22 BAB II
METODE DAN PENDEKATAN PEMAHAMAN HADIS
A. Metode Mawdhu’i dalam Memahami dan Mengumpulkan Hadis
Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara, kiat, dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan sesuatu.1Sementara metode dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai cara yang telah teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai sesuatu yang dimaksud.2 Dalam bahasa Arab, metode disebut manhaj. Kata ini juga digunakan dalam al-Qur‟an, seperti firman Allah dalam surat al-Maidah (5): 48 dengan pengertian “jalan yang terang”
Artinya: “...untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang...”
Dalam beberapa kitab tafsir, kata syir‟ah dalam ayat di atas bermakna aturan yang tertera di dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi SAW, sedangkan minhaj
bermakna prosedur atau cara yang jelas (al-thariq al-wadhih) melaksanakan aturan-aturan tersebut. Dalam pengertian umum metode atau minhaj dapat
diartikan prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.3
1
Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam: Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), Cet. I, h. 67
2
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gita Media Press, 2007), edisi terbaru, h. 529
3
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis, (Padang: Hayfa Press, 2008), Cet. I, h. 11-12
Salah satu metode untuk memahami hadis adalah dengan menggunakan pendekatan mawdhu‟i. Metode ini sebenarnya lebih popular di kalangan ahli tafsir. Sebab para mufassir ketika ingin melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an mereka berusaha menghimpun atau mengumpulkan semua ayat-ayat yang membicarakan tentang topik atau permasalahan yang sama, kemudian memahami ayat-ayat tersebut secara tematik. Meskipun metode ini lebih popular di kalangan ahli tafsir, namun metode ini juga telah diterapkan untuk memahami hadis-hadis Nabi SAW.4
Berbeda dengan metode tafsir mawdhu‟i yang sudah punya kerangka kerja atau langkah-langkah metode yang jelas, metode mawdhu‟i dalam bidang pemahaman hadis belum demikian halnya, karena para ulama hadis sejauh ini belum merumuskan secara tegas tentang langkah-langkah metode dari pendekatan
mawdhu‟i dalam memahami hadis. Hal ini mungkin disebabkan oleh perhatian mereka di bidang hadis atau ilmu hadis selama ini masih terkonsentrasi pada tingkat pelestariannya, yang berguna untuk menjaga kredibilitas hadis, belum pada upaya pengembangan metode pemahaman hadis. Dengan demikian, metode pemahaman hadis menjadi tertinggal dibandingkan dengan metode tafsir.5
Meskipun metode mawdhu‟i belum mempunyai langkah-langkah metode yang jelas, bukan berarti pendekatan semacam ini belum pernah ada. Namun dalam buku Edi Safri yang berjudul al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, bahwa Imam al-Syafi‟i dapat dipandang sebagai ulama
4 Tafiati, Studi Tematis Hadis-hadis tentang Syi‟ir, (Jakarta: Nuansa Madani, 2003), Cet.
I, h. 41
pertama yang merumuskan metode mawdhu‟i ini, yang dalam istilah Edi Safri disebut dengan pemahaman korelatif. Sebagai salah satu alternatif penyelesaian hadis-hadis mukhtalif, maksudnya adalah hadis-hadis yang zhahir-nya saling bertentangan. Kemudian dihimpun dan dikaji dengan hadis lain yang terkait maknanya satu sama lain, agar maksud atau kandungan makna yang sebenarnya dapat dipahami dengan baik. Sehingga pertentangan yang tampak dapat ditemukan pengompromiannya.
Beranjak dari hal yang demikian, maka yang dimaksud dengan metode
mawdhu‟i dalam memahami hadis adalah upaya dalam memahami hadis-hadis Rasulullah SAW, di mana hadis-hadis terkait dalam satu tema atau menyangkut suatu masalah tertentu dikaji dan dipahami dengan memperhatikan keterkaitan makna antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga akan didapati pemahaman yang komprehensif.6
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa metode mawdhu‟i ini adalah metode dalam memahami hadis Rasulullah SAW dengan mengemukan tema hadis, sehingga dalam memahami hadis lebih mudah. Karena dalam memahami hadis mengungkapkan satu permasalahan yang sama dalam satu tema.
Sesuai dengan nama metodenya mawdhu‟i (tematis), maka yang menjadi ciri-ciri utama dari metode ini, yaitu menonjolkan tema, judul, atau topik pembahasan, sehingga tidak salah kalau metode ini juga disebut dengan metode
topical. Kemudian tema-tema yang telah dipilih itu dikaji dengan rinci dan tuntas
6
Edi Safri, al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: Hayfa Press, 2013), Cet. I, h. 113
serta menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat.7
Dilihat dari ciri utama dari metode ini, maka metode ini lebih menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, maka akan lebih mudah untuk memahami hadis Rasulullah SAW.
Pemahaman hadis dengan menggunakan metode mawdhu‟i (tematis) korelatif ini merupakan sepadan dengan istilah tafsir mawdhu‟i dalam kajian tafsir. Maksud dari pemahaman dengan menggunakan metode tematis-korelatif adalah metode pemahaman terhadap hadis-hadis Rasulullah SAW, di mana hadis-hadis yang terkait dalam satu tema atau berkaitan dengan suatu masalah tertentu dikaji dan dipahami dengan memperhatikan keterkaitan makna antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dengan demikian akan didapati pemahaman yang komprehensif.8
Pendekatan tematis (mawdhu‟i) dalam memahami hadis diperlukan usaha untuk mencari hadis-hadis lain yang terkait. Teknik ini tidaklah sulit untuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadis telah memiliki sistematika yang baik yakni hadis-hadis Nabi SAW telah disusun sesuai dengan per-bab, sehingga sangat mudah menemui hadis-hadis yang mempunyai keterkaitan. Sehingga peluang
7 Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997), h. 152.
untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap penjelasan Nabi SAW tentang suatu persoalan akan semangkin tinggi.9
Adanya pendekatan tematis (mawdhu‟i) dalam memahami hadis Nabi SAW didasarkan atas pandangan penjelasan Nabi SAW dalam berbagai kesempatan, bahkan dalam bentuk persoalan yang sama. Bisa jadi redaksi Hadis yang satu saling melengkapi dengan hadis yang lain. Di sisi lain, tingkat kemampuan sahabat berbeda-beda untuk merekam apa yang disampaikan dan apa yang dilakukan oleh Nabi SAW. Ada sebagian sahabat yang merekam bagian yang penting saja, sementara sahabat yang lain merekam lengkap dengan asbab al-wurud-nya.10
Sementara dalam buku Tafiati yang berjudul Studi Tematis Hadis-hadis tentang Syi‟ir, dikatakan ada salah seorang ulama kontemporer yakni Yusuf al-Qardhawi, merumuskan tentang langkah-langkah metodologis dari metode
mawdhu‟i ini, sebagai berikut:
a. Menghimpun hadis-hadis yang membicarakan satu tema atau permasalahan tertentu.
b. Memahami makna filosofis dari masing-masing hadis.
c. Memahami hadis secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan tematik-korelatif.11 9 Maizuddin, op.cit, h. 113 10 Ibid, h. 113 11 Tafiati, op.cit, h. 44-45
Dari langkah-langkah yang telah diberikan oleh Yusuf al-Qardawi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode mawdhu‟i ini selain menonjolkan tema, dapat juga menggunakan makna filosofis dari masing-masing hadis tersebut.
Metode mawdhu‟i ini, memiliki kelebihan dan kekurangan, di antara kelebihannya, yaitu:
a. Menjawab tantangan zaman
Permasalahan yang ada di dalam dunia ini selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern dan semakin majunya kehidupan manusia, maka permasalahan yang muncul akan semakin banyak pula serta semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas pula. Hal itu dimungkinkan karena apa yang terjadi pada suatu tempat, pada suatu yang bersamaan, maka dapat pula disaksikan oleh orang lain di tempat yang lainnya pula, bahkan peristiwa yang terjadi di ruang angkasa pun dapat dipantau dari bumi. Kondisi seperti inilah yang membuat suatu masalah segera merembak ke seluruh masyarakat dalam waktu yang singkat.
b. Praktis dan sistematis c. Dinamis
d. Membuat pemahaman menjadi utuh12 (jami‟ dan kulliy)13 e. Mendapatkan pemahaman yang luas dan komprehensif.14
12 Nasruddin Baidan, op. cit., h. 165-167
13 Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis (Rekonstruksi Fiqh al-Hadits),
(Banda Aceh: Citra Karya, 2002), h. 193
Selain dari kelebihan dalam menggunakan metode mawdhu‟i ini, maka dalam menggunakan metode ini juga terdapat kekurangannya, di antaranya:
a. Memenggal hadis-hadis Rasulullah SAW dalam artian mengambil satu kasus yang terdapat dalam satu hadis yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
b. Membatasi pemahaman hadis15
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode mawdhu‟i (tematis) lebih dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan manusia di atas dunia ini. Metode ini menjadi semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam. Di samping kekurangan yang dimiliki di atas, metode mawdhu‟i (tematis) sangat dibutuhkan oleh manusia dalam menjawab dan menghindari dari terjadinya pemahaman yang terkotak-kotak sebagai akibat tidak bisa memahami hadis secara menyeluruh. Sehingga bila hal ini dibiarkan, maka akan menimbulkan akibat yang fatal karena akan bermuara pada munculnya kontradiktif antara satu hadis dengan hadis yang lain bahkan terkadang dengan al-Qur‟an.
Dari sekian banyak metode dalam memahami hadis, maka metode
mawdhu‟i (tematis) inilah yang penulis akan gunakan dalam penulisan skripsi ini. Sebagaimana langkah-langkahnya dalam penulisan ini, yaitu:
a). Dengan mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan pembahasan skripsi ini.
15
b). Menganalisis hadis-hadis yang membahas tentang batal dan tidaknya
wudhu‟ kaena memakan makanan yang dimasak dengan api serta mengaitkan antara hadis yang satu dengan yang lain.
B. Pendekatan Pemahaman Hadis
Pendekatan merupakan kata terjemahan dari bahasa Inggris approach,16 maksud dari pendekatan tersebut yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang bertujuan untuk mengetahui sebuah kajian dan langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam mengkaji atau meneliti. Dalam hal ini metode dan pendekatan saling terkait satu sama lain. Sebab di dalam pendekatan terdapat metode atau cara, dan metode yang dilakukan harus sesuai dengan pendekatan yang dipilih.17
Kaitannya dengan pemahaman hadis adalah karena hadis itu diturunkan sesuai dengan kondisi bangsa Arab yang dihadapi Nabi SAW, baik itu disebabkan oleh pertanyaan dari seorang sahabat atau ada kasus yang terjadi di tengah masyarakat, dan ada juga bahasa yang digunakan Nabi SAW, yang mengandung bahasa hakikat atau kiasan. Maka untuk mengetahui bagaimana cara memahami hadis-hadis Nabi SAW dengan baik dan benar serta sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Nabi SAW, dibutuhkan pengetahuan tentang pendekatan pemahaman hadis. Berikut ini dua pendekatan dalam memahami teks hadis yakni:
16 Desi Anwar, Kamus Lengkap 100 Milliard (Inggris-Indonesia – Indonesia-Inggris),
(Surabaya: Amelia), h. 19
1. Pemahaman Hadis secara Tekstual
Untuk mengetahui pengertian dan pemahaman hadis secara tekstual, maka dapat dilihat dari akar katanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan dengan tekstual berasal dari kata teks yang berarti bahan tulisan berupa dasar materi pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa, atau naskah berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal pelajaran.18
Berdasarkan asal kata secara tekstual di atas dapat dirumuskan, bahwa yang dimaksud dengan pemahaman tekstual adalah memahami makna hadis secara lahiriah atau makna zhahir-nya.19
Pendekatan tekstual adalah pendekatan yang paling awal digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi SAW. Sebab memahami sebuah teks adalah terlebih dahulu dengan mencoba menangkap makna asalnya, yakni makna yang populer dan mudah ditangkap. Bila tidak bisa dipahami dengan menggunakan pendekatan ini, maka digunakan pendekatan yang lainnya.
Kata teks bermakna kata-kata asli dari pengarang atau sesuatu yang tertulis untuk dasar memberikan pelajaran dan berpidato. Kata tekstual adalah kata sifat dari kata teks, yang makna nya bersifat teks atau bertumpu pada teks. Dari sini secara istilah pendekatan tekstual berkaitan dengan pemahaman hadis adalah
18 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gita Media Press, 2007),
edisi terbaru, h. 746.
19
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah: 2014), Cet. I, h. 146
memahami makna dan maksud yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi SAW dengan cara bertumpu pada analisis teks hadis.20
Dari penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan, bahwa pemahaman hadis secara tekstual yaitu memahami hadis-hadis Nabi SAW berdasarkan makna
zhahir-nya, atau mengungkapkan makna asli dari suatu lafaz hadis dengan cara bertumpu pada analisis teks suatu hadis.
Mengenai pendekatan pemahaman hadis tekstual, M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Pemahaman Hadis Nabi SAW secara Tekstual dan Kontekstual
menyatakan: pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan setelah dihubungkan dari segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya tetap menurut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan.21
Sebagai pendekatan pemahaman hadis yang bertumpu pada teks hadis, maka dibutuhkan ilmu bahasa dan ushul fiqh sebagai alat yang paling utama dalam menganalisisnya. Para ulama terutama imam al-Syafi‟i dianggap paling berjasa dalam merumuskan metodologi memahami dalil-dalil syara‟ dengan menggunakan pendekatan tekstual. Maka dengan menggunakan pendekatan tekstual dapat dilihat dalam tiga pendekatan, yaitu
20 Maizuddin, op.cit, h. 86-87 21
Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi SAW secara Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6.
a. Analisis Kebahasaan
Berkaitan dengan pendekatan kebahasaan, pemaknaan merupakan bagian yang paling penting, baik dari segi kata maupun kata dalam kaitannya dengan partikel atau kata lainnya. Sebagai sebuah bahasa agama, terutama dalam menjelaskan hal-hal yang bersifat metafisis seperti tentang Allah SWT, surga, neraka, dan lain sebagainya, maka bahasa yang dipakai agar dapat dipahami oleh pendengar atau pembaca dengan mudah, tentu bahasa yang berada dalam jangkauan wilayah pengamalan empiris dan indrawi.22
Adapun pemaknaan dengan menggunakan kaedah bahasa ini sangat erat kaitannya dengan mufrad (satu atau tunggal), jamak (kata yang menunjukkan arti banyak), tankir (indefinitif) dan ta‟rif (defenitif), adat hashr, adat, syart dan lain-lain.
b. Analisis Kaidah Ushul
Maksud pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul adalah memahami Hadis-hadis Nabi SAW dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah ushul yang telah dirumuskan ulama.23 Adapun di antara sisi yang dianalisis kaedah ushul dari pendekatan tekstual yang dijelaskan dalam karya-karya ushul fiqh, yaitu:
1) Persoalan perintah (amr), larangan (nahy), dan tahyir. 2) Persoalan lafal umum („am) dan khusus (khas). 3) Lafal bebas (muthlak) dan terkait (muqayyad).
22
Maizuddin, op.cit, h. 87-88 23
4) Lafal yang diucapkan (manthuq) dan lafal yang dipahami (mafhum). 5) Kejelasan dan tidak kejelasan maknanya meliputi muhkam, mufassar,
nash, zhahir, khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.24
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa pemahaman hadis dengan pendekatan tekstual ini merupakan pemahaman dengan memperhatikan makna zahir tersebut sesuai dengan apa yang ditulis dalam teks hadis yang bersangkutan.
2. Pemahaman Hadis secara Kontekstual
Upaya memahami hadis-hadis Nabi SAW secara kontekstual muncul ketika adanya pemahaman kondisi dan situasi sosial masyarakat yang selalu berubah. Dimana situasi yang terjadi berbeda dengan situasi dan kondisi pada dewasa ini, sementara keberadaan hadis selalu relevan di sepanjang zaman. Untuk itu usaha dalam memahami hadis Nabi Muhammad SAW harus diinterpretasikan dengan benar, sehingga otoritas hadis tetap eksis meskipun adanya perubahan zaman.
Kata kontekstual berasal dari kata konteks yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti, yaitu: pertama, bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, kedua situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.25
24Maizuddin, op.cit, h. 90-94
Pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan kontekstual dalam tulisan ini adalah memahami hadis-hadis Rasulullah SAW dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut atau dengan perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.26
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan, bahwa yang dimaksud dengan pemahaman hadis secara kontekstual yaitu memahami hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengkaji dan meneliti keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menyebabkan munculnya hadis-hadis tersebut.
Sementara ada dua cara yang dapat digunakan dalam memahami hadis dengan menggunakan pendekatan secara kontekstual, yaitu:
a. Analisis terhadap kata-kata yang terdapat di dalam teks
Maksudnya ialah dengan menganalisa dan memahami kata demi kata dalam matan hadis tersebut akan membantu mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan terang.
b. Situasi yang ada hubungan dengan kejadian
Memahami hadis-hadis Rasulullah SAW yang muncul pada 14 abad yang silam tidak bisa dicukupkan hanya dengan memahami teks atau redaksi hadis dari sudut bahasa saja. Akan tetapi lebih jauh harus disertai dengan kajian tentang keterkaitannya dengan situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut
(asbab al-wurud) secara khusus atau dengan memperhatikan konteksnya secara umum.
Mengkaji asbab al-wurud dalam memahami hadis sangat membantu untuk memperoleh makna yang lebih representatif. Sehingga kesalah pahaman terhadap hadis Rasulullah SAW dapat dihindarkan. Sekaligus dapat dijadikan pisau analisis untuk menentukan apakah hadis tersebut bersifat „am atau khash, muthlaq atau
muqayyad, nasikh atau mansukh dan lain-lain.27
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini adalah memahami hadis-hadis Rasulullah SAW dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, dengan memperhatikan asbab al-wurud hadis tersebut.
Adapun persoalan yang sangat perlu diperhatikan di sini, seperti yang diperingatkan oleh Imam al-Syafi‟i, yaitu:28
Pertama, adakalanya Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal lalu Nabi SAW memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang dilontarkan tersebut. Namun, dalam periwayatan adakalanya perawi tidak menyampaikan riwayat yang bertanya tersebut secara sempurna. Atau hadis tersebut diriwayatkan oleh orang lain yang hanya mendengar atau mengetahui jawaban Rasulullah SAW tanpa mengetahui masalah atau pertanyaan yang menyebabkan munculnya jawaban yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
27 Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Histori-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 9.
28Zulheldi, Memahami Hadis-hadis yang Bertentangan, (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), Cet. I, h. 37-38
Kedua, adakalanya Rasulullah SAW menetapkan suatu ketentuan mengenai suatu masalah atau peristiwa. Kemudian, pada kesempatan yang lain, berkaitan dengan masalah yang sama, Rasulullah SAW juga menetapkan suatu ketentuan yang tampak berbeda, bahkan bertentangan.
Kedua ketetapan ini sebenarnya disampaikan Rasulullah SAW dalam situasi yang berbeda, namun sebagian orang tidak mengetahui perbedaan situasi yang seperti ini sehingga menilainya sebagai sesuatu yang benar-benar bertentangan.29
Pendekatan kontekstual, sejak awal telah dipraktekkan oleh sebagian sahabat-sahabat Nabi SAW, bahkan ketika Nabi SAW masih hidup, Umar bin Khattab yang dianggap sebagai orang yang paling terdepan dalam memahami hadis-hadis Nabi SAW dengan menggunakan pendekatan kontekstual.30
Dalam pendekatan kontekstual ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya:
1) Konteks redaksional
Maksudnya adalah memahami sebuah kata yang diucapkan apabila dipahami terpisah memiliki makna dasar dan kontekstualnya sendiri. Namun, kata yang sama dapat mengandung makna yang lain di samping makna kata dasarnya,
29
Ibid.
terutama ketika kata tersebut telah menjadi istilah kunci atau diletakkan pada redaksi tertentu.31
2) Konteks Historis, Sosiologis dan Antropologis
Maksudnya ialah memahami hadis-hadis Nabi SAW sesuai dengan situasi sosial dan kondisi geografis terkait dengan pembicaraan seseorang, maka dalam memahami hadis Nabi SAW harus mempertimbangkan aspek-aspek tersebut yang akan memberikan pemahaman yang lebih luas terhadap hadis-hadis Nabi SAW,32 misalnya hadis tentang keharusan pemimpin berasal dari kaum Quraisy, sebagai berikut:
33
Artinya: Abu al-Walid menceritakan kepada kami „Ashim bin Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata aku mendengar bapakku dari Umar ra, dari Nabi SAW ia bersabda: dalam urusan (agama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu menjadi pimpinannya selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja. ( H.R. al-Bukhari)
Dengan cara menggunakan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis semacam ini, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Dalam memahami suatu hadis tidak hanya terpaku pada
31Ibid. 32Ibid, h. 105 33
Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughairah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ja‟fari, Shahih al-Bukhari, kitab Manaqib, bab Manaqib Quraisy, h. 643
zahirnya teks hadis saja, melainkan harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW sebagai mitra al-Qur‟an, secara teologis juga diharapkan dapat memberi inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul pada masa kontemporer sekarang, sebab bagaimanapun sepertinya orang sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktalisasi ajaran Islam harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur‟an dan hadis.34
Maka berkaitan dengan pendekatan ini, hal yang harus diperlukan dalam mengkaji hadis tersebut yaitu mengkaji secara mendalam tentang sirah Nabawiyah, sebab pemahaman yang seperti ini akan memberikan perspektif yang lebih luas tentang ruang, dan waktu munculnya sebuah hadis tersebut.35
Jadi, dengan menggunakan pendekatan seperti ini menurut penulis, seseorang harus mengkaji secara mendalam tentang bagaimana keadaan dan situasi Nabi SAW pada saat itu, sehingga dengan seperti itu, akan memberikan pemahaman yang lebih dekat dengan apa yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW.
3) Analisis Posisi Nabi SAW
Maksudnya adalah ketika Nabi SAW menyampaikan hadis adakalanya sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah, panglima perang, suami, sahabat juga
34Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, op. cit, h. 25-26
sebagai manusia biasa. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi tersebut.36
4) Kontekstualisasi Makna
Kontekstualisasi makna adalah memahami pesan-pesan Rasulullah SAW dalam kaitannya dengan ruang, waktu dan kondisi.
Berkaiatan dengan kontekstualisasi makna ini, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a) Menangkap tujuan (hadaf) pesan yang disampaikan oleh Nabi SAW. Di dalam pesan-pesan yang disampaikan oleh Nabi SAW terutama dalam bentuk perintah terdapat tujuan dan media (wasilah) untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti perintah Nabi SAW untuk melaksanakan puasa Ramadhan melalui ru‟yah (melihat hilal), maka tujuannya adalah melaksanakan puasa Ramadhan sesuai dengan waktunya.
b) Dalam kontekstualisasi, sebab yang menjadi dasar dan pertimbangan Nabi SAW dalam sabdanya „illat harus menjadi bagian yang paling penting untuk diperhatikan. Bila „illat tersebut eksis dalam ruang dan waktu kekinian, maka pesan Nabi SAW tersebut tetap bermakna.37
Untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks tersebut dengan tepat, maka tidak perlu lagi upaya penghimpunan sebanyak mungkin hadis yang berada dalam satu pembicaraan. Tujuannya untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat
36
Ibid, 109-110.
dari konteks-konteks hadis itu, karena hadis-hadis pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain, bahkan seperti al-Qur‟an “yufassiru ba‟dhuha ba‟dhan artinya menjadi penafsir terhadap yang lainnya.38
Dengan demikian, dapat penulis simpulkan, bahwa dalam memahami hadis-hadis Rasulullah SAW dengan memperhatikan konteksnya tidak saja dapat mengantarkan kepada pemahaman yang benar atau makna yang sesungguhnya dikehendaki oleh Rasulullah SAW terhadap makna yang terkandung di dalam hadis itu, melainkan juga mengantarkan kepada pengompromian atau menyelesaian dengan hadis lain yang secara zhahir tampak bertentangan.
C. Pemahaman Hadis Mukhtalif
Dilihat dari sisi subjek wahyu (Allah SWT), tidak mungkin hadis Nabi SAW bertentangan dengan hadis-hadis yang lain atau dengan al-Qur‟an sekalipun, tetapi kenyataannya memang terdapat beberapa hadis Nabi SAW yang tampak bertentangan atau tidak sejalan dengan hadis lain atau dengan al-Qur‟an.
Bila hal itu terjadi, pasti ada hal-hal yang melatarbelakanginya, oleh karenanya peneliti dituntut untuk bisa menyelesaikannya hadis-hadis tersebut dengan menggunakan pendekatan dan metode yang tepat.39
Adanya hadis-hadis yang tampak bertentangan dengan hadis lain disebut dengan hadis-hadis mukhtalif , ilmu yang mengkajinya disebut ilmu mukhtalif
al-hadis atau ilmu musykil al-hadis.
38Ibid, hal, 112 39
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 142
Ilmu mukhtalifal-hadis adalah
40
Artinya: ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampak saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengompromikannya, disamping membahas hadis-hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakekatnya.
Dari defenisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu mukhtalif
al-hadis merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode yang telah disepakati oleh para ulama hadis guna menemukan pengompromiannya atau jalan keluarnya.
Dari defenisi hadis mukhtalif di atas ada tiga hal yang terkait dengan hadis mukhtalif yaitu:
1. Hadis-hadis yang tampak bertentangan ini haruslah hadis-hadis yang berkategori maqbul dan bisa dijadikan hujjah
2. Pertentangannya itu hanya dari segi lahiriahnya saja, sedangkan makna sebenarnya tidaklah bertentangan.
3. Ada kemungkinan makna lahiriahnya itu untuk dikompromikan atau dinasakh dan ditarjih
hadis-hadis maqbul adalah hadis yang mencapai derjat shahih dan yang dicarikan pemahamannya. Sedangkan hadis yang berkualitas di bawah itu yakni
40
M. „Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis „Ulumuh wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Fikri, 1989), h. 283
hadis dhaif , jumhur tidak membolehkan pengompromian atau penyelesaiannya jika bertentangan, karena jelas akan menyebabkan kesalahan umat dalam pengamalan hadis.
Dari penjelasan di atas, maka terdapat beberapa cara atau metode yang digunakan oleh ulama hadis dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan (hadis-hadis mukhtalif).
1. Penyelesaian dalam bentuk kompromi (al-jam‟u wa al-tawfiq)
Yang dimaksud dengan penyelesaian dalam bentuk kompromi ini adalah penyelesaian dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing hadis sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh yang satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Atau dengan kata lain dengan mencari pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis yang tampak saling bertentangan tersebut, yang menunjukkan kesejalanan atau kesalingketerkaitan makna yang dikandungnya sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntunannya.41
Pengompromian hadis yang dimaksud untuk menemukan kandungan makna di antara hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut, sehingga makna yang terkandung di dalam hadis dapat diamalkan. Seprerti hadis larangan dan kebolehan buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat sebagai berikut:
42
Artinya:, Telah menceritakan kepada kami „Ali ibn Abdullah berkata: telah
menceritakan kepada kami Sufyan berkata: telah menceritakan kepada kami al-Zuhri dari „Atha‟ ibn Yazid al-Laitsi dari Abi Ayyub al-Anshariy bahwa Nabi SAW bersabda: apabila kamu sekalian membuang hajat, janganlah menghadap ke kiblat atau membelakanginya, baik buang air kecil ataupun buang air besar
(H.R. al-Bukhari)
Hadis ini menyatakan bahwa posisi buang hajat tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat.
Dalam hadis lain terdapat riwayat:
43
Artinya: Abdullah ibn Umar berkata: pada suatu hari, sungguh saya telah naik ke atap rumah kami (tempat tinggal Hafsah, isteri Nabi SAW), maka saya melihat Nabi SAW di ats dua batang kayu (tempat jongkok buang hajat) buang hajat mengahadap ke arah Bait al-Maqdis. (H.R. al-Bukhari)
Riwayat Abdullah ibn Umar ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah buang hajat dengan posisi menghadap ke kiblat.
Secara tekstual atau lahiriah kedua hadis di atas tampak bertentangan, Hadis Abu Ayyub menyatakan bahwa Nabi SAW melarang buang hajat dengan posisi
42 Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughairah bin
Bardizbah al-Bukhari al-Ja‟fari, op. cit., h. 46
menghadap ke arah kiblat atau membelakanginya, sedangkan pada hadis riwayat Abdullah ibn Umar menyatakan bahwa ia pernah melihat Nabi SAW buang hajat menghadap ke arah Bait al-Maqdis yakni menghadap kiblat.
Menurut penelitian ulama hadis, kedua hadis di atas tidaklah bertentangan, mereka menempuh penyelesaian hadis tersebut dengan menggunakan metode al-Jam‟u (kompromi), dengan meyatakan bahwa larangan Nabi SAW tersebut berlaku bagi yang buang hajat di lapangan terbuka, sedangkan bagi yang buang hajat di tempat-tempat tertutup seperti WC, larangan tersebut tidak berlaku, walaupun WC menghadap atau membelakangi kiblat.
2. Peneyelesaian dalam bentuk Nasakh
Secara bahasa nasakh berarti (membatalkan dan
menghilangkan), sedangkan secara istilah nasakh adalah:
44
Artinya: Mengangkat hukum syariat dengan dalil yang datang kemudian.
Maksudnya adalah bahwa ada pembatalan hukum syariat (Allah dan Rasul-Nya) dikarenakan adanya dalil baru yang datang kemudian. Hubungan dengan nasakh dalam penyelesaian terhadap hadis-hadis mukhtalif adalah pembatalan hadis Nabi SAW menyangkut suatu ajaran dengan hadis yang datang
kemudian. Pendekatan nasakh ini bisa dilakukan bila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Nasakh dan mansukh haruslah hukum syar‟i
2. Nasakh harus datang kemudian dari pada mansukh
3. Hukum yang di-nasakh-kan (mansukh) haruslah hukum yang sebelumnya berlaku tanpa batas waktu. Dengan demikian, makaa hukum yang tidak diberlakukan lagi karena telah habis batas waktu berlakunya, meskipun kemudiandiganti dengan hukum lain, tetapi tidaklah disebut nasakh.
4. Dalil syar‟i yang berfungsi sebagai nasakh haruslah mempunyai kualitas yang sama, atau lebih kuat dari pada dalil hukum yang di-nasakh-kan 5. Nasakh dan mansukh haruslah mengandung tuntutan hukum yang berbeda 6. Nasakh haruslah pada selain hukum (ajaran-ajaran) dasar yang diyakini
tidak berubah sepanjang zaman, seperti wajib berbuat baik terhadap orang tua, wajib menegakkan keadilan dan sebagainya.45 Seperti contoh hadis berikut:
46
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Harun bin Sa'id al-Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Amru bin al-Harits dari Ibnu Syihab telah menceritakan kepadanya bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman telah meriwayatkan kepadanya dari Abu Sa'id al-Khudri dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
45
Edi Safri, op.cit., h. 131-132
46
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusairiy al-Naisaburiy, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), h. 290
Bahwa beliau bersabda: sesungguhnya air (yakni mandi janabah menjadi wajib karena) dar air (yakni keluarnya sperma tatkala bersenggama) (H.R. Muslim)
Hadis ini menjelaskan bahwa mandi janabah menjadi wajib apabila keluar mani ketika bersenggama. Kemudian pada hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
47
Artinya: Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Abu Ghassan al-Misma'i --lewat jalur periwayatan lain-- dan telah menceritakannya kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muadz bin Hisyam dia berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari Qatadah dan Mathar dari al-Hasan dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila seorang lelaki duduk di antara empat cabang milik perempuan (maksudnya kedua paha dan kedua tangan), kemudian menekannya maka sungguh dia wajib mandi." Dan dalam hadits Mathar, "Walaupun dia belum keluar mani." Zuhair berkata, "Duduk di antara mereka dan empat cabang wanita." Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Amr bin 'Abbad bin Jabalah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi 'Adi --lewat jalur periwayatan lain-- dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepadaku Wahb bin Jarir keduanya meriwayatkan dari Syu'bah dari Qatadah dengan isnad ini hadits semisalnya, hanya saja dalam hadits Syu'bah "Kemudian melakukan adegan yang serius", dan tidak mengatakan "Walaupun tidak keluar air mani." (H.R. Muslim)
47 Al-Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughairah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ja‟fari, op. cit., h. 69
Dalam riwayat Abu Hurairah ini dapat dipahami bahwa mandi janabah diwajibkan karena bersenggama sekalipun tidak mengeluarkan mani.
Imam al-Nawawi berdasarkan hadis di atas juga berpendapat bahwa wajibnya mandi ketika selesai bersenggama sekalipun tidak mengeluarkan mani.48
Hadis riwayat Sa‟id al-Khudri di atas menyatakan bahwa mandi janabah wajib apabila mengeluarkan sperma, bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyatakan bahwa mandi janabah wajib apabila selesai bersenggama sekalipun tidak mengeluarkan sperma. Secara lahiriah kedau hadis di atas bertentangan, tapi kalau dilihat asbab al-Wurud
masing-masing hadis, maka akan ditemukan penyelesaian bahwa hadis riwayat Sa‟id al-Khudri di atas disampaikan Nabi SAW sebelum turun ayat 43 surat al-Nisa‟ yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
48
Ibn Hajar al-Asqalaniy, Fathul Baari Syarah: Shahih al-Bukhari, penerjemah Amiruddin, ( Jakarta: Putaka Azzam, 2005), h. 480
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Sedangkan hadis riwayat Abu Hurairah disampaikan oleh Rasulullah SAW setelah ayat diterima oleh beliau.
Dengan demikian, metode yang ditempuh dalam penyelesaian hadis ini adalah metode bentuk nasakh, dengan pernyataan bahwa riwayat Sa‟id al-Khudri
bersatatus sebagai mansukh (yang dihapus) oleh riwayat Abu Hurairah yang berstatus sebagai nasakh (penghapus).
Dengan dihapusnya hadis riwayat Sa‟id al-Khudri di atas menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut tidaklah bertentangan.
3. Penyelesaian dalam bentuk tarjih
Apabila jalan kompromi dan nasakh belum menyelesaikan hadis-hadis yang secara lahiriah terlihat tampak bertentangan tersebut, maka ditempuh jalan atau metode yang ketiga. Yaitu dengan solusi tarjih. Maksudnya dengan memperbandingkan hadis-hadis yang tampak bertentangan dengan mengkaji lebih dalam, baik dari segi sanad maupun matan serta mana ajaran yang lebih mendekati kepada ajaran al-Quran.49 Seperti pada contoh hadis berkut:
50
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa'nabi dari Malik dari Abdullah bin Abdurrahman bin Ma'mar Al Anshari dari Abu Yunus mantan budak Aisyah, dari Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sementara beliau berdiri di depan pintu; wahai Rasulullah sesungguhnya saya pada suatu pagi dalam keadaan junub dan saya ingin berpuasa. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dan aku pernah pada suatu pagi dalam keadaan junub dan ingin berpuasa, lalu aku mandi dan berpuasa."(H.R. Muslim) Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW terus melaksanakan puasa walaupun beliau dalam keadaan junub sampai pagi dengan terlebih dahulu melaksanakan mandi wajib. Sedangkan pada hadis lain Rasulullah SAW mengatakan bahwa siapa yang junub sampai pagi hari, maka batallah puasanya, sebagaimana sabda beliau yang berbunyi:
Secara tekstual kedua hadis di atas bertentangan, dimana hadis riwayat Aisyah menyatakan bahwa tidak batal puasa karena junub sampai pagi seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi hadis riwayat Abu Hurairah mengatakan bahwa batal puasa karena junub sampai pagi.
Imam al-Syafi‟i dalam menyelesaikan hadis di atas, beliau menggunakan metode tarjih, seperti yang dikutip oleh Edi Safri dalam bukunya yang berjudul
50 Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusairiy al-Naisaburiy, op. cit., h.
93
51 Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Maktabah al-Ilmiyyah, t.th), h. 494-495
al-Imam al-Syafi‟i: Metode Penyelesaian hadis-hadis Mukhtalif, beliau mengatakan bahwa dari segi sumber, hadis Aisyah lebih tinggi nilai kompetensinya dibandingkan dengan hadis riwayat Abu Hurairah karena Aisyah adalah isteri Nabi SAW, kemudian dari segi periwayat, hadis Aisyah mempunyai periwayat lebih banyak dibandingkan dengan hadis riwayat Abu Hurairah yaitu Aisyah dan Ummu Salamah, dan dari segi kandungan makna, hadis Aisyah mengandung makna lebih rasional, karena urusan junub adalah urusan rumah tangga Nabi SAW dengan isteri beliau Aisyah.52
Dari ketiga alasan tersebut dapat dijelaskan, bahwa hadis riwayat Aisyah lebih kuat untuk diperpegangi dan diamalkan serta dijadikan hujjah.
Uapaya pentarjihan hadis dimaksud adalah mencari yang terkuat untuk diperpegangi di antara hadis-hadis yang juga berstatus sama-sama kuat jika pertentangan, baik dari segi sanad maupun matan hadis (figh al-hadis)
Memahami hadis-hadis Nabi SAW tanpa mengkaji maksud dan tujuan mengapa hadis tersebut disampaikan, dapat membawa kepada kesalahan dalam pengamalan hadis, kesalahan dalam pengamalan hadis dapat membawa kepada kesalahan dalam menjalankan ajaran-ajaran syariat.
Oleh karenanya metode-metode serta pendekatan dalam memahami hadis perlu dijelaskan kepada umat, dengan tujuan agar umat tidak salah dalam memahami ajaran-ajaran syariat tersebut.