WIRAMARANA
I Kadek Agus Cahaya Suputra, I NyomanWindha, dan I Ketut Sudhana
Institut Seni Indonesia Denpasar
Jalan Nusa Indah Denpasar, Telp (0361) 227316, Fax (0361) 236100
E-mail rektor@isi-dps.ac.id
ABSTRAK
Karya ini merupakan hasil eksekusi dari ide yang dibuat penata guna memenuhi persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1). Karya ini bertemakan tentang tumbuhan yang memberikan kita
kehidupan, alangkah baiknya jika tumbuhan diperhatikan sesuai dengan ajaran agama Hindu yaitu
palemahan yang merupakan bagian dari konsep Tri Hita Karana. Palemahan berasal dari kata lemah yang
artinya tanah.
Palemahan juga berarti
bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti
wilayah satu pemukiman atau tempat tinggal (Renawati, 2006 : 1).
Palemahan atau lingkungan terdiri atas unsur benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu
tempat atau ruang manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya (Aminudin,
2013:7). Dalam kehidupan manusia atau makhluk hidup tidak terlepas dari yang namanya lingkungan karena
mempunyai ketertarikan erat dalam perkembangannya. Lingkungan memiliki banyak manfaat untuk
kelangsungan hidup. Tumbuhan sangat penting dalam kehidupan karena tumbuhan yang memberi kita
oksigen untuk bernafas, sayur untuk makanan, dan dapat dijadikan sebagai perlengkapan untuk
kelangsungan hidup.
Penata merealisasikan ide ini melalui karya yang berjudul “Wiramarana”.Kata “Wiramarana” saya
ambil dari bahasa sansekerta yaitu
“Virama”
yang artinya Irama/lagu dan “Arana”
yang berarti
tumbuh-tumbuhan. Jadi
Wiramarana
berarti irama/lagu dari tumbuh-tumbuhan yang merupakan ide dari garapan
ini.Karya ini menggunakan barungan gamelan Semara Pegulingan
sebagai media ungkap dengan didukung
oleh 25 pemain gamelan termasuk penata.Suara vokal dan instrumental dipadukan didalam penggarapan
karya ini, hal ini mengacu pada definisi karawitan pada umumnya. Suara vokal akan dilantunkan oleh 3
orang gerong sebagai pelantun pupuh dan dipadukan dengan vokal dari pemain gamelan. Dari definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa karya “Wiramarana” merupakan karya yang menggunakan tumbuhan sebagai ide
dan dituangkan kedalam barungan gamelan
semara pegulingan dengan pengolahan suara vocal dan
instrumental.
Kata Kunci : Judul garapan, ide garapan , media ungkap
ABSTRACT
This music composition is the result of the execution of the idea made by the stylists to fulfill the
requirement to complete the Strata 1 (S1) education. This work is themed about plants that give us life, it
would be nice if the plant is considered in accordance with the teachings of the Hindu religion palemahan
which is part of the concept of Tri Hita Karana. Palemahan comes from a weak word which means land.
Palemahan also means bhuwana or nature. In a narrow sense the palemahan means one residential or
residential area (Renawati, 2006: 1)
Palemahan or environment consists of elements of objects, power, and conditions contained in a
place or space of humans or living creatures are located and can affect his life (Aminudin, 2013: 7). In the
life of humans or living things can not be separated from the name of the environment because it has a strong
interest in its development. The environment has many benefits for survival. Plants are very important in life
because plants that give us oxygen for breathing, vegetables for food, and can be used as survival tools.
Semara Pegulingan as the media revealed by supported by 25 gamelan players including penata.Suara vocals
and instrumental combined in the cultivation of this work, it refers to Definition of karawitan in general. The
vocal sound will be sung by 3 gerongs as a pupil singer and combined with vocals from gamelan players.
From the above definition can be concluded that the work "Wiramarana" is a work that uses plants as an idea
and poured into barungan gamelan semara pegulingan with vocal and instrumental sound processing.
Keywords: Title of arable, ideas arable, media revealed
I. PENDAHULUAN
Dalam ajaran agama Hindu terdapat konsep
Tri Hita Karana yang menjadi pedoman untuk
menghormati dan menyayangi sesama ciptaan Tuhan. Tri Hita Karana merupakan tiga konsep harmonisasi
yaitu parhyangan, pawongan, palemahan. Penerapan konsep Tri Hita Karana sangat penting untuk menjaga
keharmonisan hidup.
Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhyangan berarti ketuhanan atau hal-hal
yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam arti yang
sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja Tuhan.
Pawongan berasal dari kata wong (dalam bahasa Jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah perihal
yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat, dalam arti sempit
pawongan adalah
kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah hubungan atman dengan
paramatman atau hubungan manusia dengan Tuhan, kita sebagai makhluk sosial juga harus membina
hubungan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya
hendaknya dapat menciptakan suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling membantu satu sama lain
dengan hati yang penuh dengan cinta kasih.
Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam.
Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah satu pemukiman atau tempat tinggal (Renawati, 2006 :
1).
Palemahan atau lingkungan terdiri atas unsur benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu
tempat atau ruang manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya (Aminudin,
2013:7). Dalam kehidupan manusia atau makhluk hidup tidak terlepas dari yang namanya lingkungan karena
mempunyai ketertarikan erat dalam perkembangannya. Lingkungan memiliki banyak manfaat untuk
kelangsungan hidup. Tumbuhan sangat penting dalam kehidupan karena tumbuhan yang memberi kita
oksigen untuk bernafas, sayur untuk makanan, dan dapat dijadikan sebagai perlengkapan untuk
kelangsungan hidup.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka muncul keinginan penata untuk mengangkat konsep
palemahan yang dikhususkan pada tumbuhan untuk diwujudkan dengan karya komposisi karawitan.
Keinginan ini terinspirasi dari melihat banyaknya manusia yang merusak lingkungan hidup mereka, padahal
lingkungan yang terdiri dari tumbuhan tersebut yang memberikan kehidupan bagi manusia. Dengan
keinginan diatas, penata membuat karya komposisi karawitan yang bertujuan sebagai penghormatan atau puji
syukur kepada tumbuhan karena telah memberikan penghidupan kepada manusia. Penata merealisasikan ide
ini melalui karya yang berjudul “Wiramarana”.
“Wiramarana”
berasal dari bahasa sansekerta yaitu
“Virama”
yang artinya Irama/lagu dan
“Arana”
yang berarti tumbuh-tumbuhan. Jadi Wiramarana
berarti irama/lagu dari tumbuh-tumbuhan yang
merupakan ide dari garapan ini. Karya ini diwujudkan dengan permainan harmoni dan ritme agar tercipta
karya yang tepat untuk mengungkapkan ide dari karya ini. Karya
Wiramarana ini merupakan karya
komposisi Tabuh Kreasi Semara Pegulingan. Sebuah label tabuh kreasi ini disematkan agar karya ini tidak
terlalu terikat kepada pakem. Sebenarnya tidak ada kriteria pasti untuk golongan
tabuh kreasi, penata ingin
membiarkan penilaian tersebut diberikan oleh penikmat karya ini, seperti pepatah dalam bahasa Bali yaitu
”depang anake ngadanin” yang artinya biarkan orang lain yang menamai atau menilai.
berkomposisi di dalam maupun di luar kampus, akhirnya penata membuat sebuah karya komposisi karawitan
baru yang digunakan sebagai karya tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1) di Institut
Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Ujian tugas akhir yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana (S1) mewajibkan
mahasiswa untuk menggarap sebuah karya seni sebagai pertanggungjawaban pada akhir fase studi. Karya
seni yang digarap akan dipentaskan dan diuji oleh dosen yang ditunjuk sebagai penguji. Setelah karya
dipentaskan mahasiswa akan mempertanggungjawabkan karyanya pada sidang komprehensif.
Alasan lain terciptanya karya ini, penata ingin mengungkapkan ide-ide dan kreatifitas untuk
dituangkan dalam karya ini. Selain itu penata juga ingin memberikan pesan kepada penikmat bahwa menjaga
kelestarian alam sangat penting untuk kelangsungan hidup kedepannya. Terciptanya karya ini merupakan
cerminan bahwa manusia tidak bisa terlepas dari keseimbangan hidup yang tercermin dari konsep Tri Hita
Karana. Karena di dunia keseimbangan manusia dengan lingkungan sekitar akan selalu sejalan, seiring, dan
seirama sehingga tercipta keseimbangan hidup yang harmonis.
II. IDE GARAPAN
Membuat sebuah karya musik baru, tentunya di perlukan pemikiran dan imajinasi serta ide sebagai
daya nalar untuk menangkap fenomena-fenomena yang berlangsung dalam keadaan tertentu. Membuat karya
musik baru juga harus memiliki spirit dan bobot yang tinggi dan untuk mewujudkannya maka harus memiliki
konsep dan ide yang kuat. Kemunculan ide merupakan kemampuan dari sensitifitas penata untuk
memikirkan sesuatu melalui imajinasi dan diaktualisasikan melalu media yaitu dengan sebuah karya seni.
Ide dari garapan ini adalah
palemahan
yang merupakan bagian dari
Tri Hita Karana. Dimana
palemahan berarti hubungan baik antara manusia dan lingkungan. Dalam agama hindu di Bali khusunya ada
hari yang diperingati sebagai
“otonan” tumbuh-tumbuhan yang di sebut dengan
“tumpek uduh’.
Tumpek
uduh ini diperingati 6 bulan sekali dimana pada hari itu tumbuh-tumbuhan di upacarai sebagai rasa syukur
karena tumbuhan memberikan kehidupan kepada manusia.
Dalam pengertiannya, Karawitan merupakan seni suara vokal ataupun instrumental yang berlaraskan
pelog dan selendro. Maka dari itu penggarap mencoba untuk menggarap nyanyian atau suara vokal yang
dipersembahkan kepada tumbuh-tumbuhan sebagai rasa syukur atas segala yang diberikan. “Ide yang baik
tanpa diikuti dengan kemampuan pengolahan teknik yang mantap tidak akan menghasilkan komposisi yang
baik, dengan teknik yang mantap setidaknya menghasilkan komposisi yang enak didengar (Bandem,
1987:1)”.
Karya ini cenderung mengarah kepada vokal, agar vokal dengan instrumental porsinya sama. Di
dalam garapan ini akan terdapat permainan tempo, ritme, dan tentunya harmoni. Harmoni akan dimainkan
pada instrumen maupun vokal dengan pecah suara antara pemain gamelan dan gerong sehingga akan
menimbulkan harmoni. Karya ini juga memainkan perpindahan
patet
atau modulasi dari gamelan
Semara
Pegulingan
karena dengan media
Semara Pegulingan mampu melakukan modulasi untuk menimbulkan
nuansa yang berbeda .
Karya ini menggunakan barungan gamelan
Semara Pegulingan sebagai media ungkap. Gamelan
Semara Pegulingan merupakan barungan gamelan yang berlaraskan pelog 7 nada. Nada yang terdapat adalah
nada ding, nada dong , nada deng, nada deung, nada dung, nada dang dan nada daing.
Intrumentasi atau alat yang dipergunakan dalam karya “Wiramarana” adalah sebagai berikut:
1.
Empat buah gangsa pemade.
2.
Dua buah kantilan.
3.
Dua buah calung.
4.
Dua buah jegogan.
5.
Setungguh terompong.
6.
Sepasang kendang kerumpungan.
7.
Sebuah kecek.
8.
Setungguh gong.
9.
Sebuah klentong.
10.
Sebuah gentorag.
11.
Sebuah suling kecil.
12.
Empat buah suling besar.
13.
Sebuah kajar.
14.
Sebuah klenang.
15.
Sebuah rebab.
Penata menggunakan barungan gamelan ini karena memang dari kecil penata sangat senang dengan
tabuh-tabuh semara pegulingan, dan dengan adanya
patet
penata semakin ingin untuk menggunakan
barungan ini sebagai media ungkap.
Tujuan Garapan
Dalam melakukan suatu aktifitas sudah barang tentu memiliki tujuan, tujuan yang hendak dicapai
adalah untuk sebuah motivasi dalam mendorong terwujudnya suatu garapan, adapun tujuan dari proses
pembuatan karya seni ini diantaranya :
1)
Untuk mengembangkan seni karawitan Bali agar lebih dapat diterima oleh masyarakat.
2)
Untuk mentransformasikan ide-ide menjadi sebuah wujud komposisi karawitan yang sesuai dengan
konsep.
3)
Mempraktekkan teori-teori yang didapat dalam berkomposisi pada sebuah komposisi karawitan.
4)
Dapat memacu dan menumbuh kembangkan daya kreatifitas penata untuk memperdalam musik
khusunya seni karawitan.
5)
Untuk mencari kiat-kiat baru dalam mengolah unsur-unsur musikalitas dalam sebuah karya dengan
menggunakan ensambel semara pegulingan.
6)
Untuk menghasilkan karya seni baru yang mampu mendukung ide dalam garapan ini baik secara
bentuk dan isi.
Manfaat Garapan
Dengan terciptanya karya seni karawitan ini, selain mempunyai tujuan diharapkan juga memiliki
manfaat bagi masyarakat dalam perkembangan seni karawitan Bali, dan diharapkan mampu memberikan
manfaat bagi para penikmat seni, baik bersifat teoritis maupun praktis, antara lain :
a.
Manfaat Teoritis
a)
Hasil karya seni ini dapat bermanfaat untuk memperkaya teori-teori seni dan teknik
mencipta karya seni.
b.
Manfaat Praktis
a)
Bagi penikmat karya seni ini dapat untuk menciptakan karya seni yang lebih baik.
b)
Bagi penikmat karya seni ini dapat menambah minat dalam mengapresiasikan karya seni
khusunya seni karawitan.
c)
Bagi penata, karya seni ini dapat memperkaya wawasan seni dan menambah warna baru
kesenian Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan seni Indonesia.
Ruang Lingkup
Menghindari salah tafsir dan kerancuan dalam mengapresiasi karya musik ini, maka diperlukan
adanya ruang lingkup yang jelas dalam membuat karya. Ruang lingkup tersebut dapat mengurangi adanya
salah pengertian, diharapkan dapat menemukan adanya kesamaan persepsi atau tanggapan mengenai karya
terutama mengenai isi dari karya sehingga kerancuan yang mungkin terjadi dapat dihindari. Adapun ruang
lingkup karya seni karawitan ini adalah sebagai berikut :
1)
Karya ini terinspirasi dari pentingnya tumbuhan dalam kehidupan ini, karena tumbuhan yang
memberikan kita oksigen untuk bernafas, sayur untuk dimakan, dan dapat menjadi perlengkapan
untuk hidup, atau dengan kata lain tumbuhan yang memberikan kita kehidupan.
2)
Karya ini merupakan karya musik baru yang berangkat dari unsur-unsur musik, seperti : ritme,
melodi, tempo, dan dinamika yang diolah, disiasati, dan diekspresikan kedalam bentuk komposisi
musik baru.
3)
Media ungkap yang digunakan adalah gamelan semara pegulingan lengkap yang terdiri dari, Empat
buah gangsa
pemade,
Dua buah kantilan, Dua buah calung, Dua buah jegogan, Setungguh
terompong, Sepasang kendang kerumpungan, Sebuah kecek, Setungguh gong, Sebuah klentong,
Sebuah gentora, Sebarung suling, Sebuah kajar, dan Sebuah klenang.
4)
Karya ini berdurasi sekitar 15 menit.
5)
Karya ini melibatkan 25 orang pendukung termasuk penata.
6)
Karya ini memiliki struktur yang dibagi dalam 3 bagian, yaitu :
Bagian 1: Menggambarkan bagaimana masyarakat mulai tidak memperdulikan keadaan
lingkungan dengan membayangkan akar pohon.
Bagian 2:
Mencoba untuk mengingatkan kembali tentang pentingnya lingkungan
dengan membayangkan bentuk batang pohon serta di dukung
pupuh mijil sebagai
tembang dalam bagian ini.
Bagian 3 :
Mencoba menggambarkan suasana disaat semua hubungan baik dan harmonis,
lingkungan dipelihara kelestariannya sehingga menimbulkan rasa bahagia bagi
semua manusia.
III. PROSES KREATIVITAS
Tahapan yang digunakan pada proses dari karya ini adalah : 1) tahap penjajagan (eksplorasi), 2)
tahap percobaan (improvisasi), 3) tahap pembentukan (forming).
1.
Tahap Penjajagan (Eksplorasi)
ekspresi musikal. Termasuk nilai-nilai estetika, nilai historis, dan nilai sosial sangat penting dilakukan
sebagai pegangan langkah selanjutnya.
Tahap penjajagan merupakan proses awal dari penataan sebuah karya seni. Akar dari semuanya
adalah ketertarikan penata pada barungan gamelan
Semara Pegulingan. Rasa ketertarikan ini muncul
pertama kali saat penata mendengarkan lagu Sumambang Jawa, yang membuat penata tertarik adalah alunan
melodi yang lembut dan ornamentasi yang sederhana dibalut dengan modulasi dan penggunaan nada pemero
pada salah satu baris melodi membuat lagu
Sumambang Jawa
ini sangat nikmat ketika penata
mendengarkannya. Kemudian penata mencari tahu lagu-lagu lain yang dimainkan pada gamelan
Semara
Pegulingan
seperti :
Perong condong, Subandar, Tabuh gari
dan Godeg miring. Dari sanalah penata
berkeinginan untuk mendalami tentang apa yang terdapat dalam barungan gamelan
Semara Pegulingan.
Pada saat bersekolah di SMK N 3 Sukawati (KOKAR/SMKI) penata mulai mengenal apa yang terdapat
dalam barungan gamelan
Semara Pegulingan, mulai dari nada-nada yang terdapat didalamnya, banyaknya
patet yang dapat dipakai, hingga cara untuk membuat sebuah modulasi di dalam lagu. Semua unsur-unsur ini
diajarkan oleh bapak I Gusti Ngurah Padang dalam mata pelajaran titi laras.
Kemudian dalam mata kuliah komposisi 2 dan 3 penata telah menggunakan gamelan
Semara
Pegulingan
kedalam dua buah komposisi berbeda yaitu komposisi
Legong kreasi
dan komposisi
Bebarongan.
Dalam proses kedua komposisi yang berbeda ini penata memainkan melodi dengan
perpindahan patet
atau modulasi yang patah atau
ngelung
dalam bahasa Bali dan yang mencari jembatan
nada untuk modulasi. Dalam komposisi
bebarongan
penata mulai mengadopsi teknik dari musik barat
seperti: ketukan
triplet, polimeter, polifoni
dan polirhytm
kedalam komposisi ini. Dari dua pengalaman
berkomposisi menggunakan media ungkap
Semara Pegulingan
penata lebih terbiasa untuk membuat lagu
pada
laras pelog 7 nada.
Namun dari kedua hasil komposisi tersebut penata masih belum puas dan harus
belajar lebih banyak lagi terutama pada teknik baru dan pola garap baru namun masih dalam ranah
mempertahankan roh atau jiwa dari barungan gamelan Semara Pegulingan.
Penciptaan suatu karya seni membutuhkan adanya pemikiran dan pematangan ide. Menurut penata
ide dapat muncul kapan saja dan dimana saja, namun tindak lanjut dari ide ini yang kadang bisa atau tidak
dilaksanakan. Kendala yang sering dialami penata adalah memilih sebuah ide yang pas atau cocok untuk
direalisasikan, karena terkadang penata memiliki banyak ide yang seketika muncul sehingga membuat penata
bingung untuk memilih ide yang akan digunakan. Menurut penata lebih mudah merealisasikan ide yang
realistis atau nyata untuk diwujudkan kedalam sebuah komposisi karawitan, karena suatu yang realistis atau
nyata akan lebih mudah digambarkan kedalam sebuah komposisi yang bersifat abstrak dan penikmatnya
tentu akan lebih mudah mengerti.
Karya
Wiramarana
ini yang didasari oleh salah satu bagian dari konsep
Tri Hita Karana
yaitu
palemahan dan lebih merujuk kepada tumbuhan, disinilah penata lebih mudah menggambarkan bagaimana
sebuah tumbuhan itu untuk di tuangkan ke dalam komposisi karawitan. Namun, melihat perbuatan manusia
yang tidak menghiraukan tumbuhan dan lingkungan penata mendapatkan ide tambahan untuk memasukkan
vokal ke dalam karya ini. Masuknya vokal akan menjelaskan betapa pentingnya tumbuhan dan lingkungan
untuk kelangsungan hidup manusia. Vokal diharapkan dapat memperjelas apa yang dimaksud penata untuk
disampaikan kepada penikmat karya ini.
Keinginan yang besar untuk menggunakan
barungan gamelan
Semara Pegulingan didorong oleh
karakter yang lembut dari lagu-lagu
Semara Pegulingan.
Di samping juga keinginan yang besar untuk
berpartisipasi dalam penciptaan karya baru. Selanjutnya penata mendatangi perpustakaan untuk mencari
sumber berupa buku berkopenten dengan ide yang digarap. Selang berapa lama, akhirnya penata
membulatkan tekat untuk menentukan tema dan judul garapan melalui pengajuan proposal yang diberi judul
Wiramarana. Setelah proposal disahkan oleh ketua jurusan karawitan, maka penata mulai mengadakan
diskusi dengan berbagai pihak untuk mendapat masukan yang berguna bagi garapan.
Namun karena penata telah memiliki sanggar yang beranggotakan teman-teman sejak dulu maka sangatlah
mudah untuk meminta bantuan kepada mereka. Semua pendukung yang dipilih setuju untuk mendukung
ujian tugas akhir ini secara tulus iklas.
2.
Tahap Percobaan (Improvisasi)
Eksplorasi atau penjajagan adalah suatu langkah awal dari proses yang panjang. Pada tahap berikutnya
dilakukan improvisasi untuk memulai menuangkan ide-ide hasil kontemplasi dalam bentuk percobaan yang
mulai dituangkan. Tahap ini menjadi sangat penting dalam memilih, mempertimbangkan, membedakan
membuat harmonisasi dan kontras-kontras tertentu. Di sini persoalan nilai sangat kompleks, melebar, dan
menyangkut rasa mendalam. Singkatnya, bagaimana pengatur seluruh bunyi dengan aspek penciptaan untuk
menuju satu garapan komposisi, sehingga menemukan kesatuan terhadap berbagai percobaan yang telah
dilakukan.
Kesempatan berikutnya dipakai untuk
Nuasen di tempat latihan (di sanggar) dengan pendukung yang
dilakukan pada tanggal 4 Maret 2017, pukul 19.00 Wita. Pada acara nuasen atau pertama kalinya latihan ini
penata meminta bantuan kepada seluruh pendukung untuk membantu dalam ujian tugas akhir ini. Salah satu
pendukung bertanya tentang konsep garapan yang akan direalisasikan, maka penata menjelaskan konsep
yang dipakai untuk garapan ini dan gamelan yang digunakan beserta alasan menggunakan gamelan terebut.
Selanjutnya membahas tentang jadwal latihan selanjutnya. Adapun hari yang ditetapkan untuk latihan adalah
setiap hari Senin pukul 18.00 Wita, hari Kamis dan Jumat pukul 19.00 Wita. Mengingat beberapa pendukung
tidak hanya mendukung garapan penata saja, namun ada beberapa pendukung yang juga mendukung teman
peserta lainnya, maka jadwal untuk latihan harus disosialisasikan agar jangan sampai menimbulkan benturan
waktu latihan.
Untuk mewujudkan ide, yang pertama penata pikirkan adalah “arah”. Arah yang dimaksud adalah
bagaimana nantinya perwujudan ide ini, dari awal dimulai sampai di akhir nanti. Dengan “arah” ini sangat
mempermudah penata untuk memikirkan lagu yang akan dituangkan, walaupun dalam proses akan ada ide
yang muncul secara spontan dan mengakibatkan beberapa perubahan pada beberapa bagian dari rancang arah
karya yang akan penata buat.
Pada tahap improvisasi ini, semua hasil percobaan demi percobaan sudah mulai diwujudkan pada media
ungkap. Namun tidak dapat dipungkiri apa yang telah dicatat sedikit tidaknya akan mengalami perubahan
demi perubahan. Hal ini disebabkan oleh ide yang muncul secara spontan, kesalahan dalam penulisan notasi.
Bisa saja lagu yang awalnya sudah dibuat ketika dibaca ulang menjadi beda, kesalahan penulisan ini pun
dapat menjadi ide spontan ketika perubahan yang terjadi membuat penata tertarik, Seperti misalkan lagu
yang awalnya 8 (delapan ketuk) bisa saja menjadi 7 (tujuh) atau 9 (Sembilan) ketuk karena kesalahan
penulisan ini.
Dalam penuangan lagu tentu mendapat beberapa kendala yang sangat mengganggu dan membuat penata
berfikir keras. Namun dengan kemauan yang sangat besar untuk dapat mengikuti ujian TA (Tugas Akhir)
kali ini, penata terus memotivasi diri untuk tetap maju. Dorongan dari keluarga dan sahabat yang selalu
memberi semangat, membuat penata tambah termotivasi untuk menyelesaikan tugas ini sampai akhir.
3.
Tahap Pembentukan (
Forming)
dan kekompakan pendukung terhadap garapan ini sangat dibutuhkan, karena hal tersebut menentukan dalam
menyampaikan pesan dan kesan yang terkandung dalam garapan, supaya penonton mengerti maksud dari
bahasa musik yang penata sajikan.
Gambaran kasar komposisi ini terus mengalami perbaikan demi perbaikan sampai mencapai hasil yang
benar-benar diinginkan. Karena penata akan lebih mudah untuk menemukan ide terutama pada bagian
transisi yang enak (dalam konteks estetis penata) ketika penata mendengar karya itu utuh dari awal sampai
akhir. Dalam berkarya buatlah bentuk komposisinya terlebih dahulu setelah itu baru bisa memperbaiki
bagian-bagian yang masih kurang bagus, sehingga dalam prosesnya akan mendapatkan hasil yang bagus.
Maka dari itu pematangan konsep harus didukung juga oleh kematangan proses. Kehadiran pendukung juga
merupakan faktor yang mempengaruhi lancarnya proses kreativitas pada tahapan ini.
Tahapan ini juga menyangkut pengendapan dari apa yang sudah diperoleh pada tahap sebelumnya.
Pemotongan demi pemotongan juga dilakukan juga dilakukan pada tahapan ini, untuk menghindari
bagian-bagian yang dianggap terlalu banyak pengulangan atau dianggap datar, termasuk memperhatikan kapan
motif atau pola-pola tertentu dimunculkan. Pemberian porsi yang tepat akan menambah kekuatan dari karya
ini, dan tentunya akan lebih menarik ketika dimainkan.
Pada kesempatan ini dimanfaatkan juga untuk memperhatikan perubahan-perubahan pada vokal yang
telah disusun sedemikian rupa. Perubahan ini dilakukan guna memunculkan kekuatan ketika vokal akan
masuk dan selesai. Selain itu juga memantapkan pecah suara antar gerong agar serentak dalam satu tempo
karena memang sulit untuk menyatukan suara lebih dari satu orang.
Dalam tahap ini dapat dibayangkan bagaimana kesatuan konsep dengan garapan yang telah dicapai.
Apakah serasi atau masih ada beberapa bagian yang kurang tepat, bahkan ada bagian kurang selaras dengan
konsep semula. Jadi keutuhan dari garapan ini tercermin dari integritas antara ide dan konsep, sehingga
pesan yang disampaikan dapat ditangkap melalui komposisi yang dihasilkan. Tahapan ini juga berguna untuk
menginstropeksi garapan sehingga apa yang menjadi tema sentral garapan dapat terpenuhi. Hal ini
menyebabkan masih adanya suatu perubahan-perubahan tertentu dalam prosesnya selalu menemukan yang
lebih menyegarkan dari sebelumnya.
III. WUJUD GARAPAN
Wujud garapan diterangkan dalam beberapa point penting diantaranya : 1) deskripsi garapan, 2)
analisa materi, 3) sistem notasi, 4) analisa pola struktur.
1.
Deskripsi Garapan
Setelah melalui proses kreatif yang panjang dengan beberapa tahapannya, komposisi karawitan
Wiramarana ini akhirnya dapat terwujud menjadi sebuah karya yang utuh. Terwujudnya karya seni ini
merupakan sebuah jawaban dari berbagai tantangan yang dihadapi selama menjalani proses kreatif. Mulai
dari pencarian ide, perenungan konsep musikal, penuangan materi kepada pendukung, sehingga terwujud
menjadi sebuah komposisi yang utuh dan sarat nilai artistik agar layak untuk dipertontonkan atau
diperdengarkan.
2.
Analisa Materi
Teknik Kotekan
Teknik
kotekan merupakan salah satu pola permainan pada gamelan Bali. Kotekan merupakan
kombinasi antara sifat ekspresi, ketangkasan teknis, serta dorongan untuk mencapai ketelitian individu
dan ensambel menghasilkan sesuatu yang luar biasa dan terbukti menjadikan sebuah karya lebih
menarik (Tenzer as cited in Purnama Gita, 2015 : 32). Kotekan terdiri dari pukulan Polos dan Sangsih
yang memiliki sistem tersendiri sehingga menghasilkan sebuah jalinan.Tentu saja tehnik kotekan ini
dituangkan pada instrumen
kantil
dan
Pemade,
tapi tidak menutup kemungkinan dituangkan pada
intrumen jublag dan jegog.
Teknik kotekan diatas dikomposisikan melalui teknik komposisi yang telah ada dengan
mempertimbangan unsur musik sebagai berikut :
Motif Counterpoint
Counterpoint adalah teknik komposisi yang memiliki pola antara satu, dua atau lebih, dimainkan
secara bersamaan atau dalam kata lain berkontraksi dalam waktu yang sama, dan ukuran yang sama
juga (Andika Putra, 2013: 67). Dalam garapan
Wiramarana
teknik
counterpoint
diaplikasikan pada
bagian vokal.
Harmoni
Dengan harmoni sebuah karya memiliki suatu keselarasan antara bagian-bagian atau
komponen-komponen yang tersusun menjadi kesatuan.Keharmonisan memperkuat rasa keutuhan karena
memberikan rasa tenang, nyaman, dan tidak mengganggu penangkapan oleh Panca Indera. Harmoni
timbul akibat adanya perpaduan atau bertemunya beberapa nada yang tidak sama (Tenzer, as cited in
Purnama Gita, 2015 : 32). Ngempyung merupakan sistem harmoni dalam karawitan Bali.Dalam karya
Wiramarana ini harmoni dituangkan pada instrumen Jublag, Jegog, kantil, pemade, dan Suling.
Tempo
Tempo adalah waktu, kecepatan dalam langkah tertentu (Aryasa, 1984: 84).Dalam pola permainan
yang dimainkan/dilakukan dalam garapan memegang peran yang sangat penting.Adapun tempo yang
digunakan dalam garapan Wiramarana meliputi, lambat, sedang, dan tempo cepat.
Dinamika
Dinamika berarti keras lembutnya dalam cara memainkan musik (Aryasa, 1984: 84). Dinamika
merupakan salah satu bagian terpenting dalam garapan.Dinamika sebagai ekspresi dalam penggarapan,
menyangkut aksen pada teknik permainan setiap instrumen, keras lirihnya suara, serta panjang
pendeknya motif maupun teknik permainan instrumen yang dilakukan untuk menghasilkan kesan
dinamis dalam sebuah garapan.
Melodi
Melodi merupakan rangkaian nada secara berurutan yang berbeda panjangpendeknya dan berbeda
pula tinggi-rendahnya, teratur susunannya dan memiliki irama (Aryasa, 1984: 84).Melodi sangat
berperan penting dalam terwujudnya sebuah komposisi khususnya komposisi karawitanWiramarana.
Modulasi
Modulasi merupakan perpindahan dari satu nada dasar (patet) ke nada dasar yang lain (Aryasa, 1984:
83).Dalam komposisi
Wiramarana
penata menggunakan
patet
yang terdapat pada gamelan
Semara
Pegulingan.
Adapun patet yang digunakan dalam garapan ini adalah sebagai berikut :
- patet Selisir
:
345.71.
- patet tembung
:
71.345
- patet Sunaren
:
.71.345
- patet Patemon
:
1.345.7
- patet Baro
:
.345.71
- patet Pangenter Ageng :
5.71.34
- patet Pangenter Alit
:
45.71.3
Sistem notasi merupakan sebuah cara atau aturan-aturan yang digunakan sebagai sarana
pendokumentasian karya seni. Sistem notasi ini sangat diperlukan untuk mengingat inspirasi ketika
menciptakan sebuah karya dan sebagai sarana yang dibayangkan dalam konsep lagu sebelum dituangkan
kepada pendukung.
Dalam penciptaan karya “Wiramarana” ini akan menggunakan simbol-simbol tertentu menurut
pengertian penata sendiri, seperti penganggening aksara Bali seperti yang terdapat pada sistem notasi
dingdong dan beberapa simbol-simbol yang diciptakan oleh penata sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya
aturan pasti dalam penotasian karawitan Bali.
Adapun simbol-simbol notasi karya “Wiramarana” ini seperti dalam tabel berikut:
No
Simbol
Aksara
Keterangan
1.
3
Ulu
Nding
2.
4
Tedong
Ndong
3.
5
Taleng
Ndeng
4.
6
Suku ilut
Ndeung
5.
7
Suku
Ndung
6.
1
Cecek
Ndang
7.
2
Pepet
Ndaing
1.
Simbol-simbol berbentuk garis.
∙
= Tanda titik. Memiliki arti 1
(satu) ketukan.
∙ ∙
∙∙∙
∙∙∙∙
= garis nilai 1/3 ketukan.
= garis nilai ¼ ketukan.
∙∙∙∙
= tanda perulangan.
2.
Simbol-simbol berbentuk singkatan dari masing-masing instrumen dan
peniruan bunyi dari instrumen tertentu.
-
jg
= Jegogan.
-
jb
= Jublag.
-
kt
= kantil.
-
gs
= gangse/pemade.
-
Vok
= Vokal.
-
Vb
= Vokal bersama.
-
Vg1
= Vokal gerong 1.
-
Vg2
= Vokal gerong 2.
-
Vg3
= Vokal gerong 3.
-
Tr
= Terompong.
-
O
= Pukulan pada muka kanan kendang krumpungan wadon.
-
v
= Pukulan pada muka kanan kendang krumpungan lanang.
-
k
= Pukulan ka pada muka kiri kendang krumpungan wadon.
-
p
= Pukulan pak pada muka kiri kendang krumpungan lanang.
-
u
=
Pukulan pung pada muka kiri kendang krumpungan
lanang.
-
t
=
Pukulan teng pada muka kiri kendang krumpungan
lanang.
-
d
=
Pukulan tong pada muka kiri kendang krumpungan
wadon.
-
S
= Suling.
4. Analisis Pola Struktur
Karya komposisi karawitan
Wiramarana
ini memiliki 3 bagian yang berhubungan sebagai bahan
penyusunnya, diantaranya :
a.
Bagian I
dengan instrumen jublag, kemudian kantilan, dan terakhir instrumen
gangsa pemade bersamaan dengan
instrumen terompong. Pemilihan nada daing ini karena nada ini merupakan nada tertinggi yaitu nada ke-7
yang penata tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang menciptakan alam semesta, maka dari
itu nada daing ini digunakan pada bagian awal dari karya Wiramarana ini. Setelah itu dilanjutkan dengan
kebyar pendek yang di sambung dengan pengulangan pemukulan nada
daing
pada masing-masing
instrumen dengan jarak pergantian yang dipercepat.Kemudian dilanjutkan dengan kebyar yang diakhiri
dengan pukulan gong sebagai transisi menuju pada bagian gegineman.
Pada bagian gegineman penata merealisasikan tafsir penata tentang pondasi dari pohon yaitu akar.
Menurut tafsir penata sendiri, akar pohon yang masih hidup tidak akan terlihat karena tertancap pada
tanah. Namun, kita dapat memperkirakan bentuk akar pohon tersebut walaupun tidak akan sama dengan
yang kita bayangkan. Tafsir penata ini dituangkan pada
pengrangrang terompong yang menggunakan
patet Sunaren dibalut dengan permainan melodi pada instrumen
jublag
dan
jegog
sebagai bentuk
realisasinya. Kemudian penata memasukan vokal
gerong
setelah bagian
gegineman
tersebut sebagai
salam pembuka atau istilah Balinya Pengastungkara.
Vokal ini bernuansa selendro
tepatnya pada
patet
pangenter ageng.Sistem perpindahan patet yang digunakan adalah sistem menggunakan jembatan nada,
nada tumbuk yang digunakan adalah nada
ndang
pada
patet selisir yang merupakan nada
ndung pada
patet pangenter ageng.Selanjutnya disambung oleh vokal bersama antara penabuh dan gerong.
Setelah bagian gegineman
dilanjutkan dengan transisi menuju pada satu bait melodi yang kembali
menggunakan patet sunaren.
Bait lagu ini menggambarkan tentang bagian lengkungan dari akar pohon
menuju pada batang pohon yang penata realisasikan pada perbedaan jumlah ketukan pada salah satu gatra
pada satu baris melodi. Bagian I ini diakhiri oleh kebyar sebagai transisi dari bagian I ke bagian II.
b. Bagian II
Pada bagian II dari garapan ini penata menafsirkan bagian batang dari sebuah pohon. Penggambaran
batang penata tafsirkan kedalam ukuran lagu, dimana batang berbentuk lurus dan di bagian ujung akan mulai
timbul sebuah dahan. Bagian batang yang hanya satu garis lurus penata tuangkan kedalam sebuah pola
seperti pengawak pada tabuh-tabuh
Semara Pegulingan klasik dengan ukuran melodi yang sama. Namun,
penata menempatkan 5 (lima) ketukan pada 1 (satu) gatra dimana dalam satu baris lagu ini terdiri dari 4
(empat) gatra. Alasan penata menggunakan ketukan 5 karena penata ingin keluar dari kebiasaan yang
menggunakan 4 (empat) ketuk dalam 1 (satu) gatra.
Selain penggunaan ketukan yang berbeda dari biasanya, dalam bagian pengawak ini penata
menggunakan 2 (dua) buah melodi yang berbeda.Melodi pokok dimainkan pada instrumen
jublag
dan
melodi kedua dimainkan pada instrumen
jegogan
dengan panjang melodi sejumlah dua baris. Melodi ini
ketika dimainkan akan memunculkan harmoni dan adanya sistem ngempyung pada nada tertentu di dalam
dua baris melodi yang berbeda tersebut.
Kotekan
pada bagian ini mengacu kepada melodi pokok yang
dimainkan oleh instrumen
Jublag.Melodi ini dimainkan pada
patet Baro
yang bernuansa
Selendro,
penggunaan
patet Baro
ini dikarenakan adanya lantunan
pupuh yang mengisi melodi ini.Pupuh
yang
digunakan adalah Pupuh Mijil.
Pupuh Mijil ini dipilih karena penata sangat suka dan tertarik untuk menggunakannya pada garapan
ini. Awal dari ketertarikan penata ketika menonton pementasan taman penasar duta kabupaten Badung pada
tahun 2015. Hal yang disampaikan pada pupuh ini adalah pesan tentang bagaimana kita seharusnya
memperhatikan tumbuhan dan menjaganya dengan baik karena tumbuhan yang memberi kita
kehidupan.Pupuh
ini akan mengawali secara mandiri kemudian diiringi dengan masuknya pola pengawak
yang telah dibahas diatas.
ketukan 4 (empat) pada melodi dan ketukan 3 (tiga) pada kotekan.Sebagai akhir dari bagian ini penata
menggunakan kebyar yang menggambarkan bagian dahan pohon yang bercabang.
c. Bagian III
Bagian ini merupakan bagian akhir dari garapan
Wiramarana.penata memasukan sebuah
pupuh
yaitu pupuh ginanti pengalang yang berlaraskan pelog sebagai awal pada bagian ini. Penata memilih pupuh
ini dikarenakan masukan dari bapak I Nyoman Windha sebagai pembimbing penata.Menurut beliau
pupuh
ginanti pengalang
ini sangat cocok untuk menggambarkan alam. Lantunan
pupuh
ini akan diiringi oleh
intrumen rebab, suling, dan jegog. Pupuh ginanti pengalang ini akan menceritakan tentang bagaimana alam
itu memberi kita sebuah kehidupan. Selanjutnya bagian ini menggambarkan tentang bagian atas dari pohon,
dimana bagian atas pohon terdiri dari dahan, daun, dan bunga.
Pada bagian selanjutnya adalah realisasi dari daun dan bunga, ketika kita melihat daun dan bunga
yang indah rasa kagum akan muncul karena melihat keindahaan tersebut. Daun dan bunga yang indah ini
penata realisasikan dengan alunan melodi layaknya pengecet pada tabuh
semara pegulingan klasik namun
ada pengembangan pada pola garap dan ornamentasinya. Pada pola ini akan masuk vokal dari gerong yang
mengikuti melodi pokok. Masuknya vokal memberikan sebuah pesan tentang apa yang terjadi jika kita
memperhatikan dan merawat tumbuhan. Kemudian dilanjutkan dengan vokal yang berbeda dari ketiga
gerong. Perbedaan yang di maksud adalah pada konteks meter atau ukuran lagunya yang nantinya jika
dilagukan secara bersama akan membuat jalinan pada vokal itu sendiri. Vokal ini diikuti oleh melodi
gamelan pada patet patemon.
Sebagai akhir dari garapan
Wiramarana
ini penata membuat melodi pendek yang berulang pada
patet patemon dengan
kotekan
pada ritme triplet. Dalam melodi ini akan masuk vokal sebanyak satu baris
dan masuknya kotekan pada ketukan 4/4 yang muncul dari instrumen kantilan dan diikuti oleh instrumen
gangsa sebelum ditutup oleh kebyar dan vokal bersama dengan kata
“Wiramarana”sebagai akhir dari
garapan ini.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Garapan Wiramarana adalah sebuah karya komposisi karawitan yang terinspirasi dari tumbuhan, dalam
konsep
palemahan
diajarkan untuk menjaga hubungan manusia dengan alam, namun yang terjadi malah
sebaliknya. Fenomena ke tidak harmonisan tersebut dituangkan ke dalam sebuah karya komposisi karawitan
secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut.
Karya Wiramarana dengan menggunakan media ungkap dari barungan gamelan Semara Pegulingan.
Gamelan Semara Pegulingan dipilih sebagai media ungkap karena ketertarikan penata pada gamelan
ini dari sejak kecil dan adanya patet yang memungkinkan untuk melakukan modulasi sehingga lebih
banyak mendapat bahan untuk diolah.
Secara struktural karya
Wiramarana
terdiri dari tiga bagian yaitu bagian satu, dua, dan tiga yang
masing-masing bagian memiliki penggambaran dalam suatu objek tersendiri namun masih dalam
satu kesatuan.
Karya Wiramarana dimainkan oleh dua puluh lima pemain termasuk penata dan tiga orang gerong.
Para pemain adalah para anggota sanggar
Padma Sari
dan spesialis vokal gerong dalam konteks
pertunjukan seni karawitan Bali.
Karya Wiramarana mengolah unsur bunyi dari masing-masing instrumen kemudian ditata dengan
unsur musik lainnya seperti tempo, harmoni dan dinamika.
Aspek-aspek penting diluar unsur musikal yang berperan penting untuk kesempurnaan penyajian
karya komposisi musik
Wiramarana
adalah penggunaan
sound system, tata lampu (lighting) dan
kostum.
2. Saran-saran
Seni karawitan khususnya karawitan Bali sebenarnya masih banyak menyimpan keunikan-keunikan
yang dapat memberikan rangsangan untuk kita gunakan sebagai sarana berkreativitas atau lahan garap ketika
akan mewujudkan suatu karya seni. Kreativitas dalam berkarya tidaklah bersifat statis melainkan bergerak
secara dinamis seiring dengan pola pikir manusia. Hal ini patut kita jadikan renungan khusus bagi generasi
muda untuk tidak terikat pada aturan atau konvensi-konvensi yang bersifat mengikat sehingga akan lebih
berkembang daya kreativitas. Jadi yakini diri kita untuk berkarya sesuai hati nurani dan kesukaan, sehingga
karya tersebut dapat terwujud agar memeberikan kepuasan tersendiri dan memberikan warna baru pada dunia
karawitan Bali. Jangan dibelenggu oleh hasil, tetapi teruslah mencoba dan mencoba dengan sikap kreatif
yang kita miliki masing-masing.
Gamelan
Semara Pegulingan
adalah sebuah barungan gamelan dengan ciri khas kelembutan dan
permainan modulasinya. Gamelan
Semara Pegulingan ini sangat dikenal di khalayak umum, dan banyak
yang menggunakan gamelan ini menjadi media untuk berkreatifitas. Namun sayangnya masih banyak karya
baru yang menggunakan gamelan ini dengan jiwa kebyar. Sebenarnya memang sulit untuk menggarap
gamelan
Semara Pegulingan
dengan jiwa lembutnya, namun jika dicermati hal ini dikarenakan adanya
pengaruh dari gamelan
gong kebyar yang membuat kita selalu mengacu pada jiwa kebyar yang terdapat
dalam gamelan itu. Jadi yang seharusnya dilakukan adalah menyingkirkan pemikiran terhadap gamelan yang
lain dan fokuskan pada gamelan yang digunakan.
Untuk lembaga diharapkan lebih menyediakan ruang yang lebih luas lagi kepada mahasiswa agar
mampu mengekspresikan daya kreativitasnya ke dalam sebuah karya seni. Selain mendapatkan ilmu di
dalam perkuliahan regular, event-event terkait diharapkan mampu memberikan wawasan baru.
V. DAFTAR PUSTAKA
Aminudin.2013. Menjaga Lingkungan Hidup dengan Kearifan Lokal.Jakarta:
Titian Ilmu.
Aryasa, I WM dkk.1985.Pengetahuan Karawitan Bali. Bali: Departemen
pendidikan dan Kebudayaan.
Bandem, I Made. 1998. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali.Denpasar: Sekolah
Tinggi
Seni
Indonesia Denpasar.
Dwi Andika Putra, I Made. 2013. Skrip Karya Seni Kirtanam. Denpasar: Institut Seni
Indonesia Denpasar.
Diana Putra, I Wayan. 2011. Skrip Karya Seni Ruang Tiga. Denpasar : Institut Seni
Indonesia Denpasar.
Hadi, Y. Sumandiyo.2003. Mencipta Lewat Tari. Yogyakarta: Manthili Yogyakarta.
Kartawan, I Made. 2009. Reformulasi Sistem Patutan Pada Gamelan Semar
Pagulingan
Saih
Pitu.Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.
Purnama Gita, I Wayan Gede. 2015. Skrip Karya Seni Sunari Wakya. Denpasar:
Institut Seni Indonesia Denpasar.
Renawati, Pande Wayan. 2006. Buku Ajar Agama Hindu. Denpasar:IKIP PGRI. Bali.
Tim Penyusun Pedoman Tugas Akhir. 2015. Pedoman Tugas Akhir. Denpasar: