• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diterima 15 Agustus 2014; Disetujui 3 Nopember 2014 ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diterima 15 Agustus 2014; Disetujui 3 Nopember 2014 ABSTRACT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

32

EFEK PARAMETERISASI LAPISAN BATAS ATMOSFER TERHADAP

PEMBENTUKAN GELOMBANG GRAVITAS DI SUMATERA BARAT

[

THE EFFECT OF ATMOSPHERIC BOUNDARY

LAYER PARAMETERIZATION TO THE GENERATION OF GRAVITY

WAVES OVER WEST SUMATERA

]

Dyah Ayu Putriningrum*)1, Nurjanna Joko Trilaksono*), dan Noersomadi**) *) Institut Teknologi Bandung

**)Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan 1e-mail: d.a.puput@gmail.com

Diterima 15 Agustus 2014; Disetujui 3 Nopember 2014

ABSTRACT

Gravity waves play an important role in the dynamical of atmosphere and affect some processes in Planetary Boundary Layer (PBL). Gravity waves was identified by potential temperature and vertical wind velocity by using Weather Research and Forecasting–Advance Research WRF (WRF-ARW) model with initial and boundary conditions were taken from the final analyses (FNL) data at the interval March 16 to 17, 2008 and three nested domain with the highest horizontal resolution is 3 km. This simulations were run into two experiments of PBL parameterizations, which were Medium Range Forecast (MRF) and Yonsei University (YSU). The phenomenon and characteristics of gravity waves were studied using Fourier and wavelet transform’s analysis method. Gravity waves could be well identified using the MRF scheme over Sumatera Barat when the convection activity had been established. The charateristic of gravity waves are detected by the model over Sumatera Barat was short period (~2 hour) with 5–50 km horizontal wavelength. The difference characteristic between two experiments was related to the sensitivity of PBL scheme and horizontal grid resolution. In these case, MRF scheme well captured gravity waves phenomenon, while 3 km horizontal resolution can produced shorter wavelength.

Keywords: Gravity waves, Planetary Boundary Layer Parameterization, WRF-ARW,

parameterization

ABSTRAK

Gelombang gravitas berperan dalam sirkulasi dinamika atmosfer dan mempengaruhi proses-proses di Lapisan Batas Atmosfer (LBA). Gelombang gravitas telah diidentifikasi dengan simulasi temperatur potensial dan kecepatan angin menggunakan model Weather Research and Forecasting–Advance Research WRF (WRF-ARW) dengan kondisi inisial dan kondisi batas model dari data final analyses (FNL) tanggal 16–17 Maret 2008. Simulasi dilakukan dalam tiga domain nested (bersarang) dengan resolusi horizontal paling tinggi sebesar 3 km. Metode simulasi dilakukan dengan membandingkan dua skema parameterisasi LBA yang berbeda yakni Medium

Range Forecast (MRF) dan Yonsei University (YSU). Metode analisis menggunakan

transformasi Fourier dan wavelet. Dari hasil simulasi, gelombang gravitas berhasil diidentifikasi dengan baik menggunakan skema MRF di atas Sumatera Barat saat aktivitas konveksi sedang terjadi dengan nilai Cloud Water Mixing Ratio (CWMR) sekitar 0,1-2,1 g/kg. Ciri-ciri gelombang gravitas yang terdeteksi merupakan gelombang gravitas berperiode singkat (~2 jam) dengan panjang gelombang horizontalnya 5–50 km.

(2)

33

Perbedaan karakter gelombang gravitas yang dihasilkan simulasi, berhubungan dengan sensitivitas skema parameterisasi LBA dan resolusi grid horizontal. Gelombang gravitas dapat disimulasikan oleh skema MRF dengan resolusi horizontal 3 km yang dapat menghasilkan panjang gelombang yang lebih pendek.

Kata kunci: Gelombang gravitas, Lapisan Batas Atmosfer, WRF-ARW, Parameterisasi

1 PENDAHULUAN

Gelombang gravitas merupakan gelombang yang muncul di atmosfer akibat gaya apung (buoyant) sebagai pemulih perturbasi dalam atmosfer stabil statis. Perpindahan parsel udara yang berosilasi menyebabkan gangguan di atmosfer, dan yang berperan sebagai gaya pemulih yang bekerja pada parsel udara untuk kembali ke posisi awalnya dilakukan oleh gravitas. Akibat adanya gaya pemulih ini, terbentuklah gelombang gravitas di atmosfer (Nappo, 2012).

Di daerah ekuatorial, pembentukan gelombang gravitas identik dengan konveksi dalam. Dhaka dkk. (2011) menunjukkan adanya hubungan aktivitas gelombang gravitas dengan konveksi di troposfer bawah tropis dengan mengolah data radar

Ministry of Science and Technology (MST), India. Disisi yang lain, Kjelaas dkk. (1974)

memasang tiga sounder akustik untuk menghitung kecepatan fase horizontal gelombang gravitas di atmosfer pada ketinggian 1000 m. Susunan sumber suara akustik dapat mendeteksi perambatan gelombang gravitas dalam inversi pada

Convective Boundary Layer (CBL).

Di Lapisan Batas Atmosfer (LBA), lapisan yang dipengaruhi langsung oleh permukaan, turbulensi dapat dihasilkan secara konvektif maupun dinamis. Konveksi di LBA dapat membentuk awan, meskipun tidak selalu. Ketika awan terbentuk, struktur awan identik dengan gulungan konveksi horizontal dimana mekanisme pembentuknya melibatkan gelombang gravitas dan gelombang Kelvin-Helmholtz. Ketika inhibisi konvektif dalam LBA bernilai kecil, maka yang menentukan posisi dimana konveksi pertama kali muncul adalah turbulensi LBA. Pada kondisi konvektif, proses

updraft dan downdraft mempengaruhi variasi puncak CBL (Stull, 1988). Chimonas dan

Nappo (1989) menunjukkan kondisi LBA yang stabil dapat berubah menjadi turbulen akibat gelombang gravitas.

Selain dengan menggunakan data observasi, gelombang gravitas dapat dianalisis dengan menggunakan simulasi model prediksi cuaca numerik. Evan dkk. (2012) dan Lane dkk. (2001 dan 2005) menyimpulkan bahwa model WRF-ARW mempunyai kemampuan untuk menyimulasikan gelombang gravitas skala menengah yang dibentuk oleh konveksi pada daerah tropis. Lane dkk. (2001) mengidentifikasi perilaku gelombang gravitas di atas konveksi dengan menguji temperatur potensial dan angin.

Dalam penelitian ini, model WRF-ARW digunakan untuk mengetahui efek parameterisasi LBA terhadap pembentukan gelombang gravitas di wilayah Sumatera Barat akibat proses konveksi dengan meninjau temperatur potensial, temperatur parsel udara ketika terkembang dan terkompres atau termampatkan secara adiabatik dari tekanan referensi, dan kecepatan angin di atas daerah konveksi.

2 METODOLOGI 2.1 Data

Data yang digunakan dalam simulasi ini adalah data input (syarat awal dan batas) model yang berupa data final analyses (FNL) dari National Centers for

Environmental Prediction (NCEP) pada tanggal 16-18 Maret 2008 dengan resolusi

spasial 1°×1° yang dikeluarkan setiap enam jam. Data FNL tersedia untuk level permukaan, 26 level mandatori dari 1000 mb sampai 10 mb, di lapisan batas permukaan dan beberapa lapisan sigma, dan tropopause.

(3)

34

Hasil simulasi diverifikasi oleh data kecepatan angin zonal dan meridional hasil observasi menggunakan Equatorial Atmospheric Radar (EAR) dengan resolusi 10 menit yang dapat diunduh di www.rish.kyoto-u.ac.jp/ear/index-e.html, data temperatur yang diobservasi oleh Global Positioning System Radio Occultation (GPS-RO) dari satelit COSMIC dan Metop-A yang dapat diunduh di http://www.cosmic.ucar.edu/, dan data temperatur black body (TBB) dengan resolusi temporal 1 jam dan resolusi spasial 5 km dari kanal IR1 Multi-Functional Transport Satellite (MTSAT) yang dapat diunduh di weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME/, dan weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/CAL/untuk data kalibrasinya.

2.2 Metode

Dalam penelitian ini, digunakan tiga domain nested (bersarang) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-1. Domain induk dengan resolusi horizontal 27 km, domain dua (domain anak) 9 km, dan domain tiga (domain anak) 3 km. Ketiga domain tersebut memiliki resolusi vertikal 0,5 m. Masing-masing domain menggunakan skema Goddard untuk parameterisasi mikrofisis dan skema kumulus untuk parameterisasi konveksi. Pada domain ketiga, parameterisasi kumulus tidak digunakan dalam simulasi ini karena pada resolusi 4 km, updraft dapat diselesaikan secara eksplisit.

Gambar 2-1: Domain nested (bersarang) model WRF-ARW, garis kuning menunjukkan batas domain 1, 2 dan 3.

Dua eksperimen skema LBA dilakukan dalam model untuk mengetahui pengaruh parameterisasi LBA. Pada eksperimen pertama, semua domain menggunakan skema Medium Range Forecast (MRF). Sementara pada eksperimen kedua, semua domain menggunakan skema Yonsei University (YSU). Skema-skema parameterisasi tersebut dipilih berdasarkan penelitian sebelumnya untuk mengidentifikasi gelombang gravitas di wilayah benua maritim, khususnya Kalimantan dan Malaka (Hara dkk., 2006; Wu dkk., 2009; Teo dan Koh., 2011).

Simulasi untuk domain ketiga dijalankan sebanyak dua kali. Pertama, simulasi dijalankan dengan resolusi waktu 60 menit untuk uji coba apakah model bisa menangkap evolusi konveksi. Kedua, simulasi dijalankan dengan resolusi waktu 5 menit untuk mengetahui detil evolusi konveksi di dalam model.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Verifikasi Model

Aktivitas konveksi dapat dilihat dari citra satelit MTSAT IR1. Citra satelit ini memperlihatkan puncak awan pada domain tiga model. Citra puncak awan dengan nilai TBB semakin rendah, maka aktivitas konveksi semakin besar. Dari diagram

1

2

(4)

35

Hovmöller (Gambar 3-1), dapat dilihat arah perambatan konveksi menuju ke barat. Sementara itu, perambatan konveksi ke arah barat diperlihatkan oleh hasil simulasi OLR (Gambar 3-2). Hal ini sesuai dengan Clayson, dkk. (2002) bahwa ada perambatan awan konveksi ke arah barat. Konveksi kuat yang muncul di titik 102° BT dari citra MTSAT menunjukkan kesamaan dengan hasil simulasi dengan skema YSU, berbeda dengan MRF yang tidak begitu kuat.

Gambar 3-1: Temperatur black body (TBB) dari data MTSAT IR1 di sepanjang 0,2 °LS dalam periode 16 – 17 Maret 2008.

Gambar 3-2: Anomali rata-rata OLR pada 2,8° LS – 1,1° LU sepanjang ekuator tanggal 16 – 18 Maret 2008 menggunakan skema (a) MRF dan (b) YSU

Verifikasi profil vertikal dilakukan dengan membandingkan data temperatur dari hasil simulasi dengan upper air sounding data GPS-RO. Korelasi sebesar untuk data satelit METOP-A vs MRF maupun METOP-A vs YSU. Korelasi sebesar untuk COSMIC vs MRF dan untuk COSMIC vs YSU. Walaupun selisih nilai korelasi yang cukup kecil, dapat disimpulkan bahwa skema MRF lebih baik dibandingkan skema YSU.

(5)

36

3.2 Evolusi Awan Konvektif dalam Model

Tingkat kejenuhan air di dalam awan dapat direpresentasikan oleh Cloud Water

Mixing Ratio (CWMR). Semakin tinggi CWMR maka pertumbuhan awan semakin kuat.

Hasil dari skema MRF, pada pukul 10:00 UTC (Gambar 3-3a) terlihat bahwa di sekitar 100° BT terdapat awan. Saat itu, kontur temperatur potensial di antara ketinggian 10– 14 km (daerah troposfer atas) mengalami gangguan yang besar dengan amplitudo sekitar 1 km. Pada pukul 11:00 UTC (Gambar 3-3b), pertumbuhan awan semakin kuat dengan amplitudo di ketinggian 10–14 km mencapai 2 km. Pukul 12:00 UTC (Gambar 3-3c), perawanan mulai melemah. Adanya aktivitas gelombang yang merambat vertikal dan membentuk gelombang horizontal di daerah troposfer atas (sekitar ketinggian 19 km) ditunjukkan oleh fluktuasi temperatur potensial di atas awan.

Dengan skema YSU (Gambar 3-3d-f), fluktuasi temperatur potensial di atas perawanan juga terlihat seperti hasil skema MRF. Namun perawanan pada simulasi skema YSU tidak begitu kuat dibandingkan dengan skema MRF. Ini dapat dilihat dari CWMR hasil skema YSU yang tidak begitu melebar secara horizontal dibandingkan dengan skema MRF. Fluktuasi temperatur potensial dalam arah horizontal skema MRF lebih kuat dibandingkan skema YSU.

Area di atas aktivitas konvektif dengan turbulensi termal (Gambar 3-3) yang kuat dan aliran vertikal dapat dengan jelas menunjukkan keberadaan pergerakan gelombang (Petenko dkk., 2011). Hal ini memberikan kecurigaan bahwa di atas daerah konveksi terdapat gelombang gravitas.

Gambar 3-3: Penampang melintang vertikal temperatur potensial (kontur) skema MRF pada (a) 10:00 UTC, (b) 11:00 UTC, (c) 12:00 UTC tanggal 17 Maret 2008 sepanjang 0,2° LS. Warna biru menunjukkan CWMR dengan nilai 0,1–2,1 g/kg. Gambar (d),(e),(f) sama seperti (a),(b),(c) namun untuk YSU.

3.3 Gelombang Gravitas Model

Pembentukan awan konvektif ditunjukkan oleh Gambar 3-3 pada penampang melintang vertikal di sekitar 100° BT. Di lapisan atas pembentukan awan konvektif,

(6)

37

terdapat fluktuasi temperatur potensial dan angin vertikal. Adanya aktivitas konvektif dapat memicu pembentukan gelombang gravitas di lapisan troposfer bagian atas (Fovell dkk., 1992).

Untuk mengidentifikasi apakah gelombang yang terbentuk adalah gelombang gravitas, maka selanjutnya akan diperiksa karakteristiknya. sesuai hasil penelitian Shaw dan Lane (2013). Pertama, memeriksa hubungan antara sinyal temperatur potensial dan kecepatan angin vertikal. Jika hal tersebut merupakan gelombang gravitas, maka kedua sinyal akan berkoherensi dengan baik dan fasenya berada dalam satu kuadran seperempat yang sama.

Gambar 3-4: Spektrum wavelet kontinu temperatur potensial dan kecepatan angin vertikal skema MRF. Panah menggambarkan perbedaan fase antara kedua variabel, sementara warna menunjukkan nilai koherensi antara dua variabel tersebut. Garis lengkung merupakan batas tingkat kepercayaan >95%.

Pukul 09:00–11:00 UTC tanggal 17 Maret 2008 (saat konveksi sedang terbentuk), kedua variabel hasil skema MRF berkoherensi tinggi, yaitu mendekati nilai 1. Koherensi yang tinggi pada periode 20–60 menit dan 80–120 menit. Variabel temperatur potensial mendahului variabel kecepatan angin vertikal dengan perbedaan fasa kedua variabel pada kedua periode berkoherensi tersebut sebesar 90°, hal ini menandakan bahwa kedua variabel berada dalam satu kuadran fasa yang sama (Gambar 3-4). Pada skema YSU, koherensi tinggi berada pada periode 20–120 menit dan beda fase kedua variabel lebih dari 90°. Karena kedua variabel tidak berada dalam satu kuadran fase, sehingga bisa dikatakan bahwa sinyal temperatur potensial maupun kecepatan angin vertikal bukan merupakan gelombang gravitas.

Kedua, memeriksa karakteristik berupa periode, bilangan gelombang dan panjang gelombang. Karakteristik periode gelombang gravitas diperiksa menggunakan transformasi wavelet di titik 0,2 °LS 100,32 °BT pada ketinggian 15 km sepanjang 16 Maret 2008 pukul 00:00 UTC sampai 18 Maret 2008 pukul 00:00 UTC. Sedangkan karakteristik bilangan gelombang dan panjang gelombang gravitas diperiksa menggunakan transformasi Fourier berupa spektrum kecepatan angin vertikal w dan kecepatan horizontal u yang direkam pada setiap titik grid horizontal setiap satu jam di sepanjang ketinggian 15 km sepanjang 0,2 °LS di setiap level waktu dari jam ke-3 hingga jam ke-49 simulasi (jam ke-1 dan ke-2 dianggap spin up error sehingga tidak dipakai dalam analisis ini).

Sinyal temperatur potensial pada pukul 09:00–11:00 UTC tanggal 17 Maret 2008 (Gambar 3-5) berperiode 60–180 menit memiliki daya yang cukup kuat dibanding sinyal di waktu dan periode yang lain. Sementara sinyal kecepatan angin vertikal pada pukul 09:00–11:00 UTC menguat pada periode 20–40 menit. Walaupun ada sinyal yang cukup kuat di periode 80–120 menit, namun tidak sekuat periode 20–40 menit. Hal ini konsisten dengan perbedaan fase pada Gambar 3-4.

(7)

38

Gambar 3-5: Spektrum wavelet kontinu skema MRF (a) temperatur potensial dan (b) kecepatan angin vertikal selama 00:00 UTC tanggal 16 Maret 2008 sampai 00:00 UTC tanggal 17 Maret 2008. Warna menunjukkan daya dengan satuan °C2 s untuk temperatur potensial dan m2 s-1 untuk kecepatan angin.

Perbedaan fase tersebut menunjukkan lag time antara sinyal temperatur potensial dan kecepatan angin vertikal pada periode 80–120 menit. Karena pada periode 20–40 menit tidak menunjukkan lag time sesuai dengan karakter gelombang gravitas, maka bisa dikatakan bahwa gelombang gravitas pada pukul 09:00–11:00 UTC memiliki periode 80–120 menit konsisten dengan periode gelombang gravitas di Sumatera Barat yang diteliti oleh Dhaka, dkk (2011) yakni periode gelombang gravitas pendek sebesar kurang dari 3 jam yang muncul di sekitar tropopause yang teridentifikasi saat konveksi sedang terbentuk. Dari periode gelombang gravitas tersebut didapatkan frekuensi gelombang gravitas yang terjadi sebesar s-1 sampai s-1.

Gambar 3-6: Power Spectral Density kecepatan (a) angin vertikal dan (b) angin horizontal skema MRF terhadap bilangan gelombang pada ketinggian 15 km sepanjang 0,2 °LS dari jam ke-3 hingga jam ke-49 simulasi.

Spektrum horizontal bilangan gelombang angin horizontal memiliki kesamaan dengan angin vertikal, kecuali bilangan gelombang dominannya. Untuk skema MRF (Gambar 3-5), bilangan gelombang dominannya terletak diantara rentang rad m-1 sampai rad m-1 sehingga panjang gelombangnya berada pada rentang 5–50 km.

a

(8)

39 Gambar 3-7: Penampang melintang horizontal kecepatan angin vertikal (m s-1) hasil model domain 3

yang menggunakan skema MRF pada (a) 09:20 UTC, (b) 09:50 UTC, (c) 10:20 UTC, dan (d) 11:00 UTC di ketinggian 19 km

Ketiga, diidentifikasi melalui frekuensi intrinsiknya. Frekuensi intrinsik ( ) adalah frekuensi yang relatif terhadap udara saat gelombang sedang terjadi, didefinisikan sebagai: dimana adalah frekuensi gelombang relatif terhadap sistem koordinat, merupakan vektor aliran horizontal rata-rata dan adalah bilangan gelombang horizontal. Frekuensi intrinsik dihitung dengan rumus yang telah disebutkan sebelumnya dengan kecepatan angin background horizontal sebesar -2,628 m s-1, maka diperoleh rata-rata frekuensi intrinsiknya sebesar 0,0033 s-1, yang lebih besar dibanding frekuensi Brunt-Vaisala.

Gelombang gravitas hasil skema MRF yang ditunjukkan oleh Gambar 3-7 terbentuk di ketinggian 19 km. Hal ini konsisten dengan karakteristik gelombang gravitas yang disarankan oleh Lane. Sementara itu, pembentukan gelombang gravitas skema YSU (gambar tidak ditunjukkan) pada ketinggian 19 km tidak muncul.

3.4 Sensitivitas Model

Dari dua simulasi yang dilakukan, terdapat perbedaan antara kedua hasil model. Hal ini bisa disebabkan karena sensitivitas skema parameterisasi LBA (Udina dkk., 2012) maupun resolusi horizontal yang digunakan (Lane dan Reeder, 2001a dan 2001b). Untuk itu, pada Subbab ini akan dibahas mengenai sensitivitas model yang mempengaruhi hasil simulasi gelombang gravitas.

Untuk menguji sensitivitas skema LBA pada hasil simulasi gelombang gravitas, digunakan dua skema yakni MRF dan YSU. Berdasarkan hasil pada Subbab 3.3, spektrum gelombang keduanya menunjukkan pola yang hampir sama. Perbedaannya hanya terdapat pada rentang bilangan gelombang pada spektrum angin vertikal maupun angin horizontal dengan perbedaan sekitar 0,001.

(9)

40

Gambar 3-8: Power spektra horizontal skema (a) MRF dan (b) YSU dengan resolusi 27 km, 9 km, dan 3 km. Spektrum dihitung dari nilai kecepatan vertikal di ketinggian 15 km.

Perawanan yang dihasilkan dengan menggunakan skema MRF (Gambar 3-3a-c) terlihat lebih melebar secara horizontal dibandingkan perawanan yang dihasilkan dengan menggunakan skema YSU (Gambar 3-3d-f). Hal ini disebabkan karena MRF pada umumnya menghasilkan pencampuran (mixing) yang berlebih ketika angin sedang menguat. Selain itu, MRF melemahkan penghalangan konveksi (Bright dan Mullen, 2002). Penghalang konveksi yang melemah membuat model menghitung pembentukan perawanan yang lebih kuat.

Untuk menggambarkan sensitivitas skala horizontal gelombang gravitas terhadap resolusi grid horizontal, dilakukan perhitungan power spektrum dari ketiga domain model (Gambar 3-8). Dari kedua skema, resolusi horizontal paling rendah, 27 km, menghasilkan panjang gelombang yang lebih besar dibanding kedua resolusi yang lebih tinggi lainnya. Hal ini konsisten dengan Lane dan Knievel (2005), simulasi dengan resolusi horizontal yang rendah menghasilkan panjang gelombang gravitas yang lebih panjang dibanding resolusi tinggi, namun PSD yang kecil menunjukkan bahwa karakteristiknya tidak kuat.

Ditinjau dari power spektra kedua skema, MRF memiliki spektra lebih tinggi dibanding YSU pada bilangan gelombang dominannya. MRF menghasilkan awan yang lebih kuat dibandingkan YSU, sehingga gelombang yang muncul juga lebih kuat.

4 KESIMPULAN

Dari hasil simulasi WRF-ARW menggunakan dua skema MRF dan YSU menunjukkan bahwa perawanan hasil kedua skema sama-sama menunjukkan perambatan ke arah barat dengan jelas. Skema MRF menyimulasikan CWMR lebih besar dibanding YSU, sehingga gangguan temperatur potensial di atas perawanan MRF lebih besar dibanding YSU. Semakin besar gangguan temperatur potensial dan kecepatan angin vertikal, maka gelombang di atmosfer semakin terlihat, sesuai dengan evolusi pada penampang horizontal, diduga gelombang yang terjadi adalah gelombang gravitas di ketinggian 19 km.

Skema LBA yang berbeda menghasilkan bilangan gelombang yang berbeda untuk kecepatan angin vertikal. MRF menghasilkan bilangan gelombang

rad m-1, sementara YSU menghasilkan bilangan gelombang rad m-1. MRF menghasilkan panjang gelombang yang lebih pendek dibanding YSU, namun masih dalam orde yang sama. Selain itu, resolusi horizontal grid model yang digunakan juga memberikan hasil yang berbeda. Semakin besar resolusi yang dipakai, model dapat menangkap panjang gelombang yang merupakan gelombang gravitas.

Ucapan Terimakasih

Penulis berterimakasih kepada Dr. Todd P. Lane dari Melbourne University dan Dr. Rosbintarti Kartika Lestari dari Atmospheric and Ocean Research Institute, The

(10)

41

University of Tokyo, atas komentar dan saran yang membantu. Pengerjaan penelitian

ini didukung sepenuhnya oleh Weather and Climate Prediction Laboratory.

DAFTAR RUJUKAN

Bright, D. R., dan S. L. Mullen, 2002. The Sensitivity of the Numerical Simulation of the

Sputhwest Monsoon Boundary Layer Parameterizations, Mon. Wea. Rev., 128,

3941-3961.

Chimonas, G., dan C. J Nappo, 1989. Wave Drag in the Planetary Boundary Layer Over

Complex Terrain, Boundary-Layer Met., 47, 217–232.

Clayson, C.A., B. Strahl, dan J. Schrage, 2002. 2-3 Day Convective Variability in the

Tropical Western Pacific, Mon. Wea. Rev., 130, 529-548.

Dhaka, S. K., R. Bhatnagar, Y. Shibagaki, H. Hashiguchi, S. Fukao, T. Kozu, dan V. Panwar, 2011. Characteristics of Gravity Waves Generated in A Convective and A

Non-convective Environment Revealed from Hourly Radiosonde Observation under CPEA-II Campaign”, Ann. Geophys., 29, 2259-2276.

Evan, S., M. J. Alexander, dan J. Dudhia, 2012. Model Study of Intermediate-Scale

Tropical Inertia–Gravity Waves and Comparison to TWP-ICE Campaign Observations, J. Atmos. Sci., 69, 591–610.

Fovell, R., D. Durran, dan J. R. Holton, 1992. Numerical Simulations of Convectively

Generated Stratospheric Gravity Waves, J. Atmos. Sci., 49, 1427-1442.

Hara, M., T. Yoshikane, dan F. Kimura, 2006. Mechanism of Diurnal Cycle of Convective

Activity Over Borneo Island, 7thWRF-ARW User’s Workshop, Colorado.

Kjelaas, A. G., D. W. Beran, W. H. Hooke, B. R. Bean, 1974. Waves Observed in the

Planetary Boundary Layer using an Array of Acoustic Sounders, J. Atmos.

Sci., 31, 2040–2045.

Lane, T.P., dan J.C. Knievel, 2005. Some Effects of Model Resolution on Simulated

Gravity Waves Generated by Deep, Mesoscale Convection, J. Atmos. Sci., 62,

3408–3419.

---, M.J. Reeder, dan T.L. Clark, 2001. Numerical Modeling of Gravity Wave

Generation by Deep Tropical Convection, J. Atmos. Sci., 58, 1249-1274.

---, dan M. J. Reeder, 2001a. Convectively Generated Gravity Waves and Their

Effect on the Cloud Environment, J. Atmos. Sci., 58, 2427–2440.

---, dan M. J. Reeder, 2001b. Modelling the Generation of Gravity Waves by A

Maritime Continent Thunderstorm, Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 127, 2705-2724.

Nappo, C. J., 2012. An Introduction to Atmospheric Gravity Waves, California: Academic Press.

Petenko, I., G. Mastrantonio, A. Viola, S. Argentini, dan I. Pietroni, 2012. Wavy Vertical

Motions in the ABL Observed by Sodar, Boundary-Layer Meteor., 143, 125-141.

Shaw, T.A., dan T.P. Lane, 2013. Toward an Understanding of Vertical Momentum

Transports in Cloud-System-Resolving Model Simulations of Multiscale Tropical Convection. J. Atmos. Sci., 70, 3231–3247.

Stull, R. B., 1988. An Introduction to Boundary Layer Meteorology, Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Teo, C.K., dan T.Y. Koh, 2011. Principal Component Analysis of Observed and Modeled

Diurnal Rainfall in the Maritime Continent, Journal of Climate, 24, 4662-4675.

Udina, M., M.R. Soler, S. Viana, dan C. Yagüe, 2013. Model Simulation of Gravity Waves

Triggered by A Density Current”, Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 139, 701–714.

Wu, P., J. Hamada, M. Yamanaka, J. Matsumoto, dan M. Hara, 2009. The Impact of

Orographically-Induced Gravity Waves on the Diurnal Cycle of Rainfall over Southeast Kalimantan Island, Atmos. and Ocean. Sci. Letters, 2. 1, 35-39.

Gambar

Gambar 2-1: Domain nested  (bersarang)  model  WRF-ARW,  garis  kuning menunjukkan batas  domain  1, 2 dan 3
Gambar 3-2: Anomali rata-rata OLR pada 2,8° LS – 1,1° LU sepanjang ekuator tanggal 16 – 18 Maret  2008 menggunakan skema (a) MRF dan (b) YSU
Gambar 3-3: Penampang melintang vertikal temperatur potensial (kontur) skema MRF pada  (a) 10:00  UTC, (b) 11:00 UTC, (c) 12:00 UTC tanggal 17 Maret 2008 sepanjang 0,2° LS
Gambar 3-4: Spektrum  wavelet  kontinu  temperatur  potensial  dan  kecepatan  angin  vertikal  skema  MRF
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pukulan lob merupakan pukulan yang sangat sering dilakukan oleh setiap pemain bulutangkis. Pukulan lob sangat penting untuk mengendalikan permainan rangan atau untuk membenahi

Menurut Jess Jarver (2009: 78) untuk dapat melakukan tolak peluru yang baik ada beberapa hubungan antara daya ledak otot lengan dan kekuatan otot lengan terhadap kemampuan

Pengumpulan data dilakukan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelitian ini memiliki dua fokus utama yang menunjang dalam penelitian ini, pertama fokus

pelaksanaan agar dapat memandu audien untuk lebih mudah memahami cara melaksanakan upacara adat Jawa menyambut kelahiran bayi hingga usia 1 tahun. Menarik, sebagai sebuah

Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab

Sedangkan  pada  kapal‐kapal  Ro‐Ro,  penambahan  volume  air  laut  ke  dalam  tangki  ballast  dimungkinkan  untuk  mengkondisikan  benaman  kapal  menjadi 

Untuk mempersiapkan pelaksanaan Ujian Tertutup maka ditempuh langkah- langkah sebagai berikut : (1) Mahasiswa menyerahkan disertasi yang telah disetujui dan ditandatangani

Nomor halaman diketik dengan angka arab dengan huruf Times New Roman ukuran 12 pt pada bagian Footer yang diatur 1,2 cm dari margin.. Alignment nomor halaman