• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. aspirasinya dalam menentuan wakil-wakilnya baik di lembaga legislatif maupun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. aspirasinya dalam menentuan wakil-wakilnya baik di lembaga legislatif maupun"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentuan wakil-wakilnya baik di lembaga legislatif maupun eksekutif juga sebagai sarana ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Demokrasi di indonesia mengalami perubahan yang signifikan pasca runtuhnya rezim orde baru. Kehidupan berdemokrasi menjadi jauh lebih baik, rakyat dapat dengan bebas mengeluarkan pendapat dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang sangat dibatasi pada orde baru .

Dengan lahirnya pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu langkah maju dalam proses demokrasi di indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekruitmen politik lokal secara demokratis 1

Dalam upaya mewujudkan terlaksananya pemilihan kepala daerah langsung dibentuklah UU No. 24 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti UU no. 22 tahun 1999 merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung

.

2

Disamping itu pemerintah juga telah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) No. 6/2005 sebagai petunjuk teknis tentang pelaksanaan pilkada langsung.

.

1 Joko, j, prihatmoko, pilkada secara langsung, Yogyakarta : pustaka pelajar, 2005, hal. 21 2 Daniel S Salosa, Mekanisme, persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Secara Langsung, Yogyakarta: Media presindo, 2005, hal.9

(2)

Pilkada langsung dapat pula dikatakan atas sebagai koreksi atas sistem pilkada yang terdahulu yang menggunakan mekanisme perwakilan oleh DPRD. Peralihan sistem perwakilan ke sistem pilkada langsung menyiratkan bahwa fungsi perwakilan yang selama ini di jalankan oleh DPRD yang seharusnya merupakan lembaga perwakilan yang memperjuangkan aspirasi rakyat, tapi justru berseberangan dengan rakyat. Dengan pelaksanaan pilkada langsung, maka praktek-praktek kolotif yang sering terjadi diantara eksekutif maupun legislatif yang sering terjadi pada pemilihan kepala daerah terdahulu diharapkan dapat dihilangkan.

Melalui azas-azas yang terdapat dalam pilkada langsung yaitu azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil maka pemilihan kepala daerah langsung dianggap telah memenuhi parameter demokrasi3. Pilkada bukan saja berfungsi sebagai sarana untuk mengganti, akan tetapi juga berfungsi sebagai media penyalur aspirasi rakyat, mengubah kebijakan-kebijakan, mengganti sebagai suatu pemerintahan yang ada dan meminta pertanggungjawaban publik4

Dengan lahirnya UU No. 6 tahun 2005 maka pemilihan kepala daerah langsung merupakan keputusan hukum yang harus dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia. Hak hak dasar masyarakat di daerah dikembalikan dengan memberikan suatu kewenangan penuh kepada masyarakat untuk memilih secara langsung orang – orang yang akan menjadi pemimpin di dareahnya. Tentu saja dalam pemilihan ini rakyat dapat diharapkan dapat memilih calon pemimpin yang

3 Ibid, hal.20

(3)

dinilai mampu untuk mewujudkan cita cita dan kehendak rakyat yaitu terciptanya kesejahteraan. Akan merupakan sumber kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat memegang suatu peranan penting dalam proses rekruitmen politik maupun dalam menentukan proses pembuatan kebijakan publik rakyat bukan hanya dapat memilih calon pemimpinnya tetapi dapat pula mencalonkan dirinya menjadi seorang pemimpin.

Pengesahan UU No 32 Thn 2004 yang merupakan revisi dari UU No 22 tahun 1999 yang mengamanatkan kepala daerah tingkat I dan tingkat II dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa sistem pemilihan kepala daerah telah mengalami perubahan kearah yang lebih demokratis.

Rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya dalam memilih pemimpin mereka semangat pemilihan kepala daerah secara langsung adalah memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan di daerah masing – masing. Sehingga diharapkan kebijakan – kebijakan dari pemerintah nantinya sesuai dengan keinginan rakyat pada umumnya, atau dengan kata lain, lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya.

Lahirnya mekanisme pemilihan kepala dareah langsung adalah satu wujud dari upaya untuk membangun kembali prinsip – prinsip demokrasi, kemudian kepala daerah langsung merupakan efek dari lahirnya otonomi daerah menjadikan rakyat didaerah dapat secara langsung memilh pemimpin didaerahnya dan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan

(4)

tertinggi dari kedaulatan, keinginan harus lebih banyak didengarkan, namun yang selama ini terjadi rakyat tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung ini diharapkan perubahan arus politik menuju demokrasi yang sesungguhnya.

Proses pemilihan kepala daerah di laksanakan melalui beberapa tahapan. Dimulai dari tahap pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan calon, rapat paripurna khusus, pengiriman berkas pemilihan, pengesahan dan pelantikan. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peranan yang sangat penting dibidang penyelenggaraan pemerintahan, pengembangan dan pelayanan masyarakat dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah5

Pemilihan kepala daerah langsung ini merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena malalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya. Pemilihan kepala daerah secara langsung, yang diawali setelah diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 telah menjadi momentum baru bagi proses demokrasi di tingkat lokal. Melalui pelaksanaan otonomi daerah sebagai media untuk menyebarkan sistem demokrsi yang semakin disempurnakan, termasuk pemilihan kepala daerah memacu tumbuhnya kekuatan pro demokrasi di daerah. Artinya melalui pemilihan kepala daerah yang secara

.

5 Deddy Supriady Bratakusuma, Ph.D dan Dadang Solihin, MA, otonomi penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2002, hal.61

(5)

langsung ini akan melahirkan aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan. Jika beberapa tahun lalu kepala daerah dipilih oleh sekelompok elit politik di DPRD (dewan perwakilan daeraah rakyat) maka melalui pemilihan kepala daerah langsung, merupakan sebuah model baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Yang diharapkan mampu memunculkan pemimpin-pemimpin yang baru ditingkat lokal yang berjiwa reformis. Inilah yang disebut sebagai langkah awal dari proses pendemokrasian ditingkat lokal.

Salah satu yang terjadi dari pilkada hingga saat ini adalah tingginya angka pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan. Di sejumlah wilayah, angka ini bahkan mencapai hampir separuh seperti yang terjadi dalam Pilkada Kota Surabaya, Kota Medan, Kota Banjarmasin, Kota Jayapura, Kota Depok dan Provinsi Kepulauan Riau. Tidak jarang, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan perolehan suara pemenang Pilkada. Jika dibuat rata-rata, tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya selama pelaksanaan Pilkada mencapai angka 27.9%6

6 Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05-September 2007,dikutip dari www.lsi.co.id

. Hal ini sangat berbeda pada pemilu sebelumnya. Pemilu selama Orde Baru mempunyai partisipasi pemilih rata-rata di atas 90%. Atau tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilih rata-rata di bawah 10%. Pemilu 1999, diikuti oleh 93.3% dari total pemilih terdaftar. Atau hanya 6.7% saja pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Partisipasi pemilih ini turun menjadi 84.1% pada Pemilu Legislatif 2004. Angka partisipasi pemilih ini makin turun saat Pemilu

(6)

presiden, baik putaran pertama maupun kedua, dan turun lagi selama pelaksanaan Pilkada.

Tabel 1

Tingkat Partisipasi Pemilih

Pemilu/Pilkada Partisipasi Pemilih

1971 94.0 % 1977 90.6 % 1982 91.2 % 1987 91.3 % 1992 90.9 % 1997 88.9 % 1999 93.3 % 2004 84.1 %

Pemilu Presiden Putaran I 78.5 % Pemilu Presdiden Putaran II 76.7 % Pilkada (Juni-Juli 2005) 73.1 %

Sumber : Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05-September 2007, hal. 2

Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut dengan istilah golput (golongan putih). Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena golput ini memiliki keterkaitan terhadap legitimasi penguasa dan legitimasi sistem politik7

7 Tim Libang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal. 7

(7)

Pada Pemilu 1971, misalnya, Golput diproklamasikan sebagai cara protes terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memusatkan kekuasaan sehingga menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para pemprotes, Pemilu 1971 tidak lebih sebagai ajang pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk menghimpun legitimasi bagi keutuhan format politik Orde Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat kekuasaan. Di samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih cuma bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dan melebarnya ketimpangan sosial.

Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa memilih bukanlah kewajiban seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab, hasil pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah.

Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pilkada di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan menjadi gejala umum Pemilu Indonesia di masa mendatang hingga saat ini belum ada penjelasan yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih tidak

(8)

menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput di Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan berdasarkan hasil riset.

Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu (Pilkada) dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya8

Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih (golput) terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada

.

8 Eriyanto, op.cit.,hal. 6

(9)

pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkada (pemilihan). Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkada (pemilihan).

Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi latar belakang peneliti untuk meneliti fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.

Kecamatan Pamatang Sidamanik merupakan salah satu Kecamatan yang berada dan terletak di Kabupaten Simalungun, letaknya sangat strategis dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Secara geografis letaknya cukup dekat dengan Kota Pematang Siantar yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain. Dalam kegiatan perekonomian Kecamatan Pematang Sidamanik merupakan Kecamatan yang mayoritas penduduknya mayoritas bermata pencaharian sebagai Petani. Dalam bidang sosial budaya penduduk di Kecamatan Pamatang Sidamanik cukup heterogen yang terdiri dari berbagai etnis seperti suku Batak Toba, Batak Simalungun, Jawa, dan lain-lain.

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung pada tanggal 16 April 2008 berlangsung serentak di seluruh daerah di Sumatera Utara termasuk di Kecamatan Sidamanik. Kecamatan Pamatang Sidamanik yang merupakan salah

(10)

satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Simalungun juga melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara bersamaan. Dalam hasil pemilihan, ternyata masih didapati jumlah Masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yaitu sekitar 34,25 %. Padahal jumlah suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat berpengaruh pada hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut. Sedangkan rakyat telah diberikan hak untuk memilih secara langsung pasangan mana yang dianggap mampu menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara periode 2008 – 2013. Dengan harapan, Gubernur dan Wakil Gubernur yang terpilih nantinya mampu mendengarkan aspirasi rakyat untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Sumatera Utara. Dengan alasan inilah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Kecamatan Pamatang Sidamanik sebagai lokasi penelitian.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka masalah yang ingin peneliti rumuskan adalah :

Mengapa Masyarakat di Kecamatan Pematang Sidamanik yang telah terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2008?

(11)

3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian ilmiah senantiasa diupayakan kearah terwujudnya tujuan yang diinginkan. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui alasan pemilih mengapa tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2008 di Kecamatan Pamatang Sidamanik.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat kepada semua pihak yang secara umum akan bermanfaat bagi :

1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu memperluas dan memperdalam pemahaman dan melatih penulis dalam membuat sebuah karya ilmiah.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan jadi salah satu pendukung dalam pengembangan dari pada teori-teori politik yang telah ada seperti perilaku pemilih dan teori-teori politik lainnya.

3. Hasil penelitian ini secara praktis kiranya bermanfaat bagi lembaga/instansi pemerintah seperti Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan KPU dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.

(12)

5. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan pemikirannya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pemikiran yang menggambarkan sudut mana masalah penelitian yang akan disorot9

Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proposisi menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara merumuskan hubungan antar konsep

.

10

5.1. Perilaku Pemilih

.

Secara teoritis ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori mengenai perilaku pemilih (voter behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada sebab-sebab dari individu pemilih. Secara umum analisa-analisa mengenai “voting behaviour” atau perilaku pemilih didasarkan pada tiga pendekatan atau model yaitu:

9 Hadawi nawawi, metode penelitian bidang sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995 hal.40

10 Masri Singarimbun dan Sofyan Efendy, metode penelitian sosial survei, Jakarta: Rajawali pers, 1999, hal.112

(13)

d. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis sering disebut Mazhab Columbia (The Columbia School of Electoral Behavior) merupakan pendekatan yang menekankan pada peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. 11

e. Pendekatan Psikologis

Berbeda dengan pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, yang sering disebut dengan Mazhab Michigan (The Michigan Survey Research Center) lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politik. Pendekatan psikologi ini mengembangkan konsep psikologi, khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku sesorang.

Konsep sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih karena Menurut Greenstein ada 3 fungsi sikap yakni ; pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Artinya, seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau

11 Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, Jurnal Ilmu Politik Edisi No. 16, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 52

(14)

kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan (defense mechanism).

Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi, melainkan proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Kedekatan inilah yang menentukan seseorang ikut memilih atau tidak. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.12

f. Pendekatan Rasional

Dua pendekatan diatas menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural atau identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, merupakan variable yang secara sendiri-sendiri maupun komplementer mempengaruhi perilaku atau pilihan politik sesorang.

Tetapi pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan

(15)

pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih13

Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku pemilih sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lain

. 14 13 Ibid,hal.53 14Ibid.hal. 54 . Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu dalam mempengaruhi keputusannya.

Penjelasan kedua mengapa pemilih tidak memilih bersumber dari sudut struktur atau sistem suatu negara, yaitu :

(16)

a. Sistem Pendaftaran Pemilih

Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan.

Secara umum ada dua sistem pendaftaran pemilih, yaitu sistem aktif dan sistem pasif15

Sedangkan sistem pasif adalah sistem pendaftaran pemilih dengan cara petugas pendata atau pencacah untuk mencacah atau mendaftar sebagai pemilih. Sistem yang pertama akan menghasilkan partisipasi pemilih (voting turnout) yang tinggi. Misalnya di Prancis. Warga yang berumur 18 tahun secara otomatis akan didaftar sebagai pemilih. Tidak mengherankan jikalau Prancis adalah salah satu negara yang mempunyai tingkat voting turnout lumayan tinggi. Rata-rata voting turnout dalam sejumlah pemilihan umum di Prancis adalah 76 %

. Sistem aktif adalah sistem pendaftaran pemilih dengan cara warga sendirilah yang aktif mendatangi panitia atau petugas pendaftaran atau pencacahan untuk didaftar sebagai pemilih. Pemilih punya hak untuk menolak didaftar sebagai pemilih jika tidak menginginkannya.

16

.

15 Joko Prihatmoko, hal. 201

16Rafael Lopez Pintor and Maria Gratschew, Voter Registration and Inclusive Democracy: Analysing Registration Practices Worldwide dalam IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global Report, 2002, dikutip dari Eriyanto, op.cit., hal. 7

(17)

b. Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum

Sejumlah penelitian menunjukkan, sistem dua partai relatif bisa mengurangi tingkat partisipasi pemilih. Motivasi pemilih untuk ikut memilih bisa surut ketika partai atau calon yang maju dalam pemilihan tidak ada yang disukai. Sebaliknya negara yang menganut sistem multipartai relatif bisa memancing partisipasi pemilih yang lebih tinggi. Hal ini karena pemilih lebih punya banyak pilihan dan alternatif. Sejumlah penelitian juga menunjukkan, sistem proporsional lebih membuat partisipasi pemilih lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan sistem distrik. Keterwakilan proporsional pada umumnya dipercaya dapat meningkatkan kehadiran pemilih karena semua partai dapat meningkatkan keterwakilan mereka (Russel J. Dalton dan Martin P. Wattenberg, 1993)17

Ada negara yang menganut paham bahwa pemilihan umum adalah hak bagi warga negara, karenanya warga bisa memilih dan bisa juga tidak memilih. Tidak ada hukuman bagi warga negara yang tidak ikut memilih. Tetapi ada juga negara yang memandang pemilihan umum sebagai kewajiban dari warga negara. Warga diwajibkan untuk ikut pemilihan dan jika tidak ikut akan mendapat hukuman. Bentuk hukuman ini bermacam-macam dari hukuman denda, penambahan pajak hingga ancaman tidak mendapat jaminan atau asuransi dari

.

c. Sifat Pemilihan

17 Eriyanto, op.cit., hal.10

(18)

negara. Negara yang menerapkan hukuman bagi warga yang tidak terlibat dalam pemilihan bisa dipastikan mempunyai tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Salah satu contoh adalah Australia. Rata-rata tingkat voter turnout di

Australia adalah 95%. Australia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat partisipasi pemilih paling tinggi di dunia. Australia menerapkan hukuman denda bagi pemilih yang tidak ikut memilih. Hukuman ini bisa berujung penjara jika calon pemilih ini tidak membayar denda yang harus dibayar. Australia bukan satu-satunya negara yang menerapkan denda bagi warga yang tidak ikut memilih. Swis, Austria, Ciprus, Argentina, Peru adalah contoh negara lain yang menerapkan hukuman denda. Selain hukuman, mekanisme lain untuk “mewajibkan” pemilih datang di hari pemilihan adalah memberikan surat keterangan. Surat keterangan ini dipakai ketika seseorang melamar pekerjaan terutama di kantor-kantor pemerintah. Di Belgia dan Mexico, pemilih yang tidak ikut pemilihan tanpa alasan jelas, bisa dipastikan akan kesulitan mendapat pekerjaan di kantor pemerintah. Kesulitan yang sama juga dialami ketika mengurus surat dan dokumen dari kantor pemerintah. Semua negara yang mewajibkan warga negaranya ikut memilih ini, dikenal mempunyai tingkat voter turnout tinggi18

18Maria Gratschew, Compulsory Voting, dalam IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global Report, 2002, dikutip dari Eriyanto, loc.cit.

(19)

5.2. Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan – kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Wahyudi Kumorotomo mengatakan,

”Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya”19

”Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”

.

Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu: pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partipasi warga negara secara langsung.

Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Political participation in developing :

20

19 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali pers, 1999, hal.112 20 Samuel P Hutington dan Joan M. Nelson, No easy choice : Political Participation In Developing Countries (cambridge, mass : harvard universiry press 1997). Hal 3, dalam Miriam Budiarjo.

(20)

Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.21

Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu: pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang poiltik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat-pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa. Ketiga, kegiatan politik adaalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan, tetapi ada

(21)

pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan kepemerintah.

Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politk. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

b. Partisipasi Pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.22

Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.

1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.

(22)

2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apapun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecendrungannya berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain tidak adil.

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.23

Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik24 :

Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktifitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk

23 Michael rush dan althoff, pengantar sosiologi politik, PT Rajawali, Jakarta, 1989, hal.131 24Ibid.

(23)

tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relatif kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

5.3. Motivasi untuk Melakukan Aktivitas Politik

Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku, baik menyangkut aspek sosial maupun aspek politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik baik menyangkut aspek sosial maupun aspek politik. Tindakan-tindakan aktivitas politik tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga menyangkut hal-hal yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Menurut Max Weber, ada beberapa jenis motivasi seorang melakukan aktivitas politik25

1. Motif yang rasional

.

Motif ini merupakan motif yang mendorong tingkah laku untuk beraktivitas atas dasar pertimbangan logis dan rasional terdapat suatu kelompok. Hal ini berarti tindakan seseorang dalam aktivitas politik telah didukung oleh penilaian-penilaian objektif terhadap suatu kelompok tertentu. Artinya, bukan berarti motif ini terlepas dari unsur-unsur subjektif, tetapi seorang individu telah

(24)

dibekali cara-cara rasional, melalui pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan menentukan pilihan sikapnya atau dalam menilai organisasi sosial tertentu.

2. Motif yang efektual-emosional

Motif ini didasarkan atas kebencian tertentu yang melekat pada individu dalam menilai gagasan, organisasi atau individu lainnya. Dorongan ini pula membentuk katidaksamaan terhadap suatu kelompok yang kemudian dalam bentuknya yang konkrit menjadi bentuk apatisme politik.

3. Motif yang tradisional

Motif ini didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu dalam suatu kelompok sosial. Yang menyebabkan individu tersebut mau bergabung dengan partisipasi dalam kelompok sosial tersebut.

4. Motif rasional – bertujuan

Motif ini didasarkan atas pertimbangan keuntungan pribadi. Bila aktifitas tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa padanya, ia tidak akan ikut serta, demikian juga sebaliknya.

5.4. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem delalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-bagian, (2)bagian-bagian itu saling berinteraksi dan tergantung, dan (3)

(25)

mempunyai perbatasan yang memisahkan dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.26

26 Ibid.,hal.200

Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforment. Elecroral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman penyelenggara, calon dan pemilih dalam menuaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun tehnikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administratif atau pidana.

Atas dasar itu, sistem pilkada langsung merupakan sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan proses untuk memilih kepala daerah. Sebagai suatu sistem, sistem pilkada memiliki ciri-ciri antara lain bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan sub sistem, masing-masing kegiatan saling terikat dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme control, dan mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri.

(26)

6. Definisi konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang penting dalam penelitian dan merupakan definisi yang dipakai para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial atau alam. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahan atau makna ganda dari definisi konsep yang ada. Maka yang menjadi batasan penelitian ini adalah:

1. Perilaku tidak memilih adalah perilaku pemilih yang tidak ikut memilihpada saat pemilihan atau pilkada berlangsung.

2. Sistem pilkada adalah penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur maupun wakil gubernur ataupun bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota.

7. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan diukur. Dalam penelitian ini yang akan diteliti, yaitu Perilaku tidak memilih, dengan indikator :

1. Perilaku pemilih

- Pendekatan sosiologis dengan indikator : pendidikan, ras, agama, pekerjaan.

- Pendekatan psikologis dengan indikator : kedekatan emosional dengan calon gubernur, keterlibatan dalam partai politik yang mengusung calon Gubernur/wakil gubernur.

(27)

- Pendekatan rasional dengan indikator : kepercayaan terhadap isu-isu politik yang ditawarkan calon Gubernur dan wakil Gubernur.

2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah

- Sifat pemilihan dengan indikator : ketiadaan sanksi yang diberikan pemerintah bagi yang tidak memilih.

- Sistem pencalonan dengan indikator : jalur pencalonan.

8. Metodologi Penelitian 8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode studi kasus, Yin (1984), mendefinisikan penelitian studi kasus sebagai penelitian empiris yang menyelidiki suatu fenomena (gejala) kontemporer dalam konteks senyatanya (real life) dimana batas-batas antara fenomena dan konteks tersebut masih belum jelas27

1. Masalah pemilih yang tidak memilih merupakan isu kontemporer yang banyak menarik perhatian peneliti untuk mengetahuinya lebih jauh. Dalam setiap pemilihan umum masalah ini selalu menjadi bahan pembicaraan sehingga menarik untuk mengetahui masalah yang sebenarnya.

. Peneliti menggunakan metode studi kasus dengan alasan sebagai berikut :

(28)

2. Gejala dan konteks yang terjadi dalam setiap pemilihan umum tersebut dalam situasi senyatanya belum jelas sehingga diperlukan penelitian yang mendalam.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap beberapa pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana” gejala yang terjadi dalam masalah penelitian ini.

4. Penelitian ini menggunakan berbagai sumber dan teknik pengumpulan data sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian.

8.2. Lokasi Penelitian

Lokasi tempat penelitian adalah Kecamatan Pamatang sidamanik, Kabupaten Simalungun. Penelitian ini akan meneliti 10 nagori yang ada di Kecamatan Pamatang Sidamanik.

8.3. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai, atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam penelitian28

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Kecamatan Pamatang Sidamanik yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak memilih pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2008. Jumlah Nagori di Kecamatan Pamatang Sidamanik ada sebanyak 10 Nagori. Dari total Nagori tersebut peneliti

.

28 Hadari Nawawi,Op. cit, hal.63

(29)

mengambil semua Nagori sebagai populasi. Untuk menentukan jumlah sampel dalam panelitian ini,penulis menggunakan rumus Taro Yamane29

1 .d2 + N N : Yaitu : n = keterangan : n = jumlah sampel N = Jumlah populasi

d2 = Presisi ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%.

No Nama nagori Masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih Masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih dan menggunakan hak pilihnya Masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak

menggunakan hak pilihnya

1 Bandar Manik 923 603 320

2 Gorak 372 274 38

3 Jorlang Huluan 821 418 403

4 Sait Buntu Saribu 2648 1863 785

5 Pamatang Sidamanik 1423 856 567 6 Pem.Tambun Raya 744 354 390 7 Siaporas 431 315 116 8 Sarimattin 1038 763 275 9 Simattin 1106 793 313 10 Sipolha Horizon 835 500 335 Jumlah 10341 6739 3602

Sumber : Data KPU Kabupaten Simalungun, 2008.

(30)

Dari rumus diatas maka diambil sampel sebagai berikut : 1 01 , 0 . 3602 3602 + = n 02 , 37 3602 = n n = 97 orang

Untuk menentukan jumlah sampel masing-masing sampel di setiap nagori tersebut maka jumlah seluruh sampel didistribusikan kepada tiap-tiap nagori/ kelurahan berdasarkan jumlah persentase responden yang ada di setiap nagori masing-masing.30

1. Bandar manik 6. Pem. Tambun raya

9 % 100 3602 320 = x 100% 11 3602 390 = x 2. Gorak 7. Sihaporas 1 % 100 3602 38 = x 100% 3 3602 116 = x

3. Jorlang Huluan 8. Sarimattin 11 % 100 3602 403 = x 100% 8 3602 275 = x

4. Sait buntu 9. Simattin

21 % 100 3602 785 = x 100% 8 3602 313 = x

(31)

5. Pamatang sidamanik 10. Sipolha Horizon 16 % 100 3602 567 = x 100% 9 3602 335 = x

Maka jumlah sampel yang digunakan adalah sebesar 97 orang.

8.4. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistem snowball sampling (pengambilan sampel seperti bola salju). Dalam tehnik ini, pengumpulan data dimulai dari beberapa orang yang memenuhi kriteria untuk dijadikan anggota sample. Mereka kemudian menjadi sumber informasi tentang orang-orang lain yang juga dapat dijadikan anggota sampel. Orang-orang yang ditunjukkan ini kemudian dijadikan anggota sampel dan selanjutnya diminta menunjukkan orang lain yang memenuhi kriteria menjadi anggota sampel. Demikian prosedur ini dilanjutkan sampai jumlah anggota sampel yang diinginkan terpenuhi.31

a. Penelitian kepustakaan, yaitu mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

8.5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik penelitian data sebagai berikut :

b. Penelitian lapangan, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.

(32)

8.5. Teknik Analisa Data

Pada penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik kualitatif, yaitu teknik tanpa menggunakan alat bantu atau rumus statistic. Adapun langkah-langkah yang ditenpuh adalah sebagai berikut: Pertama, pengumpulan data. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dan bahan baik dari buku, majalah, koran, jurnal kliping dan situs-situs yang memuat tentang perilaku pemilih dan juga dari bahan kuesioner. Kedua, penilaian atau menganalisis data. Dalam tahap ini setelah peneliti mengumpulkan dan mendapatkan semua data yang mendukung atau membantu dan memang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini maka penulis akan menelaah, kategorisasi, melakukan tabulasi data dan atau mengkombinasikan bukti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Ketiga, penyimpulan data yang diperoleh. Tahap ini adalah tahap terakhir pada penelitian ini. Dari hasil penilaian dan analisis yang penulis lakukan maka penulis mengambil kesimpulan yang dapat lebih bermanfaat dalam memahami penelitian ini.

9. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disajikan ke dalam 4 bab, yakni :

Bab I Pendahuluan : pada bab ini terdapat latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori penelitian dan metodologi penelitian.

Pada Bab II deskripsi lokasi penelitian : akan menggambarkan segala sesuatu mengenai objek penelitian yaitu gambaran umum wilayah kecamatan

(33)

pamatang sidamanik di lihat dari segi geografis dan luas wilayah, komposisi kependudukan, perekonomian masyarakat sarana dan prasarana yang ada serta struktur organisasi dan personalia.

Pada Bab III penyajian dan analisa data : nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang didapat dari lapangan dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis dari data dan fakta tersebut

Pada Bab IV kesimpulan dan saran : pada penulisan penelitian ini adalah bab penutup yang didalamnya akan berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Menyadari pentingnya penilaiaan barang milik daerah untuk tujuan pemanfaatan aset daerah Pemerintah Kabupaten Belitung, yang termasuk dalam siklus pengelolaan barang

Pembelajaran inkuiri yang cocok untuk mengasah HOTS adalah open ended (terbuka) dan berbasis problem solving (pemecahan masalah) pada inkuiri terbuka guru

Karena disana pun ada yang berdakwah kepada Allah dan menyeru kepada Aqidah ini, akan tetapi itu adalah perjuangan perorangan, berbeda dengan perjuangan disini

Laporan hasil pengawasan atas Akuntabilitas Keuangan Negara/Daerah pada Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 berisi rangkuman informasi atas hasil pengawasan dan

Hasil analisis varians (Tabel 3) menunjukkan bahwa penampilan karakter hasil, bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman pada kondisi cekaman air dan Anthesis Silking Interval

Penentuan laju dosis serap di air berkas foton dengan kualitas radiasi Q dapat ditentukan dengan pengukuran menggunakan detektor pengionan yang dikalibrasi dalam

Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan karyawan akan diperlakukan secara adil akan membuat mereka lebih memiliki komitmen karyawan pada organisasi sehingga dapat

diuraikan di atas, waktu cerita Sang Pencerah bisa dilihat sebagai surat dari masa lalu yang mengingatkan bahwa telah terjadi penyimpangan luar biasa dari rasionalitas