• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola dengan baik dan bertanggung jawab agar tidak rusak atau bahkan punah. Pengelolaan yang bertanggung jawab diantaranya adalah melalui kebijakan pengembangan kawasan konservasi yang ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara berkelanjutan (Sembiring, 1999).

Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang paling umum dan dikenal secara populer (McKinnon, et al 1993). Kebijakan pengelolaan Taman Nasional ditujukan untuk melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, memenuhi fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, serta pemanfaatan secara lestari dan optimal (IUCN, 1994). Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefinisikan bahwa Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi seperti taman nasional banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Bila keberadaan kawasan konservasi dapat memberikan manfaat, maka penduduk setempat akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan konservasi tersebut; sebaliknya, jika penetapan kawasan tersebut dipandang sebagai penghalang bagi penduduk setempat, maka mereka dapat menggagalkan upaya pelestarian kawasan tersebut (Mc.Kinnon, et.al. 1993). Dalam konteks Indonesia, persyaratan bahwa taman nasional harus bebas dari okupasi manusia tidak dapat diterapkan sepenuhnya, karena sebagian besar masyarakat masih sangat mengandalkan hidupnya pada sumber daya alam, bahkan

(2)

tinggal menetap di dalam kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Wiratno et al. 2004).

Kawasan konservasi, utamanya taman nasional, interaksi antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam masih sangat kuat. Bahkan pola interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif terhadap kelestarian hutan (Wiratno et al. 2004). Walaupun demikian, konflik pemanfaatan sumberdaya hutan dengan masyarakat di sekitar taman nasional juga telah terjadi di banyak tempat (Golar, 2007).

Di Indonesia, konflik antara masyarakat lokal dengan taman nasional terjadi di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung Puting, TN Lauser; dan TN Boganani Nani Wartabone; serta TN Kerinci Seblat (Iskandar 1992; Soekmadi 2002; Wiratno

et al. 2004). Di manca negara dapat dijumpai pada TN Waza – Cameroon (Bauer 2003), TN Alaskan – USA (Dear & Meyers 2005), dan TN Virunga, Congo (Kameri-Mbote 2006). Pada umumnya konflik tersebut berakar pada permasalahan kelembagaan, utamanya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumberdaya alam (resources management), antara pemerintah dan masyarakat setempat (Golar, 2007)).

Khusus wilayah Kabupaten Musi Rawas terdapat 34 desa yang secara administrasi merupakan kawasan TNKS, dimana kehidupan masyarakat di wilayah ini juga sangat tergantung pada keberadaan sumberdaya di kawasan TNKS. Hal ini menjadi tantangan dalam upaya konservasi kawasan, terlebih lagi sebagian besar tanah-tanah yang dikelola oleh masyarakat ditetapkan pemerintah sebagai bagian dari kawasan TNKS, sehingga akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya lahan dan hutan menjadi terbatas. Kondisi ini terutama dirasakan oleh masyarakat kawasan TNKS yang hidup dan berinteraksi dengan sumberdaya hutan TNKS secara turun-temurun.

Berbagai kajian melaporkan bahwa ribuan penduduk yang bermukim di kawasan TNKS, baik di wilayah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu maupun Sumatera Selatan kini terperangkap dalam jerat kemiskinan kronis. Dari 34 desa yang wilayah administrasinya mencakup kawasan TNKS menunjukkan bahwa sebanyak 26 desa merupakan desa tertinggal, yang dihuni oleh penduduk miskin sejumlah 39.877 jiwa atau 43% dari total penduduk perdesaan di TNKS (Bappeda-BPS Musi Rawas, 2005). Ironisnya hutan lindung dimana mereka bertempat

(3)

tinggal adalah hutan yang kaya sumberdaya. Mereka dihadapkan dilema antara kemiskinan yang makin menghimpit dan keharusan menyelamatkan hutan dan sungai-sungai lainnya.

John Friedman (1992) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia. Sementara Chambers (1995) menggambarkan kemiskinan, terutama di perdesaan mempunyai lima karakteristik yang saling terkait: kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan, dan ketidakberdayaan.

Menurut Nugraha (2005) ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya (cultural) atau alam (natural) namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masayarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

Ketidakberdayaan masyarakat dapat dilihat dari faktor-faktor kemiskinan, baik kemiskinan alamiah maupun kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang rendah sehingga mereka tidak mampu berproduksi. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak disebabkan oleh kurang tepatnya tatanan kelembagaan. Dalam hal ini, tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi atau kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak memihak pada masyarakat miskin. Kemiskinan adalah buah dari buruknya iklim hidup yang terwujud pada sulitnya kelompok masyarakat mengakses pelayanan publik.

Kondisi ini membuat masyarakat semakin menggantungkan diri pada sumber daya hutan dan berdampak pada semakin merosotnya kualitas hidup dan kehidupan masyarakat dan karena itu mereka semakin miskin dan tidak berdaya. Secara struktural, masyarakat tidak memperoleh kesempatan untuk berperan serta, berada dalam kondisi yang skeptis, tidak berdaya dan kian lemahnya akses terhadap aktifitas pembangunan, sehingga mereka tetap pada kondisi marjinal, dalam lingkaran kemiskinan, pendidikan rendah, kondisi kesehatan buruk serta ketidakberdayaan (Nugraha,2005).

Situasi masyarakat perdesaan di kawasan TNKS tetap secara subsisten

(4)

semakin parah telah memicu perusakan sumberdaya hutan. Upaya-upaya eksploitasi yang dilakukan masyarakat antara lain berupa penebangan liar, perburuan liar satwa langka dan dilindungi, serta pembukaan lahan untuk pertanian lainnya.

Seiring dengan pertambahan penduduk dan tuntutan ekonomi, maka tekanan terhadap TNKS menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Yakin (1997) menjelaskan bahwa faktor penduduk mengambil peranan penting dalam proses degradasi lingkungan, apalagi jika hal itu tidak diikuti dengan pembangunan ekonomi dan perkembangan teknologi yang memungkinkan penggunaan dan alokasi sumberdaya yang efisien. Berdasarkan pendapat ini, maka degradasi TNKS dikemudian hari sulit dihindarkan.

Memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat di kawasan TNKS dan dalam rangka meminimalisasi implikasi permasalahan tersebut dimasa yang akan datang, dipandang perlu adanya kebijakan khusus pembangunan daerah. Hal ini mengantarkan pada suatu pemikiran bahwa masyarakat di kawasan ini harus diberdayakan. Maka studi ini menjadi penting untuk dilakukan, dengan harapan akan dapat dirumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam suatu ekosistem TNKS yang lestari.

1.2. Perumusan Masalah

Pemberdayaan masyarakat di kawasan TNKS merupakan keharusan yang menjadi tanggung jawab semua pihak, untuk mencapai kondisi yang diharapkan yaitu peningkatan status sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan TNKS itu sendiri. Adapun tujuan pemberdayaan masyarakat di kawasan TNKS adalah terciptanya masyarakat yang mau dan mampu mengembangkan kreativitas yang bertumpu pada potensi sosial, budaya dan lingkungan yang mereka miliki guna mendukung kelangsungan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.

Salah satu permasalahan pemberdayaan masyarakat di TNKS adalah proses memahami permasalahan dan potensi ekologis, ekonomis, sosial dan budaya masyarakat yang perlu dikembangkan sesuai aspirasi masyarakat. Proses dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat harus didasarkan pada sumber

(5)

penyebabnya. Sehingga berbagai penyebab ketidakberdayaan masyarakat di kawasan TNKS, baik faktor-faktor internal (budaya atau faktor alam), maupun faktor-faktor eksternal (struktural) seperti kebijakan pembangunan, pola perencanaan yang kurang melibatkan institusi setempat sekaligus mengakomodir aspirasi masyarakat di tingkat bawah serta implementasi berbagai sistem yang tidak mencerminkan sistem sosial, ekonomi dan budaya setempat, harus dapat diidentifikasi dan diuji (Nugraha, 2005).

Rojek (1986) menambahkan bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberdayaan atau ketidakberdayaan atau faktor-faktor determinan, antara lain, perubahan sistem sosial, yang diperlukan sebelum proses pemberdayaan yang sebenarnya dapat dimungkinkan terjadi. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1). Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat? 2). Bagaimana konsep pemberdayaan masyarakat di kawasan TNKS?

1.3. Kerangka Pemikiran

Secara konseptual kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor natural, kultural dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena rendahnya potensi sumberdaya alam, pemanfaatan berlebih, infrastruktur yang terbatas, daerah rawan bencana alam dan konflik. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena nilai-nilai budaya internal yang dimiliki orang per orang atau kelompok masyarakat itu sendiri.

Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena adanya peraturan, kebijakan dan pola pembangunan yang tidak tepat. Akumulasi faktor-faktor kemiskinan tersebut merupakan akar masalah yang menyebabkan masyarakat yang tinggal di kawasan TNKS menjadi tidak berdaya.

Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh dari faktor-faktor kemiskinan dan faktor-faktor dominan apa saja yang berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat setempat perlu dilakukan identifikasi dan inventarisasi faktor internal dan eksternal masyarakat dan lingkungan sekitarnya di kawasan TNKS, pada tahap ini, perangkat analisis yang digunakan adalah Analisis Faktor.

(6)

Langkah selanjutnya adalah membuat konsep dan strategi dan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui proses analisis kebijakan menggunakan perangkat analisis AWOT (perpaduan analisis AHP dan SWOT). Konsep pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi diartikan sebagai ide-ide atau gagasan-gagasan. Kadangkala konsep tersebut juga diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara berbagai gejala atau perubahan Hikmat (2001). Diagram alir kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran PENGELOLAAN KAWASAN TNKS BIOFISIK LINGKUNGAN MASYARAKAT KAWASAN TIDAK BERDAYA

FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL

FAKTOR-FAKTOR KETIDAKBERDAYAAN

KONSEP PEMBERDAYAAN ANALISIS FAKTOR

(7)

1.4.Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan konsep pemberdayaan masyarakat kawasan TNKS. Tujuan utama dicapai dengan menetapkan beberapa tujuan operasional, sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor internal yang berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap ketidakberdayaan masyarakat.

3. Menyusun konsep pemberdayaan masyarakat kawasan TNKS.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah: dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk dijadikan landasan konsepsual pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi yang merupakan salah satu mekanisme pembangunan berkelanjutan.

2. Peneliti dan pendidik: sebagai bahan rujukan mengembangkan penelitian sosial yang merupakan bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan rujukan dalam penelitian lebih lanjut

3. Masyarakat: konsep ini dapat dijadikan sebagai penggugah dan pembuka pemikiran ke arah perubahan sosial, agar dapat memudahkan pelaksanaan proses pemberdayaan, baik yang berasal dari kemauan internal masyarakat maupun karena ada program pemberdayaan dari luar.

4. Dunia usaha: dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk pengembangan investasi khususnya pengembangan investasi pemanfaatan jasa lingkungan.

1.6. Novelty/Kebaruan

Konsep pemberdayaan masyarakat kawasan TNKS wilayah Kabupaten Musi Rawas ini dibangun dari aspek-aspek yang diamati di lokasi penelitian yaitu faktor-faktor penyebab ketidakberdayaan masyarakat baik faktor-faktor internal maupun faktor-faktor eksternal yang melemahkan kondisi masyarakat yang

(8)

selanjutnya dilaksanakan melalui mekanisme keterpaduan dengan kegiatan konservasi dan kolaborasi antar stakeholder, dimana peran Pemerintah Daerah dan Peran Masyarakat lebih dikuatkan (Integrated-Collaborative Community Empowerment and Conservation Program)

Aspek lokasi, TNKS wilayah Musi Rawas sangat luas dan menyimpan berbagai keunikan baik dari segi fisik kekayaan alam maupun segi sosial budaya, adat istiadat dan bahasa masyarakatnya, sampai saat ini belum ada yang meneliti secara khusus .

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan training program efikasi diri yang dibuat secara terstruktur pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialsis untuk meningkatkan

Moh.Cholil H.Imron Rosadi, M.Si Puput

nasabah PT Bank BPD DIY Syariah di cabang Krapyak. c) Untuk mengetahui pengaruh dari relationship marketing inputs yang. terdiri dari variabel manajemen mutu total

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

Kuadran III, wilayah yang memuat item-item dengan tingkat kepentingan.. yang relatif rendah dan kenyataan kinerjanya tidak terlalu

Sebagai negara yang secara geografis berada di kawasan Asia Tenggara sangat logis jika Indonesia menjadikan ASEAN sebagai salah satu fokus utamanya, demikian pula

Dari hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil jawaban guru sebagai informasi kunci berkesinambungan dengan jawaban guru lainnya (G3,G4 dan G5), kepala sekolah MIS