• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Optimisme Terhadap Hubungan dan Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Optimisme Terhadap Hubungan dan Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Optimisme Terhadap Hubungan dan Kesiapan Menikah

pada Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai

Penyusun:

Mariska Ariesthia Pembimbing:

Dr. Adriana Soekandar, M. Sc.

Program Studi S1 – Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Abstrak:

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Pengukuran optimisme terhadap hubungan menggunakan alat ukur Optimism about Relationship (OAR) (Carnelly&Bulman, 1992) dan pengukuran kesiapan menikah dengan menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiraysti, 2004). Jumlah sampel penelitian ini berjumlah total 55 orang yang merupakan dewasa muda dari keluarga bercerai. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai (r = 0.268, p < 0.05). Artinya semakin tinggi optimisme terhadap hubungan, maka semakin tinggi kesiapan menikahnya. Dalam penelitian ini, terdapat tiga area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan optimisme terhadap hubungan, yaitu agama, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Berdasarkan hasil penelitian, aspek demografis seperti, usia, jender, tingkat pendidikan, usia ketika orang tua bercerai dan status pernikahan orang tua berkorelasi secara signifikan kepada optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah. Kata kunci: optimisme terhadap hubungan, kesiapan menikah, dewasa muda, keluarga bercerai

Abstract:

This research was conducted to determine the significant positive relationship between relationship optimism and readiness for marriage of young adults from divorced families. Relationship optimism were measured using Optimism about Relationship (OAR) (Carnelly & Bulman, 1992) and marriage readiness were measured using Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004), using samples in total numbers of 55 young adults from divorced families. Results obtained indicate that there is a significant positive relationship between optimism toward relationships and marriage readiness of young adults from divorced families (r = 0268, p <0.05). Meaning that, the more positive an optimism in the relationship would generates higher marriage readiness. In this study, there are three areas in marriage readiness which has a significant positive correlation with optimism toward relationships, which are religion, family background and relationships with extended family, as well as

(2)

interest in and use of leisure time. Based on this research, demographic aspects such as age, gender, education level, age when parents divorce, and marital status has significant correlation to optimism and readiness for marriage.

Keywords: relationship optimism, readiness for marriage, young adults, parents divorced

I. Pendahuluan

Fenomena perceraian kini marak dibicarakan di Indonesia, bahkan menurut sebuah artikel di internet, angka perceraian di Indonesia telah mencapai rekor tertinggi se-Asia Pasifik (data Ditjen Badilag dalam http://beritanusa.com, 15 Februari 2012). Perceraian didefiniskan sebagai disolusi atau pemutusan hubungan yang legal dari suatu pernikahan yang sah. Menurut data yang didapat dari Ditjen Dinas Islam Kementerian Agama RI, sepanjang tahun 2012 telah terjadi 285.184 kasus perceraian. Angka tersebut mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir hingga lebih dari 10 persen dibandingkan dengan angka perceraian di tahun sebelumnya (http://eksposnews.com, 16 Februari 2012).

Melihat fenomena perceraian yang meningkat setiap tahunnya, maka jumlah anak yang terkena dampak dari perceraian orang tua pun terus meningkat. Walaupun tujuan perceraian orang tua dapat memberikan dampak yang positif, namun secara umum perceraian merupakan suatu pengalaman yang menyakitkan dan sulit untuk dilalui (Smolak, dalam Amanda, 2008). Dalam keadaan yang terbaik sekalipun, perceraian akan membuat seorang anak merasa takut dan cemas. Salah satu ketakutan dari anak yang orang tuanya bercerai atau tidak bahagia dalam perkawinannya adalah nantinya mereka akan menjalani kehidupan pernikahan yang sama. Rasa ketakutan yang muncul adalah suatu emosi yang dirasakan mereka seterusnya sampai di masa depan dan mempengaruhi kehidupan nantinya (Knox, Zusman, & DeCuzzi, 2004). Kecemasan yang dikarenakan oleh perceraian orang tua muncul ketika anak mulai memasuki tahap dewasa muda dan berada dalam hubungan pacaran (Amato, 2003).

Rasa ketakutan yang terus muncul hingga mencapai tahap masa dewasa muda akan mempengaruhi optimisme dan keyakinan terhadap hubungan yang dijalani seorang anak. Tentunya terdapat perbedaan keyakinan pada anak yang mengalami perceraian orang tua dan yang tidak mengalami perceraian orang tua. Keyakinan inilah yang kemudian merubah optimisme akan keberhasilan masa depan hubungannya kelak. Penelitian Helgeson (1994, dalam Murray & Holmes 1997) menunjukan bahwa optimisme terhadap hubungan yang dijalani akan memprediksikan kepuasan penikahan lebih tinggi dan akan mengurangi kemungkinan terjadinya perceraian.

(3)

Scheier & Carver (2001) mendefinisikan optimisme sebagai faktor yang dapat dilihat secara khusus maupun umum. Dalam konteks hubungan intim, optimisme terhadap suatu hubungan dapat dikatakan sebagai pandangan seseorang akan kesuksesan menjalani hubungan yang dijalaninya di masa depan, dimana akan mempengaruhi upaya yang akan dilakukan dalam menempatkan diri di dalam hubungan tersebut. Individu yang pesimis akan keberhasilan hubungan yang dijalaninya di masa depan, tidak akan berkontribusi di dalam hubungan tersebut dan akhirnya memilih untuk berpisah sebagai salah satu pilihan. Di lain pihak, individu yang optimis dapat berhasil mempertahankan hubungannya (Larson, Benson, Wilson, & Medora, 1998). Optimisme terhadap hubungan menjadi dasar untuk dimiliki oleh setiap pasangan, hal ini terkait dengan bagaimana seseorang memiliki pandangan yang positif akan hubungannya kelak. Oleh karena itu optimisme menjadi penting bagi setiap pasangan yang hendak melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan. Terutama bagi individu yang telah memasuki fase dewasa muda, yaitu antara usia 20-40 tahun, mengingat salah satu tugas perkembangan mereka adalah menikah (Papalia, Olds & Feldman, 2009).

Pernikahan yang bahagia tentunya menjadi tujuan utama dari setiap pasangan. Namun pada kenyatannya, menyatukan karakteristik dua pribadi yang berbeda di dalam hubungan pernikahan bukanlah hal yang mudah. Ketika menikah, pasangan harus berbagi peran antara pasangannya, hal-hal yang perlu dipertimbangkan seperti perkerjaan, kebutuhan rumah tangga, serta kebutuhan-kebutuhan pribadi diluar konteks pernikahan. Salah satu faktor untuk mencapai kebahagian dalam pernikahan adalah meningkatkan kesiapan menikah pasangan. Blood dan Blood (1978) mengatakan bahwa diperlukan suatu kesiapan sebelum memasuki dunia pernikahan untuk mengurangi kemungkinan berakhirnya sebuah pernikahan dengan perceraian nantinya. Umumnya, sebelum menikah setiap pasangan dalam masa pacaran mengenal secara lebih dalam untuk kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya pernikahan. Untuk dapat menyesuaikan peran-peran pernikahan nantinya, maka diperlukan penilaian personal akan kesiapan diri untuk melanjutkan hubungan ke jenjang berikutnya. Oleh sebab itu, menurut, Cate dan Lioyd, 1992 (dalam Holman dan Li, 1997) kesiapan menikah merupakan salah satu faktor yang akan mengerakkan suatu hubungan menuju jenjang pernikahan.

Menurut Holman dan Li (1997), kesiapan menikah atau dikenal pula dengan readiness for marriage adalah kemampuan yang dipersepsikan oleh individu untuk menjalankan peran-peran yang ada dalam suatu pernikahan, dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau sebuah proses dalam perkembangan hubungannya. Cate dan Lioyd (1992, dalan Holman dan Li, 1997) mengatakan bahwa kesiapan menikah merupakan salah satu

(4)

faktor yang akan mengerakkan suatu hubungan menuju jenjang pernikahan. Kesiapan menikah meliputi beberapa area yang dapat diukur, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami dan istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaat waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup (Wiryasti, 2004).

Optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah merupakan hal yang sama pentingnya dalam suatu pernikahan, keduanya saling mempengaruhi pasangan dalam mencapai kesuksesan pernikahan. Optimisme yang dikaitkan dengan ekspetasi, diyakini dapat mendorong seseorang untuk mencapai goal yang diinginkannya (Assad, Donnelan,& Conger, 2007). Begitu pula dengan kesiapan menikah, dimana merupakan faktor penggerak hubungan menuju jenjang pernikahan (Cate dan Lioyd, 1992, dalam Holman dan Li, 1997).

Terkait dengan karakteristik partisipan dan konteks pada penelitian ini, yaitu dewasa muda dari keluarga bercerai, telah dilakukan beberapa penelitian yang dilakukan. Sejumlah penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa status pernikahan orang tua akan mempengaruhi keyakinan seorang anak akan pernikahannya kelak (Johnson, 2009). Pada penelitian kesiapan menikah, ditemukan bahwa anak dari keluarga bercerai cenderung untuk menunda pernikahan karena adanya ketakutan akan tidak berhasilnya pernikahnnya kelak. (Otto, 1979, dalam Holman dan Li, 1997;Duvall & Miller, 1985).

Penelitian mengenai kesiapan menikah dan optimisme terhadap hubungan lebih banyak dilakukan oleh penelitian-penelitian di luar Indonesia, sedangkan penelitian serupa belum banyak diterbitkan di Indonesia. Jurnal-jurnal yang tersedia mengenai kedua hal ini masih berupa jurnal terbitan luar negeri, hal ini bisa jadi berbeda dengan lingkungan dan budaya di Indonesia. Beranjak dari fakta tersebut, penulis ingin menelaah lebih lanjut mengenai hubungan antara optimisme terhadap hubungan dengan kesiapan menikah dewasa muda yang memiliki orang tua yang telah bercerai. Keterkaitannya dengan anak dari keluarga bercerai juga diharapkan dapat menjadi pendorong penelitian-penelitian lain untuk concern

terhadap dampak dari perceraian pada anak, mengingat jumlah perceraian di Indonesia semakin meningkat. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai?, (2) apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan area-area dalam kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai?, (3) apakah terdapat hubungan antara aspek-aspek demografis partisipan penelitian dan optimisme terhadap hubungan pada dewasa muda dari keluarga bercerai?, dan (4) apakah terdapat hubungan antara aspek-aspek

(5)

demografis partisipan penelitian dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai?

II. Tinjauan Teoritis

II.1. Optimisme terhadap Hubungan

Chang et al. (1994, dalam Seligman et al., 2001) mengatakan optimisme merujuk pada pengharapan akan hasil yang baik dari sebuah usaha. Hal ini sejalan dengan definisi yang diajukan oleh Ciccarelli dan Mayers (2006) bahwa optimisme menjadikan seseorang cenderung selalu memikirkan bahwa ia mendapatkan hasil yang positif dari usahanya. Menurut Scheier dan Carver (1985) optimisme merupakan suatu tendensi yang cenderung stabil akan keyakinan peristiwa negatif dan positif didalam hidup individu. Optimisme juga dijelaskan sebagai cognitive disposition, yang mendorong evaluasi positif terhadap pengalaman dimasa lalu dan keyakinan terhadap peristiwa di masa depan.

Scheier dan Carver (2003) mendefinisikan optimisme sebagai faktor spesifik dan umum, dimana keduanya merupakan pengukuran tentang kehidupan secara umum serta dalam area atau kejadian yang spesifik dalam hidup. Dalam lingkup hubungan, optimisme dijelaskan sebagai pandangan akan hal-hal baik mengenai masa depan suatu hubungan individu dengan pasangannya yang mempengaruhi usaha seseorang dalam mempertahankan hubungannya. Dengan demikian, individu yang pesimis tentang keberhasilan masa depan hubungan mereka tidak mengetahui bagaimana berkontribusi dengan baik dalam hubungan mereka dan cenderung memilih untuk berpisah. Berbeda dengan individu yang pesimis, mereka yang optimis mempunyai hubungan dekat dalam waktu yang lebih lama dan lebih bahagia. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi sikap individu terhadap pernikahan, yaitu (1) keluarga, termasuk di dalamnya adalah status pernikahan orang tua; (2) pengalaman hubungan di masa lalu, (3) Jender, dan (4) Media.

II.2. Kesiapan Menikah

Pernikahan didefinisikan sebagai hubungan yang diakui secara hukum dan sosial antara seorang wanita dan seorang pria yang mencakup hubungan seksual, ekonomi, dan hak-hak sosial, serta tanggung jawab terhadap pasangan (Seccombe, K., Warner, R. L., 2004). Pernikahan juga didefinisikan sebagai suatu komitmen baik secara emosi maupun hukum yang sah antara dua orang untuk berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagai macam tugas, dan dalam hal keuangan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan komitmen pasangan yang disahkan oleh hukum untuk membentuk kelurga yang

(6)

didalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan seksual, ekonomi, sosial, dan pembagian berbagai peran antara suami dan istri (Olson dan DeFrain,2006).

Sedangkan, kesiapan menikah dalam psikologi lebih dikenal dengan istilah readiness for marriage. Holman dan Li (1997) mendefinisikan kesiapan menikah atau readiness for marriage sebagai kemampuan yang dipersepsikan oleh individu untuk menjalankan peran-peran yang ada dalam suatu pernikahan, dan melihat kesiapan menikah tersebut sebagai proses dalam pemilihan pasangan dan perkembangan hubungannya. Selain itu, Stinnett (1969, dalam Badger, 2005) mempercayai bahwa kesiapan menikah berhubungan erat dengan kompetensi pernikahan, dimana kompetensi pernikahan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjalankan perannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pasangan dalam kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah dapat menjadi prediktor kepuasan pernikahan (Larson, 2007, dalam Nelson, 2008), dimana semakin tinggi tingkat kesiapan menikah, maka diharapkan tingkat kepuasan pernikahan individu juga semakin tinggi. Selain itu, kesiapan menikah pun dapat menjadi prediktor dari kesuksesan dan stabilitas pernikahan (Fowers & Olson, 1986; Holman, Larson, & Harmer, 1994).

Terdapat delapan area dalam kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004), yaitu (1) komunikasi, yang berkaitan kemampuan individu untuk mengekspresikan ide dan perasaannya kepada pasangan, serta mendengarkan pesan yang disampaikan oleh pasangan; (2) keuangan, area ini berkaitan dengan masalah pengaturan ekonomi rumah tangga; (3) anak dan pengasuhan, area ini berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan, atau didikan yang akan diberikan kepada anak; (4) pembagian peran suami dan istri, area ini menjelaskan mengenai persepsi dan sikap individu dalam memandang peran-peran dalam rumah tangga, serta kesepakatannya dengan pasangan mengenai pembagian peran yang akan mereka jalani nantinya sebagai suami dan istri; (5) latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, area ini berkaitan dengan nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu, dan relasi antar anggota keluarga, (6) agama, area ini berkaitan dengan nilai-nilai religius yang menjadi dasar pernikahan; (7) minat dan pemanfaatan waktu luang, yang mengukur mengenai sikap terhadap minat pasangan, dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan; serta (8) perubahan pada pasangan dan pola hidup, yaitu area yang berkaitan dengan persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan serta pola hidup yang mungkin terjadi setelah menikah.

(7)

II.3. Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai

Dewasa muda merupakan salah satu fase dalam kehidupan individu yang perlu dilaluinya ketika individu tersebut berada pada usia antara 20-40 tahun (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Salah satu ciri khas dari tugas perkembangan dewasa muda adalah pembentukan komitmen dengan orang lain, khususnya membentuk keterikatan yang penting dengan lawan jenisnya, salah satunya dalam bentuk ikatan pernikahan (Papalia, 2009). Apabila tugas perkembangan ini tidak dijalankan maka menurut Carter dan McGoldrick (1999, akan muncul konflik psikologis dalam dirinya.

Setiap individu pasti menginginkan pernikahannya berlangsung bahagia dan tidak berujung pada perceraian. Namun beberapa pasangan yang akhirnya tidak menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, akan memilih salah satu jalan keluar untuk mengakhiri hubungannya, yaitu perceraian. Perceraian didefinisikan sebagai disolusi atau pemutusan hubungan yang legal dari satu ikatan perkawinan yang sah. Perceraian dirasakan sebagai jalan keluar untuk mengakhiri ketidakbahagian dalam suatu pernikahan (William, Sayer, & Wahlstrom, 2006). Kini perceraian bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia, beberapa kasus perceraian yang timbul setiap tahunnya mengalami peningkatkan secara terus menerus. Perceraian tidak berdampak bagi pasangan atau orang tua saja, namun perceraian dapat berdampak pada seorang anak.

Dewasa muda yang mungkin telah dapat menjalani kehidupannya dengan sebaik-baiknya, akan mungkin masih memiliki kenangan yang kuat mengenai perpisahan orang tuanya, diikuti dengan perasaan kesedihan, rasa marah yang berkelanjutan dan perasaan kehilangan dan adanya kesulitan untuk menjalani hubungan intim (Wallerstein et al. dalam Conger, 1991). Kepercayaan seorang anak mengenai pernikahan berbasis pada pengalaman pribadinya mengenai hubungan percintaan, sementara kepercayaan mengenai pernikahan sendiri secara spesifik dipengaruhi oleh hubungan percintaan kedua orang tua mereka. Amato& De Boer (2001) menemukan bahwa anak dari keluarga bercerai mempunyai resiko lebih tinggi untuk mengalami perceraian. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Carnelley dan Bullmans (1992, dalam Johnson, 2009). Penelitian dilakukan pada sejumlah mahasiswa yang mempunyai pasangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya rating optimisme yang tinggi akan hubungan di masa depan yang ditemukan pada anak dari keluarga

non-divorced, sebaliknya anak dari keluarga bercerai lebih menunjukan rating yang rendah dalam optimisme akan hubungan di masa depan. Begitupula pada penelitian kesiapan menikah, ditemukan bahwa anak dari keluarga bercerai cenderung untuk menunda pernikahan

(8)

karena adanya ketakutan akan tidak berhasilnya pernikahnnya kelak. (Otto, 1979, dalam Holman dan Li, 1997;Duvall & Miller, 1985).

II.4. Dinamika Hubungan Antara Sikap Terhadap Pernikahan dan Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda dari keluarga Bercerai

Perceraian bukan hanya berdampak pada orang tua yang mengalami langsung perceraian tersebut. Akan tetapi perceraian juga berdampak pada anak yang secara tidak langsung juga menerima konsekuensi negatif maupun positif dari perceraian yang terjadi. Salah satu konsekuensi yang harus diterima oleh seorang anak adalah pengalaman yang menyakitkan dari timbulnya perceraian diantara orang tua mereka. Kesulitan yang dijalani oleh seorang dewasa muda ketika ingin memasuki jenjang pernikahan adalah ketakutan akan berakhirnya hubungan yang mereka jalani sama seperti yang dialami pada orangtuanya. Pada tahap inilah muncul perasaan ketakutan dan cemas yang mengancam kemampuan mereka untuk membentuk suatu hubungan keluarga yang baru (Dunlop & Burns, 1995).

Keyakinan pandangan dan pengharapan secara umum individu akan terjadinya hal-hal yang baik di masa depan disebut sebagai Optimisme. Dalam lingkup hubungan romantis, optimisme dijelaskan sebagai pengharapan akan hal-hal baik yang dimiliki seseorang dalam memandang masa depan hubungan dengan pasangannya yang mengarahkan seseorang untuk mempengaruhi usaha dalam mempertahankan hubungannya. Berkaitan dengan pengharapan akan suatu kejadian atau peristiwa, optimisme dianggap sebagai faktor tetap atau ―enduring resources‖ yang mempengaruhi suatu hubungan. Karney&Bradbury (1995, dalam Assad,

Donellan, & Conger, 2007) menyebutkan bahwa optimisme menjadi faktor tetap yang mempengaruhi hubungan karena berpengaruh terhadap bagaimana pasangan beradaptasi dengan berbagai masalah dalam hubungannya. Optimisme terhadap hubungan dapat membantu pasangan dalam menyelesaikan masalah, melekatkan hubungan, memperkuat komitmen dan kesetiaan, serta menjadi penunjang dalam suatu hubungan.

Namun, tidak hanya faktor optimisme saja yang penting dalam suatu hubungan. Berbeda dengan Karney&Bradbury (1995, dalam Assad, Donellan, & Conger, 2007) yang menyebutkan bahwa optimisme terhadap hubungan merupakan ―enduring resources‖,Fournier dan Olson (dalam L’Abate, 1990) berpendapat bahwa kesiapan

menikahlah yang seharusnya dilihat sebagai tindakan prioritas untuk menciptakan awal yang baik bagi suatu pernikahan. Sama dengan optimisme terhadap hubungan, kesiapan menikah juga diperlukan untuk menciptakan pernikahan yang berkualitas dan mencegah terjadinya perceraian. Stinnett (1969, dalam Badger, 2005) menjelaskan bahwa kesiapan merupakan

(9)

kompetensi pernikahan, dimana kompetensi pernikahan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menjalankan perannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pasangan dalam kehidupan pernikahan. Selain itu keduanya juga merupakan faktor untuk mencapai pernikahan yang bahagia. Optimisme yang dikaitkan dengan ekspetasi, diyakini dapat mendorong seseorang untuk mencapai goal yang diinginkannya (Assad, Donnelan,& Conger, 2007). Begitu pula dengan kesiapan menikah, dimana merupakan faktor penggerak hubungan menuju jenjang pernikahan (Cate dan Lioyd, 1992, dalam Holman dan Li, 1997).

Terkait dengan hal tersebut, optimisme individu terhadap pernikahan bisa dijadikan salah satu prediktor mengenai tingkah laku yang akan ditunjukkannya terhadap pernikahan, dimana salah satunya adalah kesiapan menikah individu yang berkaitan dengan apakah individu tersebut akan merasa siap untuk menikah, atau sebaliknya. Kedua variabel ini juga sama-sama dipengaruhi oleh latar belakang keluarga secara lebih spesifik status pernikahan orang tua. Selain itu, optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah juga secara positif berkorelasi dalam peranan penting membangun pernikahan sebuah pernikahan, dimana keduanya sama-sama penggerak individu untuk melaksanakan pernikahan.

III. Metode Penelitian III.1. Subjek Penelitian

III.1.1. Karateristik Subjek Penelitian

Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu melihat ada atau tidaknya hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai, maka populasi dari penelitian ini adalah individu yang sedang berada dalam fase perkembangan dewasa muda, yaitu antara usia 20-40 tahun, memiliki orang tua yang pernah bercerai dan saat ini memiliki pacar.

III.1.2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang peneliti gunakan adalah convenience sampling, yaitu peneliti memilih sampel berdasarkan ketersediaan dan kesediaan dari subjek untuk mengisi kuesioner (Gravetter & Forzano, 2009). Tipe sampling ini dilakukan dengan cara memilih individu yang tersedia di populasi, mudah didapatkan, serta sesuai dengan karateristik subjek yang dibutuhkan dalam penelitian ini (Kumar, 2005). Di samping itu, peneliti juga berusaha mencari subjek dengan metode snowball yakni proses pemilihan sampel dengan menggunakan koneksi atau jaringan.

(10)

III.1.3. Jumlah Sampel

Besar sampel didasarkan pada law of large numbers yang dikemukakan oleh Gravetter & Forzano (2009) yaitu semakin besar jumlah sampel dalam sebuah penelitian maka akan semakin representatitf penelitian tersebut dalam menggambarkan populasi. Pada penelitian kuantitatif, Guilford dan Frutcher (1978) menyatakan bahwa setidaknya hasil didapatkan dari 30 sampel agar perhitungan statistik standar terpenuhi sehingga distribusi frekuensinya mendekati populasi dan skor tidak berada jauh dari kurva normal. Dengan pertimbangan ini peneliti menggunakan jumlah sampel 55 dewasa muda dari keluarga bercerai.

III.2. Alat Ukur Penelitian

III.2.1. Alat Ukur Variabel 1 - Optimism About Relationship Questionnaire (OAR)

Alat ukur Optimism about Relationship Questionnaire (OAR) pertama kali dibuat oleh Carnelley & Bulman pada tahun 1992 untuk melihat optimisme yang terjadi dalam hubungan dekat. Optimism about Relationship Questionnaire pertama kali digunakan untuk mengukur relationship optimism pada mahasiswa dengan rata-rata usia sekitar 21 tahun. Kuesioner ini terdiri dari enam pertanyaan yang berkorelasi dengan optimisme untuk hubungan di masa depan. Untuk mengukur optimisme dengan variabel lainnya yang berbeda, Carnelley&Bulman (1992) membuat dua gambaran optimisme dalam hubungan dalam satu kusioner—pertanyaan mengenai optimisme mengenai hubungan di masa depan secara general dan secara spesifik mengenai optimisme mengenai pandangan hubungan di masa depan yaitu pernikahan. Dari keenam item OAR terdapat satu item yang merupakan item unfavorable.

Uji validitas dan reabilitas alat ukur ini dilakukan dengan total 309 subjek, dengan 108 wanita dan 201 laki-laki. Dari total subjek tersebut terdapat seratus sembilan subjek merupakan pelajar dan mahasiswa, dan sisanya merupakan dewasa muda dengan pekerjaan sebagai, karyawan, pekerja lepas, guru, dansebagainya. (Carnelley, et. al., 2011). Hasil uji validitas menggunakan teknik

internal consistency menunjukan alat ukut ini memiliki nilai internal consistency

dengan nilai = .91. Hasil uji validitas ini menunjukan bahwa seluruh item pada alat ukur ini memiliki validitas yang baik, dimana menurut Groth-Marnat (2006) batas minimal indeks validitas item yang baik adalah diatas 0,2.

(11)

III.2.2. Alat Ukur Variabel 2 - Inventori Kesiapan Menikah

Alat ukur kesiapan menikah yang digunakan adalah Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang dibuat oleh C. Hirania Wiryasti (2004). Alat ukur ini merupakan pengembangan alat ukur kesiapan menikah yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Risnawaty pada tahun 2003. Alat ukur Inventori Kesiapan Menikah Wiryasti (2004) telah mempertimbangkan aspek-aspek budaya yang terdapat di Indonesia. Selain itu, alat ukur ini telah menambahkan aspek-aspek dari kesiapan menikah dari hasil penelitian sebelumnya yang belum tercakup dalam inventori. Alat ukur ini memiliki delapan area didalamnya. Kedelapan area tersebut merupakan area-area yang dianggap domain dari kesiapan menikah. Kedelapan area dalam alat ukur ini kemudian dikembangkan menjadi 76 item dengan pembagian 12 item untuk area komunikasi, 8 item untuk area keuangan, 12 item untuk area anak dan pengasuhan, 8 item untuk area pembagian peran suami-istri, 16 item untuk area latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, 8 item untuk area agama, 6 item untuk area minat dan pemanfaatan waktu luang, serta 6 item untuk area perubahan pada pasangan dan pola hidup.

Dalam rangka melakukan uji validitas dan reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah ini, Wiryasti memberikannya kepada 52 subjek yang terdiri dari 26 subjek laki-laki dan 26 subjek wanita. Hasil uji validitas yang dilakukan oleh Wiryasti (2004) dengan construct validity, tepatnya internal consistency, menunjukan bahwa secara keseluruhan alat ukur Inventori Kesiapan Menikah memiliki internal consistency yang baik. Sedangkan pada hasil uji reabilitasnya, didapatkan hasil r sebesar 0,7567 yang artinya alat ukur ini memiliki reabilitas yang baik.

III.3. Tipe dan Desain Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

applied research yaitu bentuk penilitian yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai situasi, masalah dan fenomena tertentu demi memahami mengenai permasalahan itu sendiri (Kumar, 2005). Penelitian ini mengumpulkan informasi mengenai optimisme dalam hubungan dan kesiapan menikah pada anak dari keluarga bercerai berikut dengan hal-hal lain yang berhubungan demi menjelaskan mengenai optimisme terhadap hubungan (relationship optimism)dan kesiapan menikah itu sendiri. Penelitian ini juga merupakan studi korelasional

(12)

karena bertujuan untuk melihat hubungan dua variabel, yaitu variabel optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah. Selain itu, penelitian ini pun merupakan penelitian kuantitatif karena pengukuran variabelnya diperoleh melalui skor hasil yang berbentuk numerik dan kemudian dianalisis secara statistik untuk akhirnya diambil kesimpulan serta interpretasi (Gravetter & Forzano, 2009). Peneliti juga menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai cara untuk memperoleh informasi. Dengan pendekatan ini, pengukuran variabel dilakukan dengan perhitungan total skor yang dihasilkan oleh subjek (Graveter dan Forzano, 2009). Adapun desain penelitian ini disusun berdasarkan sifat penelitian, jumlah kontak antara peneliti dengan sampel penelitian, dan kerangka waktu. Penelitian ini bersifat non-eksperimental karena tidak dilakukan manipulasi pada variabel dan dilakukan pada situasi alamiah (Seniati, Yulianto, dan Setiadi, 2009)

Desain penelitian didefinisikan sebagai rancangan prosedural untuk menjawab pertanyaan penelitian secara valid, objektif, akurat dan ekonomis. Desain penelitian, menurut Kumar (2005) dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah pengambilan data pada penelitian (number of contacts), kerangka waktu penelitian (refrence period), dan sifat dasar penelitian (nature of investigation). Adapun desain penelitian ini jika dilihat dari jumlah kontak antara peneliti dan sampel digolongkan sebagai cross sectional studies, yang hanya memerlukan satu kali pertemuan dengan subjek. Jika ditinjau dari the reference period, desain penelitian yang digunakan adalah prospective study design dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk melihat prevalensi sebuah situasi, masalah dan sikap, terkait dengan apa yang akan terjadi di masa mendatang (Kumar, 2005). Hal ini karena pengukuran optimisme terhadap pernikkahan dan kesiapan menikah pada sampel penelitian digunakan sebagai salah satu prediktor kesuksesan pernikahan.

III.4. Variabel-variabel Penelitian

III.4.1. Variabel 1 – Optimisme Terhadap Hubungan a. Definisi Optimisme Terhadap Hubungan

Optimisme terhadap Hubungan adalah bagaimana seseorang dalam memandang positif masa depan hubungan dengan pasangannya yang mengarahkan seseorang untuk mempengaruhi usaha dalam mempertahankan hubungannya (Scheier dan Carve, 2003).

(13)

b. Definisi Operasional

Definisi operasional dari optimisme terhadap hubungan adalah hasil skor total dari semua item pada alat ukur Optimism About Relationship Questionnaire

III.4.2. Variabel 2 – Kesiapan Menikah a. Definisi Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah adalah kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran-perannya dalam pernikahan dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau proses perkembangan suatu hubungan (Stinnett dan Larson, Holman dan Li,1997).

b. Definisi Operasional

Kesiapan menikah diukur melalui penjumlahan skor subjek yang mengerjakan Inventori Kesiapan Menikah pada subskala area-area yang ada dalam kesiapan menikah, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup.

III.5. Teknik Pengambilan Data

Metode pengumpulan data dari penelitian ini adalah menggunakan kuesioner. Menurut Kumar (2005), kuesioner adalah serangkaian pertanyaan atau pernyataan tertulis, dimana subjek dapat membaca setiap pernyataan tersebut, melakukan interpretasi dan menuliskan jawaban atas pernyataan tersebut. Adapun cara pengambilan data yang dilakukan dengan memberikan secara langsung maupun tidak langsung kuesioner berbentuk booklet pada subjek sesuai dengan karakteristik penelitian. Lokasi pengambilan data dapat secara langsung maupun tidak langsung. Lokasi pengambilan data tersebar dari mulai lingkungan kampus, sekolah, maupun rumah pribadi. Peneliti juga menyebarkan kuesioner secara

online via e-mail pada beberapa subjek. Seluruh instruksi dalam alat ukur ini diberikan secara individual baik secara langsung maupun dari yang tertera di lembar pengisian. Peneliti kemudian menghubungi beberapa orang yang tergabung dalam forum serta group yang masih merupakan karakteristik dari subjek penelitian yaitu dewasa muda dari keluarga bercerai.

(14)

III.6. Metode Pengolahan Data

Adapun teknik analisis dalam pengolahan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut.

1. Statistik Deskriptif

Statistika deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai karakteristik dari sampel penelitian berdasarkan nilai rata-rata (mean), frekuensi, dan persentase dari skor yang didapatkan.Adapun data yang peneliti olah dalam statistik deskriptif adalah daerah asal subjek, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama subjek menjalin hubungan dengan pacarnya, rencana pernikahan subjek, lama perceraian orang tua subjek, usia subjek ketika orang tua bercerai, tempat tinggal subjek saat ini dan status pernikahan orang tua subjek setelah bercerai.

2. Pearson Correlation

Teknik pengolahan data pearson correlation digunakan untuk mengetahui besar dan arah hubungan linier antara kedua variabel yang diukur (Gravetter & Wallnau, 2008). Dalam penelitian ini, teknik korelasi Pearson digunakan untuk mengkorelasikan antara skor optimisme terhadap hubungan dengan skor kesiapan menikah, serta mengkorelasikan antara skor optimisme terhadap hubungan dengan skor pada tiap area dalam kesiapan menikah.

3. Independent Sample T-test

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean

antara dua kelompok data yang berdiri sendiri satu sama lainnya (Gravetter & Wallnau, 2008). Teknik digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean

antara dua kelompok sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah ditinjau dari jenis kelamin, usia, status pernikahan ayah dan ibu.

4. One-Way Analysis of Variance (ANOVA)

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean

antara dua kelompok atau lebih yang saling berdiri sendiri satu sama lainnya (Gravetter & Wallnau, 2008). Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok atau lebih sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan signifikansi perbedaan mean optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah

(15)

ditinjau dari pendidikan,pekerjaan, tempat tinggal, agama, usia bercerai, dan aspek rencana pernikahan.

IV. Hasil Penelitian

IV.1. Gambaran Umum Optimisme Terhadap Hubungan

Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan bahwa nilai rata-rata skor total optimisme terhadap hubungan subjek sebesar 16,56. Nilai minimum untuk skor total optimisme terhadap hubungan adalah sebesar 5, sedangkan nilai maksimum skor total optimisme terhadap hubungan adalah 20. Standar deviasi untuk optimisme terhadap huungan sebesar 2,595. Melalui rata-rata skor total dan standar deviasi, peneliti dapat melakukan penghitungan true score dari skor total optimisme terhadap hubungan subjek dan didapatkan hasil yaitu sebesar 13,96 – 19,11. Selanjutnya, berdasarkan persebaran skor optimisme terhadap hubungan, ditemukan bahwa terdapat partisipan yang memiliki skor di atas rata-rata sebanyak 39 orang, sementara terdapat 16 partisipan memiliki skor optimisme terhadap hubungan di bawah rata-rata.

IV.2. Gambaran Optimisme terhadap Hubungan Ditinjau dari Data Demografis Partisipan Penelitian

Dalam melakukan perhitungan mengenai hubungan antara optimisme terhadap hubungan dan data demografis penelitian, peneliti menggunakan dua teknik, yaitu

independent sample T-test untuk melihat gambaran perbedaan mean kesiapan menikah berdasarkan variabel jender, dan one-way analysis of variance (ANOVA) untuk melihat gambaran perbedaan mean optimisme terhadap hubungan berdasarkan variabel usia, pendidikan, usia ketika orang tua bercerai dan status pernikahan orang tua subjek setelah bercerai. Hasil pengolahan data yang akan disajikan pada bagian ini hanya data demografis yang memiliki perbedaan mean ataupun korelasi yang signifikan pada tiap variabel optimisme terhadap hubungan. Dengan kata lain, jika tidak ditemukan adanya perbedaan

mean atau korelasi yang signifikan, maka tidak akan dijabarkan sebagai hasil tambahan penelitian, melainkan hanya dilampirkan pada bagian lampiran.

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor kesiapan menikah yang cukup signifikan pada dewasa muda dari keluarga bercerai untuk kelompok kategorisasi di\tinjau dari variabel jender, dan tingkat pendidikan. Sedangkan, terkait dengan usia anak ketika mengalami perceraian orang tua, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor optimisme terhadap hubungan yang cukup

(16)

signifikan pada dewasa muda dari keluarga bercerai dengan nilai F sebesar 0.576, signifikansi 0.718 (p > 0.05).

IV.3. Gambaran Umum Kesiapan Menikah

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, didapatkan bahwa nilai rata-rata skor total kesiapan menikah subjek penelitian adalah 189.33 dengan standar deviasi sebesar 22.67. Nilai minimum untuk skor kesiapan menikah adalah sebesar 145, sedangkan nilai maksimum skor total kesiapan menikah sebesar 240. Melalui rata-rata skor total dan standar deviasi, peneliti dapat melakukan penghitungan true score dari skor total kesiapan menikah subjek dan didapatkan hasil yaitu sebesar 166,65 – 212,01. Selanjutnya, berdasarkan persebaran skor kesiapan menikah di atas, dapat dilihat bahwa terdapat partisipan yang memiliki skor di atas rata-rata sebanyak 43 orang, sementara terdapat 12 partisipan memiliki skor kesiapan menikah di bawah rata-rata.

IV.4. Gambaran Kesiapan Menikah Ditinjau dari Data Demografis Partisipan Penelitian

Dalam melakukan perhitungan mengenai hubungan antara kesiapan menikah dan data demografis penelitian, peneliti menggunakan dua teknik, yaitu independent sample T-test dan one-way analysis of variance (ANOVA). Hasil pengolahan data yang akan disajikan pada bagian ini hanya data demografis yang memiliki perbedaan mean ataupun korelasi yang signifikan pada tiap variabel optimisme terhadap hubungan. Dengan kata lain, jika tidak ditemukan adanya perbedaan mean atau korelasi yang signifikan, maka tidak akan dijabarkan sebagai hasil tambahan penelitian, melainkan hanya dilampirkan pada bagian lampiran.

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor kesiapan menikah yang cukup signifikan pada dewasa muda dari keluarga bercerai untuk kelompok kategorisasi ditinjau dari variabel jender, usia , usia ketika orang tua bercerai, dan tingkat pendidikan.

IV.5. Hubungan antara Optimisme terhadap Hubungan dan Kesiapan Menikah Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan teknik analisis Pearson Product Moment untuk mengetahui hubungan antara optimisme dalam hubungan dan kesiapan menikah, diketahui bahwa nilai koefisien korelasi antara optimisme dalam hubungan dan kesiapan menikah adalah sebesar r = 0.268 dengan p < 0.05 dengan arah positif. Artinya, semakin tinggi optimisme terhadap hubungan, maka semakin tinggi kesiapan menikahnya. Hubungan yang signifikan ini membuat hipotesis null (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif

(17)

(Ha) diterima, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah.

Di samping melihat hubungan optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah secara keseluruhan, peneliti juga melakukan analisis terhadap hubungan antara optimisme terhadap hubungan dan delapan area kesiapan menikah..Dari hasil perthitungan ditemukan bahwa hanya terdapat tiga area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif dan signifikan dengan optimisme terhadap hubungan.

Area pertama adalah area Agama dengan nilai r sebesar 0.308 (p < 0.05). Artinya adalah semakin baik persepsi individu akan penempatan nilai agama/religiustias dalam hubungannya dengan pasangan, maka semakin tinggi optimismenya terhadap hubungan. Area kedua adalah Latar Belakang Pasangan dan Relasi dengan Keluarga Besar dengan nilai

r sebesar 0.306 (p < 0.05), yang artinya adalah semakin baik persepsi individu terhadap nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu, serta relasi dengan anggota keluarga pasangan, maka semakin tinggi pula optimismenya terhadap hubungan. Area terakhir, yakni area ketiga adalah Minat dan Pemanfaatan Waktu Luang dengan nilai r sebesar 0.238 (p < 0.05), yang artinya semakin positif persepsi individu terhadap minat pasangan, dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan maka semakin tinggioptimisme terhadap hubungannya. Dari hasil penelitian juga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi optimisme terhadap hubungan maka semakin positif persepsi individu terhadap agama, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, serta pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan.

V. Diskusi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah yaitu dengan r = 0.268 (p<0,05) pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Kedua variabel penelitian terbentuk ketika pasangan menjalin masa pacaran. Dengan adanya optimisme terhadap hubungan, maka terbentuk pandangan positif mengenai masa depan hubungannya kelak. Dengan terbentuknya optismisme terhadap hubungan tentunya akan mempengaruhi usaha-usaha pasangan dalam mempertahankan hubungannya termasuk dalam mempelajari dan beradaptasi dalam beberapa hal, misalnya saja seperti latar belakang keluarga pasangan, minat pasangan, agama, bagaimana pasangan memandang pembagian peran suami-istri, pandangan mengenai pengasuhan anak, dimana hal-hal tersebut merupakan area yang ada di

(18)

dalam kesiapan menikah. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Karney&Bradbury (1995, dalam Assad, Donellan, & Conger, 2007) yang menemukan bahwa optimisme terhadap hubungan menjadi faktor tetap yang mempengaruhi masa depan hubungan karena berpengaruh terhadap bagaimana pasangan beradaptasi didalam hubungannya.

Selain melihat hubungan antara kedua variabel penelitian, secara spesifik peneliti mengukur kedelapan area dalam kesiapan menikah yang dihubungkan pada optimisme terhadap hubungan. Dari hasil penghitungan statistik, terdapat tiga area dalam kesiapan menikah yang berhubungan dengan optimisme terhadap hubungan. Ketiga area tersebut adalah latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, dan minat dan pemanfaatan waktu luang. Area kesiapan menikah yang mempunyai korelasi paling tinggi dengan optimisme terhadap hubungan adalah area agama, dengan nilai r sebesar 0.308 (p < 0.05), yang artinya, semakin tinggi optimisme terhadap hubungannya maka semakin baik persepsi individu akan penempatan nilai agama/religiustias dalam hubungannya dengan pasangan. Kepercayaan dalam agama juga berhubungan dengan komitmen dalam pernikahan yang didorong melalui dukungan spiritual ketika dalam keadaan sulit. Thornton dan Krishnan (1994) mengungkapkan bahwa agama yang berkorelasi dengan pandangan mengenai religiusitas, secara kuat berhubungan dengan toleransi antar pasangan. Hal ini terlihat dari tingkat toleransi beragama yang secara positif berkorelasi dengan toleransi individu terhadap masalah-masalah yang dihadapi dalam suatu hubungan. Yang artinya, semakin besar level toleransi keagamaan antara pasangan maka semakin besar pula toleransi dalam menghadapi masalah yang timbul didalam hubungan mereka. Ditambahkan, menurut Thornton dan Krishnan (1994) toleransi beragama yang timbul diantara pasangan akan mengurangi resiko perceraian.

Area kesiapan menikah lain yang berhubungan dengan optimisme terhadap hubungan adalah area latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, dengan nilai r sebesar 0.306 (p < 0.05), yang artinya semakin baik persepsi individu terhadap nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu, serta relasi dengan anggota keluarga pasangan hubungan. Terkait dengan konteks penelitian ini, individu yang telah mencapai dewasa muda tentunya memiliki pandangan yang berbeda mengenai pernikahan dibandingkan dewasa muda yang bukan dari keluarga bercerai. Hasil perhitungan dari penelitianyang dilakukan ternyata tidak sejalan dengan penelitian Carnelly dan Bulmans (1992, dalam Johnson, 2009), yang dilakukan pada sejumlah mahasiswa yang mempunyai pasangan menunjukan adanya rating optimisme yang tinggi akan hubungan di

(19)

masa depan yang ditemukan pada anak dari keluarga non-divorced, sebaliknya anak dari keluarga bercerai lebih menunjukan rating yang rendah dalam optimisme akan hubungan di masa depan. Menurut hasil penelitian ini, anak dari keluarga bercerai cenderung mempunyai ketakutan tersendiri akan masa depan hubungannya. Pandangan ini berbasis hasil pengalaman pribadinya mengenai hubungan percintaan kedua orang tua mereka.

Selain itu, terdapat hubungan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah dalam area minat dan pemanfaatan waktu luang yang signifikan dengan nilai r sebesar sebesar 0.238 (p < 0.05). Hasil analisis tersebut dapat diinterpretasi bahwa semakin tinggi optimisme terhadap hubungannya semakin positif persepsi individu terhadap minat pasangan, dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan. Secara konseptual optimisme juga berhubungan dengan pemanfaatan waktu luang pada pasangan. Neulinger (1981; Tinsley & Tinsley 1986, dalam Cowan& Hood, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme berhubungan dengan pemanfaatan waktu luang yang merupakan salah satu pengalaman hidup. Individu yang optimis, cenderung mencari pengalaman hidup yang berbeda dan menyenangkan, berpikir positif akan setiap aspek dalam mendapatkan pengalaman hidupnya. Berbeda dengan individu yang pesimis dan cenderung mempunyai pandangan negatif terhadap hidupnya, sehingga cenderung memiliki persepsi yang negatif akan kejadian-kejadian di dalam hidupnya dan memilih untuk tidak memanfaatkan waktu luang. .

Aspek demografis lain yang dianggap menarik adalah mengenai status pernikahan ayah dan ibu saat ini. Dari data hasil perhitungan aspek demografis status pernikahan ayah dan ibu terdapat perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Ditemukan bahwa status pernikahan kembali ayah (remarriage) lebih tinggi yaitu sebesar 67.3%, dibandingkan pada status pernikahan kembali ibu yang hanya sebesar 45.5%. Data di Inggris menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepalakeluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dalam kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fakta yang terjadi di Inggris tersebut akan menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia (Alvita, 2008, dalam Listiyanto, 2012). Hal serupa juga ditunjukan pada hasil penelitian Bramlett dan Mosher (2001, dalam Secombe & Warner, 2004) yang menemukan bahwa pria cenderung untuk lebih cepat menikah kembali dibandingkan wanita, dengan rata-rata pria menikah kembali setelah tiga tahun bercerai sedangkan pada wanita dengan rata-rata lima tahun setelah perceraian. Namun hasil penelitian ini dipengaruhi pula oleh faktor usia, edukasi, serta usia anak, dimana ngka pernikahan kembali yang rendah merujuk pada usia wanita yang sudah lebih tua dan

(20)

memiliki anak dengan usia diatas enam tahun. Selain itu, sebagian besar wanita juga menolak untuk menikah kembali karena fokus untuk membesarkan anak serta berperan ganda didalam keluarga (Secombe& Warner, 2004).

VI. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pandangan positif mengenai masa depan suatu hubungan individu dengan pasangannya yang mempengaruhi usaha seseorang dalam mempertahankan hubungannya, berhubungan dengan kemampuan yang dipersepsi oleh individu tersebut dalam menjalani berbagai peran dalam sebuah pernikahan. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa semakin tinggi optimisme terhadap hubungan maka semakin tinggi pula kesiapan menikahnya.

Selain itu, dari hasil analisis juga didapatkan hasil bahwa dari delapan area kesiapan menikah, terdapat tiga area yang memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap optimisme terhadap hubungan, yaitu area latar belakang keluarga pasangan dan relasi dengan keluarga besar yang artinya adalah, semakin tinggi optimisme individu terhadap hubungan maka semakin baik pula persepsi individu terhadap nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu, serta relasi dengan anggota keluarga pasangan. Kemudian area kedua adalah area agama, dimana semakin tinggi optimisme individu terhadap hubungan maka semakin baik persepsi individu akan penempatan nilai agama/religiustias dalam hubungannya dengan pasangan. Area ketiga adalah minat dan pemanfaatan waktu luang, semakin tinggi optimisme individu terhadap hubungan, semakin baik persepsi individu terhadap minat pasangan, dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan.

Selanjutnya, berdasarkan pada gambaran umum persebaran skor total optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah, didapatkan hasil bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki total skor di atas rata-rata untuk kedua variabel tersebut. Di samping itu, berdasarkan hasil analisis data, tidak terdapat perbedaan mean optimisme maupun kesiapan menikah bila dilihat dari data demografis yang merupakan aspek-aspek demografis yang ditemukan dari subjek penelitian, yang ditinjau dari beberapa kelompok kategorisasi variabel jender, usia, tingkat pendidikan, usia subjek ketika orang tua bercerai, serta status pernikahan orang tua subjek setelah bercerai.

(21)

VII. Saran

VII.1. Saran Metodologis

 Memperpanjang waktu pengambilan data karena subjek penelitian ini sulit untuk mendapatkan subjek yang benar-benar memenuhi karakteristik penelitian dan dengan jumlah yang cukup besar.

 Mencari komunitas yang sesuai dengan karakteristik penelitian. Membangun rapor yang baik dengan komunitas tersebut, sehingga dapat membantu peneliti mengambil data yang sesuai karakteristik dalam jumlah yang cukup besar.  Selain melakukan pengambilan data secara kuantitatif, sebaiknya peneliti juga

melakukan wawancara untuk memperdalam hasil penelitian.

 Terkait dengan jumlah item pada kuesioner yang banyak, sebaiknya kuesioner penelitian tidak menggabungkan lebih dari dua kuesioner, sehingga jumlah item dalam kuesioner tidak begitu banyak dan mengurangi resiko kelelahan pada subjek penelitian.

VII.2. Saran Praktis

 Bagi para psikolog dan konselor pranikah, diharapkan melakukan bimbingan pranikah dengan memperhatikan area-area kesiapan menikah seperti komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Area-area ini diharapkan nantinya dapat meningkatkan kualitas pernikahan bagi pasangan yang mengikuti bimbingan pernikahan

 Bagi para psikolog dan konselor pranikah, diharapkan untuk memperhatikan latar belakang status orang tua bercerai yang dapat memberikan pengaruh dalam hal pandangan akan pernikahan yang berbeda, terutama pada pasangan yang hendak menikah

VIII. Kepustakaan

Amato, P. R. & DeBoer, D. D. (2001). The Transmission of Marital Instability Across Generations: Relationship Skills or Commitment to Marriage. Journal of Marriage and Family. Vol. 63, Hal. 1038-1051. Badger, S. (2005). Ready or not? Perception of marriage readiness among emerging adults. Disertasi. Brigham Young University.

(22)

Assad, K. K., Donnellan, M. B., & Conger, R. D. (2007). Optimism: An enduring resource for romantic relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 93, 285-297. Blood, R.O. (1969). Marriage 2nd ed. Toronto: Collier-Macmillan Canada, Ltd.

Carnelley, Katherine B. & Bulman, Ronnie Janoff. (1992). Optimism about Love Relationships: General vs Specific Lessons from One's Personal Experiences. Journal of Social and Personal Relationships.

Ciccarelli, S. K. & Meyer, G.E. (2006). Psychology. New jersey: Pearson Education, Inc.. Conger, R. D., Cui, M., Bryant, C. M., & Elder, G. H., Jr. (2000). Competence in early adult

romantic relationships: A developmental perspective on family influences. Journal of Personality and Social Psychology, 79, 224-237.

Cowan, Jarel. (2005). Optimism and The Leisure Experience. University of Central Oklahoma Colleen Deyell Hood, Brock University.

DeGenova, M.K. (2008). Intimate Relationships, Marriages, & Families (7th ed.). New York: McGraw-Hill.

DeLap, H. (2000). Personal Readiness for Marriage in Adult Children of Alcoholics and Adult Children of Non-Alcoholics. USA: University of Wisconsin-Stout.

Detiknews. (2011). Tingkat Perceraian di Indonesia Meningkat. Diakses, 10 Oktober, 2012,

http://news.detik.com/read/2011/08/04/124446/1696402/10/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat.

Dunlop, R&Burns,A. (1995). The Sleeper Effect—Myth or Reality?. Journal of Marriage and the Family. Minneapolis.

Duvall, E.M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development (6th ed.). New York: Harper and Row Publishers Inc.

Graveter, F.J., & Forzano, L.B. (2007) Research Methods for The Behavioral Science.

Belmont: Wadsworth.

Guilford, J.P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education (6th ed). Singapore: McGraw-Hill, Inc.

the Family, 59(2), 375-388. Retrieved from ProQuest Education Journals database.

Holman, T. B. & Li, B. D. (1997). Premarital factors influencing perceived readiness for marriage. Journal of Family Issues, 18 (2), 124-144.

Holman, T. B., Larson, J. H., & Harmer, S. L. (1994). The development and predictive validity of a new premarital assessment instrument: The preparation for marriage questionnaire. Family Relations, 43 (1), 46-53.

(23)

Hjelle, L. A., Busch, E. A., & Warren, J. E. (1996). Explanatory style, dispositional optimism, and reported parental behavior. Journal of Genetic Psychology,157(4), 489-499.

Johnson, Veronica Ida. (2009). The Effects of Intimate Relationship Education on Relationship Optimism and Attitudes Toward Marriage. Disertation. Missoula: The University of Montana.

Krishnan, V. (1994) The Impact of Wives’ Employment on Attitudes Toward Divorce, In:

Journal of Divorce and Remarriage, 22(1/2):87-101.

Kumar, R. (2005). Research Methodology: a step by step guide for beginners (2nd edition).

London: SAGE Publication.

Larson, J. H., Benson, M. J., Wilson, S. M. dan Medora, N. (1998). Family of Origin Influences on Marital Attitudes and Readiness for Marriage in Late Adolescents. Journal of Family Issues. Vol. 19. 765

Listiyanto, Dwi Budi. (2012). Agresitivas Remaja yang Memiliki Orang Tua Tunggal (Single Parent) Wanita. Skripsi. Universitas Esa Unggul.

Murray, S. L., & Holmes, J. G. (1997). A leap of faith? Positive illusions in romantic relationships. Personality and Social Psychology Bulletin, 23, 586-604.

Olson, D., & DeFrain, J. (2006). Marriage and Families Intimacy, Diversity, and Strengths (5th ed.). New York: McGraw-Hill.

Olson, D., Larson, P.J., Olson, A. K. (2009). PREPARE/ENRICH Program: Customized Version (2009). Minnesota: Life Innovations, Inc

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Scheier, M.F., Carver, C.S., & Bridges, M.W. (2001). Optimism, Pessimism, and Psychological Well-Being. In Optimism & Pessimsm:Implication for Theory, Research, and Pratice. Edit by Chang, E.C. American Psychology Association. 395: 189-216. Seccombe, K., Warner, R.L. (2004). Marriage and Families: Relationship in Social Context.

Canada: Thomson Learning, Inc.

Srivastava, S., & Angelo, K. M. (2009). Optimism, effects on relationships. In H. T. Reis and S. K. Sprecher (Eds.), Encyclopedia of human relationships. Thousand Oaks, CA: Sage Thornton, A. (1985). Changing attitudes toward separation and divorce and consequences, In:

American Journal of Sociology, 90(4):856-872.

William, B.K., Sawyer, S.C., & Wahlstrom, C.M. (2006). Marriages, Families, & Intimate Relationship: a Practical Introduction. Boston: Pearson Education, Inc.

(24)

Wiryasti, C.H. (2004) Modifikasi dan Uji Validitas dan Reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

http://www.beritanusa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=953&catid=28 &Itemid=106 diunduh pada 22 Oktober 2012 pukul 19:53 WIB.

http://eksposnews.com/mobile/content/41991 diunduh pada 18 Oktober 2012 pukul 20.40 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi selalu menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan intravena yang diberikan selama

Hasil penelitian pada campuran aspal panas dengan berbagai variasi kadar filler menunjukkan bahwa Hasil penelitian pada campuran aspal panas dengan berbagai variasi kadar

Siswa memiliki kemampuan yang kurang baik untuk menafsirkan trend fashion, dan kemampuan mengekstrapolasi termasuk kedalam kategori cukup dengan frekuensi relatif

adalah obat yang digunakan sebagai penenang untuk mengatasi kecemasan dan panik, Alprazolam termasuk obat dalam kelompok. INDIKASI

Konsep desain taman rumah tinggal tradisional Madura adalah adanya ruang publik ( taneyan ) berbentuk axis yang menghubungkan pintu masuk dengan ruang semi publik ( langghar )

Sertifikasi pelatihan staf tentang komunikasi pemberian informasi dan edukasi yang efektif untuk mendorong keterlibatan pasien dan keluarganya dalam proses

Tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun