• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. bagi banyak orang. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. bagi banyak orang. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Dunia waria, wadam atau banci, merupakan bentuk kehidupan yang unik bagi banyak orang. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan tidak ubahnya seperti kaum perempuan lainnya (Koeswinarno, 2004). Menurut data Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Departemen Dalam Negeri, jumlah waria di Indonesia tahun 2005 lalu, mencapai 400.000 jiwa. Jumlah ini masih berupa fenomena gunung es, karena masih banyak waria yang belum masuk dalam hitungan, dan disinyalir angka ini akan terus bertambah setiap tahunnya (Sujatmiko dalam Tempointeraktif, 2005).

Sebagai individu maupun mahluk sosial, waria berusaha untuk mendapat bagian dalam berbagai ruang sosial (Koeswinarno, 2004). Berbagai cara mereka lalui untuk mendapat pengakuan atas keberadaan mereka, diantaranya adalah munculnya penyelenggaraan kontes Miss Waria, baik di tingkat daerah maupun nasional dan munculnya berbagai figur waria ke permukaan, baik melalui keahlian dan kecerdasan mereka. Munculnya berbagai figur waria ke permukaan merupakan langkah awal usaha untuk diterima di masyarakat. Baik melalui keahlian, kecerdasan dan lain sebagainya. Sebut saja Merlyn Sopjan, seorang penulis buku ”Jangan Lihat Kelaminku”. Waria lulusan Institut Teknologi Nasional Malang ini, pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif Kota

▸ Baca selengkapnya: di sebuah desa berpenduduk 10000 orang 15 diantaranya adalah laki-laki buta warna

(2)

Malang mewakili Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia pada tahun 2003. Waria cantik kelahiran Kediri ini bahkan dianugerahi gelar Doktor HC dari Northern California Global University Amerika karena keterlibatannya sebagai aktivis sosial HIV/AIDS. Ketua Ikatan Waria Malang ini pernah menyandang gelar Ratu Waria Indonesia 1995 (Suara Merdeka dalam STUDIA, 2006). Megie Megawatie, adalah waria yang berjuang keras agar kaumnya tidak terpinggirkan, yaitu melalui kontes waria. Selain itu, ada Shunniyah R.H, waria berkerudung, yang menulis buku”Jangan Lepas Jilbabku.” Dia adalah alumni Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, jurusan sosial politik dengan predikat Cum Laude, yang menyelesaikan bangku kuliah dalam waktu hanya 3 tahun 40 hari (Muslichan, Wiramada, & Galih dalam Indosiar ”Hitam Putih”, 2006).

Namun, sampai saat ini, waria masih mendapat perlakuan yang negatif dari berbagai pihak. Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat memiliki pemahaman atau konsep yang salah mengenai kaum minoritas ini (Yash, 2003). Dalam masyarakat, sebagian besar waria dikenal keberadaannya karena mereka kerap beraksi menghentikan kendaraan yang melintas di sejumlah pinggir jalan Jakarta, seperti di kawasan Menteng Jakarta Pusat yang mereka sebut ”teli” atau ”taman lawang”, kawasan Jalan Brawijaya Jakarta Selatan, serta ”kawasan boker”, Jalan Raya Bogor. Mereka-mereka inilah sebagai penjaja kenikmatan untuk mengumpulkan rupiah (Muslichan, Wiramada, & Galih dalam Indosiar ”Hitam Putih”, 2006). Konstruksi sosial masyarakat selama ini terbiasa melihat kehidupan waria yang selalu identik dengan dunia pelacuran atau prostitusi. Pandangan ini secara tidak langsung akan melahirkan pengasingan sosial dan

(3)

penolakan terhadap keberadaan waria (Nadia, 2005). Begitu juga dari segi religi, secara umum agama-agama besar yang ada di Indonesia menolak keberadaan mereka (STUDIA, 2006).

Kemala Atmojo (1986 dalam Nadia, 2005) menjelaskan bahwa, waria adalah fenomena transseksualitas. Melalui pengamatan yang dilakukan, diasumsikan bahwa sebagian besar dari mereka merupakan transseksual. Istilah waria memang ditunjukkan untuk seorang transseksual (seseorang yang memiliki fisik yang berbeda dengan keadaan jiwanya). Ma’shum & Tyas (dalam Kompas, 2004) memberikan pengertian sederhana mengenai waria. Waria secara fisik ingin berpenampilan seperti wanita, dan secara psikologis dia mengidentifikasikan dirinya sebagai wanita, namun secara biologis adalah pria dengan organ reproduksi pria. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kata waria menggantikan transseksual atau genderidentitydisorder, karena sebutan waria ini merupakan representasi bahasa Indonesia (waria/wanita-pria) dan lebih mudah dikenali dan dipahami oleh masyarakat secara umum.

Berdasarkan referensi klinis, terlihat bahwa laki-laki memiliki frekuensi enam kali lebih tinggi dari wanita menjadi transsexual (Zucker et al. dalam Davidson, Neale & Kring, 2004). Masih dalam buku yang sama, berdasarkan data

American Psychiatric Association menyatakan prevalensi gangguan ini berbeda tajam, satu di antara 30.000 laki-laki, dan satu di antara 100.000-150.000 perempuan mengalami gangguan ini.

Pembentukan “waria” tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan proses yang cukup panjang. Munculnya fenomena kewariaan tidak lepas dari

(4)

kebiasaan-kebiasaan pada masa anak-anak ketika mereka dibesarkan di dalam keluarga, yang kemudian mendapat penegasan pada masa remaja, yang menjadi penyumbang terciptanya waria. Tidak satu pun waria yang “menjadi waria” karena proses mendadak (Nadia, 2005). Hidup sebagai waria adalah hasil akhir dari akumulasi masalah-masalah yang dihadapi semasa proses “menjadi waria”, yang berlangsung dari masa anak-anak hingga ia mencapai dewasa (Koeswinarno, 2004).

Contohnya adalah bernama Shika (dalam Koeswinarno, 2004), seorang waria yang dibesarkan dalam keluarga Jawa yang sangat kental dan ketat. Menurut pengakuannya, sejak kecil penampilannya sudah berbeda dibandingkan dengan teman-teman laki-laki sebayanya. Shika masih ingat ketika ibunya hendak pergi ke pasar Beringharjo, ia justru memesan kepada ibunya perlengkapan permainan anak perempuan, bukan peralatan permainan anak laki-laki. Peristiwa-peristiwa demikian ini terjadi berulang kali dan di luar kesadaran orang tua terhadap perilaku anaknya. Tanda-tanda berbeda tersebut jarang disadari oleh orang tua mereka, sehingga ketika perilaku itu menjadi perilaku yang menetap pada masa menginjak remaja, baru orang tua menyadari ada yang berbeda dengan anaknya. Sopjan (2005) mengalami hal yang serupa, dalam bukunya yang berjudul “Jangan Lihat Kelaminku, Suara Hati Seorang Waria”, mantan ratu waria ini mengungkapkan, sejak kecil dia sudah merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Terlihat dari tokoh pahlawan yang disukainya yang berjenis kelamin wanita, kesukaannya memakai pakaian yang ketat. Tanda ‘berbeda’ itu baru

(5)

disadari ibunya saat dia berusia 18 tahun, surat cintanya pada “cowok”nya dibaca oleh kakak perempuannya.

“saat gue usia 18, ibu gue tahu bahwa gue lain. Gara-gara surat buat cowok gue yang gue simpan di lemari terbaca kakak perempuan gue. Gue inget banget, sepulang sekolah ibu gue masuk ke kamar gue dengan raut wajah yang gue gak bisa lukiskan”

Dalam proses menjadi waria, individu mengalami masa dimana individu melakukan cross dressing (menggunakan pakaian lawan jenisnya) secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan secara rahasia, karena ada ketakutan akan terbongkarnya perilaku mereka, dan adanya pertimbangan akan konsekuensi yang diterimanya jika perilakunya terbongkar (Ekins, 1997). Kejadian ini dialami oleh seorang waria (Koeswinarno, 2004) yang tidak disebutkan namanya untuk alasan kerahasiaan.

“Ketika SMP, saya sering bercermin, memakai pakaian perempuan milik kakak saya dengan cara sembunyi-sembunyi di kamar. Sambil bergaya dan bicara sendirian, saya merasa ada hal yang tidak sama dengan fisik saya. Sering pula saya mencuri lipstik milik kakak perempuan saya atau ibu saya, sampai-sampai pernah suatu ketika ketahuan bapak. Habislah saya.

Saya dimarahi habis-habisan. Meskipun tidak sampai memukul, tetapi kemarahan ayah saya itu benar-benar menunjukkan ketidaksenangan kepada saya”

Seiring dengan adanya kesadaran bahwa waria memiliki orientasi seksualnya berbeda, yang mungkin diketahuinya dari ulasan atau artikel dari majalah atau telah bertemu dengan waria lainnya, terdapat keinginan dan usaha yang semakin kuat untuk melakukan cross-dressing (Walters & Ross, 1986). Selain memakai pakaian perempuan, mereka juga memakai kosmetik, dan juga aksesoris perempuan (Johnson & Gordon, 1980), menghilangkan bulu-bulu kaki,

(6)

dan bahkan merubah suaranya menyerupai warna suara perempuan (Koeswinarno, 2004). Tidak hanya mengubah penampilannya, waria juga berusaha mengubah fisik mereka dengan berbagai cara. Baik melalui operasi payudara, bibir (Nadia, 2005), dan melakukan usaha manipulasi hormon (DSM-IV-TR, 2004). Untuk mengukuhkan diri sebagai perempuan, beberapa waria melakukan tindakan medis yang ekstrim, yaitu operasi penggantian kelamin, seperti yang dilakukan oleh Dorce Gamalama, seorang entertainer terkenal di Indonesia. Dorce (dalam Gamalama & Gunawan, 2005) melakukan operasi penggantian kelamin di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya. Setelah itu, dia juga mengurus pengubahan jenis kelaminnya secara hukum di Pengadilan Negeri Surabaya, yang dikabulkan pada tahun 1986.

Peran keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan waria. Seorang waria yang dilahirkan dalam keluarga yang baik-baik, taat beragama, berpendidikan, ditambah dengan keberadaan orang tua yang pada akhirnya menerima keberadaan mereka secara otomatis akan mempunyai pengaruh yang baik bagi perkembangan waria. Karena, jika keluarga sudah menerima keberadaan mereka, maka dukungan, baik itu secara moril atau pun materiil akan mereka dapatkan. Kemungkinan untuk dapat diterima oleh masyarakat dengan baik akan semakin tinggi pula. Di Indonesia secara umum, hadirnya seorang waria tidak pernah dikehendaki oleh keluarganya. Dalam banyak kasus, banyak waria yang akhirnya pergi meninggalkan rumah dan keluarganya, setelah keluarganya menyadari bahwa dia “berbeda” dengan

(7)

laki-laki pada umumnya. Tidak banyak waria yang diterima dengan baik oleh keluarganya (Nadia, 2005).

Selain keluarga, masyarakat juga berperan penting dalam proses “menjadi waria”. Yash (2003) mengemukakan, bahwa pandangan masyarakat memberi pengaruh besar pada proses pencapaian eksistensi seorang waria. Masyarakat Indonesia saat ini memiliki pemahaman yang salah terhadap waria dikarenakan minimnya sumber informasi yang layak mengenai waria. Koeswinarno (2004) menambahkan, tekanan-tekanan dari masyarakat muncul lebih kompleks dibandingkan tekanan yang ada dalam keluarga. Pandangan bahwa dunia waria identik dengan pelacuran, melahirkan rekasi negatif dari masyarakat pada waria. Waria kerap dikucilkan, dicemooh, diprotes, dan ditekan dengan aturan yang ketat oleh lingkungan.

Proses “menjadi waria” yang dikemukakan di atas, mempunyai konsep yang selaras dengan konsep male femaling yang dikemukakan oleh Ekins. Ekins (1997), mengartikan male femaling sebagai sebuah proses sosial yang terdiri dari sekumpulan fase, dimana individu yang secara genetik merupakan laki-laki, menjadi “perempuan” dengan berbagai cara, mengadopsi pikiran, perasaan, sikap, perilaku, perlengkapan dan atribut perempuan. Fase-fase tersebut terlihat jelas dalam ideal-typical career path of male femaling. Terdapat lima fase yaitu:

beginning male femaling (fase terjadinya perilaku femaling awal), fantasying male femaling (fase dimana individu memiliki pikiran dan fantasi menjadi perempuan),

doing male femaling (fase dimana terdapat perilaku dan keinginan femaling yang lebih serius dari sebelumnya), constituting male femaling (fase penetapan makna

(8)

akan diri sendiri), dan consolidating male femaling (fase kesadaran diri dan penetapan rencana ke depan mengenai hidup dan identitas diri).

Teori ideal-typical career path of male femaling didasarkan pada penelitian Ekins yang dilakukan selama hampir 17 tahun, terhadap ribuan waria di berbagai kota di Ingris. Menurut Ekins, fase-fase ini merupakan fase yang “ideal”, sehingga tidak semua waria menjalani setiap fase, dan setiap waria menjalani proses male femaling dengan cara berbeda-beda. Perlakuan yang diterima dari lingkungan sekitar (keluarga dan masyarakat) pada setiap fase memberi pengaruh yang cukup besar pada proses male femaling. Di samping itu akses informasi dan teknologi juga mempengaruhi proses ini (dalam Ekins, 1997).

Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa setiap waria menjalani

male femaling dengan cara yang berbeda-beda. Proses tersebut dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga dan masyarakat) dan akses waria pada bidang informasi dan teknologi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana proses menjadi waria dengan menggunakan teori ideal-typical career path of male femaling yang dikemukakan oleh Ekins sebagai pedoman.

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk mengetahui “bagaimana ideal-typical career pathof male femaling pada waria”.

(9)

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai fase-fase ideal-typical career path of male femaling pada waria, dengan melihat secara spesifik setiap fase yang dilalui oleh waria.

I.D. Manfaat Penelitian I.D.1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai ideal-typical career path of male femaling pada waria.

b. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai waria, terutama yang berkaitan dengan male femaling pada waria.

I.D.2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah: sebagai bahan referensi atau acuan bagi kalangan yang tertarik dan terlibat dalam kehidupan waria.

I.E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

(10)

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai pengertia waria, kriteria diagnostik waria, etiologi waria, dan teori

ideal-typicalcareerpath of male femaling.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpul data, subjek penelitian, serta prosedur analisis data.

BAB IV : Analisis Data

Bab ini menguraikan analisis data dari hasil dari data utama berupa data wawancara dan data tambahan berupa data observasi yang dilakukan terhadap subjek penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir dalam skripsi ini, di dalamnya dibahas kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperoleh gambaran mengenai sifat laki-laki dan perempuan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha yang dikaitkan dengan jenis kelamin, usia, suku, agama,

Untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi sebagai hasil pelaksanaan bimbingan konseling Islam dalam menangani sikap fiksasi anak dengan pendekatan moral development di

Bab ketiga, memaparkan gambaran mengenai hasil penelitian terhadap lokasi tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya, kegiatan yang dilakukan oleh pemilik tambak

Selain untuk melihat persepsi mengenai program, konsumen Gofood merupakan subjek yang perlu dikaji mendalam untuk melihat pengetahuan dan kebiasaannya dalam konteks ramah

Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut (Moleong, 2005: 3). Guna memperoleh gambaran yang

Melihat tanggapan sentimen masyarakat terhadap keluarga tersebut sebetulnya menjadi beban tersendiri bagi keluarga, seperti wawancara dengan SG yang dimana menyebutkan

Teknik wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang dirancang atau yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban

Mahasiswa tahun pertama yang kost merasa bahwa orangtua bukan sebagai orang yang paling ideal; dapat melihat dan berinteraksi dengan orangtua sebagai orang dewasa pada umumnya;