• Tidak ada hasil yang ditemukan

LARANGAN MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali) SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LARANGAN MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali) SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

i

LARANGAN MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM

DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede

Kabupaten Boyolali)

SKRIPSI

Disusun untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh:

MUHAMMAD ISRO’I

NIM 21108014

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Sak bejo

-bejone wong kang bejo isih luwih bejo

wong kang eling lan waspodo”

(Jayabaya/Ranggawarsita)

PERSEMBAHAN

UNTUK IBU DAN BAPAK KU

UNTUK KANG MAS DAN MBAK KU

UNTUK PARA DOSEN DAN

SAHABAT-SAHABATKU YANG TIDAK SAYA SEBUTKAN

SATU-PERSATU

KONCO-

KONCO AHS „08

SPESIAL UNTUK “DIA” YANG SELALU

MENEMANIKU DALAM SUSAH ATAUPUN

(6)

vi

Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Adat Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa

Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali )”. Penulisan skripsi ini

merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Bapak Drs. Imam Sutomo M.Ag Selaku rektor Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Stain) Salatiga

2. Bapak Ilyya Muhsin M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Stain) Salatiga.

(7)

vii

4. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

5. Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.

6. Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti. 7. Semua Dosen-dosen Syari‟ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Salatiga.

8. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu yang selalu membantuku.

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para Pembaca.

(8)

viii ABSTRAK

Isro‟i, Muhammad. 2012.Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Adat

Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali.Skripsi Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.Pembimbing: Prof.Dr. Muh Zuhri, M.A

Kata kunci: Perkawinan, Adat Jawa,dan Muharram.

Penelitian ini terfokus pada masyarakat yang menjalankan tradisi larangan menikah pada bulan Muharram. Adapun fokus penelitian yang penulis kaji dalam penelitian ini adalah 1) faktor apa yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan pada bulan Muharram?, 2) Bagaimana pandangan ulama setempat tentang pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram?, 3) Bagaimana pandangan hukum islam tentang pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field Research). Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis datanya menggunakan teknik analisis deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali masih mempercayai adanya mitos sampai sekarang. Misalnya, tidak melakukan pernikahan di bulan Muharram. Adapun faktor yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan pada Bulan tersebut diantaranya karena masih tetap melestarikan adat istiadat Jawa dan dianggap sebagai warisan nenek moyang mereka. Masyarakat juga masih percaya bahwa bulan Suro itu adalah bulan keramat, sehingga mereka tidak berani untuk melakukan hajatan pada bulan itu. Jika hal itu tetap dilaksanakan, mereka mempercayai bahwa akan banyak halangan ketika pelaksanaan.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Penegasan Istilah ... 6

F. Metode Penelitian ... 7

G. Telaah Pustaka ... 11

(10)

x BAB II KAJIAN PUSTAKA

A.Konsep Perkawinan

1. Pengertian ... 14

2. Dasar Hukum ... 15

3. Rukun dan Syarat Sah ... 18

4. Prinsip-prinsip perkawinan ... 19

5. Hikmah Perkawinan ... 20

6. Perkawinan Adat Jawa ... 21

B.Konsep tentang Bulan Muharram 1. Menurut Islam ... 28

2. Menurut Adat Jawa... 33

BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali 1. Letak Geografis ... 38

2. Keadaan Administratif... 39

3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat ... 40

4. Tingkat Pendidikan ... 42

B. Pendapat Warga Desa Bangkok kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali tentang Menikah pada Bulan Muharram ... 43

(11)

xi D. BAB IV ANALISIS

A.Analisis Faktor yang Mendorong Masyarakat tidak Melakukan

Pernikahan pada Bulan Muharram... 50 B.Analisis Pandangan Hukum Islam tentang Pernikahan yang Dilakukan

pada Bulan Muharram... 51

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 54 B.Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam, di samping mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut sifatnya tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang masih memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Ayat hukum yang menyangkut ibadah, pada umumnya disebutkan pokok-pokoknya saja. Akan tetapi, ayat-ayat tentang ibadah dijelaskan oleh Rasulullah SAW secara rinci dan lengkap dalam sunahnya (Jumantoro, 2009:5).

Dalam pandangan Islam, manusia dan segala makhluk yang ada di alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah lengkap dengan pasangannya. Secara naluriah, mempunyai ketertarikan kepada lawan jenis. Untuk merealisasikan ketertarikan tersebut menjadi hubungan yang benar maka harus melalui dengan pernikahan.

(13)

2

bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik (Djalil, 2000:285).

Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh kedamaian dan cinta kasih. Setiap remaja setelah memiliki kesiapan lahir batin hendaknya segera menentukan pilihan hidupnya untuk mengakhiri masa lajang. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah menyempurnakan agama. Oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada suatu pernikahan, maka ia telah berusaha menyempurnakan agamanya, dan berarti pula dia telah berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Membantu terlaksananya suatu pernikahan, demikian pula merupakan ibadah yang tidak ternilai pahalanya (Hariwijaya, 2005:1).

Dalam Budaya Jawa ajaran Hindu-Budha masih melekat, sebagian masyarakat masih berkeyakinan terhadap tradisi atau sistem-sistem budaya masyarakat tradisional. Orang yang melangar tradisi, berarti keluar dari sistem-sistem yang ada. Setelah agama Islam lahir, maka yang menjadi asas hukum mereka berganti dengan aturan-aturan atau nash-nash yang berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunah.

(14)

3

bulan Muharram, karena adanya kepercayaan-kepercayaan yang turun-temurun dari zaman dahulu, meskipun mereka tidak akan pernah tahu apa yang terjadi jika aturan tersebut dilanggar.

Islam memandang semua hari, bulan dan tahun adalah waktu yang baik. Tidak ada hari yang sial atau hari keramat, namun sebagian masyarakat Jawa masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek moyang yang percaya terhadap hari-hari sial. Tathayyur (menganggap sial) adalah tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita yang benar. Sebagian masyarakat Jawa misalnya di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali memandang bahwa bulan Muharram dianggap bulan sial. Sehingga tidak mau melakukan hajatan nikah. Jika melakukan hajatan pada bulan itu maka akan mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dan sebagainya.

(15)

4

Artinya: Ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS Al A‟raf: 131) (Depag, 1974:222).

Artinya: Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas". (QS Yasin: 19) (Depag, 1974:627).

Selain itu dalam Islam juga sangat melarang untuk terlalu mengkhawatirkan musibah yang akan terjadi karena semua musibah yang terjadi di alam semesta ini sudah ditakdirkan oleh Allah, sebagaimana dalam firman Allah Q.S Al Hadid (22):



Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS Al Hadid: 22) (Depag, 1974:904).

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa thiyarah itu dilarang oleh agama Islam. Akan tetapi masyarakat Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali tetap saja melakukan thiyarah tersebut.

(16)

5

MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali)”.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini terfokus pada masyarakat yang menjalankan tradisi larangan menikah pada bulan Muharram tersebut. Adapun fokus penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor apa yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan pada bulan Muharram?

2. Bagaimana pandangan ulama‟ setempat tentang pernikahan yang

dilakukan pada bulan Muharram?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

1. Mengetahui apa saja faktor yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan pada bulan Muharram.

2. Mengetahui pandangan ulama‟ setempat tentang pernikahan yang

dilakukan pada bulan Muharram.

(17)

6 D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru yang lebih komprehensif mengenai pernikahan pada bulan Muharram. Masalah perkawinan ini sangat riskan, apalagi kalau hal ini menyangkut masalah adat dan kepercayaan masyarakat setempat. Karena memang kita ini hidup bermasyarakat dan di dalam masyarakat tersebut berlaku adat istiadat tertentu.

E. Penegasan Istilah

Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah :

1. Nikah adalah perjanjian antara laiki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) (Poerwadarminta, 2006:800).

Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan (Fajri dan Senja:590)

2. Kata adat berasal dari bahasa Arab „Adatun akar katanya „ada, ya‟udu mengandung arti perulangan. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan adat.

(18)

7

3. Hukum secara etimologi bermakna Al-Man‟u yakni mencegah. Pengertian hukum yang lebih luas lagi adalah ketetapan-ketetapan yang menyandarkan sifat-sifat (hukum) syar‟i kepada perbuatan -perbuatan manusia, yang zahir ataupun batin. (Jumantoro, 2009:86).

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan historis. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui asal mula kepercayaan masyarakat tentang larangan menikah pada bulan Muharram. Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa terungkap dengan terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas (Mukhtar,2007: 79), sehingga data yang diperoleh bisa bervariasi dan lebih lengkap.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Moleong, 2008:6).

2. Kehadiran Peneliti

(19)

8

instrument. Oleh karena itu kehadiran penulis di lapangan mutlak diperlukan. Selain itu, penulis juga berperan sebagai partisipan penuh, yang mana penulis membaur dengan obyek penelitian. Kehadiran penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali. Karena para masyarakat tersebut percaya akan mitos mengenai pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram. Dan sampai saat ini pun mereka masih melaksanakan kebiasaan yang mereka percayai itu.

4. Sumber Data

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian, penulis menggunakan obyek penelitian berupa informan. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Bangkok baik itu masyarakat biasa maupun para ulama‟ setempat.

5. Prosedur Pengumpulan Data a. Observasi

(20)

9 b. Wawancara

Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad, 1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran wawancara adalah masyarakat Desa Bangkok.

c. Dokumentasi

Mencari data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari Kantor Kelurahan Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali. Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data.

d. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku- buku, surat kabar, makalah, dan sebagainya.

6. Analisis Data

Setelah seluruh data terkumpul maka barulah penulis menentukan bentuk analisa terhadap data-data tersebut, antara lain dengan metode : a. Deskriptif

(21)

10 b. Kualitatif

Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (J. Moleong, 2002:45). Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses siklus.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa teori. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian, dan pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui keabsahannya.

8. Tahap-tahap Penelitian

(22)

11 G. Telaah Pustaka

Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Sepanjang ia tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan membenarkannya. Kita bisa bercermin bagaimana Walisongo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam (Yazid, 2005:249).

Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia adalah keseluruhan jiwa-jiwa Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan Jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat merupakan suatu keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik dan sisa-sisa kesesatan (Qardhawi, 2007:333).

Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja berkembang di zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan masyarakat muslim. Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di pulau Jawa telah dilakukan oleh peneliti yang bernama Mikdad Musa Mubaroq dengan judul Fiqh lingkungan sesajen kali dan kearifan lokal (Studi kasus di Desa Warangan, Munengwarangan, Pakis, Magelang).

Penelitian ini mengkaji tentang tradisi sesajen kali di masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan fiqh lingkungan.

(23)

12

sial. Seperti penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang bernama Ariyanto dengan judul Penggunaan Petungan Masyarakat Jawa Muslim dalam Ritual Pernikahan (Studi kasus di Desa Reksosari Kecamatan

Suruh Kabupaten Semarang). Penelitian ini membahas tentang perhitungan untuk memperoleh gabungan hari, tanggal, dan bulan yang baik dan tidak baik untuk melaksanakan ritual pernikahan. Sehingga penelitian ini masih membahas hari, tanggal, dan bulan secara menyeluruh. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih khusus tentang larangan menikah pada bulan Muharram saja.

Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian tentang salah satu bulan yang dianggap paling sakral dan tabu untuk melaksanakan ritual pernikahan oleh masyarakat Jawa, yaitu “sasi suro” atau bulan Muharram.

Adapun judul dari penelitian ini adaah “LARANGAN MENIKAH PADA

BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali)”.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

(24)

13

penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang konsep perkawinan dan konsep tentang Bulan Muharram. BAB III : Dalam bab ini berisi paparan data dan temuan penelitian. BAB IV : Dalam bab ini berisi analisis mengenai faktor-faktor yang

mendorong masyarakat Desa Bangkok tidak melakukan pernikahan pada Bulan Muharram dan pandangan Hukum Islam tentang pernikahan yang dilakukan pada Bulan Muharram.

(25)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Perkawinan 1. Pengertian

Perkawinan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Beberapa penulis terkadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga

dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia dan menunjukan proses generatif yang alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat-istiadat, dan terutama menurut hukum agama.

Adapun menurut syara‟, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8).

(26)

15

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Demikian pula dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II disebutkan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2. Dasar Hukum Pernikahan

Hukum nikah (perkawinan) yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut. Perkawinan adalah sunnatullah hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan oleh tumbuh-tumbuhan sebagaimana pernyataan Allah dalam Al-Qur‟an Surat Al-Dzariat:49

:

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (Depag, 1971:862).

Firman-Nya pula Al-Qur‟an Surat Yasin:36

(27)

16

Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Depag, 1971: 710).

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Firman Allah surat Al-Hujurat:13

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Depag, 1971: 847 ).

Firman Allah Q.S An-Nisa‟:1

(28)

17

Dengan demikian meskipun perkawinan itu asalnya mubah, namun dapat berubah menurut perubahan keadaan, yaitu:

a. Nikah Wajib, nikah diwajibkan bagi yang telah mampu yang akan menambah takwa, nikah yang wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. b. Nikah Haram, Nikah diharamkan bagi orang yang tahu dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.

c. Nikah sunnah, nikah disunnahkan bagi orang yang mempu tetapi masih sanggup mengendalikan diri dari perbuatan haram. Dalam hal ini nikah lebih baik daripada membujang.

d. Nikah mubah yaitu bagi orang yang tidak berhalangan nikah dan dorongan nikah belum membahayakan dirinya. Ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.

Berdasarkan hal di atas, Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti naluarinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkhi, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabat manusia tersebut.

(29)

18

Rukun perkawinan menurut KHI dinyatakan dalam Pasal 14 yaitu: i. Calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. ii. Wali dari mempelai perempuan.

iii. Dua orang saksi. iv. Ijab dan qabul.

Syarat sahnya perkawinan menurut KHI dalam Pasal 4 adalah dinyatakan :

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam

sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.”

b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Rukun perkawinan menurut UU No.1/1974 tidak diatur secara tegas. Akan tetapi undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan sahnya suatu perkawinan sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Syarat sahnya perkawinan menurut UU No.1/1974 diatur dalam pasal 2 yaitu :

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

(30)

19

Jadi bisa disimpulkan bahwa rukun dan syarat dalam perkawinan dalam yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut :

Rukun perkawinannya adalah Pertama,adanya calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan, kedua adanya wali dari pihak perempuan, ketiga adanya Saksi pernikahan, dan keempat adanya ijab qabul.

Kemudian syarat sahnya perkawinan menurut kedua peraturan tersebut adalah pernikahan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan perkawinan tersebut harus dicatatkan.

4. Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam a. Pilihan jodoh yang tepat.

b. Pernikahan didahului dengan peminangan.

c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

d. Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Ada persaksian dalam akad nikah.

(31)

20

j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga (Tihami, 2009:12 )

5. Hikmah Pernikahan

Islam menganjurkan pernikahan karena pernikahan tersebut mempunyai banyak hikmah bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan umat manusia. Adapun hikmah pernikahan menurut Sabiq (1980:18) adalah:

a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang terguncang jiwanya sehingga akan mengambil jalan yang buruk. Dengan perkawinan badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan akan tenang menikmati hal yang halal.

b. Perkawinan adalah jalan terbaik untuk memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nafsu yang oleh Islam sangat dianjurkan.

(32)

21

d. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.

e. Ada pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja mencari nafkah sesuai dengan batas-batas tangung jawab antara suami isteri dalam menangani tugas-tugasnya.

f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang.

6. Perkawinan Adat Jawa

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, dan merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang berbeda sehingga adat merupakan identitas suatu bangsa. Di negara Indonesia, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah, suku-suku bangsa berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya satu yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat Indonesia dikatakan “Bhineka Tunggal Ika”.

(33)

22

keluarga yang sebelumnya tidak ada ikatan. Maka dari itu dalam adat Jawa, pertimbangan penerimaan seorang calon menantu tidak boleh sembarangan, harus berdasarkan kepada bibit, bebet dan bobot (Yana, 2010:60).

Bibit : artinya mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik. Bebet : calon penganten, terutama pria, mampu memenuhi kebutuhan keluarga.

Bobot : kedua calon penganten adalah orang yang berkualitas, bermental baik dan berpendidikan cukup.

Masyarakat Jawa memaknai peristiwa perkawinan dengan menyelenggarakan berbagai upacara. Upacara itu dimulai dari tahap perkenalan sampai terjadinya pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Yana, 2010:62-68) :

a. Nontoni

(34)

23

orangtua calon pengantin wanita dan keluarganya, biasanya pakdhe atau paklik (Yana, 2010:62).

b. Nakokake/Nembung/Nglamar

(35)

24 c. Pasang Tarub

Pemasangan tarub ini dilakukan menjelang hari pernikahan. Tarub dibuat dari daun kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi kerangka dari bambu, dan ijuk atau welat sebagai talinya. Agar pemasangan tarub ini selamat, dilakukan upacara sederhana berupa penyajian nasi tumpeng lengkap. Selain itu dipasang juga tuwuhan, yaitu sepasang pohon pisang raja yang sedang berbuah yang dipasang di kanan kiri pintu masuk. Pohon pisang melambangkan keagungan dan mengandung makna berupa harapan agar keluarga baru ini nantinya cukup harta dan keturunan (Yana, 2010:63).

d. Midodareni

Midodareni diawali dengan upacara siraman. Pelaku siraman adalah orang yang dituakan yang berjumlah tujuh diawali dari orangtua yang kemudian dilanjutkan oleh sesepuh lainnya. Setelah siraman, calon pengantin membasuh wajah dengan air kendi yang dibawa ibunya kemudian kendi langsung dibanting/dipecah sambil mengucapkan kata-kata: “cahayanya sekarang sudah pecah seperti bulan purnama”. Setelah itu calon pengantin langsung dibopong ayahnya ke tempat ganti pakaian. Setelah ganti pakaian, dilanjutkan dengan acara potong rambut yang dilakukan oleh orangtua calon pengantin wanita. Setelah itu rambut dikubur di depan rumah dan dilanjutkan dengan acara “dodol dawet”. Yang berjualan dawet adalah ibu dari calon pengantin

(36)

25

terbuat dari kreweng (pecahan genting) yang dibentuk bulat. Selanjutnya dilakukan midodareni, yaitu berasal dari kata widadari, yang artinya bidadari. Kedua calon pengantin diharapkan seperti widadari-widadara, di belakang hari bisa lestari, dan hidup rukun dan sejahtera (Yana, 2010:64).

e. Akad Nikah

Akad nikah adalah inti dari acara perkawinan. Biasanya dilakukan sebelum acara resepsi yang disaksikan oleh sesepuh/orang tua dari kedua calon pengantin dan orang yang dituakan. Pelaksanaan akad nikah dilakukan oleh petugas dari catatan sipil atau petugas agama (Yana, 2010:65).

f. Panggih

Upacara panggih dimulai dengan pertukaran kembar mayang, kalpataru dewadaru yang merupakan sarana dari rangkaian pangih. Sesudah itu dilanjutkan dengan balangan suruh, ngidak endhok, dan mijiki (Yana, 2010:65).

g. Balangan Suruh

(37)

26 h. Ngidak endhok

Upacara ngidak endhok diawali oleh juru paes, yaitu orang yang bertugas untuk merias pengantin dan mengenakan pakaian pengantin, dengan mengambil telur dari dalam bokor, kemudian diusapkan di dahi pengantin pria diminta untuk menginjak telur tersebut. Ngidak endhok mempunyai makna secara seksual, bahwa kedua pengantin sudah pecah pamornya (Yana, 2010:66).

i. Wiji dadi

Pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria menggunakan air yang telah diberi bunga setaman. Mencuci kaki ini melambangkan suatu harapan bahwa “benih” yang akan diturunkan jauh dari mara bahaya dan menjadi keturunan yang baik (Yana, 2010:66).

j. Timbangan

Pengantin laki-laki duduk di atas kaki kanan ayah pengantin wanita, sedangkan pengantin wanita duduk di kaki sebelah kiri. Kedua tangan ayah dirangkulkan di pundak kedua pengantin. Lalu ayah mengatakan bahwa keduanya seimbang, sama berat dalam arti konotatif. Upacara ini berarti berupa harapan bahwa antara kedua pengantin dapat selalu saling seimbang dalam rasa, cipta, dan karsa (Yana, 2010:66).

k. Kacar-kucur

(38)

27

menandakan bahwa pengantin pria akan bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarganya (Yana, 2010:67).

l. Dulangan

Upacara ini dilakukan dengan cara kedua pengantin saling menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai simbol seksual, saling memberi dan menerima (Yana, 2010:67).

m. Sungkeman

Upacara ini dilakukan dengan cara kedua pengantin duduk jengkeng dengan memegang dan mencium lutut kedua orangtua, baik orangtua pengantin pria maupun wanita. Maknanya adalah sebagai simbol perwujudan rasa hormat anak kepada kedua orangtua (Yana, 2010:67). n. Kirab

Upacara kirab berupa arak-arakan yang terdiri dari domas, cucuk lampah, dan keluarga dekat untuk menjemput atau mengiringi pengantin yang akan keluar dari tempat panggih ataupun memasuki tempat panggih (Yana, 2010:67).

o. Jenang Sumsuman

(39)

28 p. Boyongan/Ngunduh Manten

Disebut boyongan karena pengantin pria dan wanita diantar oleh keluarga pihak wanita ke keluarga pihak pria secara bersama-sama. Acara ini diadakan di rumah pengantin pria. Biasanya acaranya tidak selengkap acara pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita. Dari uraian mengenai tahapan-tahapan terjadinya suatu proses perkawinan dalam masyarakat jawa, bisa disimpulkan bahwa masyarakat jawa sangat memegang teguh adat yang sudah turun temurun dilakukan. Berdasar pola pikir yang telah melekat ini, bagi masyarakat jawa kemudian dijadikan semacam pedoman yang mau tidak mau harus ditaati. Inilah yang menjadi sebab sangat banyak mitos-mitos yang tumbuh subur dalam masyarakat jawa (Yana, 2010:68).

B. Konsep Tentang Bulan Muharram 1. Menurut Islam

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 36:

(40)

29

Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa (Depag, 1971: 283).

Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam bersabda:

ٌوُسُح ٌتَعَبْزَأ بَُِْٓي اًسَْٓش َسَشَع بَُْثا ُتََُّسنا َضْزَأْنأَ ِثإًَََّسنا َُّّهنا َقَهَخ َوَْٕٚ ِِّخَئََْٛٓك َزاَدَخْسا ْدَق ٌُبَيَّزنا

ٌَبَبْعَشَٔ َٖدبًَُج ٍََْٛب ِ٘رَّنا َسَضُي ُبَجَزَٔ ُوَّسَحًُْنأَ ِتَّجِحْنا ُٔذَٔ ِةَدْعَقْنا ُٔذ ٌثبَِٛنإََخُي ٌتَثبَهَث

“Waktu itu telah berputar sebagaimana biasa sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada 12 bulan, di antaranya 4 bulan haram. 3 bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa‟dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu lagi adalah Rajab yang terletak di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya‟ban.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/470, no. 2958)

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan ia memiliki keutamaannya yang tersendiri. Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam

menyatakan bulan Muharram adalah bulan Allah, dan puasa yang yang paling afdhal setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam:

ِمَّْٛهنا ُةبَهَص ِتَضِٚسَفْنا َدْعَب ِةبَهَّصنا ُمَضْفَأَٔ ُوَّسَحًُْنا َِّّهنا ُسَْٓش ٌَبَضَيَز َدْعَب ِوبَِّٛصنا ُمَضْفَأ

Puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah bulan al-Muharram. Dan sholat yang paling afdhal setelah sholat yang difardhukan adalah sholat di malam hari.” (Hadis Riwayat Muslim, 6/63, no. 1982)

(41)

30

bulan-bulan selainnya. Sebaliknya, amalan soleh pula akan diberikan ganjaran yang besar.

Di antara amalan sunnah yang disebutkan secara khusus pada bulan Muharram adalah berpuasa sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Maksud puasa dalam hadis tersebut adalah puasa sunnah secara umum. Memperbanyakkan amalan puasa sunnah dalam bulan Muharram terutamanya pada hari yang ke sepuluh Muharram adalah termasuk sunnah-sunnah yang sangat dianjurkan. „Abdullah B. „Abbas radhiyallahu „anhuma berkata:

ٌوَْٕٚ اَرَْ إُنبَق اَرَْ بَي َلبَقَف َءاَزُٕشبَع َوَْٕٚ ُوُٕصَح َدَُْٕٓٛنا َٖأَسَف َتَُِٚدًَْنا َىَّهَسَٔ َِّْٛهَع َُّّهنا َّٗهَص ُِّٙبَُّنا َوِدَق

ْىُكُِْي َٗسًُِٕب ُّقَحَأ بَََأَف َلبَق َٗسُٕي َُّيبَصَف ْىُِِّْٔدَع ٍِْي َمِٛئاَسْسِإ َُِٙب َُّّهنا َّٗجََ ٌوَْٕٚ اَرَْ ٌحِنبَص

ِِّيبَِٛصِب َسَيَأَٔ َُّيبَصَف

“Nabi tiba di Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa „Asyura (hari ke sepuluh Muharram).” Nabi bertanya, “Puasa apakah ini?”

Orang-orang menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, yaitu hari di mana Allah telah menyelamatkan bani Isra‟el dari kejahatan musuhnya, maka Musa pun berpuasa sebagai tanda syukur beliau kepada Allah. Dan kami pun turut serta berpuasa.”

Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam pun berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kamu semua.” Akhirnya Nabi pun berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa.” (Hadis Riwayat al -Bukhari, 7/127, no. 1865)

Sejarah penetapan puasa „Asyura mengalami beberapa fasa.

(42)

31

Madinah, beliau tetap terus berpuasa di hari „Asyura dan

memerintahkan umat Islam agar turut berpuasa.

Tetapi setelah perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan turun, puasa di hari „Asyura menjadi sunnah dan tidak diwajibkan.

Kemudian ketika di penghujung hayatnya, Rasulullah bertekad untuk tidak hanya berpuasa pada hari „Asyura (hari yang ke sepuluh)

saja di bulan Muharram, tetapi juga bertekad untuk puasa pada hari yang ke sembilannya. Ibnu „Abbas radhiyallahu „anhuma berkata:

ٌوَْٕٚ ََُِّّإ َِّّهنا َلُٕسَز بَٚ إُنبَق ِِّيبَِٛصِب َسَيَأَٔ َءاَزُٕشبَع َوَْٕٚ َىَّهَسَٔ َِّْٛهَع َُّّهنا َّٗهَص َِّّهنا ُلُٕسَز َوبَص ٍَِٛح

ٌِْإ ُمِبْقًُْنا ُوبَعْنا ٌَبَك اَذِإَف َىَّهَسَٔ َِّْٛهَع َُّّهنا َّٗهَص َِّّهنا ُلُٕسَز َلبَقَف َٖزبَصَُّنأَ ُدَُْٕٓٛنا ًُُِّّظَعُح

َِّْٛهَع َُّّهنا َّٗهَص َِّّهنا ُلُٕسَز َِّٙفُُٕح َّٗخَح ُمِبْقًُْنا ُوبَعْنا ِثْأَٚ ْىَهَف َلبَق َعِسبَّخنا َوَْْٕٛنا بًَُُْص َُّّهنا َءبَش

ىَّهَسَٔ

“Ketika Nabi sedang berpuasa pada hari „Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk turut berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, hari „Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.”

(43)

32

„Asyura, tetapi juga turut disunnahkan agar berpuasa pada hari ke sembilan Muharram. Rasulullah mengisyaratkan tentang kelebihan puasa „Asyura sebagaimana sabdanya:

َُّهْبَق ِٙخَّنا َتََُّسنا َسِّفَكُٚ ٌَْأ َِّّهنا َٗهَع ُبِسَخْحَأ َءاَزُٕشبَع ِوَْٕٚ ُوبَِٛصَٔ

“Adapun puasa di hari „Asyura, aku memohon kepada Allah agar ia dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (Hadis Riwayat Muslim, 6/55, no. 1976)

Juga sebagaimana dalam hadis yang lain sebagaimana telah disebutkan, puasa di hari „Asyura adalah termasuk puasa yang paling

afdhal setelah puasa wajib di bulan Ramadhan. Dan Rasulullah senantiasa melaksanakan puasa „Asyura ini dengan penuh

kesungguhan. Ini adalah sebagaimana kata „Abdullah B. „Abbas

radhiyallahu „anhuma:

َٗهَع َُّهَّضَف ٍوَْٕٚ َوبَِٛص َّٖسَحَخَٚ َىَّهَسَٔ َِّْٛهَع َُّّهنا َّٗهَص َِّٙبَُّنا ُجَْٚأَز بَي

ٌَبَضَيَز َسَْٓش ُِْٙعَٚ َسَّْٓشنا اَرََْٔ َءاَزُٕشبَع َوَْٕٚ َوَْْٕٛنا اَرَْ بَّنِإ ِِِسَْٛغ

Tidaklah aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam berusaha untuk melaksanakan puasa pada satu hari yang lebih beliau utamakan berbanding hari-hari lainnya melainkan pada hari ini yaitu hari „Asyura, dan pada bulan ini, yaitu bulan Ramadhan. (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/125, no. 1867)

(44)

33

kezhaliman. Dan Allah SWT memberitahu mereka bahwa perbuatan mengubah-ubah dan mengganti aturan agama adalah sejelek-jelek keburukan, sebagaimana pekerjaan menunda-nunda (amal atau taubat) menambah kekafiran. Allah SWT menetapkan, bahwa mereka wajib mengikuti perintah-perintah yang telah digariskan oleh Allah dan meninggalkan larangan-larangan yang dicegah olehNya.

2. Menurut Adat Jawa

Keberadaan hidup orang Jawa yang tak luput dari kehidupan sosial dan budaya yang memiliki corak dan ragam kehidupan sosial dan budaya. Ini sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan hidup pada zaman sebelumnya. Pengaruh-pengaruh ini dapat dimulai dari zaman berdirinya negara-negara Hindu Jawa, meskipun budaya ini kemudian sedikit terkikis dengan kehadiran budaya Islam dan kehidupan modern, tetapi pada umumnya masyarakat Jawa masih berusaha keras untuk terus melestarikan budayanya. Hal ini diteruskan dalam berbagai adat, misalnya:

a. Rumah Tangga dan keluarga.

b. Keinginan orang Jawa untuk mempunyai anak. c. Adat memberi nama.

d. Pertumbuhan anak dalam keluarga ( Yana, 2010: 13-14).

(45)

34

dalam golongan bukan muslim santri. Ciri khas dari pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.

Dasar kepercayaan masyarakat Jawa ( kejawen) adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Sebagian besar adat Jawa merupakan warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa yang mengaku dirinya sebagai masyarakat kejawen. Kejawen berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan) (Yana, 2010:109).

Bulan Suro sebagai awal tahun, bagi masyarakat Jawa dianggap bulan yang sakral, karena dianggap bulan yang suci, bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan laku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat (http://himpalaunas.com).

(46)

35

tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspada, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta, sehingga dapat menjauhkan diri mencapai manunggaling kawula gusti

“bersatunya makhluk dan Khalik” (http://himpalaunas.com).

Pada bulan Suro banyak orang melakukan ritual-ritual tertentu sebagai media introspeksi dengan berbagai cara. Ada yang melakukan laku dengan cara nenepi atau meditasi untuk merenung diri di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon tua, dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan 'berjaga hingga pagi hari' (http://himpalaunas.com). Selain ritual-ritual tersebut dalam masyarakat Jawa Ada juga Tradisi Ngalap Berkah yang dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di keraton Kasunanan Solo, memandikan benda-benda pusaka, begadang semalam suntuk. ( http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro). Harmoni alam merupakan cita-cita manusia. Untuk menggapai harmoni alam itulah, sebagian masyarakat Jawa melakukan ritual-ritual tertentu.

(47)

36

misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Hal ini terjadi karena adanya mitos Nyi Roro Kidul. Masyarakat Jawa yang percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan (Samudra Hindia) meyakini bahwa setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya. Setiap masyarakat Jawa yang punya gawe di bulan Suro ini, diyakini pengantin atau keluarganya tidak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yang jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak (http://himpalaunas.com).

(48)

37

(49)

38 BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Gambaran Umum Desa Bangkok Kecamatan Karanggede kabupaten Boyolali

1. Letak Geografis

Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali merupakan sebuah desa yang cukup ramai, jalannya naik turun dan udaranya cukup panas. Namun demikian, para warga yang tinggal di desa tersebut sangat ramah. Walaupun Desa Bangkok ini jauh dari pusat pemerintahan kecamatan, akan tetapi akses menuju desa Bangkok ini cukup mudah. Sehingga mempermudah perjalanan penulis dalam melakukan penelitian.

Adapun luas Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali sampai dengan 30 Juni 2012 adalah 12.327 ha, yang terdiri dari hutan, persawahan, ladang, dan pemukiman. Sedangkan batas wilayah Desa Bangkok adalah :

a. Sebelah Utara : Desa Seworan b. Sebelah Selatan : Desa Dologan c. Sebelah Barat : Desa Klari

(50)

39 2. Keadaan Administratif

Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali mempunyai penduduk yang berjumlah 2.406 dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah 664.

Table 3.1 Jumlah Penduduk berdasarkan jenis kelamin

No Keterangan Jumlah

1. Laki-laki 1.213 orang

2. Perempuan 1.193 orang

Jumlah 2.406 orang

Untuk memperlancar kegiatan administrasi pemerintahan, di Desa Bangkok terdapat perangkat desa, mulai dari Kepala Desa hingga Ketua RT (Rukun Tetangga). Desa Bangkok terbagi dalam empat Dusun yaitu Dusun Bangkok, Karangsalam, Krajan dan Randusari, yang masing-masing dusun mempunyai Satu Ketua RW (Rukun Warga) dan beberapa Ketua RT.

Tabel 3.2 Pembinaan RT/RW

No Keterangan Jumlah

1. Jumlah RT 16 unit

(51)

40

Di Desa Bangkok juga terdapat sebuah lembaga yang berfungsi untuk memberdayakan masyarakat desa tersebut. Kepaa Desa menunjuk beberapa kader untuk mengurusi lembaga tersebut.

Tabel 3.3 Jumlah Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)

No Keterangan Jumlah

1. KPM yang aktif 6 orang

2. KPM yang tidak aktif 6 orang

Jumlah 12 orang

3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat

Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Desa Bangkok tidak menggambarkan adanya konflik yang berarti di masyarakat. Mereka hidup rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di desa, misalnya kerja bakti, hajatan pernikahan, dan kematian. Selain itu di Desa Bangkok ini juga ada tradisi Nyadran berupa ziarah kubur yang dilaksanakan pada bulan Sya‟ban. Tradisi ini tetap mereka

jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat Desa Bangkok sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang mereka.

(52)

41

sehingga di masyarakat Desa Bangkok ini tidak pernah terjadi konflik berarti. Keadaan sosial yang rukun dan keagamaan yang saling toleransi inilah yang selalu dijaga oleh masyarakat Desa Bangkok.

Di wilayah Desa Bangkok terdiri dari 664 Kepala Keluarga (KK), dan semuanya beragama Islam. Untuk menunjang pengembangan agama Islam di desa Bangkok terdapat beberapa sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam.

Tabel 3.4 Jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam

No Keterangan Jumlah

1. Jumlah masjid 6 buah

2. Jumlah mushola 15 buah

3. Jumlah pondok pesantren 1 buah

4. Jumlah majelis ta‟lim 6 buah

Dari jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam tersebut terlihat bahwa masyarakat Desa Bangkok banyak yang kurang pengetahuannya tentang agama Islam. Untuk meningkatkan keislaman masyarakat, para ulama‟ mempunyai tugas untuk menyampaikan

ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat Desa Bangkok, salah satunya dengan ceramah. Akan tetapi ceramah oleh para ulama‟ jarang

(53)

42

Ketauhidan jarang disampaikan. Jadi adat yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos itu terus dilakukan.

4. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Karena dengan pendidikan manusia bisa menjadi berkualitas. Akan tetapi tidak semua orang bisa memperoleh pendidikan yang tinggi, karena untuk memperoleh pendidikan dibutuhkan biaya yang banyak. Keadaan ekonomi masyarakat Desa Bangkok yang berbeda-beda berakibat timbulnya perbedaan tingkat pendidikan masyarakat. Hanya sebagian masyarakat yang mampulah yang bisa memperoleh pendidikan yang tinggi.

Tabel 3.5 Jumlah penduduk menurut Pendidikan

No Pendidikan Jumlah

1. Belum Sekolah 736 orang

2. Lulusan SD/MI 601 orang

3. Lulusan SMP/sederajat 598 orang 4. Lulusan SMA/sederajat 464 orang 5. Lulusan Akademi/ D1-D3 3 orang

6. Lulusan Sarjana 4 orang

(54)

43

pendidikan yang cukup tinggi dan minat masyarakat untuk menuntut ilmu di bangku sekolah sangat kurang. Mereka lebih senang bekerja mencari nafkah daripada mencari ilmu. Oleh karena itu pola pikir masyarakatnya tradisional dan cenderung kurang kitis dalam menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan mitos. Misalnya saja tentang mitos larangan menikah pada bulan Suro yang mana menurut kepercayaan nenek moyang mereka akan memperoleh kesialan. Dan masyarakat pun mempercayai hal tersebut tanpa mencari tahu kebenaran tentang mitos tersebut.

B. Pendapat Warga Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali Tentang Menikah pada Bulan Muharram

Tabel 3.6 Daftar Hasil Wawancara dengan warga Desa Bangkok

(55)
(56)
(57)

46

1. Masyarakat tidak berani menikah pada bulan Muharram karena sudah menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para nenek moyang terdahulu.

2. Masyarakat takut tertimpa musibah jika menikah pada bulan Muharram.

Sedangkan alasan masyarakat yang memperbolehkan menikah pada bulan Muharram adalah:

1. Dalam Islam tidak ada larangan menikah pada bulan Muharram. 2. Semua bulan itu baik.

3. Tidak ada alasan yang logis mengenai larangan menikah pada bulan Muharram.

Adapun akibat pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram atau bulan Suro menurut Bapak Suwardi salah satu tokoh masyarakat di Desa Bangkok mengatakan :

Di Desa Bangkok belum pernah ada warga yang melakukan pernikahan pada Bulan Suro. Kalau ada yang melakukan pernikahan pada Bulan Suro akan mendapat halangan. Dan dalam membina rumah tangga akan sering terjadi percekcokan. Bahkan ada seorang warga Desa Bangkok yang pernah mendirikan rumah pada Bulan Suro kemudian orang itu menjadi gila.”

(58)

47

bulan Suro walaupun tidak ada fakta tentang akibat buruk dari pernikahan pada bulan Suro.

C. Pendapat Ulama’ Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten

Boyolali Tentang Menikah pada Bulan Muharram

Tabel 3.7 Daftar Hasil Wawancara dengan ulama‟ Desa Bangkok

No Nama Dusun Tanggapan

1 M. Abdullah Bangkok Boleh. sangat

dianjurkan

2 M. Ali Alwi Karangsalam Boleh. Bulan yang sangat mulia

3 Ramto Krajan dan Randusari Boleh. Musibah itu sudah takdir

Desa Bangkok memiliki beberapa ulama‟ yang bertugas

mengajarkan agama Islam di desa tersebut. Sehingga mereka menjadi panutan warga dalam hal ibadah. Akan tetapi adat yang berlaku tetap mereka lestarikan selama tidak bertentangan dengan syari‟at.

(59)

48

muharram, bahkan hajat lain pun seperti mendirikan rumah mereka tidak berani melaksanakannya. Mereka merasa khawatir jangan-jangan jika mereka melaksanakan hajat di bulan itu mereka akan menimpa musibah, padahal hal seperti itu sangat dilarang agama, para ulama menyebut hal itu sebagai tathayyur, yaitu mempercayai kepada ucapan-ucapan nenek moyang yang belum tentu benar.

Para ulama‟ Desa Bangkok berpendapat sebenarnya masyarakat menjalani tradisi itu masih terpengaruh dengan keyakinan yang dianut oleh sesepuh mereka. Seperti yang disampaikan Bapak Abdullah dari Dusun Bangkok, bahwa masyarakat hanya mengikuti apa yang sudah dilakukan nenek moyang mereka. Beliau menambahkan sebenarnya bulan Muharram adalah bulan yang sangat mulia, bahkan beliau sangat menganjurkan pernikahan pada bulan tersebut. Mengenai adat larangan menikah pada Bulan Muharram beliau berpendapat bahwa, sebuah adat memang bisa dipertimbangkan untuk menjadi hukum. Karena hal itulah adat larangan menikah pada bulan Muharram masih berlaku.

(60)

49

biasanya orang Jawa itu jika ditakut-takuti dengan hal yang mistik seperti itu, mereka akan takut dan mengikutinya.

Bapak Ramto salah satu tokoh agama di Dusun Krajan dan Randusari menambahkan bahwa kepercayaan tentang larangan menikah pada bulan Suro sebenarnya muncul saat Keraton Solo mempunyai hajat di bulan Suro, pihak Keraton melarang warga untuk membarengi hajat pihak Keraton, agar seluruh warga dapat ikut memeriahkan hajatan tersebut. Akan tetapi para ulama‟ tidak berani untuk langsung melarang adat yang berkembang di masyarakat, perlu waktu untuk menghilangkan mitos-mitos tersebut, kadar keislaman masyarakat dinilai masih tipis, jika terlalu dipaksakan mereka khawatir akan terjadi perpecahan diantara masyarakat. Mengenai kekhawatiran masyarakat yang takut tertimpa musibah jika menikah di bulan suro, para ulama‟ sangat melarang hal itu, karena

(61)

50 BAB IV ANALISIS

A. Faktor Yang Mendorong Masyarakat Desa Bangkok Tidak Melakukan Pernikahan Pada Bulan Muharram

1. Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali merupakan desa yang seluruh warganya beragama Islam, akan tetapi tradisi Jawa yang diwariskan nenek moyang khususnya dalam hal pernikahan tetap mereka pertahankan.

2. Mayoritas masyarakat Desa Bangkok merupakan keturunan suku Jawa. Sehingga adat yang mereka anut pun adalah adat Jawa. Sebagian besar orang Jawa masih belum dapat memisahkan mitos dalam kehidupan mereka (Yana, 2010:15). Begitu juga dengan masyarakat Desa Bangkok yang masih mempercayai mitos. Seperti larangan melakukan pernikahan pada bulan Suro (Muharram), adat ini tetap mereka jalankan sampai sekarang.

(62)

51

Sedangkan jika menikah pada bulan selain Muharram masyarakat meyakini tidak akan ada halangan yang berarti.

4. Dalam kasus seperti yang terjadi di desa Bangkok ini sangat terlihat bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi mitos-mitos dan kepercayaan yang belum bisa dijelaskan dengan alasan yang logis. Apa yang mereka yakini hanya merupakan warisan turun-temurun yang terlahir dari proses akulturasi budaya islam dengan warisan animisme dan dinamisme yang ada pada zaman sebelum Islam masuk ke tanah Jawa.

5. Sebenarnya apa yang masyarakat Desa Bangkok yakini dalam hal larangan menikah tersebut tentunya sangat bertentangan dengan budaya Islam. Tetapi karena alasan kestabilan masyarakat dan menghindari adanya kegoncangan dan kekacauan akibat benturan budaya tersebut, maka mitos dan budaya Jawa itu mau tidak mau harus tetap berjalan sebagaimana adanya.

B. Pandangan Hukum Islam Tentang Pernikahan Yang Dilakukan Pada Bulan Muharram

(63)

52

haram tersebut tidak baik. Jadi semua hari itu baik, dan kita bisa melaksankan hajat apapun setiap harinya.

Seperti halnya hajat pernikahan itu boleh dilaksanan kapan saja. Tidak ada hari-hari tertentu yang mana dilarang untuk melakukan pernikahan. Karena pernikahan itu adalah sunnatullah yang mana sangat dianjurkan oleh Allah SWT. Bahkan suatu pernikahan itu wajib hukumnya ketika orang itu sudah mampu secara lahir dan batin dan sudah menginginkannya. Jadi tidak ada halangan untuk melakukan sebuah pernikahan tersebut.

Dalam syarat dan rukun pernikahan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak menyebutkan bahwa pernikahan tersebut harus dilakukan pada hari tertentu. Dan tidak disebutkan pula tentang larangan menikah pada waktu-waktu tertentu. Jadi tidak ada peraturan tertentu yang melarang sebuah perkawinan yang dilakukan pada Bulan Muharram.

(64)

53

Dalam Islam hal seperti itu dianggap thiyarah, yaitu meramalkan bernasib sial karena melanggar sesuatu. Padahal yang berkuasa menentukan nasib manusia adalah Allah, jadi manusia yang percaya selain kepada Allah disebut musyrik. Dan dosa orang yang musyrik itu sangat besar.

(65)
(66)
(67)
(68)

57

DAFTAR PUSTAKA

An-Nablusi, Imam Abdul Ghani.2004. Keutamaan Hari dan Bulan dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bina Aksara.

Endraswara, Suwardi. 2012. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakrawala.

Hamid, Syamsul Rijal. 2012. Tuntutan Perkawinan dalam Islam. Boror: Cahaya Salam.

Hariwijaya, M. 2008. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Hanggar Kreator.

Hasan, Aliah B. Purwakanika. 2008. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap rentang Kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pascakematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Islamil, Faisal. 1999. Islam, Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Adi Wacana.

J. Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif,. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.

Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat,. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kurniawan, Benny. 2012 . Ilmu Budaya Dasar. Tangerang Selatan: Jelajah Nusa. M. Amirin, Tatang, 1990. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers. Masroer. 2004. The History of Java Sejarah Perjumpaan Agama-agama di

Jawa. Yogyakarta: Ar-ruzzjogjakarta.

Mukhtar, Erna Widodo, 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Yogyakarta: Avyrouz.

(69)

58

Sabiq, Sayyid. 1978. Fikih Sunnah 3. Bandung: PT Alma‟arif.

Saksono, Gatut, dkk. 2012. Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Ampera Utama.

Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta Selatan: Teraju. Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik

Edisi VII, Bandung: CV. Tarsito.

Tihami, Prof. Dr. HMA dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009.Fikih Munakahat Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LkiS.

Yana. 2010. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Absolut. Yazid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer.Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://himpalaunas.com

(70)

59

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Isro‟i Nim :

21108014

Fakultas : Syari‟ah

Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah TTL : Boyolali, 21 Februari 1989

Alamat : Bangkok, Rt. 01 Rw.01 Karanggede Boyolali Pendidikan :

Gambar

Table 3.1 Jumlah Penduduk berdasarkan jenis kelamin
Tabel 3.3 Jumlah Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)
Tabel 3.4 Jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam
Tabel 3.5 Jumlah penduduk menurut Pendidikan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya, hasil tangkapan dari kedua kelompok nelayan mitra, yaitu udang kecil ( Penaeus sp.) dengan nama lokal lamale. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan

Faktor waktu pemberian, yaitu; 15 hst dan 30 hst Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi campuran ekstrak daun sembung dan daun tembakau berpengaruh nyata

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Febrianti [21] tentang analisis kemampuan berpikir kreatif peserta didik dengan memanfaatkan

Penentuan nilai faktor strength dapat diketahui dari grafik pada Gambar 5 dengan menggunakan konsentrasi BOD (mg/l) yang masuk ke kompartemen ABR.. Berdasarkan Gambar 5

dan pemisah (dalam hal jumlah pemutus beban lebih dari l0 buah), cukup untuk satu. urutan kerja

berangkat dari visi, misi dan tujuan seorang pengarah acara memiliki cara untuk mengajak masyarakat untuk melestarikan kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang kita

Menceritakan sesuatu perkara semula dengan tepat, sebutan yang jelas dan intonasi yang betul menggunakan pelbagai ayat yang mengandungi bahasa yang indah... Berbicara untuk