BAB IV
USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN
A. Negara Yordania
1. Profil Singkat Negara Yordania
Kerajaan Hasyimiyah Yordania, yang biasanya disebut Yordania,
ialah sebuah negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Suriah di
sebelah utara, Arab Saudi di timur dan selatan, Irak di timur laut, serta
Israel dan tepi barat di barat. Yordania menerima arus pengungsi Palestina
selama lebih dari 3 dasawarsa, menjadikannya sebagai salah satu
penampung pengungsi terbesar di dunia. Negara yang miskin bahan
tambang ini mengimpor minyak bumi dari negara-negara tetangga.1
Sekitar 95% penduduknya beragama Islam dengan menganut Madzhab
Hanafi dan beraliran Sunny. Selainnya 4 % beragama kristen dan 1% lagi
gabungan Druze dan Bahni. 2
Penduduk Yordania menurut data yang dilaporkan Inggris kepada
PBB tahun 1924 berjumlah sekitar 900.000 jiwa dengan 90% Arab
Muslim, 10.000 jiwa Cireassian dan Cherchen, serta 15.000 jiwa Arab
Kristen. Cireassian dan Cherchen adalah kelompok imigran dari Rusia.3
Jumlah ini diperkirakan naik sampai 3,8 juta jiwa pada bulan September
1991 akibat aliran pengungsi Palestina pada saat pembagian wilayah
Palestina pada tahun 1948 dan pendudukan Israel di wilayah tepi sungai
barat tahun 1967 serta kembalinya lebih dari 300.000 orang Palestina dan
Yordania dari Kuwait selama perang teluk 1990-1991.4
Berdasarkan jumlah tersebut sebagaimana yang dikemukakan
Ahmad al-Usairi yang dikutip oleh Amin Suma, bahwa dunia Islam adalah
1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004) h. 156 2
Khoiruddin Nasution, dkk., Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern
(Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012) h. 65 3
Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the
Arab World (London: CIMEL and Kluwer Law International, 1996) h. 4 4
negeri-negeri atau negara-negara yang persentase penduduk muslimnya
lebih 50% dari keseluruhan jumlah penduduk. Dengan demikian, Yordania
menjadi salah satu negara yang ikut mengambil bagian menjadi salah satu
negara dalam dunia Islam. Pertimbangan jumlah ini merupakan
pertimbangan pertama dan terpenting. Selain pertimbangan jumlah
penduduk, pertimbangan Undang-undang yang terkait dengan
pemberlakuan Undang-undang Islam di Yordania juga merupakan salah
satu ciri dari sebuah negara Islam.5
Negara modern Yordania pertama kali muncul pada tahun 1921
sebagai Emirat (keemiran atau keamiran) Transyordan. Hingga
penghujung Perang Dunia I wilayah ini merupakan bagian dari Suriah
yang lebih besar di bawah kekuasaan Utsmaniyah. Setelah kekalahan
Kesultanan Utsmaniyah pada 1918, sekutu membagi Timur Tengah
menjadi kawasan-kawasan di bawah pengaruh mereka, dengan Transyor
dan Palestina berada dalam mandat dan perwalian Inggris. Pada tahun
1946, Transyor mencapai kemerdekaannya untuk kemudian menjadi
kerajaan Hasyimiyah Yordania dengan Pangeran Abdullah Ibn al-Husein
sebagai raja pertamanya. Nama Hasyimiyah menunjukkan kepada Hasyim,
yang merupakan moyang Nabi Muhammad saw.6
Peta politik Yordania dapat dilihat dari dominannya partai
Ikhwanul Muslimin karena dukungan partainya dalam perang Arab-Israel
dan dukungan terbukanya kepada Raja Abdullah dan terus berlanjut
sampai pada pemerintahan Raja Hussein. Hubungan manis itu semakin
jelas ketika kedua rezim dan partai itu bersama-sama menghadapi
serangan berbagai rezim Arab dan gerakan pan-Arab sekuler terutama
pada tahun 1950-1960-an. Akibatnya selama hampir empat dekade
Ikhwanul Muslimin mampu mengonsolidasikan posisinya dengan pesan
religius politik dan memperkuat dukungan melalui kontrolnya yang luas
5
Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 65-66
6
John L. Eposito, Ensiklopedia Hukum Islam Modern (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,
terhadap organisasi dan institusi yang memberi pelayanan terhadap
masyarakat.7
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga Di Yordania
Reformasi substansi hukum dilakukan dengan cara takhayyur
(pemilihan pendapat hukum), talfiq (amalgamasi mazhab hukum), dan
ijtihad (inovasi/penemuan hukum). Takhayyur dilakukan dengan
mengadopsi ketentuan dari pendapat hukum yang ada yang dinilai sesuai
dengan masyarakat. Talfiq dilakukan dengan cara eklektik, dengan
mengkombinasikan beberapa pendapat hukum yang ada sehingga
didapatkan ketentuan hukum yang sesuai dengan masyarakat. Ijtihad
dilakukan dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap teks-teks
keagamaan. Ijtihad dilakukan jika takhayyur dan talfiq tidak bisa
dilakukan.8
Negara Yordania dalam membuat aturan perundangan mengambil
model talfiq atau mencampurkan aturan-aturan hukum dari
mazhab-mazhab yang ada yang kemudian dijadikan undang-undang yang dapat
diterima masyarakat. Hal ini disebabkan karena di antara mazhab fikih
yang ada, tidak banyak perbedaan yang sangat signifikan. Sebelum adanya
pembaharuan Undang-undang Hukum Keluarga Muslim No. 61 Tahun
1976, negara Yordania lebih cenderung mengambil pendapat mazhab
Hanafi dalam pembuatan Undang-undang.9
Mengenai sejarah pembentukan hukum di Yordania, awal mulanya
negara ini menggunakan aturan hukum yang disebut dengan Ottoman Law.
Hal ini disebabkan karena Yordania merupakan bagian dari negara yang
dikuasai oleh kerajaan di masa Bani Turki Utsmani. Sistem hukum yang
diterapkan salah satunya mengenai aspek hukum di bidang hukum
keluarga yang aturan tersebut dinamai Ottoman Law of Family Rights
1917. Yordania menerapkan aturan hukum Islam secara utuh dengan
melandasinya kepada hasil pemikiran mazhab Hanafi.10
Pada tahun 1947, Yordania menerapkan aturan hukum sementara
dalam memberlakukan hukum keluarga. Hal ini tetap berlaku sampai
diubah pada tahun 1951 dengan undang-undang yang baru, sebagian besar
aturan di dalamnya mengikuti bentuk Ottoman Law of Family Rights.
Jordania Law of Family Rights 1951 adalah aturan hukum yang pertama
dalam serangkaian kodifikasi Hukum Keluarga Islam yang diresmikan
pada tahun 1950 oleh badan legislatif nasional. Sebuah konstitusi baru
diadopsi pada tahun 1952, dengan mempertahankan dasar agama dan
kekuasaan peradilan dalam menyelesaikan sengketa perdata.11
Ottoman Law of Family Right terus diterapkan sampai hukum
keluarga Yordania No. 26 Tahun 1947 dikeluarkan. Aturan hukum ini
sementara diterapkan selama empat tahun sampai dikeluarkannya hukum
keluarga Yordania No. 92 Tahun 1951, yang kemudian diubah dan diganti
dari kedua aturan yaitu Ottoman Law dan UU Yordania No. 26. UU serta
No. 92 tahun 1951 yang berlaku selama dua puluh lima tahun lalu
kemudian diterbitkanlah aturan hukum keluarga No. 61 tahun 1976.
Undang-undang ini didasarkan pada pemikiran selain pemikiran Hanafi,
ketentuan ini dibuat dalam 180 pasal sebagai landasan yang paling tepat
dari berbagai pendapat Imam Abu Hanifah dalam kasus di mana tidak ada
ketentuan tekstual tertentu ditemukan.12
Mengenai aspek hukum keluarga di Yordania yang terbentuk pada
tahun 1951, pada perjalanannya mengalami perubahan secara rinci dari
aturan hukum yang sebelumnya yaitu Ottoman Law of Family Rights
1917, adapun poin-poin yang diubah adalah, sebagai berikut:
a. Pencatatan Pernikahan,13
10
Abdullahi A. An-Na‟im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global
Resource Book (London: Zed Books, 2002), h. 119 11
Ibid. 12
Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the
Arab World (London: CIMEL and Kluwer Law International, 1996) h. 79 13Ottoman Law
b. Walimatul „Ursy,14
c. Hak wali mengenai pernikahan seorang perempuan,15
d. Akibat dari pernikahan yang sah,16
e. Kewajiban suami mengenai mahar,17
f. Kewajiban dan hak suami istri,18
g. Perceraian,19
h. Rujuk,20 dan
i. Hak dan kewajiban seorang istri selama masa iddah.21
undang yang diterapkan di Yordania adalah
Undang-undang tentang hukum perdata dan hukum-hukum tambahan 1976 (The
Code of Personal Status and Supplementary Laws 1976) sebagai
undang-undang hukum keluarga Islam. Undang-undang-undang ini merupakan hasil
perjuangan yang panjang para ahli hukum dengan melakukan
pengkodifikasian berbagai macam sumber hukum. Nampaknya dengan
kelahiran undang-undang ini merupakan awal dari langkah sebuah
pembaruan hukum yang relevan dengan perkembangan zaman.22
Landasan yang diambil sebagai pemikiran pokok para ahli hukum
lebih banyak merujuk langsung pada mazhab Hanafi sebagaimana yang
disinggung sebelumnya karena mazhab Hanafi mempunyai pengaruh yang
sangat dominan di negara Yordania. Akan tetapi, ketika dilakukan
pembaharuan hukum, beberapa mazhab selain mazhab Hanafi juga
dijadikan sumber rujukan untuk memperbaiki materi hukum keluarga yang
sudah ada.23
14Ottoman Law
, Pasal 35-36; Jordanian Law, Pasal 18-19
15Ottoman Law
, Pasal 48-49; Jordanian Law, Pasal 25-26
16
Ottoman Law, Pasal 69-70, 73-74; Jordanian Law, Pasal 31-32, 35-36 17
Ottoman Law, Pasal 80 sampai 89; Jordanian Law, Pasal 40 sampai 42, 44 sampai 50, 52 sampai 54
18Ottoman Law
, Pasal 93 sampai 100; Jordanian Law, Pasal 57 sampai 63
19Ottoman Law
, Pasal 102-103; Jordanian Law, Pasal 66-67
20
Ottoman Law, Pasal 112 sampai 124; Jordanian Law, Pasal 78 sampai 88 21Ottoman Law
, Pasal 139 sampai 147, 151-152; Jordanian Law, Pasal 101-112.
22
Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 64
Untuk lebih jelasnya, kami paparkan tahun-tahun penting periode
perkembangan hukum keluarga di Yordania:
a. Tahun 1917, diberlakukannya hukum keluarga Turki “Qanun qarar al
Huquq al-„Ailah al Utsmaniyyah (The Ottoman Law of Family Rights)
selama 4 tahun. Hukum ini diberlakukan karena Yordania masih di
bawah kekuasaan Turki Usmani.
b. Pemberlakuan perundangan-undangan hukum keluarga negara
Yordania dimulai dari terbentuknya UU No. 26 Tahun 1947.
c. Tahun 1951, UU No. 92 yang mulai berlaku bulan 15 Agustus
1951.”Qanun al Huquq al „Ailah” ( The Yordania Law of Family Rights ) Lahirnya UU ini menghapus Undang-Undang yang terdahulu.
Mencakup 132 Pasal, yang dibagi dalam 16 bab. Isi UU ini sangat
mirip dengan UU Turki tahun 1917, baik dari strukturnya maupun
aturan rinciannya.
d. Tahun 1976, UU. No.61 merevisi UU No. 92 Tahun 1951 dengan
nama Undang-undang Hukum status perorangan atau yang disebut
dengan Qanun al Ahwal al Shakhsiyyah (Comprehensive Law of
Personal Status ). UU ini mempunyai cakupan yang lebih luas dalam
membahas perkawinan.24
3. Hukum Keluarga di Yordania Tentang Batas Usia Nikah
Pada tahun 1917 Yordania memberlakukan Ottoman Law of
Family Rights sebelum lahirnya Undang-undang No. 92 tahun 1951.
Namun menurut catatan Dawoud El-Alami, sebelum lahirnya
undang-undang tersebut, Yordania pernah memberlakukan Qanun Huquq
al-„A`ilah al-Urduniah No. 26 tahun 1947. Oleh karenanya, dengan lahirnya undang-undang No. 92 tahun 1951 maka semua undang-undang terdahulu
sudah terhapuskan.
24
Mardani, Hukum perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha ilmu 2011)
Undang-undang No. 92 tahun 1951 ini mencakup 132 pasal yang
dibagi dalam 16 bab.25 Konon undang-undang ini sangat mirip dengan
undang-undang Turki tahun 1917, baik dari segi strukturnya maupun
aturan rinciannya.26 Kemudian undang-undang ini diperbaharui dengan
undang-undang yang lebih lengkap (comprehensive) dengan lahirnya Law
of Personal Status atau yang lebih dikenal dengan istilah Qanun al-Ahwal
al-Syakhshiyyah No. 61 Tahun 1976 yang mencakup 187 pasal dan terbagi
dalam 19 bab.27
Reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania
salah satunya terkait dengan masalah usia menikah. Mengenai usia
pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 17 tahun bagi
laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.28 Hal ini merupakan ketentuan
yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 92 Tahun 1951.
Sebelumnya, ketentuan usia nikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 17
tahun untuk perempuan. Jika melanggar ketentuan tentang usia tersebut,
maka pelanggaran akan dikenai hukum pidana.29 Akan tetapi, apabila
perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk
menikah sementara walinya tidak mengizinkan tanpa alasan yang sah,
maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar
prinsip-prinsip kafa`ah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan.
Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 18 tahun dan
walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan
25
Bab yang dimaksud adalah : (I) Peminangan, (II) Syarat-syarat Mempelai, (III) Akad
Nikah, (IV) Kafa‟ah, (V) Pembatalan Perkawinan, (VI) Hakam, (VII) Mahar, (VIII) Nafkah, (IX)
Aturan Tentang Perceraian, (X) Pilihan untuk Cerai, (XI) „Iddah, (XII) Nafkah Keluarga, (XIII dan
XIV) Pemeliharan Anak, (XV) Orang Hilang / mafqud, (XVI) Aturan Umum. Lihat, Khoiruddin
Nasution, Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Islam, dalam M. Atho‟ Mudzhar dan
Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Modern Studi Perbandingan
dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h. 14 26
Anderson, Recent Development in Shari‟a Law VIII: The Yordanian Law of Family
Rights 1951 (The Muslim World, No. 42, 1952), h. 190 27
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim Marriage (New Delhi: t.p., 1972)
dapat memberi izin pernikahan. Ketentuan ini merupakan langkah maju
jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fikih mazhab. Sebab
batasan yang dijelaskan dalam kitab fikih mazhab cukup dengan batasan
bahwa laki-laki atau perempuan yang akan menikah itu telah baligh.
Syafi‟i dan Hanbali menyatakan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya 17 tahun.
Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18
tahun dan anak perempuan 17 tahun.30 Tampaknya pembaharuan peraturan
tentang usia menikah tidak lagi merujuk pada satu mazhab tertentu akan
tetapi disesuaikan dengan kondisi di mana pada batasan usia tersebut
laki-laki atau perempuan Yordania dalam kondisi siap untuk menikah.
B. Negara Tunisia
1. Profil Singkat Negara Tunisia
Secara geografis, Tunisia terletak di bagian utara benua Afrika. Di
sebelah utara dan timur berbatasan dengan Laut Mediterania, di sebelah
selatan dan tenggara berbatasan dengan Libya, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Aljazair. Tunisia berjarak 137 km dari Sicilia, Italia.
Cukup waktu 45 menit penerbangan dari Roma dan 2 jam dari Paris.31
Tunisia memiliki luas wilayah 164.150 km2 dan garis pantai
sepanjang 1.298 km yang terbentang di sebelah barat serta daerah
pegunungan di sepanjang perbatasan Aljazair.32
Dalam hal kependudukan menurut Institusi Statistik Nasional
Tunis data terbaru tercatat populasi Tunisia saat ini mencapai 10.982.754
Juta Jiwa. Untuk pertama kalinya juga jumlah perempuan lebih banyak
30
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Alih Bahasa. Maskur A.B. dkk.,
(Jakarta: Lentera Basritama, 2001), Cet. Ke-7, h. 317-318 31
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tunis dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)
Tunisia, Tunisia Selayang Pandang, (Tunisia: KBRI Tunis, 2006), h. 1
dibandingkan pria, seperti dikutip Middle East Online.33 Dengan
persentase pemeluk Islam 99,5 %.34
Pada pertengahan abad ke-19 dalam kondisi kekuatan ekonomi
Eropa yang semakin meningkat dan lemahnya kekuatan ekonomi dalam
negeri, para penguasa Tunisia telah mencoba melakukan modernisasi di
berbagai bidang. Ini dilakukan ketika Tunisia masih berada di bawah
pengawasan protectorate Perancis (tahun 1884)
Dari tahun 1880-an sampai 1930-an bermunculan para pemimpin
Tunisia baik berlatar belakang ulama maupun birokrat. Pada umumnya
mereka menerima kekuasaan Perancis di Tunisia dan berkonsentrasi pada
bidang pendidikan dan budaya. pada tahun 1888 para alumni Zaetuna dan
college Sadiqi mengeluarkan surat kabar mingguan al-Hadira yang
digunakan sebagai media untuk mengomentari tentang Eropa dan
peristiwa-peristiwa dunia, dan untuk mendiskusikan isu-isu politik,
ekonomi dan sastra.35
Para alumni itu juga mensponsori pendirian sekolah Khalduniyah
pada tahun 1896. Pendirian ini untuk menyuplai pendidikan Zaetuna
dengan subyek-subyek modern. Hasil dari dua lembaga pendidikan ini
adalah: pemuda-pemuda Tunisia yang berenergikan Arab Timur. Mereka
mempromosikan modernisasi dan westernisasi masyarakat Tunisia dan
kebangkitan Arab.36
Kelompok pemuda itu melakukan berbagai reformasi. Mereka
mensponsori reformasi hukum Islam, pendidikan, dan administrasi wakaf.
Mereka juga mensponsori sekolah al-Qur‟an yang di dalamnya diajarkan
aritmatika, geografi, sejarah, dan bahasa Perancis di samping subyek
33
Dalam http://news.okezone.com/read/2014/09/12/412/1038411/, Diakses tanggal 05 Oktober 2015
34
Dalam http://www.religion-facts.com/id/255, Diakses tanggal 05 Oktober 2015 35
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (New York: Cambridge University
Press, 1988) h. 699 36Ibid
Qur‟an dan bahasa Arab. Pada tahun 1907 untuk mengekspresikan aspirasi
politiknya, kelompok pemuda ini membuat jurnal: The Tunisian.37
Pada tahun 1932, Bourguiba menuntut kemerdekaan Tunisia dan
menawarkan perjanjian persahabatan untuk menjamin kepentingan
Perancis. Pada tahun 1934, Bourguiba dan kelompoknya mengambil alih
pimpinan partai dan membuat partai Neo-Destour dengan Materi sebagai
presiden dan Bourguiba sebagai sekretaris jenderalnya. Selanjutnya pada
tahun 1938, pemberontakan terhadap penguasa Perancis terjadi, dan
Bourguiba dimasukkan dalam penjara. Akhirnya pada tahun 1956, Tunisia
resmi merdeka dan protectorate Perancis di Tunisia dihapus.38
Bentuk pemerintahan Negara Tunisia adalah republik yang
dipimpin oleh seorang presiden dengan presiden pertamanya Habib
Bourguiba. Undang-undang Dasarnya disahkan pada tanggal 1 Juni 1959,
yang secara tegas dalam pasal 1 menyebutkan bahwa Tunisia adalah
Negara yang berdasarkan agama Islam. Bahkan lebih jauh lagi, dalam
pasal 38 dinyatakan bahwa presiden Republik Tunisia haruslah seorang
muslim.
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia
Islam masuk dan berkembang di Tunisia pada masa Khilafah
Bani Umayyah hingga Khilafah Turki Utsmani (1574-1591). Di masa
Khilafah Utsmaniah ini, Tunisia menjadi wilayah otonom di bawah
pemerintahan Dinasti Dey (1591-1659), Mouradi (1659-1705) dan
Huseini (1705 –1957) mayoritas penduduknya menganut mazhab
Maliki. Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi
sebagai konsekuensi dari posisinya yang merupakan salah satu daerah
otonom dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574). Karena itu Tunisia bisa
dikata sebagai salah satu wilayah penopang peradaban Islam ketika itu.
Seluruh aktivitas masyarakat di atur ketat dengan prinsip syariat Islam,
37Ibid
.,h. 700
38
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (New York: Cambridge University
mulai dari sistem politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum termasuk
dalam persoalan hukum keluarga.
Ketika Prancis menguasai Tunisia pada rentang abad ke 19 dan
20 masehi, mereka memberikan otoritas berimbang kepada
hakim-hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus
perkawinan, perceraian, warisan dan kepemilikan tanah. Imbas dari
pendudukan Prancis atas Tunisia mengakibatkan sistem hukum Prancis
memiliki tempat dalam kebijakan politik pengadopsian sistem hukum di
Tunisia. Tidak jauh berbeda seperti Indonesia yang pernah dijajah
Belanda cukup lama. Posisi Sistem Hukum Pidana (Wetboek Van
Straprecht) dan hukum perdata (Burgelijk Wetboek) warisan belanda
masih digunakan hingga saat ini.
Secara umum sistem hukum di Tunisia berasal dari sistem
hukum sipil prancis dan hukum Islam. Sebab Tunisia menjadi negara
protektorat Prancis pada tahun 1881. Hukum Keluarga di Tunisia
dominan terinspirasi dari Hukum keluarga madzhab Maliki dan
Madzhab Hanafi.39
Dalam konstitusi pasal 1 dijelaskan: Islam adalah agama negara,
kemudian pasal 38 ditetapkan bahwa President harus seorang Muslim.
Konstitusi semacam ini jarang ditemukan di negara-negara Islam lain
yang dahulu pada umumnya berada dalam pendudukan negara-negara
barat Eropa yang sekuler. Walaupun dalam konstitusi tersebut Islam
nampaknya memiliki tempat yang sangat istimewa, namun Hukum
Islam tidak sepenuhnya diterapkan selain pada ranah keperdataan atau
Hukum Keluarga (The Law of Personal Status).
Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga
mengadopsi prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga output sistem
hukum yang dihasilkan merupakan perpaduan sinergis antara
prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan Hanafi) dan prinsip-prinsip-prinsip-prinsip hukum
39
sipil Prancis (French civil law). Inilah yang mereka namakan upaya
reformasi atau pembaruan hukum Islam di negara mereka.
Setelah kemerdekaan pemerintah Tunisia memberlakukan
undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan dengan
perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Upaya pembaharuan ini
didasarkan kepada penafsiran liberal terhadap syari„ah terutama yang
berkaitan dengan hukum keluarga.
Undang-undang tersebut bernama Majallat Ahwal
al-Syakhshiyah Nomor 66 tahun 1956. Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah
(Code of Personal Status)40 mencakup materi hukum perkawinan,
perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan
hukum Islam Klasik.
Pada tanggal 1 Januari 1957 negara ini resmi memberlakukan
Code of Personal Status (Majallat al-ahwal al-syakhshiyah) No. 66
tahun 1956 sebagai UU keluarga pertama, baik di Pengadilan Negeri
maupun pengadilan Agama. UU ini hasil perpaduan konsep Hanafi dan
Maliki yang dituangkan dalam kitab berjudul Laihat Majallat Al-Ahkam
Al-Syakhshiyah oleh sekelompok ahli Hukum.41 Usaha ini sangat
direspon baik oleh pemerintah sehingga dibentuklah komisi dibawah
pimpinan Syekh Islam Muhammad Ja‟it untuk membuat UU keluarga dengan merujuk kepada kitab tersebut dan UU keluarga Maroko,
Yordani, syiria, serta Turki. UU ini diperbaharui (diamandemen)
beberapa kali dengan keluarnya Law No. 70 tahun 1958, No. 77 tahun
1959, No. 61 tahun 1961, dan No. 7 tahun 1980.42
Pembaruan Hukum keluarga yang kemudian berdampak pada
hukum perkawinan di Tunisia tidak jauh berbeda dengan negara-negara
timur tengah yang lain. Masyarakat Tunisia pada umumnya bermadzhab
Maliki, saat Turki utsmani menjadikan Tunisia bagian dari wilayah
40
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia & Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2009) h. 172 41Ibid
. 42Ibid
Kekhilafahan, masyarakat Tunisia berada dalam dua madzhab. Sebab
saat itu Khilafah Utsmani (Ottoman Empire) menjadikan madzhab
Hanafi sebagai madzhab resmi negara, yang di kemudian hari kedua
madzhab tersebut turut mempengaruhi proses pembaruan hukum
perkawinan.
Penerapan hukum keluarga Islam di Tunisia terkhusus dalam
bidang perkawinan dan pembaruannya melewati proses yang cukup
panjang sebagaimana di alami negeri-negeri Islam lainnya saat
memisahkan diri dari kesatuan wilayah Turki Utsmani dan memutuskan
menjadi negara independen. Setelah memerdekakan diri menjadi negara
republik, beberapa ahli hukum Tunisia mulai memikirkan tentang
sebuah kesatuan perundangan hukum keluarga yang diadopsi dari
madzhab Maliki. Di saat yang bersamaan mereka terinspirasi dari
kodifikasi dan pembaruan hukum keluarga di Mesir, Sudan, Jordan dan
Syria. 43 Dalam perkembangannya Hukum Keluarga di Tunisia telah
mengalami empat kali amandemen, yakni pada tahun 1962, 1964, 1966,
1981 sumber lain menyebutkan enam kali amandemen.44
3. Hukum Keluarga di Tunisia Tentang Batas Usia Nikah
Ketentuan batas usia perkawinan pertama kali sebelum diperbarui
yaitu wanita 15 tahun dan pria 18 tahun.45 Setelah dilakukan perubahan
laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah
berusia minimal 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi
pasal 5 UU 1956 yang mana sebelum diubah, ketentuannya adalah 17
tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan ketentuan
tersebut, untuk dapat melangsungkan perkawinan, pasangan yang berusia
di bawah 20 tahun harus mendapat izin dari wali. Jika wali tidak
memberikan izin, perkara tersebut dapat diputus oleh pengadilan.46
Bunyi pasal 5 dan 6 dalam The Code of Personal Status yang
mengatur tentang batas usia pernikahan dapat dilihat di bawah ini, sebagai
berikut:
Pasal 5
a. Pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan harus bebas dari
halangan pernikahan
b. Seseorang laki-laki yang belum berumur 20 tahun dan seorang wanita
yang belum berumur 17 tahun tidak dapat melakukan kontrak
pernikahan
c. Pernikahan seseorang di bawah umur tersebut harus mendapatkan izin
dari pengadilan. Izin tersebut tidak diberikan kecuali ada alasan yang
kuat dan ada kepentingan yang jelas dari kedua belah pihak.
Pasal 6
Pernikahan seseorang yang tidak sampai umur dewasa harus mendapatkan
izin dari wali. Jika wali menolak untuk memberikan izin terhadap
pernikahan tersebut, maka persoalan tersebut diputuskan oleh
pengadilan.47
Penelusuran aturan-aturan hukum fikih menunjukkan kemajuan
baru dalam hukum keluarga Islam dengan ditetapkannya batas usia
pernikahan dalam The Code of Personal Status. Seluruh mazhab hukum
fikih mengakui adanya hak wali untuk menikahkan putrinya tanpa adanya
izin dari kedua belah pihak. Dengan hak ini, maka orang tua dapat
menikahkan putra atau putrinya walaupun ia masih berumur belum
baligh.48
Al-Kasani mendasarkan pendapatnya bahwa boleh menikahkan
anak-anak yang belum dewasa, pada sebuah hadis yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad menikahi „Aisyah r.a yang ketika itu dalam suatu
riwayat masih berumur enam tahun dan pada riwayat yang lain berumur 9
47
Rahmat Arijaya, Hukum Perkawinan Tunisia (Studi Pemikiran Hukum Islam di
Tunisia) (Tesis: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h.109-110 48
Muhammad bin Abi Sahal Al-Sarakhsi Abu Bakar, Al-Mabsut (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
tahun. Berbeda dengan pendapat ini, Ibnu Syabramah berpendapat lain
bahwa tidak boleh menikahkan anak kecil kecuali ia telah sampai umur
baligh (dewasa). Ibnu Syabramah kemudian menjelaskan bahwa apabila
boleh pernikahan anak kecil maka tidak ada gunanya ditetapkannya
perwalian bagi anak kecil. Apabila suatu pernikahan bertujuan
menyalurkan kebutuhan biologis (pleasure) dan untuk mendapatkan
keturunan (recreation) maka pernikahan anak kecil tidak dapat
mewujudkan tujuan tersebut.49
Melihat keberadaan pendapat-pendapat ulama fikih tentang nikah
anak-anak menunjukkan bahwa penetapan umur sebagai sebuah kapasitas
seseorang baik laki-laki atau perempuan adalah suatu aturan yang maju.
Bagi wanita khususnya, demikian juga halnya laki-laki, aturan hukum ini
akan memungkinkan mereka mendapatkan kesempatan menikmati
pendidikan, kerja yang lebih luas. Dengan pendidikan yang lebih baik,
memungkinkan wanita dapat menunjukkan jati diri dan kemampuannya.50
C. Negara Pakistan
1. Profil Negara Pakistan
Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan
kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa merupakan
negara muslim terbesar kedua di dunia. Negara ini dihuni oleh beragam
kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan
secara damai di bawah panji agama yang beragam pula. Islam tercatat
sebagai agama terbesar yang dianut oleh 97 % jumlah penduduk Pakistan.
Sementara agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya, hidup secara
damai di negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afghanistan di
Barat Laut, India di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut.51
Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris
ketika menjadi bagian dari wilayah India. Sejarah kontemporer anak benua
India dan Pakistan bermula dari hancurnya Imperium Mughal dan
pendudukan Inggris di India. Penjajahan Inggris telah menghancurkan
posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi,
pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita.52
Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik,
kolonisasi ini juga mempunyai dampak dan kerugian lebih jauh pada
budaya (kultural) di mana pada awalnya mereka bersikap simpatik
terhadap program pendidikan tradisional Muslim dan terhadap kultur
klasik bangsa India. Namun lambat laun mereka mulai menindas praktek
keagamaan di mana mereka sering menjatuhkan hukuman secara sadis dan
kejam. Adapun bahasa Inggris menjadi bahasa pemerintahan dan
pengajaran dan bahasa Mughal dihapus sebagai bahasa resmi di
pengadilan. Islam merupakan agama mayoritas di Pakistan. Dalam
kehidupan keagamaan, di mana yang berbahasa resmi Urdu ini tumbuh
beberapa aliran mazhab, mazhab Hanafi dikenal sebagai mazhab
mayoritas, ditambah mazhab lain seperti Syi‟ah dan Hambali.53
Toleransi antara umat beragama terjalin baik di Pakistan. Mereka
yang minoritas seperti Hindu, Kristen dan Budha hidup dalam alam
demokrasi dan toleransinya yang menjunjung tinggi kebebasan beragama
dan lebih dari itu mereka dianggap sahabat. Kehidupan keberagamaan di
Pakistan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan
keberagamaan di negara muslim lainnya. Islam menjadi jalan hidup (way
of life) yang mereka anut secara mendalam. Pandangan hidup, rasa dan
kecenderungan mereka sepenuhnya adalah Islam, sementara tradisi dan
budaya tidak berpengaruh pada karakteristik Islam secara esensial.54
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Pakistan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Zamroni
menyatakan bahwa Pakistan memiliki tradisi teo-demokrasi constitutional
yang sudah berjalan cukup lama ketika dipengaruhi Inggris, terlihat dari
kurikulum pendidikan hukum dan praktik perundang-undangan yang
berlaku. Konstitusi 1956 yang didasari atas pemikiran Abu A‟la Al
-Maududi dan Muhammad Assad menyatakan sebagai Republik Islam
dapat dirasakan sebagai sebuah karakter religius sampai tahun 1962. 55
Pada waktu yang bersamaan kekuatan Islam politik bersaing
dengan kekuatan yang memperjuangkan Republik Pakistan (tanpa kata
“Islam”) berusaha mengganti frase “Al-Quran dan Sunnah”. Perebutan kekuasaan antara semangat Negara Islam dengan Negara sekuler
tergambar dalam Pasal 1 Konstitusi 1956 yang inti bunyinya bahwa
Pakistan akan menjadi republik federal yang dikenal sebagai republik
Islam Pakistan.56
Lanjutnya dalam penelitian menyatakan bahwa dalam amandemen
ketiga yang terjadi pada 1973 melahirkan konstitusi pertama yang
disahkan melalui sebuah majelis nasional dengan menempatkan
dasar-dasar pemerintahan Islam dengan prinsip demokrasi seperti dinyatakan
pada mukadimah konstitusi yang inti bunyinya bahwa dalam
prinsip-prinsip keadilan demokrasi, kebabasan, kesertaraan, toleransi dan sosial
sebagaimana yang diutarakan dalam Islam harus sepenuhnya diamati
secara seksama. Yang mana pada setiap umat Islam haruslah diterapkan
untuk menata hidup mereka baik idividu maupun secara bersama sesuai
dengan ajaran Islam dan pula yang disyaratkan dalam Al-Quran dan
Sunnah.57
Inilah yang menjadi gambaran tradisi yang diterapkan sejak lama
oleh Negara Pakistan dan menjadi sebuah aturan dalam menetapkan
55
Muhammad Zamroni, Sumber Hukum dan Konstitusionalitas Undang-undang:
Perbandingan Indonesia dengan Beberapa Negara Muslim (Pakistan, Mesir dan Iran), (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 78
56
Lihat, Constitution of Pakistan 1956, Chapter 1 57
sebuah hukum yang ingin diterapkan oleh Negara tersebut. Sehingga kita
pun akhirnya tahu bahwa Pakistan merupakan Negara yang memilki
karakteristik sangat kental dengan nuansa religius dalam menetapkan
pasal-pasalnya. Hal ini pun juga tentutnya yang menjadikan corak hukum
keluarga Islam yang diterapkan di Negara Pakistan pun pastinya
berasaskan tradisi teo-demokrasi.
Sejarah hukum di Pakistan hingga 14 Agustus 1947 berbagi dengan
India. Pada saat pembentukan negara ini pada tanggal tersebut, ia mewarisi
dari negara induknya India. Untuk lebih jelasnya tentang sejarah
terbentuknya UU Hukum Keluarga di Pakistan, seperti berikut ini:
a. UU Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Kasta Sosial Tahun 1850;
b. UU Perceraian tahun 1869 dan UU Perkawinan Kristen Tahun 1872;
c. UU Orang Dewasa Tahun 1875;
d. UU Perwalian dan Orang yang di Bawah Perwalian Tahun 1890;
e. UU Validasi Wakaf Tahun 1913-1930;
f. UU Wakaf tahun 1923 (diamandemen di Propinsi Sind oleh UU lokal,
yakni UU No.18/1935);
g. UU Pencegahan Perkawinan Anak Kecil tahun 1929;
h. UU Hukum Keluarga Islam (Syariah) Tahun 1937; dan
i. UU Perceraian Islam Tahun 1939. 58
Pada tahun 1961, Komisi Nasional negara Pakistan
merekomendasikan beragam masalah keluarga bagi penyempurnaan UU
Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat Komisi
tersebut, suatu ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga
Islam disahkan pada tahun 1961. Konstitusi pertama Republik Islam
Pakistan yang diresmikan pada tahun 1956 menetapkan bahwa tidak satu
pun UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam akan
diberlakukan, dan UU yang demikian harus ditinjau ulang dan direvisi
agar sejalan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Akan tetapi konstitusi ini
58
Mufti, "Hukum Keluarga Islam di Pakistan", dalam http://www.scribd.com/, Artikel
dicabut pada tahun 1958. Ketika Konstitusi 1956 dicabut, pemerintah
Pakistan meresmikan Ordonansi Hukum Keluarga Islam 1961 yang
didasarkan pada rekomendasi yang disampaikan dalam laporan Komisi
Nasional.59
Suatu konstitusi baru disahkan di Pakistan pada tahun 1962, yang
sekali lagi memberi mandat atau amanat kepada negara untuk tidak
memberlakukan UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam
dan konstitusi ini mengakomodasi kembali ajaran-ajaran dasar Islam
seperti yang terdapat dalam konstitusi terdahulu.
Bidang hukum Islam seperti didefinisikan dalam UU Hukum
Keluarga 1961 itu adalah lebih luas dibanding yang ada di bawah UU
Syariat 1937. Pada tahun 1964 UU Peradilan keluarga mengamanatkan
pembentukan peradilan keluarga di seluruh wilayah Pakistan, yang
tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang berkenaan dengan
perselisihan keluarga dan perkawinan.
Konstitusi Pakistan yang baru, yang diumumkan pada tahun 1973,
menyatakan bahwa semua UU yang ada harus disesuaikan dengan
ajaran-ajaran dasar Islam seperti ditetapkan Al-Quran dan Sunnah serta tidak satu
pun UU yang diberlakukan bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.
Pada 1979 Pemerintah Pakistan memutuskan untuk kembali
menegakkan supremasi Syariah dalam semua bidang hukum. Sepanjang
1980-1985, Konsitusi 1973(sejak mengalami sejumlah amandemen)
diamandemen kembali, yakni berkenaan dengan perihal norma-norma
Syariah. Dalam UU Hukum Keluarga yang berlaku di Pakistan yaitu The
Muslim Family Laws Ordinance, kita akan mendapatkan
ketentuan-ketentuan penting mengenai intisari dari undang-undang tersebut, berikut
penjelasannya:
a. Ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan;
b. Ketentuan keharusan adanya persetujuan lebih dahulu dari Majelis
Arbitrase bagi perkawinan bigami atau poligami;
c. Ketentuan keharusan pemberitahuan perceraian yang diberikan kepada
pegawai negeri sipil yang berkompeten membentuk Majelis Arbitrase
dan ketentuan perdamaian selama tiga bulan dalam perceraian;
d. Ketentuan hukuman bagi perbuatan melawan hukum tentang
maskawin dan pembatasan biaya serta hadiah perkawinan;
e. Pengenalan prinsip reperesentasi dalam hukum kewarisan bagi
kemaslahatan ahli waris, yakni ahli waris pengganti;
f. Ketentuan penanganan sengketa atau perselisihan perkawinan oleh
pengadilan keluarga secara khusus.60
3. Hukum Keluarga di Pakistan Tentang Batas Usia Nikah
Materi hukum keluarga terkait dengan batas usia pernikahan di
Pakistan, dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki
sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Hal tersebut
termaktub dalam Ordonansi No. 8 Tahun 1961 pasal 4, 5 dan 6 ayat 1.
Maka jika terjadi pernikahan antara pria yang berusia diatas 18 tahun
terhadap perempuan di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara
maksimal 1 bulan atau denda maksimal 1000 rupee ataupun keduanya
sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang
menyelenggarakan, memerintahkan atau memimpin pernikahan mempelai
di bawah umur.61
D. Negara Malaysia
1. Profil Singkat Negara Malaysia
Berbicara tentang Negara Malaysia ada keunikan tersendiri.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia menyuguhkan suatu
pengalaman Islam yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat yang
multi-etnik, multi-komunal dan multi-agama tempat bangsa Melayu yang
60Ibid . 61
merupakan 45% dari seluruh penduduknya. Namun demikian bangsa
melayu mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya
terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan yang terbesar
adalah komunitas Cina (35%) dan India (10%). Tidak dapat dielakkan
bahwa keberadaan dua etnik tersebut di Malaysia merupakan produk
sejarah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia (Melayu) berada pada
persimpangan jalur perdagangan Asia Tenggara, Semenananjung Melayu
menjadi pusat berkumpulnya berbagai pengaruh Agama dan Kebudayaan
karena disinilah para pedagang dari India, Arab, dan Cina serta kaum
penjajah Portugis, Belanda dan Inggris membawa serta ajaran Hindu,
Budha, Kristen dan Islam ke Asia sehingga membentuk mozaik
kebudayaan yang sangat kaya warna. Dua proses kebudayaan yang paling
kuat membentuk wilayah tersebut adalah Indianisasi yang berlangsung
selama berabad-abad yang kemudian disusul dengan Islamisasi dari abad
keempatbelas disaat para pedagang Muslim dan para Sufi dari Arab dan
India mengajak para penguasa (sultan) Melayu untuk memeluk Agama
Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara.62
Karena Negara Malaysia juga merupakan bekas daerah jajahan
Portugis dan Belanda yang kemudian disusul dengan kedatangan Inggris
pada akhir abad ke-18. Tentunya hal tersebut nantinya akan berpengaruh
terhadap produk hukum yang dibuat Malaysia, karena tidak menutup
kemungkinan hukum yang dibawa penjajah juga membumi di Malaysia.
Dari beberapa uraian diatas merupakan pijakan penulis untuk membahas
Hukum Keluarga Islam di Malaysia karena disamping menengok sejarah
Malaysia ke belakang tentunya juga harus melihat kondisi sosio politik
yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya itu merupakan faktor
penentu dari produk hukum yang dihasilkan.
Malaysia merupakan Negara bagian yang memiliki tiga belas
Negara Federasi diantaranya Johor, Kedah, Kelantan, Malaka,
62
John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim (Jakarta:
Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak,
Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuan63 diantaranya Kuala
Lumpur, Labuan dan Putra Jaya. Negara Malaysia pernah berada di bawah
kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris
sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada
tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang
sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini
adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits
Settlement ( Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States (
Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States
(Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak
yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan
Malaysia.64
Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal
31 Agustus 1957. Penganut Agama Islam pada tahun 2004 sekitar 60
persen dari keseluruhan jumlah penduduk, sebagian besar umat Islam di
Malaysia bermazhab Syafi'I sekalipun ada juga yang menganut mazhab
Hanafi walau dalam jumlah sedikit. Agama-agama lain yang ada di
Malaysia diantaranya Budha (Cina dan India), Hindu dan Kristen.
Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3
dinyatakan bahwa “Islam adalah agama Federasi”, tetapi agama-agama
lain diterima dan diperkenankan. Dalam konstitusi Malaysia juga
menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam.
Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip
kebebasan beragama.65
63
Wilayah persekutuan adalah salah satu negeri atau wilayah yang membentuk persekutuan tanah Melayu (Malaysia). Wilayah persekutuan diperintah secara langsung oleh kerajaan persktuan dibawah kekuasaan Perdana Mentri. Lihat, Taufik Adnan Kamal dan Samsu
Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam Dari Indonesia Hingga Negeria (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2004) h. 156 64Ibid
. 65Ibid
Hal yang menarik dari Konstitusi Malaysia sebagaimana dikatakan
John L. Esposito66 adalah bahwa konstitusi tersebut mengabadikan
identifikasi agama dan etnik (kedudukan istimewa bagi Islam, Sultan dan
kaum Muslim Melayu). Menurutnya konstitusi tersebut mendefinisikan
orang melayu sebagai “Orang yang mengaku memeluk agama Islam,
terbiasa berbicara dengan bahasa melayu, dan menyesuaikan diri dengan
adat-isitiadat Melayu”. Orang-orang melayu menikmati hak istimewa yang
mencakup system kuota Melayu dalam pendidikan, pemerintahan, dan
bisnis.
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Malaysia
Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia merupakan Negara
multikomunal, Sejak awalnya dengan adanya dua etnis yakni Cina dan
India merupakan masa di mana Malaya dalam proses Indianisasi, yang
kemudian disusul pula upaya Islamisasi dari beberapa pedagang muslim
dan para Sufi dari Arab. Atas dasar itu maka John L. Espositro67
menganggap bahwa sejak periode paling awal di Malaysia, Islam
mempunyai ikatan erat dengan politik dan masyarakat, secara tradisional
di Negara-negara bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan, jika tidak
diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh aura
kesucian agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan
Melayu, memberikan kesadaran tentang agama, nilai-nilai tradisional,
kehidupan pedesaan dan kehidupan keluarga secara terpadu. Lebih jauh
lagi dikatakan bahwa Islam merupakan sumber legitimasi para sultan,
yang memegang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan
pelindung hukum Islam, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai adat. Islam
dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan, menjadi orang Melayu
berarti menjadi Muslim.
Pada saat Melayu dijajah oleh Inggris nilai-nilai Islam sebagaimna
tersebut diatas menjadi terusik, karena memang watak kolonialisme
66
John L. Esposito, Op.Cit., h. 167
Inggris adalah politik pecah belah, di samping itu juga adanya upaya
Inggris untuk memisahkan antara agama dan Negara. Hal ini terwujud
dengan diperkenalkannya administrasi sipil dan sistem hukum yang
berbeda dengan sistem hukum dan peradilan Islam. Pada saat yang sama,
masyarakat juga menjadi lebih pluralistis yang disebabkan adanya imigrasi
besar-besaran orang-orang non- Muslim Cina dan India. Usulan –usulan
Inggris kepada serikat Melayu untuk bersatu dengan kesamaan hak warga
negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, karena
dikhawatirkan adanya pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta
pengaruh komunitas Cina dan India.
Dari serentetan gejolak politik bangsa Melayu maka pada saat yang
sama yakni pada tahun 1951 munculah Partai Islam pan Melayu (PMIP :
Pan Malaya Islamic Party) yang kini dinamakan dengan PAS (Partai
Islam Se-Malaysia) yang menawarkan pesan dan program partai yang
menggabungkan nasionalisme Melayu dan Islam.68 Menurut Taufik Adnan
bahwa partai ini lebih bersifat konservatif karena ingin menjadikan Islam
sebagai landasan perjuangannya serta menjadikan Islam yang mereka
pahami sebagai sistem cara hidup sempurna, yang mencakup aturan-aturan
pidana Islam, sebagai konstitusi dan hukum yang berlaku di Malaysia.69
Sementara UMNO (United Malaya National Organization) yang didukung
oleh ABIM70 (Angkatan Belia Islam Malaysia) lebih kepada menggunakan
pendekatan akomodatif dan moderat tetapi tidak kaku dalam memaknai
Islam. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa dalam kancah
perpolitikan nasional Malaysia terdiri dari dua kubu yang bersimpangan
pendangan mengenai Islam. PAS lebih cendurung untuk menjadikan
Negara Islam dalam arti Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai
68
Ibid. 69
Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Loc.Cit
70
ABIM adalah gerakan pemuda Islam yang lebih mendukung UMNO dipimpin oleh oleh aktivis muda Anwar Ibrahim almunus Universitas Malaysia, diantara pemikirannya adalah dia tidak sepakat dengan adanya usaha pembentukan undang-undang yang ditawarkan PAS mngenai khalwat yang dan bagian-bagian kecil lain dari ajaran Islam. Menurutnya bahwa hal yang perlu mendapat perhatian pada persoalan hubungan komunal, politik dan ekonomi. Lihat, John L.
hukum yang berdaulat yang berarti syariat Islam menjadi konstitusi
Negara. Sedangkan UMNO dan ABIM lebih kepada upaya menghidupkan
nilai-nilai Islam dalam konteks masyarakat yang pluralis serta bersikap
akomodatif terhadap dua etnis (Cina dan India) yang ada di Malaysia.
a. Sebelum Kekuasaan Inggris
Sebelum datangnya penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia
adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Ada dua bentuk hukum
adat yang berlaku di Malaysia, yakni: (1) Adat Perpateh, yang
mengandung struktur matrilineal, dan (2) Adat Temanggung, yang
mengandung struktur bilateral. Adat Perpateh yang aslinya dibawa
oleh para imigran Minangkabau ke Malaysia sekitar abad 16 berlaku di
wilayah negeri sembilan, Melaka dan daerah Naning.71
Dengan ungkapan lain oleh Abdul Monir bin Yaacob, seorang
yang banyak menulis tentang Perundang-undangan Keluarga Malaysia,
Undang-undang yang berlaku di negara-negara Melayu sebelum
campur tangan Inggris adalah Adat Perpateh untuk kebanyakan
orang-orang Melayu di Negeri Sembilan dan beberapa kawasan Naning di
Melaka, dan Adat Temanggung di bagian-bagian lain Semenanjung.
Sedang orang Melayu di Sarawak mengikuti UU Mahkamah Melayu
Sarawak. UU tersebut sangat dipengaruhi Hukum Islam, khususnya
dalam masalah perkawinan dan perceraian.72 Lebih rinci Yacoob
menulis, pada masa kesultanan Melayu sebelum datangnya pengaruh
Barat, UU yang berlaku di samping hukum Kanun Malaka terdapat
(Philadelpia: Dissertation di Temple University, 1985) h. 30, 35-37, 50; Abdul Monir b. Yaacob,
An Introduction to Malaysian Law (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1989) h. 27 72
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata…op.cit., h. 101-102; Lihat, Abdul Munir
Yacoob, Pelaksanaan Undang-undang Islam dalam Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil di
undang Melayu tersebut dipengaruhi Hukum Kanun Melaka.73
Kanun-kanun tersebut dapat disimpulkan bersumber pada Adat dan Islam
(Syari‟ah). Bagian-bagian yang dipengaruhi Islam adalah pada bab-bab
perkawinan, jual beli, dan pengadilan.74 Sementara Islam
diimpelementasikan di Malaysia sejak Sultan Malaka pertama
memeluk Islam. Buku yang dipakai ketika itu adalah Fath al-Qarib
oleh al-Qasim al-Ghazi dan Mejelle, yang lahir semasa kekuasaan
Ottoman Turki. Mejelle digunakan pula di beberapa waktu di Johor
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan diberlakukan di
beberapa pengadilan di negera Johor. Namun perlu dicatat pula bahwa
dalam bidang hukum perdata, telah dilaksanakan oleh sekelompok
pedagang muslim sebelum Sultan Malaka memeluk Islam. Sebab
sultan memberi mereka yurisdiksi untuk melaksanakannya di kalangan
mereka.75 Disebutkan pula bahwa Sultan Malaka melahirkan dua buku
hukum tertulis, yakni Hukum Kanun Melaka dan Risalah Hukum
Kanun, di samping masih ada Undang-undang Laut Melaka. Hukum
Kanun Melaka dan Risalah Kanun Melaka didasarkan pada pandangan
mazhab Syafi‟i.76
Adapun penegak keadilan sebelum masuknya pengaruh Inggris
di Negara Melayu diserahkan kepada raja-raja, orang-orang besar
negeri dan ketua-ketua kampung. Ada bukti seperti di Trengganu dan
Perak yang menunjukkan bahwa Sultan sendiri yang menjalankan
tugas kehakiman sebagai Mahkamah Agung (Mahkamah Rayuan). Di
Kelantan, Mufti dan Kadi menjalankan tugas pengadilan di Pengadilan
Agama (PA) atau Mahkamah Syari‟ah tingkat satu.77 Hal ini berbeda
dengan Negara-negara Selat. Dicatat juga, Kadi dan Mufti diangkat di
73
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 102; Abdul Monir Yacoob, Undang-undang Keluarga
Islam di Malaysia: Perlaksanaan dan Penyeragaman, Paper Seminar Serantau UU Keluarga Islam dan Wanita, 9-10 Maret 1998, oleh Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), h. 3-4
74
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 102
75
Ibid., h. 102-13
76
Lihat, Sharifah Suhana Ahmad, Malaysian Legal System (Kuala Lumpur: Malayan Law
Journal Sdn Bhd., 1999) h. 3 77
Kelantan sejak awal tahun 1830-an. Sebelumnya tugas ini dijalankan
oleh raja.78
Rekaman terawal UU Islam di Malaysia adalah Batu Surat di
Trengganu, yang bertuliskan tahun 702/1303. Undang-undang Batu
Bersurat Trengganu ini memuat sembilan atau sepuluh aturan, yakni
diawali dengan Mukaddimah disertai dengan penetapan pada bulan
Rajab 702 H. Tiga undang-undang pertama hilang karena serpihan batu
tersebut hilang. Aturan keempat berhubungan dengan hutang-piutang
(tetapi agak samar), demikian juga aturan kelima hilang. Aturan
keenam adalah tentang hukuman bagi pelaku zina, yaitu rajam dengan
batu bagi orang yang sudah nikah, dan rotan seratus kali bagi orang
belum nikah. Aturan ketujuh tentang aturan bagi wanita yang kurang
sopan, aturan kedelapan tentang hukuman tuduhan zina antara suami
dan istri, dan aturan kesembilan tentang penetapan, bahwa
undang-undang ini berlaku bagi semua tanpa pandang bulu.79 Dengan
demikian, isi Undang-undang Batu Bersurat ini adalah hukuman bagi
orang-orang yang melakukan kesalahan. Adapun hukuman yang
tertulis dalam Batu Surat ini adalah hukuman bagi orang-orang yang
melakukan kesalahan. Adapun hukuman yang tertulis dalam Batu
Surat ini mengikuti al-Quran dan Sunnah Nabi.80 Yacoob menyebut
bahwa keberadaan Batu Tertulis ini sebagai bukti adanya pengaruh
Islam di Malaysia.81 Sedang Kanun Melaka (disebut juga
Undang-undang Melaka), merupakan UU tertulis kedua, setelah Batu Surat
Trengganu. Meskipun ada yang berpendapat isi Kanun Melaka sebagai
Undang-undang Negara dalam lingkungan Temanggung, tetapi
78
Lihat, Abdullah Alwi Haji Hassan, The Adminstration of Islamic Law in Kelantan
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996) h. 2-3 79
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 103-104; Lihat, Abdul Karim bin Haji Muhammad,
Sejarah Penulisan Hukum Islam di Malaysia,(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996) h. 2-3
80
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 104; Lihat, Tan Sri Datuk Ahmad Muhamed Ibrahim,
Penghakiman UU Keluarga Islam, Paper Seminar Serantau Undang-undang Keluarga Islam dan Wanita, tanggal 9-10 Maret 1998, oleh Institut Kesefahaman Islam Malaysia (IKIM), h. 5
81
mayoritas berpendapat bahwa Kanun Melaka mengandung unsur
Islam, yang bercampur dengan hukum Adat. Misalnya Abu Hassan
Syams berpendapat Kanun Melaka adalah UU Negara dalam
lingkungan Adat Temanggung. Dasar kajian Abu Hassan adalah
“Risalah Hoekoem Kanoen” edisi S. van Roukel, naskah yang lebih awal. Menurut Azizah Abdel Razak, kanun ini mengandung hukum
Islam dan Adat, tetapi unsur Islamnya lebih banyak. R.O. Winstedt
mengatakan naskah tersebut mengandung unsur Islam. Menurut Liaw
Yock Fang, S. van Roukel telah menghilangkan empat bab yang
berbicara nikah, dan 13 bab yang menguraikan jual beli. Roukel tidak
menjelaskan sebab-sebab hilangnya. Roukel hanya mencatat bahwa
pasal 24 edisinya adalah pasal 29 dalam naskah lain, dan pasal 27
edisinya adalah pasal 44 dalam naskah lain. Adapun pasal-pasal yang
dihilangkan Roukel, menurut Liaw Yock Fang adalah:
1) Pasal 25 tentang Hukum Perempuan,
2) Pasal 26 tentang Saksi dan Nikah,
3) Pasal 27 tentang Khiyar,
4) Pasal 28 tentang Talak,
5) Pasal 30 tentang Orang Berdagang Dan Mengambil Riba,
6) Pasal 31 tentang Berdagang Tanah,
7) Pasal 32 tentang Muflis,
8) Pasal 33 tentang Hukum Memberi Modal Kepada Seseorang,
9) Pasal 34 tentang Amanah,
10)Pasal 35 tentang Ikrar,
11)Pasal 36 tentang Orang Murtad,
12)Pasal 37 tentang Saksi,
13)Pasal 38 tentang Menuntut dan Yang Dituntut,
14)Pasal 39 tentang Jenayah Membunuh,
16)Pasal 41 tentang Memaki Anak Haram (Anak Zina).82
Sejalan dengan pandangan Azizah Abdel Razak dan Liaw Yock
Fang, adalah pendapat Abu Bakar Abdullah, bahwa Kanun Melaka
mengandung unsur Undang-undang Islam. Kesimpulan diambil setelah
mempelajari tiga naskah Kanun Melaka, yakni: (1) naskah van Roukel,
yang mengandung 17 pasal, (2) naskah dari Musium British yang
berisi 40 pasal, dan (3) naskah Liaw Yock Fang yang berisi 44 pasal.
Adapun pasal-pasal yang mengandung unsur Islam menurut Abu Bakar
Abdullah, adalah:
1) Undang-undang tentang Jenayah,
2) Undang-undang tentang Muamalah,
3) Undang-undang tentang Keluarga, dan
4) Undang-undang tentang Hukum Acara, yang jumlahnya 28 pasal.83
M. B. Hooker, yang juga mendasarkan kajiannya pada versi
Liaw Yock Fang, membagi isi Undang-undang Melaka kepada enam
kelompok, yakni:
1) Hukum Umum [pasal 1 s/d 23 (1)];
2) Hukum Kelautan [pasal 23 (2-5) s/d 24 (1-2) + 29];
3) Hukum Perkawinan [pasal 25 s/d 28];
4) Muamalat dan Acara [pasal 30 s/d 43 (1)];
5) Hukum Tatanegara [pasal 43 (2) s/d 44 (1-8); dan
6) Hukum Johor [pasal 44 (9-11)].
Sebenarnya di kelompok Muamalat dan Acara dimasukkan juga
hukum Jinayat, yakni pasal 39 s/d 42. Pada bagian pertama pun
menurut Hooker ada unsur ajaran Islam, yakni pada pasal 5 (1) s/d 16
(1).84
Karena itu Yacoob mengatakan, pada masa kesultanan Melayu
sebelum datangnya pengaruh Barat, kerjaan Melaka memerintah
mengikuti Hukum Kanun Malaka yang bercampur antara Islam dan
Adat.85
Hukum Kanun Pahang adalah Undang-undang Islam tertulis
ketiga. Adapun kegiatan penulisan Hukum Kanun Pahang menurut
para sejarawan, dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Ghafur Muhayyudin Shah Pahang (1592-1614). Kanun ini merupakan
lanjutan dari Hukum Kanun Melaka. Namun Hukum Kanun Pahang
diketahui dari dua naskah yang tersimpan di negeri Perak. Atas usaha
British kedua naskah itu disalin, yang kemudian salinannya dibawa ke
Inggris. Kedua peninggalan Maxwell dan tersimpan di perpustakaan
Royal Asiatic London. Manuskrip pertama dikenal dengan halaman 17,
sedangkan manuskrip kedua dikenal dengan halaman 20.86
Manuskrip 17 disalin tahun 1926/1879, untuk Maxwell yang
menjadi Residen British di Larut, Perak. Manuskrip ini disalin dari
manuskrip yang dimiliki bendahara, yang kemudian dikenal dengan
Sultan Idris ibn Raja Iskandar, dan disalin oleh seseorang yang
bergelar Fakih Si Raja Mantri dari Melaka tahun 1234/1819.
Penyalinan untuk Maxwell tidak dinyatakan. Sementara naskah kedua
disalin tahun 1300/1884 oleh Luakang bin Muhammad Rasyid yang
bertuliskan (tercatat) 1248/1832, milik Dato Sri Adika Raja.87
Hukum Kanun Pahang ini mempunyai pasal yang lebih banyak
dari Hukum Kanun Melaka, yakni 93 pasal. Namun menurut Abu
Bakar Abdullah, Hukum Kanun Pahang ini hanya memuat 65 pasal.88
Sayangnya belum ada data pembanding untuk menentukan mana di
antara kedua pendapat ini yang sesuai dengan fakta sejarah.
Undang-undang berikutnya yang mengandung unsur Islam di
Malaysia adalah undang Sembilan puluh Sembilan.
85
M.B. Hooker, Islamic Law in South-East Asia (Oxford, New York, Singapore: Oxford
University Press, 1984) h. 9-15 86
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 108
87Ibid
., h. 108-109 88Ibid
undang ini terdapat di Perak. Menurut J. Rigby, undang-undang ini
dibawa oleh Syed Hasan ke Perak ketika negeri itu berada di bawah
pemerintahan Sultan Ahmad Tajuddin Shah dan Tuan Syed Abdul
Majid sebagai menterinya. J. Rigby yang bertanggung jawab
menerjemahkan Undang-undang Sembilan puluh Sembilan ke dalam
bahasa Inggris tidak menyatakan dengan tepat tahun penetapan
undang ini dibawa ke Perak. Hanya saja disebutkan
undang-undang ini dibawa masuk pada masa pemerintahan Sultan Ahmad
Tajuddin Shah dan Tuan Syed Abdul Majid sebagai menterinya.
Sementara berdasar sejarah Sultan Ahmad Tajuddin Shah memerintah
pada tahun 1577 sampai dengan 1584 ketika Perak berada di bawah
kekuasaan (takluk) Aceh, dan merupakan Sultan Perak ke-3. Karena
itu mestinya undang-undang ini disalin dan digunakan tidak lebih dari
tahun 1584. Dengan demikian, pernyataan buku ini dibawa ke Melayu
pada abad ke-17, dan dilaksanakan pada abad ke-18 tidak sejalan
dengan fakta sejarah.89
Menurut R.O. Wistedt undang-undang ini dibawa ke Perak oleh
Syed Husein pada abad ke-17 selanjutnya dicatat:
“The fullest and most interesting of these laws the Ninety nine law of Perak, purport to have been brought to Malay in the seventeenth
century by a Sayyid Husein al-Faradz of the great Hadramaut house of
Ahmad bin Isa al-Muhajir and to have been used by his descendants,
who form the middle of the eighteenth century held the post of Mantri
in Perak for several generations.”90
Meskipun ada pendapat yang mengatakan undang-undang ini
secara tidak langsung dipengaruhi oleh undang-undang Melaka dan
undang-undang negeri Melayu lainnya, akan tetapi undang-undang ini
89Ibid ., h. 109 90Ibid
ditulis dalam bentuk soal jawab antara Raja Nushirwan dengan
menterinya Buzurjumhur.91
Menurut Abu Bakar Abdullah, bentuk susunan undang-undang
ini kira-kira sama dengan isi kitab Ihkam fi Tamyiz Fatwa
al-Ahkam wal Tasarrufat al-adi wal Imam, karangan Imam al-Qarafi,
pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Hanya saja kitab ini berisi 40
soal jawab, semntara undang-undang Perak berisi Sembilan puluh
Sembilan soal jawab.92
Dengan demikian, Hukum Kanun Pahang dan Undang-undang
Sembilan puluh Sembilan termasuk di antara undang-undang Melayu
lama, di samping undang-undang Kedah dan Undang-undang Johor.
Sayang tidak ditemukan penjelasan tentang keberadaan undang-undang
Kedah dan Undang-undang Johor.
Kemudian Perundang-undangan Islam ini diikuti dengan kitab
Shirot al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniry,93 kemudian kitab
Syekh Abdul Rauf al-Fansury yang berjudul Mira‟atul al-Thulab li
Ma‟rifati asy-Syari‟ati al-Maliki al-Wahab.94
Sepanjang kekuasaannya di Semenanjung Melayu (dengan
ditaklukkannya Melaka pada tahun 1511)95, Portugis mengambil dan
menggunakan Undang-undang Melaka dengan beberapa perbaikan ke
negeri-negeri Melayu, seperti Pahang, Johor, Kedah dan Berunai.96
Pada kesempatan lain Yacoob menulis, penjajah Portugis dan Belanda
(1641) tidak begitu jelas (maksudnya barang kali tidak begitu banyak)
merubah undang-undang dan adat Melayu, bahkan menjadi kebijakan
bagi keduanya untuk memperlakukan dan mengamalkan
undang-undang dan adat Melayu. Berbeda dengan Inggris yang sangat
Richard O. Wintedt, A history of Melaya (Singapore: Marican & Sons, 1962) h. 56
96
mempengaruhi Perundang-undangan Malaysia.97 Hanya saja seperti
dicatat Yacoob pada masa penjajahan Portugis hubungan Islam dengan
Kerajaan terputus.98
Dengan demikian dapat disimpulkan, baik Belanda maupun
Portugis tidak melakukan perubahan yang berarti terhadap
undang-undang dan adat yang sudah berlaku di Malaysia selama ke dua Negara
ini menjajah Malaysia.
b. Masa Kekuasaan Inggris
Berbeda dengan Portugis dan Belanda yang tidak banyak
mempengaruhi UU dan Adat Malaysia, Inggris99 sangat mempengaruhi
perundang-undangan dan hukum adat Malaysia. Ketika berkuasa di
Malaysia, Inggris memperkenalkan dan menggunakan UU Inggris
secara berangsur-angsur, yang akhirnya menggantikan UU Islam.100
Untuk mempermudah pembahasan tentang perkembangan
Perundang-undangan Perkawinan dan Perceraian pada masa penjajahan Inggris ini
diurutkan sesuai dengan pembagian Malaysia di bawah kekuasaan
Inggris sebelum merdeka, yakni (1) negara Selat; (2)
Negara-negara Melayu Bersatu; dan (3) Negara-Negara-negara Melayu Tidak
Bersatu.101
1) Negara-negara Selat
Negara-negara Selat terdiri dari tiga wilayah jajahan
Inggris, yaitu: (1) Pulau Pinang, (2) Melaka, dan (3) Singapura.
Penyatuan ketiga negara ini menjadi satu, dengan nama
Negara-negara Selat terjadi pada tahun 1826, yang dikepalai oleh
Governor. Pada tahun 1826 tiga negara; Pulau Pinang, Melaka dan
Singapura, disatukan dengan nama Negara-negara Selat, dengan
97Ibid . 98
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 111
99
Meskipun secara resmi Inggris berkuasa di Malaysia tahun 1786, tetapi sejak abad
ke-16 sudah banyak pelancong-pelancong Inggris yang berkmukim di Malaysia. Isma‟il bin Mat,
op.cit., h. 46-47 100
Ahmad Muhamed Ibrahim, Op.Cit., h. 6
101