• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MANGONGKAL HOLI DAN SIMBOL KEKERABATAN. masyarakat Batak diaspora terlebih dahulu Sheffer mendefinisikan diaspora modern emigran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV MANGONGKAL HOLI DAN SIMBOL KEKERABATAN. masyarakat Batak diaspora terlebih dahulu Sheffer mendefinisikan diaspora modern emigran"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

71

BAB IV

MANGONGKAL HOLI DAN SIMBOL KEKERABATAN

4.1Batak Diaspora dan Tempat Para Leluhur

Untuk memahami masyarakat Batak maka penulis terlebih dahulu menggambarkan masyarakat Batak diaspora terlebih dahulu Sheffer mendefinisikan diaspora modern emigran yang berasal dari suatu kelompok etnis yang meninggalkan tanah airnya menuju ke negara lain karena adanya kekerasan atau yang lain hal, dan tetap memelihara identitas kolektif mereka, dalam organisasi di daerah tujuan migrasi ada beberapa motivasi, faktor pendorongnya, baik dari segi ekonomi maupun dari segi yang lain yang menyebabkan terjadinya diaspora.1

Berdasarkan definisi diatas bahwa masyarakat Batak diaspora memiliki faktor penentu yang membuat mereka harus merentau dikarenakan adanya faktor geografis yang begitu kurang subur sehingga masyarakat Toba lebih memilih untuk merantau meninggalkan kampung halamannya, selain itu juga karena faktor ekonomi yang mendorong mereka harus merantau ketempat lain untuk mendapat penghasilan yang lebih, selain daripada itu faktor pendukung lainnya karena pendidikan yang membuat masyarakat Batak terutama para pemuda untuk mendapat pendidikan yang lebih baik, karena pada zaman dahulu masyarakat masih terisolasi, sehingga pada saat zending datang ke tanah Batak mereka membuka melalui pendidikan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya orang Batak merantau dikarenakan faktor atau nilai suatu budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Batak

(2)

72 yang terdapat dalam hamoraon, hagabeon, dan hasangapon ketiga falsafah inilah yang membuat masyarakat Batak merantau.2

William Sarfan mendefinisikan diaspora ke dalam enam ciri utama; mereka tersebar dari pusat asli untuk dua atau lebih lokasi asing, memiliki memori kolektif tentang tanah asli mereka, mereka tidak sepenuhnya percaya dan diterima oleh masyarakat tuan rumah, menganggap tempat asal mereka sebagai rumah mereka sebenarnya, dan secara kolektif berkomitmen untuk pemeliharaan tanah air mereka, serta terus melakukan hubungan dengan tanah air atau kampung halaman yang dalam satu atau lain cara.3 Menurut Sarfan bahwa

masyarakat diaspora terbentuk karena adanya bencana kelaparan dan kemiskinan, pemilihan daerah tujuan diaspora sesuai dengan struktur rantai migrasi yang terjadi dua daerah, terjadinya populasi diaspora terintegrasi tetapi tidak “berasimilasi” dengan penduduk tuan rumah, mempertahankan kesadaran identitas yang kuat karena mempertahankan memori tentang tanah air mereka dan sejarahnya dan adanya ikatan yang kuat dengan daerah asalnya.4

Demikian halnya dengan masyarakat Batak, yang hingga saat ini mereka masih tersebar di seluruh Indonesia bahkan sampai keluar negeri, mereka membentuk komunitasnya sebagai orang Batak baik itu yang berbeda marga maupun yang sama marga, tujuan dari pembentukan komunitas ialah untuk menunjukkan suatu identitas kebatakan (marga) mereka dan simbol kebatakan (adat) serta menjaga kesatuan identitas mereka.5

2 Lihat Bab I, catatan kaki No. 9.

3William Safran, “The Jewish Diaspora in a Comparative and Theoretical Perspective”, Muse Volume 10,

Number 1, Spring 2005, hlm. 36-38.

4 Rainer Baubock & Thomas Faist (ed), Diaspora and Transnationalism, Concept, Theories and Methods (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), 131

(3)

73 Selain daripada bagi orang Batak diaspora, cara mereka mengingat tanah leluhur atau kampung halaman adalah dengan cara bernyanyi

Hans Ucko mengatakan bahwa masyarakat diaspora dalam suatu negara dapat dikategorikan sebagai masyarakat minoritas itu terlihat dari situasi mayoritas-minoritas ada perasaan curiga bahwa kelompok minoritas tidak memiliki kesetiaan apapun, sehingga mereka mengajukan agendannya sendiri apabila diberi kesempatan maka akan mengganggu keamanan dan melenyapkan stabilitas, selain itu juga kelompok minoritas dianggap sebagai kelompok yang lemah sehingga perlu perlindungan dari yang mayoritas, perlindungan tersebut sering berubah-rubah, bahkan bisa menjadi suatu penganiayaan, maka semakin ditekan kelompok minoritas maka semakin pula anggota kelompok memberi diri untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya.6

Berdasarkan penemuan penulis mengenai Batak diaspora terdapat suatu perbedaan antara Hans Ucko dan penulis, karena walaupun orang Batak Kristen diaspora yang sudah lama tinggal di Bandung menjadi yang minoritas akan mereka dapat berbaur dan beradaptasi dengan yang mayoritas dan orang Batak diaspora yang terdapat di Bandung mereka mengikuti kehidupan dan tata krama orang Bandung, dikarenakan untuk mereka dapat bertahan hiduap ditanah rantau, orang Batak diaspora tidak boleh bersikap natural atau menjadi dirinya sendiri tetapi harus lebih mengambil pola sikap orang Bandung yang jauh lebih sensitif. Selain dari tata krama orang Batak diaspora yang terdapat di Bandung juga mereka hidup dengan kebiasaan masyarakat yang mayoritas, akan tetapi mereka tidak meninggalkan identitas mereka sebagai orang Batak.7

6 Lihat bab III, Catatan kaki No. 32.

7 http://batakgaul.com/batak-kali/3-ciri-khas-orang-batak-yang-hidup-di-bandung-933-1.html, diunduh, 29 Oktober 2017, 11.35 WIB.

(4)

74 Dalam tesis Emma Dima8 dengan mengutip pendapat Hans Ucko umat Yahudi

hampir seluruh hidupnya dalam situasi yang minoritas karena sejak zaman perbudakan dari tanah Mesir hingga dalam keadaan tertawan di Babel, sebagai bangsa yang minoritas di belahan Eropa, memang ada toleransi bagi kehadiran minoritas Yahudi, bahkan mereka diterima baik, namun lebih bersikap toleran atas kehadiran mereka tanpa sikap penerimaan yang tulus.9 Yudaisme merupakan agama yang hidup dengan suatu ingatan atau kenangan

akan sejarah, salah satu kunci dalam Yudaisme adalah perintah “ingatlah”

ingatlah pada masa perbudakan dan kurungan, bahwa engkau dibawa keluar dari perbudakan, Ingatlah kesulitan perjalanan di padang gurun, Ingatlah bahwa engkau menjadi umat Tuhan ketika berada di gurun pasir, Ingatlah bahwa engkau dibebaskan dan menjadi umat yang terpilih, Ingatlah identitasmu sebagai umat yang terpilih.10

Apabila dibandingkan dengan orang Batak diaspora maka ada persamaan untuk menyampaikan suatu kerinduannya yaitu dengan mengingat atau mengenang kembali masa lalu dan kemudian direkonstruksi yang ada pada saat itu dan perintah itulah yang dikenal dengan menyimpan memori maka dapat dilihat dari kebiasaan orang Israel yaitu ketika mereka meninggal di tanah diaspora, maka mereka harus membawa pulang sesuatu ke kampung halamannya. Sebagai contoh ketika Yakub mati diakhir dari kehidupannya dia meminta kepada Yusuf untuk bersumpah ketika dia mati, Yakub ingin mendapatkan perhentian bersama dengan nenek moyangnya demikian pula halnya dengan Yusuf kepada saudara-saudaranya untuk melakukan hal yang sama agar di bawa pulang menikmati persekutuan dengan leluhurnya.11

8 Ema dima, Pebale Rau Kattu Do Made: Narasi Tempat dan Identitas Kultural dalam Ritual Kematian Orang Sabu Diaspora, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 79.

9 Hans Ucko, Akar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 37-38. 10 Ucko, Akar Bersama, 39.

(5)

75 Yusuf memenuhi kerinduan Yakub; ketika hampir waktunya bahwa Israel akan mati, maka Yakub berkata “ jika aku mendapat kasihmu, letakkanlah kiranya tanganmu dibawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah bahwa engkau akan menunjukkan kasih dan setiamu, jangan kiranya aku dikubur di Mesir, karena aku mau mendapatkan perhentian bersama nenek moyangku, sebab itu angkutlah aku dari tanah Mesir dan kuburkanlah aku bersama mereka. Jawabnya “aku akan berbuat seperti apa katamu itu (Kejadian 47:29-31). Kemudian berpesanlah Yakub kepada mereka, apabila aku nanti dikumpulkan kepada kaum leluhurku, kuburkanlah aku di sisi nenek moyangku dalam gua yang di ladang Makhpela yang dibeli dari Efron orang Het untuk menjadi kuburan milik (Kejadian 49:29-30). Sama halnnya yang dilakukan Yusuf, Yusuf berkata kepada saudaranya, tidak lama lagi aku akan mati; tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke negeri yang telah dijanjikanNya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, maka Yusuf, menyuruh kepada anak-anak Israel bersumpah katanya, tentu Allah akan memperhatikan kamu pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini (Kejadian 50:24-25) akan tetapi memerlukan proses yang Panjang karena harus melewati penindasan yang Firaun lakukan terhadap bangsa Israel pada saat itu sehingga Allah menolong mereka untuk melepaskan bangsa Israel dari Firaun. Pernyataan ini ialah suatu kerinduan akan kampung halaman, harapan ini dilegalkan karena sebagai tempat untuk berziarah kepada orang tua dan para leluhur yang disatukan agar setiap generasi mengetahuinya. Ketika Yusuf mati di tanah Mesir dan meminta untuk dikubur di tanah leluhurnya itu berarti bahwa Yusuf yang seorang diaspora menginginkan untuk kembali kekampung halaman dan dikubur bersama-sama dengan leluhurnya, Yakub dan Yusuf mempunyai kerinduan yang sama agar tulang-tulangnya dikuburkan di tanah Israel.

(6)

76 Hal ini terjadi dengan orang Batak diaspora yang sudah lama hidup di tanah rantau, bagi para orang tua, ketika mereka meninggal, mereka menginginkan agar tulang-tulangnya dibawa kekampung halamannya, peristiwa untuk membawa kembali tulang-tulang ketempat asal bermula dari zaman Yakub dan Yusuf, tradisi membawa sesuatu dari orang yang meninggal itupun terjadi pada masyarakat Batak diaspora, yang merantau ke Bandung. Mengenai cerita Yakub dan Yusuf yang dibawa pulang ialah tulang-tulang, sama halnya dengan orang Batak diaspora yang dibawa ke kampung halaman ialah tulang-tulang, sampai hari ini orang Batak diaspora dibeberapa daerah seperti Jakarta, Bandung melaksanakan upacara Mangongkal holi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan orang tua mereka dan merupakan suatu tradisi turun-temurun yang diberitahukan dari generasi ke generasi.

Tempat asal merupakan tempat dimana leluhur berasal. Dalam pandangan orang Batak dimanapun ia dilahirkan maka ia harus kembali ketempat asalnya ketika ia meninggal, karena itu merupakan tanah milik pusaka yang diwariskan oleh leluhur kepada keturunannya, akan tetapi ada juga orang Batak yang tidak memiliki tanah.12

Keputusan untuk kembali ke tanah asal merupakan cara agar tidak putus hubungan dengan tempat asalnya, untuk terikat dengan budaya asalnya dan dengan bahasa yang digunakan ditempat asal dan untuk tetap terikat dengan budaya asalnya, sekalipun orang tersebut telah pergi lama untuk merantau di suatu tempat namun ketika orang tersebut pulang ke tempat asal maka orang tersebut akan disambut oleh keluarga, kedatangannya ditandai dengan kecintaannya kepada keluarganya.13 Dalam kehidupan orang Batak diaspora dalam melakukan upacara mangongkal holi ketika mereka kembali ke kampung halamannya bukan saja orang yang meninggal yang kembali tetapi juga bersama-sama dengan orang Batak

12 Lihat bab III, catatan kaki No. 66.

(7)

77 diaspora kembali, hal itu dapat dilihat bagaimana orang Batak diaspora ketika melakukan upacara tersebut mereka disambut oleh keluarga yang berada disana. Menurut Anastasia Christou bahwa masyarakat diaspora yang kembali ke tanah asal atau tanah leluhur adalah masyarakat generasi kedua (generasi Amerika-Yunani).14 Berbeda dengan Anastasia Christou, bahwa masyarakat Batak Kristen diaspora ketika mereka kembali ke tanah leluhurnya untuk melaksanakan upacara mangongkal holi maka ini bukan lagi generasi yang kedua melainkan generasi selanjutnya yang sudah ada hingga saat ini.

4.2 Mangongkal Holi: Menjadi Pusat Ingatan Batak Kristen Diaspora

Upaya untuk memahami upacara Mangongkal holi sebagai tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Batak diaspora diperlukan cara untuk mengkonstruksi kembali ingatan mereka, agar mereka dapat membayangkan silsilah mereka dengan cara “doing genealogy”.

Dengan genealogi sebagai cara berpikir manusia, maka manusia akan berkerja mewujudkan suatu komunitasnya, maka faktor ingatan menjadi penentu dan memiliki peranan penting, karena ingatanlah yang mendorong untuk merekonstruksi yang mana, yang akan diterima sebagai leluhur dan bagaimana pengalaman sejarahnya.15

Loomba mengatakan bahwa pada dasarnya manusia selalu memiliki kecenderungan atau keinginan untuk menciptakan sesuatu yang lain bagi dirinya sendiri, maka humanitas sewajarnya dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dan beragam. Dari keberagaman yang ada di tengah masyarakat, manusia akan mengkonstruksi dan menghasilkan latar belakang, bagian dalam atau tampilan inferior dari mereka. Maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada

14 Anastasia Christou, Narratives of Place, Culture and Identity (Amsterdam: 2006), 33.

15 Eviatar Zerubavel, Ancestor and Relatives: Genealogy, Identity, and Community (New York, Oxford University Press, 2012), 32.

(8)

78 identitas yang tidak berubah dan menetap karena manusia akan masuk kedalam sebuah hibriditas dan ambivalensi yang menunjukkan bahwa manusia pada dirinya adalah sesuatu yang dinamis. Hingga pada prinsipnya kalaupun ia memiliki hal yang mirip dengan yang ada sebelumnya atau disekitarnya, konstruksi itu tidak akan sama atau identik.16

Upacara Mangongkal holi banyak dilakukan oleh orang Batak, terkhusus masyarakat Batak diaspora, namun tidak akan pernah sama tujuan dan motivasinya, karena itu berkaitan dengan respon pelaku terhadap upacara Mangongkal holi, maka lewat upacara ini para pelaku berupaya untuk mengkonstruksi dan memahami ke-khas-an mereka dari apa yang ada ditengah-tengah masyarakat. Berangkat dari suatu pemahaman bagaimana Mangongkal holi

merupakan suatu upacara dalam yang dilakukan oleh masyarakat Batak pada zaman pra kekristenan untuk menghormati para leluhur dan orang tua yang sudah mati, selain itu juga bahwa adanya pemahaman yang berpendapat bahwa upacara mangongkal holi lahir dari rasa kekeluargan yang erat dan rasa cinta kasih kepada orang tua atau leluhur.17

Dalam pelaksanaannya bahwa bila melihat zaman pra kekristenan masyarakat Batak melakukan tradisi upacara Mangongkal holi dengan tidak membawanya ke gereja melainkan ke rumah agar sumangot daripada orang tua itu dapat memberi berkat, ketika berada dirumah tulang-tulang tersebut disembah, di tor-tori dan kemudian di tangisi.18 Seiring dengan perkembangan zaman, ketika kekristenan masuk ke tanah Batak maka pada saat itu adanya perubahan yang terjadi pada saat upacara mangongkal holi, sehingga pada saat itu ketika orang Batak melakukan upacara mangongkal holi, tulang-tulangnya sudah tidak lagi disimpan dirumah melainkan digereja karena menurut pemahaman mereka bahwa rohnya

16 Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism (London: Routledge, 2000), 104. 17 Lihat bab III, catatan kaki No. 56.

(9)

79 sudah bersatu dengan Tuhan. Maka dalam hal ini jugalah masyarakat Batak Kristen diaspora tidak lagi mengikuti cara orang Batak pada zaman pra kekristenan, tapi mereka memahami upacara mangongkal holi sebagai wujud rasa syukur mereka kepada Tuhan dan sebagai tanda kasih sayang mereka terhadap orang tua.19 Maka berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, mengenai pemahaman Batak Kristen diaspora terhadap upacara mangongkal holi, maka penulis membagi kepada tujuh bagian;

4.2.1 Mangongkal Holi Sebagai Status Sosial Leluhur

Dalam upaya untuk mengkonstruksi narasi genealogis tidak dapat dihindarkan dari angenda-agenda personal maupun komunal, karena konstruksi upacara mangongkal holi ini tidak luput dari agenda yang seperti itu. Termasuk di dalamnya status sosial, dalam upacara

mangongkal holi para leluhur diangkat statusnya menjadi dihormati di tengah-tengah masyarakat sehingga bersanding dengan para leluhur dari keluarga yang lain. Status sosial dalam hal ini dapat terlihat jelas pada saat menyematkan gelar baru untuk nama para leluhur seperti “ompu raja” gelar ini menunjukkan karena orang tersebut adalah orang yang

terhormat dan telah memiliki jalur keturunan yang besar dan karana jalur keturunannya sanggup melaksanakan upacara mangongkal holi. Seorang responden mengatakan bahwa upacara mangongkal holi tidak hanya berguna untuk meninggikan status sosial leluhur tetapi juga status sosial keturunannya, selain itu juga bahwa tiga yang dicari oleh masyarakat Batak Kristen diaspora di dalam kehidupannya yaitu kekayaan (Hamoraon), keturunan yang banyak (Hagabeon), dan kehormatan (Hasangapon).20

19 Lihat bab III, catatan kaki No. 56. 20 Lihat bab III, catatan kaki No.63.

(10)

80 Jika dilihat bahwa dalam upacara mangongkal holi adanya pergeseran akan suatu kebutuhkan benda-benda kepada kebutuhan pengakuan, citra dan konsep kemajuan akan status sosial serta adanya suatu perbedaan tujuan dan pemahaman akan upacara mangongkal holi. Hasil yang dapat dilihat dari itu bahwa manusia dengan kemampuan berpikirnya maka mampu untuk melakukan penataan ulang atau upaya mengkonstruksi guna memenuhinya. Dalam hal ini para leluhur merupakan objek-objek yang ditata ulang oleh keturunannya untuk memenuhi sesuatu yang diinginkan oleh keturunannya. Menurut Aguswati Hildebrandt Rambe bahwa nama baik, kehormatan, dan martabat menjadi konstruksi sosial yang dilahirkan antara lain melalui ritus kematian, pada ritus kematian tradisional secara langsung berbanding lurus dengan keterlibatan dan stratifikasi sosial baik keluarga yang ditinggalkan maupun kepada orang yang sudah meninggal. Pada upacara kematian, kita dapat melihat adanya suatu perbedaan yang tajam dalam stratifikasi sosial yang dapat dilihat, dan perbedaan itu diprovokasi dan diproduksi, harga diri, kekuasaan, kehormatan, dan nama baik dicapai melalui upacara atau pesta yang besar serta keterlibatan orang-orang penting yang ada di dalamnya.

Dengan mengadakan suatu pesta besar maka masyarakat dapat memperoleh keuntungan secara materi sehingga seseorang mendapatkan posisi secara pribadi, dengan itu dapat dikatakan bahwa reputasi seseorang dapat hidup dengan ingatan kolektif.21 Maka

dalam hal ini genealogi merupakan narasi yang ingin mempertahankan dan melanjutkan suatu tema yang penting yaitu; kontinuitas, kehormatan, kewibawaan, dan perjanjian serta tradisi-tradisi.22

21Aguswati Hildebrandt Rambe, Keterjalinan dalam keterpisahan (Mengupaya Teologi Interkultural dari kekayaan Simbol, Ritus Kematian dan Kedukaan di Sumba dan Mamasa (Yogyakarta: Aswaja Pressindo 2014), 179.

(11)

81

4.2.2 Mangongkal Holi Sebagai Solidaritas Kultural

Bagi R. Pangaribuan bahwa upacara mangongkal holi merupakan suatu upacara yang besar dan disinilah kita dapat mempererat kesatuan, sehati, sepenanggungan, sepikir, dan solidaritas yang harus dipupuk karena dengan seperti inilah akan berjalan secara langsung upacara mangongkal holi, dan jangan ada yang ingin menonjolkan diri sendiri karena apabila seperti itu maka upacara tersebut tidak akan berjalan secara baik, serta kita juga harus bisa menerima keluarga yang lain dari pihak yang lain dan itupun perlu dijaga dengan baik, karena dengan upacara ini berarti kita memperluas makna keluarga.23

Solidaritas merupakan kata yang memiliki akar “persatuan”. Apa yang disebut “solidaritas” merupakan norma dasar yang di dalamnya terdapat praktik kehidupan yang membina kesatuan dalam suatu perbedaan. Dalam kehidupan sosial, solidaritas muncul sebagai “organis”. Solidaritas organis muncul dari rasa saling ketergantungan di tengah orang yang berbeda-beda dan saling memperlengkapi.24 Dawkins mengatakan bahwa satu-satunya

yang paling pokok dalam mengelompokkan organisme ialah atas dasar kesepupuan, atau dapat dikatan dengan melihat nenek moyang yang sama dari organisme tersebut.25

Bahwa dengan berlangsungnya upacara mangongkal holi itu karena adanya tujuan untuk memperkuat tali persatuan antara sesama anggota keluarga yang berdomisili di tempat yang berbeda, selain itu juga bahwa upacara mangongkal holi juga merupakan suatu makna untuk memperluas “keluarga” yang bukannya hanya saja ditunjukkan kepada keluarga kandung saja melainkan anggota yang majemuk.26 Di sisi lain O. Pangaribuan bahwa adanya

23 Lihat bab III, catatan kaki No. 64.

24 Martin Harun, “Solidaritas sebagai Norma Dasar dalam Etika Paulus”, Diskursus, Vol. II No. 1, April 2012, 79.

25Richard Dawkins, The Blind Wacthmaker: Why the Evidence of Evolations Reveals a Universe Without Design (New York: W.W Norton, 2006), 367.

(12)

82 upacara mangongkal holi itu lahir dari rasa kekeluargaan yang dimana terdapat rasa cinta kasih antara sesama anggota keluarga untuk saling bergotong royong dengan cara memberikan pikirannya untuk bagaimana upacara mangongkal holi dapat berjalan dengan baik, memberikan tenaga, memberikan materi karena upacara mangongkal holi

membutuhkan banyak biaya agar upacara tersebut dapat berjalan dengan baik dikarenakan harus mengundang dari pihak keluarga yang lain.27

Dalam hali ini Eviatar Zerubavel mengatakan bahwa adanya suatu pertalian yang biologis dan disusun dalam geneologis ketat agar menjadi natural, dan akan disebut dengan anggota keturunan atau ikatan darah. Dalam sebuah keluarga kita bisa menemukan leluhur yang sama dan mempraktekan norma-norma yang dianut secara bersama dengan genealogi sebagai cara berpikir manusia, maka manusia selalu bekerja untuk mewujudkan suatu komunitas impiannya.28

4.2.3 Mangongkal Holi: Penghormatan Terhadap Orang Tua dan Leluhur

Di Nusantara terdapat banyak sekali cara bagaimana orang melakukan upacara kematian, ada yang dikremasi, ada yang dimasukkan ke gua, ada yang disimpan ditanah sampai membusuk, di sisi lain juga ada dibeberapa tempat ditemukan ada yang berdoa bersama untuk mendoakan yang mati setelah 7 hari atau 100 hari, perlakuan terhadap orang mati juga ditemukan di tengah-tengah orang Batak Kristen diaspora yaitu dengan cara menghormati para leluhur atau orang tua dengan melakukan upacara mangongkal holi, upacara ini juga bukannya hanya sebagai penghormatan kepada orang tua tetapi mangongkal holi tetapi juga dapat dikatakan sebagai pemenuhan adat kepada orang tua, karena

27 Lihat bab III, catatan kaki No. 57. 28 Lihat bab III, catatan kaki No. 4.

(13)

83

mangongkal holi merupakan akhir dari sederetan upacara tradisi yang dilakukan oleh generasi atau orang Batak terkhusus Batak diaspora sebagai upacara kematian orang Batak, selain itu juga proses mangongkal holi menjadi penting untuk dipelihara oleh masyarakat Batak Kristen diaspora, untuk menata kembali dari yang terdahulu hingga yang terkini. Karena menurut F. Br Limbong bahwa dengan melakukan upacara mangongkal holi sudah selesai adat untuk orang tua, karena ini sebagai tanda bahwa orarng tua kami adalah orang yang memiliki hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan atau panjang umur), dan

hasangapon (kemuliaan, kehormatan, dan kewibawaan).29

Sudah selasailah adat untuk orang tua kita, ini tandanya orang tua kami adalah orang yang sudah memiliki hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Mangongkal holi

menjadi rangkaian ada kepada orang tua kita, memang pada waktu mereka meninggal berjalannya adat, tetapi adat itu untuk menguburkan ke dalam tanah, kalau upacara mangongkal holi ini merupakan acara besar. Selain itu dalam melakukan mangongkal holi ada beberapa tahapan yang dilakukan agar tidak simpang siur dengan di damping oleh pendeta acara berlangsung diawali dengan ibadah, setelah itu melakukan penggalian yang pertama oleh pendeta, kemudian anak, lalu tulang kalau laki-laki yang di gali, kalau perempuan yang di gali, pendeta, kemudian anak dan hula-hula, kemudian di gali oleh orang yang melakukan penggalian yaitu orang sekitar, kemudian mereka memberi uang kepada orang-orang yang menggali agar cepat menemukan tulang-tulang orang tua mereka, dan yang mengangkat tulang-tulangnya ialah anak dari orang tua yang sudah meninggal dan diterima oleh tulangnya, setelah itu dicuci dengan kunyit, asam dan demban supaya menghilangkan bakterinya, kemudian dimasukkan ke kain putih yang merupakan simbol kesucian karena orang mati sudah suci karena sudah berada dengan Tuhan dan dipakaikan ulos untuk menutup petinya, karena itu penting untuk melakukan mangongkal holi, karena salah satu cara menghormati orang tua yaitu dengan melakukan upacara mangongkal holi dan kemudian di masukkan ke tugu sebagai tempat peristirahatan yang terakhir

Dalam hal ini bahwa genealogi merupakan sebuah narasi yang memiliki peran untuk mempertahankan dan melanjutkan suatu tema penting yaitu kontinuitas, kehormatan, kewibawaan, dan adanya janji serta tradisi-tradisi, maka dalam hal itu genealogi tidak lagi

(14)

84 sedang merekonstruksi masa lalu tetapi juga sedang merekonstruksi kekinian sekaligus membangkitkan harapan dan masa depan.30

4.2.4 Mangongkal Holi Sebagai Identitas dan Komunitas

Di dalam lingkup orang Batak yang sudah tersebar di beberapa daerah, di Indonesia, maka mereka dapat dikatakan sebagai masyarakat yang menjadi keturunan diaspora yang hidup di dalam lingkup komunitas yang beragam, hal ini menjadikan upacara mangongkal holi menjadi sebuah penanta identitas dan komunitas baik dalam masyarakat perantau maupun masyarakat yang ada di kampung. Hal ini dibuktikan dengan mereka yang di Bandung A. Pangaribuan ketika melakukan upacara mangongkal holi yang berpendapat bahwa upacara ini membentuk identitas bukan saja bagi dirinya tetapi bagi anak-anaknya.31

Kalau sudah melakukan adat na gok (adat yang penuh/sempurna) kepada orang tua kami, sekarang kami pun sudah punya nama baru yaitu “pomparan Ompu Rauli Pangaribuan” kalau ada pesta adat baik di kampung ataupun di kota, bila ada pembagian jambar (hak daging) jadi yang dipanggil namanya, ya jambar untuk Ompu Rouli Pangaribuan, jika kami mangulosi (memberi ulos) di pesta, maka rombongan kami dipanggil dengan nama ompung kami

Dalam hal ini bahwa persoalan mengenai identitas, genalogi, dan komunitas, serta persoalan budaya dan biologis saja tetapi yang dilihat Zerubavel ialah biologis memberikan kita gambaran yang tidak lengkap akan genealogi kita. Karena itu walaupun leluhur dan keluarga kita adalah suatu pemberian yang kita terima tetapi tidak memberikan suatu petunjuk sejauh mana kita mengukur pentingnya hubungan mereka dengan kita, dalam hal ini ingatan menjadi penting, mengapa karena ingatan mampu untuk membayangkan leluhur dan sanak keluarga kita yang dihasilkan oleh pikiran kita, maka menurut Zerubavel bahwa

30 Zerubavel, Ancestor and Relatives, 32. 31 Lihat bab III, catatan kaki No. 56.

(15)

85 ingatan manusia mengandung “genealogical imagination” dan “imagination community” dari

kedua hal inilah mendorong manusia untuk mencari, menyelidiki, dan mengkonstruksi kembali dirinya untuk menemukan leluhur, upaya menemunkan leluhur tentu dipelukan usaha untuk penelitan secara genetic, sehingga dengan terus bertanya, mengeksplorasi maka manusia dapat memenuhi suatu komunitas dan identitas yang terdapat dalam pikirannya.32 Lewat upacara mangongkal holi imaginasi manusia banyak memainkan peranan penting, yang menunjukkan bahwa adanya konstruksi manusia untuk menjawab kebutuhan identitas, genealogi, dan persekutuan mereka, maka dalam hal ini upacara mangongkal holi tidak akan pernah sama bentuk dan praktiknya. Di sisi lain lewat upacara ini juga terlihat adanya suatu kesadaran bahwa setiap orang dan setiap komunitas adalah pribadi dan persekutuan yang multi budaya, sehingga lewat upacara ini dapat dilihat kepelbagaian itu ada di dalam identitas, genealogi, dan persekutuan para pelakunya.

Maka menjadi penting untuk memahami upacara mangongkal holi sebagai suatu pemahaman agar dapat mengingat kembali akan suatu tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu hingga sampai saat ini dan itu dapat diketahui oleh generasi berikutnya sehingga upacara mangongkal holi menjadi ajang yang terus dipertahankan. Karena ada begitu banyak nilai-nilai yang baik, yang terkadung di dalam upacara mangongkal holi, selain itu juga upacara ini juga bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada orang tua dan para leluhur agar ditempatkan ketempat yang lebih layak.

(16)

86

4.2.5 Mangongkal Holi: Titah Hukum Taurat dan Nostalgia Kampung Halaman

Hans Ucko mengatakan bahwa Yudaisme merupakan agama yang memiliki suatu kenangan dan sejarah yang begitu panjang, maka salah satu kuncinya ialah “ingatlah”, ingatlah akan pada masa perbudakan, ingatlah kesulitan dalam perjalanan di padang gurun, ingatlah bahwa Allah yang universal menyatakan diriNya padamu, ingatlah bahwa engkau dibebaskan untuk menjadi umat terpilih dan ingatlah identitasmu sebagai umat terpilih.33

Sama halnya dengan orang Batak diaspora ketika mereka rindu ingin bernostalgia dengan kampung halaman maka mereka mengenang dan mengingat masa lalu, bukan hanya itu saja tetapi mereka merekonstruksi kembali apa yang mereka ingat sehingga mereka dapat bernostalgia dengan ingatan-ingatan itu. Maka dapat dikatakan bahwa mangongkal holi

adalah salah satu cara bagi mereka untuk dapat bernostalgia dengan kampung halaman, bukannya orang yang sudah mati saja tetapi orang yang masih hidup mereka dapat bernostalgia. Selain itu juga bahwa seseorang ingin kembali ke kampung halaman adalah agar tidak terputus hubungannya dengan tempat asal dan terkait dengan budaya asal yang digunakan dengan budaya asal, ketika seseorang telah lama merantau ke suatu tempat dan orang tersebut kembali dan disambut oleh keluarganya, maka kedatangannya itu dapat digambarkan bahwa orang tersebut kembali dalam cinta kasih keluarganya.34

Di satu sisi jika melihat cerita tentang Yakub dan Yusuf maka dapat diartikan bahwa adanya suatu ingatan akan kampung halaman untuk mereka kembali kesana, bahkan Yakub berpesan kepada Yusuf agar ketika ia mati supaya dikuburkan bersama-sama dengan para leluhurnya, di sini dapat dilahat bahwa adanya suatu kerinduan akan kampung halaman yang sudah lama ia tinggalkan, akan tetapi disisi lain hal ini dapatkan bahwa adanya suatu ziarah

33 Hans Ucko, Akar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 39.

(17)

87 yang dapat dilakukan oleh mereka pada saat itu. Upacara mangongkal holi menjadi penting di satu sisi karena itu merupakan suatu ajang untuk kita melakukan penghormatan kepada para leluhur atau orang tua, tapi di sisi lain itu juga menjadi penting karena kita dapat bernostalgia bersama-sama untuk mengingat kembali apa yang sudah terjadi masa lalu, selain itu juga upacara mangongkal holi merupakan suatu bentuk pengalaman akan titah yang diberikan Tuhan bahwa kita harus menghormati orang tua, dalam bahasa Batak hukum kelima diawali dengan kata ingkon “harus”, kata ini menjadi penting karena merupakan suatu perintah dan penegasan bagi setiap orang Batak agar kita mengingat titah Tuhan tersebut.

Upacara mangongkal holi buat saya merupakan bentuk dari pengalaman titah kelima dari hukum taurat Tuhan. Dari sepuluh titah Tuhan yang menggunakan kata “ingkon” (artinya harus), yaitu titah ke lima. Memang titah itu semuanya perintah, tapi mengapa penekanan kepada orang tua lebih, pakai kata “harus”. Bagi saya orang tua adalah wujud dari Tuhan yang kelihatan, bagaimana tidak saya mencintai dan menghormati Tuhan yang tidak saya lihat sementara orang tua saya jelas sudah melahirkan, merawat dan membesarkan saya, saya abaikan, lagi pula bagi saya mencintai orang tua tidak mengenal waktu dan Batasan, memang bagi saya mereka sudah mati tetapi rasa cinta dan hormat tidak akan pernah mati. Selain itu juga bahwa AP mengutip mengenai perintah yang diberikan Yakub kepada Yusuf untuk bersumpah ketika Yakub mati haruslah di bawa pulang ke tanah Kanaan untuk dikuburkan bersama-sama dengan para leluhurnya, maka sebaliknya pula ketika Yusuf mati maka dia berpesan kepada saudara-saudaranya untuk dikuburkan di Israel.35

Di dalam kehidupan orang Batak bahwa biasanya setiap orang tua memberikan poda

(nasehat) kepada anak bahwa untuk ketika orang tua masih hidup haruslah setiap anak-anak untuk menunjukkan rasa hormat, kebaikan, ketulusan hati, kepada orang tua karena anak-anaknya mengasihi mereka dan ini merupakan hukum yang Tuhan berikan kepada anak-anak agar mengormati mereka. Maka hingga saat ini ketika orang Batak diaspora masih memegang teguh poda (nasehat) yang diberikan orang tua.

(18)

88

4.2.6 Mangongkal Holi: Sejarah Kultural Batak

Pada awalnya mangongkal holi sejak adanya nenek moyang orak Batak, karena mereka tidak terlepas dari adat, maka sebelum kekristenan masuk ke tanah Batak, mereka melakukan upacara mangongkal holi dengan cara ditangisi, disembah, dan ditor-tori karena roh dari mereka para leluhur dapat memberikan berkat kepada mereka. Tetapi ketika kekristenan masuk ke tanah Batak maka cara-cara yang dilakukan pada saat itu sudah tidak dilakukan kembali karena sudah tidak sesuai dengan iman Kristen.36

Di sini penulis melihat adanya dua hal yang pertama adalah bahwa sebuah ritual, dalam hal ini ritual terhadap orang tua tidak mungkin dipisahkan oleh rasa emosional atau penjiwaan, yang kedua adalah aspek emosional terlibat dalam ritual dengan alasan karena sudah Kristen, sehingga terkait dengan kekristen yang tidak dibenarkan untuk menangisi tulang-tulang orang yang telah meninggal. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada ritual yang tidak dipengaruhi oleh emosional manusia, karena dalam hal inilah mangongkal holi

mengandung nilai-nilai psikologis yaitu aspek penyembuhan. Maka dalam hal ini bahwa fungsi dari emosional upacara mangongkal holi merupakan suatu cara untuk menolong setiap individu bahkan kelompok untuk menyalurkan rasa duka dan mengembalikan harmoni yang sempat terguncang karena kematian dan membantu setiap pelaku untuk terkoneksi kembali dengan kelompok dan perjalanan kehidupan mereka.

(19)

89

4.2.7 Mangongkal Holi: Simbol Penanda Hak Milik Makam Leluhur

Menurut R.S Pasaribu bahwa tugu merupakan suatu penanda akan bahwa apabila mereka membangun tugu di tanah itu maka tanah menjadi milik dari keturunan dari keluarga itu, karena itu sudah menjadi ketentuan hukum yang diakui dan diterima semua anggota keluarga bahkan anggota yang ada di daerah itu serta tidak ada yang berani mengganggu gugat akan hal itu, maka tidak boleh seseorang dimakamkan ditanah yang bukan miliknya. Orang Batak biasanya memiliki tanah pusaka yang diwariskan kepada keturunan sehingga mereka memiliki tempat untuk menguburkan para leluhur dan anggota keluarganya.37

Pelaksanaan upacara mangongkal holi menyangkut generasi penerus terhadap warisan leluhur dan orang tua yaitu tanah. Tanah merupakan hal penting yang harus dijaga oleh keluarga Batak yang ada dikampung maupun Batak yang sudah lama merantau, bukan saja karena itu warisan harta tetapi juga karena warisan sejarah leluhur. Hal ini juga dapat kita lihat dalam bangsa Israel bahwa sebelum Yakub mati, ia berpesan kepada Yusuf untuk membawa tulang-tulang ke tanah Kanaan dan disatukan oleh para leluhurnya di gua Makhpela yang di beli oleh nenek moyangnya dari orang Efron, sebaliknya Yusuf juga meminta kepada saudaranya untuk dikuburkan bersama-sama dengan leluhurnya, pernyataan inilah yang sebenarnya mereka memiliki suatu kerinduan untuk mereka pulang ketanah leluhurnya agar tulang-tulangnya dipersatukan dengan mereka.

Tugu menjadi tanda lahirnya klan atau marga dan menjadi simbol yang tepat untuk proses kesatuan marga, karena dengan tugu, orang Batak baik yang ada di kampung maupun Batak diaspora membentuk kebatakannya untuk mempersatukan masa lalu, kini dan yang

(20)

90 akan datang.38 Dengan berdirinya tugu maka dapat dikatakan bahwa anggota keluarga

tersebut mengklaim bahwa tanah tempat tugu diletakkan menjadi tanah leluhur mereka. Maka dengan hal itu tanah bukan saja mengandung nilai yang ekonomis tetapi mengandung nilai yang historis dan identitas. Jadi apabila seseorang kehilangan tanah leluhur atau keluarga maka hilang juga klaim, kepemilikan, sejarah, dan identitas yang pernah melekat pada tanah tersebut.

Dengan berdirinya tugu ditanah leluhur maka setiap anggota keluarga memiliki pijakan untuk mengembangkan kehidupan mereka di daerah lain membuka jaringan yang lebih luas tetapi sekaligus lewat pendirian tugu itu mereka memiliki jalan masuk untuk terkoneksi dan menjadi bagian dari masyarakat dan tatanan kehidupan di tanah leluhur. Maka dengan berdirinya tugu di atas tanah leluhur dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga amanat yang diberikan secara turun-temurun. Dalam reputasi sosial bahwa yang menjadi penanta sosial ialah keturunan, maka keadaan ini para keturunan bukan saja menjadi pewaris, kekayaan leluhur tetapi meliputi status sosial dan reputasi. Maka dalam hal ini genealogi mempersatukan anggota keluarga dari masa lalu hingga masa kini dan mempertinggi status sosial menjadikan leluhur sebagai sumber yang secara sosial diwariskan kepada kita menjadi garis keturunannya.39

Dalam hal ini bawha manusia di satu sisi hidup di dalam kemajemukannya tetapi manusia tidak dapat lepas dari ke-eklusifan ditengah-tengah komunitasnya, sehingga untuk melepaskannya dengan berusaha untuk menempatkan ke-orginalitasnya yang membuat berbeda dari yang lain. Jika dilihat dari garis keturunan maka ini menjaga eklusifitas dengan cara tidak berbagi dengan yang lain dan penganut ini menolak akan adanya leluhur bersama,

38 Lihat bab III, catatan kaki No. 63. 39 Zerubavel, Ancestor and Relatives. 78.

(21)

91 serta untuk menampilakan pohon keluarga, pengenut ini lebih kepada membuat pohon keluarganya sendiri dan cara ini lebih menghormati keberadaan orang lain.40

4.3 Mangongkal Holi Sebagai Tindakan Simbolik

Sebelum penulis menjelaskan tentang faktor yang mempengaruhi mangongkal holi, baik itu tujuan, upaya untuk mempetahankannya, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang tindakan simbolik. Simbol merupakan sarana atau alat untuk mendapat mengenal yang kudus dan transenden, selain itu simbol memainkan peranan penting di dalam kehidupan manusia. Jadi tindakan simbolik adalah suatu kegiatan yang manusia lakukan dengan mengunakan simbol sebagai alat untuk terhubung kepada yang transenden, karena dengan simbol, manusia dalam segala bentuk kegiatannya yang benar-benar simbolis, terlibat secara eksistensial dengan memandang dirinya berhubungan dengan sumber hidup universal, maka ia sedang berusaha untuk masuk kepada akar dari segala sesuatu, realitas terakhir atau tertinggi. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa melalui simbol keagamaan manusia dapat dibebaskan dari isolasinya, subjektivitasnya, dan pamrih dirinya untuk dibawa masuk ke dalam sikap terbuka kepada roh dan akhirnya mendekati kepada yang universal.41 Aneka ungkapan pengalaman manusia dilukiskan melalui simbol dan penciptaan simbol, karena dengan simbol manusia dapat menanggapi hierophani-hierophani, bukan hanya menghasilkan refleksi atau cerminan dari apa yang dilihat dan di dengar tetapi dengan menghubungkannya pada yang menciptakan manifestasi tersebut. Karena itu kegiatan

40Zerubavel, Ancestor and Relatives, 99.

(22)

92 simbolik tidak lagi bersifat univok (satu makna yang jelas, tidak membingungkan) akan tetapi lebih bersifat multivalen dan mengungkapkan segi-segi barang suci yang bervariasi.42

Peranan simbolisme menjadi penting karena dalam pengalaman yang religius manusia bukan karena perubahan hierophani yang menjadi simbol melainkan karena simbol mendukung hierophani dan mengambil tempatnya dan simbol bisa menjadi hierophani itu sendiri, ketika hierophani masuk dan mendiami simbol maka simbol yang profan berubah menjadi sesuatu yang sakral. Pengalaman manusia mengenai dunia pertama-tama adalah berteemu dengan beraneka macam unsur yang membutuhakan suatu pusat integrase (perpaduan) serta membutuhkan ikatan perdamaian. Menurut Raymond Firth bahwa manusia untuk menata dan menafsikan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan merekonstruksi realitasnya pun dengan simbol karena setiap simbol yang dimunculkan memiliki instrument nilai.43

Upacara mangongkal holi yang dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen diaspora merupakan suatu tindakan simbolik yang bertujuan secara khusus untuk mempersatukan sistem kekerabatan atau klan itu sendiri dan juga secara umum mempererat hubungan kekerabatan dengan dengan klan yang lain sebagai identitas orang Batak. Menurut Durkheim44 bahwa yang profan adalah suatu peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat dikehidupannya sehari-hari yang tidak memiliki nilai-nilai suci yang disakralkan, hal itu yang dilakukan masyarakat Batak melalui ritual mangongkal holi, upacara itu akan menjadi sakral apabila terdapat sesuatu kandungan religius yang menghubungkan dengan yang leluhur, di dalamnya terdapat nilai-nilai moral yang saling mengikat antara orang Batak dengan

42 Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religion (New York, Meridian Books, 1963), 446.

43 Raymond Firth, Symbols: Public and Private (New York: Ithaca, Cornell University Press, 1973), 132.

(23)

93 leluhurnya yang nampak dalam sistem kekerabatan yang terjalin. Di dalam melakukan upacara magongkal holi dilakukan pemotongan kerbau sebagai simbol yang sakral bagi masyarakat Batak, karena dengan simbol tersebut seluruh keturunan sudah menjadi keluarga besar.

4.4 Faktor-faktor Mempengaruhi Upacara Mangongkal Holi

Berkaitan dengan penulisan upacara mangongkal holi sebagai tindakan simbolik penulis merasa pembahasan ini merupakan hal yang sangat urgent, mengingat ritual mangongkal holi yang merupakan identitas budaya masyarakat Batak sudah tidak menjadi identitas masyarakat Batak dimasa sekarang, kenyataannya ditandai dengan kurangnya pemahaman atau pengetahuan terhadap mangongkal holi.

Karena itu, penulis memberikan beberapa faktor-faktor yang menurut penulis itu diperlukan bagi masyarakat Batak terkhusus Batak Kristen diaspora yaitu; pertama, kesepakatan dari pihak keluarga menyangkut upacara mangongkal holi. Kedua, dana, karena untuk melakukan upacara mangongkal holi diperlukan dana yang cukup banyak agar berjalannya upacara mangongkal holi dengan lancar. Ketiga dalihan natolu dan tokoh adat, apabila tidak ada dalihan na tolu dan tokoh adat (raja bius), maka upacara mangongkal holi

tidak dapat berjalan karena mereka merupakan orang yang penting di dalamnya. Keempat dari gereja, karena gerejalah yang menyetujui prosesi upacara mangongkal holi.

4.5 Upaya Mempertahankan Upacara Mangongkal Holi

Berkaitan dengan upacara mangongkal holi, maka penulis melihat upaya-upaya mempertahankan upacara tersebut karena mengingat pentingnya upacara ini bagi masyarakat

(24)

94 Batak Kristen diaspora, karena upacara ini merupakan suatu tradisi yang harus dipertahankan di masa sekarang. Di dalam perkembangan zaman terkikisnya budaya lokal itu dikarenakan ketidak ingin tahuan generasi sekarang akan tradisi tersebut, dalam hal ini generasi muda orang Batak Kristen diaspora harusnya menyikapi pentingnya upacara mangongkal holi

sebagai tradisi yang ditinggalkan oleh para leluhur selain itu bahwa upacara ini merupakan suatu lanjutan dari adat istiadat yang biasa dilakukan oleh orang Batak terlebih orang Batak Kriten diaspora untuk penghormatan kepada orang tua. Di dalam kehidupan di zaman modern ini juga seharusnya para orang tua menceritakan kepada generasi sekarang agar mereka tidak lupa akan warisan yang sudah ditinggalkan oleh para leluhur.

4.6 Kesimpulan

Cara berpikir menurut Eviatar Zerubavel tampak menjadi suatu landasan dalam praktek kehidupan manusia, sehingga dari hasil analisa terhadap praktek upacara

mangongkal holi dijumpai bahwa “genealogical imagination” yang berada di dalam pikiran manusia mendorong mereka untuk menyusun kembali suatu narasi genealogical. Pikiran manusia memuat “imagined community” yang berperan penting dalam upacara mangongkal holi lewat pemilihan para leluhur, para pelaku upacara dari anggota tidak saja terkoneksi dan menjadi bagian dari para leluhur tetapi mereka berupaya untuk mendirikan dan mewujudkan komunitas baru ditengah-tengah suatu masyarakat. Jadi dengan “imagined community” dapat

dilihat bahwa persekutuan keluarga tidak selamanya ditentukan oleh ikatan sedarah atau kebenaran genetik tetapi karena adanya perwujudan suatu tujuan baik secara personal maupun komunal.

(25)

95 Upacara mangongkal holi telah melahirkan dunia baru di tengah-tengah dunia yang nyata dan menjadi sebuah narasi yang dikonstruksi untuk menampung agenda personal dan komunal para pelakunya, yang kemudian didemonstrasikan kepada orang orang lain melalui upacara bersama. Dunia baru yang mencakup identitas, genealogi, dan persekutuan yang telah ditampilkan oleh para pelakunya, mempengaruhi tatanan atau realitas manusia, bukan hanya perorangan melainkan komunal maupun global. Upacara mangongkal holi bukan juga menjadi jalan terciptanya pertemuan, kehadiran, dan keterjalinan kembali antara manusia dengan manusia, tetapi manusia dengan leluhur dalam hal ini yang telah meninggal.

Referensi

Dokumen terkait

Standar Biaya Penyusunan Dokumen Pelaksana Anggaran Tahun 2014 adalah Standar Biaya berupa harga satuan, tarif dan indek yang ditetapkan sebagai batas biaya

Kelemahan LAN menggunakan kabel UTP adalah intalasi kabelnya cukup rumit, memerlukan tempat kabel sebagai pelindung atau pengaman, harus bisa menset apakah kabel UTP itu akan

Sekolah Menengah Pertama selanjutnya disebut SMP adalah bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan pendidikan umum dalam program pembelajaran tiga (tiga)

Situasi ketika berkunjung di rumah Pak Lurah Kota Juang yaitu pak Adnan bersama anggota lurah dan beberapa warga yang ada di Kota Juang. Universitas

KALENDER PENDIDIKAN DINAS PENDIDIKAN PROVINSI KEPRI HARI EFEKTIF DAN TIDAK EFEKTIF DIDALAM PENYUSUNAN1. TAHUN

Sedangkan dalam Pengendalian Aplikasi pada pengendalian masukan telah diterapkan secara optimal, hal tersebut dapat dilihat dengan adanya otorisasi pada bukti-bukti transaksi

Dalam tabel 8 One-Sample Test, dipero- leh nilai ACAR portofolio loser masing-ma- sing periode pengujian dimana nilai ACAR positif (yang dapat menyebabkan terjadinya gejala

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi Observasional analitik dengan rancangan cross-sectional, bertujuan menjelaskan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat