• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koinfeksi Treponema pallidum pada Pengidap HIV di Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Koinfeksi Treponema pallidum pada Pengidap HIV di Kota Bandung"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

5

Koinfeksi Treponema pallidum pada Pengidap HIV di Kota Bandung

Patricia Gita Naully

1

, Arina Novilla

2

, Deska Derya Sahrani

3

1

Program Studi Teknologi Laboratorium Medik (D-4), Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi 2,3

Program Studi Analis Kesehatan, Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi Email: patriciagitanaully@gmail.com

Abstrak: Sifilis adalah infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Kesamaan

jalur transmisi antara T. pallidum dan HIV menyebabkan kasus koinfeksi T. pallidum pada pengidap HIV sering terjadi. Kota Bandung termasuk salah satu kota dengan prevalensi HIV yang tinggi dan meningkat tiap tahunnya, namun hingga saat ini belum ada data terbaru terkait koinfeksi T. pallidum dan HIV di kota tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kasus koinfeksi T. pallidum pada pengidap HIV di kota Bandung. Prosedur pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan ketentuan etik yang berlaku. Spesimen berupa darah diambil dari 60 orang yang positif memiliki anti-HIV dan berdomisili di kota Bandung. Rangkaian pemeriksaan laboratorium yang dilakukan mengikuti Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar tahun 2013. Sampel yang menunjukkan hasil reaktif pada pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) diperiksa lebih lanjut dengan pemeriksaan Treponema Pallidum

Haemagglutination (TPHA). Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa dari 60 orang yang terinfeksi

HIV, terdapat 13 orang (21,7%) yang mengalami kerusakan jaringan. Sebelas orang (18,3%) diantaranya positif menderita sifilis karena terbukti membentuk antibodi anti-T. pallidum. Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa semua sampel penelitian yang mengalami koinfeksi T. pallidum dan HIV pernah melakukan aktivitas seksual yang tidak aman.

Kata Kunci : Anti T. pallidum, Anti-HIV, Infeksi Menular Seksual, Sifilis

PENDAHULUAN

Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Gejala klinis penyakit tersebut akan tampak tiga minggu setelah terjadinya infeksi. Salah satu gejala klinis sifilis adalah ruam atau chancre pada kelamin. Penyakit sifilis terbagi menjadi empat tahap, yaitu primer, sekunder, laten, dan tersier (Ain, Rachmatdinata, & Djajakusumah, 2013). Tiap tahap menunjukkan gejala klinis yang berbeda. Bakteri T. pallidum dapat ditularkan melalui melalui dua cara, yaitu melalui ibu ke anak dan hubungan seksual yang tidak aman seperti berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom (Eticha dkk., 2013).

Bakteri T. pallidum memiliki jalur transmisi dan faktor resiko yang sama dengan

Human Immunodeficiency Virus (HIV). Oleh

sebab itu, infeksi T. pallidum sering kali terjadi pada pengidap HIV begitu pula sebaliknya. Kondisi tersebut dikenal dengan sebutan koinfeksi yaitu infeksi oleh dua jenis patogen pada waktu yang bersamaan. Penelitian di berbagai negara telah membuktikan bahwa prevalensi koinfeksi T. pallidum pada pengidap HIV cukup tinggi. Di Uganda, prevalensi koinfeksi T. pallidum pada pasien positif HIV adalah 4.2% (Bakaluba, 2013). Angka kejadian yang lebih tinggi tercatat di negara Yunani yaitu sebesar 7.8-8.8% (Kyriaks & Rodrigues, 2000), Meksiko sebesar 25% (Bakaluba, 2013), dan India sebesar 47.7% (Turbadkar, Mathur, & Gaikwad, 2007).

Infeksi T. pallidum pada pasien positif HIV dapat meningkatkan penularan dan sangat

(2)

6 berpengaruh pada kesehatan reproduksi

(Bakaluba, 2013). Menurut Chun dkk. (2013), keberadaan T. pallidum dalam tubuh dapat meningkatkan aktivasi imun sel inang dan sekresi sitokin yang meningkatkan replikasi HIV. Sifilis juga dapat menimbulkan berbagai gejala klinis dan menyebabkan berbagai permasalahan kardiovaskular serta neurologikal pada pasien yang telah terinfeksi HIV (Zetola & Klausner, 2007). Di sisi lain, HIV dapat meningkatkan resiko neurosifilis. Hal tersebut dapat mempengaruhi gejala klinis, hasil pengobatan dan kegagalan pengobatan, khususnya jika neurosifilis terlambat didiagnosis (Blank dkk., 2011). Turbadkar, Mathur, & Gaikwad (2007) menyatakan bahwa insidensi neurosifilis dapat meningkat pada orang yang terinfeksi HIV walaupun diterapi dengan dosis lengkap. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemeriksaan koinfeksi T.

pallidum pada pengidap HIV perlu segera

dilakukan untuk mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh kedua infeksi tersebut. Sayangnya di Indonesia pemeriksaan koinfeksi

T. pallidum pada pengidap HIV masih jarang

dilakukan. Pemerintah dan Dinas Kesehatan masih lebih fokus terhadap kasus HIV saja. Hal ini terbukti dari data yang disajikan dalam Laporan Perkembangan HIV-AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan kasus HIV dan sifilis secara terpisah. Tidak ada data yang menunjukkan kasus koinfeksi pada pengidap HIV. Adapun data yang dapat ditemukan berasal dari Rumah Sakit Hasan Sadikin tahun 2010. Data tersebut menunjukkan adanya kasus koinfeksi T.

pallidum pada pasien positif HIV sebanyak

13% (Ain, Rachmatdinata, & Djajakusumah, 2013).

Jumlah pengidap HIV di Indonesia bertambah setiap tahun. Hingga tahun 2017 tercatat ada 280. 623 jiwa pengidap HIV yang mayoritas adalah kelompok usia produktif (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 7.050 jiwa dari tahun 2016. Kota Bandung termasuk salah satu kota yang mengalami peningkatan jumlah pengidap HIV cukup tinggi. Pada tahun 2017 dilaporkan ada 4.032 jiwa pengidap HIV di kota Bandung. Mengingat bahwa koinfeksi T. pallidum banyak terjadi pada pengidap HIV dan jumlahnya akan bertambah seiring meningkatnya kasus HIV maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kasus koinfeksi T. pallidum pada pengidap HIV di kota Bandung.

METODE Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 60 orang. Sampel penelitian harus terbukti telah terinfeksi HIV dan berdomisili di kota Bandung. Pengambilan darah vena dilakukan setelah sampel penelitian terpapar dengan maksud dan tujuan penelitian serta menandatangani informed consent. Sampel penelitian juga diwawancarai dengan beberapa pertanyaan terkait identitas dan aktivitas seksualnya. Prosedur pengambilan sampel dan pemeriksaan laboratorium dalam penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari Komisi

(3)

7 Etik Penelitian Kesehatan Stikes Jenderal

Achmad Yani.

Pemeriksaan Rapid Plasma Reagin

Pemeriksaan sifilis yang dilakukan pada penelitian ini sesuai dengan Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar tahun 2013. Pemeriksaan laboratorium yang pertama adalah pemeriksaan RPR menggunakan Kit Fortress Diagnostics RPR Carbon Antigen dengan sensitivitas 99,7% dan spesifitas 99,6%. Hasil dinyatakan reaktif jika terbentuk gumpalan hitam pada papan aglutinasi. Titer reagin ditentukan melalui pengenceran berseri pada sampel yang menunjukkan hasil reaktif (semi kuantitatif).

Pemeriksaan Anti-T. pallidum

Keberadaan antibodi anti-T. pallidum dalam serum dideteksi melalui pemeriksaan

Treponema Pallidum Haemagglutination

(TPHA). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan lanjutan bagi sampel yang reaktif pada pemeriksaan RPR. Pemeriksaan laboratorium tersebut menggunakan kit Fortress Diagnostic TPHA Haemagglutination dengan sensitivitas 86,4% dan spesifitas 100%. Hasil reaktif ditandai dengan terbentuknya gumpalan pada permukaan sumur u-microplate. Pengenceran spesimen dilakukan

untuk mengkuantifikasi titer anti-T. pallidum. Data hasil pemeriksaan laboratorium diolah dan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif.

HASIL

Penelitian ini melibatkan 60 orang yang terdiri dari 44 orang laki-laki dan 16

orang perempuan. Mayoritas mereka berpendidikan SMA dengan rentang usia 21 - 37 tahun. Sebelum rangkaian pemeriksaan sifilis dilakukan, seluruh spesimen yang terkumpul diuji anti-HIV dengan metode imunokromatografi guna memastikan bahwa seluruh sampel penelitian telah terinfeksi HIV. Hasil pemeriksaan RPR menunjukkan bahwa 13 sampel positif mengandung reagin (Gambar 1). Kedelapan sampel tersebut memiliki titer yang berbeda-beda dengan rentang 1/16 sampai 1/128. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 60 orang yang terinfeksi HIV, terdapat 13 orang (21,7%) yang mengalami kerusakan jaringan dengan tingkat kerusakan yang beragam.

Gambar 1. Hasil Pemeriksaan Rapid Plasma

Reagin.

Berbeda dengan hasil RPR, hanya ada 11 sampel yang menunjukkan hasil reaktif pada pemeriksaan TPHA (Gambar 2). Sebelas sampel tersebut memiliki anti-T. pallidum dengan titer terendah 1/320 dan tertinggi 1/1280. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 13 orang yang mengalami kerusakan jaringan, ternyata ada 11 orang yang kerusakan jaringannya disebabkan oleh bakteri T.

pallidum. Hasil tersebut juga membuktikan

78,3% 21,7% Non Reaktif RPR Reaktif RPR

(4)

8 bahwa dari 60 orang yang terinfeksi HIV, ada

11 orang (18,3%) yang mengalami koinfeksi T.

pallidum.

Gambar 2 . Hasil Pemeriksaan Treponema

Pallidum Haemagglutination.

Berdasarkan hasil wawancara, dapat terlihat bahwa sampel yang positif mengalami koinfeksi T. pallidum dan HIV semuanya pernah melakukan hubungan seksual yang tidak aman seperti hubungan seksual dengan sesama jenis (Laki Suka Laki), sering berganti-ganti pasangan seksual, dan tidak menggunakan kondom (Tabel 1). Hasil pemeriksaan laboratorium juga didukung dengan gejala klinis yang dialami sampel penelitian, yaitu memiliki ruam di sekitar kelamin atau bagian tubuh lainnya. Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian

Variabel Total Positif Reagin Positif Anti-T. pallidum N % N % N % Jenis Kelamin Laki-laki 44 73,3 13 29,5 11 25 Perempuan 16 26,7 0 0 0 0 Orientasi seksual Sesama Jenis 25 41,7 7 28 7 28 Lawan Jenis 28 46,7 3 10,7 1 3,6 Biseksual 7 11,6 3 42,8 3 42,8

Pasangan seksual tetap

Ya 10 16,7 0 0 0 0 Tidak 50 83,3 13 26 11 22 Penggunaan Kondom Ya 12 20 0 0 0 0 Tidak 48 80 13 27 11 25,6 Anal Ya 33 55 13 39,3 11 33,3 Tidak 27 45 0 0 0 0

Ruam sekitar kelamin atau bagian tubuh lain seperti kaki dan tangan

Ya 14 23,3 10 42,9 10 42,9 Tidak 46 76,7 3 12,5 1 0 82% 18,3% Non Reaktif TPHA Reaktif TPHA

(5)

9 PEMBAHASAN

Di Indonesia, pemeriksaan sifilis diatur dalam Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar tahun 2013. Sampel yang reaktif pada pemeriksaan RPR perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan TPHA. Dalam penelitian ini terbukti ada 13 sampel reaktif pada pemeriksaan RPR, namun hanya ada 11 sampel yang positif mengandung anti-T.

pallidum. Sampel non reaktif pada pemeriksaan TPHA adalah sampel dengan titer reagin 1/16. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013), titer reagin yang menunjukkan adanya infeksi aktif T. pallidum adalah ≥1/32. Turbadkar, Mathur, & Gaikwad (2007) juga menyatakan bahwa orang yang mengalami koinfeksi HIV-sifilis ditandai dengan tingginya titer reagin.

Perbedaan hasil antara pemeriksaan RPR dan TPHA umum terjadi. Hasil positif palsu pada pemeriksaan RPR sering terjadi khususnya pada pengidap HIV (Hall, Klausne, & Bolan, 2004; Turbadkar, Mathur, & Gaikwad 2007). Hasil positif palsu dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu positif palsu akut dan kronik. Positif palsu akut biasanya disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, imunisasi dan malaria sedangkan positif palsu kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular dan gangguan autoimun (Arora dkk., 2015).

RPR merupakan pemeriksaan serologi non treponemal. Pemeriksaan RPR hanya bertujuan untuk mengetahui kerusakan jaringan dalam tubuh seseorang yang ditandai dengan kehadiran antibodi anti-lipoidal atau

dikenal dengan sebutan reagin (Efrida, 2014). Reagin dapat dibentuk tubuh sebagai respon terhadap penyakit treponemal dan non treponemal. Orang yang terinfeksi HIV sering kali mengalami kerusakan jaringan yang menginduksi tubuh untuk menghasilkan reagin. Selain itu, pengidap HIV sering kali mengalami disregulasi sel B poliklonal non spesifik sehingga menghasilkan titer antibodi non treponemal yang tinggi (Hall, Klausne, & Bolan, 2004).

TPHA adalah tes treponemal yang lebih spesifik dibandingkan RPR karena langsung mendeteksi anti-T. pallidum yang hanya akan dibentuk tubuh jika terinfeksi oleh bakteri tersebut, namun tidak ditutup kemungkinan adanya hasil negatif palsu. Negatif palsu pada pemeriksaan TPHA juga pernah terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV. Hal ini terjadi karena pasien tesebut gagal membentuk antibodi anti-T. pallidum (Turbadkar, Mathur, & Gaikwad, 2007). Selain itu, pada pemeriksaan TPHA dikenal juga istilah fenomena prozon yaitu keadaan dimana titer anti-T. pallidum yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan hasil negatif palsu.

Dari rangkaian pemeriksaan sifilis yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat terlihat adanya 11 kasus (18,3%) koinfeksi T. pallidum yang terjadi pada pengidap HIV. Hasil tersebut sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa koinfeksi T. pallidum memang sering terjadi pada pasien positif HIV (Kyriaks & Rodrigues, 2000; Turbadkar, Mathur, & Gaikwad, 2007; Bakaluba, 2013).

(6)

10 Sebenarnya mekanisme koinfeksi T.

pallidum dan HIV belum dapat dipahami

sepenuhnya, namun banyak yang berpendapat bahwa koinfeksi tersebut diawali dengan infeksi T. pallidum (Dai dkk., 2017). Infeksi sifilis dimulai dari penetrasi T. pallidum pada membran mukosa atau kulit dan merangsang terjadinya respon lokal. Infiltrasi makrofag dan sel T membuat lingkungan kaya akan reseptor HIV. Produksi sitokin oleh makrofaga yang distimulasi lipoprotein treponemal dapat meningkatkan replikasi HIV. T. pallidum juga dapat menginduksi ekspresi gen HIV 1 dan C-C Motif Chemokine Receptor 5 (CCR5) dari monosit yang merupakan koreseptor utama HIV (Sellati dkk., 2006). Menurut Dai dkk. (2017), infeksi T. pallidum dapat meningkatkan resiko terinfeksi HIV sebanyak 3-5 kali lipat dan infeksi HIV juga dapat meningkatkan resiko infeksi sifilis primer atau sekunder.

Melalui hasil wawancara dapat terlihat bahwa faktor resiko koinfeksi T.

pallidum dan HIV adalah aktivitas seksual

yang tidak aman. Semua sampel yang positif terinfeksi T. pallidum mengaku pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Mereka termasuk ke dalam kelompok Laki Suka Laki (LSL) sehingga melakukan hubungan seksual secara anal. Hasil ini sesuai dengan penelitian Dhaliwal, Patel, & Menter (2012) yang menyatakan bahwa koinfeksi sifilis-HIV biasanya terjadi pada kelompok LSL, pengguna narkoba jarum suntik, dan Pekerja Seks Komersil (PSK). Melalui penelitiannya Palacio dkk. (2016) juga membuktikan bahwa angka kejadian koinfeksi

sifilis dan HIV pada kelompok LSL cukup tinggi yaitu 17,6%. Beberapa penelitian lain juga melaporkan hasil yang sama, yaitu perilaku LSL dapat meningkatkan resiko terinfeksi T. pallidum dan HIV (Beymer dkk., 2014; Marco dkk., 2017).

Selain itu, sampel penelitian yang mengalami koinfeksi mengaku sering atau pernah berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Hasil ini sejalan dengan penelitian Dai dkk. (2017). Penelitian tersebut membuktikan bahwa melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan dan jarang menggunakan kondom menjadi faktor yang sangat mempengaruhi penularan sifilis dan HIV. Shilaih dkk. (2017) juga menyatakan bahwa hubungan seksual tanpa kondom terbukti menjadi salah satu penyebab penularan sifilis dan HIV pada seseorang.

Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini memiliki keakuratan yang tinggi. Selain menggunakan kit dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada pemeriksaan laboratorium, hasil pemeriksaan didukung juga dengan gejala klinis yang dikeluhkan oleh sampel penelitian. Enam orang yang mengalami koinfeksi tersebut mengaku pernah memiliki ruam di area kelamin. Penyakit sifilis ditandai dengan terbentuknya ruam, lesi, atau chancre pada bagian kelamin, rektum, atau anus (Ain, Rachmatdinata, & Djajakusumah, 2013).

Melalui penelitian ini dapat terlihat bahwa pemeriksaan infeksi T. pallidum pada pengidap HIV perlu dilakukan. Orang dengan koinfeksi tersebut harus segera mendapatkan pengobatan yang tepat. Tanpa mengetahui

(7)

11 status koinfeksinya, pengidap HIV hanya akan

mendapatkan pengobatan berupa ART padahal penggunaan obat tersebut tidak dapat melindungi mereka dari penyakit sifilis (Shilaih dkk., 2016). Selain itu, menurut Bakaluba (2013), skrining IMS seperti sifilis atau infeksi akibat patogen lain merupakan cara yang efektif untuk mendeteksi dan mengendalikan infeksi tersebut serta mencegah penyebaran HIV ke pasangan.

SIMPULAN

Kasus koinfeksi T. pallidum dapat ditemukan pada pengidap HIV di kota Bandung. Dari 60 orang, terdapat 13 orang (21,7%) yang mengalami kerusakan jaringan dan 11 orang (18,3%) diantaranya terbukti membentuk antibodi anti-T. pallidum. Semua sampel penelitian yang mengalami koinfeksi

T. pallidum mengaku pernah melakukan

hubungan seksual yang tidak aman.

SARAN

Penelitian tentang koinfeksi T. pallidum pada pengidap HIV perlu dilanjutkan dengan menambah jumlah dan memperluas lokasi pengambilan sampel penelitian. Kasus koinfeksi lainnya seperti Hepatitis B dan C juga perlu diteliti pada pengidap HIV, baik di kota Bandung maupun kota lain dengan prevalensi HIV yang tinggi. Selain itu, bagi Pemerintah dan Dinas Kesehatan diharapkan dapat melakukan edukasi kesehatan tentang pencegahan IMS dan pemeriksaan koinfeksi bagi pengidap HIV secara rutin guna menurunkan angka kematian akibat infeksi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ain, A.N., Rachmatdinata., & Djajakusumah, T.S. (2013). Koinfeksi Sifilis Sekunder dan HIV pada Seorang Laki Suka Laki.

Global Medical and Health

Communication, 1(2), 69-78.

Arora, S., Doda, V., Rani, S., & Kotwal, U. (2015). Rapid Plasma Reagin Test: High False Positivity or Important Marker of High Risk Behavior. Asian J

Transfus Sci, 9(1), 109.

Bakaluba. (2013). HIV and Syphilis Co-Infection in Patients Attending AAR Health Services Clinic in Uganda. Poster. Sex Transm Infect, 89(1), 214. Beymer, M.R., Weiss, R.E, Bolan, R.K, Rudy,

E.T, Bourque, L.B., Rodriguez, J.P., Morisky, D.E. (2014). Sex on demand: Geosocial Networking Phone Apps and Risk of Sexually Transmitted Infections among a Cross-Sectional Sample of Men Who Have Sex with Men in Los Angeles County. Sex Transm Infect, 90, 567-572.

Blank, L.J., Rompalo, A.M., Erbelding, E.J., Zenilman, J.M., & Ghanem, K.G. (2011). Treatment of Syphilis in HIV-infected Subjects: A Systematic Review of the Literature. Sex Transm Infect, 87(1), 9-16.

Chun, H.M., Carpenter, R.J., Macalino, G.E., & Crum-Cianflone, N.F. (2013). The Role of Sexually Transmitted Infections in HIV-1 Progression: A Comprehensive Review of the Literature. J Sex Transm Dis 1.

Dai, W., Luo, Z., Xu, R., Zhao, G., Tu, D., Yang, L., Wang, F., Cai, Y., Lan, L., Hong, F., Yang, T., & Feng, T. (2017). Prevalence of HIV and Syphilis Co-infection and Associated Factors among Non-commercial Men Who Have Sex with Men Attending a Sexually Transmitted Disease Clinic in Shenzhen, China. BMC Infectious

(8)

12 Dhaliwal, S., Patel, M., & Menter, A. (2012).

Secondary Syphilis and HIV. Proc Bayl

Univ Med Cent, 25(1), 87-89.

Efrida, E. (2014). Imunopatogenesis Treponema pallidum dan Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(3),574-589.

Eticha, B.T., Sisay, Z., Alemayehu, A., & Shimelis, T. (2013). Seroprevalence of Syphilis among HIV Infected Individuals in Addis Ababa, Ethiopia: A hospitalbased cross-sectional study.

BMJ Open, 3, e002566.

Hall, C.S., Klausne, J.D., & Bolan, G.A. (2004). Managing Syphilis in the HIV-infected Patient. Current Infectious

Disease Reports, 6, 72-81.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman

Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Laporan

Laporan Perkembangan HIV-AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kyriakis, K.P. & Hadjivassiliou, M. (2000).

HIV1 Infection-associated Risk Factors among Sexually Transmitted Disease Patients in Athens, Greece: 1990-1996.

Sex Transm Dis, 27(5), 259-265.

Marco, A.L., Jose, M.M., Enrique, A.M., Smeke, A.E.W., Garcia, G.H., Bulmaro, M.T., & Jesus, G.M. (2017). Risk Factors associated with the

Presence of Anti-Treponema pallidum Antibodies in Men HIV Patients a Case Control Study. J. Genit. Syst. Disord., 6, 1.

Palacios, R., Gonzalez-Domenech, C.M., Antequera, I., Ruiz-Moralez, J., Nuno, E., Marquez, M., Clavijo, E., & Santos, J. (2016). Does Syphilis Impact on HIV Infection When Both Diagnoses are Contaminant?. Clin Res Infect Dis, 3(5), 1045.

Sellati, T.J., Wilkinson, D.A., Sheffield, J.S., Koup, R.A., Radolf, J.D., & Norgard, M.V. (2006). Virulent Treponema pallidum, Lipoprotein, and Enhance their Susceptibility to Infection by Human Immunodeficiency Virus Type-1. J Infect Dis, 181, 283-93.

Shilaih, M., Marzel, A., Braun, D.L., Scherrer, A.U., Kovari, H., Young, J., Calmy, A., Darling, K., Battegay, M., Hoffmann, M., Bernasconi, E., Thurnheer, M.C., Gunthard, H.F., Kouyos, R.D., & The Swiss HIV Cohort Study. (2017). Factors Associated with Syphilis Incidence in the HIV-infected in the Era of Highly Active Antiretrovirals. Medicine, 96, 2. Turbadkar, S., Mathur, M., & Gaikwad, S.

(2007). Prevalence of Syphilis among HIV-seroreactive Patients. Indian J Sex

Transm Dis, 28(2), 91-93.

Zetola, N.M. & Klausner, J.D. (2007). Syphilis and HIV Infection: An Update.

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya ada tindakan mengambil satu bola secara acak dari wadah yang berisi N bola yang diberi nomor 1, 2, .., N dengan peluang masing-masing bola terambil adalah sama.?.

.) /ubungan %in#al $engan &rgan Sekitarnya.. %ambar) /istologi %in#al %ambar) /istologi Ureter.. Prostaglan"n merupakan hormone asam lemak t"ak jenuh yang

Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dapat dengan mudah mempelajari dan mengakses youtube .Dari ulasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangan media

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah Nya sehingga penulisan Tesis dengan judul ” Implementasi Kebijakan Proses Pembelajaran pada

Hama yang biasa ditemukan pada tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang (Ostrinia furnacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa

Grafik merupakan sebuah gambar yang menjelaskan data angka dalam lembar kerja, dengan visualisasi grafis memudahkan pembacaan data tanpa harus mengungkapkan dengan

Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui efek pemberian angkak terhadap aktivitas enzim antioksidan glutation peroksidase dalam darah dan histopatologi

Setelah melakukan penelitian di Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan wawancara dengan Kadiv bidang investasi langsung, penulis menyampaikan beberapa saran atas