• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti 2004). Seiring dengan laju perubahan tersebut, pola hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga mengalami perubahan di berbagai bidang khususnya bidang administrasi dan bidang keuangan (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama otonomi daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia memiliki landasan yuridis yaitu Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah. Adanya pergantian tersebut menunjukan bahwa otonomi daerah di Indonesia bergerak dinamis seiring kondisi masyarakat yang ada (Hadi 2009; Wawuru 2009).

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengatur tentang sistem pemerintahan di era otonomi daerah yang lebih metitikberatkan pada peran aktif pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembangunan dan urusan daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat sangat terbatas dan hanya menyangkut keamanan

(2)

2 dan stabilitias nasional seperti urusan politik luar negeri, Hankam, dan peradilan moneter dan fiskal (UU No. 32 Tahun 2004; Triastuti 2004). Oleh karena itu, pemerintah daerah harus lebih cermat dalam mempersiapkan sumber daya kelembagaan maupun keuangan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan pembangunan.

Masyarakat menyakini bahwa otonomi daerah ini merupakan jalan alternatif terbaik (Hadi 2009) untuk mendorong pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan (Hadi 2009; Oates 1993; Barzelay 1991). Sistem pemerintahan ini dinilai jauh lebih baik dibandingkan sistem sebelumnya yaitu sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) yang banyak dianggap sebagai faktor utama penyebab lambatnya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta penyebab semakin besarnya ketimpangan antar pusat dan daerah maupun antar daerah satu dengan daerah lain (Mardiasmo 2002).

Menurut Cheema dan Rondinelli (1989) serta Sidik (2001) dalam Triastuti (2004), selama pelaksanaan otonomi daerah setidaknya terdapat empat elemen penting yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Keempat elemen tersebut adalah desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi administrasi dan desentralisasi ekonomi. Empat elemen itu merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan wajib untuk dikelola secara efektif dan efisien sehingga akan tercapai kemandirian atau kemampuan suatu daerah untuk melaksanakan fungsinya dengan baik.

(3)

3 Salah satu elemen yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut adalah desentralisasi fiskal (fiscal decentralisation) yang merupakan komponen utama dari otonomi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, maka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, maupun dari subsidi/bantuan dari pemerintah pusat (Wulandari 2001).

Aspek keuangan menjadi salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber penerimaan yang dimiliki guna membiayai pembangunan dan kebutuhan rumah tangganya sendiri tanpa harus bergantung pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. Sependapat dengan hal itu, Kaho (1988) dalam Nahmiati (2008) menyebutkan bahwa kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kemampuan self

supporting dalam bidang keuangan.

Kemampuan suatu daerah dalam mengatur dan mengelola keuangan ini dapat dilihat pada struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing. Suatu daerah dapat dikatakan mandiri apabila pos PAD dalam APBD memiliki proporsi yang relatif tinggi dibandingkan total penerimaan (Reksohadiprojo 2001 dalam Triastuti 2004). Demikian sebaliknya, jika proporsi pendapatan daerah yang berasal dari pemerintah pusat lebih besar dibandingkan total penerimaan daerah maka daerah tersebut dapat dikatakan memiliki ketergantungan fiskal atau belum mandiri dalam hal finansial (Triastuti 2004).

(4)

4 Isu keuangan merupakan permasalahan serius yang dirasakan oleh seluruh daerah di Indonesia. Hal itu disebabkan karena rendahnya kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran rutin daerah serta masih besarnya ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat (Wawuru 2009). Nahmiati (2008) menunjukan bahwa proporsi PAD terhadap total pendapatan di sebagian besar daerah di Indonesia hanya 15,4 persen, yang artinya pembiayaan pembangunan daerah lebih banyak di subsidi oleh pemerintah pusat daripada PAD. Kecuali DKI Jakarta, PAD provinsi di Indonesia hanya mampu membiayai tidak lebih dari 30 persen pengeluaran rutinnya sedangkan kabupaten/kota dibawah dari 22 persen pengeluarannya yang dibiayai PAD (Nahmiati 2008).

Saat ini, salah satu daerah yang masih memiliki ketergantungan fiskal adalah Provinsi Jawa Tengah. Hal itu dibuktikan dengan realisasi penerimaan dana perimbangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, yaitu sebesar Rp2.694.385.621 ribu (lihat gambar 1 dibawah). Berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa Provinsi Jawa Tengah masih mengandalkan sumbangan pemerintah pusat guna membiayai pengeluaran rutin dan biaya pembangunan. Menurut data tersebut, rata-rata realisasi penerimaan dana perimbangan yang diterima oleh seluruh provinsi di Indonesia yaitu sebesar Rp2.139.835.956 ribu sedangkan Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang mempunyai realisasi dana perimbangan terbesar diantara provinsi lain di Indonesia pada tahun 2015. Besarnya penerimaan dana di daerah tersebut berasal dari dana bagi hasil pajak dengan proporsi yang mencapai 99,21 persen.

(5)

5 Gambar 1 Dana Perimbangan Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2015 (Ribu

Rupiah)

Sumber: BPS Tahun 2015* (Diolah) *)Data APBD

Kemudian tingkat ketergantungan Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014 apabila dilihat berdasarkan komposisi dana perimbangannya maka akan terlihat seperti gambar berikut.

Gambar 2 Rata-Rata Komposisi Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014

Sumber: BPS Tahun 2015 (data diolah)

Diagram diatas merupakan gambaran rata-rata komposisi dana perimbangan Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2010-2014. Seperti yang terlihat pada gambar tersebut, rata-rata presentase pendapatan dana perimbangan Provinsi

DAU 67,05% DAK 2,64% BHP-BHBP 30,31%

(6)

6 Jawa Tengah terbesar berasal Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 67,05%, kemudian Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHP-BHBP) sebesar 30,31% dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 2,64%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan Provinsi Jawa Tengah terhadap dana pihak luar masih cukup tinggi.

Indikator lain yang digunakan untuk mengetahui kemadirian suatu daerah adalah dengan melihat besarnya rasio PAD terhadap total pendapatan daerah (Kementrian Keuangan RI 2011; Suci 2013; Aulia 2014). Kondisi perkembangan realisasi PAD Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada grafik 1 dibawah. Terlihat dari grafik tersebut, penerimaan PAD Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu 2010-2014 selalu mengalami peningkatan. Rata-rata penerimaan PAD Provinsi Jawa Tengah selama periode tersebut adalah sebesar Rp7.021.566.652 ribu dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 20,01% tiap tahun. PAD Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 adalah sebesar Rp4.785.133.227 ribu kemudian pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp9.916.358.231 ribu. Peningkatan ini terjadi karena adanya inisiatif dan upaya pemerintah daerah dalam mengoptimalkan potensi penerimaan terutama dari sisi pajak daerah dan retribusi daerah.

(7)

7 Grafik 1 Perkembangan PAD Provinsi Jawa Tengah Periode 2010-2014 (Ribu

Rupiah)

Sumber: BPS Tahun 2015 (data diolah)

Di Indonesia, desentralisasi fiskal merupakan salah satu kunci utama pembangunan dan pemerataan dalam era otonomi daerah (Mardiasmo 2002). Hal itu disebabkan karena adanya aliran transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah akan mendorong perekonomian daerah tumbuh dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Namun, jika pemerintah daerah hanya bergantung pada dana bantuan maka dana tersebut tidak akan cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan (Wawuru 2009). Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mencari sumber pendapatan daerah lainnya dengan cara menggali potensi yang dimiliki.

Apabila suatu daerah memiliki tingkat kemandirian yang tinggi (tidak bergantung kepada dana transfer lagi karena mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki) maka daerah tersebut diharapkan memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula, demikian sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi ini di cerminkan dengan perubahan (kenaikan/penurunan) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perlu

4.785.133.227 5.564.233.152 6.629.308.010 8.212.800.641 9.916.358.231 2010 2011 2012 2013 2014

(8)

8 diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu provinsi merupakan komposit dari pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di provinsi tersebut maka pertumbuhan kabupaten/kota di provinsi tersebut juga perlu dicermati. Pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 (Persen)

Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-Rata Kabupaten Cilacap 4,43 4,07 1,98 2,09 2,96 3,11 Kabupaten Banyumas 5,77 6,61 5,88 6,89 4,78 5,99 Kabupaten Purbalingga 5,67 5,67 5,79 5,61 5,73 5,69 Kabupaten Banjarnegara 4,89 5,44 5,23 5,26 5,07 5,18 Kabupaten Kebumen 4,15 6,15 4,88 4,65 5,80 5,13 Kabupaten Purworejo 5,01 5,64 4,59 5,11 4,63 5,00 Kabupaten Wonosobo 4,29 5,37 4,70 5,25 4,16 4,75 Kabupaten Magelang 4,51 6,68 4,88 6,30 4,87 5,45 Kabupaten Boyolali 3,60 6,34 5,33 5,83 5,04 5,23 Kabupaten Klaten 1,73 6,29 5,71 6,27 5,38 5,08 Kabupaten Sukoharjo 4,65 5,88 5,90 5,78 5,26 5,49 Kabupaten Wonogiri 3,14 3,58 5,94 4,79 5,26 4,54 Kabupaten Karanganyar 5,42 4,95 5,72 5,69 5,12 5,38 Kabupaten Sragen 6,06 6,55 6,12 6,71 5,59 6,21 Kabupaten Grobogan 5,05 3,19 5,08 4,55 4,03 4,38 Kabupaten Blora 5,52 4,42 4,90 5,36 4,39 4,92 Kabupaten Rembang 4,45 5,19 5,32 5,41 5,15 5,10 Kabupaten Pati 5,11 5,91 5,93 5,90 4,54 5,48 Kabupaten Kudus 4,16 4,24 4,11 4,53 4,26 4,26 Kabupaten Jepara 4,52 4,92 5,86 5,25 4,64 5,04 Kabupaten Demak 4,12 5,39 4,46 5,27 4,27 4,70 Kabupaten Semarang 4,90 6,27 6,03 6,87 6,00 6,01 Kabupaten Temanggung 4,31 6,09 4,27 6,14 5,15 5,19 Kabupaten Kendal 5,95 6,57 5,21 5,93 5,10 5,75 Kabupaten Batang 4,97 6,12 4,62 5,84 5,31 5,37 Kabupaten Pekalongan 4,27 5,66 4,81 5,99 4,92 5,13 Kabupaten Pemalang 4,94 5,01 5,32 5,53 5,52 5,26 Kabupaten Tegal 4,83 6,39 5,23 6,75 5,00 5,64

(9)

9 Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-Rata Kabupaten Brebes 4,94 6,65 4,58 5,97 5,32 5,49 Kota Magelang 6,12 6,11 5,37 6,04 4,88 5,70 Kota Surakarta 5,94 6,42 5,58 6,17 5,24 5,87 Kota Salatiga 5,01 6,58 5,53 6,27 4,80 5,64 Kota Semarang 5,87 6,58 5,97 6,64 5,30 6,07 Kota Pekalongan 5,51 5,49 5,61 5,91 5,48 5,60 Kota Tegal 3,79 6,47 4,21 5,45 5,03 4,99 Rata-rata 5,25

Sumber : Daerah Dalam Angka BPS (2009-2015)

Tabel 1 diatas menunjukan laju pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014. Selama periode tersebut, terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah sebesar 5,25 persen per tahun. Sementara itu, daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu Kabupaten Sragen disusul Kota Semarang dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 6,21 persen dan 6,07 persen tiap tahun. Sedangkan rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Cilacap sebesar 3,11 persen per tahun.

Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu 2011-2014 menempati posisi yang paling rendah dengan rata-rata 5,25 persen. Provinsi Banten merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi selama periode tersebut dengan rata sebesar 6,5 persen disusul oleh Provinsi DKI Jakarta dengan rata-rata 6,31 persen dan Provinsi Jawa Timur dengan rata-rata-rata-rata 6,25 persen (lihat grafik 2 dibawah).

(10)

10 Grafik 2 Laju Pertumbuhan Ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2011-2014

Sumber: BPS (data diolah)

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul, ”Analisis Kemandirian Keuangan Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014.”

1. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014?

2. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014?

0 1 2 3 4 5 6 7 8 2011 2012 2013 2014 P er se n (% )

DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH

(11)

11

1. 3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2010-2014.

2. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014.

1. 4. Manfaat

1. Memberikan data dan informasi lengkap mengenai kondisi tingkat kemandirian keuangan daerah dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Memberikan saran dan rekomendasi untuk optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah serta dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan daerah khususnya di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang relevan dengan rekomendasi hasil penelitian.

1. 5. Kerangka Pemikiran

Penerapan otonomi di Indonesia secara umum terbagi atas empat hal menurut Sidik (2001) dalam Triastuti (2004) yaitu desentralisasi politik, administratif, fiskal dan desentralisasi ekonomi. Salah satu tujuan desentralisasi fiskal adalah peningkatan kemandirian daerah dalam hal pendanaan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (Suci 2013). Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan tersebut sampai saat ini belum dapat tercapai oleh

(12)

masing-12 masing daerah dan bahkan masih ada beberapa daerah yang memiliki tren kemandirian yang baik namun tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik pada daerah tersebut atau sebaliknya. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk melihat pengaruh kemandirian keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut menjadi acuan penelitian untuk menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Untuk mengetahui kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah, metode analisis digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Sedangkan analisis regresi data panel digunakan untuk melihat adanya pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara sistematis kerangka konsep pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Otonomi Daerah Desentralisasi Fiskal Kemandirian Keuangan Daerah Pertumbuhan Ekonomi Analisis Pengaruh (Regresi Data Panel) Analisis Deskriptif

Kuantitatif

Rekomendasi Kebijakan

Gambar

Gambar 2 Rata-Rata Komposisi Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah  Tahun 2010-2014
Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2010 Menurut Kabupaten/Kota di  Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 (Persen)
Tabel  1  diatas  menunjukan laju  pertumbuhan ekonomi  yang dialami  oleh  kabupaten  dan  kota  di  Provinsi  Jawa  Tengah  tahun  2010-2014
Gambar 3 Kerangka Konsep Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Alat pembongkar (remover) adalah alat khusus (SST) yang dipakai untuk melepas atau membongkar komponen seperti bearing, sil oli (oil seal), bushing, dan sebagainya. Contoh

Perlakuan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan jumlah cabang, jumlah daun, diameter batang, jumlah bunga, jumlah bintil akar, dan luas daun per pot tanaman kacang pinto

Berdasarkan kajian literatur yang telah dipaparkan, diperoleh hasil faktor- faktor yang mempengaruhi pemilihan kebaya adalah: (1) desain kebaya yang selalu

Setiap jenis masker memiliki kemampuan melindungi (filtrasi) yang berbeda beda yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu diantaranya jenis bahan, penggunaan

Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu “Ada hubungan status gizi dengan hasil belajar siswa kelas I SD Negeri

Data hasil belajar siswa dalam penelitian ini diperoleh melalui uji hipotesis yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa pada materi bahan kimia

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada disebabkan karena baik pada kelompok kasus maupun kelompok kendali bertempat tinggal pada lingkungan

• $0 ( Total Dissolved Solids ) adalah zat padat terlarut3residu terlarut dimana sampel disaring dengan kertas 'ilter, cairan yang lolos dikeringkan pada suhu 14 o  hingga