• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISSN (Print) Carolus Journal of Nursing Tersedia online pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISSN (Print) Carolus Journal of Nursing Tersedia online pada"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 2654-6191 (Print) Carolus Journal of Nursing

Tersedia online pada http://ejournal.stik-sintcarolus.ac.id/

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN YANG AKAN MENJALANI TINDAKAN KATETERISASI JANTUNG

Sutrisno1, Maria Astrid2 1Rumah Sakit Eka, Banten 2STIK Sint Carolus, Jakarta Email: astridamapiran@yahoo.co.id ABSTRAK

Kateterisasi jantung merupakan prosedur invasif untuk mengetahui adanya sumbatan pada arteri koroner. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten. Metode penelitian kuantitatif, desain penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ini yaitu pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten sebanyak 36 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Alat pengumpulan data menggunakan instrumen kuesioner. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan pada 30 responden di RS Y Pekan Baru. Hasil analisis univariat, mayoritas responden berusia 46-55 tahun (52,8 %), berjenis kelamin laki-laki (72,2 %), berpendidikan rendah(72,2 %), belum pernah memiliki pengalaman tindakan kateterisasi sebelumnya (80%). Tingkat pengetahuan baik (80,6 %), dukungan keluarga baik-buruk (50 %) dan tingkat kecemasan berat (63,9 %). Hasil uji Kendal’s tau-c dan chi- square didapatkan secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara usia (p = 0,451), jenis kelamin (p = 0,376), pendidikan (p = 0,153) dengan tingkat kecemasan. Ada hubungan yang bermakna antara pengalaman sebelumnya (p = 0,005), tingkat pengetahuan (p = 0,002), dukungan keluarga (p = 0,006) dengan tingkat kecemasan. Diharapkan perawat meningkatkan pemberian edukasi kepada pasien terutama penjelasan inform consent tentang perawatan setelah tindakan kateterisasi jantung dan efek samping yang dapat terjadi akibat zat kontras kepada pasien.

Kata kunci: Kateterisasi Jantung; Tingkat Kecemasan; Faktor-faktor yang berhubungan FACTORS RELATED TO ANXIETY LEVEL OF PATIENTS WHO WILL UNDERGO

CARDIAC CATHETERIZATION ABSTRACT

Cardiac catheterization is an invasive procedure to determiner the blockage of the coronary arteries. The study aims to determine the factors related to anxiety level of patients who will

(2)

undergo cardiac catheterization in Hospital X Banten. The research method was quantitative research method, descriptive correlation research design with cross sectional approach. The sample of this study were 36 patients who would undergo cardiac catheterization in Hospital X Banten. The sampling technique uses total sampling. The data Collection tool uses questionnaire instrument. The validity and reliability test of the questionnaire was conducted on 30 respondents in Hospital Y Pekan Baru. The result of univariate analysis showed the majority of respondents were 46-55 years old (52.8 %), male sex (72.2 %), low educated (72.2 %), never had previous experience of cardiac Catheterization (80 %), The level of good knowledge (80.6 %), good family support (50 %), bad family support (50 %), and severe anxiety level (63.9 %). The Kendal’s tau-c and Chi-square test results were statistically found

to have no significant relationship between age (p = 0.451), sex (p = 0.376), education (p = 0.153) with anxiety level. There was a significant relationship between previous experience (p

= 0.005), level of knowledge (0.002), family support (0.006) with anxiety level. It is expected that nurses will increase the provision of education to patients, especially the explanation of informed consent about treatment after Cardiac Catheterization and side effects that can occur due to contrast substances to patients.

Keywords: Anxiety Level; Cardiac Catheterization; Related Factors PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi salah satu pemicu kasus kematian di negara-negara maju maupun berkembang. PJK merupakan penyakit pada jantung yang terjadi akibat penurunan suplai darah ke otot jantung yang disebabkan oleh aterosklerosis. Aterosklerosis menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat, sehingga jantung akan mengalami iskemia dan dapat terjadi kondisi infark miokardium (Black & Hawks, 2014).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan 17,5 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31 % 56,5 juta kematian di seluruh dunia. Dari seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3 %) diantaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) (Kemenkes, 2017). Kematian karena penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia mencapai angka 12,9 % (Balitbangkes, 2015). Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi tertinggi untuk penyakit kardiovaskular di Indonesia adalah PJK, yaitu sebesar 1,5 %. Dari hasil prevalensi tersebut, angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4 %), dan terendah di Provinsi Riau dengan 0,3 % (Kemenkes 2017). Sedangkan di Provinsi Banten diperkirakan angka prevalensi PJK sebesar 0,5 % (RISKESDAS Provinsi Banten 2013).

Pemeriksaan diagnostik pada penyakit jantung koroner dapat di deteksi secara non invasif dan invasive. Prosedur invasif untuk mengetahui adanya sumbatan pada arteri koroner salah satunya adalah kateterisasi jantung yang biasa disebut dengan tindakan Coronary

(3)

Angiography (CAG). Kateterisasi jantung merupakan tindakan prosedur diagnostik invasif dengan cara memasukkan satu atau beberapa kateter ke dalam jantung atau pembuluh darah koroner untuk menentukan saturasi oksigen dalam darah, mengetahui adanya penyumbatan dalam arteri koroner, fungsi katup dan kelainan jantung (Brunner & Suddarth, 2010).

Pasien yang menjalani tindakan kateterisasi jantung di Indonesia, khususnya di Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita (RSJHK) berjumlah 2400 tindakan orang sepanjang tahun 2010 (Willian, 2011). Instalasi kateterisasi jantung di RS X Banten telah beroperasional sejak tahun 2010. Berdasarkan data Rekam Medis di RS X Banten, jumlah pasien yang menjalani tindakan kateterisasi jantung mengalami peningkatan jumlah tindakan setiap tahunnya. Pada tahun 2010 berjumlah 80 orang, tahun 2012 berjumlah 100 orang, tahun 2015 berjumlah 120 orang, dan di tahun 2016 berjumlah 150 orang.

Tindakan kateterisasi jantung merupakan tindakan invasif yang dapat menimbulkan kecemasan pada pasien. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan pasien yang menjalani prosedur kateterisasi jantung antara lain: cemas akan rasa nyeri terkait tindakan, terpisah dari keluarga dan teman, serta cemas akan hasil dari tindakan kateterisasi yang mungkin buruk (Hutagalung, 2014). Kecemasan adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi dan ketidakamanan (Stuart, 2016).

Respons fisiologis pasien terhadap kecemasan dan stres adalah dengan mengaktifkan sistem

saraf pusat untuk mengaktivasi hipotalamus-pituitary adrenal aksis dan sistem saraf simpatis yang ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi nadi dan tekanan darah. Jika hal ini terjadi akan berbahaya bagi tindakan kateterisasi jantung karena tingginya denyut jantung dan tekanan darah akan memperberat sistem kardiovaskular serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan kerja jantung sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi (Darliana, 2014). METODE PENELITIAN

Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten. Populasi tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten rata-rata berjumlah 40 orang/2 bulan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling dan jumlah sampel sebanyak 36 responden. Penelitian dilakukan di RS X Banten, di Ruang kateterisasi jantung. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2017. Analisis data yang dilakukan terdiri dari analisa univariat dan bivariat. Analisa univariat

digunakan untuk menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase hasil data demografi,

(4)

untuk mengetahui hubungan dua variabel, menggunakan analisis uji statistic korelasi dengan analisis Kendall’s Tau c dan Chi square.

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Interpretasi Univariat

Pada tabel 1 berikut terlihat bahwa sebagian besar responden berada dalam kategori lansia awal sebanyak 52,8 %, usia responden paling rendah yaitu 34 tahun dan usia tertinggi yaitu 65 tahun; sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 72,2 %; memiliki tingkat pendidikan rendah sebanyak 72,2 %, dan belum pernah memiliki pengalaman tindakan kateterisasi sebelumnya sebanyak 80,6 %.

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Data Demografi (n = 36)

Variabel Hasil ukur n (%)

Usia Dewasa awal 26-35 tahun Dewasa Akhir 36-45 tahun

Lansia Awal 46-55 tahun Lansia Akhir 56-65 tahun

1 2 19 14 2,8 5,6 52,8 38,9

Jenis Kelamin Laki-Laki

Perempuan 2610 72,227,8

Pendidikan Pendidikan rendah (SD, SMP, SMA)

Pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) 2610 72,227,8

Pengalaman Pernah

Belum pernah 297 19,480,6

Total 36 100

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan, Dukungan Keluarga dan Tingkat Kecemasan Pasien yang Akan Menjalani Tindakan Kateterisasi Jantung (n = 36)

Variabel Hasil Ukur n (%)

Tingkat pengetahuan Baik (76-100 %) Cukup (57-75 %) kurang (< 56 %) 26 5 5 72,2 13,9 13,9

Dukungan Keluarga Baik

Buruk 1818 50,050,0

Tingkat Kecemasan Ringan

Sedang Berat 1 12 23 2,8 33,3 63,9 Total 36 100

(5)

Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 72,2 %; tingkat kecemasan berat sebanyak 63,9 %; dan dukungan keluarga baik dan buruk sebanyak masing-masing 50 %.

B. Hasil Interpretasi Bivariat

Berdasarkan tabel 3 di bawah ini terlihat baik dewasa awal, dewasa akhir, lansia awal dan lansia akhir sebagian besar memiliki tingkat kecemasan berat. Hasil uji kendall tau c didapatkan p value = 0,451, yang berarti secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara usia dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten. Diketahui juga pada tabel di atas, jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung mayoritas berada pada tingkat kecemasan sedang dan berat. Hasil uji chi square didapatkan p value = 0,376, yang berarti secara statistic tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung. Tabel 3. Hubungan Antara Data Demografi (Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan,

Pengalaman Sebelumnya) Dengan Tingkat Kecemasan (n = 36) Variabel

Usia

Tingkat Kecemasan

Total Nilai p Value

Ringan Sedang Berat

n % n % n % n % Dewasa Awal Dewasa Akhir Lansia Awal Lansia Akhir 0 0 0 1 0 0 0 2, 8 0 1 6 5 0 2,8 16,7 13,9 1 1 13 8 2,8 2,8 36,1 22,2 1 2 19 14 2,8 5,6 52,8 38,9 0,451 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 10 2, 80 75 19,413,9 185 13,950 2610 72,227,8 0,376 Tk. Pendidikan Rendah Tinggi 10 2, 80 102 27,85,6 158 41,722,2 2610 72,2 27,8 0,153 Pengalaman Pernah Belum pernah 10 2,80 66 16,716,7 221 61,12,8 297 19,480,6 ,005 Responden dengan pendidikan rendah dan pendidikan tinggi yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung mayoritas berada pada tingkat kecemasan berat. Hasil uji Kendall’s tau c didapatkan p value = 0,153, yang berarti secara statistic tidak ada hubungan

(6)

bermakna antara pendidikan dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di X Banten. Responden yang belum pernah memiliki pengalaman tindakan kateterisasi jantung sebelumnya mayoritas (61,1 %) memiliki tingkat kecemasan berat, dibandingkan dengan responden yang pernah memiliki pengalaman tindakan sebelumnya. Hasil uji chi square didapatkan p value = 0.005, yang berarti secara statistic menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pengalaman tindakan dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten.

Tabel 4 berikut menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pengetahuan baik berada pada tingkat kecemasan ringan, sedang dan berat. Sedangkan responden yang hanya memiliki tingkat pengetahuan cukup dan sedang semua berada pada tingkat kecemasan berat. Hasil uji kendall tau c didapatkan p value = 0,002, yang berarti secara statistic ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten. Responden yang memiliki dukungan keluarga baik memiliki kecemasan sedang (8,3 %), dan berat sebanyak 15 orang (41,7 %), sedangkan responden memiliki dukungan keluarga buruk memiliki kecemasan ringan sebanyak 1 orang (2,8 %), dan lebih banyak yang memiliki kecemasan sedang (33,3 %), berat (63,9 %). Hasil uji kendall tau c didapatkan p value = 0,006, yang berarti ada hubungan bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung di RS X Banten. Tabel 4. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan, Dukungan Keluarga Dengan Tingkat

Kecemasan (n = 36)

Variabel Tingkat Kecemasan

Total Nilai p Value Tk. Pengetahuan Ringann % nSedang % nBerat % n %

Baik Cukup Kurang 1 0 0 2,8 0 0 12 0 0 33,3 0 0 16 5 2 44,4 13,9 5,6 9 5 2 80,6 13,9 5,6 0,002 Dukungan keluarga Baik Buruk 01 2,80 39 8,325 58 41,722,2 1818 5050 0,006 Total 1 2,8 12 33,3 23 63,9 36 100

(7)

PEMBAHASAN

Menurut Black & Hawk (2014), bertambahnya usia mempengaruhi risiko dan keparahan Penyakit Jantung Koroner (PJK), karena pembuluh darah mengalami perubahan progresif dan berlangsung lama dari lahir sampai mati. Usia mempengaruhi risiko dan keparahan PJK. PJK simptomatis tampaknya lebih banyak pada orang berusia lebih dari 40 tahun, dan 4 dari 5 orang yang meninggal karena PJK berusia 65 tahun atau lebih. Pada usia yang lebih tua, perempuan yang mengalami serangan jantung memiliki kematian akibat serangan jantung dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2014) tentang gambaran tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani kateterisasi jantung di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2013, didapatkan distribusi responden berdasarkan usia yaitu mayoritas berusia 45-65 tahun (86,8 %).

Pada usia lansia, seseorang mengalami kemunduran dan perubahan dalam berbagai

aspek kehidupannya, baik secara fisik maupun psikis. Hal ini juga sesuai dengan salah satu

faktor resiko pada pasien dengan penyakit jantung koroner, di mana dengan bertambahnya usia akan menyebabkan resiko terkena penyakit jantung koroner karena pembuluh darah mengalami perubahan progresif dan berlangsung terus menerus (Aaronson, Philip & Ward, Jeremy, 2010). Berdasarkan hasil pengkajian saat dilakukan penelitian, mayoritas responden yang tergolong usia lansia awal ini mengatakan mereka baru mengalami keluhan pada jantungnya pada saat usia ini, diantaranya yaitu keluhan nyeri dada, cepat lelah, rasa tertimpa beban berat. Terdapat responden pada usia 34 tahun yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung, berdasarkan hasil pengkajian, responden tersebut memiliki faktor resiko penyakit jantung koroner, riwayat merokok aktif, hipertensi dan memiliki penyakit diabetes mellitus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita PJK berjenis kelamin laki-laki (tabel 1). Sukmana (2013) dalam penelitiannya tentang hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dengan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani kateterisasi jantung di Banda Aceh tahun 2013, mengungkapkan bahwa responden jenis kelamin laki-laki mencapai lebih dari setengah responden (80 %). Simanjuntak (2014) juga mengungkapkan hasil yang sama dalam penelitiannya tentang gambaran tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani kateterisasi jantung di rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2013, di mana didapatkan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih dari setengah responden (81,6 %). Laki-laki memiliki risiko yang lebih

(8)

tinggi mengalami serangan jantung pada usia yang lebih muda, risiko PJK pada perempuan meningkat setelah menopause.

Hal ini disebabkan karena laki-laki tidak memiliki faktor hormonal seperti estrogen yang melindungi perempuan dari PJK, kerja estrogen yang berpotensi menguntungkan adalah sebagai antioksidan, menurunkan LDL dan meningkatkan HDL, sehingga menurunkan resiko aterosklerosis dan menurunkan risiko terkena penyakit jantung koroner. Diketahui pula bahwa perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral dan merokok atau memiliki tekanan darah tinggi memiliki resiko PJK yang lebih tinggi (Black & Hawk, 2014). Berdasarkan hasil pengkajian selama penelitian didapatkan data bahwa semua responden perempuan (27,8 %) sudah menopouse. Perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi gaya hidup dan kebiasaan seseorang, di mana pada kasus PJK dikarenakan perbedaan gaya hidup yang tidak sehat, sebagai contoh laki-laki lebih banyak melakukan kebiasaan merokok (Hidayat dkk, 2014). Berdasarkan hasil pengkajian dari responden, didapatkan data bahwa semua responden laki-laki (72,2 %) memiliki riwayat merokok aktif sejak dewasa awal.

Sebagian besar responden pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu sebanyak 72,2 % (tabel 1). Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2014). Pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi, misalnya mengenai hal-hal yang menunjang kesehatan untuk dapat meningkatkan kualitas hidup (Wawan & Dewi, 2011). Berdasarkan hasil pengkajian, sebagian besar dari mereka adalah lulusan SMA dan memiliki pekerjaan seperti supir dan karyawan perusahaan pertambangan yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner akibat pola hidup yang tidak sehat, seperti merokok dan makan-makanan yang mengandung lemak (kolesterol), yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner.

Sebagian besar responden yang memiliki tingkat kecemasan berat sebanyak 63,9 % (tabel 2) memiliki persepsi yang salah terkait tindakan kateterisasi jantung. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Delewi (2011) yang berjudul Anxiety levels of patients undergoing coronary procedures in the catheterization laboratory. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung adalah dari total 2604 responden mayoritas mengalami kecemasan berat (44,2 %). Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas disertai dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi

(9)

dan ketidakamanan dan tidak didukung oleh situasi (Stuart, 2016). Menurut analisa peneliti, sebagian besar responden yang memiliki tingkat kecemasan berat sebanyak 23 orang (63,9%) memiliki persepsi yang salah terkait tindakan kateterisasi jantung. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 1 responden yang memiliki kecemasan ringan, dari pengkajian diketahui bahwa responden sudah memiliki pengalaman tindakan sebelumnya, serta responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan dukungan keluarga yang baik.

Penelitian Hidayat (2015) menunjukkan hasil bahwa mayoritas responden (83,3 %) beranggapan bahwa penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang berat dan sebagian besar responden mempersepsikan bahwa kateterisasi jantung merupakan tindakan operasi dengan pembedahan (53,3 %). Teori kecemasan (Stuart, 2016) bahwa terdapat faktor pencetus kecemasan internal dan eksternal yang dapat meningkatkan kecemasan pasien, faktor internal

meliputi ancaman terhadap integritas seseorang yang meliputi ketidakmampuan fisiologis

atau menurunnya kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, sehingga pasien memiliki persepsi setelah menjalani tindakan kateterisasi jantung akan mengalami keterbatasan aktivitas sehari-hari, pasien terkadang memiliki kekhawatiran akan nyeri yang ditimbulkan selama dan proses tindakan kateterisasi jantung dilaksanakan, ini dikaitkan dengan pengalaman rasa nyeri yang dialami pasien selama menderita PJK.

Sebelum kateterisasi jantung dilaksanakan, pasien seringkali membayangkan rasa nyeri akan timbul pada daerah luka dan pasien merasa takut untuk melakukan gerakan tubuh atau latihan ringan akibat nyeri pada daerah perlukaan. Sedangkan faktor eksternal yang dapat meningkatkan kecemasan pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung, yaitu terkait stressor psikososial dan lingkungan yang asing merupakan keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi, Seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah mengalami kecemasan dibanding bila berada di lingkungan yang biasa di tempati bayangan ruangan yang operasi yang menakutkan dan persepsi pasien yang salah tentang ruangan tindakan cathlab dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung.

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 80,6 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sukmana (2013) yang mengungkapkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 60 % yang memiliki pengetahuan baik. Menurut analisa peneliti, hal ini disebabkan salah satunya yaitu karena mereka mudah menyerap informasi yang diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan kateterisasi jantung. Informasi yang diberikan

(10)

ini sebagai salah satu persiapan administrasi sebelum tindakan kateterisasi jantung di X Banten, di mana dokter harus menjelaskan prosedur tindakan yang akan dijalani, indikasi, efek samping dan resiko selama tindakan sehingga pasien memiliki pengetahuan yang baik saat akan menjalani tindakan kateterisasi jantung. Selain itu dengan kemudahan mengakses berbagai informasi dari media cetak dan elektronik saat ini, juga dapat menambah pengetahuan seseorang. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian didapatkan 5 orang responden (13,9 %) yang memiliki pengetahuan kurang, berdasarkan hasil pengkajian terhadap responden, hal ini disebabkan karena responden tidak menyimak dengan baik penjelasan yang diberikan oleh dokter.

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil “tahu” seseorang terhadap suatu objek melalui indera yang dimilikinya. Penginderaan sampai dapat menghasilkan pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2014). Pengetahuan erat kaitannya dengan pendidikan. Diharapkan dengan pendidikan yang tinggi dapat memperluas pengetahuan seseorang. Namun, bukan berarti orang dengan pendidikan yang rendah pengetahuannya rendah pula. Pengetahuan seseorang dapat meningkat bukan saja dari pendidikan formal, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non-formal (Wawan & Dewi, 2011).

Hasil bivariat (tabel 4) menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan responden dengan tingkat kecemasan pasien (p value = 0,002). Hasil penelitian ini didukung hasil

penelitian Rahmatika (2014), yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara tingkat pengetahuan dengan kecemasan pasien yang akan menjalani prosedur kateterisasi jantung di rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014. Dan penelitian Aboalizm, S et al.(2016), dalam penelitian yang berjudul “Effect of early nursing preparation on anxiety among patients undergoing cardiac catheterization” juga menunjukkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi. Sebagian besar pasien beranggapan bahwa prosedur kateterisasi jantung merupakan pengalaman yang menakutkan. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa responden dengan tingkat pengetahuan cukup (13,5 %) dan pengetahuan kurang (5,6 %) memiliki tingkat kecemasan yang berat pada saat akan menjalani tindakan kateterisasi jantung. Hasil pengkajian yang dilakukan terhadap responden, mereka beranggapan bahwa tindakan kateterisasi jantung merupakan tindakan yang membahayakan serta membutuhkan perawatan di ruangan yang khusus seperti ICU/ICCU.

(11)

Pengetahuan pasien pada saat akan menjalani tindakan kateterisasi jantung sangat penting karena dapat mengurangi persepsi negatif, perasaan ketidakpastian, serta ancaman yang dirasakan terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh pasien sehingga dengan pengetahuan yang cukup dan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan kateterisasi jantung dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (80,6 %) belum pernah memiliki pengalaman tindakan kateterisasi sebelumnya. Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, dirasakan, dijalankan dan di tanggung (Depdiknas, 2014). Menurut Kaplan & Sadock (2010), pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Hasil bivariat (tabel 3) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pengalaman pasien sebelumnya dengan tingkat kecemasan pasien. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian Sukmana (2013), yang menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman tindakan dengan kecemasan

pasien yang akan menjalani prosedur kateterisasi jantung di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2013.

Kecemasan adalah suatu perasaan khawatir yang berlebihan dan tidak jelas, juga merupakan suatu respons terhadap stimulus eksternal maupun internal yang menimbulkan

gejala emosional, kognitif, fisik, dan tingkah laku (Baradero, 2016). Menurut analisa peneliti,

didapatkan data 22 responden (61,1 %) belum pernah mengalami tindakan kateterisasi jantung berada pada tingkat kecemasan berat. Berdasarkan hasil pengkajian mayoritas responden belum mendapatkan gambaran tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan. Pengalaman tindakan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung memiliki peran yang penting terhadap tingkat kecemasan, karena dengan adanya pengalaman tersebut, seseorang yang telah menjalani tindakan kateterisasi jantung akan lebih mengetahui gambaran tentang tindakan yang akan dilakukan, sehingga pasien lebih tenang, dan tingkat kecemasan pasien akan lebih rendah dibandingkan tingkat kecemasan pada pasien yang belum menjalani tindakan kateterisasi jantung.

Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) merupakan suatu proses interaksi antara keluarga dengan lingkungan sosial. Dukungan keluarga dapat menjadikan keluarga berfungsi dalam meningkatkan kesehatan dan adaptasi anggota keluarga dalam kehidupan. Dukungan

(12)

sosial keluarga terbagi menjadi dukungan eksternal dan internal. Dukungan eksternal seperti sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah dan fasilitas kesehatan. Sedangkan dukungan internal berupa suami/istri, saudara kandung ataupun dukungan dari anak. Terdapat 4 jenis dukungan keluarga meliputi: dukungan instrumental keluarga merupakan sumber pertolongan yang mudah dijangkau dan nyata; dukungan informasional di mana keluarga berfungsi sebagai pemberi informasi; dukungan penilaian di mana keluarga membimbing, memberikan umpan balik dan menangani masalah dalam keluarga; dan dukungan emosional di mana keluarga merupakan tempat yang aman dan damai untuk beristirahat dalam pemulihan.

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian memiliki dukungan keluarga yang baik sebanyak 18 orang (50 %), dan sebagian lagi memiliki dukungan keluarga yang buruk sebanyak 18 orang (50 %). Berdasarkan data kuesioner sebagian besar responden yang mendapat dukungan buruk menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan instrumental (25 %) yaitu keluarga tidak selalu memperhatikan pola makan saya selama dirawat di rumah sakit, serta dukungan emosional (19,4 %) berupa keluarga tidak selalu mendengar curahan hati saya, dan (16,7 %) keluarga tidak memberikan kekuatan pada saya untuk mengatasi rasa takut saat akan menjalani tindakan kateterisasi jantung.

Hasil bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan (tabel 4). Faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien yang menjalani prosedur kateterisasi jantung menurut Smeltzer & Bare (2010), antara lain dukungan keluarga, perpisahan dengan keluarga diduga mempengaruhi kecemasan yang terjadi sebelum dilakukan tindakan kateterisasi. Pasien akan menjalani tindakan kateterisasi sendirian tanpa didampingi keluarga, keluarga hanya diperbolehkan menunggu di ruang tunggu selama prosedur berlangsung. Ini menyebabkan timbul rasa khawatir dan gelisah pada pasien maupun keluarga yang terjadi karena takut akan kehilangan anggota keluarga. Sebagian pasien diduga tidak merasa nyaman karena menjalani prosedur seorang diri dengan dokter maupun perawat yang baru dikenal yang tidak memiliki hubungan emosional dengan pasien seperti keluarga. Dukungan keluarga merupakan aspek yang penting dan sangat berperan karena terhadap tingkat kecemasan, dengan dukungan keluarga yang baik maka tingkat kecemasan akan berkurang.

Adanya keluarga akan sangat membantu pasien dalam menghadapi kecemasan, dukungan keluarga meliputi dukungan instrumental, dukungan emosional, dukungan penilaian

(13)

dan dukungan informatif dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung, karena dengan adanya dukungan keluarga pasien dapat mendapat informasi yang positif tentang tindakan yang akan dijalani, pasien dapat menceritakan dan berbagai perasaan yang sedang dirasakan, pasien merasa diperhatikan oleh keluarga, sehingga pasien lebih tenang dan fokus dalam menjalani proses tindakan kateterisasi jantung.

SIMPULAN

Ada hubungan bermakna antara pengalaman sebelumnya (p value = 0,005 (< 0,05)), tingkat pengetahuan (p value = 0,002 (<0,05)), dukungan keluarga (p value = 0,006 (<0,05)) dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung. Tidak ada hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, pendidikan dengan tingkat kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan kateterisasi jantung. Saran penelitian diharapkan perawat meningkatkan pemberian edukasi kepada pasien terutama penjelasan inform consent tentang perawatan setelah tindakan kateterisasi jantung dan efek samping yang dapat terjadi akibat zat kontras kepada pasien. Rekomendasi penelitian lanjutan: penelitian dengan variable lain yang diteliti (ada tidaknya komplikasi penyakit lain, lama menderita), dan jumlah sampel yang lebih banyak untuk dapat memberi gambaran berbagai faktor yang berkaitan dengan kecemasan pasien dalam menjalani tindakan kateterisasi jantung.

DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, Philip. I., & Ward, Jeremy. P. T. (2010). At a Glance: Sistem Kardiovaskular. (3rd

edition) (Juwalita Surapsari, Penerjemah). Jakarta: Erlangga.

Aboalizm, S. E. (2016). Effect of Early Nursing Preparation on Anxiety Among Patient Undergoing Cardiac Chateterization. American Journal of Nursing Science. Diunduh tanggal 14 April 2017.

Baradero, M., Dayrit, M. W., & Maratning, A.(2016). Kesehatan Mental Psikiatri. Jakarta: EGC.

Black, J. M., Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan, Edisi 8 buku 3. Singapore: Elsevier.

Darliana, D. (2014). Perawatan Pasien Yang Akan Menjalani Prosedur Kateterisasi Jantung. Diunduh tanggal 14 April 2017.

Delewi, R. (2010). Anxiety levels of patients undergoing coronary procedures in the cathetherization laboratory. Di Unduh 5 Januari 2018.

(14)

Departemen Pendidikan Nasional (2014). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan ke delapan belas. Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Friedman. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori, Dan Praktek. Jakarta: EGC. Hidayat. (2014). Persepsi penyakit jantung koroner yang akan dilakukan tindakan kateterisasi

jantung. Diunduh 15 April 2017.

Hutagalung, R. U. (2014). Kualitas Hidup Pasien Pasca Intervensi Koroner Perkutan. Jurnal Fakultas Keperawatan Universitas Padjajaran. Diunduh tanggal 1 Mei 2017. Kaplan, HI, Saddock, BJ & Grabb, JA. (2010). Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri. Ilmu

Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Bina Rupa Aksara.

Kemenkes RI. (2017). Penyakit Jantung Penyebab Kematian Tertinggi. Diunduh tanggal 29 Juli 2017.

Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Cetakan ke 2. Jakarta: Rineka Cipta. Pokok-Pokok Hasil RISKESDAS Provinsi Banten 2013.(2013). LPBPPKRI.

Rahmatika, R. (2014). Hubungan pengetahuan dengan kecemasan pasien yang menjalani prosedur kateterisasi jantung di RSUD DR. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014. Diunduh tanggal 1 Mei 2017.

Simanjuntak, G. (2014). Gambaran Kecemasan Pasien Yang Akan Menjalani Tindakan Kateterisasi Jantung di ESUP H. Adam Malik Medan. Diunduh tanggal 14 April 2017. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2010). Textbook of medical surgical Nursing 12th edition.

Wolter Kluwer Philadhelpia.

Sukmana, P. I. (2013). Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dengan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani kateterisasi jantung di Banda Aceh tahun 2013. Diunduh tanggal 1 Mei 2017.

Stuart, G. W. (2016). Keperawatan kesehatan Jiwa Stuart. Singapore: Elsevier.

Wawan, A., & Dewi. (2011). Teori Dan Pengukiran Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Manusia. Jakarta: Nuha Medika.

Gambar

Tabel 2.  Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan, Dukungan Keluarga  dan Tingkat Kecemasan Pasien yang Akan Menjalani Tindakan Kateterisasi  Jantung (n = 36)
Tabel 3.  Hubungan Antara Data Demografi (Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan,  Pengalaman Sebelumnya) Dengan Tingkat Kecemasan (n = 36)
Tabel 4 berikut menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pengetahuan baik  berada pada tingkat kecemasan ringan, sedang dan berat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Badan Narkotika Nasiaonal menggunakan sistem criminaljustice system tersangka ini masih dalam rana penyidikan karena jika

Selain menggunakan kit dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada pemeriksaan laboratorium, hasil pemeriksaan didukung juga dengan gejala klinis yang

Berdasarkan data tersebut larutan daun sirih 80% dapat digunakan sebagai bahan desinfektan untuk bahan cetak alginat dengan metode penyemprotan, karena perubahan

Pada tahun 2011, rasio pajak daerah dan retribusi daerah per PDrB Provinsi Bali memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan rasio secara nasional.. Kondisi Keuangan Daerah

Dalam rangka melakukan pemindahan ibu kota ini berbagai langkah dan tahapan sesuai peraturan perundang-undanga terkait sudah dilalui seperti keluarnya Peraturan

Gambaran lama pemakaian alat kontrasepsi hormonal menunjukkan sebagian besar responden menggunakan alat kontrasepsi hormonal pada rentang waktu 13-19 tahun yaitu

Walaupun kedua penelitian tersebut mengunakan ukuran dan bentuk beton yang berbeda, keduanya melaporkan kelimpahan rekruit karang yang lebih tinggi di terumbu yang diberi