• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyebabkan berbagai penyakit dan bahkan kematian (BKKBN, 2007). Menurut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyebabkan berbagai penyakit dan bahkan kematian (BKKBN, 2007). Menurut"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Perilaku merokok masih merupakan masalah kesehatan dunia karena dapat menyebabkan berbagai penyakit dan bahkan kematian (BKKBN, 2007). Menurut WHO International Agency for Research on Cancer (2004), merokok dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit kanker, seperti kanker paru-paru, kanker saluran kemih bawah, kanker pankreas, kanker lambung, kanker kolorektal, kanker hati, kanker payudara, kanker serviks, dan masih banyak penyakit kanker lainnya yang faktor risikonya adalah rokok (WHO International Agency for Research on Cancer, 2004).

Telah banyak diteliti keterkaitan antara penyakit kanker dengan perilaku merokok. Dari penelitian Gandini dkk. (2008), yang merupakan sebuah meta analisis menunjukkan hasil bahwa terdapat asosiasi antara rokok dan beberapa jenis penyakit kanker yang ditunjukkan oleh relative risk yang lebih dari 1. American Cancer Society telah merangkum dari berbagai sumber yang menyatakan bahwa konsumsi rokok meningkatkan risiko kanker paru-paru, mulut, bibir, hidung, laring, faring, esofagus, lambung, pankreas, ginjal, kandung kemih, uterus, serviks, kolorektum, ovarium, dan leukemia myeloid akut. Bahkan, berdasarkan laporan dari U.S. Surgeon General, hasil meta analisis terbaru menunjukkan bahwa kanker lambung, kanker uteri, kanker serviks, kanker

(2)

pankreas, kanker ginjal, dan leukemia memiliki asosiasi dengan perilaku merokok (USDHHS, 2010).

Berdasarkan fakta-fakta yang telah disebutkan di atas, Indonesia akan menanggung beban kanker yang sangat besar karena Indonesia adalah salah satu negara yang menduduki peringkat atas dalam hal konsumsi rokok di dunia. Indonesia memiliki jumlah perokok terbanyak keempat (WHO, 2012a). Berdasarkan The ASEAN Tobacco Control Atlas tahun 2014, Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah perokok dewasa terbanyak di ASEAN, yaitu dengan prevalensi merokok sebesar 36,1% (Lian dan Dorotheo, 2014). Data WHO tahun 2012 menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah orang dewasa yang merokok adalah 59,9 juta orang, dimana tidak hanya terdiri dari pria, tetapi juga wanita (57,6 juta orang pria dan 2,3 juta orang wanita). Jumlah perokok harian adalah 50,3 juta, dan perokok occasional adalah 9,6 juta (WHO, 2012a).

Perokok di Indonesia diduga lebih berisiko terkena dampak buruk kesehatan akibat rokok. Hal ini disebabkan karena jenis rokok yang paling populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah rokok kretek. Rokok kretek mengandung lebih banyak nikotin, tar, dan karbon monoksida dibandingkan rokok putih (Malson dkk., 2003). Zat-zat tersebut dapat menyebabkan berbagai penyakit, akut maupun kronis pada manusia, seperti kanker (USDHHS, 2010).

Data epidemiologi kanker akibat rokok di negara-negara maju sudah sangat mudah diakses dan dipresentasikan dalam bentuk database nasional. Estimasi beban rokok merupakan standar dokumentasi untuk menetapkan kebijakan

(3)

pengendalian tembakau di negara-negara maju. Telah terbukti bahwa negara yang telah menerapkan undang-undang pengendalian tembakau yang ketat, seperti Inggris dan Australia terjadi pengurangan tingkat merokok secara signifikan. Namun, tidak halnya dengan Indonesia. Angka kesakitan dan YLD adalah parameter utama untuk menetapkan beban rokok. Dengan angka kesakitan penyakit kanker akibat rokok, maka akan diketahui penyakit kanker yang terjadi di Indonesia yang diakibatkan oleh rokok. Dari indikator YLD akan diketahui jumlah tahun yang dilalui dalam keadaan cacat/hidup tidak aktif akibat kanker yang disebabkan oleh rokok, baik sementara ataupun permanen. Penelitian tentang estimasi beban kanker akibat rokok dirasa sangat strategis untuk dilakukan di Indonesia, sebagai langkah awal untuk menyusun strategi pengendalian tembakau berbasis bukti dan dapat dikomparasikan dengan negara lain mengenai beban penyakit kanker akibat rokok.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut

1. Seberapa besar smoking-attributable fraction (SAF) untuk penyakit kanker yang diakibatkan oleh rokok di Indonesia?

2. Seberapa besar angka kesakitan penyakit kanker yang diakibatkan oleh rokok di Indonesia?

(4)

3. Seberapa besar beban penyakit kanker akibat rokok di Indonesia dipresentasikan dalam indikator Years Lived with Disability (YLD)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui seberapa besar smoking-attributable fraction (SAF) untuk penyakit kanker yang diakibatkan oleh rokok di Indonesia.

2. Mengetahui seberapa besar angka kesakitan penyakit kanker yang diakibatkan oleh rokok di Indonesia.

3. Mengetahui seberapa besar beban penyakit kanker akibat rokok di Indonesia dipresentasikan dalam indikator Years Lived with Disability (YLD).

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi peneliti mengenai beban rokok di Indonesia dari estimasi angka kesakitan penyakit kanker akibat rokok dan indikator YLD.

2. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat menyediakan informasi terbaru dan akurat bagi pemerintah mengenai dampak rokok pada kesehatan. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan mengenai pengendalian rokok dan tembakau.

(5)

3. Bagi Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini dapat memberikan informasi terbaru dan akurat mengenai beban penyakit kanker yang diakibatkan oleh rokok. Informasi tersebut diharapkan secara tidak langsung dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran perubahan perilaku merokok di masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka 1. Epidemiologi rokok di dunia dan Indonesia

Sekitar 5,8 triliun rokok dikonsumsi di seluruh dunia pada tahun 2014. Namun demikian, pola konsumsi rokok bervariasi antar negara. Penurunan konsumsi rokok secara signifikan terjadi di negara-negara maju seperti Inggris dan Australia yang telah menerapkan undang-undang pengendalian tembakau. Tren yang berkebalikan terjadi di negara-negara berkembang seperti Cina dengan jumlah perokok sepertiga dari jumlah perokok pria di seluruh dunia (Eriksen dkk., 2015).

Secara global, hampir sepertiga dari pria berusia 15 tahun atau lebih, atau sekitar 820.000.000 orang merupakan perokok aktif. Prevalensi merokok pada pria bervariasi di seluruh dunia. Pada negara maju terjadi penurunan prevalensi merokok pada pria, seperti di Kanada yang terjadi penurunan sebesar 24% dan peningkatan prevalensi merokok terjadi pada negara berkembang seperti Kazakhstan sebesar 16% dari tahun 1980 sampai 2013.

(6)

Sekitar 176 juta wanita dewasa merupakan perokok harian di seluruh dunia. Tingkat merokok pada wanita menurun secara signifikan dari tahun 1980 sampai 2013 di beberapa negara maju. Namun demikian, perokok wanita tetap lebih banyak ditemukan pada negara maju dibandingkan negara berkembang (Eriksen dkk., 2015).

Indonesia adalah salah satu negara yang menduduki peringkat atas dalam hal konsumsi di dunia dan memiliki jumlah perokok terbanyak keempat (WHO, 2012a). Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok pria yang merokok setiap harinya lebih dari 50 juta orang dan merupakan yang terbanyak ke-3 di seluruh dunia (Eriksen dkk., 2015).

Jumlah perokok dewasa di Indonesia diestimasi sebesar 59,9 juta (57,6 juta pria dan 2,3 juta wanita). Jumlah perokok harian di Indonesia yang adalah 50,3 juta dan perokok occasional sebanyak 9,6 juta. Jumlah dari penduduk Indonesia yang tidak merokok adalah 112,2 juta, dimana 5,7 juta merupakan mantan perokok harian, dan 106,6 juta tidak pernah merokok (WHO, 2012a).

Perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas terjadi peningkatan sejak 2007 ke 2013, dari 34,2% pada tahun 2007 menjadi 36,3% pada tahun 2013. Sebesar 64,9% laki-laki dan 2,1% perempuan merupakan perokok aktif pada tahun 2013. Rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan

(7)

tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2013).

Jenis rokok yang terdapat di Indonesia adalah rokok kretek, rokok putih, dan rokok lintingan. Dari ketiga jenis tersebut, jenis yang paling populer adalah rokok kretek. Rokok kretek lebih banyak dikonsumsi oleh perokok pria dan perokok di daerah pedesaan. Persentase penggunaan rokok kretek lebih kecil pada orang-orang yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi daripada pada orang-orang dengan tingkat pendidikan sekolah dasar (WHO, 2012a).

Rokok kretek mengandung zat-zat berbahaya lebih banyak daripada jenis rokok lain (Malson dkk., 2003). Rokok kretek mengandung 1,2-4,5 mg nikotin, 46,8 mg tar, dan 28,3 mg karbon monoksida (Knaresborough, 1999). Kadar-kadar tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kadar yang terkandung pada rokok putih, yaitu 1 mg nikotin, 16,3 mg tar, dan 15,5 mg karbon monoksida (Knaresborough, 1999).

2. Epidemilogi kanker di Indonesia

Hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan angka prevalensi penyakit kanker sebesar 1,4 per 1000 penduduk. Prevalensi kanker cukup rendah pada bayi (0,3‰) dan meningkat pada umur ≥15 tahun, dan tertinggi pada umur ≥75 tahun (5‰). Kanker sebagai penyebab kematian menempati urutan ketujuh (5,7%) dari seluruh penyebab kematian setelah

(8)

kematian akibat stroke, tuberkulosis, hipertensi, cedera, perinatal, dan diabetes mellitus. Pada perempuan, tren kejadian kanker cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2013).

Data dari WHO tahun 2010 menunjukkan bahwa pada laki-laki, jenis kanker yang terbanyak di Indonesia adalah kanker paru-paru, sedangkan pada perempuan adalah kanker payudara (WHO, 2010).

Menurut data GLOBOCAN tahun 2012, 5 prevalensi kanker tertinggi di Indonesia adalah kanker payudara (46,3 per 100.000 penduduk), serviks (16,7 per 100.000 penduduk), kolorektum (9,2 per 100.000 penduduk), paru-paru (5,8 per 100.000 penduduk), dan hati (2,2 per 100.000 penduduk) (WHO International Agency for Research on Cancer, 2012).

Dari Tabel I menunjukkan prevalensi kanker berdasarkan provinsi menunjukkan bahwa 5 provinsi dengan prevalensi kanker melebihi prevalensi kanker nasional (>5.03‰), yaitu DIY sebesar 9.66‰, Jawa Tengah sebesar 8.06‰, DKI Jakarta sebesar 7.44‰, Banten sebesar 6.35‰, dan Sulawesi Utara sebesar 5.76‰. Sedangkan, provinsi dengan prevalensi kanker terendah adalah Maluku sebesar 1,54‰, Sumatera Selatan 1,91‰, Maluku Utara 1,95‰, Bangka Belitung 2,01‰, dan Kalimantan Barat 2,45‰ (Oemiati dkk, 2011).

(9)

3. Hubungan rokok dan penyakit kanker

Menurut penelitian meta analisis Gandini dkk. (2008), menunjukkan hasil bahwa terdapat asosiasi antara rokok dan beberapa jenis penyakit kanker yang ditunjukkan oleh relative risk yang lebih dari 1.

Tabel I. Kasus kanker menurut provinsi

No Provinsi Prevalensi (‰) 95% CI 1 Aceh 2,68 2,06-3,49 2 Sumatera Utara 2,88 2,33-3,56 3 Sumatera Barat 5,57 4,72-6,58 4 Riau 3,24 2,43-3,42 5 Jambi 3,34 2,44-4,58 6 Sumatera Selatan 1,91 1,33-2,74 7 Bengkulu 3,68 2,84-4,76 8 Lampung 3,60 2,82-4,59 9 Bangka Belitung 2,01 1,32-3,06 10 Kepulauan Riau 3,83 2,29-6,39 11 DKI Jakarta 7,44 6,02-9,20 12 Jawa Barat 5,47 4,89-6,12 13 Jawa Tengah 8,06 7,37-8,81 14 DI Yogyakarta 9,66 7,92-11,76 15 Jawa Timur 4,41 3,94-4,94 16 Banten 6,35 5,03-8,02 17 Bali 4,92 3,79-6,38

18 Nusa Tenggara Barat 2,84 1,99-4,04

19 Nusa Tenggara Timur 3,35 2,77-4,05

20 Kalimantan Barat 2,45 1,88-3,18 21 Kalimantan Tengah 3,84 2,97-4,95 22 Kalimantan Selatan 3,91 3,06-4,99 23 Kalimantan Timur 3,59 2,80-4,60 24 Sulawesi Utara 5,76 4,36 - 7,60 25 Sulawesi Tengah 4,50 3,56-5,68 26 Sulawesi Selatan 4,78 4,12-5,54 27 Sulawesi Tenggara 2,60 1,99-3,41 28 Gorontalo 3,21 2,21-4,67 29 Sulawesi Barat 2,45 1,46-4,10 30 Maluku 1,54 0,83-2,86 31 Maluku Utara 1,95 0,91-4,20 32 Papua Barat 2,75 1,44-5,26 33 Papua 3,23 2,17-4,79 Indonesia 5,03 4,82-5,24 (Oemiati dkk, 2011)

(10)

American Cancer Society (2014) telah merangkum dari berbagai sumber yang menyatakan bahwa konsumsi rokok meningkatkan risiko kanker paru-paru, mulut, bibir, hidung, laring, faring, esofagus, lambung, pankreas, ginjal, kandung kemih, uterus, serviks, kolorektum, ovarium, dan leukemia myeloid akut. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2015), merokok merupakan faktor risiko utama kanker yang menyebabkan terjadinya lebih dari 20% kematian akibat kanker di dunia dan sekitar 70% kematian akibat kanker paru-paru di seluruh dunia (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015).

Beberapa studi tentang agen genotoksik mampu mengidentifikasi zat karsinogenik pada asap tembakau pada tahun 2000. Zat-zat karsinogenik ini meliputi 10 senyawa hidrokarbon aromatik polinuklear (PAHs), 6 senyawa hidrokarbon heterosiklik, 4 senyawa hidrokarbon volatil, 3 senyawa nitrohidrokarbon, 4 senyawa amina aromatik, 2 senyawa aldehid, 10 senyawa organik yang bermacam-macam, 9 senyawa inorganik, dan 3 senyawa fenolik (Hoffmann & Hoffman, 2001).

Menurut WHO IARC (2004), kandungan senyawa karsinogenik dalam rokok yaitu volatile N-nitrosamines, termasuk N-nitrosodimethylamine (NDMA), N-nitrosoethylmethylamine (NEMA) dan N-Nitrosopyrrolidine (NYPR) telah dilaporkan. Kadar tertinggi terdapat pada jenis rokok kretek tanpa filter (WHO International Agency for Research on Cancer, 2004).

(11)

Pada kanker paru-paru, 9 dari 10 kejadian kanker paru-paru disebabkan oleh konsumsi rokok. Lebih dari 7.300 perokok pasif yang meninggal tiap tahunnya karena kanker paru-paru (Centers for Disease Control and Prevention, 2015).

Perokok pria dengan kanker prostat memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk meninggal karena kanker prostatnya dibandingkan dengan pria yang tidak merokok (Centers for Disease Control and Prevention, 2015).

Berhenti merokok menurunkan risiko kanker paru-paru, mulut, tenggorokan, kerongkongan, dan laring. Lima tahun berhenti merokok memberikan peluang untuk menurunkan risiko kanker mulut, tenggorokan, kerongkongan, kandung kemih sebesar 50%. Sepuluh tahun setelah berhenti merokok, penurunan risiko kematian akibat kanker paru-paru hampir sebesar 50% (Centers for Disease Control and Prevention, 2015).

4. Metode estimasi beban rokok dengan angka kesakitan dan DALYs

Estimasi beban penyakit akibat rokok saat ini menjadi studi standar dalam bidang kesehatan masyarakat dan menjadi bukti kuat untuk advokasi kebijakan (Samet, 2010). Angka kesakitan atau angka morbiditas merupakan indeks kesehatan yang penting dalam mempelajari epidemiologi untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. Kesakitan meliputi penyakit, cedera/ kecelakaan, dan cacat/disability (Amiruddin dkk., 2011). Istilah yang sering digunakan pada studi angka kesakitan tersaji di Tabel II.

(12)

Tabel II. Istilah angka kesakitan yang sering digunakan

Angka kesakitan Pembilang Penyebut

Proporsi insidensi (attack rate/ risk)

Jumlah kasus baru pada interval waktu tertentu

Populasi dalam interval waktu tertentu

Secondary attack rate Jumlah kasus baru antara

kontak

Jumlah populasi kontak Incidence rate (person-time

rate)

Jumlah kasus baru dalam interval waktu tertentu

jumlah penduduk/ rata-rata populasi dalam intervalwaktu tertentu

Point prevalence Jumlah semua kasus (baru

dan lama) yang tercatat pada waktu tertentu

Populasi penduduk pada waktu tertentu

Period prevalence Jumlah semua kasus yang

tercatat (baru dan lama) dalam periode tertentu

Rata-rata atau pertengahan interval populasi

(Centers for Disease Control and Prevention, 2006)

Pendekatan umum yang banyak diaplikasikan dalam studi adalah dampak hilangnya tahun produktif akibat kesakitan dan kematian akibat rokok. Penerjemahan beban rokok dengan parameter hilangnya tahun produktif (Disability adjusted life years/DALYs) mampu memberikan bukti kuat, sehingga penentu kebijakan memahami bahwa pada akhirnya negara akan tetap dirugikan karena penurunan produktivitas masyarakat dan peningkatan biaya kesehatan yang harus ditanggung pemerintah sebagai akibat dari rokok (Centers for Disease Control and Prevention, 2012). Konsep DALYs pertama kali diperkenalkan oleh Murray dan Lopez (Murray & Lopez, 1996).

DALYs adalah ukuran kesenjangan kesehatan yang mengkombinasikan waktu yang hilang karena kematian dini dan kondisi non-fatal. Langkah ini digunakan dalam The Global Burden of Disease and Injury (GBD), yang merupakan studi bersama antara Bank Dunia, World Health Organization

(13)

(WHO) dan Harvard School of Public Health, yang dimulai pada tahun 1988 dengan tujuan untuk mengukur beban penyakit dan cedera dari populasi manusia dan menentukan tantangan utama kesehatan di dunia (Mathers dkk., 2001).

Disability adjusted life years (DALYs) kini digunakan secara luas dalam mengevaluasi kesehatan dari segi ekonomi (Airoldi, 2007). DALYs dikembangkan sebagai unit pengukuran untuk menguantifikasi beban dari penyakit atau cedera pada populasi manusia (Murray dan Acharya, 1996).

DALYs merupakan indikator dari beban penyakit di populasi. DALYs tidak hanya memperhitungkan kematian dini, tetapi juga cacat yang disebabkan oleh penyakit atau cedera. DALYs merupakan suatu langkah untuk mengukur dampak global dan regional dari penyakit, cedera, dan faktor risiko pada kesehatan populasi (Donev dkk., 2010).

DALYs adalah pengukuran berdasarkan waktu yang menggabungkan tahun hidup yang hilang karena kematian prematur dan tahun hidup yang hilang karena beberapa waktu dengan keadaan kesehatan yang kurang dari kesehatan yang ideal. Satu DALY dapat dianggap sebagai salah satu tahun yang hilang dari kehidupan “sehat” dan Burden of Disease (BOD) dapat dianggap sebagai ukuran kesenjangan antara status kesehatan dengan situasi yang ideal di mana setiap orang hidup sampai usia tua, bebas dari penyakit dan kecacatan (Donev dkk., 2010).

(14)

DALYs untuk penyakit atau kondisi kesehatan dihitung dengan menjumlahkan tahun hidup yang hilang karena kematian dini (YLL) di populasi dan tahun dengan kondisi sehat yang hilang karena cacat (YLD) untuk kasus insidensi kondisi kesehatan:

DALYs = YLL + YLD dimana:

DALYs = disability adjusted life years YLL = years of life lost

YLD = years lived wth disability

(Mathers dkk., 2001).

5. Years Lived with Disability (YLD)

YLD mengukur jumlah tahun yang dilalui dalam kondisi cacat/hidup tidak aktif akibat suatu penyakit, baik sementara ataupun permanen. Secara berurutan, semakin parah ketidakmampuan atau semakin lama durasi dari ketidakmampuan, maka semakin besar harga YLD (Donev dkk., 2010).

Dengan mengestimasi nilai YLD, maka nilai YLD dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat kebijakan prioritas penganggaran dana oleh pemerintah maupun institusi kesehatan untuk mengatasi suatu kejadian penyakit di populasi. Selain itu, dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperbaharui atau membuat kebijakan yang mendukung penurunan kejadian penyakit tersebut di populasi (WHO, 2001).

(15)

Untuk mengestimasi harga YLD dengan basis populasi, jumlah kasus kondisi cacat/hidup tidak aktif dikali dengan rata-rata durasi penyakit dan weight factor yang mencerminkan keparahan penyakit dari skala dari 0 (kesehatan sempurna) sampai 1 (kematian). Rumus dari YLD:

YLD = I x DW x L dimana:

I = jumlah kesakitan pada periode tertentu DW = disability weight

L = rata-rata durasi penyakit (dalam tahun)

(Donev dkk., 2010).

6. Years of Life Lost (YLL)

YLL merupakan suatu indikator yang penting untuk memperkirakan kematian dini, yaitu dengan menghitung jumlah tahun produktif suatu populasi yang hilang akibat kematian dini yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi kesehatan tertentu. Secara berurutan, semakin muda usia terjadinya kematian, maka nilai YLL akan semakin tinggi (Donev dkk., 2010). YLL dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak perilaku yang tidak sehat, seperti perilaku merokok. Selain itu, YLL efektif untuk menunjukkan kelompok usia mana yang paling rentan mengalami kematian dini dan penyakit apa saja yang memiliki nilai YLL paling tinggi (Yang dkk., 2005 ; Sung dkk., 2014).

(16)

Nilai YLL diperoleh dari jumlah kematian yang terjadi dikalikan dengan standar harapan hidup pada usia dimana kematian terjadi. Rumus dari YLL:

YLL = N x L

dimana N adalah jumlah kematian pada periode tertentu, dan L adalah sisa umur seharusnya berdasarkan standar harapan hidup (Donev dkk., 2010).

F. Landasan Teori

Terdapat literatur dan penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara penyakit kanker dengan perilaku merokok, diantaranya adalah penelitian Gandhini dkk. (2008) yang berupa meta analisis menunjukkan hasil dengan relative risk yang lebih dari 1 antara beberapa jenis penyakit kanker dan perilaku merokok. Kemudian, American Cancer Society (2014) telah merangkum dari berbagai sumber yang menyatakan bahwa konsumsi rokok meningkatkan risiko kanker paru-paru, mulut, bibir, hidung, laring, faring, esofagus, lambung, pankreas, ginjal, kandung kemih, uterus, serviks, kolon/rektum, ovarium, dan leukemia myeloid akut. Sehingga, Indonesia sebagai negara pengonsumsi rokok terbanyak keempat di dunia perlu mewaspadai penyakit kanker akibat rokok ini. Dengan adanya pengukuran beban penyakit akibat rokok di Indonesia, yaitu dengan indikator angka kesakitan dan years lived with disability (YLD) diharapkan dapat mendukung kebijakan pemerintah mengenai pengendalian rokok di Indonesia, sehingga dampak buruk dari rokok dapat berkurang.

(17)

G. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

= diteliti = tidak diteliti

Gambar 1. Skema Konsep Penelitian

smoking-attributable fraction (SAF) jumlah kesakitan kanker jumlah kesakitan kanker akibat rokok durasi penyakit kanker disability weight

Years Lived with Disability (YLD)

DALYs

Years of Life Lost (YLL) jumlah kematian kanker akibat rokok sisa umur seharusnya berdasarkan standar harapan hidup jumlah kematian kanker smoking-attributable fraction (SAF)

(18)

H. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai jumlah kesakitan penyakit kanker yang disebabkan oleh rokok dengan melakukan perhitungan SAF, dan beban penyakit kanker akibat rokok berupa indikator Years Lived with Disalibity (YLD) yang memberi gambaran mengenai tahun produktif yang hilang akibat penyakit kanker yang disebabkan oleh rokok.

Gambar

Tabel I. Kasus kanker menurut provinsi
Tabel II. Istilah angka kesakitan yang sering digunakan
Gambar 1. Skema Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Di sisi lain, ayam kampung memiliki sifat kualitatif yang seragam hanya pada warna bulu dan kerlip bulu ayam kampung jantan, sedangkan pada warna bulu ayam

Oleh karena itu, substrat yang digunakan sebagai sampel dalam mengisolasi bakteri proteolitik dapat diperoleh dari berbagai tempat yang banyak mengandung protein

Pada tanggal 22 Juni 2004, PT Bank Pan Indonesia Tbk (Bank Panin), pemegang saham, melakukan transaksi penjualan saham Perusahaan melalui PT Bursa Efek Jakarta sebanyak

Suryono, 2005, Mikrokontroler ISP MCS-5,Lab Elektronika & Instrumentasi Fisika Undip. Suryono, 2005, Workshop Elektronika Dasar, Lab Elektronika & Instrumentasi Fisika

Pada aspek sepak bola instrumen yang digunakan guru dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran pen- didikan jasmani olahraga dan kesehatan adalah tes menggiring bola

Di dalam suatu Gardu Induk pasti terdapat peralatan yang disebut pemisah atau DS (Disconnecting Switch) yang berfungsi sebagai alat yang dipergunakan untuk menyatakan visual

Koefisien dummy3 yang menunjukkan parameter negatif menunjukkan bahwa perusahaan tidak bertumbuh pada kondisi krisis memiliki nilai IOS lebih tinggi dari pada kondisi pasca