• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Dan Aplikasi Polimer Kationik Aalmi Pada Sistem Emulsi Skin Lotion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sintesis Dan Aplikasi Polimer Kationik Aalmi Pada Sistem Emulsi Skin Lotion"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS DAN APLIKASI POLIMER KATIONIK ALAMI

PADA SISTEM EMULSI SKIN LOTION

Oleh DEWI SONDARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DEWI SONDARI. Sintesis dan Aplikasi Polimer Kationik Alami Pada Sistem

Emulsi Skin Lotion. Di bawah bimbingan LIESBETINI HARTOTO, CHILWAN

PANDJI, dan AGUS HARYONO.

Perkembangan kosmetika yang digunakan untuk perawatan tubuh dewasa ini sangat pesat. Kosmetik merupakan campuran dari beberapa bahan yang telah diformulasikan sedemikian rupa dan berfungsi untuk merawat serta memperindah bagian-bagian tubuh sesuai dengan tujuan penggunaan kosmetika tersebut. Sekarang ini telah banyak ditemui berbagai macam produk perawatan kulit seperti

krim dan skin lotion yang berfungsi untuk mencegah agar kulit tidak kering dan

tetap segar.

Berbagai jenis bahan penstabil emulsi telah banyak digunakan dalam

formula skin lotion untuk menghasilkan produk yang mampu mempertahankan

kestabilannya bila di simpan dalam waktu yang cukup lama. Penambahan polimer kationik merupakan salah satu jenis penstabil yang dapat digunakan dalam

pembuatan skin lotion. Disamping memperpanjang kestabilan sistem emulsi,

penambahan polimer kationik juga dapat berfungsi sebagai bahan pengental dan pengemulsi.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan skin lotion yang mempunyai

kestabilan emulsi tinggi dengan adanya penambahan polimer kationik yang berasal dari chitosan dan selulosa.

Pada penelitian pendahuluan didapatkan komposisi formulasi emulsi yang relatif stabil adalah dengan menggunakan polietilen glikol (400) monooleat

sebagai surfaktan dan virgin coconut oil sebagai fasa minyak. Selanjutnya

formulasi ini digunakan dalam pembuatan skin lotion dengan menggunakan

polimer kationik dari chitosan dan selulosa. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama pembuatan sistem emulsi. Pada pembuatan sistem emulsi tersebut digunakan 3 jenis minyak (minyak silikon, minyak mineral dan virgin coconut oil) dan 3 jenis surfaktan (polietilen glikol 400 monooleat, polietilen

glikol 400 dioleat dan sorbitan monooleat) sebagai emulsifier. Tahap selanjutnya

adalah sintesis polimer alami (selulosa dan chitosan) dan tahap terakhir adalah

aplikasi polimer kationik pada sistem emulsi skin lotion.

Dari hasil analisa FTIR dan NMR dapat dilihat struktur molekul dari chitosan dan selulosa setelah dan sebelum di sintesis menjadi polimer kationik.

Puncak pada frekuensi (angka gelombang) 1412 cm-1 menunjukkan pita metil dari

3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida (CHTAC), tampak pada spektrum untuk turunan chitosan amonium kuartener tetapi spektrum tersebut

tidak nampak pada chitosan yang tidak di modifikasi. Pada frekuensi 1525 cm-1

tampak pita dari gugus amina primer dalam chitosan. Dengan analisa FTIR maka dapat dilihat terjadinya konjugasi dari CHTAC ke dalam gugus amina dari chitosan. Dari spektrum FTIR selulosa amonium kuartener, pada frekuensi 1471

cm-1 menunjukkan adanya pita metil.

Untuk melihat bahwa terjadi reaksi antara chitosan dengan CHTAC, maka

dilakukan analisi 1H NMR dari turunan chitosan amonium kuartener 1:3, 1:4 dan

1:6. Dari spektrum NMR, puncak pada δ = 1,9 ppm tampak gugus -COCH3 dari

chitin, puncak pada δ = 3,1 ppm dan 3,3 ppm menunjukkan gugus -+N(CH3)3 dan

(3)

dari CHTAC.

Sintesa chitosan amonium kuartener dilakukan pada suhu 60 oC selama 18

jam, sedangkan sintesa selulosa amonium kuartener pada suhu 50 oC selama 2

jam lalu dilanjutkan pada suhu 76 oC selama 15 menit.

Penggunaan chitosan amonium kuartener dengan konsentrasi 0,05%

dihasilkan produk skin lotion yang relatif stabil dengan ukuran partikel sebesar 4,1

µm dan stabilitas emulsi 89%. Sedangkan untuk selulosa amonium kuartener

diperoleh produk skin lotion yang stabil dengan ukuran partikel 8,5 µm dan

(4)

DEWI SONDARI. Synthesis and Application of Natural Cationic Polymers on Skin Lotion Emulsion System. Under direction of LIESBETINI HARTOTO, CHILWAN PANDJI, dan AGUS HARYONO.

Cosmetics used for body treatment are currently developing very rapidly. Cosmetics are a mixture of various materials formulated in such a manner which function to care parts of the body, in line with usage of the cosmetics itself. Nowadays there are many products available such as creaming and functioning lotion to prevent the skin drying and keep its freshness.

Various types of stabilizers have been used in many skin lotion formulas to yield product which can maintain its stability for a long period of time during storage. Addition of cationic polymers represents one of the types of stabilizers able to be used in making of skin lotion. Besides increasing the stability of emulsion system, addition of cationic polymers can also function as emulsifiers and thickeners.

This research aims to yield skin lotion that has high stability through the addition of cationic polymers from cellulose and chitosan.

Preliminary research resulted in emulsion formulation of composition which are relatively stabil using polyethylene glycols ( 400) monooleat as surfactans and virgin oil coconut as oil phase. This formulation was then used in the preparation of skin lotion with cationic polymer from chitosan and cellulose. This research was divided into three stage. First stage was, producing emulsion system that used 3 different kind of oil ( silicon oil, natural oil, and virgin coconut oil) and 3 different kind of surfactant (polyethylene glycol (400) monooleat, polyethylene glycol (400) dioleat, sorbitan monooleat) as an emulsifier. The next step was natural polymer synthesis (cellulose, chitosan), and the last step was catonic polymer application on emulsion system of skin lotion.

Analysis of FTIR and NMR showed molecule structure of cellulose and chitosan before and after synthesis to become cationic polymers. The peak corresponding to the methyl band of 3-kloro-2-hydroksiprophyl trimethyl

ammonium chloride (CHTAC) at wave number 1412 cm-1 was presented in the

spectra for derivatives of quartenary ammonium chitosan but not in the spectrum

for unmodified chitosan. The band at 1525 cm-1 indicated the primary amine

group of chitosan. In this way, the FTIR analysis confirmed the successful conjunction of CHTAC to the amine group of chitosan. The peak corresponding to

the methyl band at frequancy 1471 cm-1 was present in the spectra for derivatives

quartenary ammonium cellulose.

To further confirm the success of the reaction between chitosan with 3- Cloro-2- Hydroxipropyl Trimethyl Ammonium Cloride (CHTAC), analysis 1H NMR of generation of quartenary ammonium chitosan 1:6, 1:4 and 1:3 was

conjunction. From the obtained NMR spectra, peaks at δ = 1,9 ppm

corresponded the excistence of - COCH3 of chitin, peaks at δ = 3,1 and 3,3 ppm

represented the -+ N(CH3)3 and N-CH2 groups in CHTAC respectively. NMR

spectrum for cellulose, peaks at δ = 3,2 ppm showing - +N(CH3)3 from CHTAC.

Synthesis of quartenary ammonium chitosan was conducted at temperature

(5)

minute.

(6)

PADA SISTEM EMULSI SKIN LOTION

Dewi Sondari

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Sintesis dan Aplikasi Polimer Kationik

Alami Pada Sistem Emulsi Skin Lotion

Nama : Dewi Sondari

Nomor Induk Mahasiswa : F 351040091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S Ketua

Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc Dr. Eng. Agus Haryono

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(8)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

SINTESIS DAN APLIKASI POLIMER KATIONIK ALAMI

PADA SISTEM EMULSI SKIN LOTION

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2007

Dewi Sondari

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rakhmat

dan karunia-Nya maka tesis yang berjudul ”Sintesis dan Aplikasi Polimer

Kationik Alami Pada Sistem Emulsi Skin Lotion ” dapat diselesaikan.

Selama mengerjakan penelitian dan menyusun tesis ini penulis banyak

mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S., selaku Ketua Komisi Pembimbing atas

bimbingan, saran, dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan tesis.

2. Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc., selaku anggota Komisi Pembimbing atas

bimbingan, saran, dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini.

3. Dr. Eng. Agus Haryono, selaku anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan,

saran, dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini.

4. Dr. Ani Suryani, DEA., selaku penguji yang telah memberikan saran dan

kritik demi kesempurnaan tesis ini.

5. Dr. Ir. Irawadi Jamaran, selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi

Industri Pertanian atas bimbingan, saran, dan kritik yang diberikan.

6. Suami dan anak-anakku tercinta atas semua bantuan baik materil maupun

spiritual serta kasih sayangnya.

7. Teman-teman di Balai Teknologi Proses dan Katalisis, Pusat Penelitian

Kimia-LIPI Serpong atas bantuan yang diberikan.

8. Teman-teman satu angkatan TIP 2004 yang telah memberikan dorongan dan

bantuannya.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

yang membutuhkannya.

Bogor, Juli 2007

(10)

Penulis di lahirkan di Bandung pada tanggal 23 Oktober 1968. Putri kedua

dari lima bersaudara dari pasangan Aang Natamihardja dan Hj. Djadjah Raesih.

Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Buahbatu III

Bandung pada tahun 1981, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 18

Bandung lulus pada tahun 1984 , dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 12

Bandung lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991 penulis lulus dari

POLITEKNIK Institut Teknologi Bandung Jurusan Teknik Kimia, pendidikan

sarjana ditempuh di Universitas Jenderal Achmad Yani pada tahun 1994.

Penulis bekerja di Pusat Penelitian Kimia-LIPI Serpong sejak tahun 1997

dan melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana (S2) pada tahun 2004 di

(11)

ix

Halaman

DAFTAR TABEL….. ……… xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... ... xiv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 3

Hipotesis... 3

Ruang lingkup Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Emulsifier... 5

Destabilisasi Emulsi... 9

Polimer Kationik... 12

Kulit... 19

Skin Lotion... 22

METODOLOGI PENELITIAN... 29

Bahan dan Alat Penelitian... 29

Tempat dan Waktu Penelitian... 29

Metode Penelitian... 29

Rancangan Percobaan... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

Sistem Emulsi Yang Dihasilkan... 39

Ukuran Partikel Sistem Emulsi... 39

Stabilitas Relatif Sistem Emulsi... 47

Viskositas Sistem Emulsi... 48

Tegangan Permukaan dan Tegangan Antar Muka Sistem Emulsi... 50

Hasil Sintesis Polimer Alami... 54

Derajat Deasetilasi dan Berat Molekul Chitosan... 54

Analisis Spektrum FTIR Chitosan Kationik... 56

(12)

x

Analisis Spektrum FTIR Selulosa Kationik... 63

Analisis Spektrum NMR Selulosa Kationik... 67

Hasil Aplikasi Polimer Kationik Pada Formula Skin Lotion... 67

Ukuran Partikel Formula Skin Lotion... 68

pH Formula Skin Lotion... 71

Stabilitas Emulsi Formula Skin Lotion... 72

Analisis Total Mikroba Formula Skin Lotion... 76

Interaksi Antara Surfaktan Dengan Polimer Kationik... 77

KESIMPULAN DAN SARAN... 79

Kesimpulan... 79

Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA... 81

(13)

xi

Halaman

1. Sifat minyak silikon.. ... 23

2. Sifat minyak mineral... 25

3. Sifat virgin coconut oil... 25

4. Hasil analisis pH formula skin lotion dan produk komersil... 72

5. Perbandingan stabilitas emulsi serta komposisi produk kosmetik dan formula skin lotion yang ditambah polimer kationik... 76

(14)

xii

Halaman

1. Struktur molekul sorbitan monooleat... ... 7

2. Struktur molekul polietilen glikol (400) monooleat.. ... 7

3. Struktur molekul polietilen glikol (400) dioleat... ... 7

4. Misel emulsi.. ... 8

5. Proses destabilisasi emulsi... 10

6. Interaksi surfaktan dengan polimer kationik... 13

7. Turunan selulosa kationik... 14

8. Turunan chitosan kationik... 15

9. Struktur molekul selulosa... 15

10.Struktur selulosa dan turunannya... 17

11.Struktur molekul chitosan... ... 17

12.Struktur jaringan kulit manusia... 20

13.Struktur epidermis... 21

14.Struktur molekul minyak silikon... 24

15.Diagram alir tahapan penelitian... 30

16.Diagram alir sintesis polimer chitosan kationik... 32

17.Diagram alir sintesis polimer selulosa kationik... 32

18.Fotomikroskop sistem emulsi formula A... 40

19.Fotomikroskop sistem emulsi formula B... 41

20.Fotomikroskop sistem emulsi formula C... 42

21.Fotomikroskop sistem emulsi formula A... 43

setelah disimpan 3 bulan 22.Fotomikroskop sistem emulsi formula B... 44

setelah disimpan 3 bulan 23.Fotomikroskop sistem emulsi formula C... 45

setelah disimpan 3 bulan 24.Fotomikroskop sistem emulsi produk komersil... 46

25.Histogram stabilitas relatif emulsi... 48

(15)

xiii

28.Histogram tegangan permukaan sistem emulsi... 52

29.Histogram tegangan permukaan produk komersial... ... 52

30.Histogram tegangan antar muka sisitem emulsi... ... 53

31.Histogram tegangan antar muka produk komersial... 54

32.Spektrum FTIR film chitosan... 55

33.Skema reaksi chitosan dengan CHTAC... 56

34.Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:3 ………. 57

35.Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:4…. ……... 58

36.Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:6………... 58

37.Spektrum FTIR chitosan…….……….….. 59

38.Spektrum FTIR chitosan dan chitosan kationik………. 59

39.Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:3……….... 60

40.Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:4…….….. 61

41.Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:6…….…... 61

42.Transmitan UV-Visible chitosan ammonium kuartener……… 62

43.Spektrum FTIR selulosa... ... 63

44.Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:3... 64

45.Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:4... 64

46.Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:6... 65

47.Spektrum FTIR selulosa dan selulosa kationik... 65

48.Skema reaksi selulosa dengan CHTAC... 66

49.Spektrum 1H NMR selulosa amonium kuartener... 67

50.Fotomikroskop sistem emulsi polimer chitosan kationik... 69

51.Fotomikroskop sistem emulsi polimer selulosa kationik... 70

52.Histogram stabilitas emulsiformula skin lotion yang ditambah polimer chitosan kationik... 73

53. Histogram stabilitas emulsi formula skin lotion yang ditambah polimer selulosa kationik... 75

54.Histogram stabilitas emulsi produk komersil... 75

(16)

xiv

Halaman

1. Hasil analisis tegangan permukaan dan tegangan antar

Muka sistem emulsi... 85

2. Hasil analisis stabilitas relatif sistem emulsi ... 86

3. Hasil analisis viskositas sistem emulsi... 87

4. Hasil analisis pH formula skin lotion dan produk komersil.. 88

5. Hasil analisis stabilitas emulsi skin lotion dan produk komersil... 89

6. Hasil analisis kelarutan chitosan kationik... 90

7. Hasil analisis untuk perhitungan berat molekul chitosan... 91

8. Prosedur analisis pH dan viskositas... 92

9. Prosedur perhitungan berat molekul chitosan... 93

10.Prosedur perhitungan derajat deasetilasi chitosan dan kelarutan chitosan kationik... 94

11.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas relatif sistem emulsi... 95

12.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap viskositas sistem emulsi... 96

13.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap viskositas sistem emulsi setelah disimpan 3 bulan... 97

14.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan permukaan sistem emulsi... 98

15.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan permukaan sistem emulsi setelah disimpan 3 bulan... 99

16.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan antar muka sistem emulsi... 100

17.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan antar muka sistem emulsi setelah disimpan 3 bulan... 101

(17)

xv stabilitas emulsi... 102

19.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan formula skinlotion dengan penambahan selulosa kationik terhadap

stabilitas emulsi... 104

20.Gambar sampel chitosan, selulosa, chitosan amonium kuartener, formula sistem emulsi dan

selulosa amonium kuartener... 106

21.Gambar alat proses sintesis polimer kationik,

fotomikroskop, vakum oven, surface tensuomart model 21

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan kosmetika yang digunakan untuk perawatan tubuh, dewasa

ini sangat pesat. Kosmetik merupakan campuran dari beberapa bahan yang telah

diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi untuk merawat serta

memperindah bagian-bagian tubuh sesuai dengan tujuan penggunaan kosmetika

tersebut. Sekarang ini telah banyak ditemui berbagai macam produk perawatan

kulit seperti krim dan skin lotion yang berfungsi untuk mencegah agar kulit tidak

kering dan tetap segar.

Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dengan tingkat penyinaran

matahari yang sangat panas, menyebabkan kulit pada lapisan corneum menjadi

kering dan kurang lentur. Untuk itu diperlukan lotion yang dapat memperbaiki

kulit kering, mempunyai permeabilitas terhadap air rendah dan memberikan

komponen hidrofilik, sehingga mampu menahan dehidrasi air dari kulit, dengan

demikian kulit menjadi lembut.

Emulsi merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam

berbagai produk kosmetik. Penggunaan emulsifier memungkinkan bahan-bahan

dalam formula kosmetik menjadi homogen, sehingga menjadi mudah

diaplikasikan pada rambut dan kulit. Pada produk kosmetik, jenis emulsifier yang

digunakan biasanya berupa bahan semipadat yang memiliki fase air (hidrofilik)

dan fase minyak (hidrofobik), contohnya propilen glikol monostearat.

Pada umumnya lotion yang menggunakan tipe emulsi minyak dalam air,

disusun oleh komponen emulsifier, humektan, emolien, bahan aktif dan air.

Komponen bahan pengawet dan pewangi juga penting untuk ditambahkan, tetapi

harus stabil terhadap suhu, pencahayaan dan kelembaban (Keithler, 1956). Selain

itu digunakan pula bahan pengental karbomer yang merupakan bahan pengental

yang termasuk ke dalam golongan akrilamid. Menurut Schmitt (1996),

bahan-bahan yang termasuk ke dalam akrilamid dapat memicu pertumbuhan penyakit

kanker, sehingga saat ini penggunaan bahan-bahan golongan akrilamid dikurangi

penggunaannya.

Salah satu karakter dasar emulsi adalah jika diberi energi atau disimpan

(19)

menjadi asalnya atau disebut tidak stabil, sehingga produk-produk kosmetik tidak

akan bertahan lama. Walaupun sudah memakai emulsifier, sistem emulsi pada

kosmetik pada waktu tertentu akan terpisah juga, sehingga perlu penambahan

polimer kationik yang akan menambah kestabilan sistem emulsi. Penambahan

polimer kationik ke dalam sistem emulsi menyebabkan emulsi tidak mengalami

pemisahan selama tahap penyimpanan dan pengangkutan.

Disamping menambah kestabilan sistem emulsi, penambahan polimer

kationik juga dapat berfungsi sebagai bahan pengental. Jika sejumlah bahan

polimer dimasukkan kedalam sistem emulsi, sistem tersebut sanggup

mempertahankan kestabilannya (Schueller & Romanowski, 1999). Bahan polimer

berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan

Hidrophyle Lipophyle Balance (HLB) yaitu keseimbangan antara komponen yang larut air dan larut minyak.

Kelebihan lain polimer kationik adalah karena adanya interaksi

elektrostatik antara muatan positif pada polimer dan muatan negatif pada rambut

dan kulit, sehingga membentuk lapisan film yang memberikan efek pelembut

pada rambut dan kulit. Polimer kationik dibuat dengan mengganti gugus hidroksil

pada fatty alkil (contohnya hidroksietil selulosa) membentuk polimer natural atau

sintetik termodifikasi.

Interaksi antara surfaktan dengan polimer membentuk suatu ikatan yang

sangat kuat karena adanya gaya elektrostatik yang dominan yang menyebabkan

terjadinya peningkatan viskositas, sehingga sistem emulsi menjadi lebih kental

dan lebih stabil (Goddard, 1993).

Polimer kationik dari selulosa dan chitosan adalah polimer alami yang

mampu menstabilkan sistem emulsi. Bahan baku tersebut melimpah dan dapat

digunakan untuk pelembut rambut dan kulit, sehingga memberikan efek lembut,

lembab dan melindungi kulit. Selama ini yang digunakan dalam produk skin

lotion adalah polimer sintetik seperti polimer carboxy vinyl dan carbomer.

Pada penelitian ini dilakukan sintesis polimer alami dari selulosa dan

chitosan yang tidak larut dalam air menjadi polimer kationik yang dapat larut

dalam air. Pembuatan sistem emulsi dari tiga jenis minyak yaitu minyak silikon,

(20)

polietilen glikol (400) monooleat, polietilen glikol (400) dioleat dan sorbitan

monooleat. Terakhir adalah aplikasi polimer kationik pada sistem emulsi dalam

pembuatan skin lotion.

Pemilihan jenis minyak dalam penelitian ini untuk melihat perbedaan

penggunaan minyak dalam sistem emulsi berdasarkan dari sumber bahan bakunya

dengan sifat fisika kimia yang berbeda-beda. Minyak mineral berasal dari minyak

bumi, virgin coconut oil dari tumbuhan dan minyak silikon merupakan hasil

polimerisasi dari prekursor dimetil silikon. Sedangkan penggunaan surfaktan tipe

non-ionik digunakan dalam pembuatan sistem emulsi karena surfaktan jenis ini

stabil baik dalam suasana asam maupun dalam suasana basa, menghasilkan sangat

sedikit busa, disamping itu surfaktan non-ionik cocok digunakan untuk produk

lotion karena memberikan efek transparan (tembus cahaya) dengan mempunyai nilai HLB yang cukup besar (Griffin, 1974)

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan jenis minyak dan emulsifier terbaik untuk pembuatan sistem

emulsi.

2. Mendapatkan perbandingan komposisi bahan selulosa dan chitosan dengan

bahan 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida terbaik pada

sintesis polimer kationik yang bersifat larut dalam air.

3. Mengkaji pengaruh aplikasi polimer kationik terhadap kestabilan emulsi

formula skin lotion.

Hipotesis

1. Jenis minyak dan jenis emulsifier yang sesuai akan menghasilkan sistem

emulsi terbaik.

2. Sintesis polimer kationik memerlukan perbandingan komposisi bahan

selulosa dan chitosan dengan 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium

yang tepat.

3. Aplikasi polimer kationik dari selulosa dan chitosan dalam sistem emulsi

(21)

Ruang Lingkup Penelitian

1. Pembuatan sistem emulsi menggunakan tiga jenis minyak yaitu minyak

silikon, minyak mineral dan virgin coconut oil (VCO) dan tiga jenis

emulsifier yaitu polietilen glikol (400) monooleat, polietilen glikol (400)

dioleat dan sorbitan monooleat.

2. Sintesis polimer alam dari selulosa dan chitosan menjadi polimer kationik

dengan komposisi bahan yang divariasikan serta analisanya menggunakan

NMR (Nuclear Magnetik Resonance) dan FTIR (Fourier Transform Infra

Red).

3. Aplikasi polimer kationik pada pembuatan skin lotion.

4. Pengujian sistem emulsi meliputi ukuran partikel, stabilitas, viskositas,

tegangan permukaan dan tegangan antar muka.

5. Analisa terhadap produk skin lotion yang dihasilkan meliputi ukuran

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Emulsifier

Emulsi dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem heterogen yang memiliki

setidaknya satu jenis cairan (liquid) yang seharusnya tidak mungkin dicampur-

terlarut dalam cairan lainnya dan membentuk campuran baru yang sifatnya semi

padat menyerupai tetesan air (Schueller & Romanowski, 1999).

Emulsi adalah jenis sistem penghantar yang paling banyak digunakan

dalam berbagai produk kosmetik. Pada produk kosmetik, jenis emulsi yang

digunakan biasanya berupa bahan semipadat yang memiliki fase air (hidrofilik)

dan fase minyak (hidrofobik). Kedua fase ini membentuk fase internal dan

eksternal pada emulsi. Fase internal terdiri dari bahan-bahan yang membentuk

sebaran butiran teremulsifikasi, sedangkan fase eksternal terbentuk dari sisa-sisa

fase internal.

Partikel yang membentuk fase internal memiliki ukuran yang

berbeda-beda (polidisperse). Ukuran rata-rata diameter partikel digunakan untuk

mengklasifikasikan emulsi. Sebagai contoh, jika rata-rata diameter partikel lebih

kecil dari 100 nm (1000 Ǻ), emulsi tersebut dinamakan nanoemulsi. Emulsi

dengan rata-rata diameter partikel 1000 Ǻ - 2000 Ǻ disebut mikroemulsi,

sedangkan diameter yang lebih besar lagi disebut makroemulsi (US Patent Pub No

2004/0076598 AI).

Emulsifier merupakan komponen yang berfungsi menstabilkan proses

penguraian fase internal yang terjadi pada fase eksternal (kontinyu). Emulsifier

merupakan surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka antara dua

fase, yaitu molekul-molekul hidrofilik dan lipofilik. Seperti halnya surfaktan,

emulsifier dikelompokkan menjadi kelompok anionik, kationik, non-ionik, atau

amfoterik sesuai sifat kelarutan gugus utamanya dalam air.

Surfaktan Anionik

Surfaktan ini banyak digunakan dalam formula pembersih menggunakan

alkil sulfat. Alkil sulfat terbentuk dari rantai panjang hidrokarbon yang berikatan

dengan gugus sulfonat pada salah satu ujungnya. Contohnya adalah sodium lauryl

(23)

polar gugus utama dan susunan rantai karbon. Sebagai contoh, alkil eter sulfat,

alkil fosfat, dialkil sulfosuksinat dan alkanaloamida sulfat adalah varian dari

rantai utama yang sama.

Surfaktan Amfoterik

Surfaktan amfoterik seperti asil β-aminopropionat (antara lain sodium

laurimino-dipropionat), juga berfungsi sebagai deterjen, tetapi kelompok ini

memiliki perbedaan sifat dan struktur kimia. Definisi amfoterik mengandung

pengertian zwitterionik; yaitu dapat diubah menjadi proton, dengan menerima

muatan positif dalam suasana asam. Dalam suasana basa (alkali), surfaktan

amfoterik melepaskan proton dan memiliki rantai yang bermuatan negatif.

Bahan-bahan tersebut di atas biasanya tidak menimbulkan iritasi

dibandingkan dengan jenis surfaktan lain, sehingga banyak digunakan sebagai

formula utama deterjen yang lembut, seperti sampo bayi.

Surfaktan Kationik dan Non-ionik

Surfaktan kationik merupakan deterjen efektif, yang menghasilkan busa,

akan tetapi surfaktan ini dapat mengakibatkan iritasi pada kulit dan mata. Di satu

sisi, surfaktan non-ionik dapat bersifat sangat lembut, tetapi hanya menghasilkan

sangat sedikit busa.

Sorbitan monooleat (SMO) adalah salah satu surfaktan non-ionik dengan

nama dagang Span 80. Sorbitan monooleat merupakan surfaktan non-ionik ester

dari asam lemak dan alkohol bervalensi banyak, seperti sorbitol atau eter cincin

tertutup yang terbentuk di bawah pemisahan air dengan struktur tetrahidrofuran

(Gambar 1). Reaksi antara asam oleat dengan sorbitol berlangsung dengan reaksi

esterifikasi secara parsial, yaitu hanya satu –OH yang teresterifikasi dari beberapa

–OH yang terdapat pada sorbitol. Span 80 termasuk surfaktan emulsi jenis air

dalam minyak dengan HLB 3,0 sampai dengan 4,3 dan mempunyai bilangan

(24)

Gambar 1. Struktur molekul sorbitan monooleat (Othmer,1994)

Polietilen glikol (400) dioleat dan Polietilen glikol (400) monooleat

merupakan surfaktan non-ionik yang berasal dari asam oleat dan polioksietilen,

dengan proses pembentukan secara esterifikasi. Polietilen glikol (PEG) yang

digunakan mempunyai berat molekul n ± 400 gram/mol (Gambar 2 dan 3).

Polietilen glikol (400) monooleat bersifat cair dengan bilangan asam sekitar 5 dan

bilangan penyabunan antara 80 sampai 89, serta nilai HLB kurang dari 11,6.

Sedangkan polietilen glikol (400) dioleat (Gambar 3) mempunyai bilangan asam

sekitar 10, bilangan penyabunan 113-122, dan HLB 8,3 yang menunjukkan

kemudahan sifat untuk melarut dalam air dibandingkan dalam minyak. Aplikasi

polietilen glikol (400) monooleat dan polietilen glikol (400) dioleat dalam industri

adalah untuk kosmetik, sampo, lotion, tekstil, plastik dan bahan aditif pada resin.

Gambar 2. Struktur molekul polietilen glikol (400) monooleat (Othmer,1994)

Gambar 3. Struktur molekul polietilen glikol (400) dioleat (Othmer,1994)

(25)

Jika dimasukkan ke dalam sistem air, emulsifier cenderung membentuk

rantai lurus dan dapat mencegah terjadinya interaksi antara gugus hidrofilik

dengan hidrofobik. Pada jumlah yang melimpah, emulsifier membentuk struktur

sferis yang disebut misel. Struktur ini berkumpul membentuk pola dimana ekor

hidrofobik terorientasi kearah pusat misel, sedangkan kepala hidrofilik berada di

permukaan (lapisan terluar) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Misel emulsi (Schueller & Romanowski, 1999).

Walaupun emulsifier membantu menstabilkan interaksi antara fase minyak

dengan air secara inheren, namun emulsi masih belum stabil. Hal ini dikarenakan

berlakunya Hukum Termodinamika ke-2, yaitu pada waktu tertentu fase minyak

dan air ini akan terpisah juga (Schueller & Romanowski, 1999). Kecepatan dan

kesempurnaan pemisahan kedua fase tersebut tergantung kepada komposisi

emulsi. Jika sejumlah surfaktan polimer dimasukkan kedalam sistem emulsi,

sistem tersebut sanggup mempertahankan kestabilannya (Schueller &

Romanowski, 1999). Surfaktan polimer berfungsi sebagai pengikat fasa minyak

dan fasa air yang terkait dengan HLB yaitu keseimbangan antara komponen yang

larut air dan larut minyak.

Metode yang banyak digunakan untuk memilih emulsifier adalah HLB

(Griffin, 1974). Metode ini menggunakan dasar afinitas minyak dan air dengan

skala 0-20. Formula dengan HLB rendah bersifat lipofilik, dan sebaliknya

formula dengan HLB tinggi bersifat hidrofilik. Nilai HLB bahan mempengaruhi

(26)

3-8 menghasilkan emulsi w/o, dan HLB 10-20 menghasilkan emulsi o/w. Sistem

emulsi ini pada awalnya dirancang untuk jenis emulsifier non-ionik, tetapi kini

telah banyak diaplikasikan untuk surfaktan-surfaktan lainnya.

Metode HLB sistem juga bisa digunakan untuk mengukur nilai HLB yang

diperlukan pada sistem minyak dan jenis emulsi yang akan terbentuk. Sebagai

contoh, minyak mineral memerlukan bahan yang mempunyai nilai HLB 4,5 untuk

membentuk emulsi w/o, sedangkan untuk membuat emulsi o/w, minyak mineral

memerlukan emulsifier dengan HLB 11. Penentuan nilai HLB dapat dilakukan di

laboratorium maupun dengan melihat tabel. Walaupun sistem HLB bisa

digunakan untuk memprediksi jenis emulsi yang akan terbentuk, sistem ini tidak

dapat memberikan referensi konsentrasi bahan yang diperlukan. Informasi

tersebut hanya bisa diperoleh melalui pengukuran laboratorium.

Destabilisasi Emulsi

Destabilisasi atau ketidakstabilan emulsi terjadi mengikuti 4 mekanisme

utama, yaitu : creaming, flocculation, coalescence, dan inversion. Keempat

proses tersebut terjadi secara simultan (Gambar 5). Menurut Suryani et al (2000),

faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan emulsi yaitu komposisi bahan

yang tidak tepat, ketidakcocokan bahan, kecepatan dan waktu pencampuran yang

tidak tepat, tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi,

pemanasan dan penguapan yang berlebihan, jumlah dan pemilihan emulsifier

yang tidak tepat, pembekuan, guncangan mekanik atau getaran, ketidak

seimbangan densitas, ketidak murnian emulsi, adanya reaksi antara dua atau lebih

komponen dalam sistem emulsi serta penambahan asam atau senyawa elektrolit.

Creaming

Butiran-butiran dalam emulsi memiliki densistas yang berbeda-beda yang

menimbulkan kecenderungan mengalami proses destabilisasi yang disebut

creaming. Partikel-partikel dengan ukuran kerapatan (densitas) kecil akan naik ke permukaan. Hasil akhir proses creaming adalah 2 jenis emulsi, yaitu :

1. Emulsi dengan fase internal lebih besar, dan

(27)

Gambar 5. Proses destabilisasi emulsi ( Schueller &Romanowski, 1999).

Contoh klasik creaming adalah susu non-homogen, yaitu secara alami susu akan

membentuk krim lemak yang mengambang di permukaan (kepala susu).

Creaming tidak menyebabkan permasalahan stabilitas yang serius, karena

sesungguhnya tidak ada satu pun partikel dalam sistem yang benar-benar

menyatu. Creaming dapat diatasi dengan cara agitasi.

Flocculation

Selama proses creaming, butiran-butiran fase internal bereaksi 2 arah

membentuk ikatan lemah. Secara khusus hal ini disebabkan oleh muatan

permukaan yang tidak memadai pada misel, sehingga terjadi pengurangan gaya

repulsif di antara butiran-butiran fase internal. Kedua partikel tersebut saling

menggabung, tetapi tidak ada perubahan ukuran. Kejadian dapat diilustrasikan

seperti dua buah bola bilyar yang saling disentuhkan. Pada saat keduanya

bersentuhan terbentuklah asosiasi. Akan tetapi asosiasi tersebut mudah

dilepaskan dengan memindahkan salah satu bola. Dengan mekanisme yang sama,

flocculation pada emulsi dapat dikembalikan dengan cara mengagitasi sistem.

Dengan demikian flocculation bukanlah ancaman serius terhadap stabilitas

(28)

Coalescence

Ketika dua butiran fase internal saling mendekat, keduanya dapat

bergabung membentuk partikel yang lebih besar. Proses ini berlangsung 1 arah

(irreversible), sehingga bisa menimbulkan masalah serius pada stabilitas produk.

Sejumlah tertentu partikel yang mengalami coalescence dapat memisahkan kedua

fase emulsi secara sempurna. Ostwald ripening adalah fenomena yang sama

dimana partikel fase internal cenderung bergabung membentuk ukuran seragam.

Peristiwa ini juga bisa menyebabkan pemisahan fase.

Inversion

Pada saat terjadi inversion, fase eksternal berubah menjadi internal dan

sebaliknya. Perubahan seperti ini biasanya tidak diinginkan karena karakter fisik

emulsi yang terbentuk akan berbeda.

Faktor-Faktor Lain

Peningkatan suhu penyimpanan akan mempercepat destabilisasi emulsi

dan sebaliknya. Penguapan fase air dapat menurunkan stabilitas emulsi. Faktor

pemicu yang lain adalah kontaminasi mikroba dan reaksi kimia.

Pada kadar tertentu, semua jenis emulsi mudah terpengaruh oleh proses

destabilisasi dan hasil setiap proses bebeda-beda. Sebagai contoh, mikroemulsi

transparan (tembus cahaya) yang mengalami flocculation dapat berubah menjadi

translucent (tidak tembus cahaya). Proses ini merugikan, terutama jika terjadi

pada produk kosmetik bening, yaitu tidak dapat terdeteksi terjadinya flocculation

pada makroemulsi. Jika proses berlanjut pada coalescence, permasalahan menjadi

lebih serius karena dapat menimbulkan berbagai rheologi pada makroemulsi.

Destabilitasi dapat ditekan dengan meracik formula emulsi seteliti mungkin.

Beberapa metode telah digunakan untuk mengukur derajat destabilisasi.

Metode-metode yang sederhana antara lain pengamatan langsung, mengukuran

pH dan viskositas. Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan light

scattering, pengkuran konduktivitas, evaluasi mikroskopis, dan NMR (Schueller

(29)

Polimer Kationik

Secara umum polimer kationik terdiri dari rantai polimer lurus yang

mempunyai sisi muatan positif yang terdapat pada struktur polimer tersebut.

Seperti surfaktan kationik, polimer kationik dapat diaplikasikan pada rambut dan

kulit karena interaksi elektrostatik antara sisi muatan positif pada polimer dan sisi

negatif pada rambut. Tidak seperti surfaktan, banyak polimer kationik dapat

bergabung dengan surfaktan anionik dan membentuk film pada rambut dan kulit.

Lapisan film ini memberikan kontribusi kepada rambut dan kulit sebagai

pelembut.

Polimer kationik dibuat dengan mengganti gugus hidroksil pada fatty alkil

membentuk polimer natural atau sintetik termodifikasi. Pada saat strukturnya

mirip dengan quats (surfaktan kationik dalam bentuk garam amonium kuartener),

polimer mempunyai sisi kation lebih banyak per molekulnya dan semakin besar

berat molekulnya.

Polimer kationik harus dikondisikan untuk memberikan suasana yang

efektif seperti halnya quats. Polimer kationik alami terbentuk melalui atraksi

kolumbik (interaksi antara partikel-partikel yang bermuatan, partikel yang bermuatan sama akan saling tolak menolak sedangkan partikel yang bermuatan

berbeda akan saling tarik menarik) pada permukaan anion.

Interaksi antara surfaktan dengan polimer kationik dapat diilustrasikan

sebagai berikut : Surfaktan non ionik memiliki gugus polar yang dapat larut dalam

air (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) yang dapat larut dalam minyak,

ketika terdapat dalam suatu sistem emulsi maka gugus polar akan berada dalam

permukaan fase air. Di dalam larutan emulsi terdapat energi permukaan yang

dapat menyebabkan terjadinya koalesen antara droplet-droplet (butiran-butiran).

Koalesen ini akan menyebabkan ukuran droplet menjadi lebih besar

sehingga akan terpisah menjadi fase air dan fase minyak. Apabila terjadi

pemisahan antara fase air dan fase minyak disebut emulsi tidak stabil. Dengan

adanya polimer yang ditambahkan dalam sistem emulsi maka polimer tersebut

akan menyelubungi surfaktan karena adanya interaksi antar surfaktan dengan

polimer. Interaksinya berupa ikatan hidrogen (Goddard et al, 1993). Ikatan

(30)

hidroksil pada chitosan. Ikatan hidrogen yang terbentuk banyak karena

banyaknya oksigen pada etilen glikol yang berbentuk polimer, begitu juga halnya

dengan gugus hidroksil yang terdapat pada chitosan yang merupakan polisakarida.

Dengan banyaknya ikatan hidrogen yang terbentuk membuat droplet stabil karena

ikatan hidrogen tersebut dapat meminimalkan energi permukaan, sehingga

koalesen tidak terjadi. Interaksi antara surfaktan dengan polimer kationik dapat

dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Interaksi surfaktan dengan polimer kationik (Goddard et al.,1993)

Polimer kationik dapat dibuat dengan berbagai macam sintesis polimer

alami, seperti selulosa dan chitosan. Karakteristik fisis polimer menyerupai

monomernya dan rasio monomer digunakan untuk pembuatan polimer kationik.

Berat molekul merupakan faktor lain yang berpengaruh pada karakteristik fisis

polimer dan sifat penggunaannya.

Turunan selulosa kationik yang mengandung gugus 2-hidroksipropil

trialkil amonium klorida secara luas digunakan sebagai conditioning agent pada

Surfaktan non-ionik

Surfaktan non-ionik + polimer kationik

Sistem emulsi

polimer surfaktan

Droplet minyak

Polimer

(31)

produk perawatan rambut dan kulit. Sejumlah makalah berkaitan dengan hal

tersebut telah dipublikasikan misalnya review oleh Idson, 1999, yaitu efek

kondisioning dapat dirasakan karena adanya gugus amonium yang bermuatan

positif dari turunan selulosa kationik mampu mengikat sisi anionik yang ada

dalam keratin alami seperti rambut dan kulit. Hal tersebut menyebabkan rambut

menjadi lebih mudah dirapikan ketika disisir basah dan ketika kering akan lebih

lembut, berkilau dan mudah diatur. Pada saat menyisir pun tidak perlu

keras-keras. Untuk kulit, turunan selulosa kationik memberi efek lembut, lembab dan

melindungi kulit. Struktur molekul dari turunan selulosa kationik yang

mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida adalah sebagai

berikut.

Gambar 7. Turunan selulosa kationik (Drovetskaya et al., 2004)

Chitosan merupakan produk deasetilasi chitin, yang berupa rantai panjang

glukosamin (2-amino-2-deoksiglukosa), chitosan akan bermuatan positif dalam

larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif. Turunan

chitosan kationik mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida

yang dapat berfungsi sebagai pelembab, membentuk film pelindung yang jernih,

membentuk lapisan pada kulit dan bersifat non alergenik. Struktur molekul dari

(32)

Gambar 8. Turunan chitosan kationik (Paten Pub No DE 3502833)

Selulosa

Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling

tersebar di alam. Sumber utama selulosa adalah kayu. Umumnya kayu

mengandung sekitar 50% selulosa, bersama dengan penyusun lainnya seperti

lignin. Selulosa di bangun oleh rantai glukosa yang tersambung melalui β-1,4,

glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6 dan strukturnya diperlihatkan pada

Gambar 9.

Gambar 9. Struktur molekul selulosa (Cowd, 1991)

Selulosa merupakan bahan dasar dari banyak produk teknologi seperti

kertas, film, serat aditif dan sebagainya. Bahan ini terdiri atas unit-unit

anhidroglukopiranosa yang bersambung membentuk rantai molekul. Karena itu

selulosa dapat dinyatakan sebagai polimer linier glukan dengan struktur rantai

yang seragam (Fengel dan Wegener, 1989).

Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D

glukopiranosa yang terkait satu sama lain dengan ikatan glikosida (1 4). Secara

alamiah molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri dari beberapa

molekul selulosa paralel yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen, fibril-fibril

tersebut membentuk struktur kristal.

(33)

Fengel dan Wegener (1989) menyatakan terdapat dua buah modifikasi

struktur kristalin selulosa, yaitu selulosa I-α dan selulosa I-β yang disebabkan

adanya ikatan hidrogen pada selulosa. Pada selulosa dengan struktur I-α, satu sel

unit triklinat mengandung satu rantai selulosa, sedangkan pada selulosa dengan

struktur I-β, satu sel monoklinat mengandung dua rantai selulosa. Selulosa

bakterial mengandung selulosa I-α kira-kira 60%, berbeda dengan selulosa yang

berasal dari tumbuhan (misalya rami dan kapas) yang mengandung selulosa I-α

hanya 30%, sedangkan sisanya adalah selulosa I-β.

Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa,

sehingga dapat dilakukan reaksi-reaksi seperti esterifikasi, eterifikasi, adisi dan

lain-lain (Bydson, 1995). Turunan selulosa yang mempunyai sifat berbeda dari

selulosa telah banyak digunakan di berbagai bidang. Dalam beberapa hal, turunan

selulosa tersebut hanya merupakan bentuk antara untuk mengubah bentuk

selulosa. Dari segi teknis, turunan selulosa yang paling penting adalah ester dan

eter yang lingkup penggunaannya sangat luas (Fengel dan Wegener, 1989).

Adanya gugus-gugus –OH dalam selulosa dapat bereaksi membentuk berbagai

turunan, misalnya pembentukan ester-ester dengan asam-asam anorganik dan

organik. Adanya tiga gugus –OH pada setiap unit glukosa dalam selulosa

memungkinkan pembentukan mono, di atau triester. Proses pelarutan selulosa

dimulai dengan degradasi struktur serat dan fibril dan akan menghasilkan

disintegrasi yang sempurna menjadi molekul-molekul individual dengan panjang

rantai tidak berubah. Degradasi struktur supramolekul terjadi dengan

pembengkakan dan penyisipan gugus kimia yang akan memecah ikatan-ikatan

intramolekul dan melapisi molekul-molekul selulosa.

Turunan selulosa dapat terjadi karena gugus hidroksil yang tersedia di

dalam alkil atau hidroalkil pada rantai selulosa dapat diganti oleh senyawa lain

(Gambar 10). Gugus R adalah sebagai senyawa pengganti. Contoh senyawa

pengganti seperti hidroksietil (HO-CH2-CH2-), natrium karboksimetil

(NaOOC-CH2-), metil (CH3-), etilhidroksietil (CH3-CH2-O-CH2-CH2-), hidroksipropil

(HO-CH2-CH2-CH2-), semua senyawa ini larut dalam air. Akibat dari masuknya

(34)

susunan selulosanya sehingga molekul air atau senyawa pelarut lain dapat masuk

dan melarutkan ikatan rantai.

Gambar 10. Struktur Selulosa dan Turunannya

Gambar 10. Struktur selulosa dan turunannya (Fengel dan Wegener, 1989)

Chitosan

Chitosan merupakan turunan chitin yang diperoleh melalui proses

deasetilasi (penghilangan gugus –COCH3) dan merupakan senyawa polisakarida

terbesar kedua setelah selulosa (Rha, 1984).

Chitosan merupakan produk deasetilasi chitin, yang merupakan rantai

panjang glukosamin (2-amino-2-deoksiglukosa) (Barkeley, 1973). Gambar 11

merupakan struktur berulang chitosan.

Gambar 11. Struktur molekul chitosan (Skjak-Braek at al., 1989)

Menurut Knor (1984) berat molekul chitosan sekitar 1.036 x 105 Dalton.

Berat molekul chitosan tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses

pembuatan chitosan.

Chitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino, sehingga

mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi. Chitosan akan bermuatan positif

dalam larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif, tidak

(35)

seperti polisakarida pada umumnya yang bermuatan negatif atau netral

(Muzzarelli, 1985).

Menurut Mckay et al. (1987) chitosan tidak larut dalam air, larutan alkali

pada pH di atas 6,5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam

organik encer seperti asam formiat, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain

kecuali sulfur. Sifat kelarutan chitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat

deasetilasi dan spesifik rotasi, yang dapat bervariasi tergantung dari sumber dan

metode isolasinya.

Muzzarelli (1985) menyatakan bahwa chitosan dapat diturunkan lagi

menjadi senyawa larut air, larutan alkali dan larutan asam. Proses asilasi chitosan

akan menghasilkan turunan baru yang dapat larut dalam air. Senyawa yang

mengandung gugus amin dapat diasilasi dengan penabahan turunan asam yang

bersifat reaktif (misalnya anhidrida-anhidrida dan klorida-korida).

Chitosan yang mengalami asilasi mengandung gugus N-acyl. Turunan

chitosan tersebut dinamakan N-acylchitosan. Turunan chitosan tersebut cocok

sekali dipakai sebagai bahan pengemulsi minyak dalam air dan mempunyai

keunggulan yaitu tahan terhadap panas.

Seperti halnya chitin, turunan chitosan mampu mengikat air dan minyak

karena gugus polar dan non polar. Karena kemampuan tersebut, chitosan dapat

bertindak sebagai penstabil, pengental dan penstabil pada obat-obatan, makanan

dan kosmetika. Aplikasi chitosan dalam kosmetik khususnya krim perawatan,

chitosan dapat berfungsi sebagai pelembab, membentuk film pelindung yang

jernih, membentuk lapisan pada kulit dan bersifat non alergenik (Anonim, 1987).

Selain krim kosmetik, chitosan dapat mempercepat penyembuhan luka bakar,

pengobatan dermatitis, pengobatan infeksi fungal dan sebagai bahan dalam

pembuatan kontak lens yang lunak dan bersih. Menurut Hirano et al. (1984)

aplikasi chitosan lainnya antara lain sebagai koagulan pada pengolahan limbah

cair, hipocholesterolmic agent, cocok untuk bahan diet, meningkatkan sekresi

chitinase pada tanaman yang berfungsi melindungi serangan patogen, menaikkan

volume spesifik pada makanan, memperbaiki tekstur tanah dan mampu menyerap

(36)

Menurut Austin (1988) chitosan merupakan polimer mukopolisakarida

termasuk dalam komponen larut air pada kulit yang mempunyai kemampuan

mengikat air, sehingga dapat dipakai sebagai bahan emollient cream dan lotion.

Chitosan mempunyai kemampuan menahan air, membuat lapisan film yang

jernih, bersifat non alergenik dan tidak beracun, dengan demikian chitosan

merupakan bahan yang dapat dipakai dalam pembuatan emollient cream.

Seldner (1973) menyatakan bahwa beberapa karbohidrat dapat dipakai

sebagai bahan kosmetik karena mempunyai sifat larut dalam air dan alkohol,

mampu mengikat air, menghambat evaporasi dan mampu mengikat parfum tanpa

pengadukan. Jenis-jenis karbohidrat tertentu dapat berfungsi sebagai emollient,

pelembab dan emulsifier pada krim perawatan. Komponen tersebut meninggalkan

film pada kulit lebih baik dibanding dengan bahan emollient yang biasa dipakai

yaitu polyol seperti propilen glikol dan sorbitol yang meninggalkan film kaku.

Chitosan yang digunakan untuk bahan kosmetik merupakan chitosan yang dapat

larut dalam air.

Kulit

Kulit berfungsi untuk menutupi semua bagian tubuh dan melindungi tubuh

dari berbagai macam gangguan eksternal dan kerusakan akibat kehilangan

kelembaban. Kulit luar terbagi atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan sel

subkutan, seperti yang terlihat pada Gambar 12.

Lapisan-lapisan epidermis dapat dilihat pada Gambar 13, terdiri dari

stratum germinativum, atau sel tumbuh, lapisan Malphigi atau lapisan pigmen,

stratum granulosum, stratum lucidum, korneum dan terakhir lapisan kornified.

Kulit yang sesungguhnya atau dermis terdiri dari jaringan pembuluh darah,

kantung rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Dibawahnya adalah

subkutan jaringan lemak sampai bagian terakhir dari akar rambut. Sel-sel yang

membentuk lapisan terbawah berjalan keluar selama siklus hidup mereka dan

pada akhirnya menjadi sel-sel mati dari korneum, lapisan luar yang masih ada

(hidup) akan lepas. Pergerakan keluar ini, diakhiri dengan pengelupasan kulit.

Fungsi kulit, yaitu untuk memberikan perlindungan alami dari gangguan

(37)

memberikan perlindungan pada jaringan-jaringan yang ada dibawahnya terutama

pada elemen penyusunnya, penyaring substansi toksik (beracun) dan dari serangan

mikroorganisme.

(A) Epidermis, (B) Dermis, (C) Subkutan; (a) Lapisan minyak pada permukaan kulit; (b) Sel kornifil; (c) Korneum; (d) Stratum lucidum; (e) Penahan absorpsi kulit; (f) Stratum granulosum; (g) Lapisan malpigi atau stratum mucosum; (h) Stratum germanativum; (i) Lapisan basal (j) Kelenjar sebasea; (k) Serabut akar rambut; (l) Jaringan akar rambut; (m) Lemak; (n) Kelenjar keringat; (o) Ruang isi minyak dan udara; (p) Rambut; (q) Pori-pori keringat

Gambar 12. Struktur jaringan kulit manusia (Poucher, 1996)

Fungsi yang paling penting dari lapisan epidermis adalah menjaga

gangguan stimuli eksternal seperti dehidrasi, sinar ultraviolet, faktor fisik dan

fakor kimia lainnya. Fungsi ini dilakukan oleh lapisan corneum sebagai lapisan

paling luar.

Lapisan kulit kedua setelah lapisan epidermis adalah lapisan dermis.

(38)

dihubungkan oleh sel-sel di bawah lapisan epidermis. Permukaan lapisan dermis

yang kontak lansung dengan lapisan epidermis yang menonjol keluar disebut

penghubung epidermal. Seperti sel-sel lapisan epidermis, sel-sel dermis tidak

terhubung secara kuat satu dengan yang lainnya, dan banyak terdapat ruang

kosong. Bagian dari kulit ini mempunyai jaringan struktur molekul makro yang

disebut extracellular matrix. Lapisan dermis termasuk sel-sel yang memproduksi

histamin dan serotonin yang bertanggung jawab untuk respon yang cepat terhadap

alergi, juga memproduksi fibroblast yang mensintesis dan mesekresikan

extracellular matrix.

Gambar 3. Struktur Epidermis

(a) Stratum germinativum, (b) Stratum granulosum,

(c)Stratum lucidum, (d) Korneum, (e) Lapisan kornified.

Gambar 13. Struktur epidermis (Poucher, 1996)

Bahan-bahan emolien digunakan sebagai bahan pencegahan terhadap

kekeringan pada kulit. Kulit kering mempunyai karakter kasar dan keras, kulit

tidak fleksibel dan pecah-pecah (Barnett, 1962). Kulit kering terjadi akibat

kekurangan air di stratum korneum, kelembaban yang rendah, hidrasi yang tidak

cukup dari lapisan bawah epidermal dan pergerakan air. Selain itu pemakaian

sabun dan deterjen secara kontinyu dan berkepanjangan juga dapat menyebabkan

stratum korneum kekeringan. Menurut Barnett (1962) komponen larut air

mengandung asam-asam amino seperti asam pyroglutamik, polipeptida, laktat,

(39)

pada lapisan minyak, pada lapisan corneal akan menyebabkan kulit tidak kering walaupun kelembaban lingkungan rendah.

Kekeringan dan sifat kurang lentur pada lapisan korneum dapat diperbaiki

jika kandungan air dinaikkan lebih dari kondisi normal (10 persen). Pemakaian

krim kosmetik yang mengandung hidrofilik emollient dapat memperbaiki kulit

kering. Cream emollient akan meninggalkan film yang rapat pada kulit,

permeabilitas terhadap air rendah, mensuplai komponen hidrofilik, sehingga

mampu menahan dehidrasi air dari kulit, dengan demikian kulit menjadi lembut.

Tronnier (1962) menemukan bahwa emulsi jenis minyak-air merupakan bentuk

emulsi yang baik untuk menghasilkan film yang lembut pada kulit, yang mampu

mengurangi evaporasi.

Skin Lotion

Saat ini telah banyak ditemui berbagai macam produk perawatan

diantaranya adalah krim dan lotion kulit (skin cream dan skin lotion). Beberapa

pengguna tertarik menggunakannya untuk mencegah agar kulit tidak kering dan

pengguna lainnya tertarik untuk perawatan kulit agar tetap segar.

Lotion merupakan salah satu bentuk emulsi yang didefinisikan sebagai campuran dari dua fase yang tidak dapat bercampur, distabilkan dengan

emulsifier, dan jika ditempatkan pada suhu ruang berbentuk cairan yang dapat di

tuang. Proses pembuatan lotion adalah dengan cara mencampurkan bahan-bahan

yang larut dalam fase air dan pada bahan-bahan yang larut dalam fase minyak,

dengan cara pemanasan dan pengadukan (Schmitt, 1996). Keithler (1956)

menambahkan bahwa pada kebanyakan pembuatan kosmetik, dua fase secara

terpisah dipanaskan pada suhu yang sama, kemudian fase yang satu dituangkan ke

fase yang lainnya dan dipanaskan pada temperatur yang sama dengan

pengadukan. Pengadukan terus dilakukan sampai emulsi dapat didinginkan pada

suhu kamar.

Fungsi utama lotion untuk perawatan kulit adalah sebagai pelembut

(emolien). Hasil akhir yang diperoleh tergantung dari daya campur bahan baku

dengan bahan lainnya untuk mendapatkan kelembaban, kelembutan dan

(40)

Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah minyak mineral,

ester isopropil, alkohol alifatik, turunan lanolin, alkohol dan trigliserida serta

asam lemak. Sedangkan bahan pelembab diantaranya adalah gliseril dan propilen

glikol. Penggunaan pelembut dan pelembab berkisar antara 0,5% - 15% (Schmitt,

1996).

Skin lotion merupakan salah satu produk industri kosmetik yang

menggunakan tipe emulsi minyak dalam air atau oil in water (o/w), yang terdiri

dari fase minyak 10-25%, humektan 3-10% dan fase air 75-80% (Schmitt, 1996).

Fase minyak terbentuk dari bahan-bahan non polar yang biasanya tidak

dapat menyatu dengan air. Bahan-bahan tersebut meliputi : lemak, minyak, lilin

dan turunannya seperti lemak-alkohol, asam lemak, ester, hidrokarbon, gliserida

dan silikon. Pemanfaatan bahan-bahan tersebut dalam produk kosmetik memberi

banyak keuntungan. Jika diaplikasikan pada kulit, fase minyak berperan sebagai

pelembut (emolient), penghalus dan pelembab, karena minyak dapat membentuk

semacam lapisan pelindung yang mempertahankan air.

Minyak Silikon digunakan secara luas dalam berbagai bidang, seperti

dalam bidang kosmetik tekstil, sebagai zat aditif pada cat, cairan hidrolik,

senyawa anti busa, dan sebagai heat transfer oils. Nama lain dari minyak silikon

adalah polidimetil siloksan atau dapat disingkat PDMS. PDMS dibentuk melalui

proses polimerisasi dari prekursor dimetil silikon. Sifat minyak silikon dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat minyak silikon

Sifat Nilai

Densitas (g/ml)

Indeks refraksi

Tegangan permukaan pada 25oC (dyne/cm)

Penguapan maksimum pada 150oC (%)

Panas spesifik

Sumber : Othmer, 1994

Minyak silikon secara visual tampak transparan dan menyerap sinar

(41)

dalam pelarut non polar seperti benzen, toluen, kloroform, dan dimetileter.

Minyak silikon sedikit larut dalam aseton, etanol, dan butanol, tetapi tidak larut

dalam metanol, etilenglikol, dan air.

Gambar 14. Struktur molekul minyak silikon (Othmer,1994)

Minyak Mineralmerupakan minyak yang terkandung di dalam bumi, atau

bisa juga disebut minyak bumi. Kandungan dari minyak mineral adalah berupa

hidrokarbon. Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mineral dapat

dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu : parafin, naftalena, olefin, dan aromatik.

Parafin secara umum memiliki rumus CnH2n+2, parafin merupakan

hidrokarbon yang jenuh, dan mengikat atom hidrogen secara maksimal, sehinga

parafin bersifat tidak reaktif. Olefin merupakan hidrokarbon tidak jenuh Olefin

dibagi menjadi dua, yaitu : mono olefin (CnH2n) dan diolefin (CnH2n-2). Naftalena

memilki rumus umum CnH2n. Naftalena merupakan hidrokarbon jenuh dan

memiliki sifat mirip dengan parafin. Atom karbon pada setiap molekul yang

terdapat pada naftalena membentuk cincin tertutup. Hidrokarbon aromatik

memliki rumus umum CnH2n-6. Molekul-molekul yang terdapat pada hidrokarbon

aromatik membentuk cincin tertutup dan merupakan hidrokarbon tak jenuh. Sifat

minyak mineral dapat dilihat pada Tabel 2.

(42)

Tabel 2. Sifat minyak mineral

Sifat Nilai

Densitas (g/ml)

Viskositas (cSt) pada 40oC

Kelarutan

0,870

<34,5

Tidak larut dalam air dan alkohol. Larut dalam benzen, kloroform, eter, karbondisulfida, dan petroleum eter.

Sumber : http://home.fnal.gov/~randy/tech_specs.html

Virgin Oil adalah minyak dan lemak makan yang dihasilkan tanpa mengubah sifat fisiko kimia minyak. Minyak diperoleh dengan hanya perlakuan

mekanis dan pemakaian panas minimal serta tidak menggunakan bahan kimia

kecuali yang tidak mengalami reaksi dengan minyak. Minyak ini dimurnikan

dengan cara pencucian menggunakan air, pengendapan, penyaringan dan

sentrifugasi saja. Standar mutu dari virgin coconut oil dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat virgin coconut oil

Sifat Nilai

Kadar air (%) 0,1-0,5

Densitas (g/ml) 0,9756

Index bias 1,4550

Bilangan peroksida (mg oksigen/100 g contoh) Maks 3,0

Bilangan penyabunan (mg KOH/g contoh) 250-260

Bilangan asam (mgKOH/g contoh) Maks 13

Kadar asam lemak bebas (% asam laurat) Maks 0,5

Warna Jernih krisal

Sumber : Pusat Penelitian Kimia-LIPI Serpong

Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%) dan

minyak tak jenuh (10%). Tingginya kandungan asam lemak jenuh menjadikan

(43)

Medium Chain Fatty Acid (MCFA), yaitu komponen asam lemak berantai sedang

yang memiliki banyak fungsi, antara lain mampu merangsang produksi inulin

sehingga proses metabolisme glukosa dapat berjalan normal. MCFA juga

bermanfaat dalam mengubah protein menjadi sumber energi.

Fase air dibentuk oleh air dan bahan-bahan hidrofilik lain dalam sebuah

sistem seperti gliserin atau propilen glikol. Secara umum, fase air dapat

menghemat biaya karena harganya murah.

Dalam membuat formula skin lotion harus diperhatikan fungsi utama

dalam penggunaannya yaitu melembutkan tangan, mudah dan cepat menyerap

pada permukaan kulit, tidak meninggalkan lapisan tipis, tidak menimbulkan

lengket pada kulit setelah pemakaian, tidak mengganggu pernafasan, antiseptis,

memiliki bau yang khas (menyegarkan) dan memiliki warna yang menarik

(Schmitt, 1996).

Emulsifier atau pengemulsi yang umum digunakan dalam pembuatan lotion adalah trietanolamin stearat dan oleat. Selain itu asam stearat juga dapat

digunakan dalam formulasi sesuai dengan sifatnya yang dapat menghasilkan

kilauan yang khas pada produk lotion (Wilkinson et al., 1962). Menurut Barnet

(1962) gliseril mono stearat dengan polietilen glikol 400 efektif digunakan

sebagai bahan pengental dan penstabil pada konsentrasi rendah. Konsentrasi yang

berlebih pada penggunaan bahan-bahan ini harus dihindarkan karena akan

membentuk ‘gel’ pada lotion.

Humektan merupakan zat yang melindungi emulsi dari “pengeringan”.

Humektan ditambahkan pada produk lotion terutama pada produk dengan

menggunakan tipe emulsi minyak dalam air (o/w) untuk mengurangi kekeringan

ketika produk disimpan pada suhu ruang (Schmitt, 1996). Gliserin merupakan

humektan yang paling baik digunakan dalam pembuatan lotion. Penggunaan

gliserin akan menghasilkan lotion dengan karakteristik skin lotion yang terbaik

dengan komposisi dalam formula berkisar 3% - 10%. Sedangkan menurut Barnett

(1962), gliserin berfungsi sebagai penarik, penahan dan penyimpan air dan

penyuplai sumber air pada celah lapisan cornified di permukaan kulit.

(44)

kelembutan kulit dengan adanya hidrasi ulang (Schmitt, 1996). Emolient harus

memiliki titik cair yang lebih tinggi dari suhu kulit, sehingga apabila lotion

dioleskan pada kulit akan menimbulkan rasa nyaman, kering dan tidak berminyak.

Cetil alkohol adalah emolient yang paling baik dan juga bisa berfungsi sebagai

bahan pengental dengan komposisi berkisar antara 1% -3% pada formulasi

produk.

Beberapa jenis minyak dapat digunakan dalam pembuatan lotion. Minyak

mineral, dan beberapa minyak alam yang berasal dari bunga matahari, zaitun,

kelapa dan kacang-kacangan serta campuran dari trigliserida seperti miristat,

palmitat, stearat dan asam lemak rantai panjang dapat digunakan dalam

pembuatan lotion karena dapat memberikan efek alami kulit menjadi licin, kilau

dan halus (Schueller et al., 1999).

Airmerupakan komponen yang paling penting dalam pembuatan krim dan

skin lotion. Air merupakan bahan pelarut dan bahan baku yang tidak berbahaya dibandingkan bahan baku lainnya, tetapi air mempunyai sifat korosif. Air yang

digunakan dalam produk kosmetik harus dimurnikan terlebih dahulu.

Viskositas merupakan salah satu parameter penting untuk menunjukkan

stabilitas produk maupun untuk penanganan suatu produk kosmetik selama

penanganan dan distribusi produk (Schmitt, 1996). Bahan pengental digunakan

untuk mengatur kekentalan dan mempertahankan kestabilan produk. Bahan

pengental berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan

Hidrophyile Lipophyile Balance. Selain itu bahan pengental yang digunakan

dalam pembuatan lotion bertujuan untuk mencegah terpisahnya partikel dan

emulsi (Strianse, 1996). Menurut Schmitt (1996), pengental polimer seperti

gum-gum alami, turunan selulosa dan karbomer lebih sering digunakan dalam emulsi

dibandingkan dalam formulasi berbasis surfaktan.

Selain polimer, bahan pengental dengan berat molekul tinggi juga dapat

digunakan pada pembuatan skin lotion seperti polietilen glikol 6000 distearat atau

polietilen glikol 120 metil glukosa. Keuntungan menggunakan bahan pengental

tersebut adalah stabil terhadap hidrolisis pada suhu tinggi atau pada kondisi pH

yang sangat ekstrim. Efek samping bahan pengental dengan berat molekul tinggi

(45)

meningkatnya aliran Newtonian. Sedangkan sistem yang terkentalkan oleh garam

atau polimer menunjukkan sifat alir yang pseudoplastik (Schmitt,1996).

Penggunaan bahan pengental dalam pembuatan skin lotion adalah lebih rendah

2,5%.

Hampir setiap jenis kosmetik menggunakan zat pewangi, yang berguna

terutama untuk menambah nilai estetika produk yang dihasilkan. Minyak parfum

yang digunakan spesifik dalam hal jenis, dosis pemakaian dan persyaratan lainnya

terutama yang berkaitan dengan pengaruh iritasi dan sensitifisasi terhadap kulit,

serta hubungannya dalam formula kosmetik. Jumlah parfum yang ditambahkan

harus serendah mungkin, yaitu berkisar antara 0,1% -0,5. Pada proses pembuatan

lotion, pewangi dicampurkan ke dalam lotion pada suhu 35oC agar tidak merusak

emulsi yang telah terbentuk (Schueller et al, 1999).

Dalam pembuatan skin lotion biasanya ditambahkan bahan pengawet agar

mikroba tidak tumbuh karena pengawet bersifat anti mikroba. Menurut Schmitt

(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan baku yang digunakan pada pembuatan skin lotion meliputi

polietilen glikol monooleat (HLB12,2), polietilen glikol dioleat (HLB 8,9),

sorbitan monooleat (HLB 4,1) (diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia LIPI

Serpong), trietanol amin, cetil alkohol, minyak silikon, minyak mineral (dibeli

dari Bratachem), virgin coconut oil (diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia LIPI

Serpong), gliserin, air destilasi, metil paraben, selulosa, chitosan (dibeli dari

Bratachem), 3-kloro 2-hidroksipropiltrimetil amonium klorida p.a (dari Aldrich) ,

iso propanol, propilen glikol dan sodium hidroksida (dibeli dari Bratachem).

Alat yang digunakan meliputi peralatan gelas, oven vakum merk Heraeus

Vacutherm, pengaduk magnetik, pipet, cawan porselen, pemanas listrik,

pH-meter, neraca timbangan, viskometer Ostwald, viskosimeter Brookfield, alat

fotomikroskop merk Zeiss, alat untuk mengukur tegangan permukaan dan

tegangan antar muka merk Tensiomart 21, alat FTIR merk Shimadzu, alat NMR,

alat Spektrofotometer UV-Visible

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Polimer, Pusat Penelitian Kimia

LIPI Serpong dengan waktu penelitian mulai bulan September 2006 sampai bulan

Mei 2007. Analisa sampel dilakukan di Laboratorium Polimer dan Surfaktan,

Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong dan Laboratorium Teknologi Kimia

Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB, Bogor.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama pembuatan

sistem emulsi. Pada pembuatan sistem emulsi tersebut digunakan 3 jenis minyak

(minyak silikon, minyak mineral dan virgin coconut oil) dan 3 jenis surfaktan

(polietilen glikol 400 monooleat, polietilen glikol 400 dioleat dan sorbitan

(47)

(selulosa dan chitosan) dan tahap terakhir adalah aplikasi polimer kationik pada

sistem emulsi skin lotion.

Secara garis besarnya diagram alir tahapan penelitian adalah sebagai berikut.

Gambar 15. Diagram alir tahapan penelitian

Pembuatan Sistem Emulsi

Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis surfaktan yaitu sorbitan

monooleat, polietilen glikol (400) monooleat dan polietilen glikol (400) dioleat

dan tiga jenis minyak, yaitu minyak mineral, minyak silikon dan virgin coconut

oil, sehingga dapat dikelompokkan menjadi tiga formula.

Formula A adalah formula menggunakan surfaktan polietilen glikol (400)

dioleat, formula B menggunakan surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dan

formula C menggunakan surfaktan sorbitan monooleat. Ketiga formula

menggunakan variasi tiga jenis minyak yaitu minyak mineral, minyak silikon dan

virgin coconut oil.

Pembuatan sistem emulsi tipe minyak dalam air menggunakan

perbandingan fasa internal/ fasa terdispersi sekitar 20% dan fasa eksternal/fasa

pendispersi sekitar 80%, dengan formulasi yang digunakan sebagai berikut : fase

minyak (surfaktan 4%, cetil alkohol 1%, asam stearat 2%, minyak 13%), fase air

( metil paraben 0,1%, trietanolamin 0,1%, propilen glikol 2%, air destilasi 77,8%). Pembuatan sistem emulsi

Sintesis polimer kationik

Aplikasi polimer kationik pada

formula skin lotion

Gambar

Gambar 6. Interaksi surfaktan dengan polimer kationik (Goddard et al.,1993)
Gambar 7. Turunan selulosa kationik (Drovetskaya et al., 2004)
Gambar 9.
Gambar 10. Struktur selulosa dan turunannya (Fengel dan Wegener, 1989)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metil paraben digunakan dalam skin lotion karena dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur (Rieger 2000).. 19 kekentalan, kesan lembab, dan rasa lengket) dan

Gelatin yang digunakan daln enelitian i adalah gelatin tipe A dan skin lotion yang dihasilkan merupakan emulsi o/w (oil in

Dalam pembuatan skin lotion diperlukan suatu bahan pengental dan karaginan dapat digunakan sebagai bahan pengental, sehingga penelitian mengenai penambahan

Skin lotion penolak nyamuk yang diperoleh melalui cara kedua seluruhnya digunakan dalam uji efektivitas menunjukkan hasil yang negatif (-), kare- na tidak adanya gigitan nyamuk

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa, hasil formula tablet ranitidin HCl dengan polimer kombinasi HPMC

Metil paraben digunakan dalam skin lotion karena dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur (Rieger 2000).. Berdasarkan dari hasil pengujian skin lotion secara

Grafik 3 Hubungan Konsentrasi dan % Inhibisi Pada Daun Bayam Merah Pada tabel 1 dan grafik 2 dan 3 dapat dilihat bahwa lotion ekstrak biji kelengkeng dan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:Sediaan skin lotion ekstrak mesocarp buah lontar (Borassus flabellifer) memiliki kualitas