REFERAT
ABORTUS HABITUALIS
Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Mengikuti Kepaniteraan klinik Senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.RM.Djoelham Binjai
Disusun Oleh
Indri Puspitasari 10310190
Pembimbing :
Dr. Arusta Tarigan, Sp.OG
KKS BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD DR.RM DJOELHAM BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2015
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karenaatas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus yang berjudul “Abortus Habitualis”
Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior dibagian Obstetri dan Ginekologi yang dilaksanakan di RSUD DR. RM. DJOELHAM BINJAI.
Pada kesempatan ini penuli smengucapkan terimakasih kepada dr. Arusta Tarigan, Sp.OG , yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan bimbingan agar laporan kasus ini lebih akurat dan bermanfaat.
Tentunya penulis menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar kedepannya penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan tersebut.
Besar harapan penulis agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan keilmuannya.
Binjai, April 2015
Penulis
Halaman Halaman judul ... i Kata Pengantar ... ii Daftar Isi ... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1Abortus... 2 2.2 Klasifikasi... 2 2.2.1 Abortus Spontan... 2 2.2.2 Abortus Provokatus... 4 2.3 Abortus Habitualis ... 5 2.3.1 Definisi... 5 2.3.2 Insidens... 5 2.3.3 Etiologi... 6
2.3.2 Patofisiologi... 10 2.3.5 Gejala Klinis... 11 2.3.6 Diagnosa ... 11 2.3.6 Penatalaksanaan... 12 2.3.8 Komplikasi ... 13 2.3.9 Prognosis... 14
BAB III KESIMPULAN... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini abortus masih merupakan masalah kontroversi di masyarakat indonesia. Namun terlepas dari kontroversi tersebut, abortus merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya abortus juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi
abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di dalam masyarakat.1
Prevalensi dari abortus habitualis diperkirakan terjadi pada 1-3% kehamilan. Faktor umur dan keberhasilan kehamilan sebelumnya merupakan faktor
independen yang dapat mempengaruhi terjadinya abortus habitualis, dimana angka kejadian abortus akan meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Untuk ibu muda yang belum pernah mengalami abortus maka kemungkinan resiko abortus hanya 5%. Resikonya meningkat sekitar 30% pada wanita yang pernah mengalami abortus 3 kali atau lebih dengan anak yang hidup sebelumnya, dan meningkat sampai 50% jika sebelumnya belum memiliki anak yang lahir hidup.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Abortus
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin kurang dari 500 gram.2
2 Klasifikasi1,2
2.2.1 Abortus spontan1,2
Abortus yang terjadi yang tidak dlalui oleh factor mekanis maupun faktor medisinalis semata-mata disebabkan oleh factor alamiah. Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed abortion, abortus habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.
Abortus imminens
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif.
Abortus insipiens
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah.
Abortus inkompletus
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.
Abortus kompletus
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah
dilahirkan dengan lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
Missed abortion
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus
imminens yang kemudian menghilang secara spontan atau setelah pengobatan.
Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae agak mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan menjadi negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 20 minggu.
Abortus infeksiosus dan aborrtus septik
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau
peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
2.2.2 Abortus provokatus1,2
Abortus provokatus adalah tindakan abortus yang sengaja dilakukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 20 minggu atau berat janin 500 gram, baik dengan memakai alat-alat atau menggunakan obat-obatan, abortus ini terbagi atas :
Abortus terapeutik (medisinalis)
Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
Unsafe Abortion
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan jiwa pasien.
3 Abortus Habitualis 2.3.1 Definisi
Abortus habitualis didefinisikan sebagai abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih secara berturut-turut (Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PerkumpulanObstetri dan Ginekologi Indonesia, 2004).3
2.3.2 Insiden
Bishop melaporkan frekuensi 0,14 % abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73 % dan 83,6 %.
Sebaliknya, Waston dan Fraser dan Llewellyn-Jones memberi prognosis yang lebih baik yaitu 25,9 % dan 39 %.4
2.3.3 Etiologi
Resiko berulangnya abortus setelah abortus 1 adalah 20 %, resiko setelah abortus 2 adalah 25 %, dan resiko setelah abortus 3 adalah 30 %.
Menurut Ford dan Schust (2009), menjelaskan bahwa penyebab abortus berulang yang diketahui yakni:5
1) Kelainan genetik
Penyebab yang paling sering menimbulkan abortus adalah abnormalitas kromosom pada janin. Lebih dari 60% abortus yang terjadi pada trimester pertama menunjukkan beberapa tipe abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik yang paling sering terjadi adalah aneuploidi
(abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi autosom yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan.
Poliploidi menyebabkan sekitar 22% dari abortus spontan yang terjadi akibat kelainan kromosom. Sekitar 3-5% pasangan yang memiliki riwayat abortus spontan yang berulang salah satu dari pasangan tersebut membawa sifat kromosom yang abnormal. Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kariotipe dimana bahan pemeriksaan diambil dari darah tepi pasangan tersebut. Tetapi pemeriksaan ini belum berkembang di Indonesia dan biayanya cukup tinggi.
2) Autoimun.
Sekarang ini makin dikenal anti phospholipid syndrome (APS), yaitu kekacauan autoimun yang menyebabkan abortus habitualis karena trombosis vaskularisasi plasenta. APS adalah gangguan autoimun yang ditandai oleh trombosis pembuluh darah vena dan atau arteri. Antibodi Antiphospholipid merupakan autoantibodi terhadap antigen yang terdiri dari phospholipid bermuatan negatif. Bagaimana timbulnya antigen tersebut belum diketahui. Antibodi Antiphospholipid terdiri dari IgG, IgM dan IgA. Antibodi antiphospholipid yang terpenting dalam klinis yaitu antikoagulan lupus (LA) dan antibodi antikardiolipin (ACA). Pada APS
terjadi trombosis vaskularisasi plasenta, sehingga menyebabkan abortus berulang. Kejadian yang sering dilaporkan di kelompok wanita usia subur adalah abortus berulang oleh karena adanya infark yang luas di plasenta. Adanya trombosis dan vaskulopati arteri spiralis ibu menyebabkan isufisiensi dan hipoksia jaringan plasenta. Hal ini yang dapat
menyebabkan abortus. Teori yang sederhana sebagai penyebab abortus di APS adalah darah kental tidak mampu melewati pembuluh darah paling kecil di plasenta. Plasenta mengkerut dan embrio/fetus tidak dapat hidup dan terjadilah keguguran (20%).
3) Gangguan hormonal.
Sekitar 15% - 30% gangguan endokrin dapat mempengaruhi peningkatan resiko abortus habitualis. Beberapa gangguan endokrin yang dapat meningkatkan resiko abortus habitualis diantaranya adalah insulin – dependen diabetes melitus, defisiensi progesteron, gangguan tiroid, dan gangguan fase luteal.
Pada wanita dengan abortus habitualis, ditemukan bahwa fungsi glandula tiroidea kurang sempurna. Hubungan peningkatan antibodi antitiroid dengan abortus berulang masih diperdebatkan karena beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berlawanan. Luteal phase deficiency (LPD) adalah gangguan fase luteal. Gangguan ini bisa menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transpor ovum terlalu cepat, mobilitas uterus yang berlebihan, dan kesukaran nidasi karena endometrium tidak
dipersiapkan dengan baik. Penderita dengan LPD mempunyai karakteristik siklus haid yang pendek,interval post ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan recurrent earlylosses (17%-20%).
Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.
4) Kelainan Anatomi.
Faktor anatomi kogenital dan didapat pernah dilaporkan timbul pada 10-15% wanita dengan abortus spontan yang rekuren. Abnormalitas anatomi maternal yang dihubungkan dengan kejadian abortus spontan yang berulang termasuk inkompetensi serviks, malformasi kongenital dan defek uterus yang didapatkan (acquired).
Inkompetensi serviks adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan kehamilan sampai aterm. Malformasi kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit yang dapat menyebabkan uterus unikornus, bikornus atau uterus ganda.
Defek pada uterus yang acquired yang sering dihubungkan dengan kejadian abortus spontan berulang termasuk perlengketan uterus atau sinekia dan leiomioma. Adanya kelainan anatomis ini dapat diketahui dari pemeriksaan USG dan HSG.
5) Gangguan nutrisi.
Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar menjadi predisposisi abortus. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti yang menyatakan bahwa defisisensi salah satu atau semua nutrien dalam makanan merupakan suatu penyebab abortus yang penting.
Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit menahun dan lain-lain juga dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga mengganggu persediaan berbagai zat makanan untuk janin yang sedang tumbuh.
6) Penyakit infeksi.
Infeksi Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus dan herpes
merupakan penyakit infeksi parasit dan virus yang selalu dicurigai sebagai penyebab abortus melalui mekanisme terjadinya plasentitis. Mycoplasma, Lysteria dan Chlamydia juga merupakan agen yang infeksius dan dapat menyebabkan abortus habitualis (0,5%-5%).
7) Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus. Misalnya paparan terhadap buangan gas tembakau. Rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbonmonoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem fetoplsenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang dapat berakibat terjadinya abortus.
2.3.4 Patofisiologi
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, pada awal abortus terjadi pendarahan dalam desidua basalis, yang kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan disekitarnya yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya dan diinterpretasikan sebagai benda asing dalam uterus. Kemudian uterus mulai berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 10 minggu vili korialis belum menembus desidua secara dalam, jadi hasil konsepsi mudah terlepas seluruhnya. Pada kehamilan 10 sampai 14 minggu penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna. Pada kehamilan lebih 14 minggu, janin
dikeluarkan lebih dahulu dari pada plasenta. Pendarahan tidak banyak jika plasenta segera dilepas dengan lengkap.
2.3.5 Gejala Klinis.6
Terjadi abortus spontan secara berulang dan berturut-turut sekurang-kurangnya 3 kali. Gejala terjadinya abortus adalah sebagai berikut
Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu
Pada pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
Rasa nyeri atau kram perut di daerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus.
Pemeriksaan ginekologi :
inspeksi vulva : perdarahan pervaginam, ada atau tidak jaringan hasil konsepsi.
Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup,ada/tidak jaringan keluar dari ostium uteri.
Periksa dalam vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, kavum Douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri. Pemeriksaan Penunjang
Tes kehamilan : positif bila janin masih hidup. Bahkan 2-3 minggu setelah abortus
Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup atau tidak.
2.3.6 Diagnosis
Pada umumnya diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dari anamnesis, yaitu riwayat abortus spontan 3 kali berturut-turut atau lebih.
2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abortus habitualis sesuai dengan penyebabnya, jika penyebabnya gangguan hormonal dapat diberikan terapi hormonal dengan menggunakan hormon progesteron atau hormon tiroid.
Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka operasi untuk menguatkan ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada
kehamilan12 minggu. Dasar operasi ialah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutra yang tebal. Bila terjadi gejala dan tanda abortus insipien, maka benang harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin tidak terhalang.
Tindakan untuk mengatasi inkompetensi serviks yaitu dengan penjahitan mulut rahim yang dikenal dengan teknik Shirodkar Suture atau dikenal juga dengan cervical cerclage atau pengikatan mulut lahir. Cara ini bisa
menghindari ancaman janin lahir prematur. Faktor keberhasilannya hingga 85 -90 persen. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum kehamilan mencapai usia 20 minggu dengan mengikat mulut rahim agar tertutup kembali sampai masa kehamilan berakhir dan janin siap untuk dilahirkan. Jahitan iniakan dilepas pada saat kehamilan mencapai usia 36-37 minggu, atau saat bayi sudah siap dilahirkan. Agar tindakan pengikatan berfungsi optimal. Pasien tidak boleh berhubungan seksual dengan pasangan selama 1-2 minggu sampai ikatan
cukup stabil. Pengikatan ini umumnya akan dibuka setelah kehamilan mencapai 37 minggu, kehamilan cukup bulan sekitar 7 bulan, atau bila ada tanda-tanda melahirkan.
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi abortus habitualis adalah sebagai berikut :
Perdarahan
Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan.
Perdarahan dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit serta keterlambatan pertolongan yang diberikan.
Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada setiap abortus, lebih sering ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus provokatus yang tidak memperhatikan aseptik dan antiseptik.
Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat.
2.3.9 Prognosis.6
Prognosis tergantung pada etiologi dari abortus spontan sebelumnya, umur pasien, dan umur kehamilan. Koreksi kelainan endokrin pada wanita dengan abortus habitualis memiliki prognosis yang baik untuk terjadinya kehamilan yang sukses (> 90%). Pada wanita dengan etiologi tidak diketahui, kemungkinan mencapai kehamilan yang sukses adalah 40-80%. Prognosis yang kurang baik bila pada pemeriksaan USG didapatkan tingkat aktivitas
jantung janin kurang dari dari 90 kali per menit, suatu kantung kehamilan berbentuk atau berukuran tidak normal, dan perdarahan subchorionic yang hebat. Tingkat keguguran secara keseluruhan untuk pasien di atas 35 tahun adalah 14% dan untuk pasien yang berumur di bawah 35 tahun adalah 7%.
BAB III
KESIMPULAN
1. Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih berturut-turut.
2. Etiologi dari abotus habitualis adalah kelainan genetik, gangguan hormonal, ganguan nutrisi, penyakit infeksi, autoimun, kelainan anatomi.
3. Patofisiologi terjadinya abortus mulai dari terlepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta, yang menyebabkan perdarahan sehingga janin
kekurangan nutrisi dan O2. Bagian yang terlepas dianggap benda asing, sehingga rahim berusaha untuk mengeluarkan dengan kontraksi.
4. Gambaran klinis abortus habitualis adalah kontraksi uterus, perdarahan uterus, dilatasi servix, dan presentasi atau ekspulsi seluruh atau sebagian hasil konsepsi
5. Komplikasi dari abortus habitualis adalah perdarahan, infeksi, dan syok.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G, 2005.Obstetri Williams . Ed. 21. Vol. 2. Jakarta : EGC 2. Prawirohardjo, Sarwono.Ilmu Kebidanan, edisi 4. Yayasan Bina Pustaka
3. Benson, R.C., 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Ed. 9. Jakarta:EGC
4. Sastrawinata, S.Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi. Bandung : EGC.2004.
5. Sastrawinata, S.Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi. Bandung : EGC.2004.
6. Hariadi R. Abortus spontan berulang. Dalam : Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi pertama. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonseia.2004.