Sistem Pendidikan Tinggi
di Indonesia
oleh :
Sando Sasako
ht tp :// bi t.l y/ 1Z Q gH iQPenerbit:
CV Serabdi Sakti
Jakarta, Januari 2016
Sando
Sasako
on Higher
Silahkan berkontribusi terhadap publikasi ini melalui
Bank Central Asia
a/n Sando Sasako
A/C No. 084.0789.934
Untuk informasi dan konsultasi lebih lanjut,
Silahkan hubungi kami melalui saluran komunikasi berikut
+62 851 0518 7118
Paypal Account
:
CQBYNAJ9XP7DY
Sistem Pendidikan Tinggi
di Indonesia
oleh :
Sando Sasako
Penerbit:
CV Serabdi Sakti
Jakarta, Januari 2016
Sando
Sasako
on Higher
ii – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Sando Sasako.
Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia / oleh Sando Sasako. --
Jakarta : CV Serabdi Sakti, 2016.
ix, 182 hlm, 21 cm
ISBN 978-602-73508-2-3
1. Perguruan Tinggi -- Indonesia
I. Judul.
378.598
Diterbitkan oleh CV Serabdi Sakti
Graha Anggrek
Jl. Anggrek Rosliana VII No.63
Jakarta Barat 11480, Indonesia
Tel. / Fax. +62 21 5367 3649
Tel.
+62 21 3218 7118 (Flexi)
+62 21 4027 8375 (Fren)
Copyright © Sando Sasako
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian
maupun seluruhnya, dalam bentuk apa pun, tanpa izin
tertulis dari pemilik hak cipta dan penerbit.
Categories:
judicial reviews, comparative studies, historial
learning, self-help, self-improvement, idea,
business, leadership, bureaucratisation, innovate
Keywords:
higher education, higher education institutions,
state-sponsored higher education institutions,
state-funded contributions on the spending of
higher education institutions, deity educations,
quality concepts, quality management models,
quality dimensions, quality assurance, internal
quality assurance, external quality assurance,
quality assurance system, minimum required
standards, minimum quality standard, minimum
service quality, self-regulatory organisations,
semi-autonomous organisations, naked
autonomous
This book is priced at IDR 200,000 each. You may read, copy, cite, distribute this digital book at no
cost, but not to duplicate and re-duplicate it in any printed matter in any number. You may obtain
the physical copy legally and commercially solely from the publisher and the author only.
About Me. For those who may have known me, or not, they have the rights to object and question
my writing and its substance. To anyone who wants to know me in person, or f2f, I am open for
discussion. I shall be delighted. You may also scratch the earth, scouring the net about me through
google’s eyes and perspectives, and of course, thru google’s algorithm.
About the Book. What is all about this book? Any word is a key. Any word is a sword. A key to a
pandora box. A sword has two edges. These two things have been instrumental and frequently used
as an icon, a symbol, and so on, to many organisations. You may find some attractions and
amazements, yet.
Higher education is one of many interests of mine. It is one of many that can get me in touch with
reality in the real life, day-to-day. Of course, it highly depends on what sorts of perspectives,
spectales, binoculars, or which microscopes that you want to use.
If you are reading this book thru your perspectives and interests, you may have been agitated,
intimidated, and so on. Hey, please look on the brighter side. I managed to reveal your hidden and
inner ones. I may have exploited your private goals, more dubious than your social goals, instead.
Yet, let’s make some amends. Let’s rectify the situations that may come greyer, and even darker.
Sando
Sasako
on Higher
Kata Pengantar
Gelar kesarjanaan telah menjadi semacam bentuk pengakuan terhadap seseorang oleh satu
perguruan tinggi. Pengakuan tersebut dinyatakan di atas secarik kertas bernama ijazah. Dua kalimat
di atas menjadi semacam tesis dan anti-tesis, klimaks dan anti-klimaks.
Kegetiran (terhadap fenomena) puncak gunung es berhadapan dengan semakin terjal dan dalamnya
palung di lembah dan kaki gunung es., yang mungkin membumi, menapak ke permukaan di suatu
dasar laut. Beberapa gunung es memiliki akar yang menghujam jauh ke bawah lantai samudera atau
laut luas (deep rooted). Sementara banyak gunung es lainnya justru tidak memiliki akar sama sekali,
baik tunggal maupun serabut.
Di dunia politik, gunung es yang tidak berakar tersebut dinamakan massa mengambang. Di dunia
bisnis, floating mass tersebut sering disebut opportunistic rent-seekers, alias pedagang. Beberapa
pedagang bisa berorientasi pada salah satu aspek dari pasar atau malah ketiganya. Tiga aspek
tersebut adalah permintaan, penawaran, dan pasar itu sendiri yaitu yang menyatukan, menyesuaikan
permintaan dan penawaran.
Permintaan dan penawaran yang sangat dinamis membutuhkan market maker yang bisa membuat
seimbang keduanya. Instrumen yang digunakan biasanya melibatkan dan berdampak pada sentimen
pasar. Pasar yang selalu berayun dan mengayun menciptakan bubble and burst secara silih berganti.
Market-timing pun tidak bisa diprediksi, kecuali dengan memanfaatkan, memanipulasi herd
behaviour dan herd instint.
Pedagang yang sangat ekonomis dan efisien, tetapi belum tentu efektif secara sosial, tentunya harus
berupaya meminimkan biaya dan memaksimalkan keuntungan di segala kesempatan, kapan saja, di
mana saja, dan dengan siapa saja. Hmm, jadi ingat slogan
. Always Coca-cola. Saat
bagian ini ditulis, 20 Januari 2016 dini hari, CNNmoney baru saja mempublikasikan artikel tinjauan
slogan Coca-Cola sepanjang masa (http://cnnmon.ie/1P4yj3y). A very shocking coincident!
Prinsip mau menang sendiri merupakan salah satu ciri masyarakat post-modern yang semakin
liberalis dan egosentris. Tidak boleh ada kata kalah dalam kamus kehidupan setiap individu, kecuali
menurunkan shared-benefits terhadap pihak-pihak yang sama-sama berkepentingan memperebutkan
potongan kue bolu yang sama.
Prinsip menghalalkan segala cara (by any means necessary) ala Machiavelli menjadi suatu
keharusan di tengah hutan belantara dan/atau samudera luas yang tidak bertepi dan tidak bertuan
(uncharted territories). Hukum rimba (fish law) berlaku bagi tuan tanah dan pihak-pihak yang diberi
kekuasaan.
Beberapa penguasa yang adil, arif, dan bijaksana, mencoba menenangkan ‘massa mengambang’
dengan menerapkan hukum reward and punishment, stick and carrot. For those who to obey Thee
and to comply with what Thou hast commanded, Thou shalt bestow Thy grace on thou by Thy
mercy and pardon.
Walau pemerintah telah dan tetap mencoba mendisiplinkan perguruan tinggi dengan ketentuan
untuk tunduk dan patuh pada sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi yang sifatnya internal,
pemerintah seakan alfa dan tutup mata terhadap aspek penegakan hukum dan aturan serta prinsip
pengelolaan perguruan tinggi, khususnya pada aspek akuntabilitas dan transparansi.
Pemerintah sendiri justru sangat menghindari transparansi kebijakan. Banyak kebijakan, peraturan
yang sifatnya publik hanya beredar dan didistribusikan serta justru bisa ‘dinikmati’ oleh segelintir
Sando
Sasako
on Higher
iv – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
kalangan internal dan inner circle sang penguasa. Arogansi kekuasaan pun semakin diperlihatkan ke
publik dengan menistakan dan membredel serta membumi-hanguskan produk output penguasa
sebelumnya, yang sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Contoh kasus yang nyata adalah ribuan link yang harus mati (rot, dead, dangling, broken URLs)
akibat kewajiban penggantian nama-nama domain utama maupun yang dibawahnya (sub-domains).
Pemerintah seakan mengharamkan aparat yang sedang berkuasa untuk menerapkan kebijakan
preservasi terhadap berbagai praktek, aturan, kebiasaan, atau sejenisnya yang telah dilakukan para
pendahulunya (Sins of the Fathers). Tidak boleh ada mirroring sites, preservation policy on older
sites.
Pemerintah seakan membiarkan generasi saat ini dan generasi masa depan tidak boleh belajar dari
kesalahan masa lalu (learn from the past mistakes). Walau demikian, melalui Perpres No.33/2012
tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDHIN), SBY sebagai Presiden RI
sudah menitahkan seluruh anggota JDHIN untuk melakukan 4 hal terkait dokumen hukum dan
dokumentasi hukum, antara lain:
1.
menjamin terciptanya pengelolaan dokumentasi dan informasi hukum yang terpadu dan
terintegrasi di berbagai instansi pemerintah dan institusi lainnya;
2.
menjamin ketersediaan dokumentasi dan informasi hukum yang lengkap dan akurat, serta dapat
diakses secara cepat dan mudah;
3.
mengembangkan kerja sama yang efektif antara pusat jaringan dan anggota jaringan serta antar
sesama anggota jaringan dalam rangka penyediaan dokumentasi dan informasi hukum; dan
4.
meningkatkan kualitas pembangunan hukum nasional dan pelayanan kepada publik sebagai salah
satu wujud ketatapemerintahan yang baik, transparan, efektif, efisien, dan bertanggungjawab.
Anggota JDHIN mencakup Kementerian Negara; Sekretariat Lembaga Negara; Lembaga
Pemerintahan Non Kementerian; Pemerintah Provinsi; Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
Sekretariat DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota; perpustakaan hukum pada PTN dan PTS;
serta lembaga lain yang bergerak di bidang pengembangan dokumentasi dan informasi hukum yang
ditetapkan oleh Menteri Hukum.
Kita memang hanya boleh berharap negara kita memang memiliki pemerintahan yang lebih baik
dan menuju ke arah yang lebih baik, bukan saja bagi segelintir orang, tetapi the greater goods.
Penentuan the greater goods at or for the greater number merupakan sesuatu yang dilematis. Harus
ada yang berkorban dan dikorbankan. Anyone?
Jakarta, 20 Januari 2016
Sando Sasako
sandosako @ yahoo.com
Mobile +62 812 8056 516
Sando
Sasako
on Higher
Education
Daftar Isi
Kata Pengantar ... iii
Daftar Isi ... v
Daftar Tabel ...vi
Daftar Bagan ... vii
Executive Summary...ix
Pendahuluan ... 1
Sertifikasi Pendidikan Tinggi ... 1
Perkembangan Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi ... 3
Akreditasi Pendidikan Tinggi dalam Sistem Pendidikan Nasional ... 6
Status Hukum Sistem Pendidikan Nasional ... 8
Akreditasi Pendidikan Tinggi ... 11
Instrumen Akreditasi ... 12
Komponen atau Standar Akreditasi ... 12
Kaidah dan Kode Etik Akreditasi ... 15
Prosedur Akreditasi ... 15
Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi ... 17
EPSBED ... 17
Standar Minimal Mutu vs Standar Mutu Minimal ... 20
Dimensi Mutu dalam Pendidikan ... 21
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan ... 24
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia ... 27
Klas dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi ... 31
Perguruan Tinggi Kedinasan ... 31
Legalitas PTK ... 31
Keberadaan PTK... 34
Perguruan Tinggi Keagamaan ... 39
Beberapa Dasar Hukum PTA ... 39
Keberadaan PTAN ... 41
Perguruan Tinggi Negeri... 42
Sejarah Pendidikan Tinggi ... 43
Antara Otonomi dan Badan Hukum ... 44
Antara Otonomi dan Tujuan (dan) Idealisme Pendidikan ... 47
Antara Otorita dan Konflik Kepentingan ... 49
Klas dalam Perguruan Tinggi menurut Kapabilitas ... 53
Klas PTN menurut Pengelolaan Keuangan ... 57
PTN Berbadan Hukum... 57
Bantuan Operasional PTN ... 59
PTN Badan Layanan Umum ... 61
Antara Statuta, Struktur, dan Organisasi ... 64
Referensi ... 67
Web ... 67
Dokumen ... 67
Buku ... 68
Lampiran ... 69
Sando
Sasako
on Higher
Education
vi – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Lampiran 1 – Dokumen Terkait Proses Akreditasi ... 69
Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) (v.02.12.2011) ... 69
Prodi Umum ... 70
Prodi D-III Keperawatan (v.2014)... 71
Prodi D-III Kebidanan (v.2014) ... 72
Prodi NERS (v.2014) ... 73
Prodi Kedokteran (v.2014) ... 74
Prodi Kedokteran Gigi (v.2014) ... 75
Prodi Kedokteran Hewan (v.2014) ... 76
Prodi Magister Psikologi (v.2014)... 77
Prodi Pendidikan Profesi Akuntansi (v.2014) ... 78
Dokumen Terkait Proses Akreditasi Prodi Pendidikan Profesi Guru (v.29.11.2011) ... 79
Lampiran 2 – Struktur Hukum Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi ... 81
Struktur Isi UU No.12/2012 ... 81
Struktur Isi PP No.4/2014 ... 83
Lampiran 3 – Daftar PTN ... 85
Lampiran 4 – Daftar PTN-BLU ... 93
Lampiran 5. – Daftar Universitas Terbaik di Dunia ... 99
QS World University Rankings ... 99
QS World University Rankings: Methodology ... 99
Changes to the QS World University Rankings Methodology ... 100
QS World University Rankings® 2015/16 ... 101
THE World University Rankings ... 111
Rankings Table Information ... 111
THE World University Rankings 2015-2016 ... 111
Shanghai Jiao Tong Academic Ranking of World Universities 2015 ... 121
Academic Ranking of World Universities: Methodology ... 121
Academic Ranking of World Universities 2015... 123
Webometrics Ranking of World Universities ... 133
Webometrics Ranking of World Universities: Metodologi ... 133
Daftar Perguruan Tinggi Terbaik menurut Webometrics, Juli 2015 ... 134
Center for World University Rankings ... 149
Center for World University Rankings: Methodology ... 149
CWUR 2015 - World University Rankings ... 149
Daftar Tabel
Table 1 – Perbedaan antara PP No.30/1990 dan PP No.60/1999 ...7
Table 2 - L-RAISE++ Didefinisikan ... 13
Table 3 - Beberapa model manajemen mutu ... 25
Table 4 - Beberapa IAIN pelopor PTAIN di Indonesia ... 41
Table 5 – Beberapa PTN menurut Penetapan Status BHMN dan/atau BHP, dan Penetapan
Statutanya ... 43
Table 6 – Pembandingan rincian otonomi di PTS, PTN, dan PTN-BH ... 45
Table 7 – Produk Hukum Penetapan Statuta, OTK, Pendirian, Perubahan, Pembubaran
Perguruan Tinggi ... 53
Table 8 – Definisi satuan perguruan tinggi menurut kapabilitasnya ... 56
Table 9 – Pembandingan Struktur Organisasi dan Tata Kerja di PTS, PTN, dan PTN-BH ... 65
Sando
Sasako
on Higher
Table 10 – Daftar PTN, PTA, PTK ... 91
Table 11 – Daftar PTN, PTA, PTK dengan Status BLU ... 97
Table 12 – QS World University Rankings® 2015/16... 101
Table 13 – THE World University Rankings 2015-2016 ... 111
Table 14 – Indicators and Weights for ARWU ... 121
Table 15 – Definitions of Indicators ... 122
Table 16 - Data Sources ... 122
Table 17 – Academic Ranking of World Universities 2015 ... 132
Table 18 – Peringkat Perguruan Tinggi di Indonesia menurut Webometrics.info, Juli 2015 ... 147
Table 19 – CWUR 2015 - World University Rankings... 182
Daftar Bagan
Figure 1 – Standar BAN-PT disandingkan dengan Standar Nasional Pendidikan ... 14
Figure 2 – Standar BAN-PT dipetakan terhadap Standar Nasional Pendidikan ... 14
Figure 3 – Konsep mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan ... 22
Figure 4 – Dimensi mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan ... 23
Figure 5 – Manajemen Kendali Mutu ... 25
Figure 6 – Siklus Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi ... 26
Figure 7 – Anatomi Peraturan Perundang-undangan Perguruan Tinggi ... 50
Figure 8 – Rumus perhitungan alokasi BOPTN 2013 ... 60
Figure 9 – Konsekuensi UGM sebagai BLU ... 62
Sando
Sasako
on Higher
Sando
Sasako
on Higher
Executive Summary
This book begins with the current state of higher education system implemented in Indonesia. As
‘this’ business has grown to an industry that has ever-lasting growing demands, the government and
the public have become fascinated that its raison d'être has misaligned from its ‘normative’ main
causes and purposes.
As a business, it surely applies economic theories. Factors affecting demands and supplies rule the
market. The ‘buyer’ of higher education services have cried for government’s intervention to the
system that dictates the market rules commercially. For some time and some things, the government
had taken it for granted, let the higher education system set and rule the games of the industry. Until
it finally set the public outcry.
The Constitution Court found it guilty to violate the constitution rights of human being in Indonesia
and delivered a verdict of the cancellation of Legalised Higher Education Institutions Law (UU
No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan). The Court had also made some amendments to the
Law of Education System in Indonesia (UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Some revamps have taken place and been on an on-going process to make Indonesia a better place.
Some law enforcement efforts need more than just the written laws. We need to see some oversight
institution that can do something and rectify what needs to be right and done in the first place.
Never let the bureaucratic entanglements be the one that can hamper.
Sando
Sasako
on Higher
Sando
Sasako
on Higher
Pendahuluan
Persyaratan akademis bagi seseorang untuk bisa melamar pekerjaan telah menjadi batu pijakan bagi
penyelenggara pendidikan tinggi untuk bebas menetapkan biaya bagi peserta didik yang ingin cepat
mendapatkan gelar akademis. Banyak peserta didik tidak bisa segera mendapatkan gelar akademis
bila tidak ikut ‘berpartisipasi’ dalam penyelenggaraan ujian karya ilmiah (tugas akhir, skripsi, dan
seterusnya) dan wisuda.
Di sisi lain, semakin banyak perguruan tinggi standar (minimum) (mediocre
1) yang menetapkan
biaya kuliah murah di awal kuliah dan selama kuliah. Setelah SKS mencukupi untuk bisa
mendapatkan gelar akademis tertentu, peserta didik diwajibkan membayar uang kelulusan yang
mencakup biaya ujian dan biaya wisuda. Besarannya (misalnya Rp 4 juta) bisa lebih dari 10 kali
lipat (cicilan) uang kuliah bulanan (misalnya Rp 300.000).
Praktek ini sudah berjalan puluhan tahun. Nilai nominalnya pun tidak sebesar seperti sekarang ini,
tetapi berkembang menurut status perguruan tinggi. Hukum ekonomi permintaan pun berlaku. Bila
permintaan bertambah, harga pasti naik, ceteris paribus. Murahnya biaya kuliah pun dipengaruhi
hukum enonomi penawaran. Over supply membuat harga jatuh dan produk diobral, ceteris paribus.
Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi pun, prinsip ekonomi sangat dipegang teguh, setidaknya
oleh perguruan tinggi standar (minimum). Biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi ditekan
seminim mungkin, mulai dari biaya alat (pengadaan dan perawatan sarana-prasarana yang minim
dan sekedarnya), ‘upah’ untuk pendidik (yang bersifat ala kadar), sampai pada minimnya insentif
untuk penelitian dan pengembangan keahlian bagi pendidik.
Banyak pendidik hanya membuat diktat dan modul tanpa statement of authorship (pernyataan
bahwa tulisan itu adalah hasil karyanya sendiri).
2Hal terburuk lainnya adalah praktek ini dibiarkan
oleh BAN-PT dan Ditjen Dikti sebagai karya ilmiah dan dapat digunakan dosen untuk naik jabatan.
Amazing.
Diktat dan modul banyak dipakai sebagai pengganti buku teks. Alasannya, buku teks ditulis dalam
bahasa Inggris dan tidak mudah dipahami oleh pendidik dan peserta didik. Kalau pun ada buku teks
yang dijadikan referensi, kebanyakan sudah uzur dan bukan asli, alias bajakan dalam bentuk
fotokopi. Praktek pelanggaran hak cipta dan plagiarisme menjadi suatu hal yang wajar dan lazim.
Keengganan peserta didik dan pendidik untuk memakai buku teks adalah karena mereka tidak
memiliki kualifikasi untuk bisa membaca dan memahami, yakni dalam hal TPA dan TOEFL. Hal
ini tidak bisa dipungkiri mengingat perguruan tinggi sudah lama mempraktekkan prinsip garbage in,
garbage out, baik dalam hal penerimaan peserta didik dan pendidik. Dulu, banyak PTS menerapkan
sistem passing grade. Sekarang, mereka menerapkan sistem early bird registration.
Sertifikasi Pendidikan Tinggi
Sudah cukup banyak perguruan tinggi yang menerapkan sistem points of sales dan waralaba dalam
praktek bernama kelas jauh dan pendidikan jarak jauh. Gurita bisnis perguruan tinggi tipe ini sudah
tentu ada yang mempelopori. Inovasi dalam penerimaan peserta didik dibentang luas dan
dibolehkan dengan banyaknya pembukaan kelas-kelas (prodi, program studi) spesialisasi, praktek,
1 Merriam-Webster, mediocre: not very good, of moderate or low quality, value, ability, or performance: ordinary,
so-so (moderately well, tolerably).
2 Budi Frensidy, Persaingan Perguruan Tinggi Indonesia : A Losers' Game, Manajemen Usahawan Indonesia,
Depok, Agustus 2007, http://spartaindo.blogspot.co.id/2009/09/wajah-persaingan-perguruan-tinggi-kita_25.html, https://groups.yahoo.com/neo/groups/aktunand/conversations/messages/6141
Sando
Sasako
on Higher
2 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
dan membumi dalam artian bisa langsung dipekerjakan setelah tamat kuliah. Izin penyelenggaraan
baru bisa diberikan oleh Menteri (Pendidikan Tinggi), tentunya setelah berbagai persyaratan
minimum untuk bisa beroperasi dipenuhi dan dijalankan.
Per Februari 2015, UGM menawarkan 221 program studi yang sudah diakreditasi oleh BAN-PT,
mulai dari D-III sampai S-3; disusul IPB sebanyak 172 program studi; UI sebanyak 170 program
studi; UPI sebanyak 125 program studi; USU sebanyak 121 program studi; ITB sebanyak 120
program studi; dan Unair sebanyak 109 program studi. Selain 7 PTN eks-BHMN, dua PTN lainnya
mencakup Unhas sebanyak 115 program studi dan ITS sebanyak 61 program studi.
Nama besar penyelenggara pendidikan tinggi tidak menyurutkan minat perguruan tinggi (yang
menerapkan) standar (minimal dalam segala hal) untuk mau menjalankan usahanya. Mereka malah
dengan bangga mencantumkan berbagai nama terkenal dari PTN dan PTS sebagai pejabat Guru
Besar, Lektor Kepala, dan Lektor di tempat mereka menyelenggarakan pendidikan tinggi, atau
minimal di atas secarik kertas pengakuan dan/atau kesediaan. Bila ditelusuri lebih lanjut, persentase
kedatangan dan kehadiran mereka per bulan mungkin bisa mendekati angka nol persen.
Dalam rangka menginventarisir siapa mengajarkan apa dan di mana, pemerintah kemudian
menetapkan berbagai aturan dan tata tertib dengan nama sertifikasi dosen, antara lain:
1.
UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.
UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
3.
UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen.
4.
PP No.37/2009 tentang Dosen.
5.
PP No.41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan
Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor.
6.
PP No.4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
7.
Permendiknas No.47/2009 tentang Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen.
8.
SK Mendikbud No.53/2012 tentang Perguruan Tinggi Penilai Sertifikasi Pendidik untuk Dosen
9.
Permendiknas No.20/2008 tentang Penetapan Inpassing Pangkat Dosen Bukan PNS yang Telah
Menduduki Jabatan Akademik pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Masyarakat
dengan Pangkat PNS.
10.
Permendiknas No.17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan
Tinggi.
11.
Permendiknas No.48/2009 tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar bagi PNS di Lingkungan
Depdiknas.
Sistem yang menginventarisir seluruh data dan informasi terkait dosen sebagai pendidik dikenal
dengan nama Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD). Menjelang akhir 2013,
Ditendik Dikti mewajibkan semua dosen yang sudah ber-NIDN untuk mengisi SIPKD secara
online. Bila tidak, tunjangan serdos diputus, kenaikan jabatan tidak bisa diproses, dan lainnya.
3Sifatnya yang personal dan individual membuat SIPKD sering diplesetkan sebagai Sistem Informasi
Penyebab Keresahan Dosen. Tidak ada help-desk yang beroperasi 24/7, FAQ, konfigurasi back-end
server yang qualified dan mumpuni. Oleh karena itu, banyak pihak mencemooh proyek asal-asalan
Ditjen Dikti yang biasanya fire and forget. Sekali diterapkan, setelah itu vakum dan tidak ada
kontinuitasnya.
SIPKD merupakan salah satu contoh. Beberapa sistem informasi akademis lainnya mencakup PDPT
(dulu EPSBED), Simlitabmas, dan lainnya. Sifatnya yang rinci dan teknis menempatkan Ditjen
3 Djoko Lukito, SIPKD dan kritik terhadap Dikti, 20131223,
http://lukito.staff.ugm.ac.id/2013/12/23/sipkd-dan-kritik-terhadap-dikti/
Sando
Sasako
on Higher
Dikti sebagai badan yang menjalankan 6 fungsi sekaligus, yakni regulator, controller, comptroller,
Fasilitator, Empowering, Enabling.
Penertiban produk perguruan tinggi pun dilakukan dengan kewajiban perguruan tinggi untuk tunduk
pada berbagai aturan dan tata tertib dengan nama kewajiban untuk mendapatkan akreditasi program
studi. Dasar hukum yang utama, saat ini, adalah UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi,
khususnya pada paragraf 1 dari Bagian IX yang membahas tentang Proses Pendidikan dan
Pembelajaran, atau tepatnya pada pasal 33 dan 34.
Upaya pemutihan dilakukan dengan menetapkan akreditasi standar suatu program studi pada grade
atau nilai C bagi program studi yang sudah berjalan atau pun perguruan tinggi yang baru mendapat
izin penyelenggaraan oleh Menteri (yang bertanggungjawab pada pendidikan tinggi), yakni telah
memenuhi persyaratan minimum akreditasi (program studi dan institusi).
Nilai akreditasi minimum tersebut harus sudah diperbaiki dalam rentang waktu 6 bulan dengan
mengajukan permohonan akreditasi ulang kepada BAN-PT.
4Bila tidak, penyelenggaraan program
studi tersebut dinyatakan tidak sah dan izin penyelenggaraannya dicabut.
5Seandainya nilai
akreditasi (B) belum didapatkan dan ditetapkan oleh BAN-PT, maka nilai akreditasi program studi
yang bersangkutan masih pada tingkatan C.
Perkembangan Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi
Dulu, sebelum ada BAN-PT yang mulai mengakreditasi program studi dan institusi penyelenggara
pendidikan tinggi sejak tahun 2005, sistem akreditasi hanya berlaku dan mengacu pada instusinya
saja, yakni terdaftar, diakui, dan disamakan. Bila merujuk ke dasar hukumnya, kita akan semakin
takjub dan kagum bahwa produk hukum yang melandasi adalah produk pada masa orde lama, yakni
UU No.22/1961 tentang Pendidikan Tinggi.
Sekedar catatan, sampai bulan November 2001, tepatnya sebelum pemberlakuan SK Mendiknas
No.184/U/2001 (tentang Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma,
Sarjana dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi), 3 status (akreditasi) PTS tersebut masih berlaku,
yakni Terdaftar, Diakui, Disamakan.
6Di tahun 2002, penyelenggaraan program non-reguler di PTN
diatur dalam SK Dirjen Dikti No.28/DIKTI/Kep/2002.
Perlu 44 tahun ternyata bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memperbaharui dan
melembagakan dasar hukum penilaian program studi dan institusi penyelenggara pendidikan tinggi,
yakni Permendiknas No.28/2005 tentang BAN-PT dan perubahannya (Permendiknas No.6/2010).
Penyelenggaraan pendidikan tinggi pun baru diatur secara menyeluruh di tahun 2014, yakni melalui
PP No.4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Dengan berlakunya PP No.4/2014, dua peraturan pemerintah sebelumnya, khusus yang mengatur
tentang pendidikan tinggi, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi, yakni:
1.
PP No.17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (LNRI 2010~23, TLNRI
~5105), dan perubahannya
2.
PP No.66/2010 tentang Perubahan atas PP No.17/2010 (LNRI 2010~112, TLNRI~5157).
4 SE Ketua BAN-PT No.5447/BAN-PT/AK/2013 tentang Ijin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi 5 SE Dirjen Dikti No.160/E/AK/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi.
6 SK Mendiknas No.184/U/2001 mencabut berlakunya SK Dirjen Dikti No.357/D/0/1989 tentang Memberlakukan
ljazah bagi Lulusan PTS Terdaftar, Diakui, Disamakan.
Sando
Sasako
on Higher
4 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Walau demikian, BAN-PT telah ‘ada’ sejak tahun 1994 dengan kewenangan untuk melaksanakan
sistem akreditasi pada semua institusi pendidikan tinggi, meliputi:
71.
Perguruan Tinggi Negeri (PTN),
2.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS),
3.
Perguruan Tinggi Agama (PTA),
4.
Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK),
5.
Program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ),
6.
Program-program kerjasama dengan institusi pendidikan tinggi di dalam negeri yang ditawarkan
oleh institusi pendidikan tinggi dari luar negeri.
Secara formal kelembagaan hukum, BAN-PT merupakan lembaga non-struktural di bawah Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang ditetapkan melalui beberapa keputusan dan peraturan Menteri
Pendidikan, antara lain:
81.
SK Mendiknas No.187/U/1998 tentang BAN-PT.
2.
SK Mendiknas No.118/U/2003 tentang BAN-PT.
3.
SK Mendiknas No.119/P/2003 tentang Pengangkatan Ketua, Sekretaris, dan Anggota BAN-PT.
4.
Permendiknas No.28/2005 tentang BAN-PT.
5.
Permendiknas No.6/2010 tentang Perubahan atas Permendiknas No.28/2005.
6.
Permendikbud No.59/2012 tentang Badan Akreditasi Nasional;
7.
Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi (mencabut
semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, dan
BAN-PT dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN).
8.
SK Mendikbud No.207/P/2012 tentang Ketua dan Sekretaris PT, S/M, dan
BAN-PNF Periode Tahun 2012-2017.
9.
Permendikbud No.174/2012 tentang Anggota Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT, BAN-S/M,
BAN-PNF).
Sebagai lembaga non-struktural di bawah Menteri Pendidikan (Tinggi) (sekarang dibawah
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi), legalitas, otoritas, keberadaan BAN-PT
berjalan mengikuti derap langkah Menteri Pendidikan dan yang terkait, khususnya Ditjen Dikti.
Beberapa peraturan terkait pelaksanaan akreditasi program studi dan penyelenggaranya, mencakup:
1.
SK Mendiknas No.004/U/2002 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi.
2.
Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1).
3.
Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi.
4.
SE Dirjen Dikti No.160/E/AK/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program
Studi atau di sini
5.
SE DirLemKermaDikti No.1897/E2.3/T/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi
Program Studi
6.
SE Dirjen Dikti No.194/E.E3/AK/2014 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Institusi
Perguruan Tinggi.
7.
SE BAN-PT No.5447/BAN-PT/AK/2013 tentang Ijin Penyelenggaraan dan Akreditasi Prodi.
8.
SK BAN-PT No.001/SK/BAN-PT/IV/2010 tentang Prosedur dan Mekanisme Akreditasi Prodi
9.
SK BAN-PT No.002/SK/BAN-PT/IV/2010 tentang Peringkat dan Masa Berlaku Akreditas
Prodi Jenjang Diploma, Sarjana, Magister, Doktor, dan Profesi.
10.
SK BAN-PT No.010/BAN-PT/Ak-X/S2/VII/2012 tentang Nilai dan Peringkat Akreditasi Prodi
Studi pada Program Magister di Perguruan Tinggi
11.
SK BAN-PT No.447/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 tentang Nilai dan Peringkat Akreditasi
Prodi pada Program Sarjana
7 http://ban-pt.kemdiknas.go.id/tentang-ban-pt 8 http://ban-pt.kemdiknas.go.id/dasar-hukum
Sando
Sasako
on Higher
Education
Keberadaan BAN-PT merupakan amanat dari undang-undang sistem pendidikan nasional,
khususnya UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Pada masa itu dan
sesudahnya, akreditasi bersifat sukarela, fokus implementasi terbatas pada program studi, dan
pelaksanaannya dilakukan oleh BAN-PT.
Kesederhanaan ‘implementasi’ bisa dilihat dari ‘sangat sederhananya’ definisi tentang akreditasi,
pada masa itu. Dalam UU No.2/1989, kata akreditasi hanya terdapat dalam Penjelasan ayat 1 dari
pasal 46. Kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Penilaian (setiap satuan pendidikan dilakukan secara berkala dan dalam rangka pembinaan
yang) meliputi segi-segi administrasi, kelembagaan, tenaga kependidikan, kurikulum, peserta
didik, sarana dan prasarana, serta keadaan umum satuan pendidikan baik yang
diselenggarakan Pemerintah maupun masyarakat untuk menentukan akreditasi satuan
pendidikan dan usaha pembinaan yang diperlukan.”
Seiring berjalannya waktu, penyempurnaan dilakukan terhadap definisi sistem pendidikan nasional,
yakni sebagaimana yang tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Beberapa perubahan penting terkait sistem akreditasi yang baru mencakup:
1.
sifatnya yang berubah menjadi wajib,
2.
diterapkan terhadap program studi dan institusi penyelenggaranya,
3.
sistem penjaminan mutu internal menjadi wajib,
4.
pelaksana akreditasi tidak terbatas oleh BAN-PT, tetapi didelegasikan kepada beberapa lembaga
akreditasi mandiri (LAM) sesuai rumpun ilmu pengetahuan dari program studi yang ingin
diakreditasi.
Beberapa tahapan penting dalam pelaksanaan sistem akreditasi oleh BAN-PT:
1.
1994, berdiri atas dasar dan amanat UU No.2/1989.
2.
1994, persiapan instrumen akreditasi untuk program studi sarjana (S1).
3.
1996, pelaksanaan pertama proses akreditasi program studi.
4.
1999, mulai menyelenggarakan akreditasi untuk program magister (S2).
5.
2000, menyusun naskah akademik sistem dan perangkat Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi
(AIPT).
6.
2001 mulai dengan program studi diploma dan program studi doktor (S3).
7.
2002, tersusunnya naskah akademik sistem dan perangkat AIPT.
8.
2004, perangkat instrumen AIPT telah tersusun, disosialisasikan, diujicobakan.
9.
2006, mulai mengakreditasi prodi sarjana Universitas Terbuka.
10.
2007, mulai melaksanakan AIPT terhadap 55 perguruan tinggi.
11.
2008, mulai melaksanakan Akreditasi Program Pendidikan Profesi (APPP).
12.
2008, merevisi instrumen AIPT dan menerapkannya pada 25 perguruan tinggi.
Diberlakukannya UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud No.59/2012
tentang Badan Akreditasi Nasional, fungsi utama dalam peran dan tugas BAN-PT mengalami
pergeseran yang cukup signifikan, antara lain:
1.
mengembangkan sistem akreditasi nasional;
2.
melaksanakan akreditasi institusi;
3.
melaksanakan penilaian kelayakan prodi/PT baru bersama Ditjen Dikti;
4.
memberikan rekomendasi, dan
5.
evaluasi terhadap LAM, serta
6.
melaksanakan akreditasi program studi yang belum memiliki LAM serumpun.
Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi mencabut
semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, dan BAN-PT
dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN.
Sando
Sasako
on Higher
6 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Akreditasi Pendidikan Tinggi dalam Sistem Pendidikan Nasional
Akreditasi terhadap perguruan tinggi mulai menjadi perhatian ketika pemerintah dan masyarakat
merasa perlu adanya sistem penilaian bagi penyelenggara pendidikan, bukan hanya peserta didiknya
saja yang perlu dinilai, tetapi semua hal yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan secara
menyeluruh dan meliputi semua jenjang pendidikan dalam satu sistem bernama sistem pendidikan.
Sistem penilaian yang dimaksud adalah sistem akreditasi, dimana kegiatan penilaian kelayakan
program dalam satuan pendidikan dibuat berdasarkan seperangkat kriteria yang telah ditetapkan.
Sistem pendidikan yang diperbaharui memerlukan strategi tertentu. Strategi tersebut diharapkan
bisa membuat visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan
melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Strategi pembangunan
pendidikan nasional dalam UU No.20/2003 meliputi:
1.
pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2.
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3.
proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4.
evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5.
peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6.
penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7.
pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8.
penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9.
pelaksanaan wajib belajar;
10.
pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11.
pemberdayaan peran masyarakat;
12.
pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13.
pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional yang dimaksud pada masa kini tentu berbeda dengan sistem pendidikan
pada masa orla, khususnya yang didefinisikan dalam Penetapan Presiden No.19/1965 tentang
Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Bila melihat substansi yang diatur, setidaknya
ada 4 undang-undang yang pernah mendefinisikan sistem pendidikan nasional di masa orla, antara
lain:
1.
UU Nr.4/1950 dari RI Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk
Seluruh Indonesia (LN~1950 No.550).
92.
UU No.12/1954 tentang Pernyataan Berlakunya UU Nr.4/1950 (LN~1954 No.38, TLN No.550).
3.
Perpres No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional.
4.
Penpres No.19/1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
5.
UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) (LN~1989 No.6, TLN No.3390).
6.
UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) (LN~2003 No.78, TLNRI
No.4301).
Sebagai juklak dari UU No.2/1989, PP No.30/1990 tentang Pendidikan Tinggi memuat hal
(pengawasan dan) akreditasi pada ayat 3 dari pasal 121 di Bab XIV. Materi dan substansi akreditasi
pendidikan tinggi tidak jauh berubah dengan PP No.60/1999 tentang Pendidikan Tinggi. Di
Peraturan Pemerintah (No.60/1999) yang baru, persyaratan telah terakreditasi di negara asal berlaku
bagi program studi yang diselenggarakan perguruan tinggi asing untuk dan atas nama kerjasama
dengan perguruan tinggi domestik.
9 Dalam UU No.12/1954, pemberlakuan undang-undang yang dimaksud ditulis sebagai UU Nr.4/1950. Di tahun
1950, setidaknya ada Undang-Undang dengan nomor yang sama, tetapi berbeda penambahan. Seperti UU Darurat No.4/1950 tentang Penerimaan Anggauta APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat); atau UU No.4/1950 tentang Penggantian Kerugian DPR RIS.
Sando
Sasako
on Higher
Tabel – Perbedaan antara PP No.30/1990 dan PP No.60/1999
PP No. No.30/1990 No.60/1999 Tentang Pendidikan Tinggi Pendidikan Tinggi Tanggal 10 Juli 1990 24 Juni 1999
LN - TLN LN~1990 No.38, TLN No.3414 LN~1999 No.115, TLN No.3859 Bab XIV. Pengawasan dan Akreditasi XIV. Pengawasan dan Akreditasi
Pasal 121 128
Ayat 1 Menteri menetapkan tata cara pengawasan mutu
dan efisiensi semua perguruan tinggi. Menteri menetapkan tata cara pengawasan mutu dan efesiensi semua perguruan tinggi. Ayat 2 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan penilaian berkala yang meliputi kurikulum, mutu dan jumlah tenaga kependidikan, keadaan mahasiswa, pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, tatalaksana administrasi akademik, kepegawaian, keuangan, dan kerumahtanggaan.
Mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterkaitan antara tujuan, masukan, proses, dan keluaran, yang merupakan
tanggungjawab institusional perguruan tinggi masing-masing.
Ayat 3 Penilaian sebagaimana dimaksud alam ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang diangkat oleh Menteri.
Penilaian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang mandiri. Ayat 4 Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan
terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil pengawasan mutu dan efisiensi.
Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil pengawasan mutu dan efesiensi.
Ayat 5 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.
Penjelasan Pasal 128 Ayat (2)
Mutu terdiri dari efektifitas, efisiensi, produktifitas, akuntabilitas, suasana akademik, dan ketahanan sistem.
Penjelasan Pasal 128 Ayat (3)
Kemandirian Badan Akreditasi menjadi dasar dalam pelaksanaan tugasnya walaupun memperoleh dukungan sumber daya dari pihak lain termasuk Pemerintah.
Penjelasan Pasal 121 Ayat 4 Pasal 128 Ayat (4) Langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi
dapat berbentuk:
1. peningkatan bantuan penyediaan sumber daya; 2. pengurangan atau penghentian bantuan
penyediaan sumber daya bagi program-program tertentu;
3. penghentian pelaksanaan program-program tertentu;
4. penangguhan untuk sementara otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang bersangkutan;
5. langkah pembinaan lainnya yang dipandang perlu.
Langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi dapat berbentuk:
a. Peningkatan bantuan penyediaan sumber daya; b. Pengurangan atau penghentian bantuan
penyediaan sumber daya bagi program-program tertentu;
c. Penghentian pelaksanaan program-program tertentu;
d. Penangguhan untuk sementara otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang bersangkutan;
e. Langkah pembinaan lainnya yang dipandang perlu.
Table 1 – Perbedaan antara PP No.30/1990 dan PP No.60/1999
Kerjasama yang dimaksud bisa berbentuk kontrak manajemen; program kembaran; program
pemindahan kredit; tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan
akademik; pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik; penerbitan
bersama karya ilmiah; penyelenggaraan bersama seminar atau kegiatan ilmiah lain; dan
bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu. Pelaksanaan kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau instansi
asing diatur oleh Menteri (Pendidikan Tinggi).
Tidak jauh berbedanya materi dan substansi di PP No.30/1990 dan PP No.60/1999 seakan
memperlihatkan sistem akreditasi pada masa itu nampaknya jalan di tempat. Hal ini berbeda cukup
drastis begitu UU No.2/1989 dicabut dan diganti dengan UU No.20/2003. UU Sisdiknas yang baru
Sando
Sasako
on Higher
8 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
juga mencabut Perpu No.48/1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (LN~1960
No.155, TLN No.2103).
Dulu, pengawasan pendidikan dan pengajaran asing diatur dalam (minimal 2) peraturan Penguasa
Perang (KSAD dan KSAL). Perpu No.48/1960 mengakhiri masa berlakunya pengawasan
pendidikan dan pengajaran asing oleh Penguasa Perang per 16 Desember 1960. Peraturan Penguasa
Perang yang dimaksud adalah:
1.
Peraturan Penguasa Perang Pusat/KSAD No.Prt/Peperpu/09/1958 tanggal 14 April 1958.
2.
Peraturan Penguasa Perang Pusat KSAL No.Z 1/1/10 tanggal 16 April 1958.
Di awal abad ke-20, pada masa penjajahan Belanda, persyaratan, izin, dan pengawasan bersifat
sangat ketat. Dengan berlakunya Ordonansi Pengawasan Pengajaran Partikelir (Staatsblad 1932
No.494)
10di bulan September 1932, semua sekolah yang tidak didirikan oleh pemerintah atau
memperoleh subsidi pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dulu. Guru-gurunya harus lulusan
sekolah negeri atau berasal dari sekolah bersubsidi.
11Beberapa puluh tahun sebelumnya, melalui Ordonansi Guru (1905), seseorang yang mengajar
agama pun harus memperoleh izin bupati. Di tahun 1925-an, peraturan itu diperlunak dengan cukup
memberitahu maksud pengajaran, daftar murid, dan kurikulum. Salah satu tujuannya adalah sebagai
bentuk dan upaya standarisasi pendidikan pada zaman kolonial Belanda.
Hal ini baru ditegaskan oleh UU No.20/2003 dengan menyatakan bahwa pendidik merupakan
produk perguruan tinggi yang terakreditasi (pasal 42 ayat 2). Pendidik yang dimaksud adalah
pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Kualifikasi pendidik diakui melalui sertifikasi pendidik. Hal yang tidak jelas dinyatakan dalam
pasal 43 ayat 2 adalah apa dan siapa yang seharusnya terakreditasi dalam hal sertifikasi pendidik,
perguruan tingginya-kah atau program studinya-kah? Program studi yang dimaksud adalah program
(pendidikan) pengadaan tenaga kependidikan.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk kursus dan pelatihan, keduanya
dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional. Sebagai
bentuk pendidikan berkelanjutan, kedua hal tersebut (kursus dan pelatihan) bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan,
standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian
profesional.
Khusus penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing, mereka diperbolehkan menyelenggarakan
pendidikan di wilayah NKRI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka
pun wajib telah terakreditasi atau diakui di negaranya.
Status Hukum Sistem Pendidikan Nasional
Hanya sedikit yang mengetahui dengan pasti status hukum terakhir dari UU No.20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas). Delapan hal pokok yang berubah pasca Hak Uji Materi di
MK dengan beberapa Putusan MK, yaitu:
10 Ordonansi pengawasan sekolah partikelir (S~1932 No.494, 495, dan 533, dioebah dan ditambah dalam S~1933
No.372 dan 450 dan moelaï berlakoe pada S~1933 No.449; dan terakhir diubah dalam S~1940 No.3). http://ci.nii.ac.jp/ncid/BA84871588
11 Budi Susanto, Kebingungan Pendidikan, Suara Merdeka, 5 Mei 2008,
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/05/05/12048/Kebingungan-Pendidikan-
Sando
Sasako
on Higher
1.
Pasal 6 ayat (2).
Setiap warga negara bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
a.
sepanjang frasa “….bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang dimaknai “….ikut
bertanggung jawab”.
b.
sepanjang frasa, ”...bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
kecuali dimaknai, “...ikut bertanggung jawab”.
c.
isinya berubah menjadi: “Setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.”
2.
Pasal 12 ayat (1) huruf c.
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang
berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
a.
sepanjang frasa “….yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.
b.
sepanjang frasa “….yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c.
isinya berubah menjadi: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi.”
3.
Pasal 49 ayat (1).
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal
20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Putusan MK (No.24/PUU-V/2007, tanggal 20 Feb. 2008) →
a.
sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4.
Penjelasan Pasal 49 ayat (1).
Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap.
Putusan MK (No.011/PUU-III/2005, tanggal 19 Feb. 2005) →
a.
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5.
Pasal 50 ayat (3).
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan
yang bertaraf internasional.
Putusan MK (No.5/PUU-X/2012 tanggal 8 Januari 2012) →
a.
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.
b.
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
6.
Pasal 53 ayat (1).
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
a.
sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara
pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
7.
Penjelasan Pasal 53 ayat (1).
Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN).
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
Sando
Sasako
on Higher
10 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
a.
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.
b.
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
8.
Pasal 55 ayat (4).
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan
sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Putusan MK (No.58/PUU-VIII/2010, tanggal 29 September 2011) →
a.
kata ‘dapat’ bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 kalau dimaknai berlaku bagi jenjang
pendidikan dasar yang berbasis masyarakat.
b.
kata ‘dapat’tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kalau dimaknai berlaku bagi
jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat.
9.
Pasal 67 ayat (1).
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Putusan MK (No.77/PUU-XI/2013, tanggal 30 Januari 2014) →
a.
Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon dengan register
No.77/PUU-XI/2013.
b.
Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal
67 ayat (1) sepanjang frasa “tanpa hak”.
10.
Pasal 71.
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) <Setiap satuan pendidikan formal dan
nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.>
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Putusan MK (No.77/PUU-XI/2013, tanggal 30 Januari 2014) →
a.
Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon dengan register
No.77/PUU-XI/2013.
b.
Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal
71 sepanjang frasa “tanpa ijin pemerintah atau pemerintah daerah”
Sando
Sasako
on Higher
Akreditasi Pendidikan Tinggi
Berdasarkan proses dan alur kerjanya, akreditasi merupakan bagian kedua dari tiga tahapan
penilaian, yakni evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan dan
disebutkan dalam Bab XVI di UU No.20/2003. Beberapa tujuan dari ketiga aktivitas ini mencakup:
1.
pengendalian mutu pendidikan secara nasional dan penilaian pencapaian standar nasional
pendidikan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
2.
penentuan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan
non-formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
3.
pemantauan kesinambungan proses, kemajuan, perbaikan hasil belajar peserta didik, program,
dan satuan (lembaga) pendidikan pada jalur formal dan non-formal untuk semua jenjang dan
jenis pendidikan sebagai objek evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
4.
penyelenggaraan penilaian program studi oleh pengelola pendidikan (dalam bentuk hasil
evaluasi, EPSBED); dan/atau oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga mandiri,
masyarakat dan/atau organisasi profesi (dalam bentuk hasil akreditasi) yang berwenang secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik; dan hasil penyelenggaraannya dinyatakan dalam
bentuk sertifikat (ijazah dan sertifikat kompetensi bagi peserta didik; nilai akreditasi bagi
program studi dan penyelenggara program studi; sertifikat kompetensi bagi penyelenggara
pendidikan) yang dibuat oleh lembaga sertifikasi.
5.
pernyataan dan bentuk akuntabilitas publik penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
6.
mendapatkan pengakuan atas berbagai hal terkait proses dan hasil akreditasi.
7.
mendapatkan alokasi dana dan bantuan akreditasi program studi secara kompetitif, transparan,
dan objektif dalam rangka pelaksanaan dan penyiapan akreditasi prodi yang belum diakreditasi
oleh BAN-PT dan/atau nilai akreditasi yang sudah mau kadaluwarsa, yakni berdasarkan mutu
proposal yang diajukan dan terbuka bagi setiap perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Bila mengacu pada proses, input, dan output, akreditasi merupakan perwujudan dari ketiga hal
tersebut. Sebagai proses, akreditasi merupakan upaya BAN-PT untuk menilai dan menentukan
status mutu program studi di perguruan tinggi berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan.
Sebagai hasil, akreditasi merupakan status mutu perguruan tinggi yang diumumkan kepada
masyarakat.
Hasil yang dinyatakan sebagai output, dalam sistem yang berkesinambungan, continuous and
sustainable, output tersebut merupakan input bagi penyelenggara program studi untuk terus menerus
melakukan perbaikan, mempertahankan mutu yang tinggi, dan meningkatkan mutu ke taraf yang
lebih tinggi lagi (CQI, continuous quality improvement).
Berbeda dengan bentuk penilaian mutu lainnya, akreditasi dilakukan oleh pakar sejawat dan mereka
yang memahami hakekat pengelolaan program studi/perguruan tinggi sebagai Tim atau Kelompok
Assessor. Keputusan mengenai mutu didasarkan pada penilaian terhadap berbagai bukti yang terkait
dengan standar yang ditetapkan dan berdasarkan nalar dan pertimbangan para pakar sejawat
(judgments of informed experts).
Bukti-bukti yang diperlukan termasuk laporan tertulis yang disiapkan oleh institusi perguruan tinggi
yang akan diakreditasi yang diverifikasi melalui kunjungan para pakar sejawat ke tempat
kedudukan perguruan tinggi. Sebagai bentuk dan upaya penilaian mutu eksternal, akreditasi
merupakan penilaian yang berkaitan dengan akuntabilitas, pemberian izin, pemberian lisensi oleh
badan tertentu.
Sando
Sasako
on Higher
12 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Salah satu output dari akreditasi mutu eksternal (external quality assessment, EQA) adalah dalam
rangka menentukan peringkat (ranking) perguruan tinggi. Data dan informasi sebagai instrumen
akreditasi oleh lembaga eksternal yang dibutuhkan biasanya tidak jauh berbeda dengan yang
dipersyaratkan oleh BAN-PT, termasuk didalamnya segala hal terkait EPSBED (yang setara dengan
IQA, internal quality assessment).
Beberapa landasan hukum yang terkait dengan keberadaan, tugas, dan fungsi akreditasi pendidikan
tinggi dalam hubungannya dengan mutu dan penjaminan mutu, antara lain:
1.
UU No.20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional;
2.
UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi;
3.
UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen;
4.
PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP);
5.
PP No.32/2013 tentang Perubahan atas PP No.19/2005.
6.
PP No.13/2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No.19/2005.
7.
Perpres No.8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI);
8.
Permendiknas No.20/2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan;
9.
Permendiknas No.63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP);
10.
Permendiknas No.2/2010 tentang Renstra Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014;
Instrumen Akreditasi
Sebelum BAN-PT melaksanakan akreditasi terhadap suatu program studi dan/atau institusi
penyelenggaranya, perguruan tinggi tersebut sudah harus melakukan internal review, IQA, atau
yang lebih dikenal dengan EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri). Komponen
EPSBED, daftar isian (atau borang) program studi dan daftar isian pengelola program studi
merupakan instrumen akreditasi (satu) program studi.
Instrumen akreditasi prodi dan institusi perguruan tinggi diatur dalam Permendiknas No.73/2009
tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1). Beberapa dokumen terkait proses
akreditasi yang sudah ada saat ini, antara lain:
1.
Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT).
2.
Program Studi
3.
Program Studi D-III Keperawatan
4.
Program Studi D-III Kebidanan
5.
Program Studi Ners
6.
Program Studi Kedokteran
7.
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi
8.
Program Studi Kedokteran Hewan
9.
Program Studi Magister Psikologi Profesi
10.
Program Pendidikan Profesi Akuntansi
11.
Program Pendidikan Profesi Guru
Komponen atau Standar Akreditasi
Daftar isian program studi dan daftar isian pengelola program studi mencakup deskripsi dan analisis
yang sistematis sebagai respons yang proaktif terhadap berbagai indikator yang dijabarkan dari
standar akreditasi program studi. Standar dan indikator akreditasi tersebut dijelaskan dalam
pedoman penyusunan borang akreditasi program studi.
Informasi yang diperoleh dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam borang akreditasi itu
digunakan untuk dua tujuan pokok, yaitu untuk:
1.
menilai kinerja akademik dan administratif program studi, dan
Sando
Sasako
on Higher
2.
menemukan dimensi-dimensi kinerja program studi yang memerlukan perbaikan atau
pembinaan.
Pertanyaan yang dituangkan dalam borang akreditasi disusun berdasarkan beberapa dimensi mutu
yang menunjukkan mutu suatu program studi. Jumlah dimensi mutu bervariasi karena banyak hal,
seperti menurut perspektif, waktu perumusannya, pihak-pihak yang merumuskan, atau lainnya.
Upaya pembedaan label dan pigeon-holing biasa terjadi.
Dalam Lampiran V (dari Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi
Sarjana S1) yang berisi Panduan Pengisian Borang Akreditasi Program Studi Jenjang S1, dimensi
mutu berjumlah 9. Sementara dalam Lampiran I-nya yang berisi Naskah Akademik Akreditasi
Program Studi Sarjana, dimensi mutu dinyatakan berjumlah 11.
Kesebelas dimensi mutu tersebut adalah kepemimpinan (leadership); relevansi, kesesuaian
(relevancy); suasana akademik (academic atmosphere); (internal management and organisation,
governance, tata pamong) yang ber-kecukupan (adequate) dan layak (appropriate); keberlanjutan
(sustainability); selektivitas (selectivity); efisiensi (efficiency); efektivitas (effectiveness); ekuitas
(pemerataan, keadilan); produktivitas (productivity).
Kesebelas dimensi ini menunjukkan mutu komprehensif dari suatu penyelenggaraan program studi
untuk menghasilkan keluaran yang bermutu tinggi, sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.
Hubungan kesebelas dimensi mutu tersebut mewujudkan prinsip L-RAISE++. Program studi yang
ingin diakreditasi seharusnya mendeskripsikan dan menganalisis semua indikator dalam konteks
keseluruhan standar akreditasi dengan memperhatikan 11 dimensi mutu yang merupakan jabaran
dari L-RAISE++.
Tabel – L-RAISE++ Didefinisikan
Kepemimpinan merujuk kepada kemampuan untuk mengerahkan dan mengarahkan sumber daya dalam upaya mencapai tujuan institusi/program secara efektif dan efisien.
Relevansi, kesesuaian tingkat keterkaitan hasil/keluaran dengan tujuan institusi/program, keterkaitan antara berbagai komponen atau standar dan keterkaitan dengan tuntutan masyarakat nasional maupun global. Suasana akademik iklim yang mendukung interaksi antar sivitas akademika untuk mengoptimumkan proses
pembelajaran.
Internal management and organisation that
Kecukupan menunjukkan tingkat ketercapaian persyaratan ambang yang diperlukan untuk penyelenggaraan suatu program.
Kelayakan tingkat ketepatan unsur masukan, proses, keluaran, maupun tujuan institusi/program ditinjau dari ukuran ideal secara normatif.
Keberlanjutan menunjukkan keberlangsungan institusi/penyelenggaraan program yang meliputi ketersediaan masukan, kegiatan proses pembelajaran, maupun pencapaian hasil yang optimal.
Selektivitas merujuk pada bagaimana penyelenggara program memilih masukan, aktivitas pendidikan, maupun penentuan prioritas keluaran berdasarkan pertimbangan kemampuan/kapasitas yang dimiliki.
Efisiensi merujuk pada tingkat pemanfaatan masukan (sumber daya) yang digunakan untuk proses pendidikan.
Efektivitas merujuk pada tingkat ketercapaian tujuan insitusi/program yang telah ditetapkan yang diukur dari hasil/keluaran program.
Pemerataan merujuk pada pemerataan kesempatan mendapat pendidikan.
Produktivitas tingkat keberhasilan proses peningkatan mutu yang dilakukan dalam memanfaatkan masukan.
Table 2 - L-RAISE++ Didefinisikan
Komponen atau perihal yang dijadikan tolok ukur atau indikator bagi BAN-PT untuk melakukan
penilaian akreditasi terbagi atas 7 standar, yakni:
1.
Visi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaian.
2.
Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu.
3.
Mahasiswa dan lulusan.
4.
Sumber daya manusia.
Sando
Sasako
on Higher
14 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Figure 1 – Standar BAN-PT disandingkan dengan Standar Nasional Pendidikan
Bagan – Standar BAN-PT disandingkan dengan Standar Nasional Pendidikan
Sumber: Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1)
Figure 2 – Standar BAN-PT dipetakan terhadap Standar Nasional Pendidikan
Bagan – Standar BAN-PT dipetakan terhadap Standar Nasional Pendidikan
Sumber: Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1)