendidikan.

Perlu kajian lebih mendalam terkait peningkatan melek huruf di Kabupaten Bandung yang berjalan relatif lebih lambat. Apakah akibat sasaran pemberantasan buta huruf yang mayoritas sudah diluar usia produktif? Ataukah banyak yang sudah terbebas dari buta huruf saat gebyar keaksaraan fungsional tidak dilestarikan kemampuan baca tulisnya?

Pada awal tahun 1972, ketika program life long education disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini telah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commision for Education

Development, yang menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas negara

yang paling penting. Hal senada oleh pemerintah telah dituangkan pada Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1, “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”, dan pasal 11 ayat 2, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”. Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen. Bila kondisi tersebut tercapai, maka dapat dijadikan modal yang kuat untuk memperkuat daya saing dibidang pendidikan, sehingga di masa mendatang kualitas kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung, utamanya dibidang pendidikan tidak hanya berbicara pada skala provinsi tetapi juga ditingkat nasional.

Pemerintah pusat telah mencanangkan program lanjutan dari wajib belajar 9 tahun yaitu Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun sehingga diharapkan anak-anak usia sekolah mampu mengikuti pendidikan hingga tamat SLTA. Apabila program ini sudah

(16)

APS 2014 28 ditindaklanjuti juga oleh pemerintah daerah, maka diharapkan sebagian besar penduduk Kabupaten Bandung minimal berpendidikan SLTA. Hal ini menjadi tugas bersama untuk mewujudkan keberhasilan program wajib belajar 12 tahun yang akan tercermin dari indikator rata-rata lamanya sekolah harus setara dengan telah menyelesaikan jenjang pendidikan SLTA. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu membutuhkan berbagai program pendidikan yang mumpuni dan tepat sasaran yang akan diterapkan dalam jangka waktu yang panjang.

Grafik 3.6.

Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Kabupaten Bandung, Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2010-2014

Undang-undang mengamanahkan kepada penyelenggara negara untuk menyediakan anggaran setidaknya 20 persen untuk dialokasikan bagi pembiayaan pendidikan. Hal ini masih sulit untuk dipenuhi, karena minimnya anggaran pemerintah secara keseluruhan maka besaran 20 persen baru terpenuhi untuk keseluruhan anggaran pendidikan (termasuk gaji).

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 2010 2011 2012 2013 2014 9.02 8.62 8.67 8.70 8.72

(17)

APS 2014 29 Pemerintah masih harus membiayai pembangunan disektor lain yang harus dilakukan secara sejalan. Namun hal ini setidaknya menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap arti penting pendidikan bagi warganya.

Keadilan dalam memperoleh pendidikan memang belum merata. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan dirasa relatif mahal. Padahal kondisi tersebut akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai salah satu media pembebasan manusia dari cengkraman kemiskinan. Hal itu mungkin terjadi akibat komersialisasi pendidikan yang mereduksi hakikat pendidikan sehingga akan meminggirkan kalangan tidak mampu.

Grafik 3.7.

Pertumbuhan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Kabupaten Bandung, Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2010-2014

Grafik 3.6. memperlihatkan bahwa kondisi capaian Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Kabupaten Bandung pada tahun 2010 mencapai 9,02 tahun; pada tahun 2011 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) turun secara signifikan

0.15 -0.40 0.05 0.03 0.02 -0.50 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00 0.10 0.20 2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014

(18)

APS 2014 30 menjadi 8,62 tahun; pada tahun 2012 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) naik menjadi sebesar 8,67 tahun; pada tahun 2013 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) naik lagi menjadi 8,70 tahun. Berdasarkan survei terakhir pada tahun 2014, rata-rata lama sekolah penduduk mencapai 8,72 tahun; atau setara dengan telah menyelesaikan kelas 2 SLTP.

Grafik 3.7. memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pada periode 2009-2010 sebesar 0,15 poin; pada periode 2010-2011 menurun signifikan sebesar 0,40 poin. Tiga tahun berikutnya kembali dapat ditingkatkan walaupun cenderung melambat. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pada periode 2011-2012 mencapai 0,05 poin; Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pada periode 2012-2013 mencapai 0,03 poin; dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pada periode 2013-2014 mencapai 0,02 poin.

Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi pada tahun 2011 relatif lebih rendah. Beberapa alasan yang terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bahwa rata-rata lama sekolah dihitung dari populasi penduduk dewasa (berumur 15 tahun atau lebih). Seperti kita ketahui, bahwa mobilitas penduduk dewasa cukup tinggi. Perpindahan penduduk dapat terjadi akibat mencari pekerjaan (umumnya pindah ke wilayah perkotaan/sentra-sentra industri/perekonomian), atau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (karena umumnya di pedesaan, infrastrukturnya sangat terbatas), dan untuk alasan lain. Oleh karena itu, apalagi di beberapa wilayah/kecamatan di Kabupaten Bandung merupakan daerah tujuan mencari kerja atau tujuan melanjutkan pendidikan, maka fluktuasi pada angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) adalah sangat memungkinkan.

Apabila diasumsikan di suatu daerah migrasi masuk dan migrasi keluar mempunyai kualitas pendatang yang seimbang dari mutu SDM yang telah ada, di daerah perkotaan cenderung relatif lebih baik dibanding daerah perdesaan, hal ini terjadi karena akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan

(19)

APS 2014 31 masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pendidikan, lebih mudah diperoleh. Kondisi ekonomi juga cenderung lebih baik sehingga kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM lebih terbuka bagi penduduk perkotaan.

Telah ditentukan segmentasi usia yang harus mendapatkan kesempatan sekolah terletak pada selang usia 7-18 tahun, secara operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga; yaitu usia 7-12 tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), usia 13-15 tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan umur 16-18 tahun untuk tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pada penduduk kelompok umur 7-12 tahun, secara umum perbedaan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan perdesaan relatif tidak mencolok. Hal ini kemungkinan karena gencarnya promosi program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam penyaluran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok masyarakat sangat miskin (seperti: Program Keluarga Harapan), hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maupun beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin. Setelah anggaran bidang pendidikan diperbesar, serta berbagai bantuan disalurkan, maka permasalahan putus sekolah di pendidikan dasar harus sudah dapat diselesaikan. Dengan kata lain, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk Kabupaten Bandung harus sudah stabil (tidak fluktuatif) dapat melewati angka 9 tahun. Untuk penduduk yang memiliki kemampuan secara ekonomi, harus terus didorong untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena memiliki ijazah SLTP saja tidak cukup untuk bersaing memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih layak.

Perkembangan pencapaian RLS yang belum begitu besar dan cenderung melambat laju pertumbuhannya, kemungkinan disebabkan karena masih cukup besarnya penduduk yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan komposisi penduduk yang relatif besar diusia muda, tampaknya

(20)

APS 2014 32 perlu dipersiapkan sarana penunjang pendidikan yang memadai, utamanya ditujukan bagi penduduk usia 10-14 tahun. Intervensi dalam menaikkan RLS dengan program pendidikan dasar 9 tahun masih terus perlu dipacu. Salah satunya adalah dengan perluasan akses terhadap infrastruktur pendidikan. Disamping terus dijalankan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti program paket A, B, dan C untuk menanggulangi anak yang putus sekolah pada usia 15 tahun keatas.

Banyak anggapan yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai SDM berkualitas sajalah yang akan mampu bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang baik. Begitupula sebaliknya akan melahirkan kehidupan masyarakat yang buruk.

Peranan strategis guru dan pemuka masyarakat di daerah terpencil masih sangat diperlukan dalam mempromosikan pentingnya mencapai pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemerintah daerah tentunya memiliki komitmen kuat untuk secara terus-menerus mendorong peningkatan partisipasi sekolah di daerah terpencil sehingga terjamin kelangsungan proses belajar mengajar. Pada akhirnya kesemuanya akan mampu meningkatkan indeks pendidikan di wilayahnya.

Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengedepankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Menjelang era globalisasi, pendidikan merupakan kebutuhan yang semakin penting. Hal ini dikarenakan SDM yang berkualitaslah yang akan mampu bersaing dengan SDM di negara lain. Oleh

(21)

APS 2014 33 karena itu, pemerintah berkewajiban memfasilitasi pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi masyarakatnya untuk mewujudkan SDM yang bermutu sebagai syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang maju

Terdapat beberapa indikator yang dapat mengukur keberhasilan pembangunan manusia di bidang pendidikan diantaranya adalah angka melek huruf (literacy) dan rata-rata lama sekolah (mean year schooling). Angka melek huruf dihitung untuk penduduk dewasa ( usia 15 tahun keatas) yang dapat membaca dan menulis minimal kata-kata/kalimat sederhana aksara tertentu, baik mampu membaca dan menulis huruf latin maupun huruf lainnya. Hasil Survei Khusus IPM 2014, menunjukkan bahwa persentase penduduk Kabupaten Bandung usia 15 tahun keatas yang mampu membaca dan menulis adalah sebesar 98,86 persen. Artinya penduduk yang buta huruf sebesar 1,14 persen.

Apabila dilihat secara series angka melek huruf penduduk Kabupaten Bandung selama periode 2010-2014 menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 2010, angka melek huruf terkoreksi berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 sehingga tercatat sebesar 98,41 persen. Kemudian pada tahun 2011 AMH naik hingga mencapai 98,48 persen. Pada tahun 2012 dan 2013, AMH masing masing tercatat sebesar 98,69 dan 98,84 persen. Peningkatan AMH penduduk di Kabupaten Bandung terlihat relatif lambat setiap tahunnya karena belum tercapainya bebas buta huruf. Hal ini disebabkan kemungkinan masih adanya penduduk usia 15 tahun keatas yang sudah lanjut usia dan tidak bisa membaca dan menulis. Terdapat anggapan pada masyarakat awam bahwa kebutuhan untuk bisa membaca dan menulis adalah dalam kaitannya untuk kepentingan bekerja. Sehingga apabila mereka sudah berumur tua dan tidak akan bekerja lagi, atau pekerjaannya tidak memerlukan kecakapan membaca dan menulis, maka mereka menganggap tidak perlu lagi untuk belajar membaca dan menulis. Oleh karena itu, supaya

(22)

APS 2014 34 tidak menjadi beban dalam pencapaian pembangunan di bidang pendidikan diperlukan strategi penanggulangan buta huruf yang lebih intensif lagi.

Indikator penting lainnya yang dapat digunakan untuk memotret capaian pembangunan manusia di bidang pendidikan adalah rata-rata lama sekolah. Kondisi capaian rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bandung, pada tahun 2010 mencapai 9,02 tahun. Sementara itu di tahun 2011, rata-rata lama sekolah penduduk turun secara signifikan menjadi 8,62 tahun. Sementara itu pada tahun 2012 dan 2013, angka RLS dapat naik kembali menjadi sebesar 8,67 tahun dan 8,70 tahun. Kemudian berdasarkan survei terakhir pada tahun 2014, rata-rata lama sekolah penduduk mencapai 8,72 tahun, atau setara dengan telah menyelesaikan kelas 2 SLTP.

Pertumbuhan RLS periode 2010-2011 menurun signifikan sebesar 0,40 poin. Dua tahun berikutnya, kembali dapat ditingkatkan walaupun cenderung melambat hingga secara berturut-turut mencapai 0,05 poin dan 0,03 poin. Kondisi pertumbuhan RLS pada tahun 2011 relatif rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan rata-rata lama sekolah dihitung dari populasi penduduk dewasa (usia 15 tahun atau lebih) dimana mobilitas penduduk dewasa cenderung tinggi. Perpindahan penduduk dapat terjadi akibat mencari pekerjaan (umumnya pindah ke wilayah perkotaan/ sentra-sentra industri/perekonomian), atau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (karena umumnya di pedesaan, infrastrukturnya sangat terbatas). Seperti kita ketahui bahwa beberapa wilayah di Kabupaten Bandung merupakan daerah tujuan mencari kerja atau tujuan melanjutkan pendidikan, sehingga fluktuasi pada angka rata-rata lama sekolah adalah sangat memungkinkan.

Perkembangan pencapaian RLS yang belum begitu besar dan cenderung melambat laju pertumbuhannya, kemungkinan disebabkan karena masih cukup besarnya penduduk yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan komposisi penduduk yang relatif besar diusia muda, tampaknya perlu

(23)

APS 2014 35 dipersiapkan sarana penunjang pendidikan yang memadai, utamanya ditujukan bagi penduduk usia 10-14 tahun. Intervensi dalam menaikkan RLS dengan program pendidikan dasar 9 tahun masih terus perlu dipacu. Salah satunya adalah dengan perluasan akses terhadap infrastruktur pendidikan. Disamping terus dijalankan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti program paket A, B dan C untuk menanggulangi anak yang putus sekolah pada usia 15 tahun keatas.

Pada tahun 2013, pemerintah pusat telah mancanangkan program lanjutan dari wajib belajar 9 tahun yaitu Program Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun sehingga diharapkan anak-anak usia sekolah mampu mengikuti pendidikan hingga tamat SLTA. Apabila program ini sudah ditindaklanjuti juga oleh pemerintah daerah, maka diharapkan sebagaian besar penduduk Kabupaten Bandung minimal berpendidikan SLTA. Hal ini menjadi tugas bersama untuk mewujudkan keberhasilan program wajib belajar 12 tahun yang akan tercermin dari indikator rata-rata lamanya sekolah harus setara dengan telah menyelesaikan jenjang pendidikan SLTA. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu membutuhkan berbagai program pendidikan yang mumpuni dan tepat sasaran yang akan diterapkan dalam jangka waktu yang panjang.

3.1.3. Capaian IPM Bidang Ekonomi

Rumah tangga merupakan konsumen atau pemakai barang dan jasa sekaligus juga pemilik faktor-faktor produksi tenaga kerja, lahan, modal, dan kewirausahaan. Rumah tangga menjual atau mengelola faktor-faktor produksi tersebut untuk memperoleh balas jasa. Balas jasa atau imbalan tersebut adalah upah, sewa, bunga dividen, dan laba yang merupakan komponen penerimaan atau pendapatan rumah tangga. Penerimaan lain yang mungkin diperoleh rumah tangga adalah transfer (pemberian cuma-cuma), perkiraan pendapatan (imputasi) dari rumah milik rumah tangga

(24)

APS 2014 36 tersebut yang ditempati sendiri atau ditempati pihak lain dengan bebas sewa, dan hasil produksi barang/jasa dari kegiatan yang tidak digolongkan sebagai kegiatan usaha rumah tangga. Transfer yang diterima berasal dari pemerintah, badan usaha, lembaga nirlaba, rumah tangga lain, maupun dari luar negeri.

Ada dua cara penggunaan pendapatan. Pertama, membelanjakannya untuk barang-barang konsumsi. Kedua, tidak membelanjakannya seperti ditabung. Pengeluaran konsumsi dilakukan untuk mempertahankan taraf hidup. Pada tingkat pendapatan yang rendah, pengeluaran konsumsi umumnya dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan pokok guna memenuhi kebutuhan jasmani. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Akan tetapi terdapat berbagai macam barang konsumsi (termasuk sandang, perumahan, bahan bakar, dan sebagainya) yang dapat dianggap sebagai kebutuhan untuk menyelenggarakan rumah tangga. Keanekaragamannya tergantung pada tingkat pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang berbeda-beda mengakibatkan perbedaan taraf konsumsi.

Apabila penerimaan rumah tangga dikurangi dengan pengeluaran untuk konsumsi dan untuk transfer, maka diperoleh nilai tabungan rumah tangga. Kalau perilaku konsumsi memperlihatkan dasar pendapatan yang dibelanjakan, maka tabungan adalah merupakan unsur penting dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Tabungan memungkinkan terciptanya modal yang dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian. Untuk dapat melihat apa yang dilakukan rumah tangga responden atas tabungannya dibutuhkan data tabungan seperti yang disimpan di bank atau koperasi, jumlah investasi, serta transaksi keuangan lainnya.

(25)

APS 2014 37 Kenyataannya, selisih penerimaan dengan pengeluaran rumah tangga responden ada yang negatif (defisit), sehingga dalam membiayai pengeluaran dan investasinya diperlukan pinjaman (hutang), maka rumah tanggapun ada yang berhutang, dan ada yang meminjamkan uang (piutang). Jadi selain dari tabungan, sumber dana investasi dapat berasal dari pinjaman. Disamping itu, ada pula rumah tangga responden yang melakukan kegiatan di pasar uang atau di pasar modal sehingga terjadi transaksi finansial (keuangan) antar rumah tangga maupun dengan sektor ekonomi lain. Investasi finansial dapat berupa uang tunai, simpanan di bank, dan pemilikan surat berharga. Rumah tangga terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik berbeda, baik dalam hal penerimaan maupun pengeluarannya. Dalam hal pengeluaran konsumsi ada yang dilakukan secara bersama, tetapi ada pula yang dilakukan oleh masing-masing art. Sedangkan dalam hal pendapatan, ada rumah tangga responden yang pendapatannya dari upah/gaji saja, dari usaha saja, atau dari gabungan keduanya. Bahkan ada yang dari selain keduanya, misalnya dari pensiun, bagi hasil, dan sebagainya. Hal ini tergantung dari keaktifan krt/art dalam kegiatan ekonomi. Sehubungan dengan hal-hal yang disebutkan tadi, maka untuk mengukur penerimaan dan pengeluaran rumah tangga responden secara lengkap perlu diperhatikan bahwa:

a. Selain data komponen pengeluaran bersama di rumah tangga, juga harus ikut dicatat pengeluaran masing-masing anggota rumah tangga.

b. Selain data pendapatan dari usaha bersama, juga harus ikut dicatat penerimaan masing-masing anggota rumah tangga yang telah berpenghasilan.

Tingkat daya beli dapat menggambarkan kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu wilayah. Kemampuan daya beli penduduk merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia.

(26)

APS 2014 38 Grafik 3.8.

Daya Beli Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2010-2014

Sumber: Survei Khusus IPM Kabupaten Bandung, 2010-2014.

Gambar 2.

Pertumbuhan PDRB/Kapita dan Reduction of Shortfall IPM Kabupaten/Kota di Bandung Raya, Tahun 2013 2010 Rp.572.910 2011 Rp. 641.810 2012 Rp.642.190 2013 Rp.643.090

2014

Rp.645.110

(27)

APS 2014 39 Hubungan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan manusia, menurut UNDP, 1996, dikatagorikan sebagai berikut :

1. Seimbang Kuat (berada pada Kuadran 1)

Adalah kondisi pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia berjalan relatif cepat.

2. Seimbang Lemah (berada pada Kuadran 3)

Adalah kondisi pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia berjalan relatif lambat.

3. Tidak Seimbang (berada pada Kuadran 2)

Adalah kondisi pembangunan ekonomi berjalan lemah, sedangkan pembangunan manusia berjalan relatif cepat.

4. Tidak Seimbang (berada pada Kuadran 4)

Adalah kondisi pembangunan ekonomi berjalan cepat, sementara pembangunan manusia berjalan relatif lambat.

Katagori di atas memberikan pilihan untuk mendahulukan pembangunan ekonomi? Ataukah mendahulukan pembangunan sosial? Hal ini bukan merupakan pilihan yang mudah, sebab menurut UNDP:1966: pembangunan ekonomi dengan pembangunan manusia bersifat timbal balik. Pembangunan ekonomi mempengaruhi pembangunan manusia, berlaku juga sebaliknya. Pembangunan manusia yang berkelanjutan perlu didukung oleh pembangunan ekonomi yang memadai. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan perlu didukung oleh pembangunan manusia (SDM) yang memadai.

Menurut UNDP, 1990: pembangunan manusia melihat keterlibatan atau partisipasi aktif penduduk dalam pembangunan, mulai dari perumusan, penentuan kebijakan hingga evaluasi, sehingga disebut sebagai pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people centered

(28)

APS 2014 40

development), yaitu : Oleh Penduduk (berpartisipasi dalam pembangunan),

Tentang Penduduk (investasi di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainnya), dan Untuk Penduduk (penciptaan lapangan kerja).

IPM bukan angka statistik semata, melainkan holistik analysis (yang memperhitungkan konsistensi antar waktu dan antar wilayah, serta data pendukung lainnya untuk statistical adjustment; extrapolation,

econometrics regression), sampai dengan program pembangunan ekonomi,

sosial, lingkungan, dan sebagainya.

Dari sudut pandang ekonomi, kemajuan pertumbuhan IPM Kabupaten Bandung selama beberapa periode ternyata sangat ditunjang oleh peningkatan komponen kemampuan daya beli masyarakat. Capaian daya beli penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2010 sebesar Rp.572.910. Pada tahun 2011 dilakukan penyesuaian metode penghitungan daya beli, sehingga penghitungan daya beli pada tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 masing-masing sebesar Rp.641.810, Rp.642.190, Rp.643.090, dan Rp.645.110.

(29)

APS 2014 41 3.2. Capaian IPM Menurut Kecamatan

Apabila ditinjau menurut kecamatan, sebaran pencapaian Angka Harapan Hidup (AHH) di tiap-tiap kecamatan cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari banyaknya kecamatan yang memiliki pencapaian Angka Harapan Hidup (AHH) diatas rata-rata Kabupaten Bandung yakni lebih dari 50 persen. Menurut data Survei Khusus IPM 2014, enam kecamatan rangking teratas ditinjau dari Angka Harapan Hidup (AHH) terdapat di Kecamatan Cileunyi yang mencapai 73,54 tahun, Majalaya yang mencapai 73,13 tahun, Ibun yang mencapai 73,02 tahun, Kecamatan Rancaekek yang mencapai 72,99 tahun, Cilengkrang yang mencapai 72,10 tahun, dan Banjaran yang mencapai 72,05 tahun.

Peningkatan Angka Melek Huruf (AMH) di Kabupaten Bandung relatif melambat. Hal ini dikarenakan penduduk buta huruf yang ada kemungkinan sudah berada di luar usia produktif dan jumlahnya sangat sedikit. Menurut data Survei Khusus IPM 2014, enam kecamatan rangking teratas ditinjau dari Angka Melek Huruf (AMH) terdapat di Kecamatan Margahayu yang mencapai 99,79%; Dayeuhkolot yang mencapai 99,60%; Rancaekek yang mencapai 99,27%; Katapang yang mencapai 99,29%; Cileunyi yang mencapai 99,24%; dan Cicalengka yang mencapai 98,99%.

Pola yang hampir serupa terjadi pada Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Hampir separuh kecamatan di Kabupaten Bandung yang memiliki Rata-rata Lama Sekolah (RLS) diatas angka Kabupaten. Kondisi tersebut tentunya belum cukup membanggakan karena target pendidikan adalah untuk mencapai tuntas pendidikan dasar (RLS = 9 tahun). Dan disparitas /kesenjangan antara kecamatan yang memiliki Rata-rata Lama Sekolah (RLS) paling tinggi dengan kecamatan yang memiliki Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terendah ternyata masih cukup besar, yaitu mencapai 3,96 tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kesempatan menikmati pendidikan di beberapa wilayah masih begitu rendah dibandingkan wilayah lainnya.

(30)

APS 2014 42 Dengan sebaran wilayah yang sangat luas, kabupaten Bandung memang akan memiliki kendala dalam membangun fasilitas pendidikan yang memadai dan mudah dijangkau oleh penduduknya. Menurut data Survei Khusus IPM 2014, enam kecamatan rangking teratas ditinjau dari Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terdapat di Kecamatan Margahayu yang mencapai 10,39 tahun; Dayeuhkolot yang mencapai 9,87 tahun; Cileunyi yang mencapai 9,42 tahun; Rancaekek yang mencapai 9,39 tahun; Pameungpeuk yang mencapai 8,94 tahun; dan Cimenyan yang mencapai 8,68 tahun.

Menurut data Survei Khusus IPM 2014, enam kecamatan rangking teratas ditinjau dari kemampuan Daya Beli terdapat di Kecamatan Baleendah yang mencapai Rp.672.270; Kecamatan Bojongsoang yang mencapai Rp.661.470; Kecamatan Cileunyi yang mencapai Rp.660.290; Kecamatan Dayeuhkolot yang mencapai Rp.659,980; Kecamatan Rancaekek yang mencapai Rp.659.180; Kecamatan Rancabali yang mencapai Rp.655.150.

Menurut data Survei Khusus IPM 2014, enam kecamatan rangking teratas ditinjau dari Angka Harapan Hidup (AHH) terdapat di Kecamatan Cileunyi yang mencapai 73,54 tahun; Majalaya yang mencapai 73,13 tahun; Ibun yang mencapai 73,02 tahun; Kecamatan Rancaekek yang mencapai 72,99 tahun; Cilengkrang yang mencapai 72,10 tahun; dan Banjaran yang mencapai 72,05 tahun.

Sementara itu, terdapat 14 kecamatan yang memiliki angka harapan hidup dibawah rata-rata Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Cikancung (67,13 tahun), Solokan Jeruk (68,26 tahun), Pacet (68,38 tahun), Kertasari (68,46 tahun), Cicalengka (69,43 tahun), Paseh (69,79 tahun), Bojongsoang (70,00 tahun), Cimenyan (70,14 tahun), dan Katapang (70,19 tahun).

Sementara itu, sisanya sebanyak 16 kecamatan memiliki AMH dibawah angka Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Ciparay (98,32), Banjaran (98,34), Cikancung (98,35), Ciwidey (98,19), Majalaya (98,32), Kutawaringin (97,35), Cimenyan (98,36), Cilengkrang (97,74), Ibun (97,03), Rancabali

(31)

APS 2014 43 (98,01), Paseh (97,63), Pacet (97,27), Pangalengan (97,38), Kertasari (97,35), Arjasari (96,75) dan Cimaung (96,80).

Peningkatan AMH di Kabupaten Bandung relatif melambat. Hal ini dikarenakan penduduk buta huruf yang ada kemungkinan sudah berada di luar usia produktif dan jumlahnya sangat sedikit. Jika dilihat menurut kecamatan, terdapat 15 kecamatan yang memiliki AMH diatas rata-rata angka Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Margahayu (99,79), Dayeuhkolot (99,74), Cileunyi (99,61), Katapang (99,45), Cicalengka (99,43), Rancaekek (99,43), Soreang (99,40), Pameungpeuk (99,35), Pasir Jambu (99,31), Bojongsoang (99,24), Margaasih (99,21), Cangkuang (99,17), Baleendah (99,10), Solokanjeruk (99,01), Nagreg (98,91).

Sementara itu, sisanya sebanyak 16 kecamatan memiliki AMH dibawah kecamatan yakni Kecamatan Ciparay (98,80), Banjaran (98,78), Cikancung (98,76), Ciwidey (98,73), Majalaya (98,54), Kutawaringin (98,52), Cimenyan (98,50) , Cilengkrang (98,39), Ibun (98,27), Rancabali (98,26), Paseh (98,20), Pacet (97,96), Pangalengan (97,80), Kertasari (97,64), Arjasari (97,50) dan Cimaung (97,06).

Pola yang hampir serupa terjadi pada Rata-ata Lama Sekolah (RLS). Hampir separuh kecamatan di Kabupaten Bandung yang memiliki rata-rata lama sekolah diatas angka Kabupaten. Kondisi tersebut tentunya belum cukup membanggakan karena target pendidikan adalah untuk mencapai tuntas pendidikan dasar (RLS = 9 tahun). Dan disparitas/kesenjangan antara kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah paling tinggi dengan kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah ternyata masih cukup besar, yaitu mencapai sebesar 3,39 tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kesempatan menikmati pendidikan di beberapa wilayah masih begitu rendah dibandingkan wilayah lainnya. Dengan sebaran wilayah yang sangat luas, kabupaten Bandung memang akan memiliki

(32)

APS 2014 44 kendala dalam membangun fasilitas pendidikan yang memadai dan mudah dijangkau oleh penduduknya.

Gambar 3.

Posisi Teratas Capaian IPM Kecamatan Di Kabupaten Bandung, Tahun 2014

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Tahun 2014

Berdasarkan hasil survei IPM 2014 Kabupaten Bandung, lima urutan tertinggi capaian IPM ditempati oleh Kecamatan Cileunyi, diikuti secara berurutan oleh Kecamatan Rancaekek, Kecamatan Baleendah, Kecamatan Dayeuhkolot, dan Kecamatan Margahayu. Besaran nilai IPM-nya masing-masing sebesar 79,13; 78,72, 78,47; 78,28; dan 77,45.

Cileunyi 79,13

Margahayu 77,45

Dayeuhkolot 78,28

Baleendah 78,47

(33)

APS 2014 45 Sedangkan urutan Kecamatan yang memiliki angka IPM terendah pada tahun 2014 adalah: Kecamatan Kertasari (70,00), Kecamatan Pacet (71,29), Kecamatan Cikancung (71,47), Kecamatan Solokanjeruk (73,37), dan Kecamatan Paseh (73,72). Angka IPM Kecamatan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.

Gambar 4.

Posisi Terendah Capaian IPM Kecamatan Di Kabupaten Bandung, Tahun 2014

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Tahun 2014

Kertasari 70,00 Pacet 71,29

Cikancung 71,47

Solokanjeruk 73,37

(34)

APS 2014 46

Bab IV.

Keterbandingan Pembangunan

Antar Wilayah

4.1. Capaian di Tingkat Wilayah

Pencapaian pembangunan manusia yang dipotret melalui indikator IPM diharapkan mampu mencerminkan kondisi hasil pembangunan yang telah dilakukan. Untuk melihat sejauhmana capaian tersebut, juga keterbandingannya dengan wilayah sekitar, maka dilakukan perbandingan angka IPM. Namun tidak semua Kabupaten/Kota melakukan pengukuran IPM untuk tahun berjalan, sehingga agar diperoleh angka yang terbanding digunakan angka publikasi IPM yang dihitung oleh BPS RI. Publikasi IPM terakhir adalah yang memuat angka IPM tahun 2013.

Berdasarkan angka BPS RI, di wilayah Bandung Raya Kabupaten Bandung menempati urutan ketiga pencapaian IPM-nya. Pada tahun 2013 IPM Kabupaten Bandung mencapai 75,11. Sementara itu IPM Kabupaten/Kota disekitarnya adalah sebagai berikut: Kota Bandung sebesar 77,32, Kota Cimahi sebesar 76,86, Kabupaten Bandung Barat sebesar 74,59, dan Kabupaten Sumedang sebesar 73,58. Hal ini berarti urutan Kabupaten Bandung berada dibawah urutan Kota, dan menempati urutan pertama untuk katagori Kabupaten.

Capaian pembangunan manusia tersebut, secara lebih operasional dapat juga tergambarkan lebih rinci berdasarkan berbagai indikator berikut ini:

(35)

APS 2014 47 4.1.1 Indikator MDG’s

Kesejahteraan penduduk dan kehidupan yang layak merupakan tujuan dari pembangunan di suatu wilayah. Dalam rangka mewujudkan semua itu, lahirlah deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium PBB tahun 2000. Semangat deklarasi MDG’s akan mendorong lembaga pemerintah dan swasta terutama di daerah untuk menyatukan upaya pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Penerapan MDGs di level daerah akan terasa lebih efektif karena kabupaten/kota merupakan ruang lingkup yang cukup kecil dalam menata situasi dan kondisi masyarakatnya. Dalam Deklarasi MDGs terdapat 8 tujuan yang harus dicapai dengan 18 target dan 48 indikator.

Kedelapan tujuan dalam deklarasi MDG’s adalah sebagai berikut : 1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan

2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 4. Menurunkan Angka Kematian Anak

5. Meningkatkan Kesehatan Ibu

6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya 7. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup

8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan

Salah satu tujuan MDGs yang selaras dengan dimensi pembangunan manusia bidang kesehatan adalah Menurunkan Angka Kematian Anak. Anak-anak terutama bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Indikator yang dapat menggambarkan kondisi jumlah anak-anak yang meninggal adalah Angka Kematian Bayi. Angka kematian bayi Kabupaten Bandung dapat ditekan dari 37 bayi per 1000 kelahiran hidup

(36)

APS 2014 48 pada tahun 2008 hingga pada tahun 2014 jumlahnya menurun menjadi sebesar 34 bayi per 1000 kelahiran hidup.

Selain itu, tujuan MDGs yang berhubungan dengan dimensi pembangunan manusia di bidang pendidikan adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua. Tujuan ini disepakati untuk memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan dasar. Indikator yang dapat menggambarkan pencapaian tujuan kedua MDGs ini salah satunya adalah angka partisipasi murni (APM). APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. APM didefinisikan sebagai proporsi jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah tertentu yang masih sekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan kelompok usia terhadap jumlah keseluruhan penduduk pada kelompok usia yang sama. APM dapat mencerminkan seberapa besar partisipasi dan akses penduduk bersekolah di jenjang tertentu sesuai kelompok usia pada jenjang tersebut. Pada tahun 2008, angka partisipasi murni (APM) jenjang sekolah dasar (SD) sebesar 90,00 persen dan pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar 94,12 persen. Angka ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung hampir mewujudkan target memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Ini artinya target global MDGs pada tahun 2015 yaitu pendidikan setara 6 tahun atau APM SD sebesar 95 persen hampir tercapai di Kabupaten Bandung.

Pemerintah Indonesia bertekad untuk mencapai target yang lebih tinggi dari target MDGs yaitu “wajib belajar 9 tahun “ yang terdiri dari 6 tahun SD dan 3 tahun SMP. Berdasarkan data survei Khusus IPM tahun 2014, tercatat bahwa sebesar 67,87 persen dari total penduduk usia 13-15 tahun sedang/masih menjalani pendidikan setingkat SLTP. Ini artinya peluang penduduk usia 13-15 tahun di Kabupaten Bandung cukup besar dimana hampir mencapai 70 persen anak usia SLTP sedang menjalani pendidikan setingkat SLTP. Hal ini menunjukkan bahwa target wajib belajar 9 tahun di Kabupaten Bandung hampir tercapai.

(37)

APS 2014 49 Grafik4.1.

APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2014

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM Tahun 2014

Sementara itu, program baru yang telah dicanangkan oleh pemerintah yakni Program Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun apabila telah ditindaklanjuti maka diharapkan sebagian besar penduduk Kabupaten Bandung dapat menikmati pendidikan sampai setingkat SLTA. Pada tahun 2014, partisipasi penduduk usia 15-18 tahun yang sedang menikmati pendidikan setingkat SLTA sebesar 41,58 persen. Gambaran perbandingan APM menurut jenjang pendidikan dapat dilihat pada grafik 4.1. Indikator lainnya yang menjadi ukuran untuk menentukan tercapai tidaknya tujuan kedua MDGs adalah Angka Melek Huruf Usia 15-24 tahun.

Tujuan MDGs yang selaras dengan pembangunan manusia di bidang ekonomi adalah tujuan kesatu yakni Menanggulangi Kemiskinan dan

94.12 67.87 41.58 9.34 SD SLTP SLTA PT

(38)

APS 2014 50 Kelaparan. Gambaran mengenai indikator kemiskinan akan dijelaskan pada bahasan selanjutnya.

4.1.2 Indikator Ketenagakerjaan

Capaian kesejahteran masyarakat di suatu wilayah sangat tergantung kepada potensi sumber daya yang dimiliki dan bagaimana potensi yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Kualitas sumber daya manusia (SDM) akan sangat berperan untuk menciptakan dan menggerakkan aktivitas perekonomiannya. Peranan sumber daya manusia dalam mengelola perekonomian suatu wilayah dapat ditunjukkan oleh indikator ketenagakerjaan. Salah satu indikator yang biasa dipakai dalam melihat atau menggambarkan tingkat perekonomian masyarakat adalah laju pertumbuhan angkatan kerja yang terserap di lapangan pekerjaan.

Tingginya angkatan kerja di suatu daerah akan menggerakan perekonomian daerah tersebut. Gambaran kondisi ketenagakerjaan seperti persentase angkatan kerja yang bekerja, dan distribusi lapangan pekerjaan sangat berguna untuk melihat prospek ekonomi Kabupaten Bandung. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat apakah benar-benar digerakan oleh produksi yang melibatkan tenaga kerja daerah atau karena pengaruh indikator lain. Banyaknya penduduk yang bekerja akan berdampak pada peningkatan kemampuan daya beli dan peningkatan pendapatan penduduk untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang layak.

Salah satu indikator yang dapat menggambarkan kondisi ketenagakerjaaan adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK merupakan perbandingan antara penduduk yang bekerja dan mencari pekerjaan terhadap penduduk usia kerja (15 tahun keatas). Berdasarkan Hasil Sakernas tahun 2014, jumlah angkatan kerja di Kabupaten Bandung tercatat sebesar 1.628.076 jiwa, sementara jumlah penduduk usia kerja

(39)

APS 2014 51 tercatat sebanyak 2.460.982 jiwa, maka tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Bandung sebesar 66,16 persen. Interpretasinya adalah bahwa sebanyak 66, 16 persen angkatan kerja di Kabupaten Bandung aktif secara ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja yang aktif secara ekonomi akan berdampak pada meningkatnya taraf kesejahteraan. Taraf kesejahteraan yang meningkat mengakibatkan berkurangnya jumlah penduduk miskin. Kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga karena hampir semua rumahtangga mengandalkan upah/gaji (bagi yang berstatus buruh/karyawan) atau keuntungan usaha (bagi yang berstatus berusaha). Implikasinya adalah bahwa upaya pengentasan kemiskinan harus ditempuh melalui upaya penyelesaian masalah ketenagakerjaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penyediaan lapangan kerja/usaha dan peningkatan produktifitas tenaga kerja.

Indikator lainnya yang dapat menggambarkan kondisi ketenagakerjaan adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT). TPT merupakan perbandingan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja. Berdasarkan data Sakernas tahun 2014, jumlah pengangguran di Kabupaten Bandung sebanyak 138.045 jiwa dan jumlah angkatan kerja sebanyak 1.628.076 jiwa, maka diperoleh tingkat pengangguran Kabupaten Bandung sebesar 8, 48 persen. Interpretasinya adalah dari 100 orang penduduk yang termasuk angkatan kerja, secara rata-rata 8 orang diantaranya adalah pencari kerja (pengangguran). Angka pengangguran ini masih tergolong tinggi, sehingga harus terus diupayakan penyediaan lapangan pekerjaan.

(40)

APS 2014 52 TKK 91.52% TPT 8.48% 17.01% 35.70% 17.91% 11.82% 17.56% Pertanian Industri Perdagangan Jasa Grafik 4.2.

Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) dan Tingkat Pengangguran

Terbuka (TPT) di Kabupaten Bandung, Tahun 2014 Sumber : BPS, Sakernas 2014. Sumber : BPS, Sakernas 2014. Grafik 4.3.

Proporsi Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan

Utama

Untuk melihat seberapa besar penduduk yang terserap dalam pasar kerja, maka digunakan indikator tingkat kesempatan kerja (TKK). Tingkat kesempatan kerja merupakan komplemen dari tingkat pengangguran

(41)

APS 2014 53 terbuka. Berdasarkan data Sakernas 2014, diperoleh tingkat kesempatan kerja penduduk di Kabupaten Bandung sebesar 91, 52 persen. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat kesempatan kerja yang tersedia sebesar 91, 52 persen atau dari 100 orang orang angkatan kerja, sekitar 91 orang diantaranya sudah bekerja. Selain itu dapat dijelaskan pula bahwa kapangan kerja yang tersedia di Kabupaten Bandung sudah semakin banyak menyerap tenaga kerja. Perluasan lapangan pekerjaan dapat menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk sehingga jumlah pengangguran di Kabupaten Bandung dapat ditekan.

Lapangan pekerjaan di Kabupaten Bandung cukup beragam diantaranya sektor pertanian, industri, perdagangan, jasa dan lain-lain. Proporsi penyerapan lapangan pekerjaan pada sektor industri yang cukup besar dapat menjadi indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Berdasarkan data Sakernas 2014, sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Bandung bekerja pada sektor industri dengan proporsi sebesar 36 persen. Hal ini sesuai dengan kondisi dimana terdapat banyak industri yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bandung sehingga menyerap tenaga kerja baik bagi penduduk setempat maupun pendatang. Selain itu, penduduk di Kabupaten Bandung juga banyak yang bekerja di sektor perdagangan dan pertanian dengan proporsi masing –masing sebesar 18 persen dan 17 persen. Proporsi penduduk yang bekerja di sektor jasa juga cukup besar yakni sekitar 11 persen. Sisanya sekitar 17 persen merupakan proporsi penduduk yang bekerja di sektor lainnya. Komposisi penduduk di Kabupaten Bandung yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama dapat terlihat pada grafik 4.2.

4.1.3. Indikator Kemiskinan

Beberapa definisi mengenai kemiskinan telah dikemukakan oleh para ahli. Menurut Bank Dunia (World Bank, 2000), Kemiskinan merupakan

(42)

APS 2014 54 kurangnya kesempatan/peluang, ketidakberdayaan dan kerentanan. Definisi lain menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang dimaksud meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan soial politik. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang membutuhkan kebijakan dan program intervensi yang multi-dimensi juga yang dapat membuat masyarakat terbebas dari kemiskinan. Data kemiskinan dapat memberikan informasi yang cukup penting bagi para pengambil kebijakan untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

Kemiskinan merupakan masalah nasional sehingga penanggulangannya selalu menjadi salah satu prioritas utama pembangunan nasional. Kemiskinan juga merupakan permasalahan dunia yang terlihat dari disepakatinya deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) oleh beberapa negara anggota PBB termasuk Indonesia. Tujuan pertama dalam deklarasi MDGs adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan dengan target bahwa pada tahun 2015 tingkat kemiskinan ekstrem harus diturunkan hingga separuh dari keadaan di tahun 1990. Secara nasional dengan memakai perhitungan BPS, bahwa angka kemiskinan diharapkan dapat ditekan hingga menjadi 7,55 persen di tahun 2015 karena angka kemiskinan nasional pada tahun 1990 sebesar 15,1 persen.

Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

(43)

APS 2014 55 Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebanyak 279.500 jiwa dan cenderung menurun pada tahun 2013 sebanyak 271.700 jiwa. Persentase penduduk miskin di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebesar 8,33 persen dan cenderung menurun pada tahun 2013 sebesar 7,94 persen. Sedangkan garis kemiskinan di Kabupaten Bandung cenderung meningkat, pada tahun 2012 sebesar Rp.241.947,- perkapita/bulan dan pada tahun 2013 sebesar Rp.256.733,- perkapita/bulan. Fenomena kemiskinan akan terlihat di setiap daerah termasuk di Kabupaten Bandung. Permasalahan kemiskinan merupakan agenda pembangunan nasional yang selalu didengungkan sampai saat ini. Demikian pula bagi pemerintah Kabupaten Bandung, permasalahan kemiskinan menjadi topik utama dalam agenda pembangunan. Pada tahun 2012, proporsi penduduk miskin di Kabupaten Bandung sebesar 8, 33 persen. Hal ini sesuai dengan target angka nasional yang dicanangkan oleh pemerintah dimana pada tahun 2014 angka kemiskinan nasional sebesar 8-10 persen. Bahkan pada tahun 2013, proporsi penduduk miskin Kabupaten Bandung telah melampaui target angka kemiskinan nasional karena persentasenya menurun hingga mencapai 7,94 persen. Hal ini menujukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung telah berhasil menekan angka kemiskinan

(44)

APS 2014 56 sedemikian rupa melalui berbagai program dan kebijakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan.

Apabila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya di wilayah Bandung Raya, maka persentasi penduduk miskin di Kabupaten Bandung merupakan persentase terendah. Persentase penduduk miskin di wilayah sekitar masing-masing sebagai berikut: Kota Bandung sebesar 10,59 persen, Kabupaten Sumedang sebesar 11,31 persen, Kabupaten Bandung Barat sebesar 12,92 persen, dan Kota Cimahi sebesar 17,19 persen.

Gambar 5.

Tingkat Kemiskinan Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS RI, Tahun 2014.

4.2. Capaian di Tingkat Provinsi Jawa Barat

Tujuan-tujuan MDGs adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar untuk semua; mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; menurunkan angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit

(45)

APS 2014 57 menular lainnya; memastikan kelestarian lingkungan hidup; serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

IPM yang merupakan tolok ukur pembangunan suatu wilayah sebaiknya berkorelasi positif terhadap kondisi kemiskinan di wilayah tersebut karena diharapkan suatu daerah yang memiliki nilai IPM tinggi, idealnya kualitas hidup masyarakat juga tinggi atau dapat dikatakan pula bahwa jika nilai IPM tinggi, maka seharusnya tingkat kemiskinan rendah.

Pada kenyataannya, besaran nilai IPM tidak menjamin tingkat kesejahteraan masyarakat akan tinggi atau tidak menjamin tingkat kemiskinan masyarakat akan rendah, salah satu penyebabnya adalah hitungan nilai IPM didasari oleh nilai agregat yang menggunakan prinsip nilai rata-rata sehingga terjadi ketidakakuratan hitungan nilai IPM tersebut.

Pembangunan manusia di suatu daerah haruslah berpihak kepada pembangunan masyarakat atau yang menjadi subyeknya tanpa terkecuali agar pembangunannya tepat sasaran dan lini-lini yang menjadi daerah intim dalam perhitungan suatu Negara maupun Daerah.

Ada beberapa hal yang menjadi unsur pokok dalam mengatasi masalah ini yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat yakni:

1. Pembangunan haruslah pro rakyat miskin bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud adalah rakyat miskin memerlukan perhatian khusus. Mereka selama ini tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah dan tidak bermodal, sehingga daya saingnya juga rendah.

2. Pambangunan haruslah pro rakyat miskin diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks kemiskinan manusia (IKM). “IPM telah digunakan oleh Jawa Barat, tetapi IKM nya belum, sehingga tidak bisa dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan,” Otto mengungkapkan.

(46)

APS 2014 58 3. Pembangunan merupakan realisasi dan aspirasi suatu bangsa. Tujuan

pembangunan yang dimaksud adalah untuk melakukan perubahan secara struktural melalui upaya sistematis dan terencana. Proses perencanaan meliputi pemantauan dan evaluasi terhadap berbagai program yang telah diimplementasikan pada periode sebelumnya.

Kedudukan dan peran IPM dalam pembangunan akan lebih terlihat kalau dilengkapi dengan suatu data yang berisikan indikator yang relevan dengan IPM dan disusun sebagai suatu sistem data yang lengkap. Sistem data yang lengkap dan akurat akan lebih dapat mengkaji berbagai kendala dan implementasi program pembangunan pada periode sebelumnya, dan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah untuk dimasukkan sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan periode berikutnya, sehingga diharapkan nilai IPM sebagai tolok ukur pembangunan dapat mencerminkan kondisi kemiskinan masyarakat yang sesungguhnya.

Dan adapun hambatan yang dihadapi oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dalam pelaksanaan pencapain prestasi IPM ini adalah kurangnya pengetahuan tentang pentingnya kasus tersebut, dan dipihak lain juga kurangnya sosialisasi tentang hal tersebut, sehingga menyebabkan buruknya prestasi kita dikancah internasional, hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya indikator-indikator IPM yang belum terpenuhi.

Jadi dalam hal ini perlu adanya perhatian dan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat demi mencapai tujuan bersama dan demi tersejahteranya bangsa yang kita cintai ini, karena telah dijelaskan hal ini sangat penting karena pembangunan manusia maupun pembangunan lainnya merupakan hal yang penting demi terealisasinya suatu keberhasilan yang ingin dicapai bersama-sama.

Referensi

Dokumen terkait

yang nyata (signifikan) antara angka harapan hidup, angka melek huruf, dan rata-rata lama. bersekolah terhadap indeks

Variabel-variabel yang digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia melalui regresi data panel adalah PDRB perkapita, angka harapan hidup,

Unit analisis dalam penelitian ini adalah Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten Jember yang dipengaruhi oleh variabel seperti angka harapan hidup, angka melek huruf,

Modal manusia dipengaruhi oleh indeks pembangunan manusia dimana terdapat tiga indikator komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam

Indikator yang digunakan di Indonesia dalam menghitung IPM adalah angka harapan hidup saat lahir, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita.. Selama

Analisis Jalur Untuk Pengaruh Angka Harapan Hidup, Harapan Lama Sekolah, Rata-Rata Lama Sekolah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Melalui Pengeluaran Riil Per Kapita

Pengaruh Angka Harapan Hidup Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Bengkulu Berdasarkan hasil tabel di atas menunjukkan bahwa hasil uji signifikan parametrik individual

Variabel yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia Y, Angka Harapan Hidup X1, Harapan Lama Sekolah X2, Rata-Rata Lama Sekolah X3, dan Pengeluaran Per Kapita X4 menurut