• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: egalitarianism, hak politik, makassar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: egalitarianism, hak politik, makassar."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

(Sebuah Kajian tentang Hak-hak Politik Non-Muslim di Tengah-tengah Mayoritas Muslim di Kota Makassar)

Oleh: Usman∗

Abstrak

Secara ideal, sistem sosial-politik Islam bersifat egaliter. Hal ini terutama dapat dilihat pada masa awal-awal Islam. Nabi dan para khalifah penggantinya tidak mempersyaratkan agama sebagai landasan kerjasama keduniaan. Hanya saja dalam rentang sejarah Islam yang panjang, terutama setelah kemunculan juris-juris Islam corak egalitarianism tersebut pelan-pelan memudar dan berganti dengan diskriminasi terutama terhadap orang-orang non-Muslim misalnya dengan kemunculan konsep dzimmi.

Konsepsi egaliterianisme dalam Islam dapat dijadikan semacam tolok ukur dalam melihat sebuah fakta sosial yang ada di tengah-tengah komunitas yang mayoritas Muslim, dalam konteks penelitian ini adalah kota Makassar. Dari hasil penelitian yang dilakukan ditarik kesimpulan bahwa non-muslim di Makassar memiliki hak-hak politik yang sama dengan umat Islam. Belum adanya pemimpin politik non-Muslim di Makassar lebih disebabkan oleh domain politik yang belum menjadi satu wilayah yang cukup digemari dan diminati secara serius dan antusias oleh para politisi non-muslim. Hubungan keagamaan sesama warga Islam sangat kuat dan mengakar dalam budaya masyarakat daerah ini juga menjadi salah satu faktornya, Di samping itu, mungkin di kalangan politisi non-muslim kurang memiliki kualitas dan prestasi managerial atau masih berada di bawah kualitas dan prestasi politisi umat Islam.

Kata kunci: egalitarianism, hak politik, makassar.

A. Pendahuluan

Di antara isu yang mendapat perhatian cukup besar sepanjang sejarah kemanusiaan adalah isu egalitarianisme. Isu yang merupakan fenomena global dan universal hadir di tengah-tengah keanekaragaman klaim kebenaran, kepantasan dan kepatutan absolut antara warga negara yang saling berseberangan keyakinan agama dan kepentingan politiknya. Ada warga negara yang mengklaim dirinya paling berhak, benar, dan pantas, sementara yang lain tidak berhak, salah dan tidak pantas. Klaim ini kemudian melahirkan keyakinan atau doktrin bahwa kepemimpinan

(2)

politik1 itu merupakan hak absolut warga negara tertentu saja, sedangkan warga negara lain tidak. Fenomena ini dapat dijumpai dan amati dalam kehidupan sosial politik yang merasa memiliki superioritas sosial dan kewarganegaraan yang mengantarkan prinsip egalitarian menjadi perbincangan banyak pihak terutama di kalangan intelektual. Berbagai metode analisis telah dilakukan untuk memahami klaim superioritas tersebut, antara lain dengan menghubungkan egalitarian dengan pendekatan politik.

Isu egalitarian ini diletakkan sebagai pemberi andil yang amat besar dalam menciptakan iklim yang bersifat egaliter, namun pada masyarakat yang merasa memiliki superioritas kewarganegaraan dan keyakinan keagamaan dapat mendorong lahirnya sistem sosial yang bersifat diskriminatif dan subordinatif serta menambah pula munculnya ideologi primordial sektarianistik, seperti golongan Yahudi mengklaim dirinya sebagai hamba Allah yang terpilih, kekasih dan kerabat-Nya, karena itu, menurut syari’atnya, mereka harus memisahkan diri dari yang lain.2

Fenomena ini kemudian ditambah dengan fenomena munculnya kelas-kelas sosial dalam kehidupan masyarakat.3 Demikian pula agama di dalam perkembangannya telah membentuk status perbedaan antara sesama manusia,4 serta munculnya di berbagai penjuru dunia ideologi yang bersifat diskriminatif dengan menghapus persamaan derajat manusia.5 Di Indonesia suasana seperti itu juga terjadi sebagai akibat dari penjajahan

1 Yang dimaksud dengan kepemimpinan politik dalam kajian ini adalah hal-hal

yang menyangkut kepemimpinan dan jabatan dalam pemerintahan, seperti Presiden. Nanang Tahqiq (ed), Politik Islam, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2004), p. 123.

2 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas non-Muslim dalam Komunitas Muslim,

cet. I, (Bandung: Angkasa, 2003), p. 1.

3 Kelas-kelas dibedakan dengan melihat status sosial anggota-anggotanya, apakah

itu status formal atau formal. Sudarmiji yang mengutip pendapat Jon Elster, Marxisme: Analisis Kritis, (Jakarta-Indonesia: PT. Prestasi Pustakarya, 2000), p. 171.

4 Menurut agama Hindu, bila orang non-Hindu baik Muslim atau orang Nasrani

makan menggunakan piring maka piringnya dianggap tidak suci dan harus dibersihkan/disucikan. Sama halnya darah seorang Brahmana dianggap lebih tinggi dari pada darah seseorang yang berkasta renda (sudra) yang dilahirkan untuk melayani orang-orang Brahmana. A. Rahman I. Doi, Shari’ah: The Islamic Law, cet, XII, (Kuala Lumpur: A.S. NOORDEEN, 2002), p. 434.

5 Orang-orang kulit hitam (Negro) di Amerika misalnya mengalami diskriminasi

dengan orang-orang yang berkulit putih. Padahal mereka masih dalam satu sistem kenegaraan. Orang-orang kulit putih merasa enggan jika harus bersanding, berdomisili, dan berintekrasi dengan orang-orang Negro. Hal senada juga tercermin pada orang-orang kulit putih di Afrika Utara yang memandang hina orang-orang Negro. Demikian juga yang terjadi dalam kasus Apartheid di Afrika Selatan, hanya kulit putih yang mendapatkan hak-hak tertentu dan hak-hak istimewa, sedangkan kulit hitam tidak mendapatkan hak. Lebih dari itu mereka bahkan menganggapnya sebagai warga kelas dua atau kelas tiga.

(3)

oleh negara-negara asing, sehingga di dalam masyarakat terdapat pula perbedaan kelas dan status sosial yang mewarnai perjalanan sejarahnya, seperti feodalisme6 dan primordialisme yang sangat kuat.7

Terlepas dari itu semua, fenomena egalitarian dalam Islam telah menjadi fakta sosial yang harus dihadapi masyarakat modern. Manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara, dalam satu wilayah, satu kota, dan bahkan dalam satu lorong yang sama. Fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri, sehingga memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi maupun pendekatan dalam merespon problematika tersebut.

Untuk maksud itu, Islam sejak 14 abad yang silam telah mendeklarasikan persamaan universal bagi semua manusia, bahwa semua manusia berasal dari Tuhan,8 dan tidak ada keistimewaan atau kelebihan dari yang lain, kecuali karena kualitas takwanya,9 yang tercermin dalam sifat-sifat baik yang ia miliki dan amal perbuatan baik yang ia lakukan. Pada saat yang lain Nabi juga menyampaikan pesan Tuhan tentang kehidupan sosial kemanusian bahwa Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.10

Tiga teks suci di atas memperlihatkan dengan sangat jelas tentang pesan egalitarianisme Islam. Ayat-ayat ini menegaskan tentang kesetaraan manusia dan penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan identitas-identitas yang diciptakan oleh sistem sosial. Pada saat yang sama ayat-ayat ini juga mengemukakan gagasan yang besar tentang persaudaraan manusia, bahwa umat Islam tidak dilarang berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan memerangi mereka karena alasan agama. Karena itu, umat Islam tidak harus menerima mereka dengan sinis, bekerja sama dengan mereka di atas prinsip arogansi

6 Feodalisme maksudnya seseorang menempatkan dirinya di masyarakat sebagai

bangsawan yang merasa berbeda status sosialnya dengan orang lain, sehingga harus dihormati dan dihargai melebihi masyarakat pada umumnya. Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, cet. I, (Bandung: Alumni, 1978), p. 106.

7 Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, cet. I, (Bandung: Mizan, 1999), p.

2.

8 Q.S. an-Nisa: 1 9 Q.S. al-Hujurat: 13 10

(4)

dan memandang dengan kaca mata yang menang di atas yang kalah. Tetapi sebaliknya harus membina persaudaraan kepada mereka di dalam menjalani proses dan problem kehidupan bersama.

Sebagai warga negara, non-muslim memiliki hak-hak politik yang sama dengan umat Islam dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti hak untuk mengungkapkan pendapat dan melaksanakan aktivitasnya, baik intelektual maupun politik, melalui sistem-sistem atau partai-partai yang sesuai dengan mereka.11 Ekspresi kebebasan politik mereka mencakup turut ambil bagian dalam pemerintahan, memilih dan dipilih, mengoreksi, mengkritik dan memberikan opini dalam pemerintahan,12 termasuk hak untuk menjadi kepala negara.13 Perbedaan terma muslim dengan non-muslim hanyalah salah satu administrasi politik dan bukan perbedaan dalam hak-hak manusianya.14

Gagasan mengenai persamaan hak-hak politik warga negara non-muslim terhadap mayoritas non-muslim tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dengan nilai-nilai yang luhur. Namun gagasan tersebut berbeda dengan teks-teks suci Islam, yakni Al-Qur’an. Karena terdapat paling tidak, dua ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan normatif bagi larangan mengangkat non muslim (Yahudi, Nasrani dan orang-orang Kafir) untuk menjadi pemimpin di tengah-tengah mayoritas muslim.15

Komunitas kafir16 sebagaimana Yahudi dan Nasrani termasuk Ahl Kitab dengan status kewarganegaraannya terkesan dianggap sebagai kelas

11 Musthafa Muhammad Thahhan, Tantangan Politik Negara Islam”, cet. I, (Malang:

Pustaka Zamzami, 2003), p. 64.

12Ibid., p. 48.

13 Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak-hak

Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), p. 35. Lihat pula Fahmi Huwaidi “Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak Antar Warga Negara” dalam Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), pp. 159-195.

14 A. Rahman I. Doi, Shari’ah, p. 537. 15

Q.S. Al-Maidah: 51 dan Q.S. Ali Imran: 28

16 Yang dimaksud dengan “kafir” dalam ayat itu adalah orang-orang yang berbeda

paham dan keyakinan dengan Umat Islam yakni menolak kebenaran dari Tuhan yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Pengertian ini pertama kali digunakan oleh Al-Qur’an untuk menyebut kafir Mekkah seperti terlihat dalam ayat 10 surat Al-Mudadtsir, yakni dalam bentuk jamak “al-Kafirin”. Sejak itu pemakaian bentuk ini sering digunakan, bahkan ada sebuah surat khusus yang dinamakan “al-Kafirun” yaitu surat ke-109. Lihat Departemen Agama Diretur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: CV Anda Utama, t.tp), pp. 531-2.

(5)

dua di bawah muslim,17 seperti yang terdapat dalam surat Al-Taubah (9): 29, sehingga para juris Islam klasik, termasuk Sayyid Qutub dan Sayyid Hawwa memahami bahwa non-muslim tidak mempunyai hak politik dalam mengelola pemerintahan dalam arti menjadi pemimpin politik dalam sebuah komunitas muslim.18 Karena itu, umat Islam dilarang menjadikan mereka sebagai pemimpinnya. Ini berarti bahwa dalam sebuah komunitas muslim, warga negara non-muslim kehilangan salah satu hak politiknya, yaitu hak untuk mencalonkan diri atau dipilih menjadi pemimpin politik.

Cara berpikir seperti itu memudahkan para analis Barat yang phobi terhadap Islam, seperti Rousseau, Stuart Mill, dan Renan untuk menjustifikasi pendapatnya bahwa Islam tidak akan dapat melahirkan suatu masyarakat yang rasional dan modern. Salah satu indikasinya adalah karena kemerdekaan politik menurut mereka tidak mempunyai akar hukum di dunia Islam.19

Daya tarik Islam yang mendasar dalam perspektif Bill Dalton justru terletak pada watak dasar Islam yang secara radikal bersifat egaliter.20 Faktor inilah yang paling fundamental dan dinamis dari etika sosial politik yang dibangun oleh Islam pada satu sisi dan preseden Nabi dan empat khalifah sesudahnya di sisi lain. Dengan prinsip egalitarianisme jelas merupakan salah satu unsur terpenting dalam doktrin sosial politik Islam serta nilai demokratis ini pula yang dimiliki oleh Islam yang menjadi daya tarik utamanya di masa silam,21 sehingga Nurcholihs Madjid yang mengutip pendapat Robert N. Bellah mengatakan bahwa Islam mempunyai potensi untuk memandu umatnya menuju masyarakat modern.22

Anggapan sementara sebagian umat Islam mengenai perlunya pemutusan hubungan dengan non-muslim dan membenci mereka,

17 Nanang Tahqiq (ed), Politik, pp. 123-128. Lihat pula Muhammed Arkoun,

Rethinking Islam, diterjemahkan oleh Yudian W. Amin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), pp. 88-90.

18 Sayyid Qutub, Fi Zilal Al-Qur’an, jilid 2 (Beirut: Dar al-Syuruq, t.th. ), p. 907.

lihat pula Sayyid Hawwa, al-Madkhal Ila Da’wah Ikhwan al-Muslimin, (t.tp., tp., t,th.), p. 346.

19 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas Islam,

cet. I, (Bandung: Angkasa, 2003), p. 5 dan lihat pula Jean Claude Vatein, "Human Right in Islam", dalam Philosophy and Public Policy, (Southen Illionis Uni Press, 1980), pp. 354-420.

20 Ibid., dan lihat pula Bill Dalton, Indonesia Handbook, (California: Moon

Publications, 1987), p. 6.

21Ibid.,

22 Nurcholish Madjid, Islam Kemerdekaan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,

(6)

menurut para pakar, seperti Al-Gazali dan Nurcholish Madjid, muncul karena kekeliruan memahami konteks ayat. Pada hal dua ayat yang dikemukakan di atas yakni pada surat Al-Maidah: 51 dan Ali Imran: 28, menurut Al-Gazali, turun dalam kondisi di mana orang-orang non-muslim yang berbuat zalim atau sewenang-wenang terhadap umat Islam, memerangi kaum muslimin, sengaja menghina Islam, mengotori sejarah perjalanannya yang suci dan menjatuhkan pemeluknya. Dalam kondisi semacam ini kaum Muslimin memang diharuskan menjauhi orang-orang non-muslim dan tidak boleh mengangkat mereka sebagai pemimpin umat.23

Sementara Nurcholish Madjid memahami bahwa sikap serupa itu muncul karena faktor psikologis-politis. Munculnya zaman yang didominasi oleh bangsa-bangsa yang bukan Muslim sekarang ini, disertai masa jajahan yang pahit, telah mendorong sementara kelompok Muslim termasuk di negeri ini bersikap dan berpandangan esklusifistis terhadap non-muslim. Lebih dari itu bahkan seringkali disertai dengan sikap-sikap fundamentalis atau radikal terhadap orang-orang non-muslim.24

Setelah mencermati masalah ini dengan saksama dan mencoba memahami nalar gagasan ini, khususnya doktrin teologis yang mengandung larangan kaum minoritas non-muslim untuk menjadi pemimpin politik dalam sebuah komunitas Muslim sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an di atas, penulis menjadi jelas bahwa gagasan atas doktrin teologis tersebut hanyalah larangan yang bersifat kondisional untuk mencapai tujuan yang lebih mulia dan luhur, yakni membangun sistem kehidupan sosial yang bersifat egaliter dan demokratis. Maksud dan tujuan yang mulia dan indah ini pada dasarnya patut dipuji dan harus didukung, namun jika gagasan ini tidak dikelola dengan baik dan proporsional akan menimbulkan kesenjangan yang menyesatkan, bahkan akan menimbulkan konflik di kalangan komunitas beragama.

Begitu diskursus egalitarian dalam Islam ini dikaji dengan dilihat melalui pendekatan hak-hak politik non-muslim terhadap mayoritas Muslim, semakin dibaca dan dikritisi lebih mendalam, ternyata semakin ditemukan pula tren-tren yang ikut memberi andil atas gagasan egalitarian ini. Oleh karena itu, adalah dugaan yang keliru kalau dianggap bahwa sejak negara Islam didasarkan pada ideologi tertentu, negara menghapus unsur-unsur non-muslim. Dalam Islam terdapat dasar atau ideologi yang sangat urgen untuk memperlakukan kaum minoritas non-muslim, baik agama maupun politik di masyarakat Islam dalam garis-garis keadilan.

23 Ibid., p. 7. lihat pula Sayyid Muhammad Al-Gazali, al-Ta’ashub wa al-Tasamuh

Bain al-Masihiyyah wal-Islam, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1966), p. 40.

(7)

Dalam hubungan ini secara empiris Nabi Muhammad s.a.w. dan Khalifah-khalifah sesudahnya tidak menjadikan agama sebagai syarat untuk bisa membangun kerja sama yang baik selama dalam pemerintahannya di Medinah. Bahkan Nabi menjalin hubungan dengan mesra, hidup berdampingan secara damai, dipersatukan menjadi satu bangsa (umat),25 lebih dari itu non-muslim diangkat menjadi pemimpin atau diberi jabatan tertentu selama dalam kekuasaan mereka.26

Makassar sebagai bahagian integral bangsa Indonesia yang menjadi lokasi penelitian ini, unsur membentukannya memang memiliki hegemonitas warga negara, agama, kebangsaan, budaya, etnis, ras, dan golongan. Fenomena hegemonitas kewarganegaraan yang dimiliki daerah ini menggambarkan bahwa negeri ini dibangun di atas landasan dan semangat kebangsaan atau nation state, yakni negara yang memiliki kewarganegaraan yang heterogen dan secara bersama-sama berjuang memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini sehingga menjadi sebuah negara yang berdaulat. Oleh karena itu, kesepakatan pertama yang dibuat rakyat bangsa ini dalam upaya menyelenggarakan kehidupan sosial politik adalah mulai dengan menerima kemajemukan. Fakta kemajemukan itulah yang memudian melahirkan sumpah pemuda, Pancasila, dan Konstitusi.27

Pokok pikiran ini berimplikasi pada kondisi sosial politik, yaitu bahwa penyelenggaraan sebuah pemerintahan termasuk di Makassar tidak mungkin didasarkan pada satu prinsip hidup yang absolut. Karena itu, percobaan untuk memilih sebuah nagara berdasarkan suatu agama di masa lalu—sidang-sidang Konstituante—tidak dapat terlaksana. Akhirnya kita memilih “kadaulatan rakyat” dan bukan kedaulatan yang lain, untuk

25 Umat maksudnya adalah sebuah hegemonitas warga negara yang meliputi suku,

agama, golongan, dan kepentingan menjadi satu ummat atau bangsa untuk hidup berdampingan secara damai, menjunjung tinggi moralitas, ketentuan-ketentuan hukum, dan keadilan sosial. Azyumardi Azra dkk, Nilai-nilai Pluralitas dalam Islam Bingkai Gagasan yang Berserak, cet. I, (Bandung: Nuansa, 2005), p. 102.

26Orang-orang non-muslim memperoleh jabatan di beberapa pos pemerintahan.

Muawiyah memiliki seorang dokter dan sekretaris pribadi yang beragama Nasrani. Pada masa Umayyah dan Abbasiyah ada beberapa orang Nasrani memegang jabatan setingkat Menteri seperti Nasr Ibn Harun (369 H.) dan Isa Ibn Nasturus (380 H.) demikian pula dokter-dokter Nasrani juga menjabat sebagai derektur di sekolah-sekolah kedokteran di Baghdad dan Damaskus. Seorang kepala kantor pemerintahan khalifah Marwan juga seorang Nasrani, Ibrahim bin Halal, seorang Shabi’un, juga menjadi pegawai tinggi di kerajaan Umaiyah. Nanang Tahqiq (ed), Politik, p. 125. lihat pula Anis Malik Thaha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 2002), p. 260.

27 Lihat Rocky Gereng, "Agama dan Negara" Makalah pada serial diskusi bulanan

forum masyarakat terbuka yayasan Tirta kerjasama lembaga penelitian UIN Alauddin Makassar “Mendefinisikan Indonesia: Politik Identitas dalam Koridor Demokrasi-Perspektif Komunitas Agama”, 26 Desember 2007, p. 1.

(8)

mengingatkan bahwa kemajemukan masyarakat bangsa dan masyarakat daerah ini adalah kenyataan primer dari keberadaan kita seterusnya. Prinsip kedaulatan rakyat itulah sebetulnya yang menjadi alasan mengapa perpolitikan publik harus diselenggarakan secara reguler setiap lima tahun sekali yang dikenal dengan pemilihan umum dan pilkada.

Namun jika pengelolaan pemerintahan di daerah ini diwarnai oleh pemikiran politik para juris Islam klasik yang terkesan diskriminatif terhadap warga negara non-muslim yang hidup dalam sebuah pemerintahan mayoritas Islam seperti pemikiran yang dibangun oleh Sayyid Qutub dan Sayyid Hawa di atas, demikian pula pada praktik dan preseden awal ketatanegaraan Islam yang telah memposisikan komunitas non-muslim dengan termenologi dzimmi—warga negara taklukan—dan status kewarganegaraan mereka sebagai warga negara kelas dua di bawah Muslim, tentu akan menimbulkan problem tersendiri dalam upaya membangun komunikasi yang ramah, kerjasama yang baik, toleransi, persamaan, persatuan, dan perdamaian yang menjadi isu global dan tuntutan masyarakat modernitas dewasa ini.

Berlatar fenomena di atas, diperlukan kearifan dan keberanian untuk melakukan upaya rekonstruksi pemikiran teologis melalui peninjauan kembali sebagian produk ijtihad politik berkaitan dengan masalah kedudukan minoritas non-muslim yang hidup dalam sebuah komunitas muslim yang mayoritas. Dengan demikian, kita akan dapat menempatkan masalah ini secara proporsional guna menjernihkan ajaran Islam dari berbagai distorsi, sehingga kesenjangan yang ada antara realitas masyarakat Islam dengan ide dasar dalam ajaran Islam dapat dijembatani.

Studi ini mengkaji secara akademik bagaimana hak-hak politik non-muslim di tengah-tengah mayoritas Muslim di Makassar jika dihubungkan dengan prinsip egalitarianisme dalam Islam. Permasalahan tersebut akan dianalisis secara empiris dan teoretis ke dalam beberapa variabel penelitian yakni: seberapa jauh hak-hak politik non-muslim dalam pengelolaan pemerintahan pada daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan bagaimana pula pengaruhnya terhadap efektifitas pengelolaan pemerintahan yang berlangsung serta bagaimana sikap dan pandangan umat Islam di kota Makassar terhadap hak-hak politik kaum minoritas non-muslim.

B. Hasil Penelitian

Untuk mengkaji permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian lapangan dengan menetapkan 80 informan secara purposif dari komunitas agama-agama non-muslim, satu populasi dari ormas-ormas Islam dan

(9)

partai-partai politik berbasis Islam yang pro-aktif dalam dunia politik praktis. Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data, yakni observasi, wawancara, dan dukumentasi dari literatur. Melalui analisis kualitatif yang bercorak naturalistik dengan pendekatan fenomenologi, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa non-muslim memiliki hak-hak politik sebagaimana yang dimiliki umat Islam dalam pengelolaan kehidupan bersama termasuk pengelolaan pemerintahan. Hak-hak itu antara lain: hak untuk ikut serta memilih dan dipilih dalam pengelolaan pemerintahan negerinya sendiri, baik secara langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakilnya yang dipilih dengan bebas; hak atas kebebasan untuk berserikat dan membuat partai politik; dan hak atas kebebasan pengeluarkan saran, pendapat dan opini dalam bentuk kontrol sosial terhadap pemerintah.28 Hak-hak tersebut merupakan hak dasar yang harus dimiliki setiap orang atau kelompok, tanpa hak-hak itu tidak mungkin dapat melaksankan fungsinya sebagai manusia yang sempura.

Prinsip utama dalam pemenuhan hak-hak politik non-muslim adalah keterlibatannya baik secara langsung maupun melalui perantara wakilnya dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan yang bersifat politis sebagai bagian dari kesepakatan bersama dalam pengelolaan kehidupan bersama termasuk pengelolaan politik dan pemerintahan, karena disadari bahwa secara normatif non-muslim merupakan bagian integral warga negara yang juga mempunyai andil dalam proses perjuangan memperebutkan kemerdekaan bangsa ini bersama dengan warga negara lain (umat Islam). Oleh karena itu, tidak mungkin mereka berada di luar arena politik untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan politik mereka pada khususnya dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain yang mendasari perjuangan menerapkan konsep kesetaraan dan persamaan secara adil antara warga negara tanpa melihat latar belakang agama dan keyakinan yang dianutnya, dan undang-undang membuka pintu masuk bagi kebangkitan non-muslim dalam pentas politik praktis.

Dalam hubungan ini data lapangan menunjukkan bahwa warga kota Makassar yang ikut berpartisipasi dalam politik melalui pemilihan umum tahun 2004-2009 yang lalu sekitar 915.094 orang dari jumlah 1.223,540 penduduk kota Makassar yang memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 13 Undang-undang No. 12/2003 tentang pemelihan umum, yaitu berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin.29

28 Peter Baehr Pieter Van Dijk, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi

Manusia, edisi, II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), p. 231.

29 Kompilasi Hukum Tata Negara, edisi paling lengkap, cet. I, (Yokyakarta: RIAK,

(10)

Jumlah pemilih tersebut termasuk non-muslim. Hal ini memberi informasi

bahwa non-muslim memiliki hak-hak politik dan telah

mengimplementasikannya melalui pemilihan umum, memilih dan dipilih dalam beberapa tahun terakhir, sehingga komunitas ini telah berhasil menempatkan keterwakilan mereka di lembaga Legislatif sebanyak lima orang, menjadi anggota DPR, DPRD dan DPD yang datang dari berbagai partai politik yang berbasis nasionalis, seperti PDS, GOLKAR, PDI-P, PKPI dan P. TNI-LRI. Pada posisi ini mereka memiliki bergaining position

untuk menegosiasikan berbagai kepentingan politik yang datang dari berbagai partai politik, golongan dan pemerintahan.

Data empiris ini menunjukkan bahwa kehadiran dan keberadaan komunitas ini dalam pentas politik dapat memberi pengaruh terhadap efektifitas pengelolaan pemerintahan dan perpolitikan yang berlangsung dalam bentuk terjadinya dinamika politik, yakni sebuah perubahan, baik pada tingkat struktur sosial masyarakat, maupun pada lembaga-lembaga politik yang ada. Mereka akan terlibat secara langsung dalam setiap pengambilan kebijakan yang bersifat politis bersama-sama dengan partai politik lainnya dan pemerintah hasil pemelihan umum, membuat regulasi berupa aturan-aturan dan undang-undang yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan kehidupan bersama. Dalam situasi dan kondisi politik seperti yang digambarkan itu akan terjadi tarik-menarik kepentingan politik, sehingga akan semakin menumbuhkan dinamika politik yang secara fungsional akan melahirkan sebuah koredo demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat dalam sebuah pemerintahan modern.

Perspektif di atas yang menjadi persoalan apakah non-muslim itu memiliki hak politik untuk dipilih dalam kepemimpinan politik seperti menjadi presiden, gubernur dan walikota dalam mengelola pemerintahan di daerah ini yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam konteks ini, terdapat paling tidak, dua sikap pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam. Sikap demikian yaitu, pertama kelompok yang menolak hak politik non-muslim untuk dipilih dalam kepemimpinan politik di tengah-tengah mayoritas Muslim atau negara Islam, dan Kedua kelompok yang menerima atau mendukung.

Pertama, kelompok yang menolak mengacu pada konsep ideologis, bahwa dalam sebuah negara yang berideologi Islam non-muslim tidak memiliki hak politik untuk menjadi pemimpin dalam pemerintahan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam konteks Indonesia termasuk Makassar meskipun tidak memiliki ideologi Islam, tetapi penduduknya mayoritas Islam, non-muslim tetap tidak memiliki hak-hak politik untuk itu. Pandangan ini dikemukakan Hisbut Tahrir dan Wahdah.

(11)

Hak-hak politik non-muslim dalam pandangan kedua ormas Islam tersebut hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat umum warga negara, yaitu hak untuk berkumpul, berserikat dan membuat partai politik, hak untuk mengeluarkan pendapat dan berbicara dalam bentuk kontrol sosial, hak untuk mendapatkan pelayanan secara adil oleh pemerintah, dan hak untuk memilih dan dipilih. Hak-hak yang disebutkan terakhir, yaitu hak untuk dipilih, hanya bisa menduduki jabatan-jabatan yang bersifat teknis seperti anggota DPR, kepala kantor, kepala dinas dan lain sebagainya. Sebab kelompok ini memandang bahwa untuk mengisi jabatan-jabatan yang bersifat tehnis itu, negara dapat saja menyewa orang-orang tertentu termasuk non-muslim untuk menjalankan administrasi dan tugas-tugas lain yang bersifat teknis, sedangkan hak yang bersifat khusus seperti menjadi presiden, gubernur, walikota dan bupati, non-muslim tidak memiliki hak untuk itu.

Dibolehkannya non-muslim menduduki jabatan-jabatan teknis, karena kelompok ini beranggapan bahwa meskipun non-muslim atau yang disebut dzimmi dalam kajian fikih klasik, yaitu orang-orang yang mempunyai status sebagai orang yang terikat perjanjian dengan pemerintahan Islam. Namun, hak-hak sosial mereka tetap dihargai, mereka tetap diberi kebebasan untuk hidup, dilindungi, dan dijamin hak-hak asasinya termasuk hak-hak-hak-hak politiknya oleh pemerintah, seperti dalam bidang ekonomi dan melaksanakan ibadah. Pemerintah tidak boleh memaksa beribadah sebagaimana ibadahnya umat Islam. Mereka dibiarkan dalam beribadah, berpakaian, makanan, perkawinan menurut agama mereka, tetapi mereka tetap harus tunduk pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan yang berlaku dalam negara itu. Hal demikian menurut kelompok ini merupakan bagian dari perjanjian antara pemerintah dengan non-muslim yang tinggal di negara tersebut.30

Kedua, kelompok yang berbeda dengan kelompok pertama di atas. Kelompok ini menerima dan mengakui hak-hak politik non-muslim sama dengan umat Islam termasuk hak politik untuk dipilih menjadi kepemimpin dalam pengelolaan pemerintahan di tengah-tengah mayoritas muslim. Dengan alasan bahwa dalam konteks dunia abad modern seperti sekarang ini, konsep negara ideologis Islam klasik sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan, sebab dewasa ini negara-negara umumnya berbentuk

“nation state”, yang dibangun berdasarkan paham kebangsaan, bukan

berdasarkan agama (religion state). Paham kebangsaan ini dapat diamati dari adanya pluralitas warga negara, agama, budaya, adat istiadat, suku dan

30 Wawancara dengan Hasan bin Rasyid Juru bicara yang mewakili Hisbut Tahrir

(12)

kebangsaan, seperti yang terdapat pada negara-negara modern sekarang ini termasuk Indonesia yang lebih menuntut dan menjamin persamaan hak dan kewajiban warga negara termasuk hak-hak politiknya tanpa memandang agama dan keyakinan yang dianutnya.31 Kelompok ini dikemukakan oleh ormas-ormas Islam di kota Makassar, seperti Muhammadiyah, NU, DDI, LDII, dan partai politik yang berbasis Islam, yakni Partai persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulang Bintang (PBB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Seiring dengan pandangan itu Undang-undang Dasar juga tidak mencantumkan syarat kepemimpinan politik nasional (presiden RI) harus beragama Islam itu tidak mengikat. Hal ini dapat dipahami bahwa setiap warga negara RI, tidak terkecuali non-muslim mempunyai hak politik yang sama untuk dipilih menjadi pemimpin politik di negeri ini. Tidak adanya syarat presiden RI harus beragama Islam tersebut dapat dilihat melalui pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 6 Undang-undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU No. 23/2003) yang secara khusus memasukkan syarat-syarat Presiden RI. Selama pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 6 Undang-undang Pemilihan Presiden itu belum diamandemen atau dicabut, maka syarat tersebut tetap berlaku dan dapat dipegangi. Dalam ilmu ushul fikih berlaku suatu prinsip yang disebut

istishab, yaitu hukum yang sudah ada masih tetap berlaku selama belum ada

hukum baru yang menasakh atau menggantinya. Dalam kaitannya dengan hak-hak politik non-muslim, mengandung pengertian bahwa selama Undang-undang Dasar itu tidak mencantumkan syarat presiden harus beragama Islam, maka non-muslim dapat memiliki hak-hak politik yang sama termasuk hak untuk dipilih dalam kepemimpinan politik.

Dalam konteks ini sebagai warga negara, hendaknya diletakkan sejajar antara warga negara Islam dengan warga negara non-muslim di hadapan negara. Negara tidak bisa disubordinasikan ke dalam satu pemahaman keagamaan tertentu. Negara harus terbebas pemahamannya dari kelompok agama tertentu. Umat Islam adalah salah satu bagian masyarakat Indonesia. Hanya dengan cara seperti itu umat Islam bisa membangun komunikasi yang efektif dan berintegrasi dengan umat dan kelompok yang pluralis di Indonesia, dan menemukan relevansinya dalam konteks negara bangsa, yang demokratis, modern, dan egaliter yang terakumulasi dalam sebuah masyarakat madani.

Kolaborasi pemikiran umat Islam melalui elite-elite organisasi Islam dan partai-partai politik yang basis Islam di daerah ini mengenai isu-isu

31 Munawir Sjadzali, “Kembali ke Piagam Madinah”, dalam Politik Demi Tuhan:

(13)

yang dikaji melahirkan polarisasi pemikiran. Polarisasi pemikiran yang berkembang itu tidak bisa dihindari karena berkaitan dengan persoalan yang bersifat ideologis yang memberikan posisi warga negara non-muslim dengan cara yang dinilai diskriminatif.

Analisis pemikiran umat Islam terhadap sikap kedua kelompok yang berbeda di atas, sesungguhnya sama-sama bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktup di dalam kitab suci, yakni Al-Qur’an dan Sunnah, namun, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Kelompok pertama menolak adanya hak-hak politik non-muslim khususnya hak-hak untuk menjadi pemimpin politik dalam mengelola pemerintahan yang penduduknya mayoritas beragama Islam, mengacu pada pendekatan skripturalistik dengan menekankan pada pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin yang bersifat literalis dan harfiah serta pemahaman yang disucikan melalui proses sejarah. Perintah dan larangan yang terdapat dalam doktrin itu dipandang berlaku abadi dan terbebas dari campur tangan manusia, ia merupakan skenario Tuhan sejak zaman azali. Kelompok ini tidak peduli terhadap realitas historis yang mengitarinya, dan lupa adanya jarak yang begitu jauh antara dirinya dengan apa yang dibacanya, dengan waktu di saat doktrin atau teks kitab suci yang dibacanya, dan perkembangan pemikiran yang muncul kemudian.

Kelompok ini memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup itu. Karena itu, ijtihad dengan sendirinya dibatasi hanya kepada masalah-masalah di mana doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan.

Sesuai dengan kecenderungan corak pemahaman seperti di atas, kelompok ini memandang preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan. Ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya. Kelompok ini juga memandang bahwa orang-orang yang hidup di zaman awal Islam, yakni zaman Nabi dan para sahabat, adalah zaman ideal yang wajib diwujudkan di segala zaman. Sesuai dengan pandangan ini, ijma' zaman sahabat Nabi adalah ijma' yang mengikat generasi-generasi kaum muslimin hingga akhir zaman. Ijma' demikian tidak dapat diubah oleh ijma'-ijma' yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka. Pandangan ini pula pada umumnya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabi’in dan tabi’iittabi’in. juga pada tradisi

(14)

pemikiran Islam yang diwariskan oleh ulama di masa lampau yang dipandang mempunyai otoritas.

Pandangan demikian ini, menurut Yusril Ihza Mahendra, cenderung memandang negatif dan pesimis terhadap pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam putih”, yaitu antara masyarakat Islami yang menyakini dan mengamalkan doktrin secara kaffah (menyeluruh) dengan masyarakat jahiliah yang tidak menyakini dan tidak mengamalkannya. Sejarah manusia cenderung untuk dilihat sebagai sejarah pertentangan antara dua golongan masyarakat ini, yang disimbolkan dengan sejarah para Nabi dan para penentangnya. Dengan pembagian masyarakat pada dua golongan itu, maka hikmah tidak pernah dicari dalam masyarakat yang telah jelas bersifat jahiliah itu. Karena itu, kecenderungan ini bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan oleh masyarakat lain. Manusia di dunia ini hanya dihadapkan kepada dua pilihan, lanjut Yusril, yaitu menjadi “mu’min” atau menjadi “kafir”, dan orang-orang kafir dipandang tidak memiliki hak-hak politik untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum apalagi menjadi pemimpin dalam suatu pemerintahan yang mayoritas penduduknya beragama Islam.32

Sehubungan dengan prinsip yang demikian itu, kelompok ini juga tetap mempertahankan konsep negera ideologis dan konsep dzimmi yang telah diwariskan Islam masa lalu yang harus dipertahankan. Negara dalam pandangan ini dibangun berdasarkan agama (religion state). Konsekuensi logis dari prinsip ini, kepala negara diberi label-label khalifah atau semacamnya dan mempunyai tugas utama, hirasah al-din (memelihara agama) dan siayasah al-dunya (mengatur dunia). Oleh karena itu, khalifah memegang kekuasaan umum, yaitu dalam masalah-masalah agama dan dunia (politik) sekaligus. Dalam bidang politik, khalifah memegang tiga kekuasaan sekaligus, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sedangkan dalam bidang keagamaan, khalifah bertugas menjadi imam shalat jum’at, menjadi Amir al-Haj (kepala rombongan haji) dan menjadi khatib menyampaikan khutbah pada hari-hari raya, seperti idhul fitri dan adha. Kekuasaan khalifah menjadi sangat penting mencakup semua urusan dunia (politik) dan agama.33 Demikian pula konsep dzimmi yang dipandang sebagai warga negara kelas dua di bawah Muslim. Karena posisi dan statusnya yang demikian itu, maka dia tidak punya hak politik untuk menjadi pemimpin umat Islam yang mayoritas.

32 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, cet. I,

(Jakarta: Paramadina, 1999), p. 32.

33 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim, cet. I, (Jakarta:

(15)

Pendapat kelompok kedua adalah mendukung atau menerima adanya hak-hak politik non-muslim termasuk hak untuk menjadi pemimpin politik dalam mengelola pemerintahan, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah kabupaten/kota. Pandangan kelompok ini sebaliknya mencoba menafsirkan lebih aktual dan rasional cara pandang dan penafsiran pertama. Perintah dan larangan yang termaktub dalam

doktrin, tidaklah seluruhnya dipandang berlaku abadi, dapat

dikontekstualisasikan sejalan dengan dinamika sejarah dan realitas sosial, tidak stril dari intervensi konstruks manusia, dan bukan merupakan skenario Tuhan sejak zaman azali.

Kelompok ini cenderung menafsirkan doktrin secara elastis dan fleksibel. Penafsiran yang disebutkan terakhir, kelompok ini melihat bahwa dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan termasuk politik, Doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu, ijtihad harus selalu digalakkan. Ijtihad memungkinkan corak pengaturan doktrin yang berisi ketentuan-ketenuan umum itu dapat diimplementasikan ke dalam suasana kongkrit, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu zaman dan tempat tertentu.

Sejalan dengan kecenderungan penafsiran terhadap doktrin seperti itu, kelompok ini memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat beliau terutama zaman khulafa' al-Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci.34

Kelompok ini pada umumnya berdalih bahwa masyarakat tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman tanpa seorang pun yang mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu, seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakikatnya adalah tetap dan tidak berubah. Tetapi perinciannyalah yang terus berubah dan berkembang dari masa-ke masa. Atas dasar itu preseden awal Islam di zaman Nabi dan sahabatnya tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian berdasarkan kepada prinsip perubahannya yang berlaku di masyarakat. Karena perubahan ini, lanjut Yusril, adalah merupakan “Sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hambanya. Apalagi warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman sesudah itu—yaitu generasi sesudah sahabat, tabi’in dan tabi’iittbi’in—yang lebih banyak mencemaskan aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi zaman ini pun dengan sendirinya

(16)

tidaklah mengikat generasi-generasi kaum Muslimin yang hidup di zaman kemudian.35

Kelompok ini juga bersikap positif dan optimis terhadap pluralitas yang selanjutnya akan mendorong bersikap terbuka dan toleran. Hikmah

(kebijaksanaan) akan ditemukan di mana saja di muka bumi ini termasuk pada umat-umat dan kelompok-kelompok di luar Islam. Dengan berpegang kepada hikmah ini cenderung bersifat terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prinsip-prinsip doktrin dengan hikmah yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan mencari hikmah, tegas Yusril itulah, cenderung lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara konkrit, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis, dengan tujuan menyesuaikan ajaran Islam dengan tuntutan zaman modern.36

Dalam hubungannya dengan zaman modern atau kontemporer seperti sekarang ini, pengelolaan pemerintahan atau negara dibangun menurut kelompok ini, pada umumnya berbentuk negara bangsa (nation

state) yang berdasarkan pada paham kebangsaan, bukan berdasarkan

agama, sehingga kekuasaan politik seorang kepala negara dibatasi oleh undang-undang, hanya memegang kekuasaan eksekutif saja dan masa jabatan 5 tahun, sesudah itu diadakan pemilihan kembali dalam rangka suksesi kepemimpinan. Karena itu tugas menjadi imam shalat berjamaah dan khutbah jum’at di masjid yang menjadi tugas utama khalifah selain tugas politik pada masa klasik, kini sudah diambil alih fungsi itu oleh kaum Muslim lain yang bukan kepala negara. Sebab tugas-tugas yang disebutkan terakhir ini, selain kepala negara, kaum Muslim lain yang bukan kepala negara juga dapat melakukannya. Kepala negara di masa klasik memiliki dua otoritas sekaligus, yaitu otoritas keagamaan (hirasah al-din) dan otoritas politik (siyasah al-dunya). Di masa modern ini hanya memiliki otoritas politik saja. Demikian juga tentang konsep dzimmi. Di masa lalu kondisi sosial politik umat Islam berorientasi pada penaklukan dalam rangka perluasan wilayah kekuasaan politik, sehingga banyak orang-orang non-muslim yang ditaklukkan, kemudian menjadi status dzimmi yang mendapat perlindungan politis dari kekuasaan Islam. Sekarang ini kondisi sosial politik umat Islam sudah jauh berubah, sehingga umat Islam berorientasi pada upaya membangun hubungan antara komunitas beragama dengan semangat perdamaian, toleransi, kesetaraan warga negara dalam membangun sebuah kehidupan pluralis.

35Ibid. 36Ibid.

(17)

Kekurangan pendapat kelompok pertama, yang bercorak harpiah dan literal, tidak dapat memecahkan kompleksitas masalah yang muncul dan berkembang di tengah-tengah kehidupan modernitas. Sementara pendapat kelompok kedua yang bercorak liberal-kontekstual, sebaliknya dapat memberi solusi yang efektif terhadap masalah yang muncul dan berkembang di tengah-tengah kehidupan modernitas. Meskipun persoalan pendapat kelompok kedua akan menghadapi resiko terhadap penolakan yang tajam dari banyak kalangan umat Islam radikal, karena memandang produk pemahaman model kedua ini tidak lahir dan bersumber dari tradisi Islam.

Dalam rangka untuk mempertemukan pendapat kedua kelompok tersebut, maka dalil-dalil yang digunakan kedua kelompok itu perlu dilihat konteks illat dan sebab nuzul ayat-ayat yang memandang non-muslim tidak memiliki hak-hak politik untuk menjadi pemimpin di tengah-tengah mayoritas Muslim. Kedua ayat-ayat yang berbicara mengenai hak-hak politik tersebut sebaiknya dipahami secara holistik, tidak secara parsial dan sepotong-potong tanpa dikaitkan satu sama lain. Yang paling tepat, ayat yang melarang sebaiknya dikaitkan atau dikompromikan dengan ayat-ayat yang membolehkannya.37

Pendapat kelompok pertama yang dikemukakan sebelumnya, illat

yang mendasari adanya larangan umat Islam memilih non-muslim menjadi pemimpin politik di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, karena mereka memusuhi Islam dan umatnya. Jika illat ini hilang atau tidak ada, maka larangan itupun menjadi hilang atau tidak ada lagi. Hal ini sesuai dengan kaidah al-hukm yaduru ma’a al-illat wujudan wa ’adaman (berlaku atau tidaknya hukum itu tergantung ada atau tidak adanya illat yang mendasarinya)”.

Dalam konteks ini, penulis tidak sependapat dengan kelompok pertama, termasuk pendapat Sayyid Quthub, Sayyid Hawa dan Abu A’la Al Maududi yang dikemukakan di muka yang menggeneralisir semua non-muslim sebagai orang-orang yang jahat dan memusuhi Islam serta umatnya, sehingga umat Islam tidak boleh memilih non-muslim untuk menjadi pemimpin politik dalam mengelola pemerintahan di tengah-tengah mayoritas Muslim.

Meskipun harus diakui bahwa memang ada non-muslim yang telah berbuat jahat dan memusuhi Islam, seperti orang-orang musyrik Quraisy Mekkah dan orang-orang Yahudi di Madinah yang masing-masing menaruh sikap permusuhan dengan Nabi dan umat Islam, merupakan suatu realitas historis yang tidak dapat diingkari. Namun, apabila

(18)

permusuhan non-muslim terhadap Islam dan umatnya di luar masa Nabi, seperti yang terjadi di Baghdad, Andalusia, India Spanyol dan kemudian Ethiopia sebagaimana yang dicontohkan Sayyid Quthub dan Sayyid Hawa dalam pembahasan yang lalu dijadikan dasar argumentasi untuk menggeneralisir semua non-muslim ketika berkuasa atas umat Islam akan berbuat jahat dan memusuhi Islam dan umatnya, agaknya kurang tepat, sebab sebagaimana diakui Quthub sendiri, Negus—raja Ethiopia yang beragama Kristen pada masa Nabi—begitu baik dan bersahabat menyambut emigran Muslim dari Mekkah dan sangat menghormati agama Islam.38

Peristiwa itu menggambarkan bahwa kedua komunitas penganut agama itu sama-sama sebagai agama yang datang dari Tuhan, mengakui keberadaan-Nya, membawa ajaran kebenaran dan ajaran moral. Tayangan sejarah 1500 tahun yang lalu itu harus menjadi pijakan kita untuk membangun hubungan dan peradaban yang lebih rama dan manusiawi. Tokoh besar Kristen pada zaman itu mengakui bahwa mata air yang dibawa oleh Nabi Musa dan Isa. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi raja Negus untuk mengusir rombongan emigran Muslim dari negerinya karena perbedaan agama.39

Apa yang dikemukakan itu menunjukkan bahwa tidak semua non-muslim itu sama sifat dan karakternya, dalam arti memusuhi dan memerangi Islam dan umatnya. Tetapi ada di antara mereka yang berlaku baik, hormat dan berbuat adil. Sebagai manusia, non-muslim bisa saja sewaktu-waktu sikap dan pandangannya terhadap Islam dapat berubah. Di masa Nabi atau di masa sekarang ada yang jahat. Tetapi pada waktu yang sama atau di lain waktu ada yang baik, hormat dan penuh toleransi. Yang jahat, kita sepakat untuk tidak memilih sebagai pemimpin. Tetapi yang baik tentu dapat dipertimbangkan secara politis untuk dipilih sebagai pemimpin.

Perintah Nabi kepada para sahabatnya yang tertindas di Mekkah untuk meminta suaka politik kepada Negus, Raja Ethiopia yang beragama Kristen dan sangat baik terhadap umat Islam itu, dapat dijadikan sebagai justifikasi teologis mengenai kebolehan bagi umat Islam untuk memilih non-muslim—yang tidak jahat kepada Islam dan umatnya—sebagai pemimpin umat Islam.40

38Ibid., p. 169. lihat pula Irfan Syuryahardi Awwas, Citra orang Kristen Dimata Orang

Islam, (Jogjakarta: Wahdah Press, 2004), p. 62, lihat pula Muhammad Quthub, Islam The Mismudertood Religion, terj. oleh Hersri dengan Judul “Salah Paham terhadap Islam”, cet, II, (Bandung: Pustaka Salman ITB, 1992), pp. 306-307.

39 Awwas, Citra, p. 63.

(19)

Keumuman ayat-ayat yang melarang umat Islam memilih non-muslim untuk menjadi pemimpin umat Islam, sebagaimana yang dikemukakan , ditakhsis oleh ayat-ayat yang membolehkannya, yaitu ayat 7, 8, dan 9 surat al-Muntahanah.

Ayat-ayat yang melarang umat Islam memilih pemimpin non-muslim di tengah-tengah mayorits non-muslim dikaitkan dengan tiga ayat di atas yang membolehkannya akan memberi kejelasan bahwa larangan tersebut, menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Mujar, terikat dengan syarat apabila non-muslim memusuhi dan mengusir Nabi dan umat Islam dari tanah kelahirannya, lantaran mereka beriman kepada Allah. Setiap non-muslim yang menyimpan rasa permusuhan, kebencian dan bertindak sewenang-wenang terhadap umat Islam, maka keharaman memilih non-muslim sebagai pemimpin umat Islam merupakan sesuatu yang mutlak (qath’i).41

Ayat 7 surat al-muntahanah di atas dapat dipahami bahwa terciptanya hubungan harmonis dan penuh kasih sayang antara umat Islam dengan kaum non-muslim yang keras memusuhi Nabi dan bahkan mengusir beliau dari tanah kelahirannya bersama umat Islam merupakan sesuatu yang sangat didambakan. Sejalan dengan ayat itu, ayat 8 dan 9 surat yang sama di atas menjelaskan bahwa Allah tiada melarang umat Islam berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-muslim yang tidak memusuhi umat Islam. Larangan memilih non-muslim sebagai pemimpin umat Islam dibatasi hanya kepada non-muslim yang memerangi dan memusuhi Islam dan umatnya karena ajaran agama, yaitu semata-mata hanya karena alasan mereka memeluk agama Islam, mengusir mereka dari tanah kelahirannya, dan atau membantu orang lain melakukan hal tersebut.42

Larangan mengangkat non-muslim sebagai pemimpin umat Islam, selain yang memusuhi dan memerangi umat Islam, juga kepada orang-orang yang memberikan pertolongan dan bantuan kepada non-muslim. Selain yang disebutkan itu, umat Islam tidak dilarang berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-muslim yang tidak memusuhinya. Inilah sebuah sikap toleran yang sangat ideal yang diajarkan Islam dalam mengelola sosial politik kenegaraan. Salah satu bentuk perbuatan baik dan berlaku adil itu, adalah memberikan dan mengakui akan adanya hak-hak politik non-muslim yang sama dengan umat Islam untuk secara bebas mengakses kehidupan politik praktis mereka lebih luas, termasuk menikmati hak-haknya untuk dipilih dalam mengelola pemerintahan.

41 Ibid., p. 160. 42Ibid., p. 161.

(20)

Atas dasar ini, maka ayat 7, 8, dan 9 di atas, merupakan nash yang sahih, menyatakan larangan memilih non-muslim menjadi pemimpin politik dalam mengelola pemerintahan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah karena memusuhi dan memerangi umat Islam, bukan karena perbedaan agama dan keyakinan yang dianutnya.

Mengaitkan ayat-ayat larangan mengangkat non-muslim menjadi pemimpin umat Islam dengan ayat-ayat yang membolehkan berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-muslim yang tidak memusuhi Islam dan umatnya sebagaimana dikemukakan dalam ayat di atas dapat disimpulkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku dan terbatas bagi non-muslim yang memusuhi dan memerangi Islam dan umatnya saja.

Dari perspektif di atas, terlihat begaimana pengaruh pemikiran fiqh klasik yang mewarnai adanya larangan itu. Dengan kata lain, tidak mengakui dan menerima adanya hak-hak politik non-muslim untuk dipilih dalam kepemimpinan politik di tengah-tengah mayoritas Muslim dirumuskan pada waktu hubungan antara komunitas-komunitas beragama yang berbeda agama itu didasarkan pada prinsip konflik seperti turunnya ayat al-Qur’an yang melarang mengangkat non-muslim menjadi pemimpin umat Islam. Pada masa-masa awal Islam, kondisi sosial politik umat Islam lebih berorientasi pada perluasan wilayah kekuasaan politik atau ekspansi, sehingga terjadilah penaklukan di dunia Islam yang kemudian melahirkan status dzimmi lalu diadakan perjanjian politik dengan mereka yang berada dalam kekuasaan politik Islam. Di masa sekarang, kondisi sosial politik umat Islam jauh berbeda. Hubungan antara komunitas agama dan golongan lebih berorientasi kepada perdamaian, toleransi, dan persamaan warga negara di tengah-tengah masyarakat pluralis. Oleh karena itu, yang paling relevan dan bijaksana yang dapat membawa kemaslahatan dalam menghadapi masyarakat pluralis di abad modern ini adalah pendapat tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam ormas-ormas Islam dan partai-partai politik yang berbasis Islam di kota makassar yaitu mereka menyatakan bahwa non-muslim memiliki hak-hak politik sebagaimana yang dimiliki umat Islam dalam pengelolaan pemerintahan yang penduduknya mayoritas muslim seperti di negeri ini.

Opini publik yang dibangun itu telah berhasil menolak pemikiran para juris Islam klasik yang memposisikan non-muslim sebagai warga negara kelas dua di bawah Muslim dan tidak mengakui hak-hak politiknya dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti pemikiran yang dibangun oleh Sayyid Qutup, Sayyid Hawa, Abu A’la al Maududi dan pemikir-pemikir yang sependapat dengan itu.

(21)

C. Penutup

Bertolak dari perspektif di atas, dapat dikemukakan bahwa non-muslim memiliki hak hak politik yang sama dengan umat Islam pada sebuah pemerintahan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun dalam proses perjalanan pemerintahan di Makassar non-muslim tidak pernah tampil menjadi pemimpin politik, namun bukan berarti mereka tidak memiliki hak politik untuk itu, tetapi lebih disebabkan oleh kondisi sosial politik dan budaya masyarakat yang tidak mendukung dan menguntungkan bagi kalangan non-muslim untuk bersaing dengan kelompok mayoritas Islam di daerah ini.

Kondisi sosial politik dan budaya dimaksud antara lain: pertama, “domain politiknya” yang belum menjadi satu wilayah yang cukup digemari dan diminati secara serius dan antusias oleh para politisi non-muslim. Mereka lebih tertarik pada jalur atau bidang-bidang lain, seperti ekonomi atau perdagangan terutama etnis Cina karena dianggap lebih menjanjikan harapan masa depan mereka dari pada jalur politik. Tetapi pada daerah-daerah lain di Indonesia, mungkin domain politiknya sudah menjadi suatu wilayah yang cukup menarik dan diminati secara serius oleh kalangan non-muslim lalu mereka tampil bersaing dengan komunitas agama lain dalam hal ini umat Islam sebagai kelompok mainstream dalam pilkada, dan telah berhasil memenangkan pemilihan seperti di Bangka Belitung, bupatinya adalah non-muslim berasal dari etnis Cina demikian pula di Kalimantan Barat, wakil gubernurnya non-muslim yang juga dari etnis Cina. Hal demikian dalam dunia politik bisa terjadi sebab pemilihan umum atau pilkada yang dijadikan sarana demokrasi bagi pemilihan pemimpin publik dewasa ini sangat subyektif. Orang bisa saja menggunakan berbagai cara termasuk money politic untuk memperoleh kemenangan terutama bagi mereka yang banyak uangnya.

Kedua, hubungan keagamaan sesama warga Islam sangat kuat dan mengakar dalam budaya masyarakat daerah ini, sehingga di kalangan non-muslim mengalami kesulitan untuk membangun komunikasi politik pada masyarakat yang tingkat pemahaman keagamaannya cenderung bersifat fundamentalis dan bahkan radikal. Ketiga, mungkin di kalangan politisi non-muslim kurang memiliki kualitas dan prestasi managerial, baik secara individual maupun kelompok masih di bawah standar dari kualitas dan prestasi politisi umat Islam sehingga mengalami kesulitan dalam bersaing. Kondisi ini didukung pula oleh kurangnya atau bahkan tidak adanya upaya untuk membangun komunikasi politik secara intens, ramah dan santun dengan partai-partai politik lainnya dan warga negara mayoritas, sementara politisi Islam justru sebaliknya komunikasi politiknya semakin intens

(22)

dilakukan dan tetap dipelihara dengan baik sehingga rakyat menaruh simpati.

Kondisi sosial politik dan budaya seperti dikemukakan di atas, dapat menjadi alasan teknis mengapa elit-elit non-muslim tidak pernah tampil memainkan peran politiknya untuk bersaing dengan elite-elite Islam dalam

(23)

Daftar Pustaka

Al-Gazali, Sayyid Muhammad, al-Ta’ashub wa al-Tasamuh Bain al-Masihiyyah

wal-Islam, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1966.

Arkoun, Muhammad, Rethinking Islam, terj. oleh Yudian W. Amin Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Awwas, Irfan Syuryahardi, Citra orang Kristen Dimata Orang Islam,

Jogjakarta: Wahdah Press, 2004.

Azra, Azyumardi dkk, Nilai-nilai Pluralitas dalam Islam Bingkai Gagasan yang

Berserak, cet. I, Bandung: Nuansa, 2005.

Dalton, Bill, Indonesia Handbook, California: Moon Publications, 1987. Departemen Agama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama

Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Ensiklopedia Islam, Jakarta: CV. Anda Utama, t.tp.

Elster, Jon, Marxisme: Analisis Kritis, Jakarta-Indonesia: PT. Prestasi Pustakarya, 2000.

Gereng, Rocky, "Agama dan Negara" Makalah pada serial diskusi bulanan forum masyarakat terbuka Yayasan Tirta kerjasama lembaga penelitian UIN Alauddin Makassar “Mendefinisikan Indonesia: Politik Identitas dalam Koridor Demokrasi-Perspektif Komunitas Agama”, 26 Desember 2007.

Hadikusuma, Hilman, Sejarah Hukum Adat Indonesia, cet. I, Bandung: Alumni, 1978.

Hawwa, Sayyid, al-Madkhal Ila Da’wah Ikhwan al-Muslimin, t.tp., tp., t.th. Huwaidi, Fahmi, “Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak Antar Warga

Negara” dalam Kebangkitan Islam Dalam Perbincangan Para Pakar,

Jakarta: Gema Insani Press, 1988.

I. Doi, A. Rahman, Shari’ah: The Islamic Law, cet.xii, Kuala Lumpur: A.S. NOORDEEN, 2002.

Kompilasi Hukum Tata Negara, edisi paling lengkap, cet. I, Yogyakarta:

RIAK, 2007.

Madjid, Nurcholish, Islam Kemerdekaan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan, 1987.

Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam,

(24)

Marlow, Louise, Masyarakat Egaliter Visi Islam, cet. I, Bandung: Mizan, 1999.

Pieter Van Dijk, Peter Baehr, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi

Manusia, edisi II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Qasim Ja’far, Muhammad Anis, Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri

Hak-hak Politik dan Persoalan Gender Dalam Islam, Bandung: Zaman

Wacana Mulia, 1998.

Quthub, Muhammad, Islam The Mismudertood Religion, terj. oleh Hersri dengan Judul “Salah Paham terhadap Islam”, cet II, Bandung: Pustaka Salman ITB, 1992.

Qutub, Sayyid, Fi Zilal Al-Qur’an, jilid 2, Beirut: Dar al-Syuruq, t.th. Sjadzali, Munawir, “Kembali ke Piagam Madinah”, dalam Politik Demi

Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah,

1999.

Syarif, Mujar Ibnu, Hak-hak Politik Minoritas non-Muslim dalam Komunitas

Muslim, cet. I, Bandung: Angkasa, 2003.

_______, Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim, cet. I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.

Tahqiq, Nanang (ed), Politik Islam, cet. I, Jakarta: Kencana, 2004.

Thaha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, cet. I, Jakarta: Gema Insani, 2002.

Thahhan, Musthafa Muhammad, Tantangan Politik Negara Islam”, cet. I, Malang: Pustaka Zamzami, 2003.

Vatein, Jean Claude, Human Right in Islam, dalam Philosophy and Public Policy,

Southen Illionis: Uni Press, 1980.

Wawancara dengan Hasan bin Rasyid Juru bicara yang mewakili Hisbut Tahrir Kota Makassar di Makassar, 27 Juli 2007.

Referensi

Dokumen terkait

conference , circle atau victim-offender mediation (VOM). Di Indonesia, paradigma yang ditawarkan oleh keadilan restoratif dalam prakteknya bukan merupakan hal

Berdasarkan data dan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rasio tepung ubi jalar ungu dan tepung kulit ari kacang kedelai berpengaruh nyata terhadap

Penilaian Keseluruhan Tempe Rata-rata skor penilaian keseluruhan (hedonik) terhadap tempe yang dihasilkan setelah diuji lanjut dengan menggunakan DNMRT pada taraf 5%

Berdasarkan fenomena yang terjadi dan penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan menganalisa lebih lanjut mengenai pengaruh rasio keuangan terhadap pertumbuhan laba dan

Dalam praktik jual beli singkong yang terjadi pada masyarakat di Desa Ngemplak Kidul Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Pati, ada praktik rafaksi atau pemotongan bruto

Penelitian yang menggunakan pendekatan sosio-antropologis ini dengan teori konstruksi masyarakat atas mitos dan tradisi, dan berlatar relasi agama dan budaya lokal, telah

Kemudian untuk skala perilaku prokrastinasi akademik memperoleh nilai reliabilitas dengan alpha cronbach sebesar 0,916 dan dapat diartikan bahwa variabel ini

Menuliskan program Bahasa C untuk menginput suatu data dan mencari apakah data tersebut ada di dalam array atau tidak1. Memahami dan memanipulasi program Bahasa C