• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah: Perlu Penyusunan Indikator Demokrasi dan Perbaikan Perundang-Undangan 1. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah: Perlu Penyusunan Indikator Demokrasi dan Perbaikan Perundang-Undangan 1. LATAR BELAKANG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah: Perlu Penyusunan

Indikator Demokrasi dan Perbaikan Perundang-Undangan

Oleh

Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi, Deputi Bidang Polhankamnas, Bappenas Abstrak

Kajian ini bertujuan menyusun indikator demokrasi, terutama akuntabilitas wakil rakyat/anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap para pemilih (konstituen) mereka. Kemudian menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas anggota DPR; serta mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut.

Metodologi yang digunakan adalah studi pustaka terhadap berbagai analisis, indikator, dan dinamika demokrasi di Indonesia; studi pustaka tentang kebijakan pengembangan demokrasi di Indonesia, seperti Undang-undang Dasar (UUD) dan Undang-undang yang di bidang politik; studi pustaka terhadap anggaran pemerintah maupun DPR; dan wawancara mendalam dengan berbagai nara sumber/pakar dan survai sederhana kepada mahasiswa.

Kesimpulan kajian ini adalah tingkat akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya “rendah” dilihat dari kinerja mereka, seperti kunjungan maupun pelaporan. Rendahnya akuntabilitas tersebut, antara lain disebabkan: (1) perundang-undangan tidak secara tegas dan jelas menugaskan anggota DPR melakukan kontak dan komunikasi serta melaksanakan fungsi perwakilan dengan baik; (2) dukungan anggaran yang rendah; (3) kurangnya tekanan publik (pers, universitas, dan ormas) kepada anggota DPR serta Partai Politik (Parpol) agar mereka lebih aspiratif dan responsif kepada konstituennya; (4) kontak dan komunikasi antara wakil rakyat dan pemilih/konstituen tidak merupakan bagian menonjol dalam sejarah politik Indonesia; serta (5) sistem Pemilu yang memilih tanda gambar sehingga menghasilkan gambaran yang abstrak atau DPP, sehingga figur wakil tidak mengakar.

Rekomendasi yang dapat disampaikan antara lain: (1) dalam peraturan perundang-undangan perlu dicantumkan kewajiban wakil rakyat untuk melakukan kontak dan melaporkan kegiatan mereka kepada pemilihnya; (2) perlu disusun peraturan yang menjamin hak warga/konstituen untuk memecat wakil rakyat yang melakukan kesalahan; (3) perlu ruang publik yang memadai dan optimalisasi lembaga masyarakat yang independen termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengontrol wakil rakyat, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan intelektual mereka; (4) perubahan sistem Pemilu sangat penting dilakukan, sehingga rakyat lebih realistis dalam memilih wakilnya dengan menekankan pada figur/person, bukan gambar; (5) perlu diperhatikan penyesuaian kebutuhan anggaran untuk mendukung kegiatan komunikasi dengan konstituen, namun harus dengan rencana dan pertanggungjawaban yang jelas.

1. LATAR BELAKANG

Pembahasan dan pengukuran dinamika demokrasi di Indonesia relatif tertinggal dibanding bidang lain, seperti dinamika ekonomi dan kependudukan. Berbagai analisis demokrasi dari berbagai perspektif seringkali hanya berhenti pada deskripsi dan eksplanasi demokrasi secara umum dan agak abstrak. Karena itu, publik tidak mengetahui dengan jelas bagaimana tingkat demokrasi dalam sejarah Indonesia. Tidak diketahui pula bagaimana keadaan berbagai dimensi demokrasi (kompetisi, partisipasi

(2)

dan akuntabilitas) dalam suatu periode tertentu.

Mayoritas studi yang membahas demokrasi Indonesia, baik pada periode Orde Baru maupun pasca Orde Baru, cenderung tidak berupaya menilai tingkat demokrasi sebagaimana yang dilakukan beberapa lembaga, misalnya Freedom House yang melakukan analisis tahunan sejak tahun 1973.

Selain itu analisis tentang politik Indonesia seringkali bersifat kualitatif, berdasar pada data primer maupun sekunder yang dikumpulkan. Sudah tentu analisis mereka sangat berguna untuk memahami kehidupan politik di Indonesia, namun kita tidak tahu tingkat demokrasi dari sistem politik Indonesia, karena tidak ada indikator-indikator untuk mengetahui secara lebih akurat tentang politik di Indonesia.

Seringkali suatu studi hanya membahas aspek deskriptif atau eksplanatif tanpa rekomendasi kebijakan yang cukup rinci. Di lain pihak berbagai rancangan perundang-undangan sering tidak disertai analisis dimensi demokrasi (akuntabilitas) yang rinci, sehingga masalah tersebut tidak mendapat tempat yang cukup dalam usulan rancangan perundang-undangan.

Selama ini studi pengukuran demokrasi lebih terfokus pada dua aspek yakni kompetisi dan partisipasi, sebaliknya mereka kurang membahas masalah akuntabilitas. Dengan kata lain, pengukuran demokrasi masih terfokus pada kebebasan berparpol dan Pemilu, namun kurang memperhatikan atau mengukur proses Pasca Pemilu, terutama akuntabilitas para wakil rakyat. Karena itu perlu dibuat Indikator Akuntabilitas Demokrasi yang dapat pula dikaitkan dengan Indikator Freedom House, sehingga kita memperoleh gambaran keadaan demokrasi yang lebih utuh.

Pembahasan demokrasi Indonesia yang bersifat kualitatif dan deskriptif berimplikasi pada pengukuran demokrasi di Indonesia cenderung lebih bersifat kualitatif. Posisi Indonesia acap dinyatakan sebagai “otoritarian,” “represif,” atau “birokratis-militeristik.” Sementara itu tidak terdapat indikator demokrasi yang sistematik yang telah dikembangkan oleh pemerintah (BPS dan BP7, ketika masih ada). Keadaan serupa terjadi pula pada berbagai lembaga penelitian dan universitas.

2.TUJUAN

Berdasar latar belakang pemikiran di atas maka studi ini dilaksanakan dengan tujuan :

1. Menyusun indikator demokrasi, terutama akuntabilitas wakil rakyat (anggota DPR) pada pemilih (konstituen). Tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya merupakan hal yang penting dan dapat menjadi entry point bagi pengembangan demokrasi yang sesungguhnya.

2. Menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas demokrasi; dan mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas demokrasi.

3. Mendefinisikan kriteria demokrasi dan menentukan indikator-indikator empiris perihal ‘degree of democratization’ yang terjadi di Indonesia.

4. Dari kriteria dan indikator empiris ‘degree of democratization’ tersebut diharapkan diperoleh keluaran tentang ukuran-ukuran baku demokrasi (best international principles on democracy); ukuran-ukuran empiris menurut area politik Indonesia; menentukan ‘degree of democratization’ Indonesia

(3)

3. METODOLOGI

Metodologi dan subyek kajian terdiri dari :

1. Studi pustaka terhadap berbagai analisis, indikator, dan dinamika demokrasi di Indonesia.

2. Studi pustaka tentang kebijakan pengembangan demokrasi di Indonesia (UUD dan UU Politik).

3. Studi pustaka terhadap anggaran pemerintah maupun DPR.

4. Wawancara mendalam dengan berbagai narasumber/pakar dan survai sederhana kepada mahasiswa.

3.1 KERANGKA ANALISIS

Pembahasan indikator demokrasi telah dikembangkan Freedom House (FH) yang mencakup dua dimensi: “political rights” dan “civil liberty”. Kedua dimensi ini lebih menekankan aspek partisipasi dan kompetisi dan menunjukkan dimensi akuntabilitas masih terbuka untuk diukur.

Indikator demokrasi versi Freedom House didasarkan pada dimensi “political rights”, meliputi 11 indikator yang berkaitan dengan “partisipasi” dan “kompetisi”, dan “civil liberty” yang erat dengan partisipasi dalam kehidupan sosial dan diukur dengan 14 indikator.

Berdasarkan 25 butir di atas, Freedom House meminta pendapat para ahli suatu negara tertentu (panel of experts) untuk membuat peringkat mengenai hal tersebut. Gabungan dari kedua dimensi tersebut (“political rights” dan “civil liberty”) selanjutnya digunakan untuk mengetahui posisi atau ciri-ciri suatu negara dalam bidang demokrasi, dengan memberikan skor antara 1 sampai 7. Nilai antara 1 sampai 7 tersebut dibagi menjadi tiga kategori: “Free” (1-2.5), “Partly Free” (2.5 - 5.5), dan “Not Free” (5.5 - 7). Pembuat indikator Freedom House yakni Gastil berkesimpulan bahwa indikatornya ternyata juga mengukur tingkat “demokrasi,” bukan hanya tingkat kebebasan (freedom).

Pembobotan di atas masih terlalu “kasar”, artinya perubahan dalam bidang “Partly Free” (2.5-5.5) kurang dapat dijelaskan secara baik. Dengan kata lain suatu negara yang berada dekat “Not Free” (5.5-7) dan berubah mendekati “Free” masih dianggap berada dalam satu bidang yakni “Partly Free” (2.5-5.5). Itu sebabnya perlu modifikasi, sehingga pembobotan tersebut dipecah menjadi empat. Maka bobot “Partly Free” dibagi dua menjadi “Semi-Demokratis” (2.5-4) dan “Semi Otoriter” (4-5.5).

3.2 DATA

Jika indikator Freedom House yang telah dimodifikasi digunakan untuk mengetahui dinamika demokrasi Indonesia, maka pada periode Orde Baru, tingkat demokrasi secara mayoritas berada pada tingkat “Semi-Otoriter” (4 – 5,5), walaupun pada periode 1993-1998, pernah juga mengalami “Otoriter” (5.5 - 7). Sedangkan periode Pasca Orde Baru, sejak 1999 dan 2003, membaik cukup tajam memasuki kategori baru yakni “Semi-Demokrasi” (dibawah skor “4”).

Grafik berikut ini menggambarkan lebih jelas dinamika demokrasi di Indonesia karena membagi bidang “Partly Free” menjadi dua yakni Otoriter” dan “Semi-Demokrasi.” Melalui pembagian ini dinamika demokrasi Indonesia terlihat lebih tajam. Pada periode Orde Baru, tingkat demokrasi secara mayoritas berada di “Semi-Otoriter”

(4)

walaupun pernah mengalami “Otoriter”. Jadi dilihat dari aspek “political rights” dan “civil liberty” Indonesia pada pasca Orde Baru telah memasuki kategori baru yakni “Semi-Demokrasi.”

Grafik 1.

Modifikasi Gabungan “Political Rights” dan “Civil Liberties” di Indonesia Indikator Freedom House: Indonesia: 1972 - 2003

1 2,5 4 5,5 7 1972-73 73-74 74-75 75-76 76-77 77-78 78-79 79-80 80-81 81-82 82-83 83-84 84-85 85-86 86-87 87-88 88-89 89-90 90-91 91-92 92-93 93-94 94-95 95-96 96-97 97-98 98-99 99-00 00-01 2001-02 2002-03

1 -- 2,5 = Demokratis 2,5 -- 4 = Semi- Demokratis 4 -- 5,5 = Semi-toriter 5,5 -- 7 = Otoriter

Sumber: Freedom House, 2004

Grafik berikut ini menunjukkan demokrasi Indonesia yang mengalami perbaikan mendekati tingkat Thailand dan Filipina. Keadaan ini lebih baik dibanding Malaysia dan Singapura yang sebelum era Reformasi 1998 dan Pemilu 1999 berada dalam kategori yang sama dengan Indonesia.

Grafik 2.

Perbandingan Demokrasi di Indonesia dengan

Demokrasi di Malaysia, Filipina dan Singapora tahun 1972-2001

Sumber: Freedom House 0 1 2 3 4 5 6 7 1972-73 74-75 76-77 78-79 80-81 82-83 84-85 86-87 88-89 90-91 92-93 94-95 96-97 98-99 00-01

(5)

Sumber: Freedom House

Namun grafik di atas hanya menjelaskan “political right” dan “civil liberty” tanpa mengukur akuntabilitas. Ada kemungkinan bahwa Malaysia dan Singapura yang mendapat nilai rendah dalam Indikator Freedom House mempunyai skor cukup baik dalam akuntabilitas anggota legislatif. Sebab, pada kedua negara itu berlaku sistem distrik. Para anggota parlemen harus responsif kepada konstituensinya; jika tidak mereka bisa tidak terpilih pada Pemilu berikutnya.

Indikator Akuntabilitas Demokrasi (IAD) dibuat berdasarkan prinsip yang mirip dengan Indikator Freedom House (IFH). IAD akan mencakup dimensi demokrasi yang belum terbahas dalam IFH yakni dimensi akuntabilitas.

Namun IAD dapat berfungsi sebagai pelengkap atau bahkan digabungkan dengan IFH sehingga akan didapat indikator demokrasi agak lengkap. Dengan demikian, dapat diketahui posisi demokrasi suatu negara dalam tahun tertentu, baik dalam aspek partisipasi maupun akuntabilitas.

Untuk mengukur Indikator Akuntabilitas Demokrasi (IAD) maka dikonstruksi kategori sebagai berikut:

Akuntabilitas dikategorikan “Tinggi,” jika Mayoritas anggota DPR (> 67%) melakukan kunjungan rutin ke konstituennya dan jika mayoritas (> 67%) membuat laporan pertanggungjawaban pada konstituennya. Skor “Sedang” adalah nilai 33% sampai 67% dan skor “Rendah” jika nilai kurang dari 33%.

Selain itu dilakukan pula survai dengan pengukuran dengan peringkat dari angka 1 (akuntabilitas tinggi) sampai 7 (akuntabilitas rendah). Skor 1 sampai 7 tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yakni :

1 - 2 : Akuntabilitas Tinggi (Akuntabel) 2 - 4 : Akuntabilitas Cukup (Semi-Akuntabel) 4 - 5,5 : Akuntabilitas Rendah

5,5 – 7 : Akuntabilitas Rendah Sekali (Non-Akuntabel)

Analisis akuntabilitas mencakup analisis kualitatif oleh pakar, sehingga dapat diketahui apakah tingkat akuntabilitas dapat digolongkan rendah, sedang atau tinggi.

4. HASIL KAJIAN

Instrumen untuk mengukur akuntabilitas ini pertama kali akan diterapkan untuk mengetahui apakah para wakil rakyat secara rutin mengunjungi konstituennya atau tidak. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa kunjungan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut responden adalah sangat rendah. Data ini menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas wakil rakyat “Sangat Rendah” dan dapat dikatakan bahwa mereka tidak akuntabel kepada konstituen mereka.

(6)

Tabel 1 - Kunjungan ke Konstituen Pernah dihubungi DPR/D 2001 2002 2003 Dihubungi 7% 4% 2% Tidak Dihubungi 85% 87% 95% Tidak Tahu 8% 8% 2% Tidak Menjawab 1% 1% 1%

Sumber: Media Indonesia 6 Februari 2004; IFES 2001, 2002, 2003

Selain itu terdapat informasi tambahan mengenai kinerja mereka menurut berbagai jajak pendapat. Sebagai contoh data, tabel 2 menunjukkan statistik demokrasi mengenai pandangan publik terhadap anggota DPR/D :

Tabel 2 - Pandangan terhadap Anggota DPR/D PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPR PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD I PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD II

Sudah mewakili 22% Sudah mewakili 25% Sudah mewakili 34% Kurang mewakili 35% Kurang mewakili 31% Kurang mewakili 28% Tidak mewakili 15% Tidak mewakili 12% Tidak mewakili 11% Tidak tahu 26% Tidak tahu 29% Tidak tahu 25% Tidak menjawab 3% Tidak menjawab 2% Tidak menjawab 2% Sumber: 'Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat...' hal. L-8 (Pertanyaan: 'Menurut penilaian Bapak/Ibu/Saudara, apakah DPR/DPRD I/DPRD II sudah mewakili, kurang mewakili atau tidak rnewakili kepentingan masyarakat di daerah ini?” Survai dilakukan pada Juli 2000 kepada 3000 responden di 60 kabupaten/kotamadya di 20 propinsi. Informasi lainnya tentang responden adalah: usia 18 tahun keatas atau sudah menikah. Sampling error polling adalah ± 2% dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk lengkapnya lihat Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat….(2000: L-1 dan L-2).

Survai di atas dilakukan tahun 2000 dan mengevaluasi anggota DPRD hasil Pemilu 1999 yang dianggap “jurdil”, baik oleh kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Keadaan ini menunjukkan bahwa suksesnya suatu Pemilu (“Electoral Democracy”) tidak menjamin tingginya rasa keterwakilan rakyat. Hal ini disebabkan tidak diberlakukannya sistem Pemilu yang memberi kesempatan pada publik untuk memilih wakilnya (sistem proporsional terbuka dan sistem distrik). Juga tidak ada mekanisme kontrol pasca Pemilu, sehingga wakil rakyat tidak merasa perlu untuk akuntabel, bahkan memperkenalkan dirinya (mengunjungi) rakyat di daerah pemilihannya.

Tabel juga menunjukkan bahwa secara umum pandangan reponden tentang anggota DPR tidak jauh berbeda dengan pandangan mereka terhadap DPRD I dan II. Jelas terlihat, hanya 22% responden yang menganggap anggota DPR telah mewakili

(7)

mereka. Selebihnya menyatakan “Kurang Mewakili” (35%); “Tidak Mewakili” (15%); “Tidak Tahu” (26%).

Pengukuran akuntabilitas dapat dilakukan dengan menganalisis perundang-undangan maupun polling. Pengukuran juga dapat berupa melontarkan sejumlah pertanyaan kepada informan dan mereka diminta melakukan “peringkat” terhadap beberapa butir kriteria yang berkaitan dengan akuntabilitas.

Dalam grafik berikut terlihat bagaimana akuntabilitas DPR pada pemilih: (para informan adalah mahasiswa, yang hanya diminta melakukan “peringkat” pada masa Pasca Reformasi karena mereka tidak mengalami masa Pra-Reformasi dengan baik).

Grafik 3.

Akuntabilitas menurut “Political Rights” FH dan Pendapat Responden (Pasca Reformasi)

Political right & Akuntabilitas DPR Pasca ORBA

1 2,5 4 5,5 7 19 72-73 19 74-75 19 76-77 19 78-79 19 80-81 19 82-83 19 84-85 19 86-87 19 88-89 19 90-91 19 92-93 19 94-95 19 96-97 19 98-99 20 00-01 Pol.right DPR-Konstituen DPR-Publik

Data diatas menunjukkan bahwa “peringkat ” responden adalah 5 atau berada di antara angka 4 dan 5.5 atau kategori “Kurang Akuntabel”. Sementara grafik yang lengkap berasal dari Freedom House mengukur “political rights”. Pada masa Pasca Reformasi skor “political rights” cukup baik yakni 3 atau “Semi-Demokratis.” Data juga menunjukkan bahwa “Akuntabilitas” Pasca Reformasi berada dalam kategori yang lebih buruk dibandingkan dengan keadaan “political rights.”

Berbagai data tersebut, jika dikategorikan, menunjukkan lemahnya tingkat akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Jika keadaan ini dikonversi ke peta akuntabilitas, tampak dalam kategori akuntabilitas yang “Sangat Rendah” atau “Tidak Ada Akuntabilitas.” Kategori ini mempunyai skor antara 5.5. sampai 7 dan jika diambil nilai tengahnya maka akan didapat nilai 6.3, seperti yang terlihat dalam grafik berikut:

(8)

Grafik 4.

Akuntabilitas DPR pada Konstituen

Akuntabilitas DPR pada Konstituen

1 2,5 4 5,5 7 1972 -73 74-7 5 76-7 7 78-7 9 80-8 1 82-8 3 84-8 5 86-8 7 88-8 9 90-9 1 92-9 3 94-9 5 96-9 7 98-9 9 00-0 1 2002 -03

1 -- 2.5 = Akuntabel 2.5 -- 4 = Cukup Akuntabel 4.5 -- 5 = Kurang Akuntabel 5.5 -- 7 = Tidak Akuntabel

Grafik di atas menggambarkan betapa rendahnya tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituen yang tidak berbeda signifikan, baik pada masa sebelum dan sesudah reformasi.

Secara ringkas studi ini memperlihatkan gambaran akuntabilitas demokrasi Indonesia, bahwa anggota DPR yang melakukan kunjungan ke konstituennya masih dibawah 10%, namun data ini tidak secara jelas menyatakan apakah kunjungan tersebut bersifat rutin atau tidak.

Demikian pula tidak tercatat adanya anggota DPR yang melaporkan kegiatan mereka secara tertulis pada konstituennya, baik pada akhir tahun atau akhir masa jabatan mereka. Berdasarkan data ini dapat dikategorikan bahwa akuntabilitas mereka adalah “Sangat Rendah.”

Kemudian, berdasar analisis para pakar, disimpulkan bahwa akuntabilitas DPR pada konstituennya masih dapat dikategorikan “rendah”, bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa akuntabilitas DPR Pasca Reformasi tidak berbeda secara signifikan dengan masa sebelum Reformasi.

Selain itu berdasarkan “rating” survai, ditemukan bahwa akuntabilitas DPR masih diatas skor 4 berarti termasuk kategori “Akuntabilitas Rendah”. Padahal rating Fredom House (partisipasi dan kompetisi) sudah bernilai dibawah 4 atau masuk kategori “Semi-Demokratis.” Berbagai jajak pendapat juga menunjukkan kinerja dan citra DPR yang kurang baik. Jadi peningkatan demokrasi dalam aspek “partisipasi” dan “kompetisi” tidak diikuti secara seimbang dengan aspek “akuntabilitas.”

(9)

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 KESIMPULAN

Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya “Rendah”, dilihat dari kinerja mereka seperti kunjungan maupun pelaporan. Juga didukung data lain, yakni survai dan pakar, yang menyatakan bahwa akuntabilitas mereka rendah. Jika dikaitkan dengan indikator “Freedom House” maka posisi Akuntabilitas masih diatas skor “4” (“Semi-Otoriter”) atau dapat dikatakan masih bersifat “Elitis” dan “Oligarkis.”

Penyebab rendahnya akuntabilitas itu disebabkan oleh faktor-faktor, pertama, perundang-undangan (UUD; UU) tidak tegas dan jelas menugaskan agar anggota DPR melakukan kontak dan komunikasi serta melakukan fungsi perwakilan dengan baik. Dalam UUD tugas DPR adalah legislasi, pengawasan dan anggaran, sementara tugas “Representasi” (melaksanakan aspirasi konsituen) tidak dicantumkan secara tegas. Dalam UU Susduk dinyatakan bahwa wakil rakyat akan datang ke daerah pemilihan pada masa reses, namun tidak terdapat mekanisme yang jelas mengenai kewajiban mereka.

Kedua, dukungan anggaran sangat rendah. Sebagai contoh, dalam anggaran Sub Sektor Politik Dalam Negeri tahun 2004 hanya tersedia dana sekitar Rp 132 miliar. Jumlah ini sangat tidak mendukung proses akuntabilitas wakil rakyat. Dalam anggaran DPR (2002) sebenarnya tersedia “dana komunikasi” Rp 3 juta per bulan serta dana reses, namun dalam praktiknya mereka tidak mempunyai rencana kerja dan pertanggungjawaban yang jelas berkaitan dengan kontak dan komunikasi dengan konstituen.

Ketiga, kurangnya tekanan publik dari pers, universitas, dan ormas kepada anggota DPR (parlemen serta parpol) agar mereka menjadi lebih aspiratif dan responsif pada konstituennya. Berbagai kritik yang muncul lebih bersifat sporadis, individual dan tidak berkesinambungan. Misalnya, universitas tidak mengintegrasikan masalah pemantauan dan evaluasi kinerja DPR dalam kurikulum yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Lantas pers tidak merencanakan dan mengalokasikan waktu dan tempat yang cukup dan terencana untuk mengawasi kinerja DPR dan demokrasi.

Keempat, kontak dan komunikasi antara wakil rakyat dan pemilih/konstituen tidak merupakan bagian menonjol dalam sejarah politik Indonesia. Kalaupun ada, kontak itu lebih bersifat mobilisasi dan menjelang Pemilu (kampanye). Di samping itu materi kontak tidak bersifat program yang jelas dan terukur, melainkan lebih merupakan retorika.

Kelima, sistem pemilu yang memilih tanda gambar. Keadaan ini menghasilkan gambaran yang abstrak (tanda gambar) atau Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sehingga figur wakil rakyat tidak perlu mengakar. Selain itu DPP dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang dominan membuat masalah akuntabilitas pada DPP/DPD menjadi lebih penting (“partycracy”) dibandingkan pada pemilih (konstituensi).

5.2 REKOMENDASI

Peningkatan akuntabilitas perlu diprioritaskan melalui berbagai dimensi yaitu :

1. Perundang-undangan

Kurang terbahasnya masalah akuntabilitas atau kedaulatan rakyat Pasca Pemilu ini tercermin pula pada konstitusi maupun berbagai UU. Karena itu, perlu pencatuman

(10)

secara eksplisit (dalam satu atau beberapa pasal atau ayat) bahwa wakil rakyat mempunyai kewajiban melakukan kontak dan melaporkan kegiatannya pada pemilihnya. Demikian pula perlu ada peraturan yang menjamin hak warga untuk memecat wakil rakyat yang melakukan kesalahan.

2. Anggaran

Hal ini berkaitan dengan program “Operation and Maintenance” (O&M). Demokrasi perlu dianggarkan secara rutin oleh negara (seperti layaknya pembangunan fisik). Dengan kata lain anggaran anggota DPR perlu ditingkatkan untuk: kunjungan ke konstituen; pembuatan laporan tahunan; dukungan staf profesional dan administratif Perlu pula anggaran Bidang Politik Dalam Negeri, agar warga mendapat kemudahan untuk mengontak wakil rakyat (Surat Bebas dari Bea), dan tersedia dana untuk pertemuan rutin dengan wakil rakyat. Tanpa pembuatan “jembatan” antara wakil dan warga maka demokrasi akan terbatas pada kelompok elit atau oligarki saja.

3. Pengorganisasian dan Tekanan Publik

Pengorganisasian ini meliputi optimalisasi lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU/D) untuk membantu pelaksanaan demokrasi Pasca Pemilu. Mereka diharap mempunyai data tentang rencana kerja anggota DPR/D dan parpol, sehingga dapat diakses dan dievaluasi publik.

Perlu pula peran aktif berbagai organisasi komunitas, organisasi massa, pers, perguruan tinggi, parpol maupun organisasi okupasi (asosiasi profesi, pekerja, petani dan sektor informal). Beberapa lembaga seperti pers dan universitas perlu selalu melaporkan kegiatan monitoring demokrasi. Lembaga-lembaga tersebut diminta membuat laporan tahunan keadaan demokrasi sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan intelektual (“moral and intellectual accountability report”).

Sebaiknya lembaga tersebut mempunyai “Ombudsman” independen yang memantau (dan membuat laporan/audit setiap akhir tahun). Dengan pola ini dapat diketahui apakah mereka telah cukup aktif atau tidak dalam memantau DPR dan demokrasi di Indonesia.

4. Sistem Pemilu

Perubahan pada sistem pemilu yang menekankan figur (memilih wakil), baik dalam sistem distrik atau sistem proporsional terbuka, akan mendukung akuntabilitas jika dilengkapi dengan mekanisme lain seperti kunjungan dan pelaporan kegiatan wakil rakyat. Dalam format Pemilu 2004, jika pemilih hanya mencoblos orang namun tidak mencoblos tanda parpol, maka hal itu dianggap tidak sah. Seharusnya yang berlaku adalah sebaliknya, yakni mencoblos tanda gambar tanpa orang, justru dianggap tidak sah dan jika hanya mencoblos orang tanpa tanda gambar dianggap sah.

Gambar

Grafik berikut ini menunjukkan demokrasi Indonesia yang mengalami perbaikan   mendekati tingkat Thailand dan  Filipina
Tabel 2 - Pandangan terhadap Anggota DPR/D  PANDANGAN TERHADAP  ANGGOTA DPR  PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD I  PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD II  Sudah mewakili  22%  Sudah mewakili  25%  Sudah mewakili  34%

Referensi

Dokumen terkait

Program Kerja peningkatan Angka Efisiensi Edukasi sudah dilakukan prodi Sistem Informasi Stikom Surabaya sejak tahun 2015. Pada tahun 2016 sudah dilaksanakan

Dalam sistem ini, model management dapat melakukan perubahan kriteria penilaian, yaitu dapat melakukan penambahan dan penghapusan kriteria sehingga sistem dapat

Proyek akhir yang bertema Hanoman Duta dikemas dalam konsep tradisi 40% dan dipadukan dengan tekno 60% ini bertujuan untuk 1) menghasilkan rancangan kostum,

Two tier test memiliki dua keuntungan, pertama two tier test dapat menurunkan kesalahan pengukuran pemahaman siswa karena pada one tier dengan empat atau lima

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis

Pembuatan dokumen presentasi melalui paket aplikasi Office merupakan metode yang paling lazim digunakan. Salah satu aplikasi dominan untuk keperluan ini adalah

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan strategi pengelolaan hutan yang berkelanjutan sesuai dengan potensi sumberdaya hutan yang sebenarnya

pendidikan agama Islam dalam membentuk sikap religius siswa, dengan mendeskripsikan nilai-nilai religius yang ditanamkan guru pendidikan. agama Islam kepada siswa, dengan