• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tindak penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang meliputi Narkotika Golongan I, II, dan III (termasuk prekursor). Peredaran dan penyalahgunaan narkotika beserta prekursornya diawasi oleh pemerintah Indonesia melalui Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia telah berhasil mengungkap sejumlah kasus penyalahgunaan narkotika. Tujuh kasus diantaranya terjadi di Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta (Jakarta), Depok (Jawa Barat), Sanggau (Kalimantan Barat), Tarakan (Kalimantan Utara), Pekanbaru (Riau), dan Banyu Asin (Sumatera Selatan) dari bulan Maret 2017 hingga awal Mei 2017. Barang bukti yang didapatkan berupa 30.329,5 gram sabu, 498 gram ganja sintetis, 1.518 gram narkotika dalam bentuk tanaman, 29.367 butir ekstasi, 62.959 mililiter prekursor cair, dan 311,2 gram prekursor padat. Barang bukti tersebut kemudian dimusnahkan pada 18 Mei 2017 lalu di Lapangan Parkir BNN, Cawang, Jakarta. BNN juga berhasil menyita dan memusnahkan barang bukti narkotika berupa 28.757,80 gram sabu, dan 167 butir ekstasi pada 15 Juni 2017 dari tiga kasus berikutnya yang terjadi di NTB, Bekasi, dan Sumatera Utara (BNN, 2017).

Banyaknya kasus penyalahgunaan narkotika dan prekursornya membuat pemerintah bekerja keras untuk mencari cara yang paling efektif dan efisien dalam mengidentifikasi jenis-jenis narkotika beserta bahan baku pembuatannya (prekursor). Penelitian ini akan berfokus pada deteksi salah satu prekursor narkotika, yaitu safrol. Safrol adalah bahan utama pembentuk isosafrol yang termasuk dalam kategori Prekursor Narkotika Golongan I.

Safrol merupakan salah satu senyawa aromaterapi yang diekstrak dari tanaman sassafras di bagian daun, batang, dan kulit kayu dari jenis Sassafras

(2)

albidum yang banyak tumbuh di bagian timur Amerika Serikat, mulai dari Florida

hingga selatan Maine, dan dari barat Iowa hingga Texas. Minyak esensial yang diperoleh dari hasil penyulingan uap Sassafras albidum mengandung 80% safrol. Minyak sassafras biasanya digunakan untuk tujuan medis, yaitu sebagai antiseptik, dan disinfektan pada akar gigi. Selain itu, minyak sassafras juga digunakan pada makanan sebagai zat perisa roti dan minuman ringan. Namun, penggunaan safrol sebagai zat tambahan pada makanan mulai dilarang di Amerika melalui Food and

Drug Administration sejak safrol diidenifikasi sebagai zat karsinogen pada tahun

1960 (Kamdem dan Gage, 1995).

Safrol juga merupakan prekursor dalam pembuatan pestisida sebagai bahan pestisida alami (Hickey, 1944) dan digunakan pula sebagai prekursor dalam pembuatan zat narkotika jenis 3,4-Methylenedioxymethamphetamine (MDMA) atau lebih dikenal dengan ekstasi (Barceloux, 2012). Lebih jauh lagi, Barceloux menjelaskan efek serius dari penyalahgunaan MDMA yang digunakan secara bersamaan dengan zat psikotropika lain (seperti etanol, kokain, dan amfetamin), yaitu delusi (berkhayal), mengigau, kegilaan akut, keinginan bunuh diri, kekerasan, hipertermia (peningkatan suhu tubuh yang disebabkan oleh gangguan dalam mekanisme pengaturan nafas), dan hipotensi (tekanan darah rendah).

Deteksi safrol biasanya menggunakan Gas Kromatografi (GC) dan Gas Kromatografi-Spektroskopi Massa (GC-MS) untuk menganalisa komponen volatil yang ada pada minyak esensial kulit kayu Sassafras albidum. Presentase relatif dari minyak safrol diukur berdasarkan puncak-puncak dari GC Chromatogram. Kelebihan deteksi menggunakan Gas Kromatografi yaitu mampu memperlihatkan gugus-gugus senyawa pembentuk suatu bahan sehingga dapat diketahui secara jelas komponen-komponen penyusunnya. Namun, cara deteksi ini juga memiliki kelemahan, diantaranya proses deteksi yang tidak real time, perangkat alat yang tidak portable serta melibatkan gas helium dengan analisis monoterpener dan sesquiterpener yang menyebabkan cara deteksi ini menjadi kompleks (Kamdem and Gage, 1995). Sehingga, dibutuhkan suatu alat pendeteksi safrol yang lebih sederhana, real time, dan portable.

(3)

Salah satu cara untuk mendeteksi safrol yaitu dengan menggunakan sensor gas (uap) berbasis Quartz Crystal Microbalance (QCM). Cara ini lebih efisien karena dapat mendeteksi frekuensi gas (uap) tiap satu satuan waktu secara real time dengan perangkat alat yang portable. Uap safrol juga dapat diidentifikasi secara langsung melalui perubahan frekuensi QCM tiap variasi konsentrasi larutan safrol. QCM yang akan digunakan dalam sensor terbuat dari kuarsa tipis bening seperti preparat dengan lapisan emas di permukaannya sebagai elektroda. QCM terlebih dahulu dilapisi dengan suatu ligan yang akan menangkap analit (uap safrol).

Ligan yang digunakan untuk melapisi QCM berupa polimer. Kitosan dipilih sebagai polimer ligan karena memiliki gugus hidroksil dan gugus amina yang dapat mendeteksi senyawa organik volatil (Volatile Organic Compound/VOC) (Horzum

et al., 2014), serta uap gas senyawa amin (amine vapour) (Ayad dan Minisy, 2016),

(Zhang et al., 2017). Penelitian ini memanfaatkan gugus amino kitosan untuk berinteraksi dan menangkap uap safrol. Pelapisan kitosan di atas permukaan sensor QCM pada penelitian-penelitian sebelumnya dilakukan dengan cara meneteskan secara langsung larutan kitosan di atas permukaan elektroda QCM (metode drop

casting) dan ditunggu hingga kering. Ketebalan lapisan dapat diukur dari

banyaknya volume kitosan yang diteteskan di atas permukaan sensor QCM. Metode ini memiliki kelebihan yaitu lebih sederhana dan lebih mudah dilakukan. Namun, lapisan kitosan yang dideposisikan di atas permukaan sensor menggunakan metode

drop casting tidak merata (tebal di tengah, tipis di pinggir) serta dapat mengalami

perpindahan posisi di bagian antarmuka (interface) antara elektroda emas QCM dengan lapisan kitosan di atasnya sehingga pada penelitian ini pelapisan kitosan dilakukan dengan metode Self-Assembly Monolayer (SAM) (Gambar 1.1).

Self-Assembly Monolayer yaitu suatu proses dimana molekul-molekul

membentuk formasi secara spontan yang menghasilkan suatu struktur dengan keteraturan tinggi dan stabil melalui interaksi non-kovalen. Kelebihan metode SAM yaitu molekul-molekul yang membentuk lapisan monolayer berinteraksi kuat dengan substrat sehingga pada bagian antarmuka (interface) antara lapisan SAM dan substrat (elektroda emas QCM) tidak terjadi perpindahan posisi. Hal ini memudahkan untuk menambah lapisan kitosan (ligan) di atas lapisan SAM sebagai

(4)

komponen utama untuk mendeteksi uap safrol (analit). Self-Assembly Monolayer pada penelitian ini diawali dengan merendam QCM (dip coating) ke dalam larutan asam amino L-cysteine. L-cysteine berfungsi sebagai jangkar antara lapisan elektroda emas pada permukaan sensor QCM dengan polimer. Jangkar ini membantu polimer untuk tetap berada di tempatnya selama proses deteksi berlangsung. QCM yang telah terlapisi L-cysteine selanjutnya direndam dalam larutan glutaraldehyde. Glutaraldehyde berfungsi sebagai perekat antara L-cysteine dengan polimer. Proses terakhir yaitu merendam QCM ke dalam larutan kitosan 1%. Ketebalan lapisan dapat diatur dengan menghitung lama waktu perendaman (Roto, 1997).

QCM yang telah terlapisi dengan kitosan kemudian diletakkan pada ruang sensor dan dialiri dengan uap safrol melalui selang. Uap safrol sebagai analit akan berinteraksi dengan kitosan sebagai ligan dan menghasilkan luaran berupa frekuensi dalam fungsi waktu. Perubahan frekuensi terhadap waktu selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam menentukan massa uap safrol yang dideteksi.

analyte chitosan glutaraldehyde L-cysteine gold film quartz

Gambar 1.1 Ilustrasi lapisan-lapisan di atas permukaan QCM untuk mendeteksi analit (safrol)

(5)

Variasi konsentrasi larutan safrol juga dilakukan untuk membandingkan antara perubahan frekuensi dengan massa serta digunakan untuk mengukur sensitifitas sensor.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada menggunakan serangkaian alat sederhana yang telah diotomasi.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yang telah dijabarkan pada latar belakang di atas, adalah:

1. Bagaimana pengaruh perubahan frekuensi pada QCM setelah pelapisan kitosan terhadap proses deteksi uap safrol?

2. Bagaimana response time dari sensor QCM? 3. Bagaimana reproducibility sensor berbasis QCM?

4. Bagaimana sensitifitas sensor berbasis QCM sebagai pendeteksi safrol?

1.3. Batasan Masalah

Penelitian ini terbatas pada kajian awal deteksi uap safrol menggunakan QCM dengan kitosan sebagai lapisan polimer aktif. Pelapisan kitosan di atas permukaan QCM menggunakan metode Self-Assembly Monolayer dengan melibatkan asam amino L-cysteine dan glutaraldehyde sebagai coupling agent. Deteksi yang dilakukan yaitu mengamati perubahan frekuensi terhadap lama waktu sensing uap safrol dan tidak dilakukan perbandingan dengan uap atau gas lain. QCM yang digunakan merupakan QCM produksi Open QCM Novaetech S.r.l code

AT10-14-6 UP berdiameter 13,9 mm dengan kristal AT-cut yang telah terlapisi

elektroda emas dan memiliki frekuensi dasar 10 MHz serta sensitivitas hingga

4,42×10-9 g.Hz-1cm-2. Variabel yang dibuat tetap dalam penelitian ini yaitu QCM

yang telah terlapisi kitosan dengan variabel kontrol berupa QCM blank. Variasi yang dilakukan berupa variasi konsentrasi larutan safrol sedangkan suhu selama proses deteksi dibuat tetap (± 85°C).

(6)

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah, antara lain:

1. Menghitung perubahan frekuensi pada QCM setelah pelapisan kitosan terhadap proses deteksi uap safrol

2. Menentukan response time dari sensor QCM 3. Menentukan reproducibility sensor berbasis QCM

4. Menghitung sensitifitas sensor berbasis QCM sebagai pendeteksi safrol

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini, yaitu dapat digunakan untuk membantu dalam pemberantasan narkotika.

1.6. Kebaruan penelitian

Kebaruan dalam penelitian ini yaitu penggunaaan polimer kitosan dalam proses pendeteksian safrol. Kitosan memiliki gugus hidroksil dan amina yang dapat berikatan dengan senyawa aromatik dalam uap safrol. Selain itu, pembuatan kitosan menjadi suatu lapisan tipis pada permukaan QCM dilakukan secara dip coating (direndam) yang sebelumnya telah dilapisi dengan L-cysteine melalui

Aelf-Assembly Monolayer dan glutaraldehyde sebagai pengikat antara monolayer

Gambar

Gambar 1.1 Ilustrasi lapisan-lapisan di atas permukaan QCM untuk  mendeteksi analit (safrol)

Referensi

Dokumen terkait

Alat penghubung geser tersebut menghasilkan interaksi yang diperlukan untuk aksi komposit antara balok baja profil dan pelat beton, yang sebelumnya hanya menghasilkan lekatan

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

G Kerja-kerja membekal dan memasang kabel bawah tanah 4 teras 25mm PVC/SWA/PC untuk sambungan dari Feeder Pillar ke tiang (first pool) termasuk aksesori kelengkapan, sambungan

Diagram dekomposisi merupakan suatu bagian terstruktur yang menjelaskan bagian dari tiap proses sistem informasi e-commerce pada PT Bumi Sriwijaya Abadi Palembang yang

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Berdasarkan hasil penelitian pola bakteri aerob penyebab infeksi nosokomial pada ruangan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) BLU RSUP Prof.. D Kandou Manado maka dapat dirumuskan

61 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa dilema yang Jepang alami pada saat pengambilan keputusan untuk berkomitmen pada Protokol Kyoto adalah karena

2011 sangat memberi peluang optimalisasi diplomasi Indonesia dalam berperan memecahkan berbagai masalah yang ada baik di dalam negeri maupun di dalam kawasan