• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan (food security) menjadi suatu topik yang menarik dan mulai populer diperbincangkan sejak timbulnya krisis pangan dan kelaparan pada awal tahun 1970 (Maxwell & Frankenberger 1992). Dalam konteks yang lebih global istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan oleh PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen intemasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afiika dan Asia.

Berdasarkan Declaration of Human Right 1998 yang disepakati pemerintah Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak azazi manusia (HAM). Artinya negara (pemerintah dan masyarakat) harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan), apalagi sampai tejadi kelaparan dan gizi buruk dapat dikategorikanlmempakan indikasi pelanggaran HAM.

Pada mulanya pengertian ketahanan pangan terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Perserikatan Bangsa-bangsa (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten serta dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. World Bank (1986) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua mmahtangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Lebih lanjut World Bank (1986) mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat.

Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FA0 1992), pengertian ketahanan pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), diiensi daya ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan

(2)

kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi bola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan) dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Hardinsyah dan Martianto 2001). Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat dipahami sebagai berikut :

1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, temak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi perturnbuhan kesehatan manusia.

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.

3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi merata, diartikan pangan yang harus

tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumahtangga dengan harga yang terjangkau.

Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi mmahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan te jangkau. Makna dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup ilntuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Definisi tersebut sesuai dengan konsep ketahanan pangan yang dikemukakan oleh Chung (1997), bahwa ketahanan pangan mempunyai tiga komponen utama yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan (Gambar 1). Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi, ketersediaan pangan di pasar maupun di tingkat mmahtangga. Pada dasarnya produksi pangan mencerminkan kondisi pendapatan petani. Selain itu produksi pangan diharapkan dapat menyediakan pangan dengan harga yang dapat dijangkau konsumen.

(3)

INDIKATOR GENERIK Ketersediaan

Pangan

Sumberdaya Produksi Pendapatan Konsumsi Status Cizi

Alum -Total luas lahan - Pendapatan dari -Total - Anh-opometri

- Curah hujan garapan tanaman pengeluaran - Kadar serum

- Kualitas tanah - Luas lahan - Pendapatan dari

-

Pengeluaran - Angka beririgasi ternak pangan kesakitan

- Ketersediaan air - Luas laha,, - Upah - Pengeluaran - Angka

- Akses terhadap diberakan - Harga jual non pangan kematian sumberdaya hutan - Akses terhadap - Pasar - Harga beli - Angka

Fisik input dan - Akses jalan - Konsusmsi kelahiran

- Pemilikan ternak PeWgUnaan - Kiriman uang pangan

-

Akses

- Pemilikan sarana - - Frekuensi pelayanan

- Keragaman P a g a n kesehatan pertanian

tanaman - Akses

- Pemilikan tanah - Produksi terhadap air

- Akses infrastruktur . produksi non bersih

Manusia pertanian - Sanitasi yang

- Rasio memadai

ketergantungan

- Pendidikan

- Besar keluarga -Umur KK

Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan (Chung 1997)

Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai ketersediaan Akses

Pangan

pangan yang diperoleh dari proses produksi sangat tergantung pada sumberdaya Pemanfaatan

pangan

t

1

alam, fisik, dan manusia. Komponen akses pangan terkait dengan akses ekonomi bagi individu untuk memperoleh pangan. Hal ini terkait dengan kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi pangan yang dibutuhkan seperti kualitas lahan pemilikan dan penguasaan lahan, pemilikan ternak dan aset lainnya, harga pangan maupun daya beli (Maxwell & Frankenberger 1992 dan Chung 1997). Suhardjo

Status gizi

-

Anak * Dewasa

(1994) menyatakan bahwa ketidaktahanan pangan rumahtangga disebabkan oleh --+ Sumberdaya Alam Fisik Manusia -t Produksi Pertanian *Nan Pertanian Pendapatan Pertanian N o n Pertanian - - Konsumsi Pangan N o n Pangan

(4)

kemiskinan atau pendapatan yang rendah. Pemanfaatan pangan dapat diartikan sebagai konsumsi pangan. Konsumsi pangan sangat berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Faktor yang rnempengaruhi adalah ketersediaan air bersih, sanitasi, pola asuh balita, fasilitas kesehatan, dan pendidikan. Dengan demikian untuk mewujudkan ketahanan pangan rumahtangga perlu memperhatikan faktor ketersediaan pangan, daya beli, dan pengetahuan gizi (Suhardjo 1994).

Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga sub sistem, yaitu : (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (3)

konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kernampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumahtangga mengakses pangan yang cukup melalui kegiatan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsurnsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.

Ketiga aspek tersebut juga merupakan indikator ketahanan pangan pada berbagai level (Dewan Ketahanan Pangan 2006), yang mana ketersediaan pangan dapat diartikan bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah rnaupun mutunya, serta aman. Tidak terpenuhinya keadaan tersebut pada suatu wilayah, rnaka dapat disimpulkan bahwa wilayah tersebut tidak tahan pangan. Ketersediaan pangan berganthmg pada pada sumberdaya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung disertai sumberdaya manusia yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinu. Akses pangan hanya dapat tejadi bila rumahtangga berpenghasilan cukup. Konsumsi pangan akan menentukan apakah seluruh anggota rumahtangga

(5)

bisa mencapai derajat kesehatan optimal (Khomsan 1996). Aspek distribusi menjadi indikator yang dapat menjelaskan bahwa suatu wilayah dikatakan tahan pangan apabila pasokan pangan dapat menjangkau keseluruh wiiayah sehingga harga stabil dan masyarakat dapat menjangkau pangan dengan baik (akses fisik maupun ekonomi). Dari aspek konsumsi suatu wilayah dapat dijelaskan tahan atau tidak tahan pangan dengan mengetahui apakah setiap rumahtangga dapat mengakses pangan yang cukup sesuai kebutuhannya untuk mampu mengelola kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya.

Ketahanan pangan rumahtangga sebagaimana hasil rumusan Infernational Congres of Nufrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: "Ketahanan pangan rumahtangga (Household food securiv) adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari". Dalam sidang Commitfee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan "Hams diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culfure)". Hal lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumahtangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan tejangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat.

Untuk mewjudkan ketahanan pangan tingkat rumahtangga diperlukan kelembagaan paiigan karena ketahanan pangan mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan perundangan, organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan ketatalaksanaan (Soetrisno 1998). Saat ini di Kabupaten Lampung Barat telah ada Kantor Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pmgan. Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewjudkan ketahanan pangan diperlukan kejasama yang baik antara pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat. Kejasama tersebut dimaksudkan sebagai penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan seperti peningkatan jaminan ekonomi dan

(6)

pekejaan, bantuan pangan melalui jaringan pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya.

Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan lfood insecuri[y) tingkat nunahtangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering te jadi di daerah terisolir dan gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut (transitori) tejadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (IFPRI

1992).

Menurut Soetrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup. Ketahanan pangan bukan saja bagaimana menyediakan pangan yang cukup (melalui kebijakan peningkatan produksi), tetapi juga bagaimana rakyat banyak, khususnya rakyat miskin bisa menjangkaunya. Ini berarti pangan bukan saja tersedia dalam jumlah cukup, tetapi juga kualitas, harga tejangkau untuk rakyat di mana saja mereka berada. Kejangkauan rakyat akan pangan hendaknya juga berlaku dalam waktu relatif lama.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara ringkas ketahanan pangan sebenamya hanya menyangkut tiga ha1 penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan (Khomsan 1996), selanjutnya dikemukakan pula bahwa konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Tercapainya ketahanan pangan nasional tidak berarti tiada masalah dalam ketahanan pangan rumahtangga. Distribusi pangan yang tidak merata di tingkat regional atau rumahtangga dapat memunculkan masalah ketahanan pangan di level bawah.

(7)

Indikator Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan bisa dikatakan terwujud, jika tiga indikator telah terpenuhi, yakni ketersediaan cukup untuk selumh penduduk, distribusi merata dan terjangkau masyarakat, serta konsumsi setiap mmahtangga mampu mengakses dan mengelola pangan dengan gizi seimbang. Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa ketahanan pangan global, nasional, regional, lokal mmahtangga serta individu mempakan suatu rangkaian sistem hirarkis, dimana ketahanan pangan nasional dan regional mempakan syarat keharusan (necessary condition) bagi ketahanan pangan masyarakatlrumahtangga dan individu. Sementara ketahanan pangan tingkat individu merupakan syarat kecukupan (sufjciency condition) bagi ketahanan pangan nasional.

Mengacu pada pengertian ketahanan pangan yang ada pada Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1996 dan rencana aksi KTT pangan dunia, maka indikator yang dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi ketahanan pangan tingkat wiiayah dan nasional adalah indeks ketahanan pangan ~ m a h t a n g g a , rasio stok pangan dan konsurnsi pada berbagai tingkatan wilayah, skor Pola Pangan Harapan (PPH), kondisi ketahanan pangan, keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat dan tingkat cadangan pangan pemerintah dibandingkan perkiraan kebutuhan (Soetrisno 1996). Sawit dan Ariani (1997) rnengemukakan bahwa penentu utama ketahanan pangan nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan.

Maxwell & Frankenberger (1992) menyatakan bahwa indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan. Indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi mmahtangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai coping abilig indicator. Indikator dampak meliputi dua kategori yaitu langsung dan tak langsung.

(8)

Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan, indikator dampak secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi.

Indikator proses yang telah dikembangkan oleh IFRI (1999), yang dapat dipakai untuk membuat peta kerawanan pangan meliputi: 1) pertanian yang terdiri dari penggunaan lahan, rata-rata produksi tanaman, indeks keragaman tanaman, tanaman yang tahan kekeringan per hektar; 2) meteorologi yaitu curah hujan, risiko banjir dan kekeringan; 3) cadangan pangan; 4) infrastruktur terdiri dari akses pasar, kepadatan per hektar, jalan raya, terminal. Sedangkan indikator dampak yang dapat digunakan adalah 1) pelayanan kesehatan terdiri dari tingkat vaksinasi, rasio penduduk terhadap puskesmas, tingkat kehamilan yang berisiko; 2) kesakitan meliputi kasus diare pada balita, kasus gizi kurang, kasus malaria; 3)

sanitasi yang ditunjukkan oleh akses terhadap air bersih; 4) tingkat pendidikan. Kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan pangan masyarakat yang ada diwilayahnya diukur berdasarkan tingkat ketersediaan pangannya dalam kurun waklu tertentu baik yang diperoleh dari produksi sendiri, cadangan pangan ataupun melalui impor. Kemampuan produksi pangan merupakan hasil kerjasama antara para pelaku usaha produksi pertanian dan usaha terkait lainnya, serta para petugas pemerintah yang berkewajiban memberikan pelayanan prasarana dan sarana usaha di bidang pangan (Maxwell & Frankenberger 1992).

Cadangan pangan pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan pangan nyata masyarakat dan ketersediaan pangan, serta dengan mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau keadaan darurat. Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan wilayah, pemerintah harus: (a) mengembangkan, membina dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan pemerintah di tingkat pedesaan, perkotaan, provinsi dan nasional; (b) mengembangkan, menunjang dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi peran swasta dan koperasi dalam mewujudkan cadangan pangan masyarakat. Dengan kata lain pemerintah mempunyai peran ganda dalam pengembangan sistem cadangan pangan, yaitu pengadaan cadangan pangan pemerintah dan niemfasilitasi pengembangan cadangan pangan masyarakat.

(9)

Pergerakan harga pangan disuatu wilayah pada periode tertentu dapat mencerminkan tingkat stabilitas harga pangan diwilayah tersebut dan merupakan petunjuk dari stabilitas pasokan, yang merupakan salah satu elemen penting ketahanan pangan. Stabilitas harga pangan ini dapat dipengaruhi oleh sifat bahan pangan dan kesesuaian pengelolaan sistem produksi dengan permintaan pasar. Sebagai indikasi dari ketahanan pangan di tingkat mikro, digunakan ketersediaan dan konsumsi pangan dalam bentuk energi dan protein per kapita per hari. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin ha1 yang sama di tingkat rumahtangga, karena tergantung kemampuan rumahtangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli) (Su~yana 2004).

Menurut Hardinsyah et al. (2002), penganekaragaman pangan dapat dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu pengganekaragaman produksi pangan, distribusi dan penyediaan pangan, serta konsumsi pangan. Tujuan utarna penganekaragaman pangan adalah untuk peningkatan mutu gizi pangan dan mengurangi ketergantungan pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan.

Konsep diversifikasi saat ini menjadi sangat penting disebahkan semakin menwnnya kapasitas produksi beberapa pangan strategis, misalnya beras. Menurut Hardinsyah (1996), untuk mengukur keberhasilan upaya diversifikasi di bidang penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH).

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dielary Paltern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energikelompok pangan (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. Dengan pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (flubilioflal adequancy), akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrilional balance) yang didukung cita rasa @alatabilily), daya cema (digeslability), daya terima masyarakat (acceptabilily), kuantitas dan kemampuan daya beli (afforlrability) (Hardinsyah et al. 2002).

(10)

Munculnya berbagai indikasi kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh sampai sejauh mana rumahtangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Kerawanan pangan dibedakan atas kerawanan kronis, yaitu yang terjadi secara kontinu (terns menerus) karena ketidakmampuan membeli atau memproduksi pangan sendiri yang akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan; dan kerawanan sementara (transitori) yang te jadi karena kondisi tak terduga seperti bencana alam

atau bencana lainnya.

Status gizi masyarakat mernpakan keadaan gizi setiap individu yang sangat dipengaruhi oleh asupan bahan pangan yang dikonsumsi, yang ditentukan oleh kemampuan penyediaan dan pengelolaan konsumsi pada masing-masing rumahtangga dan merupakan hasil lanjutan (outcome) dari ketahanan pangan rumahtangga (Suryana 2004).

Istilah hunger paradox sering digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena mantapnya ketahanan pangan nasional, yang dicerminkan ketersediaan kalori dan protein di atas angka kebutuhan gizi, namun kelaparan atau kekurangan gizi masih tejadi dimana-mana. Sebenamya mereka yang mengalami rawan pangan bukan hanya golongan miskin, tetapi juga yang berada sedikit di atas garis kemiskinan.

Pengkasifikasian ketahanan pangan rumahtangga kedalam food secure (tahan Pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan), berdasarkan penelitian-penelitian sebelurnnya dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara. Salah satnya yang paling m u m dilzkukan adalah pengukuran dengan indikator out put yaitu konsumsi pangan (intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan baduta). Rumahtangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut offpoint atau

TKE < 70 % (Zeitlin & Brown 1990).

Sumanvan dan Sukandar (1998) juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumahtangga di Indonesia dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumahtangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dan proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan (E

>

100% dan P > 100%). Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari

(11)

kecukupan

(E

< 100% dan P < loo%), maka rumahtangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan. Acuan kuantitatif untuk ketersediaan pangan adalah angka kecukupan gizi (AKG) rekomendasi Widya Karya Pangan dan Gizi VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita per hari sebesar 2200 kkal.

Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumahtangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui suwei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, stmktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga (Sukandar et al. 2001).

Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang dikembangkan Hardinsyah relatif sederhana dan mudah. Selain sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsurnsi (aspek kuantitas) dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempuma (makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan susu) dan dihitung kuantitasnya menggunakan unit konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin anggota rumahtangga dapat dipertimbangkan dalam perhitungan ini. Ukuran sederhana ini dapat digunakan untuk menduga pemenuhan kebutuhan gizi mmahtangga sebagai ukuran ketahanan pangan mmahlangga.

Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketahanan Pangan Rumahtangga Suhardjo, Hardinsyah dan Riyadi (1988), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengamhi ketahanan pangan nunahtangga ada empat yaitu: (1) produksi pangan untuk keperluan mmahtangga, (2) pengeluaran uang untuk pangan rumahtangga, (3) pengetahuan gizi, dan (4) tersedianya pangan.

Sedangkan Sudjono ef al. (1986) menemukan bahwa selain pengeluaran rumahtangga, besar keluarga, dan pendidikan formal kepala keluarga dan isteri

(12)

juga merupakan faktor utama yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan pangan mmahtangga.

Hasil penelitian Jutomo (2000) menemukan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan m a h t a n g g a petani di Desa Sukajadi adalah produksi pangan surnber energi dari lahan usahatani dan pendapatan rumahtangga petani. Pertanian berpengaruh temtama terhadap gizi melalui produksi pangan untuk keperluan rumahtangga dan distribusi hasil tanaman perdagangan, temak dan lain jenis pangan yang dijual di pasar lokal atau tempat lain (Jutomo (2000)

Harper, Deaton, & Driskel(1985) juga mengemukakan bahwa pangan yang diproduksi dalam jumlah dan ragam yang cukup, kemudian bahan tadi cukup tersedia di tingkat desa atau masyarakat dan kalau keluarga memiliki uang cukup untuk membeli keperluan pangan yang tidak ditanam ditempatnya, tidak akan terjadi kurang gizi. Kurang gizi mengakibatkan kurangnya tenaga untuk melakukan kerja. Kemampuan k e j a petani dan keluarganya menjadi rendah kalau kurang makan. Keadaan ini mengakibatkan produksi pertanian menjadi rendah, kehidupan lebih buruk dan bahkan kemiskinan lebih parah. Suatu lingkaran spiral yang berbahaya dapat timbul dan mengakibatkan keadaan makin bumk. Penjelasan dengan grafik tentang beberapa praktek pertanian yang tidak baik dan kondisi kehidupan yang miskin berakibat rendahnya produksi pangan, rendahnya pendapatan dan keadaan kurang gizi disajikan pada Gambar

2.

Jumlah penduduk dengan mata pencaharian bercocok tanam di negara yang sedang berkembang masih besar, walaupun misalnya terjadi urbanisasi yang tinggi, jumlah petani akan tetap tinggi sampai beberapa dekade ini. Bagi keluarga petani di negara yang sedang berkembang, jenis produksi makanan adalah sangat penting, karena perbaikan kualitas gizi dalam makanan sehari-hari penduduk pedesaan tergantung pada pertimbangan-pertimbangan yang luas terhadap pembahan-perubahan produksi pangan yang dihasilkan oleh petani tersebut untuk dikonsumsi sendiri (Suhardjo 1989). Umumnya bumh tani di negara-negara yang sedang berkembang paling menderita akibat rendahnya produksi pertanian apalagi mereka tidak mempunyai lahan tempat mengusahakan pangan mereka sendiri. Hal ini merupakan sebab mengapa mereka dan keluarganya lebih sering terkena

(13)

h a n g gizi daripada keluarga petani yang memiliki lahan (Harper, Deaton, & Driskel 1985).

Selain ha1 diatas latar belakang masalah gizi pada negara sedang berkembang adalah cepatnya laju pertarnbahan penduduk yang tidak diimbangi dengan laju kenaikan produksi pertanian (Suhardjo 1996). Apalagi persediaan pangan terbatas, biasanya keluarga besar dan miskin menderita kurang gizi lebih parah daripada keluarga yang lebih kecil (Harper, Deaton & Driskel 1985).

Gambar 2 Lingkaran spiral yang berbahaya (Harper, Deaton, & Driskel, 1985)

Menumt Suhardjo (1989) bahwa anak-anak yang sedang tumbuh dalam rumahtangga miskin akan sangat rawan terkena gizi kurang, temtama anak paling kecil diantara seluruh anggota keluarga. Hasil penelitian Latief et al. (2000), juga menemukan bahwa jumlah anggota rumahtangga akan mempengamhi kontribusi karbohidrat, lemak, dan protein terhadap total intik energi per kapita per hari. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka akan semakin berkurang kontribusi karbohidrat, lemak, dan protein terhadap total energi yang dikonsumsi.

Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Hal ini berkaitan erat dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi

(14)

terutama tentang gizi dan kesehatan. Pendidikan akan menentukan besar kecilnya penggunaan pendapatan keluarga untuk pengadaan pangan sehari-hari (Birowo diacu dalam Haerani 1998). Lnformasi yang dimiliki seseorang tentang kebutuhan gizi akan menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung memilih makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi, sesuai jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan pangan sejak kecil, sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi (Husaini 1983).

Tujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan sering berubah menjadi tujuan asal kenyang. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pendapatan, artinya peningkatan pendapatan perlu disertai dengan peningkatan pendidikan gizi (Suhardjo, Hardinsyah, & Riyadi 1988). Bahkan Syarief (1997) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan derajat pendidikan rendah tidak mampu menyediakan makanan yang bergizi bagi seluruh keluarganya.

Tingkat kecukupan pangan rumahtangga juga tergantung pada kemampuan penduduk untuk membeli pangan agar mencukupi kebutuhan rumahtangga yang seimbang sesuai dengan pendapatan rumahtangga, oleh karena itu pendapatan juga mempakan salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga (Sudaryanto er al. 2000). Selanjutnya tingkat pendapatan ~mahtangga tersebut tergantung pada kemampuan anggota rumahtangga untuk memperoleh kesempatan kerja dan penghasilan yang cukup sesuai produktivitas yang dimiliki. Sumardi (1982), menyatakan bahwa tingkat pendapatan rumahtangga dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan dan status pekerjaan maka akan semakin besar pendapatan rumahtangga, demikian pula sebaliknya. Pendidikan individu dapat mempengaruhi kualitas seseorang dalam berbagai hal, misalnya seseorang yang berpendidikan biasanya masuk dalam tingkat golongan pekerjaan yang diupah lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan (FA0 1989). Jumlah pendapatan yang diterima rumahtangga mempakan kompensasi dari produktivitas anggota rumahtangga tersebut. Pada akhimya, tingkat produktivitas yang tinggi

(15)

tergantung pada kondisi fisik untuk tetap hidup sehat dan ha1 ini tergantung pada konsumsi gizi seimbang (Moeloek 2000).

Menurut Sutrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumahtangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menumt Aziz (1990) ketahanan pangan mmahtangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Sementara menurut Hasan (1995) risiko ketidaktahanan pangan tingkat rumahtangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar) dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa ha1 yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan mmahtangga tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 3 faktor yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi.

Ketersediaatr pangan. Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Menumt Djogo (1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) hams sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya (Suhardjo 1989). Sedangkan Soemarwoto (1994) menyatakan keluarga yang lebih suka menjual bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi.

(16)

Daya beli. Kemampuan membeli atau "daya beli" mempakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian mempakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin (Hardjana 1994). Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIP1 1998) kurangnya ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan mempakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogjo et al. 1986). Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo 1989). Hal yang sama dinyatakan Soemanvoto (1994) bahwa faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan.

Pengetalruan pangan dan gizi. Secara m u m perilaku konsurnsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan/keluarga berencana, ciri-ciri sosial yang dimiliki (umur, jenislgolongan etnik, pendidikan, peke jaan dan sebagainya),

dan informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai sumber (Susanto 1996). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula nilai sosial yang rendah (Soemanvoto 1994).

Gambar

Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan (Chung 1997)
Gambar 2  Lingkaran spiral yang berbahaya (Harper, Deaton, &amp; Driskel, 1985)

Referensi

Dokumen terkait

Pada pelajaran ini, Anda sudah mempelajari bagaimana untuk merubah data pada database Oracle dengan menggunakan pernyataan-pernyataan INSERT, UPDATE dan DELETE , begitu juga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi reaksi yang optimum pada reaksi konversi senyawa dalam tanaman selasih hijau dengan metode MAOS dengan pelarut etilen

Qusyairi juga memberikan gambaran lain tentang penyelewengan para sufi yang terjadi pada kurun ketiga dan kelima hijriah dengan mengatakan: ”Jalan kesufian ini telah sampai

Namun sebagian lain (≤ 25%) menilai masih kurang memadai, untuk pemberian layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, dan Dari sisi hasil (outcome) menunjukkan adanya

Dana Desa yang telah ditetapkan dalam APBN tidak mengalami perubahan walaupun terdapat perubahan APBN. Setelah mendapat persetujuan DPR, anggaran Cadangan Dana Desa

Penampilan Sangat rapi, kostum sesuai dengan acara, tidak gugup, gesture mendukung penjelasan, menguasai panggung dan audiens. Rapi, kostum sesuai dengan acara, tidak

Interferensi tersebut dapat dikurangi dengan menggunakan kontrol daya, oleh karena itu penggunaan kontrol daya akan berpengaruh terhadap kapasitas sistem forward link

Laporan Kerja Praktek ini disusun sebagai laporan hasil Kerja Praktek dan sebagai salah satu syarat untuk kelulusan mata kuliah Kerja Praktek pada Program Studi