• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Broecker (1991) Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Massa Air Samudera

Tiga samudera di dunia memiliki hubungan satu dengan lainnya membentuk suatu sistem sirkulasi unik yang ditampilkan pada Gambar 1. Sistem ini mengedarkan massa air samudera yang dikenal dengan sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan lebih dalam membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika.

Sumber : Broecker (1991)

Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)

Massa air ini terus bergerak memasuki selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki selatan Samudera Pasifik Selatan. Massa air di bagian selatan Samudera Hindia sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1991; Gordon 1986).

(2)

Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera Hindia akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arlindo.

2.2 Lintasan Arlindo

Pada Gambar 2. diperlihatkan lintasan Arlindo tanda panah hitam massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Utara, tanda panah abu-abu adalah massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Selatan dan panah putus-putus sirkulasi massa air permukaan Laut Jawa akibat pengaruh musim. Besarnya transpor dinyatakan dalam Sv (1 Sv = 106m3s-1), angka warna hitam menunjukkan nilai transpor. Nilai massa transpor di Selat Makassar tahun 1997 (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005), Selat Lombok dari Januari 1985 – Januari 1986, Laut Timor (antara Timor dan Australia) diukur pada Maret 1992 – April 1993 (Molcard et al. 1996), Selat Ombai (bagian utara Timor dan Pulau Alor Desember 1995 – Desember 1996). Massa air pada kedalaman lebih besar dari 1500 m yang melintasi Selat Lifamatola berdasarkan pengukuran current meter selama 3,5 bulan di awal tahun 1985 menuju Laut Banda diperkirakan sebesar 1,5 Sv (van Aken et al. 1988). Perkiraan nilai transpor ini kemudian di revisi menjadi 2,5 Sv (van Aken et al. 2009). Angka warna merah menunjukkan massa air transpor selama periode INSTANT tahun 2004-2006. Di Selat Lifamatola, angka warna hijau adalah massa air transpor selama INSTANT pada kedalaman lebih besar dari 1250 m, yang mewakili massa air ke Laut Seram dan Laut Banda (Gordon et al. 2010).

Sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar dikedalaman sill 650 m, masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Selanjutnya kontribusi Arlindo dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat

(3)

Lifamatola dikedalaman sill 1940 m, Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera Hindia melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m) (Ffield and Gordon 1992; Gordon 2001).

Sumber : Gordon, et al., 2008

Gambar 2. Arus lintas Indonesia

Kompleksitas geografi dengan selat-selat yang sempit, basin yang dalam menyebabkan lintasan Arlindo memiliki lintasan yang komplek pula. Hal ini mengakibatkan massa air mengalami modifikasi melalui percampuran, upwelling dan fluks udara-laut sebelum bergerak ke menuju Samudera India. Arus Katulistiwa Utara/North Equatorial Current (AKU) membawa massa air asal Pasifik Utara sedangkan Arus Katulistiwa Selatan/South Equatorial Current

(AKS) membawa massa air asal Pasifik Selatan ke bagian barat Samudera Pasifik kemudian masuk ke perairan timur Indonesia. Pada Musson Barat Laut (musim barat) AKU yang berada kira-kira 9ºLU bergerak ke barat menuju Filipina, AKU bercabang dua menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current), yakni arus yang bergerak ke arah selatan sepanjang pantai timur Mindanao dan arus yang berbelok ke arah utara menjadi pemasok awal Arus Kuroshio.

11.6 1.1 2.6 7.5 9.2 2.5 1.5 1.7 4.3 4.5 11.6 2.6. 6 9.2 1.7 4.9

(4)

2.3 Keadaan Umum Perairan Selat Makasar

2.3.1 Transpor Massa Air di Perairan Selat Makasar

Kondisi oseanografi Perairan Selat Makasar merupakan bagian dari Perairan Indonesia yang mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Oleh karena itu perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2000; Gordon 2001). Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) berdampak terhadap perimbangan parameter bahang dan salinitas di kedua samudera.

Letak geografis perairan Selat Makasar yang memanjang dari arah utara selatan, dan sepanjang tahun secara umum transpor massa air permukaan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makasar bagian Selantan. Pada bagian ini tampak nyata perubahan transpor massa air permukaan yang sesuai dengan angin muson. Selama Muson Timur massa air dari Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke Laut Jawa. Dalam kondisi ini banyak massa air pada lapisan permukaan akan terangkut dan bergerak ke barat, berakibat muncul „ruang kosong‟ di permukaan yang memungkinkan massa air lapisan bawah naik untuk mengisinya. Namun demikian karena kecepatan menegak air relatif kecil (5 x 10-4 cm/detik), maka disimpulkan bahwa peristiwa penaikan massa air di daerah ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pola air (Illahude 1970). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makasar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli – September dan minimum saat muson barat laut antara Nopember – Februari (Meyers et al. 1995; Gordon and McClean 1999; Molcard et al. 1996; Hautala et al. 2001). Pada Muson Barat massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke arah Laut Flores.

Puncak transpor maksimum Arlindo di gerbang masuk dan keluar diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda sehingga diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield and Gordon 1992). Di

(5)

samping itu jalur lintasan Arlindo mempunyai konfigurasi geografi yang kompleks dengan kombinasi dasar perairan yang dangkal dan dalam serta kuatnya arus pasang surut pada berbagai kanal sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan karakter massa air akibat percampuran.

Fenomena Iklim seperti ENSO yang terjadi di barat Pasifik juga memegang peranan penting dalam variabilitas Arlindo. Selama fase El Niño transpor Arlindo mengalami pelemahan, bahang dan massa air dengan salinitas yang rendah jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudera Hindia (Gordon 2001). Observasi menunjukkan bahwa komposisi massa air Arlindo berasal dari massa air termoklin Pasifik Utara, meski pada kedalaman yang lebih dalam (massa airnya lebih dingin dari 6 C) massa airnya secara langsung berasal dari Pasifik Selatan (Gordon and Susanto 2003). Sementara itu di Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem muson dan fenomena Dipole Mode (Saji et al. 1999).

Susanto et al. 2000 menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring

memperlihatkan variabilitas intraseasonal (30 – 60 hari) yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera Hindia yang masuk ke Perairan Selat Makassar melalui Selat Lombok dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Mereka juga mengungkapkan bahwa karakteristik intra-seasonal ditandai dengan periode 48 – 62 hari yang berhubungan dengan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang merambat melalui Laut Sulawesi. Berikutnya periode 67 – 100 hari yang merupakan karakter Gelombang Kelvin terlihat di Bali (Selat Lombok). Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang-gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makasar.

Aliran transpor Arlindo yang diduga oleh Susanto and Gordon (2005) dengan menggunakan model profil sederhana memperkirakan transpor lapisan permukaan adalah 9,3 Sv. Mode normal berdasarkan pengujian Wajsowicza et al. (2003) untuk tahun 1997 adalah 6,4 Sv dengan batas permukaan dan yang paling rendah 1,6 Sv dan 4,7 Sv. Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh keduanya berbeda. Gordon and Susanto (2003) melakukanya dengan menggunakan tiga pendekatan profil (Profil A, B dan C) secara vertikal yang berbeda-beda untuk setiap musim.

(6)

Analisis momentum dan keseimbangan energi menunjukkan bahwa transpor total Arus Lintas Indonesia tidak tergantung secara eksklusif terhadap perbedaan tekanan inter-ocean yaitu beda tekanan muka laut antara Pasifik dan Hindia tetapi lebih oleh faktor-faktor lain termasuk angin lokal (muson), gesekan dasar dan resultan dari gaya-gaya tekanan yang bekerja pada sisi internal seperti geometri perairan yang menimbulkan aksi pasang surut yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik arah arus (Burnett et al. 2003).

Susanto and Gordon (2005) mengungkapkan bahwa aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 300 meter pada September 1997 – pertengahan Februari 1998 terjadi selama puncak El Niño 1997/1998, hal ini diduga pengaruh Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia. Massa air Arlindo yang ke utara juga terjadi di Mei 1997 (Sprintall et al. 2000).

Transpor massa air Arlindo yang melalui Selat Makasar hasil pengamatan dari Januari 2004 - Nopember 2006 The International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT) program adalah 11.6 ± 3.3 Sv (Sv = 106 m3/s). Massa air transpor ini lebih besar 27 % dari data yang diamati periode El Niño yang kuat selama tahun 1997-1998. Nilai maksimum massa air transpor terjadi saat akhir musim barat dan musim timur, dengan minimum massa air transport terjadi pada bulan Oktober – Desember (Gordon et al. 2010). Massa air transpor dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makasar pada kedalaman sill 680 meter merupakan 80 % total massa air transpor Arlindo (Gordon 2001). Lapisan termoklin maksimun (v-maks) terjadi pada musim timur (Juli-September) dan musim barat (Januari- Maret) dengan kedalaman antara 110-140 meter. Rasio rata-rata kecepatan dari MAK - timur ke MAK-barat adalah 0,95 (lapisan permukaan ), 0,84 (pertengahan - termoklin ) dan 0,76 (lebih rendah termoklin). Kecepatan maksimum termoklin dan intensifikasi aliran barat Labani konsisten dengan data Arlindo (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005).

Pada Gambar 3 sebelah kiri terlihat kedalaman termoklin 110-140 meter profil kecepatan bervariasi terhadap musim: V-max yang lebih besar terjadi selama bulan Juli /Agustus /September (JAS, musim timur), relatif terhadap bulan Januari /Februari /Maret (JFM, musim barat). Profil JAS dan JFM membalikkan posisi relatif pada kedalaman di bawah 220 db, menunjukkan aliran massa air

(7)

lebih dalam di Selat Makasar pada saat musim barat. Pada Gambar 3 sebelah kanan terlihatV-max lebih dalam selama musim barat laut, Februari -Maret 2004, Maret-April 2005 dan Februari-April 2006; dengan V- max lebih yang dangkal selama musim tenggara, Juli- September 2004, 2005 dan 2006. Termoklin V-max memperlihatkan fluktuasi semi-tahunan, dengan nilai tertinggi pada tahap lainnya yang dipengaruhi oleh musim: Februari-April 2004, Juli-September 2004, Maret-April 2005, Agustus- September 2005, Februari -Maret 2006, Juni-September 2006. Kecepatan ke arah selatan yang kuat di tahun 2006 terlihat menonjol sebagai sebuah anomali. Adanya massa air ke utara yang diduga merupakan pengaruh gelombang Kelvin pada bulan Mei 2004 dan 2005 sedangkan pada bulan Mei 2006 tidak terlihat.

Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya aliran bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Daerah-daerah yang paling banyak menerima bahang sinar matahari adalah Daerah-daerah-Daerah-daerah yang terletak pada lintang rendah, dan akan semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub.

Gambar 3. Profil musiman (kiri) dan kecepatan massa transpor. Nilai kecepatan rata-rata mewakili MAK-barat dan MAK-timur. Koordinat vertikal diberikan dalam decibar (dbar), mendekati meter (m). tanda – menunjukkan arah aliran ke selatan dan tanda + menunjukkan arah sebaliknya (Gordon et al. 2010).

(8)

Lapisan air dipermukaan laut tropis pada umumnya hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia mempunyai kisaran suhu sekitar 28-310C pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu, tempat yang sering terjadi upwelling, keadaan suhu dapat menjadi lebih rendah sekitar 250C yang disebabkan massa air dingin terangkat ke atas (Wyrtki 1961). Suhu permukaan perairan Selat Makasar dipengaruhi oleh keadaan cuaca antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara 29-300C dan di bagian utara khatulistiwa suhu berkisar antara 27-280C. Pada musim timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-300C dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-280C (Wyrtki 1961).

Sebaran suhu vertikal di laut secara umum dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu; lapisan homogen(homogeneous layer) di bagian paling atas, lapisan termoklin(discontinuity layer) di tengah, dan lapisan dingin(deep layer) di lapisan dalam. Pada lapisan permukaan terjadi pencampuran massa air yang diakibatkan oleh adanya angin, arus, dan pasang surut sehingga merupakan lapisan homogen. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang mengalami perubahan suhu yang relatif cepat, antara massa air hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya. Umumnya diikuti dengan penurunan oksigen terlarut dan penaikan yang cepat dari kadar zat hara (Wrytki 1961).

Selama musim barat lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter dari permukaan perairan dengan suhu antara 27-280C dan salinitas perairan berkisar 32,5-33,5‰. Di bawah lapisan homogen, terdapat lapisan termoklin dengan kedalaman 100-260 meter dan suhu berkisar 12-260C serta salinitas antara 34,0-34,5‰. Selanjutnya lapisan dalam, dari kedalaman sekitar 300 meter sampai dasar perairan dengan suhu antara 5-110C dan salinitas antara 34,0-34,5‰. Pada musim timur, lapisan homogen dapat mencapai lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan. Suhu dilapisan ini berkisar 26-270C dan salinitas 34,0-34,5‰. Lapisan termoklin yang terbentuk saat musim timur terjadi pada kedalaman 50-400 meter dengan suhu antara 10-260C dan salinitas 34,5-36,0‰. Kemudian lapisan dalam yang terbentuk dari kedalaman 400 meter

(9)

sampai ke dasar perairan dengan suhu antara 5-110C dan salinitas antara 34,0-34,5‰ ( Illahude 1970).

Suhu rerata pada kedalaman 150 meter sebesar 200C dan semakin menurun suhunya dengan interval 50C setiap penurunan kedalamaman 100 meter. Lapisan isotherm 150C meningkat 35 db selama El Niño bulan Desember 1997 dan kembali turun 35 db ketika La Niña bulan Juli 1998. Gambar 4 menunjukkan data XBT selama 15 tahun adanya korelasi yang sangat tinggi antara suhu pada lapisan termoklin, transpor Arlindo di Selat Makasar dengan karakteristik ENSO yang dapat dilihat dari perubahan Indeks Osilasi Selatan sebesar 0.77. Korelasi menurun pada kedalaman rata-rata 150 – 400 meter sebesar 0.59. Volume transpor di Selat Makasar melemah selama fase El Niño berkorelasi 0.67 dengan melemahnya suhu. Transpor energi internal di Selat Makasar sebesar 0.63 PW selama La Niña bulan Desember 1996- Februari 1997, dan 0.39 selama El Niño bulan Desember 1997 – Februari 1998 (Ffield et al. 2000).

Gambar 4. Hubungan antara suhu dan SOI dari data XBT 100 m (Ffield et al. 2000).

2.3.2 Pola Angin di Perairan Selat Makasar

Perairan Indonesia, merupakan penghubung antara dua sistem Samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, maka sifat dan kondisinya banyak dipengaruhi oleh kedua Samudera tersebut, khususnya Samudera Pasifik. Pengaruh ini terlihat antara lain pada sebaran massa air, arus, pasang surut dan kesuburan perairan. Keadaan yang demikian menyebabkan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim muson (musim), sehingga memberikan sifat yang

(10)

khas bagi perairan Indonesia. Keadaan iklim muson di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga musim yakni Musim Timur (Juni - Agustus), Musim Barat (Desember Maret), dan Musim Peralihan (April Mei dan September -Nopember). Keadaan ini mempengaruhi sifat dan kondisi perairan-perairan Indonesia, misalnya perairan Selat Makasar, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi (Wyrtki 1961).

Selat Makasar merupakan perairan yang terletak di antara Pulau Kalimatan dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah Utara dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah Selatan. Kondisi oseanografis Selat Makasar ini selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan iklim. Perairan pantai Kalimatan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang mengapit Selat Makasar juga berperan terhadap dinamika massa air dalam selat tersebut (Illahude 1970).

Angin utama yang berhembus di perairan Selat Makasar adalah angin muson. Angin ini dalam setahun mengalami pembalikan arah dua kali. Perubahan arah dan pergerakan angin muson ini berhubungan erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember-Februari umumnya angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia sehingga di atas perairan Selat Makasar angin bertiup dari arah utara ke arah selatan selat atau angin Muson Barat dan pada bulan Juni-Agustus angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia yang mengakibatkan arah angin di atas perairan Selat Makasar bertiup dari arah tenggara ke arah utara atau angin Muson Timur (Wyrtki 1961).

Pergantian angin muson dari Muson Barat ke Muson Timur menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makasar. Selama angin Muson Barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada Muson Timur, terjadi peningkatan salinitas akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makasar (Wyrtki 1961).

(11)

2.4 Transformasi Wavelet

Konsep Transformasi Wavelet telah dirumuskan sejak awal 1980-an oleh beberapa ilmuwan seperti Morlet, Grosmann, Daubechies dan lain-lain. Sampai sekarang transformasi Fourier mungkin masih menjadi transformasi yang paling populer di area Pemrosesan Sinyal Digital (PSD). Transformasi Fourier

memberitahukan informasi frekuensi dari sebuah sinyal, tapi tidak informasi waktu (tidak dapat diketahui dimana/kapan frekuensi itu terjadi). Karena itulah transformasi Fourier hanya cocok untuk sinyal stationer (sinyal yang informasi frekuensinya tidak berubah menurut waktu). Untuk menganalisis sinyal yang frekuensinya bervariasi di dalam waktu, diperlukan suatu transformasi yang dapat memberikan resolusi frekuensi dan waktu disaat yang bersamaan, biasa disebut Analisis Multi Resolusi (AMR). AMR dirancang untuk memberikan resolusi waktu yang baik dan resolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi suatu sinyal, serta resolusi frekuensi yang baik dan resolusi waktu yang buruk pada frekuensi rendah suatu sinyal. Pendekatan ini sangat berguna untuk menganalisis sinyal dalam aplikasi-aplikasi praktis yang memang memiliki lebih banyak frekuensi rendah.

Wavelet adalah gelombang yang berukuran lebih kecil dan pendek bila dibandingkan dengan sinyal pada sinusoid pada umumnya, di mana energinya terkonsentrasi pada selang waktu tertentu yang digunakan sebagai alat untuk menganalisa sinyal-sinyal non-stasioner (Anant and Dowla 1997). Salah satu metoda yang baik untuk menganalisis gelombang sinyal yang terlokalisir adalah

wavelet transformation.

Transformasi wavelet adalah suatu AMR yang dapat merepresentasikan informasi waktu dan frekuensi suatu sinyal dengan baik. Transformasi wavelet

menggunakan sebuah jendela modulasi yang fleksibel, ini yang paling membedakannya dengan Short Time Fourier Transformation (STFT), yang merupakan pengembangan dari transformasi Fourier. STFT menggunakan jendela modulasi yang besarnya tetap, ini menyebabkan dilema karena jendela yang sempit akan memberikan resolusi frekuensi yang buruk dan sebaliknya jendela yang lebar akan menyebabkan resolusi waktu yang buruk.

(12)

Metode transformasi wavelet ini dapat digunakan untuk menapis data atau meningkatkan mutu kualitas data; dapat juga digunakan untuk mendeteksi fenomena varian waktu serta dapat digunakan untuk pemampatan data (Foster et al. 1994). Transformasi Wavelet dapat digunakan untuk menunjukkan kelakukan sementara (temporal) pada suatu sinyal, misalnya dalam bidang geofisika (sinyal seismik), fluida, medik dan lain sebagainya. Karena kemampuannya melihat data dari berbagai sisi, wavelet mampu menyederhanakan dan mengurangi noise tanpa memperlihatkan penurunan mutu. Pada transformasi wavelet digunakan istilah translasi dan skala, karena istilah waktu dan frekuensi sudah digunakan oleh transformasi Fourier. Translasi adalah lokasi jendela modulasi saat digeser sepanjang sinyal, berhubungan dengan informasi waktu. Skala berhubungan dengan frekuensi, skala tinggi (frekuensi rendah) berhubungan dengan informasi global dari sebuah sinyal, sedangkan skala rendah (frekuensi tinggi) berhubungan dengan informasi detail. Pada dasarnya, transformasi wavelet dapat dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan nilai parameter translasi dan skala, yaitu transformasi wavelet kontinu (continue wavelet transform, CWT), dan diskrit (discrete wavelet transform, DWT).

Prinsip kerja CWT dengan menghitung sebuah sinyal dengan sebuah jendela modulasi pada setiap waktu dengan setiap skala yang diinginkan. Jendela modulasi yang mempunyai skala fleksibel inilah yang biasa disebut induk wavelet

atau fungsi dasar wavelet.CWT menganalisa sinyal dengan perubahan skala pada

window yang dianalisis, pergeseran window dalam waktu dan perkalian sinyal serta mengintegral semuanya sepanjang waktu (Polikar 1996).

CWT secara matematika dapat didefinisikan sebagai berikut:

*

s,

(t)dt

………..….………(1)

dimana γ(s,τ) adalah fungsi sinyal setelah transformasi, dengan variabel s (skala)

dan τ (translasi) sebagai dimensi baru. f(t) sinyal asli sebelum transformasi. Fungsi dasar *s, (t) di sebut sebagai wavelet, dengan * menunjukkan konjugasi kompleks. Inversi dari CWT dapat didefinisikan sebagai berikut:

(13)

Fungsi dasar wavelet s(t) dapat didesain sesuai kebutuhan untuk mendapatkan hasil transformasi yang terbaik, ini perbedaan mendasar dengan transformasi

fourier yang hanya menggunakan fungsi sinus sebagai jendela modulasi. Fungsi dasar wavelet secara matematika dapat didefinisikan sebagi berikut:

s,

(t) =

(

……….….…….(3)

faktor digunakan untuk normalisasi energi pada skala yang berubah-ubah.

Mexican Hat, yang merupakan normalisasi dari derivatif kedua fungsi Gaussian

adalah salah satu contoh fungsi dasar CWT;

s,

(t) =

(1-

………...(4)

Contoh lain adalah fungsi dasar Morlet, yang merupakan fungsi bilangan kompleks:

(

-

………...…(5)

dengan dan (1 + -1/2

Dibandingkan dengan CWT, DWT dianggap relatif lebih mudah pengimplementasiannya. Prinsip dasar dari DWT adalah bagaimana cara mendapatkan representasi waktu dan skala dari sebuah sinyal menggunakan teknik penapisan digital dan operasi sub-sampling. Sinyal pertama-tama dilewatkan pada rangkain filter high-pass dan low-pass, kemudian setengah dari masing-masing keluaran diambil sebagai sample melalui operasi sub-sampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu tingkat. Keluaran dari filter

low-pass digunakan sebagai masukkan di proses dekomposisi tingkat berikutnya. Proses ini diulang sampai tingkat proses dekomposisi yang diinginkan. Gabungan dari keluaran-keluaran filter high-pass dan satu keluaran filter low-pass yang terakhir, disebut sebagai koefisien wavelet, yang berisi informasi sinyal hasil transformasi yang telah terkompresi. Pasangan filter high-pass dan low-pass yang

(14)

digunakan harus merupakan Quadrature Mirror Filter (QMF), yaitu pasangan filter yang memenuhi Persamaan (6):

n

. g[ ……….…….……..(6) dengan h[n] adalah filter high-pass, g[n] adalah filter low-pass dan L adalah panjang masing-masing filter.

2.5 Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa adanya kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1987).

Data suhu permukaan laut (SPL) dapat diperoleh dengan dua cara yang sangat berbeda, yang pertama menggunakan metode pengukuran konvensional yang secara langsung menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut; yang kedua menggunakan metode estimasi dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi estimasi SPL dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Agar diperoleh data yang mempunyai perbedaan terkecil dengan data in situ, maka pada saat proses pengolahan data penginderaan jauh harus memperhitungkan berbagai faktor koreksi radiometris. Brown et al. (1985) menyatakan bahwa perkiraan SPL yang menggunakan data satelit dipengaruhi oleh faktor sensor dan proses kalibrasi, algoritma koreksi atmosfer, prosedur dan pengolahan data serta interaksi permukaan laut dengan lapisan atmosfer di atas permukaan laut yang diamati.

Gambaran tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada proses ekstraksi data SPL dengan menggunakan data satelit meliputi proses-proses fisik pada lapisan atmosfer, pengolahan data digital, proses kalibrasi dan konversi serta faktor koreksi atmosfer (Callison et al. 1989).

Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) bermula dari diluncurkannya satelit EOS-AM dan EOS-PM sebagai bagian dari NASA Earth Observing System (EOS). Satelit yang pertama kali membawa MODIS yaitu AM-1 atau disebut juga dengan Terra. Terra sukses diluncurkan pada tanggal AM-18

(15)

Desember 1999. Peluncuran MODIS kedua disebut dengan FM1 (Flight Model 1) yang dibawa oleh pesawat luar angkasa Aqua (EOS PM-1) dan sukses pula diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002. Dengan menggunakan MODIS kita dapat mengetahui lebih awal informasi tentang permukaan bumi, atmosfer dan fenomena laut secara luas dan dapat digunakan oleh berbagai komunitas di seluruh dunia.

MODIS dilengkapi oleh high radiometric sensitivity (12 bit) dalam 36 band spektral yang mempunyai panjang gelombang antara 0,4 µm sampai 14,4 µm. Spektrum yang dimiliki oleh MODIS sama dengan yang ada pada AVHRR dan SeaWiFS, bahkan lebih banyak. Resolusi spasial pada kanal 1 dan 2 enam belas kali lebih baik daripada AVHRR atau SeaWiFS dan pada kanal 3 sampai 7 empat kali lebih tinggi. Kanal yang lain mempunyai resolusi spasial yang sama dengan AVHRR atau SeaWiFS. MODIS berada pada ketinggian 705 km dengan orbit polar sun-synchronous, descending node (Terra) pada 10;30 a.m. atau 1;30 p.m. pada ascending node (Aqua) dan mengelilingi bumi setiap satu sampai dua hari. Spesifikasi teknis pada MODIS dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan karakteristik dari masing-masing band pada satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Spesifikasi teknis MODIS (Conboy 2004)

Jenis Spesifikasi

Orbit 705 km, 10;30 a.m. descending node (Terra) or 1;30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular

Scan Rate 20.3 rpm, cross track

Swath Dimensions 2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir)

Telescope 17.78 cm. Off-axis, afocal (collimated), with intermediate field stop

Size 1.0 x 1.6 x 1.0 m

Weight 228.7 kg

Power 162.5 W (single orbit average)

Data Rate 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average)

Quantization 12 bits

Spatial Resolutions 250 m (bands 1-2) 500 m (bands 3-7) 1000 m (bands 8-36)

(16)

Tabel 2. Karakteristik kanal spektral pada MODIS (Conboy 2004)

Primary use Band Bandwitdh(nm) Spasial

resolution(m)

Land/Cloud/Aerosols Boundaries 1 620 – 670

250

2 841 – 876

Land / Cloud / Aerosols Properties 3 459 – 479

500 4 545 – 565 5 1230 – 1250 6 1628 – 1652 7 2105 – 2155 Ocean Color/Phytoplankton/Biogeochemistry 8 405 – 420 1000 9 438 – 448 10 483 – 493 11 526 – 536 12 546 – 556 13 662 – 672 14 673 – 683 15 743 – 753 16 862 – 877

Atmospheric Water Vapor 17 890 – 920

18 931 – 941 19 915 – 965 Surface/Cloud Temperature 20 3.660 – 3.840 21 3.929 – 3.989 22 3.929 – 3.989 23 4.020 – 4.080 Atmospheric Temperature 24 4.433 – 4.498 25 4.482 – 4.549

Cirrus Clouds Water Vapor 26 1.360 – 1.390

27 6.535 – 6.895 28 7.175 – 7.475 Cloud Properties 29 8.400 – 8.700 Ozone 30 9.580 – 9.880 Surface/Cloud Temperature 31 10.780 – 11.280 32 11.770 – 12.270

Cloud Top Altitude 33 13.185 – 13.485

34 13.485 – 13.785

35 13.785 – 14.085

(17)

Aplikasi penginderaan jauh dibidang kelautan sangat luas diantaranya berupa indentifikasi pola perairan, meteorologi kelautan, pendugaan potensi sumberdaya perikanan, suhu permukaan laut, produktivitas perairan, mendeteksi tumpahan minyak, peta jalur pelayaran dan navigasi (CCRS 2005).

Gambar

Gambar 1.  Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt)
Gambar 2.   Arus lintas Indonesia
Gambar 3.   Profil musiman (kiri) dan kecepatan massa transpor. Nilai kecepatan  rata-rata mewakili MAK-barat dan MAK-timur
Gambar 4.  Hubungan antara suhu dan SOI dari data XBT 100 m  (Ffield et al. 2000).
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tiga alasan rendahnya angka depresi di Asia, yaitu sikap tertutup dari populasi timur khususnya mengenai kesehatan jiwa, peningkatan pengetahuan mahasiswa kedokteran

Sifat hubungan tersebut: (a) yang berhubungan dengan latar belakang sosial adalah unsur kesatuan, (b) latar belakang yang dimaksud adalah pandangan dunia suatu kelompok sosial

Penelitian ini bertujuan untuk: 1)Mengembangkan pembelajaran tentang deteksi dini dan resiko kebencanaan yang diintegrasikan dalam mata pelajaran sains di sekolah dasar wilayah

Kirurško-pulmološko-onkološki konzilij na Oddelku za pljučne bolezni UKC Maribor (sodelujoči: pulmologi, torakalni kirurgi, specialisti onkologije z ra- dioterapijo, radiolog,

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, maka perlu mengatur Biaya Transportasi

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, penulis membuat sebuah karya musik dan menyusunnya menjadi sebuah karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “Pembuatan Aransemen Lagu

Dari hal tersebut sangat perlu didalam sistem KAP karena pola arah angin akan menentukan posisi layangan dan kamera berada pada posisi yang ideal (tidak keluar

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa responden yang berjumlah 58 orang, rata-rata memiliki penurunan konsentrasi menjadi buruk setelah adanya kebisingan yang