• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNIKAHAN DILIHAT DARI SUDUT PANDANG ENAM PRIA SINGLE JEPANG DI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERNIKAHAN DILIHAT DARI SUDUT PANDANG ENAM PRIA SINGLE JEPANG DI JAKARTA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

8 PERNIKAHAN DILIHAT DARI SUDUT PANDANG ENAM PRIA SINGLE

JEPANG DI JAKARTA

Nurul Indah Susanti

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286

E-mail : nurulindahsusanti@gmail.com

Abstrak

Saat ini di Jepang, masalah bankonka dan mikonka menjadi masalah yang cukup serius. Hal tersebut disebabkan tidak tertariknya kaum muda untuk menikah. Penelitian ini dilakukan terhadap pria Jepang yang berkerja di Jakarta dengan memberikan pertanyaan mengenai bagaimana pandangan mereka terhadap pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Penelitian ini menggunakan konsep pergeseran pria Jepang tradisional menjadi pria modern dan pergeseran peranan pria Jepang dalam rumah tangga. Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui mengenai tujuan menikah dan keuntungan menikah. Namun informan juga memiliki kekhawatiran terhadap masalah finansial dan berkurangnya waktu pribadi.

Kata Kunci: Pria Jepang, Pernikahan, Tujuan, Keuntungan, Kekhawatiran, pasangan dan anak

Abstract

Nowadays, there are some problem about bankonka and mikonka in Japan. That is caused by Japanese young people do not interest to marry. This study conducts a research on the Japanese men who work in Jakarta to answer the following research question about what is Japanese single men age 25~35 years old thinking about marriage?. This is a descriptive-qualitative research done by using case study method. Data collecting process is done through in depth interview. This research is done by using the theory of the changes of traditional Japanese men to modern Japanese men and changes of Japanese men on household role. Based on the research, we are able to know the objection of marriage and the advantages of marriage. But in the other hand, they also think about the financial and lost their private activities.

Key words: Japanese men, Marriage, Objective, Advantage, Worried, Partner and children

1. Pendahuluan

Pernikahan merupakan salah satu kejadian terbesar dalam kehidupan manusia, begitu juga bagi masyarakat Jepang. Namun, saat ini daya tarik dari pernikahan nampaknya mulai meredup sehingga tidak lagi memikat para pemuda maupun pemudi di Jepang untuk melangsungkan pernikahan (Sodei, 1999: 11). Oleh karena itu, di Jepang muncul masalah yang cukup serius, yaitu

permasalahan Shoushika 少子 化, suatu istilah dalam bahasa Jepang yang berarti tingkat kelahiran yang rendah dan

Koureika 高 齢 化 、 yang berarti

meningkatnya jumlah lansia. Menurut penelitian yang diselenggarakan oleh Asahi Life Insurance Company pada tahun 2005, diprediksi pada tahun 2015, 58,2% dari seluruh pria Jepang usia 20-39 tahun akan membujang seumur hidup. Dengan adanya hasil penelitian seperti di

(2)

9

atas, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pandangan pria Jepang saat ini, khususnya yang tinggal d Jakarta dan belum menikah, terhadap pernikahan.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan memaparkan bagaimana pandangan pria Jepang saat ini terhadap pernikahan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, dengan menggunakan studi pustaka dan wawancara mendalam. Peneliti mengumpulkan data berupa teks dari sumber buku, jurnal penelitian, majalah dan data dari internet yang berhubungan dengan topik penelitian. Peneliti melakukan wawancara kepada enam orang pria single Jepang yang sedang bekerja di di Jakarta sebagai data untuk mengetahui mengenai pandangan pria Jepang saat ini terhadap pernikahan. Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Juli sampai dengan 18 Juli 2013. Penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisa ini tanpa menggunakan perhitungan statistik dalam rangka menguji hipotesis. Data yang telah selesai dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok pengertian, saling dikaitkan dan dicari hubungannya, sehingga akan diperoleh pengertian yang utuh dan sempurna. Data yang telah sempurna tadi lalu dikaitkan dengan landasan teori. Dengan terhubungnya data dan landasan teori maka akan bisa diperoleh kesimpulan dari pandangan pria Jepang yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan media dan juga pemilik perusahaan di Jakarta, terhadap pernikahan. Dengan demikian

permasalahan yang dirumuskan akan terjawab.

3. Hasil dan Pembahasan

Tujuan menikah. Umumnya pernikahan dilakukan dengan suatu tujuan. Menurut hasil dari wawancara terhadap informan, tujuan terhadap pernikahan yaitu untuk membangun keluarga, tinggal selamanya dengan orang yang dicintai, mendapatkan teman berbagi, dan juga karena sudah menemukan pasangan yang cocok. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pria single Jepang saat ini masih memandang pernikahan sesuatu hal yang baik dan sebaiknya dilakukan oleh manusia.

Akiko menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa salah satu tujuan seseorang menikah adalah untuk mendapatkan pengakuan di masyarakat dan kehidupan pernikahan selanjutnya (Sodei, 1999: 14). Selain itu, menurut hasil survei yang diadakan oleh National Institute of Population and social Security Research tahun 2007, tujuan terbesar masyarakat Jepang melangsungkan pernikahan adalah untuk mendapatkan dukungan emosi sebanyak 36% dan membangun keluarga sebanyak 33% (Tachibanaki, 2008: 98). Dengan demikian dapat diketahui bahwa dukungan emosi dari orang terdekat dan bisa membangun sebuah keluarga merupakan tujuan dari sebagian besar masyarakat Jepang dalam melangsungkan pernikahan. Mizuno juga menuliskan dalam bukunya bahwa bagi seorang pria Jepang, disaat dirinya mengalami masalah, ia butuh dukungan dari seorang wanita yang kuat (2012: 138). Ia memberikan satu contoh kasus dimana pria benar-benar membutuhkan dukungan dari seorang wanita, yaitu

(3)

10

dalam masalah ekonomi. Misalkan saja penghasilan suami tidak banyak, maka ia butuh dukungan sang istri juga agar bisa membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja paruh waktu.

Keuntungan menikah. Menikah dilakukan seseorang karena mereka bisa melihat adanya keuntungan dari sebuah pernikahan. Menurut hasil dari wawancara terhadap informan, keuntungan dari sebuah pernikahan adalah ada yang mengurus ketika jatuh sakit, mendapatkan kenyamanan, mendapatkan teman berbagi, ada yang memasakkan dan juga bisa tinggal selamanya dengan orang yang dicintai. Mereka melihat adanya keuntungan yang didapat dengan menikah, sehingga hal tersebut menjadi salah satu motivasi mereka untuk menikah.

Adapun keuntungan yang didapatkan dalam sebuah pernikahan menurut pria Jepang melalui buku Unmasking Japan Today: The Impact of Traditional Values on Modern Japanese Society adalah dapat diterima sebagai individu yang merdeka dalam masyarakat (Kumagai, 1996: 103). Hal tersebut merupakan pandangan yang sudah kuno, namun pada kenyataannnya masih banyak diikuti oleh sebagian besar pria di Jepang.

Berbeda dengan penjelasan Kumagai di atas, menurut hasil dari sebuah survei yang dilakukan oleh National Institute of Population and Social Security Research tahun 2007, keuntungan menikah adalah bisa tinggal dengan orang yang dicintai sebanyak 17%, mendapatkan kepercayaan sosial 12%, mendapatkan kepercayaan dari keluarga dan masyarakat 13%, bisa hidup dengan lebih baik 5%, bisa lebih stabil dalam urusan finansial 4%, bebas dari orang tua 5%

dan memiliki kepuasan terhadap seks 1% (Tachibanaki, 2010: 99).

Kekhawatiran terhadap pernikahan.

Bagi beberapa pria di Jepang, uang, pembagian tugas setelah menikah dan membahagiakan pasangan merupakan tiga hal yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mereka. Apabila menikah, tanggung jawab pria masih lebih di titik beratkan pada urusan finansial, sedangkan saat ini di Jepang, banyak generasi muda yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Masalah yang menjadi kekhawatiran bagi informan adalah masalah finansial dan juga kebebasan menggunakan waktu. Kekhawatiran informan terhadap masalah finansial merupakan hal yang wajar terjadi. Karena image pria sebagai pencari nafkah masih melekat pada pria, begitu pula di Jepang. Tachibanaki juga menjelaskan bahwa pria masih akan menjadi penanggungjawab utama urusan finansial rumah tangga ketika menikah. Jadi wajar sekali jika masalah uang menjadikan pria-pria di atas khawatir untuk menikah. Selain itu, Jepang juga dikenal sebagai negara yang mahal, maka dari itu tidak mengherankan jika masalah keuangan menjadi kekhawatiran utama para pria, terutama terhadap kehidupan pernikahan, sehingga masalah keuangan menjadi alasan terbanyak pria Jepang tidak menikah (Shionagi, 2012: 143).

Kebebasan menggunakan waktu juga menjadi kekhawatiran terhadap sebuah pernikahan. Kanbara menjelaskan, untuk mengatasi kekhawatiran yang satu ini, sebaiknya sebisa mungkin tetap melakukan aktivitas dengan perasaan bebas. Kemudian, ketika sudah bisa melakukan aktivitas dengan perasaan bebas dan datang keinginan untuk

(4)

11

menikah, maka pada saat itulah sebaiknya seseorang memutuskan untuk menikah (1997: 53).

Ada juga kekhawatiran para pria Jepang ini terhadap kemampuan dirinya membahagiakan pasangan. Para pria Jepang ini takut tidak bisa memenuhi semua keinginan pasangan seperti membeli perhiasan, tas yang mahal dan benda-benda lainnya yang pada umumnya melekat pada wanita ketika sudah menikah nanti. Jadi yang dimaksudkan di sini adalah membahagiakan pasangan secara finansial. Apabila mereka bisa mendapatkan materi yang banyak tidak jadi masalah, namun jika tidak, banyak pria Jepang yang memutuskan sebaiknya tidak menikah daripada membuat pasangannya sedih karena tidak bisa memenuhi semua keinginannya (Iwashita, 2007: 172).

Selanjutnya, pembagian tugas setelah menikah menjadi kekhawatiran pria usia 30 tahunan. Karena pria pada usia 30 tidak memiliki keahlian mengurus rumah. Namun, kekhawatiran tersebut tidak terjadi pada informan. Karena para informan memiliki pikiran yang modern, yaitu ingin adanya kedudukan yang seimbang antara ia dan istrinya setelah menikah. Selain itu, mereka juga memiliki pengalaman hidup sendiri yang cukup lama, sehingga urusan bersih-bersih rumah yang ringan dan memasak masakan yang mudah bisa mereka lakukan dengan baik. Seperti yang dijelaskan oleh Shionagi (2012: 67), saat ini banyak pria Jepang yang menginginkan adanya kesederajatan antar suami istri dalam rumah tangga. Salah satunya dalam hal mengurus rumah tangga dan juga merawat anak. Lebih lanjut Shionagi (2012: 17) menjelaskan

bahwa bahwa “kaji mo buntan, kosodatemo buntan, kaji mo tewakeshite”, yang artinya pekerjaan rumah dibagi, mengurus anak dibagi, bersih-bersih rumah juga dibagi.

Tipe pasangan ideal dan keberadaan anak. Pada jaman dulu, yaitu pada jaman sistem ie masih berlaku hingga tahun 1947, orang tua menginginkan wanita yang yang tunduk pada kepala ie sebagai istri anaknya. Istri bagi anak laki-laki sudah ditentukan sehingga pria dalam ie tidak dapat memilih wanita sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut dikarenakan fungsi wanita dalam sebuah ie secara praktis adalah untuk melahirkan ahli waris berikutnya dan menambah tenaga kerja keluarga. Wanita yang bisa memberikan keturunan yang akan diakui sebagai istri. Namun apabila tidak bisa menghasilkan keturunan, maka ia hanya dianggap sebagai menantu perempuan dan kepala ie atau orang tua suami dapat meminta cerai secara sepihak (Fukutake dalam Elsy, 2012: 23). Oleh karena itu, pada masa sistem ie masih berlaku hingga jaman shoowa tersebut, kedudukan wanita benar-benar rendah.

Namun saat ini, nampaknya konsep tersebut telah bergeser seiring dengan perubahan struktur keluarga Jepang dari sistem keluarga batih ke keluarga nuklir. Masyarakat lebih bebas untuk memilih pasangan sesuai dengan keinginannya. Tidak lagi ditentukan oleh keluarga. Mereka bebas untuk mencari sendiri sesuai yang mereka inginkan dan menikah berdasarkan atas rasa suka dan suka bukan terpaksa. Dalam keluarga nuklir, rumah tangga berpusat pada dua individu berbeda jenis kelamin. Melemahnya perekonomian Jepang dan tingginya tuntutan hidup juga turut menjadi latar belakang meningkatnya tipe

(5)

12

pasangan ideal. Selain menginginkan wanita yang keibuan, dapat mengurus rumah dan anak, saat ini pria Jepang juga meninginkan wanita yang bekerja dan juga berkontribusi dalam masyarakat sebagai calon pendamping hidupnya. Wanita masih dianggap sebagai individu yang baik dalam mengurus tumbuh dan kembang anak dengan kasih sayang yang dimilikinya, apalagi ditengah era global seperti saat ini.

Wanita yang juga bekerja mencari incaran pria Jepang saat ini karena menurut mereka wanita yang bekerja bisa merasakan juga apa yang dirasakan pria ketika bekerja. Pria Jepang mengharapkan wanita-wanita yang bekerja ini paham jika bekerja itu sangat melelahkan dan tidak banyak menuntut kepada pria yang nantinya akan menjadi suami. Melemahnya perekonomian Jepang dan tingginya biaya hidup, membuat pria Jepang yang ingin membangun keluarga ini harus meminta bantuan wanita sebagai pasangannya untuk membantu dalam urusan finansial dengan bekerja agar keluarga bisa tetap bertahan dan tidak terpuruk dalam urusan ekonomi. Terlebih jika ada anak, biaya pendidikan satu orang anak di Jepang sangat tinggi sekali. Menurut data dari MEXT (Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology) tahun 2006 mengenai biaya pendidikan anak, untuk biaya pendidikan satu orang anak mulai dari TK hingga SMA saja, untuk sekolah negeri 5,709,177 yen per tahun dan 16,783,816 per tahun untuk sekolah swasta.

Bagi orang Jepang, keberadaan anak sangatlah penting untuk kelanjutan hidup. Oleh karena itu, seperti yang dijelaskan oleh Masano, sejak kecil anak diberi pendidikan didalam maupun diluar

sekolah agar memiliki bekal yang cukup ketika menjadi dewasa. Orang tua akan memarahi jika sang anak ketika berbuat tidak baik dan memuji saat mereka berhasil melakukan sesuatu hal dengan baik. Dari situ mereka bisa belajar banyak hal dan tumbuh berkembang menjadi manusia yang semakin baik. Selain itu, orang tua juga berharap anak bisa meneruskan bisnis keluarga jika mereka berasal dari keluarga yang kaya, dan berusaha memberikan pendidikan setinggi mungkin untuk anak agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak bagi keluarga yang miskin (1999: 44). Namun sepertinya saat ini konsep tersebut mulai memudar. Orang tua saat ini masih tetap memberikan mereka bekal pendidikan hingga pendidikan tertinggi yang mereka mampu, namun interaksi didalam rumah berkurang karena baik ayah dan ibu banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja. Dulu, memiliki anak sebanyak 3-4 orang merupakan hal yang biasa. Namun semenjak berubahnya jaman dan Jepang menjadi negara yang semakin mahal, banyak pasangan yang memutuskan tidak memiliki anak saja atau kalaupun memang menginginkan keberadaan anak, satu saja sudah cukup.

Perlu tidaknya pria menikah menurut informan. Pada umumnya, seseorang menikah untuk beberapa alasan, misalnya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih praktis, karena dengan hidup sendiri dirasa banyak kekurangannya. Lalu untuk menghindari tekanan dari masyarakat karena berlaku beda. Kemudian untuk melepaskan diri dari orang tua, dan yang terakhir untuk membuat orang tenang. Seperti yang dijelaskan oleh Kanbara di bawah ini.

「単身生活からの手段的脱出 志向(たとえば、「単身生活

(6)

13 の不便さ」), 単身でいること の精神的不安定さからの心的 脱出志向(たとえば、「独身 でいることの肩身の狭さ」、 「“適 齢 期”と い う 心 理 的 圧 力」など), 出産家族から独立 する正当づけ志向(たとえば、 「結婚すれば親元から独立で きる」), 結婚への奨めに対す る妥協志向(たとえば、「結 婚すれば親を安心させること ができる」)

“Mencari jalan untuk keluar dari kehidupan single (misalnya kehidupan single yang tidak praktis), merasa tidak nyaman dengan kondisi mental/emosi saat single (misalnya, tekanan saat berhadapan dengan kondisi lingkungan yang berbeda, tekanan terhadap usia, dan lain lain), bisa bebas dari orang tua, bisa mengatur kehidupan sendiri dan yang terakhir untuk membuat orang tua tidak khawatir.”

Penjelasan Kanbara di atas adalah mengenai perlu tidaknya menikah menurut pria Jepang. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pria Jepang merasa perlu menikah karena ingin bebas dari orang tua dan segera mengatur hidupnya sendiri. Selain itu, jika kondisinya berbeda dengan kondisi pada umumnya di masyarakat, ia akan merasa tidak nyaman dan merasa tertekan. Menurut informan, sebanyak empat orang mengatakan bahwa tidak semua pria berpikir perlu untuk menikah, namun yang berpikir perlu untuk menikah juga tidak sedikit. Menikah sebaiknya dilakukan oleh manusia karena menikah merupakan sesuatu hal yang baik dan mendatangkan keuntungan. Keempat informan yang mengatakan bahwa pria juga perlu untuk menikah di atas,

mengatakan bahwa selama berada di Jakarta, apabila mendapat undangan pernikahan dan datang ke acara pernikahan tersebut, ada sebuah rasa untuk ingin menikah juga. Mereka mengatakan ketika melihat orang yang menikah atau pasangan suami istri yang melakukan aktifitas berdua seperti belanja di supermarket bersama, terlihat bahagia. Hal ini membuat keempat informan ini merasa mungkin dirinya juga akan bahagia seperti pasangan yang dilihatnya di supermarket tersebut apabila menikah. Di Jakarta, mereka sering menemukan pasangan muda-mudi atau suami istri di tempat umum. Banyak juga melihat keluarga yang menghabiskan akhir pekan bersama. Dengan melihat lingkungan yang seperti itu, membuat keempat orang ini merasa ingin segera menikah. Dapat disimpulkan bahwa keempat orang informan ini mendapat pengaruh dari lingkungan Jakarta yang merupakan tempat tinggal mereka saat ini terhadap pemikiran atau pandangan terhadap pernikahan. Lingkungan di Jakarta yang walaupun merupakan ibukota Indonesia, sebagian besar masyarakatnya masih melangsungkan pernikahan dan memberikan pengaruh pada keempat orang Jepang yang menjadi informan dalam penelitian ini.

Dua informan yang lain mengatakan bahwa apabila seorang pria merasa bisa mengurus dirinya dan tidak perlu untuk menikah, maka tidak menikah pun tidak akan menjadi masalah. Pikiran setiap pria pasti berbeda, untuk memutuskan menikah atau tidak, hanya bisa diputuskan oleh individu yang bersangkutan. Namun seperti yang dikatakan oleh beberapa informan di atas, menikah merupakan sesuatu hal yang baik, maka sebaiknya dilaksanakan.

(7)

14 4. Simpulan

Keenam orang informan ini melihat pernikahan merupakan sesuatu yang baik, sehingga mereka ingin menikah suatu hari nanti. Mereka memiliki tujuan terhadap pernikahan, dan mengetahui adanya keuntungan yang akan didapatkan jika menikah. Tujuan mereka menikah suatu hari nanti adalah ingin membangun keluarga, agar tidak kesepian dan juga menjadikan keluarga sebagai motivasi baru bagi mereka dalam menjalani hidup. Lalu, keuntungan yang akan didapat dengan menikah menurut para informan adalah akan ada yang mengurus dirinya, bisa mendapatkan kenyamanan hidup, bisa berbagi banyak hal dengan orang yang dicintai dan juga bisa hidup dengan orang yang dicintai selamanya. Namun demikian mereka tetap memiliki kekhawatiran terhadap pernikahan. Kekhawatiran tersebut adalah cukup tidaknya uang yang mereka miliki untuk membiayai kebutuhan keluarga dan juga kebebasan penggunaan waktu.

Pasangan yang cocok dengan pribadi mereka juga tak luput dipikirkan. Pasangan ideal menurut informan adalah wanita yang bisa mengurus rumah, bekerja dan juga bisa berkontribusi untuk masyarakat. Wanita yang menyukai anak-anak juga menjadi kriteria penting bagi mereka ketika memilih pasangan. Wanita yang seperti itulah yang saat ini menjadi incaran pria Jepang.

Kehadiran anak dalam rumah tangga yang akan mereka bangun juga, walaupun diketahui membutuhkan biaya yang sangat besar untuk bisa menghidupi satu orang anak, itu tidak menyurutkan keinginan mereka untuk memiliki anak dalam rumah tangga mereka setelah menikah. Jika mereka tidak bisa memiliki

anak dari rahim wanita yang menjadi pasangan mereka, adopsi bisa menjadi salah satu jalan keluar bagi mereka.

Selain itu, dapat diketahui pula pria Jepang yang ada di Jakarta ini mendapatkan pengaruh dari lingkungan di Jakarta. Pengaruh untuk menikah begitu kuat karena pasangan yang telah menikah, khususnya di Jakarta terlihat bahagia. Masyarakat Indonesia pada umumnya melangsungkan pernikahan apabila telah menemukan pasangan yang cocok, begitu pula dengan masyarakat Jakarta. Keenam pria ini sering mendapatkan undangan pernikahan dari teman mereka, baik orang Indonesia maupun orang Jepang. Ketika mereka mengahadiri pesta pernikahan, mereka mengaku timbul rasa untuk ingin menikah juga. Dari hal tersebut dapat diketahui bahawa pria Jepang di Jakarta mendapatkan perngaruh dari lingkungan terhadap pemikiran mereka tentang menikah.

Dunia pekerjaan yang sangat keras dan tidak memungkinkan pria untuk menikah tidaklah terbukti. Konsep pria Jepang yang juga menjelaskan bahwa bagi pria Jepang, pekerjaan adalah hidupnya dan satu-satunya aktivitas yang hanya ingin dilakukan oleh para pria Jepang sepanjang hidupnya juga tidak terbukti kebenarannya. Pada akhirnya bisa ditarik kesimpulan, bahwa menurut informan pria juga perlu untuk menikah dan menikah merupakan sesuatu hal yang baik untuk dilakukan.

Daftar Pustaka

Elsy, Putri. 2012. Dinamika lansia di Jepang. Yogyakarta: ILUNI KWJ Press

(8)

15

Iwashita, Noriko. 2007. Kekkon no shikitari, mana- book. Jepang: Kabushikigaisha shin-sei

Kanbara, Fumiko. 1997. Gendai no Kekkon to Fuufu Kankei. Jepang: Baifuukan

Kumagai, Fumie. 1996. Unmasking

Japan Today:The Impact of

Traditional Values on Modern Japanese Society. USA: Praeger

Takako, Sodei.1999. Changing Families (Children, Gender and the elderly. Japan: Kenpakusha

http://www.mext.go.jp/b_menu/toukei/00 1/006/07120312/003.htm diakses tanggal 15 Januari 2013

Mayumi, Mizuno dkk. 2012. Kekkon teikireki no otoko gokoro ga omoshiroi hodo yoku wakaru. Jepang: kabushiki gaisha shinjinbutsu ouraisha

Tachibanaki, Toshiaki. 2010. The New Paradox for Japanese Women: Greater Choice, Greater Inequality. Japan: International House of Japan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak kasar daun pala yang dikombinasikan dengan perlakuan suhu dan waktu pemingsanan terbaik, serta

Hernia berkembang ketika intra abdominal mengalami pertumbuhan tekanan seperti tekanan pada saat mengangkat sesuatu yang berat, pada saat buang air besar atau batuk yang

Dari data prapenelitian melalui wawancara bersama mashasiswa yang menjadi kepengurusan SEMA diatas, penulis meyimpulkan bahwa dalam proses pengembangan kemampuan mahasiswa dibutuhkan

Hal tersebut berarti bahwa se- makin tinggi struktur modal maka semakin tinggi pula nilai perusahaan karena pe- rusahaan dapat mengoptimalkan struktur modal yang dimiliki

Lahan pasang surut tipologi D Desa Banyu Urip Kabupaten Banyuasin memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lahan budidaya pertanian melalui aplikasi kapur

Berdasarkan hasil uji kadar lemak tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan dengan pemberian pupuk Allen-Miquel yaitu sebesar 45% dari

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, perlu menetapkan Peraturan Bupati Banyuwangi tentang

Dari hasil perhitungan untuk menyerap 39,361 kg/j gas fluor dibutuhkan 3348,294 kg/j larutan NaOH 10% dengan diameter kolom 0,937 ft, tinggi packing 17,891 ft, waktu tinggal gas