• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Dan Aplikasi Polimer Kationik Aalmi Pada Sistem Emulsi Skin Lotion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sintesis Dan Aplikasi Polimer Kationik Aalmi Pada Sistem Emulsi Skin Lotion"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS DAN APLIKASI POLIMER KATIONIK ALAMI

PADA SISTEM EMULSI SKIN LOTION

Oleh DEWI SONDARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DEWI SONDARI. Sintesis dan Aplikasi Polimer Kationik Alami Pada Sistem Emulsi Skin Lotion. Di bawah bimbingan LIESBETINI HARTOTO, CHILWAN PANDJI, dan AGUS HARYONO.

Perkembangan kosmetika yang digunakan untuk perawatan tubuh dewasa ini sangat pesat. Kosmetik merupakan campuran dari beberapa bahan yang telah diformulasikan sedemikian rupa dan berfungsi untuk merawat serta memperindah bagian-bagian tubuh sesuai dengan tujuan penggunaan kosmetika tersebut. Sekarang ini telah banyak ditemui berbagai macam produk perawatan kulit seperti krim dan skin lotion yang berfungsi untuk mencegah agar kulit tidak kering dan tetap segar.

Berbagai jenis bahan penstabil emulsi telah banyak digunakan dalam formula skin lotion untuk menghasilkan produk yang mampu mempertahankan kestabilannya bila di simpan dalam waktu yang cukup lama. Penambahan polimer kationik merupakan salah satu jenis penstabil yang dapat digunakan dalam pembuatan skin lotion. Disamping memperpanjang kestabilan sistem emulsi, penambahan polimer kationik juga dapat berfungsi sebagai bahan pengental dan pengemulsi.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan skin lotion yang mempunyai kestabilan emulsi tinggi dengan adanya penambahan polimer kationik yang berasal dari chitosan dan selulosa.

Pada penelitian pendahuluan didapatkan komposisi formulasi emulsi yang relatif stabil adalah dengan menggunakan polietilen glikol (400) monooleat sebagai surfaktan dan virgin coconut oil sebagai fasa minyak. Selanjutnya formulasi ini digunakan dalam pembuatan skin lotion dengan menggunakan polimer kationik dari chitosan dan selulosa. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama pembuatan sistem emulsi. Pada pembuatan sistem emulsi tersebut digunakan 3 jenis minyak (minyak silikon, minyak mineral dan virgin coconut oil) dan 3 jenis surfaktan (polietilen glikol 400 monooleat, polietilen glikol 400 dioleat dan sorbitan monooleat) sebagai emulsifier. Tahap selanjutnya adalah sintesis polimer alami (selulosa dan chitosan) dan tahap terakhir adalah aplikasi polimer kationik pada sistem emulsi skin lotion.

Dari hasil analisa FTIR dan NMR dapat dilihat struktur molekul dari chitosan dan selulosa setelah dan sebelum di sintesis menjadi polimer kationik. Puncak pada frekuensi (angka gelombang) 1412 cm-1 menunjukkan pita metil dari 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida (CHTAC), tampak pada spektrum untuk turunan chitosan amonium kuartener tetapi spektrum tersebut tidak nampak pada chitosan yang tidak di modifikasi. Pada frekuensi 1525 cm-1 tampak pita dari gugus amina primer dalam chitosan. Dengan analisa FTIR maka dapat dilihat terjadinya konjugasi dari CHTAC ke dalam gugus amina dari chitosan. Dari spektrum FTIR selulosa amonium kuartener, pada frekuensi 1471 cm-1 menunjukkan adanya pita metil.

Untuk melihat bahwa terjadi reaksi antara chitosan dengan CHTAC, maka dilakukan analisi 1H NMR dari turunan chitosan amonium kuartener 1:3, 1:4 dan 1:6. Dari spektrum NMR, puncak pada δ = 1,9 ppm tampak gugus -COCH3 dari

chitin, puncak pada δ = 3,1 ppm dan 3,3 ppm menunjukkan gugus -+N(CH3)3 dan

(3)

dari CHTAC.

Sintesa chitosan amonium kuartener dilakukan pada suhu 60 oC selama 18 jam, sedangkan sintesa selulosa amonium kuartener pada suhu 50 oC selama 2 jam lalu dilanjutkan pada suhu 76 oC selama 15 menit.

(4)

DEWI SONDARI. Synthesis and Application of Natural Cationic Polymers on Skin Lotion Emulsion System. Under direction of LIESBETINI HARTOTO, CHILWAN PANDJI, dan AGUS HARYONO.

Cosmetics used for body treatment are currently developing very rapidly. Cosmetics are a mixture of various materials formulated in such a manner which function to care parts of the body, in line with usage of the cosmetics itself. Nowadays there are many products available such as creaming and functioning lotion to prevent the skin drying and keep its freshness.

Various types of stabilizers have been used in many skin lotion formulas to yield product which can maintain its stability for a long period of time during storage. Addition of cationic polymers represents one of the types of stabilizers able to be used in making of skin lotion. Besides increasing the stability of emulsion system, addition of cationic polymers can also function as emulsifiers and thickeners.

This research aims to yield skin lotion that has high stability through the addition of cationic polymers from cellulose and chitosan.

Preliminary research resulted in emulsion formulation of composition which are relatively stabil using polyethylene glycols ( 400) monooleat as surfactans and virgin oil coconut as oil phase. This formulation was then used in the preparation of skin lotion with cationic polymer from chitosan and cellulose. This research was divided into three stage. First stage was, producing emulsion system that used 3 different kind of oil ( silicon oil, natural oil, and virgin coconut oil) and 3 different kind of surfactant (polyethylene glycol (400) monooleat, polyethylene glycol (400) dioleat, sorbitan monooleat) as an emulsifier. The next step was natural polymer synthesis (cellulose, chitosan), and the last step was catonic polymer application on emulsion system of skin lotion.

Analysis of FTIR and NMR showed molecule structure of cellulose and chitosan before and after synthesis to become cationic polymers. The peak corresponding to the methyl band of 3-kloro-2-hydroksiprophyl trimethyl ammonium chloride (CHTAC) at wave number 1412 cm-1 was presented in the spectra for derivatives of quartenary ammonium chitosan but not in the spectrum for unmodified chitosan. The band at 1525 cm-1 indicated the primary amine group of chitosan. In this way, the FTIR analysis confirmed the successful conjunction of CHTAC to the amine group of chitosan. The peak corresponding to the methyl band at frequancy 1471 cm-1 was present in the spectra for derivatives quartenary ammonium cellulose.

(5)

minute.

(6)

PADA SISTEM EMULSI SKIN LOTION

Dewi Sondari

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Sintesis dan Aplikasi Polimer Kationik Alami Pada Sistem Emulsi Skin Lotion

Nama : Dewi Sondari

Nomor Induk Mahasiswa : F 351040091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S Ketua

Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc Dr. Eng. Agus Haryono

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(8)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

SINTESIS DAN APLIKASI POLIMER KATIONIK ALAMI

PADA SISTEM EMULSI SKIN LOTION

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2007

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rakhmat dan karunia-Nya maka tesis yang berjudul ”Sintesis dan Aplikasi Polimer Kationik Alami Pada Sistem Emulsi Skin Lotion ” dapat diselesaikan.

Selama mengerjakan penelitian dan menyusun tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S., selaku Ketua Komisi Pembimbing atas bimbingan, saran, dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan tesis.

2. Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc., selaku anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, saran, dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini. 3. Dr. Eng. Agus Haryono, selaku anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan,

saran, dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini.

4. Dr. Ani Suryani, DEA., selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan tesis ini.

5. Dr. Ir. Irawadi Jamaran, selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian atas bimbingan, saran, dan kritik yang diberikan.

6. Suami dan anak-anakku tercinta atas semua bantuan baik materil maupun spiritual serta kasih sayangnya.

7. Teman-teman di Balai Teknologi Proses dan Katalisis, Pusat Penelitian Kimia-LIPI Serpong atas bantuan yang diberikan.

8. Teman-teman satu angkatan TIP 2004 yang telah memberikan dorongan dan bantuannya.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan yang membutuhkannya.

Bogor, Juli 2007

(10)

Penulis di lahirkan di Bandung pada tanggal 23 Oktober 1968. Putri kedua dari lima bersaudara dari pasangan Aang Natamihardja dan Hj. Djadjah Raesih.

Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Buahbatu III Bandung pada tahun 1981, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 18 Bandung lulus pada tahun 1984 , dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 12 Bandung lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991 penulis lulus dari POLITEKNIK Institut Teknologi Bandung Jurusan Teknik Kimia, pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Jenderal Achmad Yani pada tahun 1994.

(11)

ix

Halaman

DAFTAR TABEL….. ……… xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... ... xiv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 3

Hipotesis... 3

Ruang lingkup Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Emulsifier... 5

Destabilisasi Emulsi... 9

Polimer Kationik... 12

Kulit... 19

Skin Lotion... 22

METODOLOGI PENELITIAN... 29

Bahan dan Alat Penelitian... 29

Tempat dan Waktu Penelitian... 29

Metode Penelitian... 29

Rancangan Percobaan... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

Sistem Emulsi Yang Dihasilkan... 39

Ukuran Partikel Sistem Emulsi... 39

Stabilitas Relatif Sistem Emulsi... 47

Viskositas Sistem Emulsi... 48

Tegangan Permukaan dan Tegangan Antar Muka Sistem Emulsi... 50

Hasil Sintesis Polimer Alami... 54

Derajat Deasetilasi dan Berat Molekul Chitosan... 54

Analisis Spektrum FTIR Chitosan Kationik... 56

(12)

x

Analisis Spektrum FTIR Selulosa Kationik... 63

Analisis Spektrum NMR Selulosa Kationik... 67

Hasil Aplikasi Polimer Kationik Pada Formula Skin Lotion... 67

Ukuran Partikel Formula Skin Lotion... 68

pH Formula Skin Lotion... 71

Stabilitas Emulsi Formula Skin Lotion... 72

Analisis Total Mikroba Formula Skin Lotion... 76

Interaksi Antara Surfaktan Dengan Polimer Kationik... 77

KESIMPULAN DAN SARAN... 79

Kesimpulan... 79

Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA... 81

(13)

xi

Halaman

1. Sifat minyak silikon.. ... 23

2. Sifat minyak mineral... 25

3. Sifat virgin coconut oil... 25

4. Hasil analisis pH formula skin lotion dan produk komersil... 72

5. Perbandingan stabilitas emulsi serta komposisi produk kosmetik dan formula skin lotion yang ditambah polimer kationik... 76

(14)

xii

Halaman

1. Struktur molekul sorbitan monooleat... ... 7

2. Struktur molekul polietilen glikol (400) monooleat.. ... 7

3. Struktur molekul polietilen glikol (400) dioleat... ... 7

4. Misel emulsi.. ... 8

5. Proses destabilisasi emulsi... 10

6. Interaksi surfaktan dengan polimer kationik... 13

7. Turunan selulosa kationik... 14

8. Turunan chitosan kationik... 15

9. Struktur molekul selulosa... 15

10.Struktur selulosa dan turunannya... 17

11.Struktur molekul chitosan... ... 17

12.Struktur jaringan kulit manusia... 20

13.Struktur epidermis... 21

14.Struktur molekul minyak silikon... 24

15.Diagram alir tahapan penelitian... 30

16.Diagram alir sintesis polimer chitosan kationik... 32

17.Diagram alir sintesis polimer selulosa kationik... 32

18.Fotomikroskop sistem emulsi formula A... 40

19.Fotomikroskop sistem emulsi formula B... 41

20.Fotomikroskop sistem emulsi formula C... 42

21.Fotomikroskop sistem emulsi formula A... 43

setelah disimpan 3 bulan 22.Fotomikroskop sistem emulsi formula B... 44

setelah disimpan 3 bulan 23.Fotomikroskop sistem emulsi formula C... 45

setelah disimpan 3 bulan 24.Fotomikroskop sistem emulsi produk komersil... 46

25.Histogram stabilitas relatif emulsi... 48

(15)

xiii

28.Histogram tegangan permukaan sistem emulsi... 52

29.Histogram tegangan permukaan produk komersial... ... 52

30.Histogram tegangan antar muka sisitem emulsi... ... 53

31.Histogram tegangan antar muka produk komersial... 54

32.Spektrum FTIR film chitosan... 55

33.Skema reaksi chitosan dengan CHTAC... 56

34.Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:3 ………. 57

35.Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:4…. ……... 58

36.Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:6………... 58

37.Spektrum FTIR chitosan…….……….….. 59

38.Spektrum FTIR chitosan dan chitosan kationik………. 59

39.Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:3……….... 60

40.Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:4…….….. 61

41.Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:6…….…... 61

42.Transmitan UV-Visible chitosan ammonium kuartener……… 62

43.Spektrum FTIR selulosa... ... 63

44.Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:3... 64

45.Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:4... 64

46.Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:6... 65

47.Spektrum FTIR selulosa dan selulosa kationik... 65

48.Skema reaksi selulosa dengan CHTAC... 66

49.Spektrum 1H NMR selulosa amonium kuartener... 67

50.Fotomikroskop sistem emulsi polimer chitosan kationik... 69

51.Fotomikroskop sistem emulsi polimer selulosa kationik... 70

52.Histogram stabilitas emulsiformula skin lotion yang ditambah polimer chitosan kationik... 73

53. Histogram stabilitas emulsi formula skin lotion yang ditambah polimer selulosa kationik... 75

54.Histogram stabilitas emulsi produk komersil... 75

(16)

xiv

Halaman

1. Hasil analisis tegangan permukaan dan tegangan antar

Muka sistem emulsi... 85

2. Hasil analisis stabilitas relatif sistem emulsi ... 86

3. Hasil analisis viskositas sistem emulsi... 87

4. Hasil analisis pH formula skin lotion dan produk komersil.. 88

5. Hasil analisis stabilitas emulsi skin lotion dan produk komersil... 89

6. Hasil analisis kelarutan chitosan kationik... 90

7. Hasil analisis untuk perhitungan berat molekul chitosan... 91

8. Prosedur analisis pH dan viskositas... 92

9. Prosedur perhitungan berat molekul chitosan... 93

10.Prosedur perhitungan derajat deasetilasi chitosan dan kelarutan chitosan kationik... 94

11.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas relatif sistem emulsi... 95

12.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap viskositas sistem emulsi... 96

13.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap viskositas sistem emulsi setelah disimpan 3 bulan... 97

14.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan permukaan sistem emulsi... 98

15.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan permukaan sistem emulsi setelah disimpan 3 bulan... 99

16.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan antar muka sistem emulsi... 100

17.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap tegangan antar muka sistem emulsi setelah disimpan 3 bulan... 101

(17)

xv stabilitas emulsi... 102

19.Hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan formula

skinlotion dengan penambahan selulosa kationik terhadap

stabilitas emulsi... 104

20.Gambar sampel chitosan, selulosa, chitosan amonium kuartener, formula sistem emulsi dan

selulosa amonium kuartener... 106

21.Gambar alat proses sintesis polimer kationik,

fotomikroskop, vakum oven, surface tensuomart model 21

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan kosmetika yang digunakan untuk perawatan tubuh, dewasa ini sangat pesat. Kosmetik merupakan campuran dari beberapa bahan yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi untuk merawat serta memperindah bagian-bagian tubuh sesuai dengan tujuan penggunaan kosmetika tersebut. Sekarang ini telah banyak ditemui berbagai macam produk perawatan kulit seperti krim dan skin lotion yang berfungsi untuk mencegah agar kulit tidak kering dan tetap segar.

Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dengan tingkat penyinaran matahari yang sangat panas, menyebabkan kulit pada lapisan corneum menjadi kering dan kurang lentur. Untuk itu diperlukan lotion yang dapat memperbaiki kulit kering, mempunyai permeabilitas terhadap air rendah dan memberikan komponen hidrofilik, sehingga mampu menahan dehidrasi air dari kulit, dengan demikian kulit menjadi lembut.

Emulsi merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam berbagai produk kosmetik. Penggunaan emulsifier memungkinkan bahan-bahan dalam formula kosmetik menjadi homogen, sehingga menjadi mudah diaplikasikan pada rambut dan kulit. Pada produk kosmetik, jenis emulsifier yang digunakan biasanya berupa bahan semipadat yang memiliki fase air (hidrofilik) dan fase minyak (hidrofobik), contohnya propilen glikol monostearat.

Pada umumnya lotion yang menggunakan tipe emulsi minyak dalam air, disusun oleh komponen emulsifier, humektan, emolien, bahan aktif dan air. Komponen bahan pengawet dan pewangi juga penting untuk ditambahkan, tetapi harus stabil terhadap suhu, pencahayaan dan kelembaban (Keithler, 1956). Selain itu digunakan pula bahan pengental karbomer yang merupakan bahan pengental yang termasuk ke dalam golongan akrilamid. Menurut Schmitt (1996), bahan-bahan yang termasuk ke dalam akrilamid dapat memicu pertumbuhan penyakit kanker, sehingga saat ini penggunaan bahan-bahan golongan akrilamid dikurangi penggunaannya.

(19)

menjadi asalnya atau disebut tidak stabil, sehingga produk-produk kosmetik tidak akan bertahan lama. Walaupun sudah memakai emulsifier, sistem emulsi pada kosmetik pada waktu tertentu akan terpisah juga, sehingga perlu penambahan polimer kationik yang akan menambah kestabilan sistem emulsi. Penambahan polimer kationik ke dalam sistem emulsi menyebabkan emulsi tidak mengalami pemisahan selama tahap penyimpanan dan pengangkutan.

Disamping menambah kestabilan sistem emulsi, penambahan polimer kationik juga dapat berfungsi sebagai bahan pengental. Jika sejumlah bahan polimer dimasukkan kedalam sistem emulsi, sistem tersebut sanggup mempertahankan kestabilannya (Schueller & Romanowski, 1999). Bahan polimer berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan

Hidrophyle Lipophyle Balance (HLB) yaitu keseimbangan antara komponen yang

larut air dan larut minyak.

Kelebihan lain polimer kationik adalah karena adanya interaksi elektrostatik antara muatan positif pada polimer dan muatan negatif pada rambut dan kulit, sehingga membentuk lapisan film yang memberikan efek pelembut pada rambut dan kulit. Polimer kationik dibuat dengan mengganti gugus hidroksil pada fatty alkil (contohnya hidroksietil selulosa) membentuk polimer natural atau sintetik termodifikasi.

Interaksi antara surfaktan dengan polimer membentuk suatu ikatan yang sangat kuat karena adanya gaya elektrostatik yang dominan yang menyebabkan terjadinya peningkatan viskositas, sehingga sistem emulsi menjadi lebih kental dan lebih stabil (Goddard, 1993).

Polimer kationik dari selulosa dan chitosan adalah polimer alami yang mampu menstabilkan sistem emulsi. Bahan baku tersebut melimpah dan dapat digunakan untuk pelembut rambut dan kulit, sehingga memberikan efek lembut, lembab dan melindungi kulit. Selama ini yang digunakan dalam produk skin

lotion adalah polimer sintetik seperti polimer carboxy vinyl dan carbomer.

(20)

polietilen glikol (400) monooleat, polietilen glikol (400) dioleat dan sorbitan monooleat. Terakhir adalah aplikasi polimer kationik pada sistem emulsi dalam pembuatan skin lotion.

Pemilihan jenis minyak dalam penelitian ini untuk melihat perbedaan penggunaan minyak dalam sistem emulsi berdasarkan dari sumber bahan bakunya dengan sifat fisika kimia yang berbeda-beda. Minyak mineral berasal dari minyak bumi, virgin coconut oil dari tumbuhan dan minyak silikon merupakan hasil polimerisasi dari prekursor dimetil silikon. Sedangkan penggunaan surfaktan tipe non-ionik digunakan dalam pembuatan sistem emulsi karena surfaktan jenis ini stabil baik dalam suasana asam maupun dalam suasana basa, menghasilkan sangat sedikit busa, disamping itu surfaktan non-ionik cocok digunakan untuk produk

lotion karena memberikan efek transparan (tembus cahaya) dengan mempunyai

nilai HLB yang cukup besar (Griffin, 1974)

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan jenis minyak dan emulsifier terbaik untuk pembuatan sistem emulsi.

2. Mendapatkan perbandingan komposisi bahan selulosa dan chitosan dengan bahan 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida terbaik pada sintesis polimer kationik yang bersifat larut dalam air.

3. Mengkaji pengaruh aplikasi polimer kationik terhadap kestabilan emulsi formula skin lotion.

Hipotesis

1. Jenis minyak dan jenis emulsifier yang sesuai akan menghasilkan sistem emulsi terbaik.

2. Sintesis polimer kationik memerlukan perbandingan komposisi bahan selulosa dan chitosan dengan 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium yang tepat.

3. Aplikasi polimer kationik dari selulosa dan chitosan dalam sistem emulsi

(21)

Ruang Lingkup Penelitian

1. Pembuatan sistem emulsi menggunakan tiga jenis minyak yaitu minyak silikon, minyak mineral dan virgin coconut oil (VCO) dan tiga jenis emulsifier yaitu polietilen glikol (400) monooleat, polietilen glikol (400) dioleat dan sorbitan monooleat.

2. Sintesis polimer alam dari selulosa dan chitosan menjadi polimer kationik dengan komposisi bahan yang divariasikan serta analisanya menggunakan NMR (Nuclear Magnetik Resonance) dan FTIR (Fourier Transform Infra

Red).

3. Aplikasi polimer kationik pada pembuatan skin lotion.

4. Pengujian sistem emulsi meliputi ukuran partikel, stabilitas, viskositas, tegangan permukaan dan tegangan antar muka.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Emulsifier

Emulsi dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem heterogen yang memiliki setidaknya satu jenis cairan (liquid) yang seharusnya tidak mungkin dicampur- terlarut dalam cairan lainnya dan membentuk campuran baru yang sifatnya semi padat menyerupai tetesan air (Schueller & Romanowski, 1999).

Emulsi adalah jenis sistem penghantar yang paling banyak digunakan dalam berbagai produk kosmetik. Pada produk kosmetik, jenis emulsi yang digunakan biasanya berupa bahan semipadat yang memiliki fase air (hidrofilik) dan fase minyak (hidrofobik). Kedua fase ini membentuk fase internal dan eksternal pada emulsi. Fase internal terdiri dari bahan-bahan yang membentuk sebaran butiran teremulsifikasi, sedangkan fase eksternal terbentuk dari sisa-sisa fase internal.

Partikel yang membentuk fase internal memiliki ukuran yang berbeda-beda (polidisperse). Ukuran rata-rata diameter partikel digunakan untuk mengklasifikasikan emulsi. Sebagai contoh, jika rata-rata diameter partikel lebih kecil dari 100 nm (1000 Ǻ), emulsi tersebut dinamakan nanoemulsi. Emulsi dengan rata-rata diameter partikel 1000 Ǻ - 2000 Ǻ disebut mikroemulsi, sedangkan diameter yang lebih besar lagi disebut makroemulsi (US Patent Pub No 2004/0076598 AI).

Emulsifier merupakan komponen yang berfungsi menstabilkan proses penguraian fase internal yang terjadi pada fase eksternal (kontinyu). Emulsifier merupakan surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka antara dua fase, yaitu molekul-molekul hidrofilik dan lipofilik. Seperti halnya surfaktan, emulsifier dikelompokkan menjadi kelompok anionik, kationik, non-ionik, atau amfoterik sesuai sifat kelarutan gugus utamanya dalam air.

Surfaktan Anionik

(23)

polar gugus utama dan susunan rantai karbon. Sebagai contoh, alkil eter sulfat, alkil fosfat, dialkil sulfosuksinat dan alkanaloamida sulfat adalah varian dari rantai utama yang sama.

Surfaktan Amfoterik

Surfaktan amfoterik seperti asil β-aminopropionat (antara lain sodium laurimino-dipropionat), juga berfungsi sebagai deterjen, tetapi kelompok ini memiliki perbedaan sifat dan struktur kimia. Definisi amfoterik mengandung pengertian zwitterionik; yaitu dapat diubah menjadi proton, dengan menerima muatan positif dalam suasana asam. Dalam suasana basa (alkali), surfaktan amfoterik melepaskan proton dan memiliki rantai yang bermuatan negatif.

Bahan-bahan tersebut di atas biasanya tidak menimbulkan iritasi dibandingkan dengan jenis surfaktan lain, sehingga banyak digunakan sebagai formula utama deterjen yang lembut, seperti sampo bayi.

Surfaktan Kationik dan Non-ionik

Surfaktan kationik merupakan deterjen efektif, yang menghasilkan busa, akan tetapi surfaktan ini dapat mengakibatkan iritasi pada kulit dan mata. Di satu sisi, surfaktan non-ionik dapat bersifat sangat lembut, tetapi hanya menghasilkan sangat sedikit busa.

(24)

Gambar 1. Struktur molekul sorbitan monooleat (Othmer,1994)

Polietilen glikol (400) dioleat dan Polietilen glikol (400) monooleat merupakan surfaktan non-ionik yang berasal dari asam oleat dan polioksietilen, dengan proses pembentukan secara esterifikasi. Polietilen glikol (PEG) yang digunakan mempunyai berat molekul n ± 400 gram/mol (Gambar 2 dan 3). Polietilen glikol (400) monooleat bersifat cair dengan bilangan asam sekitar 5 dan bilangan penyabunan antara 80 sampai 89, serta nilai HLB kurang dari 11,6. Sedangkan polietilen glikol (400) dioleat (Gambar 3) mempunyai bilangan asam sekitar 10, bilangan penyabunan 113-122, dan HLB 8,3 yang menunjukkan kemudahan sifat untuk melarut dalam air dibandingkan dalam minyak. Aplikasi polietilen glikol (400) monooleat dan polietilen glikol (400) dioleat dalam industri adalah untuk kosmetik, sampo, lotion, tekstil, plastik dan bahan aditif pada resin.

Gambar 2. Struktur molekul polietilen glikol (400) monooleat (Othmer,1994)

Gambar 3. Struktur molekul polietilen glikol (400) dioleat (Othmer,1994) O

OH

OH

OH

CH2 O C

O

(CH3)7 C H

CH (CH2)7 CH3

HO-(CH

2

CH

2

O)

n

-C-(CH

2

)

7

-CH=CH-(CH

2

)7-CH

3

O

CH

3

-(CH

2

)

7

-CH=CH-(CH

2

)

7

-C-(OCH

2

CH

2

O)

n

-C-(CH

2

)

7

-CH=CH-(CH

2

)

(25)

Jika dimasukkan ke dalam sistem air, emulsifier cenderung membentuk rantai lurus dan dapat mencegah terjadinya interaksi antara gugus hidrofilik dengan hidrofobik. Pada jumlah yang melimpah, emulsifier membentuk struktur sferis yang disebut misel. Struktur ini berkumpul membentuk pola dimana ekor hidrofobik terorientasi kearah pusat misel, sedangkan kepala hidrofilik berada di permukaan (lapisan terluar) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Misel emulsi (Schueller & Romanowski, 1999).

Walaupun emulsifier membantu menstabilkan interaksi antara fase minyak dengan air secara inheren, namun emulsi masih belum stabil. Hal ini dikarenakan berlakunya Hukum Termodinamika ke-2, yaitu pada waktu tertentu fase minyak dan air ini akan terpisah juga (Schueller & Romanowski, 1999). Kecepatan dan kesempurnaan pemisahan kedua fase tersebut tergantung kepada komposisi emulsi. Jika sejumlah surfaktan polimer dimasukkan kedalam sistem emulsi, sistem tersebut sanggup mempertahankan kestabilannya (Schueller & Romanowski, 1999). Surfaktan polimer berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan HLB yaitu keseimbangan antara komponen yang larut air dan larut minyak.

(26)

3-8 menghasilkan emulsi w/o, dan HLB 10-20 menghasilkan emulsi o/w. Sistem emulsi ini pada awalnya dirancang untuk jenis emulsifier non-ionik, tetapi kini telah banyak diaplikasikan untuk surfaktan-surfaktan lainnya.

Metode HLB sistem juga bisa digunakan untuk mengukur nilai HLB yang diperlukan pada sistem minyak dan jenis emulsi yang akan terbentuk. Sebagai contoh, minyak mineral memerlukan bahan yang mempunyai nilai HLB 4,5 untuk membentuk emulsi w/o, sedangkan untuk membuat emulsi o/w, minyak mineral memerlukan emulsifier dengan HLB 11. Penentuan nilai HLB dapat dilakukan di laboratorium maupun dengan melihat tabel. Walaupun sistem HLB bisa digunakan untuk memprediksi jenis emulsi yang akan terbentuk, sistem ini tidak dapat memberikan referensi konsentrasi bahan yang diperlukan. Informasi tersebut hanya bisa diperoleh melalui pengukuran laboratorium.

Destabilisasi Emulsi

Destabilisasi atau ketidakstabilan emulsi terjadi mengikuti 4 mekanisme utama, yaitu : creaming, flocculation, coalescence, dan inversion. Keempat proses tersebut terjadi secara simultan (Gambar 5). Menurut Suryani et al (2000), faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan emulsi yaitu komposisi bahan yang tidak tepat, ketidakcocokan bahan, kecepatan dan waktu pencampuran yang tidak tepat, tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi, pemanasan dan penguapan yang berlebihan, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tidak tepat, pembekuan, guncangan mekanik atau getaran, ketidak seimbangan densitas, ketidak murnian emulsi, adanya reaksi antara dua atau lebih komponen dalam sistem emulsi serta penambahan asam atau senyawa elektrolit.

Creaming

Butiran-butiran dalam emulsi memiliki densistas yang berbeda-beda yang menimbulkan kecenderungan mengalami proses destabilisasi yang disebut

creaming. Partikel-partikel dengan ukuran kerapatan (densitas) kecil akan naik ke

permukaan. Hasil akhir proses creaming adalah 2 jenis emulsi, yaitu : 1. Emulsi dengan fase internal lebih besar, dan

(27)

Gambar 5. Proses destabilisasi emulsi ( Schueller &Romanowski, 1999).

Contoh klasik creaming adalah susu non-homogen, yaitu secara alami susu akan membentuk krim lemak yang mengambang di permukaan (kepala susu). Creaming tidak menyebabkan permasalahan stabilitas yang serius, karena sesungguhnya tidak ada satu pun partikel dalam sistem yang benar-benar menyatu. Creaming dapat diatasi dengan cara agitasi.

Flocculation

Selama proses creaming, butiran-butiran fase internal bereaksi 2 arah membentuk ikatan lemah. Secara khusus hal ini disebabkan oleh muatan permukaan yang tidak memadai pada misel, sehingga terjadi pengurangan gaya repulsif di antara butiran-butiran fase internal. Kedua partikel tersebut saling menggabung, tetapi tidak ada perubahan ukuran. Kejadian dapat diilustrasikan seperti dua buah bola bilyar yang saling disentuhkan. Pada saat keduanya bersentuhan terbentuklah asosiasi. Akan tetapi asosiasi tersebut mudah dilepaskan dengan memindahkan salah satu bola. Dengan mekanisme yang sama,

flocculation pada emulsi dapat dikembalikan dengan cara mengagitasi sistem.

(28)

Coalescence

Ketika dua butiran fase internal saling mendekat, keduanya dapat bergabung membentuk partikel yang lebih besar. Proses ini berlangsung 1 arah (irreversible), sehingga bisa menimbulkan masalah serius pada stabilitas produk. Sejumlah tertentu partikel yang mengalami coalescence dapat memisahkan kedua fase emulsi secara sempurna. Ostwald ripening adalah fenomena yang sama dimana partikel fase internal cenderung bergabung membentuk ukuran seragam. Peristiwa ini juga bisa menyebabkan pemisahan fase.

Inversion

Pada saat terjadi inversion, fase eksternal berubah menjadi internal dan sebaliknya. Perubahan seperti ini biasanya tidak diinginkan karena karakter fisik emulsi yang terbentuk akan berbeda.

Faktor-Faktor Lain

Peningkatan suhu penyimpanan akan mempercepat destabilisasi emulsi dan sebaliknya. Penguapan fase air dapat menurunkan stabilitas emulsi. Faktor pemicu yang lain adalah kontaminasi mikroba dan reaksi kimia.

Pada kadar tertentu, semua jenis emulsi mudah terpengaruh oleh proses destabilisasi dan hasil setiap proses bebeda-beda. Sebagai contoh, mikroemulsi transparan (tembus cahaya) yang mengalami flocculation dapat berubah menjadi

translucent (tidak tembus cahaya). Proses ini merugikan, terutama jika terjadi

pada produk kosmetik bening, yaitu tidak dapat terdeteksi terjadinya flocculation

pada makroemulsi. Jika proses berlanjut pada coalescence, permasalahan menjadi lebih serius karena dapat menimbulkan berbagai rheologi pada makroemulsi. Destabilitasi dapat ditekan dengan meracik formula emulsi seteliti mungkin.

(29)

Polimer Kationik

Secara umum polimer kationik terdiri dari rantai polimer lurus yang mempunyai sisi muatan positif yang terdapat pada struktur polimer tersebut. Seperti surfaktan kationik, polimer kationik dapat diaplikasikan pada rambut dan kulit karena interaksi elektrostatik antara sisi muatan positif pada polimer dan sisi negatif pada rambut. Tidak seperti surfaktan, banyak polimer kationik dapat bergabung dengan surfaktan anionik dan membentuk film pada rambut dan kulit. Lapisan film ini memberikan kontribusi kepada rambut dan kulit sebagai pelembut.

Polimer kationik dibuat dengan mengganti gugus hidroksil pada fatty alkil

membentuk polimer natural atau sintetik termodifikasi. Pada saat strukturnya mirip dengan quats (surfaktan kationik dalam bentuk garam amonium kuartener), polimer mempunyai sisi kation lebih banyak per molekulnya dan semakin besar berat molekulnya.

Polimer kationik harus dikondisikan untuk memberikan suasana yang efektif seperti halnya quats. Polimer kationik alami terbentuk melalui atraksi

kolumbik (interaksi antara partikel-partikel yang bermuatan, partikel yang

bermuatan sama akan saling tolak menolak sedangkan partikel yang bermuatan berbeda akan saling tarik menarik) pada permukaan anion.

Interaksi antara surfaktan dengan polimer kationik dapat diilustrasikan sebagai berikut : Surfaktan non ionik memiliki gugus polar yang dapat larut dalam air (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) yang dapat larut dalam minyak, ketika terdapat dalam suatu sistem emulsi maka gugus polar akan berada dalam permukaan fase air. Di dalam larutan emulsi terdapat energi permukaan yang dapat menyebabkan terjadinya koalesen antara droplet-droplet (butiran-butiran).

(30)

hidroksil pada chitosan. Ikatan hidrogen yang terbentuk banyak karena banyaknya oksigen pada etilen glikol yang berbentuk polimer, begitu juga halnya dengan gugus hidroksil yang terdapat pada chitosan yang merupakan polisakarida. Dengan banyaknya ikatan hidrogen yang terbentuk membuat droplet stabil karena ikatan hidrogen tersebut dapat meminimalkan energi permukaan, sehingga koalesen tidak terjadi. Interaksi antara surfaktan dengan polimer kationik dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Interaksi surfaktan dengan polimer kationik (Goddard et al.,1993)

Polimer kationik dapat dibuat dengan berbagai macam sintesis polimer alami, seperti selulosa dan chitosan. Karakteristik fisis polimer menyerupai monomernya dan rasio monomer digunakan untuk pembuatan polimer kationik. Berat molekul merupakan faktor lain yang berpengaruh pada karakteristik fisis polimer dan sifat penggunaannya.

Turunan selulosa kationik yang mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida secara luas digunakan sebagai conditioning agent pada

Surfaktan non-ionik

Surfaktan non-ionik + polimer kationik

Sistem emulsi

polimer surfaktan

Droplet minyak

Polimer

(31)

produk perawatan rambut dan kulit. Sejumlah makalah berkaitan dengan hal tersebut telah dipublikasikan misalnya review oleh Idson, 1999, yaitu efek kondisioning dapat dirasakan karena adanya gugus amonium yang bermuatan positif dari turunan selulosa kationik mampu mengikat sisi anionik yang ada dalam keratin alami seperti rambut dan kulit. Hal tersebut menyebabkan rambut menjadi lebih mudah dirapikan ketika disisir basah dan ketika kering akan lebih lembut, berkilau dan mudah diatur. Pada saat menyisir pun tidak perlu keras-keras. Untuk kulit, turunan selulosa kationik memberi efek lembut, lembab dan melindungi kulit. Struktur molekul dari turunan selulosa kationik yang mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida adalah sebagai berikut.

Gambar 7. Turunan selulosa kationik (Drovetskaya et al., 2004)

Chitosan merupakan produk deasetilasi chitin, yang berupa rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksiglukosa), chitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif. Turunan chitosan kationik mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida yang dapat berfungsi sebagai pelembab, membentuk film pelindung yang jernih, membentuk lapisan pada kulit dan bersifat non alergenik. Struktur molekul dari polimer kationik chitosan adalah sebagai berikut.

(32)

Gambar 8. Turunan chitosan kationik (Paten Pub No DE 3502833)

Selulosa

Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling tersebar di alam. Sumber utama selulosa adalah kayu. Umumnya kayu mengandung sekitar 50% selulosa, bersama dengan penyusun lainnya seperti lignin. Selulosa di bangun oleh rantai glukosa yang tersambung melalui β-1,4, glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6 dan strukturnya diperlihatkan pada

Gambar 9.

Gambar 9. Struktur molekul selulosa (Cowd, 1991)

Selulosa merupakan bahan dasar dari banyak produk teknologi seperti kertas, film, serat aditif dan sebagainya. Bahan ini terdiri atas unit-unit anhidroglukopiranosa yang bersambung membentuk rantai molekul. Karena itu selulosa dapat dinyatakan sebagai polimer linier glukan dengan struktur rantai yang seragam (Fengel dan Wegener, 1989).

Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D glukopiranosa yang terkait satu sama lain dengan ikatan glikosida (1 4). Secara alamiah molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen, fibril-fibril tersebut membentuk struktur kristal.

(33)

Fengel dan Wegener (1989) menyatakan terdapat dua buah modifikasi struktur kristalin selulosa, yaitu selulosa I-α dan selulosa I-β yang disebabkan adanya ikatan hidrogen pada selulosa. Pada selulosa dengan struktur I-α, satu sel unit triklinat mengandung satu rantai selulosa, sedangkan pada selulosa dengan struktur I-β, satu sel monoklinat mengandung dua rantai selulosa. Selulosa bakterial mengandung selulosa I-α kira-kira 60%, berbeda dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan (misalya rami dan kapas) yang mengandung selulosa I-α hanya 30%, sedangkan sisanya adalah selulosa I-β.

Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa, sehingga dapat dilakukan reaksi-reaksi seperti esterifikasi, eterifikasi, adisi dan lain-lain (Bydson, 1995). Turunan selulosa yang mempunyai sifat berbeda dari selulosa telah banyak digunakan di berbagai bidang. Dalam beberapa hal, turunan selulosa tersebut hanya merupakan bentuk antara untuk mengubah bentuk selulosa. Dari segi teknis, turunan selulosa yang paling penting adalah ester dan eter yang lingkup penggunaannya sangat luas (Fengel dan Wegener, 1989). Adanya gugus-gugus –OH dalam selulosa dapat bereaksi membentuk berbagai turunan, misalnya pembentukan ester-ester dengan asam-asam anorganik dan organik. Adanya tiga gugus –OH pada setiap unit glukosa dalam selulosa memungkinkan pembentukan mono, di atau triester. Proses pelarutan selulosa dimulai dengan degradasi struktur serat dan fibril dan akan menghasilkan disintegrasi yang sempurna menjadi molekul-molekul individual dengan panjang rantai tidak berubah. Degradasi struktur supramolekul terjadi dengan pembengkakan dan penyisipan gugus kimia yang akan memecah ikatan-ikatan intramolekul dan melapisi molekul-molekul selulosa.

Turunan selulosa dapat terjadi karena gugus hidroksil yang tersedia di dalam alkil atau hidroalkil pada rantai selulosa dapat diganti oleh senyawa lain (Gambar 10). Gugus R adalah sebagai senyawa pengganti. Contoh senyawa pengganti seperti hidroksietil (HO-CH2-CH2-), natrium karboksimetil

(NaOOC-CH2-), metil (CH3-), etilhidroksietil (CH3-CH2-O-CH2-CH2-), hidroksipropil

(HO-CH2-CH2-CH2-), semua senyawa ini larut dalam air. Akibat dari masuknya

(34)

susunan selulosanya sehingga molekul air atau senyawa pelarut lain dapat masuk dan melarutkan ikatan rantai.

Gambar 10. Struktur Selulosa dan Turunannya

Gambar 10. Struktur selulosa dan turunannya (Fengel dan Wegener, 1989)

Chitosan

Chitosan merupakan turunan chitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi (penghilangan gugus –COCH3) dan merupakan senyawa polisakarida

terbesar kedua setelah selulosa (Rha, 1984).

Chitosan merupakan produk deasetilasi chitin, yang merupakan rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksiglukosa) (Barkeley, 1973). Gambar 11 merupakan struktur berulang chitosan.

Gambar 11. Struktur molekul chitosan (Skjak-Braek at al., 1989)

Menurut Knor (1984) berat molekul chitosan sekitar 1.036 x 105 Dalton. Berat molekul chitosan tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatan chitosan.

Chitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino, sehingga mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi. Chitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif, tidak

(35)

seperti polisakarida pada umumnya yang bermuatan negatif atau netral (Muzzarelli, 1985).

Menurut Mckay et al. (1987) chitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH di atas 6,5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam formiat, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain kecuali sulfur. Sifat kelarutan chitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi dan spesifik rotasi, yang dapat bervariasi tergantung dari sumber dan metode isolasinya.

Muzzarelli (1985) menyatakan bahwa chitosan dapat diturunkan lagi menjadi senyawa larut air, larutan alkali dan larutan asam. Proses asilasi chitosan akan menghasilkan turunan baru yang dapat larut dalam air. Senyawa yang mengandung gugus amin dapat diasilasi dengan penabahan turunan asam yang bersifat reaktif (misalnya anhidrida-anhidrida dan klorida-korida).

Chitosan yang mengalami asilasi mengandung gugus N-acyl. Turunan chitosan tersebut dinamakan N-acylchitosan. Turunan chitosan tersebut cocok sekali dipakai sebagai bahan pengemulsi minyak dalam air dan mempunyai keunggulan yaitu tahan terhadap panas.

(36)

Menurut Austin (1988) chitosan merupakan polimer mukopolisakarida termasuk dalam komponen larut air pada kulit yang mempunyai kemampuan mengikat air, sehingga dapat dipakai sebagai bahan emollient cream dan lotion.

Chitosan mempunyai kemampuan menahan air, membuat lapisan film yang jernih, bersifat non alergenik dan tidak beracun, dengan demikian chitosan merupakan bahan yang dapat dipakai dalam pembuatan emollient cream.

Seldner (1973) menyatakan bahwa beberapa karbohidrat dapat dipakai sebagai bahan kosmetik karena mempunyai sifat larut dalam air dan alkohol, mampu mengikat air, menghambat evaporasi dan mampu mengikat parfum tanpa pengadukan. Jenis-jenis karbohidrat tertentu dapat berfungsi sebagai emollient, pelembab dan emulsifier pada krim perawatan. Komponen tersebut meninggalkan film pada kulit lebih baik dibanding dengan bahan emollient yang biasa dipakai yaitu polyol seperti propilen glikol dan sorbitol yang meninggalkan film kaku. Chitosan yang digunakan untuk bahan kosmetik merupakan chitosan yang dapat larut dalam air.

Kulit

Kulit berfungsi untuk menutupi semua bagian tubuh dan melindungi tubuh dari berbagai macam gangguan eksternal dan kerusakan akibat kehilangan kelembaban. Kulit luar terbagi atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan sel subkutan, seperti yang terlihat pada Gambar 12.

Lapisan-lapisan epidermis dapat dilihat pada Gambar 13, terdiri dari stratum germinativum, atau sel tumbuh, lapisan Malphigi atau lapisan pigmen, stratum granulosum, stratum lucidum, korneum dan terakhir lapisan kornified. Kulit yang sesungguhnya atau dermis terdiri dari jaringan pembuluh darah, kantung rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Dibawahnya adalah subkutan jaringan lemak sampai bagian terakhir dari akar rambut. Sel-sel yang membentuk lapisan terbawah berjalan keluar selama siklus hidup mereka dan pada akhirnya menjadi sel-sel mati dari korneum, lapisan luar yang masih ada (hidup) akan lepas. Pergerakan keluar ini, diakhiri dengan pengelupasan kulit.

(37)

memberikan perlindungan pada jaringan-jaringan yang ada dibawahnya terutama pada elemen penyusunnya, penyaring substansi toksik (beracun) dan dari serangan mikroorganisme.

(A) Epidermis, (B) Dermis, (C) Subkutan; (a) Lapisan minyak pada permukaan kulit; (b) Sel kornifil; (c) Korneum; (d) Stratum lucidum; (e) Penahan absorpsi kulit; (f) Stratum granulosum; (g) Lapisan malpigi atau stratum mucosum; (h) Stratum germanativum; (i) Lapisan basal (j) Kelenjar sebasea; (k) Serabut akar rambut; (l) Jaringan akar rambut; (m) Lemak; (n) Kelenjar keringat; (o) Ruang isi minyak dan udara; (p) Rambut; (q) Pori-pori keringat

Gambar 12. Struktur jaringan kulit manusia (Poucher, 1996)

Fungsi yang paling penting dari lapisan epidermis adalah menjaga gangguan stimuli eksternal seperti dehidrasi, sinar ultraviolet, faktor fisik dan fakor kimia lainnya. Fungsi ini dilakukan oleh lapisan corneum sebagai lapisan paling luar.

(38)

dihubungkan oleh sel-sel di bawah lapisan epidermis. Permukaan lapisan dermis yang kontak lansung dengan lapisan epidermis yang menonjol keluar disebut penghubung epidermal. Seperti sel-sel lapisan epidermis, sel-sel dermis tidak terhubung secara kuat satu dengan yang lainnya, dan banyak terdapat ruang kosong. Bagian dari kulit ini mempunyai jaringan struktur molekul makro yang disebut extracellular matrix. Lapisan dermis termasuk sel-sel yang memproduksi histamin dan serotonin yang bertanggung jawab untuk respon yang cepat terhadap alergi, juga memproduksi fibroblast yang mensintesis dan mesekresikan

extracellular matrix.

Gambar 3. Struktur Epidermis

(a) Stratum germinativum, (b) Stratum granulosum, (c)Stratum lucidum, (d) Korneum, (e) Lapisan kornified. Gambar 13. Struktur epidermis (Poucher, 1996)

(39)

pada lapisan minyak, pada lapisan corneal akan menyebabkan kulit tidak kering walaupun kelembaban lingkungan rendah.

Kekeringan dan sifat kurang lentur pada lapisan korneum dapat diperbaiki jika kandungan air dinaikkan lebih dari kondisi normal (10 persen). Pemakaian krim kosmetik yang mengandung hidrofilik emollient dapat memperbaiki kulit kering. Cream emollient akan meninggalkan film yang rapat pada kulit, permeabilitas terhadap air rendah, mensuplai komponen hidrofilik, sehingga mampu menahan dehidrasi air dari kulit, dengan demikian kulit menjadi lembut. Tronnier (1962) menemukan bahwa emulsi jenis minyak-air merupakan bentuk emulsi yang baik untuk menghasilkan film yang lembut pada kulit, yang mampu mengurangi evaporasi.

Skin Lotion

Saat ini telah banyak ditemui berbagai macam produk perawatan diantaranya adalah krim dan lotion kulit (skin cream dan skin lotion). Beberapa pengguna tertarik menggunakannya untuk mencegah agar kulit tidak kering dan pengguna lainnya tertarik untuk perawatan kulit agar tetap segar.

Lotion merupakan salah satu bentuk emulsi yang didefinisikan sebagai

campuran dari dua fase yang tidak dapat bercampur, distabilkan dengan emulsifier, dan jika ditempatkan pada suhu ruang berbentuk cairan yang dapat di tuang. Proses pembuatan lotion adalah dengan cara mencampurkan bahan-bahan yang larut dalam fase air dan pada bahan-bahan yang larut dalam fase minyak, dengan cara pemanasan dan pengadukan (Schmitt, 1996). Keithler (1956) menambahkan bahwa pada kebanyakan pembuatan kosmetik, dua fase secara terpisah dipanaskan pada suhu yang sama, kemudian fase yang satu dituangkan ke fase yang lainnya dan dipanaskan pada temperatur yang sama dengan pengadukan. Pengadukan terus dilakukan sampai emulsi dapat didinginkan pada suhu kamar.

(40)

Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah minyak mineral, ester isopropil, alkohol alifatik, turunan lanolin, alkohol dan trigliserida serta asam lemak. Sedangkan bahan pelembab diantaranya adalah gliseril dan propilen glikol. Penggunaan pelembut dan pelembab berkisar antara 0,5% - 15% (Schmitt, 1996).

Skin lotion merupakan salah satu produk industri kosmetik yang

menggunakan tipe emulsi minyak dalam air atau oil in water (o/w), yang terdiri dari fase minyak 10-25%, humektan 3-10% dan fase air 75-80% (Schmitt, 1996). Fase minyak terbentuk dari bahan-bahan non polar yang biasanya tidak dapat menyatu dengan air. Bahan-bahan tersebut meliputi : lemak, minyak, lilin dan turunannya seperti lemak-alkohol, asam lemak, ester, hidrokarbon, gliserida dan silikon. Pemanfaatan bahan-bahan tersebut dalam produk kosmetik memberi banyak keuntungan. Jika diaplikasikan pada kulit, fase minyak berperan sebagai pelembut (emolient), penghalus dan pelembab, karena minyak dapat membentuk semacam lapisan pelindung yang mempertahankan air.

Minyak Silikon digunakan secara luas dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang kosmetik tekstil, sebagai zat aditif pada cat, cairan hidrolik, senyawa anti busa, dan sebagai heat transfer oils. Nama lain dari minyak silikon adalah polidimetil siloksan atau dapat disingkat PDMS. PDMS dibentuk melalui proses polimerisasi dari prekursor dimetil silikon. Sifat minyak silikon dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat minyak silikon

Sifat Nilai Densitas (g/ml)

Indeks refraksi

Tegangan permukaan pada 25oC (dyne/cm) Penguapan maksimum pada 150oC (%) Panas spesifik Sumber : Othmer, 1994

(41)

dalam pelarut non polar seperti benzen, toluen, kloroform, dan dimetileter. Minyak silikon sedikit larut dalam aseton, etanol, dan butanol, tetapi tidak larut dalam metanol, etilenglikol, dan air.

Gambar 14. Struktur molekul minyak silikon (Othmer,1994)

Minyak Mineralmerupakan minyak yang terkandung di dalam bumi, atau bisa juga disebut minyak bumi. Kandungan dari minyak mineral adalah berupa hidrokarbon. Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mineral dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu : parafin, naftalena, olefin, dan aromatik.

Parafin secara umum memiliki rumus CnH2n+2, parafin merupakan

hidrokarbon yang jenuh, dan mengikat atom hidrogen secara maksimal, sehinga parafin bersifat tidak reaktif. Olefin merupakan hidrokarbon tidak jenuh Olefin dibagi menjadi dua, yaitu : mono olefin (CnH2n) dan diolefin (CnH2n-2). Naftalena

memilki rumus umum CnH2n. Naftalena merupakan hidrokarbon jenuh dan

memiliki sifat mirip dengan parafin. Atom karbon pada setiap molekul yang terdapat pada naftalena membentuk cincin tertutup. Hidrokarbon aromatik memliki rumus umum CnH2n-6. Molekul-molekul yang terdapat pada hidrokarbon

aromatik membentuk cincin tertutup dan merupakan hidrokarbon tak jenuh. Sifat minyak mineral dapat dilihat pada Tabel 2.

(42)

Tabel 2. Sifat minyak mineral

Sifat Nilai Densitas (g/ml)

Viskositas (cSt) pada 40oC Kelarutan

0,870 <34,5

Tidak larut dalam air dan alkohol. Larut dalam benzen, kloroform, eter, karbondisulfida, dan petroleum eter.

Sumber : http://home.fnal.gov/~randy/tech_specs.html

Virgin Oil adalah minyak dan lemak makan yang dihasilkan tanpa

mengubah sifat fisiko kimia minyak. Minyak diperoleh dengan hanya perlakuan mekanis dan pemakaian panas minimal serta tidak menggunakan bahan kimia kecuali yang tidak mengalami reaksi dengan minyak. Minyak ini dimurnikan dengan cara pencucian menggunakan air, pengendapan, penyaringan dan sentrifugasi saja. Standar mutu dari virgin coconut oil dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat virgin coconut oil

Sifat Nilai

Kadar air (%) 0,1-0,5

Densitas (g/ml) 0,9756

Index bias 1,4550

Bilangan peroksida (mg oksigen/100 g contoh) Maks 3,0 Bilangan penyabunan (mg KOH/g contoh) 250-260 Bilangan asam (mgKOH/g contoh) Maks 13 Kadar asam lemak bebas (% asam laurat) Maks 0,5

Warna Jernih krisal

Sumber : Pusat Penelitian Kimia-LIPI Serpong

Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%) dan minyak tak jenuh (10%). Tingginya kandungan asam lemak jenuh menjadikan

(43)

Medium Chain Fatty Acid (MCFA), yaitu komponen asam lemak berantai sedang yang memiliki banyak fungsi, antara lain mampu merangsang produksi inulin sehingga proses metabolisme glukosa dapat berjalan normal. MCFA juga bermanfaat dalam mengubah protein menjadi sumber energi.

Fase air dibentuk oleh air dan bahan-bahan hidrofilik lain dalam sebuah sistem seperti gliserin atau propilen glikol. Secara umum, fase air dapat menghemat biaya karena harganya murah.

Dalam membuat formula skin lotion harus diperhatikan fungsi utama dalam penggunaannya yaitu melembutkan tangan, mudah dan cepat menyerap pada permukaan kulit, tidak meninggalkan lapisan tipis, tidak menimbulkan lengket pada kulit setelah pemakaian, tidak mengganggu pernafasan, antiseptis, memiliki bau yang khas (menyegarkan) dan memiliki warna yang menarik (Schmitt, 1996).

Emulsifier atau pengemulsi yang umum digunakan dalam pembuatan

lotion adalah trietanolamin stearat dan oleat. Selain itu asam stearat juga dapat digunakan dalam formulasi sesuai dengan sifatnya yang dapat menghasilkan kilauan yang khas pada produk lotion (Wilkinson et al., 1962). Menurut Barnet (1962) gliseril mono stearat dengan polietilen glikol 400 efektif digunakan sebagai bahan pengental dan penstabil pada konsentrasi rendah. Konsentrasi yang berlebih pada penggunaan bahan-bahan ini harus dihindarkan karena akan membentuk ‘gel’ pada lotion.

Humektan merupakan zat yang melindungi emulsi dari “pengeringan”.

Humektan ditambahkan pada produk lotion terutama pada produk dengan menggunakan tipe emulsi minyak dalam air (o/w) untuk mengurangi kekeringan ketika produk disimpan pada suhu ruang (Schmitt, 1996). Gliserin merupakan humektan yang paling baik digunakan dalam pembuatan lotion. Penggunaan gliserin akan menghasilkan lotion dengan karakteristik skin lotion yang terbaik dengan komposisi dalam formula berkisar 3% - 10%. Sedangkan menurut Barnett (1962), gliserin berfungsi sebagai penarik, penahan dan penyimpan air dan penyuplai sumber air pada celah lapisan cornified di permukaan kulit.

Emolient merupakan zat yang mampu melunakkan kulit, apabila

(44)

kelembutan kulit dengan adanya hidrasi ulang (Schmitt, 1996). Emolient harus memiliki titik cair yang lebih tinggi dari suhu kulit, sehingga apabila lotion

dioleskan pada kulit akan menimbulkan rasa nyaman, kering dan tidak berminyak. Cetil alkohol adalah emolient yang paling baik dan juga bisa berfungsi sebagai bahan pengental dengan komposisi berkisar antara 1% -3% pada formulasi produk.

Beberapa jenis minyak dapat digunakan dalam pembuatan lotion. Minyak mineral, dan beberapa minyak alam yang berasal dari bunga matahari, zaitun, kelapa dan kacang-kacangan serta campuran dari trigliserida seperti miristat, palmitat, stearat dan asam lemak rantai panjang dapat digunakan dalam pembuatan lotion karena dapat memberikan efek alami kulit menjadi licin, kilau dan halus (Schueller et al., 1999).

Airmerupakan komponen yang paling penting dalam pembuatan krim dan

skin lotion. Air merupakan bahan pelarut dan bahan baku yang tidak berbahaya

dibandingkan bahan baku lainnya, tetapi air mempunyai sifat korosif. Air yang digunakan dalam produk kosmetik harus dimurnikan terlebih dahulu.

Viskositas merupakan salah satu parameter penting untuk menunjukkan stabilitas produk maupun untuk penanganan suatu produk kosmetik selama penanganan dan distribusi produk (Schmitt, 1996). Bahan pengental digunakan untuk mengatur kekentalan dan mempertahankan kestabilan produk. Bahan pengental berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan

Hidrophyile Lipophyile Balance. Selain itu bahan pengental yang digunakan

dalam pembuatan lotion bertujuan untuk mencegah terpisahnya partikel dan emulsi (Strianse, 1996). Menurut Schmitt (1996), pengental polimer seperti gum-gum alami, turunan selulosa dan karbomer lebih sering digunakan dalam emulsi dibandingkan dalam formulasi berbasis surfaktan.

(45)

meningkatnya aliran Newtonian. Sedangkan sistem yang terkentalkan oleh garam atau polimer menunjukkan sifat alir yang pseudoplastik (Schmitt,1996). Penggunaan bahan pengental dalam pembuatan skin lotion adalah lebih rendah 2,5%.

Hampir setiap jenis kosmetik menggunakan zat pewangi, yang berguna terutama untuk menambah nilai estetika produk yang dihasilkan. Minyak parfum yang digunakan spesifik dalam hal jenis, dosis pemakaian dan persyaratan lainnya terutama yang berkaitan dengan pengaruh iritasi dan sensitifisasi terhadap kulit, serta hubungannya dalam formula kosmetik. Jumlah parfum yang ditambahkan harus serendah mungkin, yaitu berkisar antara 0,1% -0,5. Pada proses pembuatan

lotion, pewangi dicampurkan ke dalam lotion pada suhu 35oC agar tidak merusak

emulsi yang telah terbentuk (Schueller et al, 1999).

(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan baku yang digunakan pada pembuatan skin lotion meliputi polietilen glikol monooleat (HLB12,2), polietilen glikol dioleat (HLB 8,9), sorbitan monooleat (HLB 4,1) (diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong), trietanol amin, cetil alkohol, minyak silikon, minyak mineral (dibeli dari Bratachem), virgin coconut oil (diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong), gliserin, air destilasi, metil paraben, selulosa, chitosan (dibeli dari Bratachem), 3-kloro 2-hidroksipropiltrimetil amonium klorida p.a (dari Aldrich) , iso propanol, propilen glikol dan sodium hidroksida (dibeli dari Bratachem).

Alat yang digunakan meliputi peralatan gelas, oven vakum merk Heraeus Vacutherm, pengaduk magnetik, pipet, cawan porselen, pemanas listrik, pH-meter, neraca timbangan, viskometer Ostwald, viskosimeter Brookfield, alat fotomikroskop merk Zeiss, alat untuk mengukur tegangan permukaan dan tegangan antar muka merk Tensiomart 21, alat FTIR merk Shimadzu, alat NMR, alat Spektrofotometer UV-Visible

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Polimer, Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong dengan waktu penelitian mulai bulan September 2006 sampai bulan Mei 2007. Analisa sampel dilakukan di Laboratorium Polimer dan Surfaktan, Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong dan Laboratorium Teknologi Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB, Bogor.

Metode Penelitian

(47)

(selulosa dan chitosan) dan tahap terakhir adalah aplikasi polimer kationik pada sistem emulsi skin lotion.

Secara garis besarnya diagram alir tahapan penelitian adalah sebagai berikut.

Gambar 15. Diagram alir tahapan penelitian

Pembuatan Sistem Emulsi

Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis surfaktan yaitu sorbitan monooleat, polietilen glikol (400) monooleat dan polietilen glikol (400) dioleat dan tiga jenis minyak, yaitu minyak mineral, minyak silikon dan virgin coconut

oil, sehingga dapat dikelompokkan menjadi tiga formula.

Formula A adalah formula menggunakan surfaktan polietilen glikol (400) dioleat, formula B menggunakan surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dan formula C menggunakan surfaktan sorbitan monooleat. Ketiga formula menggunakan variasi tiga jenis minyak yaitu minyak mineral, minyak silikon dan

virgin coconut oil.

Pembuatan sistem emulsi tipe minyak dalam air menggunakan perbandingan fasa internal/ fasa terdispersi sekitar 20% dan fasa eksternal/fasa pendispersi sekitar 80%, dengan formulasi yang digunakan sebagai berikut : fase minyak (surfaktan 4%, cetil alkohol 1%, asam stearat 2%, minyak 13%), fase air ( metil paraben 0,1%, trietanolamin 0,1%, propilen glikol 2%, air destilasi 77,8%).

Pembuatan sistem emulsi

Sintesis polimer kationik

Aplikasi polimer kationik pada formula skin lotion

(48)

Fase air dan fase minyak masing-masing dipanaskan pada suhu 75oC dan di aduk, kemudian fase air ditambahkan sedikit-sedikit ke dalam fase minyak sambil diaduk selama 1 jam dengan kecepatan pengadukan 75 rpm.

Sintesis Polimer Alami

Sintesis polimer alami dilakukan dengan menggunakan bahan dari alam yaitu selulosa dan chitosan. Sebelum dilakukan sintesis chitosan, maka dilakukan penentuan derajat deasetilasi dan berat molekul untuk mengetahui kemurnian chitosan yang dipakai.

Sintesis polimer chitosan dilakukan dengan melarutkan chitosan dalam asam asetat 1%, kemudian ditambahkan sodium hidroksida sampai pH 9,5 pada suhu 25oC. Selanjutnya ditambahkan 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida sambil dipanaskan selama 18 jam pada suhu 60oC. Tahap selanjutnya adalah penambahan aseton untuk penetralisir pH campuran, kemudian dilakukan penyaringan, pencucian dan pengeringan dalam oven vakum pada suhu Perbandingan antara chitosan dengan 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida adalah 1:3, 1:4 dan 1:6. Diagram alir sintesis polimer chitosan kationik dapat dilihat pada Gambar 16.

(49)

Gambar 16. Diagram alir sintesis polimer chitosan kationik (Cho et al., 2006)

Gambar 17. Diagram alir sintesis polimer selulosa kationik (US Patent No 3,472,840)

2,5 g Chitosan + asam asetat 1% + NaOH sampai pH 9,5 dimasukkan dalam reaktor suhu 25oC

Pengadukan selama 30 menit

Penambahan 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida

Pemanasan T=60oC 18jam

Ditambahkan 20 ml aseton

Penyaringan dan pencucian dengan air sebanyak 3x

Pengeringan pada T=50oC dalam oven vakum

Analisis NMR dan FTIR

34,3 g Selulosa + 480 ml isopropanol + 45,3 ml sodium hidroksida dimasukkan kedalam reaktor

Pengadukan selama 30 menit

Penambahan 45 ml 3-kloro-2-hidroksipropil trimetil amonium klorida

Dipanaskan T=50oC, 2 jam kemudian dinaikkan sampai T=76oC, 15 min

Penambahan 15 ml asam asetat

Penyaringan dan pencucian dengan air sampai pH=7

Pengeringan pada T=45oC dalam oven vakum

(50)

Aplikasi Polimer Kationik Pada Formula Skin Lotion

Polimer kationik selulosa amonium kuartener dengan konsentrasi 0,1%, 0,5%, 1% dan kontrol ditambahkan pada sistem emulsi dalam pembuatan skin

lotion, sehingga diperoleh skin lotion yang mempunyai kestabilan tinggi dengan

diameter globula emulsi tertentu. Untuk polimer kationik chitosan amonium kuartener digunakan konsentrasi 0,01%, 0,05%, 0,1% dan kontrol. Polimer kationik dari selulosa atau chitosan dilarutkan dalam fase air kemudian dipanaskan pada suhu 75oC dan diaduk dengan kecepatan 75 rpm selama 30 menit. Fase minyak yang sudah dipanaskan pada suhu 75oC dan diaduk dengan kecepatan 75 rpm selanjutnya ditambahkan secara pelan-pelan ke dalam fase air sambil diaduk hingga terbentuk skin lotion.

Analisis dan Karakterisasi

Analisis Sistem Emulsi Yang Dihasilkan

Pengujian terhadap stabilitas emulsi dilakukan dengan mengamati penampakan fisik emulsi tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Pengamatan Terhadap Ukuran Partikel

Pengamatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan Fotomikroskop.

2. Pengukuran Stabilitas Relatif Emulsi (Suryani et al., 2000)

Stabilitas emulsi relatif dapat diukur dengan menggunakan tabung reaksi. Sistem emulsi dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml kemudian didiamkan kira-kira satu minggu. Selanjutnya diamati krim yang terbentuk dan dihitung volume krim berdasarkan perhitungan berikut.

Stabilitas (%) = (10 – volume skim)/10 x 100%

3. Viskositas (Reddy et al., 1981)

(51)

terpisah dengan fasa eksternal. Viskositas produk diukur dengan menggunakan Viskometer Brookfield dengan laju rotasi 6 rpm pada suhu 25 oC.

4. Tegangan Permukaan dan Tegangan Antar Muka

Pengukuran tegangan permukaan dan tegangan antar muka menggunakan Surface Tensiomat Model 21 Cat No 59951-14.

Tegangan permukaan berkaitan dengan gaya bebas yang bekerja di antara molekul-molekul di permukaan cairan. Molekul-molekul yang berada di dalam cairan akan mengalami gaya kohesi dengan molekul cairan lain yang mengelilinginya, sehingga molekul tersebut mengalami gaya resultan yang seimbang. Namun molekul yang berada pada permukaan cairan akan mengalami gaya resultan yang tidak seimbang. Karena gaya molekul permukaan yang lebih lemah dibandingkan gaya kohesi antara molekul cairan, dengan demikian molekul cairan tersebut mengalami gaya yang mengarah ke dalam cairan, sehingga energi bebas lebih besar pada permukaan cairan.

Tegangan permukaan diasumsikan sesuai dengan jumlah gaya kohesi yang bekerja antar molekul pada permukaan atau batas antar muka dari dua cairan.

Analisis Hasil Sintesis Polimer Kationik

Analisis terhadap hasil sintesis polimer kationik alami meliputi derajat deasetilasi dan berat molekul chitosan, analisis FTIR dan NMR chitosan dan selulosa kationik, dan kelarutan chitosan kationik.

1. Derajat Deasetilasi dan Berat Molekul Chitosan (Bastaman, 1989)

(52)

Penentuan berat molekul menggunakan persamaan Mark Houwink-Sakurada. Chitosan kationik dilarutkan dalam pelarut air pada konsentrasi 0,5 sampai 2,5 M, kemudian di ukur nilai rata-rata waktu turunnya larutan chitosan kationik tersebut dalam viskometer pada suhu kamar.

2. Analisis FTIR (Fourier Transform Infra Red) dan NMR (Nuclear Magnetic Resonance)

Analisis gugus fungsi dilakukan dengan metode FTIR menggunakan alat Shimadzu-IR Prestige. Sampel di ukur pada panjang gelombang 500-4000 cm-1. Kromatogram hasil FTIR di analisa dan dibandingkan dengan standar dari literatur, sehingga diketahui gugus fungsi yang ada. Selain dengan metoda FTIR, dilakukan pula analisis dengan NMR (Nuclear Magnetic Resonance) untuk melihat ikatan antara atom C dan H dengan adanya pergeseran kimia yang khas untuk masing-masing senyawa atau komponen.

3. Analisis Kelarutan Chitosan Kationik

Analisis kelarutan chitosan kationik menggunakan alat spektrofotometer UV-Visible. Chitosan kationik dilarutkan dalam air dengan konsentrasi mulai dari 0,2 sampai 20 gram/liter. Kemudian larutan tersebut diukur trasmitannya menggunakan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 600 nm.

Analisis Hasil Aplikasi Polimer Kationik Pada Formula Skin Lotion

Analisis sistem emulsi formula skin lotion meliputi ukuran partikel, derajat keasaman (pH), stabilitas produk, dan total mikroba.

1. Ukuran Partikel menggunakan alat fotomikroskop 2. Derajat Keasaman (pH) (SNI 16-4952-1998)

(53)

Uji stabilitas lotion dilakukan dengan cara menyimpan produk

lotion pada suhu yang berbeda yaitu suhu kamar, 45oC dan 50oC selama

satu bulan. Menurut Barnett (1962), emulsi suatu produk kosmetik harus stabil pada suhu 45 oC sampai 50oC dan suhu kamar. Lotion yang telah di simpan selama satu bulan harus tetap stabil dan dapat dituang. Sejumlah bahan emulsi dimasukkan ke dalam wadah dan ditimbang beratnya. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan dalam oven dengan suhu 45oC dan 50oC selama satu jam kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu di bawah 0oC dan dibiarkan sampai beratnya konstan. Stabilitas emulsi dapat dihitung berdasarkan rumus berikut :

%

4. Total Mikroba (Tim Mikrobiologi Industri, 1993)

Uji total mikroba adalah uji untuk mengetahui ada atau tidaknya mikroba dalam produk lotion. Uji bakteri ini merupakan salah satu uji yang penting karena kontaminasi dari bakteri dapat menyebabkan pemisahan, penyusutan berat produk dan bau yang tidak sedap. Secara aseptis ditimbang 1 gram lotion dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer (garam fisiologis) kemudian dikocok. Pengenceran dilakukan sampai 104. Sebanyak 1 ml dari sampel tersebut diinokulasikan pada cawan petri dan ditambahkan media PCA (Plate Count Agar) sebanyak 10 sampai 15 ml. Cawan petri digoyang dan dibiarkan membeku. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar selama 48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dilaporkan sebagai total mikroba.

Rancangan Percobaan

Kajian Pengaruh Penggunaan Polimer Kationik Pada Formula Skin Lotion

Gambar

Gambar 6. Interaksi surfaktan dengan polimer kationik (Goddard et al.,1993)
Gambar 7. Turunan selulosa kationik (Drovetskaya et al., 2004)
Gambar 9.
Gambar 10. Struktur selulosa dan turunannya (Fengel dan Wegener, 1989)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ulukı la ilçemiz Belediye Ba kanı Mehmet Teyfik Güney döneminde hazırlanan Sunay Türker düzenledi i ilçede Kuvayı Milliye hareketinin ba langıcı ile ilgili bilgide

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pemberian rebusan lidah buaya (aloe vera) terhadap kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2 usia 40-50

Analisis dan Pengujian Kuat Tekan Profil Baja Ringan C-75 dengan Penyambung (Diafragma); Sururi Akbar, 071910301088; 2012; 58 halaman;.. Jurusan Teknik Sipil

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh Kompetensi, etika auditor, risiko kesalahan, akuntanbilitas, independensi dan due professional care terhadap kualitas audit

Melalui pertemuan-pertemuan tersebut diharapkan dapat (1) menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan di antara sekolah dasar anggota gugus dalam mencapai

(Jack) Hall.f.ex Steen) cukup potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku alternatif pulp dan kertas Jenis ini terdapat di Dharmasraya, Sumatera Barat, dan Tumbang Nusa,

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan upaya peningkatan prestasi belajar pendidikan agama Islam dengan menggunakan multimedia pembelajaran siswa kelas VII di

Terdapat 5 kategori mutasi berdasarkan efeknya terhadap protein CFTR, yaitu mutasi Class I yang mengakibatkan defek produksi protein, class II termasuk ǻF508 untuk defek pada