• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - SUSI ERMAWATI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - SUSI ERMAWATI BAB II"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian dialek yang pernah dilakukan sudah cukup banyak. Penelitian tersebut membandingkan bentuk kosakata dasar dari daerah penelitian. Penelitian yang relevan seperti yang penulis teliti dapat disebutkan seperti di bawah ini.

a. “Perbandingan Kosakata Dasar Dialek Banyumas di Kecamatan Pekuncen dengan Dialek Brebes di Kecamatan Paguyangan” Skripsi Suparmi dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun 2001

1) Perbedaan kosakata dasar dialek Banyumas di Kecamatan Paguyangan meliputi: sistem kekerabatan, kehidupan di desa, rumah dan bagian-bagiannya, perangai orang, sifat, perlengkapan rumah tangga, kata tanya, kata ganti, dan sapaan. Kata kerja, macam-macam pakaian dan perhiasan. Pembeda dialek Banyumas dan dialek Brebes dapat dibedakan menjadi: perbedaan fonetis, semantis, dan onomasiologis;

2) Perbedaan kosakata dasar dialek Banyumas di Kecamatan Pekuncen dengan dialek Brebes di Kecamatan Paguyangan karena pengaruh geografis meliputi:

a) kategori struktur leksikal: isoglos leksikal, isoglos fonetis, isoglos sintaksis, isoglos semantis.

(2)

 

b. “Perbandingan Kosakata Dasar Bahasa Jawa Dialek Banyumas (Kutowinangun) dengan Bahasa Jawa Dialek Yogyakarta-Solo (Prembun)” Skripsi Sulfan Hadi Muttakim di Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun 2007

1) Vokal mempunyai perbedaan dan persamaan yaitu: a) Perbedaan yang meliputi;

(1) pasangan minimal: perbedaan pada pengucapan kata, yaitu dalam bahasa Jawa dialek Banyumas pada kata [udu], sedangkan dalam bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Solo [dudu],

(2) alofon: ada perbedaan, yaitu bahasa Jawa dialek Banyumas (Kutowinangun) tidak mempunyai alofon /I/, /U/, tetapi mempunyai alofon /ε/, bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Solo (Prembun) mempunyai alofon /I/, /U/, dan /כ/.

b) Persamaan yang meliputi:

(1) macam vokal sama yaitu berjumlah enam, yaiu /i, e, ə, a, u, o/,

(2) distribusional, yaitu vokal /ə/ tidak pernah menduduki posisi belakang, (3) bagan, ada persamaan.

2) Konsonan mempunyai perbedaan dan persamaan antara lain: a) Perbedaan yang meliputi:

(1) pasangan minimal, distribusi perbedaan pengucapan saja,

(2) bagan tidak mempunyai persamaan bagan yaitu perbedaan konsonan /?/ pada bahasa Jawa dialek Banyumas tidak ada.

b) Persamaan yang meliputi:

(1) pasangan minimal, persamaan ucapan saja, (2) distribusi, hanya pengucapan saja.

3) Diftong, dalam bahasa Jawa tidak ada diftong, baik dialek Banyumas maupun Yogyakarta-Solo.

(3)

4) Gugus konsonan mempunyai persamaan dan perbedaan yaitu: (a) perbedaan hanya ada pada distribusi,

(b) persamaan terdapat pada macam.

c. “Perbandingan Kosakata Dasar Dialek Banyumas di Kabupaten Banjarnegara Kecamatan Kalibening dengan Dialek Pekalongan di Kabupaten Pekalongan Kecamatan Paninggaran” Skripsi Linawati dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun 2011 1) Terdapat perbedaan fonetis dan perbedaan semantis. Perbedaan fonetis dialek Banyumas

di Kabupaten Banjarnegara, Kecamatan Kalibening dengan kosakata dialek Pekalongan di Kabupaten Pekalongan, Kecamatan Paninggaran, terjadi pada vokal, konsonan, semi-vokal, dan suku kata. Perbedaan fonetis terjadi karena adanya gejala bahasa, sedangkan perbedaan semantis terjadi karena adanya geseran makna yang bertalian dengan dua corak yaitu:

2) Pemberian nama yang berbeda untuk referen/konsep yang sama di beberapa tempat yang berbeda. Pada geseran corak ini pada umumnya dikenal dengan istilah sinonim meliputi sinonim arbitrer dan sinonim non arbitrer.

3) Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Geseran ini dikenal dengan istilah homonimi. Geseran ini mempunyai dua istilah homofoni (homofon) dan homografi (homograf).

(4)

 

Penelitian ini merupakan bentuk penggabungan antara penelitian register dengan penelitian dialek, yakni dengan cara menyediakan data kosakata register dari objek wisata Dieng, kemudian dianalisis dengan kajian dialektologi, yakni membandingkan penggunaan kosakata register wisata yang digunakan oleh juru kunci, penjual souvenir, dan penjaja makanan yang ada di daerah Banjarnegara (dialek Banjarnegara) dengan di daerah Wonosobo (dialek Wonosobo).

B. Pengertian Bahasa

Kata bahasa dapat digunakan dalam beberapa pengertian. Oleh karena itu, di sini perlu dibedakan beberapa pengertian bahasa sesuai dengan tujuan dan kepakaran (linguis). Dalam ilmu bahasa (linguistik) bahasa didefinisikan dengan satu sistem lambang bunyi. Secara sosial dan juga secara sosiolinguistik bahasa didefinisikan sebagai satu warisan sosial dalam bentuk ujaran atau juga satu lambang kesatuan masyarakat. Bloch dan Trager (dalam Parera, 1991: 26) juga menyebutkan bahwa bahasa merupakan satu sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dengannya satu kelompok masyarakat berkomunikasi/bekerja sama.

Bahasa merupakan salah satu penanda di antara beberapa penanda komunitas (etnis) yang sangat penting, karena bahasa merupakan tempat terwadahi perubahan (evolusi) dan gambaran situasi politik yang terjadi pada masa lampau maupun masa kini (Glazer dan Daniel P. Moynihan dalam Mahsun, 2007: 356).

Menurut Kridalaksana (2009: 24) bahasa merupakan sistem tanda/lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Berdasarkan beberapa pengertian bahasa tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem tanda/lambang bunyi yang arbitrer untuk alat komunikasi dalam bentuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

(5)

C. Variasi Bahasa

Mengenai variasi bahasa ada tiga istilah yang perlu diketahui yaitu idiolek, dialek, dan ragam.

1. Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang mempunyai ciri khas masing-masing.

2. Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.

3. Ragam adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu (Chaer, 2007: 55-56).

Untuk selanjutnya yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah dialek dan ragam. Hal ini diakrenakan idiolek hanya bersifat dengan bahasa yang digunakan untuk perseorangan bukan kelompok.

D. Register

Adanya masyarakat yang mempunyai kepentingan yang beragam menimbulkan banyak ragam bahasa. Ragam bahasa menurut Chaer dan Leonie Agustina (2004: 62-72) ada empat yaitu ragam bahasa dari segi penutur, ragam bahasa dari segi pemakaian, ragam bahasa dari segi keformalan, dan ragam bahasa dari segi sarana. Chaer dan Leonie Agustina (2004: 68) menyebutkan bahwa ragam bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut dengan fungsiolek, ragam, atau register. Namun, hal tersebut juga dibatasi lagi bahwa register merupakan ragam bahasa berdasarkan fungsinya. Dengan kata lain register adalah bahasa yang digunakan saat ini tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya (Halliday dan Hasan Ruqaiya, 1992: 56).

(6)

 

register merupakan bentuk makna yang khususnya dikaitkan dengan konteks sosial tertentu (khusus) (yang diistilahkan dengan medan, pelibat, sarana).

Setelah mengetahui pengertian dari beberapa register, penulis menyimpulkan bahwa register merupakan ragam bahasa khusus berupa kosakata tertentu yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki profesi (kegiatan) yang sama. kosakata – kosakata tertentu tersebut dipahami oleh anggota kelompok tertentu untuk membedakannya dengan kelompok lain.

Register wisata Dieng yang terdapat dalam penelititian ini merupakan ragam bahasa yang digunakan oleh pemakainya (juru kunci, penjual souvenir, dan penjaja makanan) dalam suatu komunitas penutur di daerah wisata Dieng.

E. Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa ibu terutama bagi penduduk di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di luar kedua daerah itu, bahasa Jawa juga diucapkan oleh etnis Jawa yang bertempat tinggal di tempat itu, di antaranya di daerah antara Bekasi, Cirebon, di sebagian Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tenggara, Sulawei Selatan, Lampung dekat Medan, dan di daerah-daerah transmigrasi yang lain, bahkan di luar Indonesia yaitu Suriname dan Malaysia (Marsono, 1989: 44).

(7)

Menurut Marsono (1986: 45) bahasa Jawa mempunyai fonem vokal dan konsonan yang dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 1.Vokal Bahasa Jawa

No. vokal Tinggi

(8)
(9)

Keterangan:

*)= Tidak ada dalam bahasa Jawa T = Tidak Bersuara B = Bersuara (Marsono, 1989: 105).

F. Dialek

Menurut Kridalaksana (2009: 48) dialek merupakan ragam bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai, ragam bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu, atau oleh golongan tertentu dari suatu kelompok bahasawan atau oleh kelompok bahasawan yang hidup dalam waktu tertentu. Moeliono (Peny.) (2007: 252) menyatakan bahwa dialek merupakan ragam bahasa yang bervariasi menurut pemakai.

Panitia Atlas bahasa Eropa (dalam Nadra dan Reniwati, 2009: 1) merumuskan bahwa dialek adalah suatu sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya. Meillet (dalam Nadra dan Reniwati, 2009: 1-2) mengemukakan adanya tiga ciri dialek, yaitu (1) dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan, (2) dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, tetapi memiliki ciri-ciri umum yang mirip dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (3) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.

(10)

 

geografis atau dialek regional. Batas-batas alam seperti sungai, gunung, laut, hutan dan

semacamnya membatasi dialek yang satu dengan dialek yang lain.

Berdasarkan beberapa definisi dialek tersebut, peneliti dapat memperoleh kesimpulan bahwa dialek merupakan ragam bahasa yang dipakai oleh kelompok masyarakat di suatu tempat atau daerah tertentu (dialek geografis). Dialek juga merupakan sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya atau dengan kata lain merupakan perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan.

1. Dialek Banjarnegara

Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat dari segi administratif, geografis, dan linguistik. Secara administratif Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan dan 273 desa dan 5 kelurahan. Pusat pemerintahannya berada di Kecamatan Banjarnegara. Dari segi geografis, Kabupaten Banjarnegara merupakan daerah yang terbentang dari bagian barat ke bagian timur dan dari bagian utara melintang ke selatan, daerahnya memiliki nuansa geografis dengan segala tipologinya. Di samping itu, di sebelah utara berbatasan dengan Pekalongan yang sebagian besar wilayahnya sebagai daerah bahasa Jawa Pesisir, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Batang dan Wonosobo (banyak muncul bahasa Jawa Yogyakarta), di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Kebumen. Secara linguistik, selama ini dialek Banjarnegara dikelompokkan sebagai bahasa Jawa Dialek Banyumas. Namun, ternyata bahasa Jawa yang digunakan di Banjarnegara bukan murni merupakan dialek Banyumas semata karena berbatasan dengan dialek Pekalongan, dialek Yogyakarta, subdialek Wonosobo, dialek Banyumas subdialek Kebumen. Kata khasnya yaitu biasanya terdapat

(11)

penambahan kata kaa, nooo, laaah, ding, dan jee yang diikutkan pada kata terakhir setelah kalimat (Wikipedia, 15 Juni 2011).

2. Dialek Wonosobo

Kabupaten Wonosobo adalah sebuah Kabupaten di provinsi Jawa Tengah yang memiliki ibukota di Kecamatan Wonosobo. Secara administrasi, Kabupaten Wonosobo terdiri atas 15 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah desa atau kelurahan. Secara geografis, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di Timur, Kabupaten Purworejo di Selatan, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara di Barat, serta Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal di utara. Kabupaten Wonosobo berdiri pada 24 Juli 1825 di bawah Kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itulah dialek yang digunakan di Wonosobo merupakan subdialek dari dialek Yogyakarta.

Dalam penggunaannya, dialek Wonosobo sendiri tidak dapat dikatakan seragam, artinya masih terdapat perbedaan istilah dari tiap-tiap kecamatan atau bahkan tiap desa. Itulah yang menyebabkan kosakata dialek Wonosobo menjadi lebih luas. Hal ini juga dapat disebabkan akibat letak geografis Kabupaten Wonosobo yang terletak antara Kabupaten Banjarnegara yang memakai dialek Banyumas dan Kabupaten Magelang dan sekitarnya yang memakai dialek Yogyakarta. Kata khasnya yaitu biasanya eeeee, oooo, lha kok, ehalah, ha- inggih yang sering digunakan dalam tuturan masyarakat di daerah Temanggung kalau sedang

bercerita (Wikipedia, 15 Juni 2011).

G. Ciri Pembeda Dialek

(12)

 

Karena dialek di sini adalah bagian dari suatu bahasa, timbul pemahaman lanjutan yang mengatakan, pemakai suatu dialek dapat mengerti dialek lain. Dengan kata lain, ciri penting suatu dialek ialah adanya kesalingmengertian (mutulinguallingible). Misalnya sebuah bahasa A mempunyai dialek A1 dan A2. Untuk dapat dikatakan dialek, pemakai A1 harus mengerti jika pemakai A2 menggunakan dialek A2, begitu juga sebaliknya (Sumarsono, 2010: 21-22).

Menurut Guiraud (dalam Zulaeha, 2010: 31) ada lima macam ciri pembeda dialek, yaitu: perbedaan fonetis, perbedaan semantis, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis, dan perbedaan morfologis.

Peneliti di sini hanya mengkaji perbedaan fonetis dan semantis. Karena terbatasnya waktu penelitian, perbedaan fonetis yang dikaji mencakup lafal (ucapan). Perbedaan semantis berkaitan dengan pergeseran makna kata. Perbedaan fonetis intonasi tidak dikaji. Perbedaan onomasiologis, semasiologis, dan morfologis juga tidak dikaji.

1. Perbedaan Fonetis

Perbedaan fonetis dalam penelitian ini sama halnya dengan perbedaan di bidang fonologi. Menurut Guiraud (dalam Zulaeha, 2010: 31) perbedaan di bidang fonologi, biasanya tidak disadaro oleh penutur. Bentuk perbedaan ini dalam suatu dialek dapat terjadi pada vokal maupun konsonan. Hal itu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.

Perbedaan Fonetis Terjadi pada Vokal antara Dialek Banyumas di Kabupaten Banjarnegara Kecamatan Batur dengan Dialek Yogyakarta di Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar.

(13)

Dialek Banjarnegara Dialek Wonosobo Bahasa Indonesia

Perbedaan fonetis itu berupa pelafalan vokal rendah bawah [a] [sǝga] dalam dialek

Banyumas di Kabupaten Banjarnegara, Kecamatan Batur vokal madya bawah [כ] [sǝgכ]

untuk dialek Wonosobo. Kata bambu yang berwarna ungu itu bagi penutur yang berasal dari daerah Banjanegara diucapkan dengan kata “wulung” sedangkan bagi pedagang yang berasal dari daerah Wonosobo diucapkan dengan “wuluh”. Dengan demikian ada penggantian “ng” [ŋ] dengan “h” [h]. Pengucapan kata “nanging” (dialek Banjarnegara) ternyata pada dialek Wonosobo terdapat penambahan vokal [a] di depan kata menjadi “ananging”.

Kata “tiga ribu” yang dalam bahasa Jawa baku seharusnya digunakan “teluŋewu” (dialek Wonosobo), namun ternyata bagi penutur dari Banjarnegara terdapat penghilangan vokal “ǝ” menjadi “tluŋewu”. Perbedaan untuk kata “dahulu” bersifat konvensi atau kata

tersebut pada umumnya diucapkan seperti itu di daerah tersebut. Perbedaan di bidang fonologi dapat meliputi penambahan fonem, penghilangan fonem, penggantian fonem, kontraksi, metatesis, dan adaptasi.

a. Penambahan Fonem

(14)

 

penambahan fonem di depan kata (protesis), penambahan di tengah kata (pentesis), dan penambahan di akhir kata (pararog).

1) penambahan fonem di depan kata (protesis)

Contoh: [ɛmutan] → [kɛmutan] ‘ingat’

4) penambahan fonem di tengah kata (pentesis)

Contoh: [wכh] [wכɛh] ‘buah’

5) penambahan fonem di akhir kata (pararog)

Contoh: [mɛme] [mɛmey] ‘menjemur’

b. Penghilangan Fonem

Penghilangan fonem adalah gejala bahasa yang berupa hilangnya satu atau lebih fonem dalam satu kata. Gejala penghilangan atau penanggalan fonem juga dibedakan menjadi 3 macam, yaitu penghilangan fonem pada awal kata (afaresis), penghilangan fonem pada tengah kata (sinkop), dan penghilangan di akhir kata (apkop).

1) penghilangan fonem di depan kata (afaresis)

Contoh: [lǝntrɛh] → [lǝntrɛ] ‘petai cina muda’.

2) penghilangan fonem di tengah kata (sinkop)

Contoh: [ḍewekɛ] → [ḍekɛ’] ‘dia’

3) penghilangan fonem di akhir kata (apokop) Contoh: [ŋamIl] → [amIl] ‘amil’ c. Penggantian fonem

Penggantian fonem adalah gejala bahasa yang berupa bergantinya satu atau lebih fonem dalam satu kata. Gejala penggantian fonem juga dibedakan menjadi 3 macam, yaitu penggantian fonem pada awal kata, penggantian fonem pada tengah kata, dan penggantian di akhir kata.

(15)

1) Penggantian di awal kata

Contoh: ngesuk [ŋεsuk] → sesuk [sεsu?] ‘besok’ 2) Penggantian fonem di tengah kata

Contoh: tangga [taŋga] → tonggo [tכŋgכ] ‘tetangga’ 3) Penggantian fonem di akhir kata

Contoh: gula [gula] → gulo [gulכ].

d. Kontraksi

Kontraksi merupakan gejala bahasa yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang ada perubahan atau penggantian fonem.

Contoh: [ḍoŋane] → [ḍoŋe] ‘seharusnya’.

e. Metatesis

Metatesis merupakan gejala bahasa yang memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem.

Contoh: [kǝrikil] → [kǝlikir] ‘batu kecil’

f. Adaptasi

Adaptasi artinya ‘penyesuaian’. Kata-kata pungut yang diambil dari bahasa asing berubah bunyinya sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah orang Indonesia. Sebagian besar kata-kata ini bentukan rakyat jelata.

Contoh: [bruck] (Bahasa Belanda) oleh masyarakat Jawa menjadi [brug] ‘jembatan’ (Badudu, 1985: 63).

2. Perbedaan Semantis

(16)

 

a. pemberian nama yang berbeda untuk referen/konsep yang sama di beberapa tempat

yang berbeda, seperti buteng dan cǝngkring ‘pemarah’. Geseran corak ini pada

umumnya dikenal dengan istilah sinonim, padan kata, atau sama maknanya (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1979: 4);

b. pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda, seperti kata meri untuk ‘itik’ dan ‘anak itik’. Geseran ini dikenal dengan istilah homonim (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1979: 4). Homonim juga dikenal dengan dua istilah lain yaitu:

1) Homofon adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua atau lebih ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama atau berbeda.

Contoh: Katabank merupakan lembaga keuangan Dengan bang yang bermakna kakak laki-laki.

2) Homograf adalah bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.

Contoh: Kata teras [tǝras] (Bahasa Jawa Krama Inggil) yang maknanya ‘tǝrus’

atau ‘selanjutnya/kemudian’ dengan teras [teras] yang maknanya ‘bagian serambi rumah’ (Chaer, 2007: 303).

Dalam studi semantis ada teori makna yang mengatakan bahwa makna itu sama dengan bendanya, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa makna itu adalah konsepnya sebab tidak semua lambang bahasa yang berwujud bunyi itu mempunyai hubungan dengan benda-benda konkret di alam nyata (Chaer, 2007: 44). Dari keterangan tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa hal tersebut dikarenakan sifat bahasa yang arbitrer dan nonarbitrer. Sudaryanto (1991: 115) juga menyatakan bahwa bentuk-bentuk simbolik lingual yang dikatakan bersifat arbitrer atau acak, namun ternyata setelah dilakukan pembuktian oleh

(17)

Talmy Givon (dalam Sudaryanto, 1991: 115) memiliki sifat nonarbitrer yang cukup menonjol.

1) Arbitrer

Arbitrer dapat diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, dan mana suka; yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut (Chaer, 2007: 45).

2) Nonarbitrer

Secara etimologis nonarbitrer ditimbulkan dari kata non yang memiliki arti ‘tidak atau bukan’ (Moeliono (Peny.) 2007: 789) dan arbitrer yang artinya ‘sewenang-wenang’ (Moeliono (Peny.) 2007: 64). Jadi nonarbitrer memiliki arti yang berkebalikan dengan arbitrer yaitu tidak acak atau tidak manasuka. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa nonarbitrer adalah penamaan terhadap suatu benda yang bersifat tidak sewenang-wenang atau tidak manasuka. Contohnya yaitu pada kata wedang kopi (dialek Wonosobo) dengan wedang bubuk (dialek Banjarnegara).

H. Semantik

1. Pengertian

Menurut Djajasudarma (2008: 1) semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantiss, dari bahasa Yunani sema (nomina) ‘tanda’: atau dari verba samino ‘menandai’, ‘berarti’. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa semantik merupakan

(18)

 

Kridalaksana (2009: 216) mengatakan semantik merupakan (a) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; (b) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.

Selain itu, Pateda (2010: 15) berpendapat bahwa semantik sebagai ilmu mempelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagaimana apa adanya (das Sein) dan terbatas pada pengalaman manusia.

Jadi dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan bagian dari ilmu (studi) yang mempelajari tentang makna dalam suatu bahasa sebagaimana apa adanya.

2. Jenis Semantik

Menurut Pateda (2010: 65) makna yang menjadi objek semantik dapat dikaji dari banyak segi yang dapat dilihat dari beberapa jenis semantik. Jenis-jenis semantik itu meliputi semantik behavioris, semantik deskriptif, semantik generatif, semantik gramatikal, semantik historis, semantik leksikal, semantik logika, dan semantik struktural. Namun, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah semantik leksikal karena semantik leksikal mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah kata. Semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih terpusat pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata (Pateda, 2010: 65-76). Penelitian yang peneliti kaji dalam penelitian ini adalah kosakata tertentu dari juru kunci, penjual souvenir, dan penjaja makanan yang terdapat di daerah wisata.

3. Struktur Leksikal

Dengan adanya semantik leksikal, maka terbentuklah struktur leksikal. Yang dimaksud dengan struktur leksikal adalah bermacam-macam relasi semantik yang

(19)

terdapat pada kata. Hubungan antara kata itu dapat berwujud: sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, dan antonimi (Keraf, 2010: 34). Namun, dalam penelitian ini hanya

akan digunakan struktur leksikal yang berupa sinonimi dan homonimi. a. Sinonimi

Kata sinonimi (synonymy) berasal dari bahasa Yunani Kuno; onoma ‘nama’, syn ‘sama’. Makna lainnya adalah nama lain untuk benda yang sama (Pateda, 2010: 222). Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama (Keraf, 2010: 34). Kemudian Pateda (2010: 223) juga menambahkan bahwa sinonim merupakan kata-kata yang dapat disubstitusi dalam konteks yang sama. Sedangkan Verhaar (dalam Pateda, 2010: 214) mengatakan bahwa sinonimi adalah ungkapan (biasanya sebuah kata tetapi dapat pula frasa atau malah kalimat).

Menurut Kridalaksana (2009: 222) sinonim merupakan bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja.

Berdasarkan beberapa definisi sinonimi di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa sinonimi merupakan nama lain atau subtitusi dari bermacam-macam kata / kelompok kata (dua kata atau lebih) yang memiliki makna yang sama atau mirip dengan bentuk lain.

b. Homonimi

(20)

 

(kata atau frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain, tetapi dengan perbedaan makna di antara kedua ungkapan tersebut. Dengan kata lain, bentuknya sama tetapi berbeda maknanya.

Menurut Kridalaksana (2009: 85) homonimi merupakan hubungan antara kata yang ditulis dan/atau dilafalkan dengan cara yang sama dengan kata lain, tetapi yang tidak mempunyai hubungan makna.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa homonimi merupakan nama yang sama untuk suatu benda yang berbeda yang bentuk kata yang ditulis dan/atau dilafalkan dengan cara yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda.

Dalam penelitian ini, istilah sinonimi dan homonimi selanjutnya digunakan dengan istilah sinonim dan homonim sesuai dengan kaidah pembentukan istilah (Pusat Bahasa, 2007: 40-42).

I. Wisata Dieng

1. Letak Geografis

Dataran tinggi Dieng merupakan dataran tinggi yang tertinggi kedua di dunia setelah Tibet / Nepal, dan yang terluas di Pulau Jawa. Dieng terletak pada posisi geografis 7’ 12’ Lintang Selatan dan 109’ 54’ Bujur Timur, berada pada ketinggian 6. 802 kaki atau 2. 093 m dpl. Dieng masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat komplek Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing (Wikipedia, 15 Juni 2011).

Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa. Kawah-kawah kepundan banyak dijumpai di sana. Ketinggian rata-rata adalah

(21)

sekitar 2.000 m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin, berkisar 15-20 0C pada siang hari dan 10 0C pada malam hari.

Secara administrasi, Dieng mencakup Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Karena letak geografis itulah, Dieng mempunyai ragam bahasa yang berbeda yang di dalamnya menimbulkan suatu adaptasi (penyesuaian) linguistik dalam bentuk interferensi atau integrasi antara dialek yang satu dengan dialek yang lain.

Nama Dieng berasal dari dua kata bahasa Sunda Kuna yaitu ‘di’ yang berarti ‘tempat’ atau ‘gunung’ dan ‘Hyang’ yang bermakna ‘Dewa’. Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para Dewa dan Dewi bersemayam. Nama Dieng berasal dari bahasa Sunda karena diperkirakan pada masa pra-Medang sekitar 600 Masehi daerah itu berada dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh (Wikipedia, 15 Juni 2011).

2. Tempat Wisata

Dataran Tinggi Dieng juga merupakan daerah yang digunakan sebagai tempat wisata yang cukup terkenal di Jawa Tengah. Beberapa peninggalan budaya dan alam telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh dua kabupaten, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo. Berikut beberapa objek wisata di Dataran Tinggi Dieng.

a. telaga meliputi telaga warna (sebuah telaga yang sering memunculkan nuansa warna merah, hijau, putih, dan lembayung), Telaga Pengilon, dan Telaga Merdada;

(22)

 

c. komplek candi-Candi Hindhu yang dibangun pada abad ke-7, antara lain: Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi

Srikandi, Candi Setyaki, Gangsiran Aswatama, dan Candi Dwarawati;

d. gua meliputi Gua Semar, Gua Jaran, dan Gua Sumur; e. Sumur Jalatunda;

f. Dieng Volcanin Theater, teater untuk melihat film tentang kegunungapian di Dieng;

g. Museum Dieng Kailasa; dan

h. Mata air sungai serayu yang biasa disebut dengan Tuk Bima Lukar.

Namun, dari berbagai objek pariwisata yang terdapat di Dieng, peneliti hanya akan meneliti beberapa objek wisata sebagai sumber data yaitu: komplek wisata Telaga Warna (Kabupaten Wonosobo) dan komplek Candi Hindhu (Kabupaten Banjarnegara). Karena di beberapa objek wisata tersebutlah banyak terdapat informan yang akan dijadikan sumber data penelitian. Sedangkan di daerah lain yang tidak dijadikan sumber data seperti Sumur Jalatunda jarang atau bahkan hanya satu penjual dan tentunya tidak dapat dijadikan sebagai informan untuk sumber data karena tidak ada penjual lain yang dapat digunakan untuk perbandingan.

Gambar

Tabel 1.Vokal Bahasa Jawa
Tabel 2.
Tabel 3. Perbedaan Fonetis Terjadi pada Vokal antara Dialek Banyumas di Kabupaten

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1993 menyebutkan bahwa, definisi dari angkutan umum adalah pemindahan orang dan/atau barang dari

Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa ayunan konis yaitu sebuah benda bermassa m Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa ayunan konis yaitu sebuah benda bermassa

Nilai koefisien respon laba yang positif dari informasi pengumuman laba kuartal pertama, laba kuartal kedua dan laba kuartal ketiga terhadap harga saham perusahaan dalam penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisik dan kandungan proksimat tempe kacang tanah yang dihasilkan dari berbagai konsentrasi perendaman dalam larutan jahe dan

Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas audit yaitu auditor TENURE memiliki hubungan negatif, sementara ukuran KAP dan spesialisasi industri auditor memiliki

Sample fruits were classified into four types of physical conditions as treatment, namely scabbed fruits (i.e. fruits with coverage of yellow dots of 90%), big

Struktur tabel pada pembuatan aplikasi sistem pengolahan nilai raport ktsp sekolah dasar berbasis web di SD Negeri Tapelan adalah sebagai berikut : a.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah dapat menghasilkan sebuah rancangan framework yang nantinya apabila rancangan tersebut diimplementasikan dapat mempermudah untuk membuat