• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA

DALAM RANAH AGAMA HINDU

DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

oleh:

Yustinus Kurniawan 091224079

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016

(2)

i

KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA

DALAM RANAH AGAMA HINDU

DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

oleh:

Yustinus Kurniawan 091224079

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016

(3)

ii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA

DALAM RANAH AGAMA HINDU

DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA

oleh:

Yustinus Kurniawan 091224079

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing I

Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Yogyakarta, 16 Desember 2016

Dosen Pembimbing II

(4)

iii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA

DALAM RANAH AGAMA HINDU

DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA

Dipersiapkan dan disusun oleh: Yustinus Kurniawan

091224079

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 16 Desember 2016 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. ... Sekretaris : Dr.R.Kunjana Rahardi,M.Hum. ... Anggota 1 : Dr.R.Kunjana Rahardi,M.Hum. ... Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo.M.Pd. ... Anggota 3 : Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. ...

Yogyakarta, 16 Desember 2016

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini untuk:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria terkasih yang selalu memberkati, menyertai , dan melindungi dalam setiap langkah saya.

2. Orang tua tercinta, Bapak Rinerius Wijiyanto dan Ibu Florentina Sumiyati yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan kesabaran bagi saya.

3. Kakak ,Winarto dan aAnto , yang selalu memberikan dukuangan.

4. Mbah Putri, Mbah Kakung yang terlebih dulu bertemu dengan Yesus, terima kasih sudah memberikan banyak pelajaran hidup dari masa kecil hingga remaja saya. 5. Seluruh sahabat di Prodi PBSI angkatan 2009 yang telah memberikan warna selama

(6)

v MOTTO

Cobalah dan berusahalah agar tahu

seberapa batas kemampuan yang dapat kita capai

untuk mencapai tujuan yang ingin kita capai

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Desember 2016 Penulis

(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Yustinus Kurniawan

Nomor Mahasiswa : 091224079

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA

DALAM RANAH AGAMA HINDU

DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan memublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 16 Desember 2016 Yang menyatakan

(9)

viii ABSTRAK

Yustinus Kurniawan. 2016. Ketidaksantunan Berbahasa dalam Ranah Agama Hindu di Wilayah Kota Madya, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas ketidaksantunan berbahasa. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik ketidaksantunan berbahasa, (2) mendeskripsikan maksud ketidaksantunan berhasa, serta (3) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik ketidaksantunan berbahasa dalam ranah Agama Hindu Kota Madya, Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini berupa tuturan lisan yang tidak santun yang diucapkan pemuka dan umat serta pemuka dengan pemuka agama Hindu di wilayah Kota Madya Yogyakarta. Tuturan semuanya diambil secara natural dalam perbincangan dalam ranah agama. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah petunjuk wawancara (berupa pertanyaan pancingan dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal teori ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik. Metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu metode simak dengan teknik rekam dan teknik catat serta, metode cakap dengan teknik dasar berupa tenik pancing. Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode kontekstual.

Sesuai dengan tujuan penelitiannya, hasil penelitian ini disampaikan sebagai berikut (1) wujud ketidaksantunan berbahasa pragmatik dan linguistik (2) maksud ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik (3) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah agama Hindu di Wilayah Kota Madya Yogyakarta. Pertama wujud ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik berupa tuturan lisan tidak santun yang terbagi dalam kategori melanggar norma dengan subkategori, menegaskan; kategori mengancam muka sepihak dengan subkategori memerintah dan mengancam; kategori melecehkan muka dengan subkategori menyindir, memperingatkan, menegur dan menasehati; kategori menghilangkan muka dengan subkategori menegur, menegaskan, menyindir, menyingung dan memperingatkan; kategori menimbulkan konflik dengan subkategori mengejek, menegaskan, mengancam, memperingatkan, menyingung dan mengumpat, kedua maksud ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik berbahasa yang disampaikan oleh penutur yaitu memberi pengertian, mengingatkan, menegur, introspeksi diri, kesal, menasehati, supaya tidak dimarahi, asal bicara, meremehkan, kecewa, protes, ketiga penanda ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik diketahui dari (1) konteks ekstralinguistik meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, tuturan sebagai produk tindak verbal, (2) intralinguistik meliputi diksi, kategori fatis, tekanan, intonasi dan nada.

(10)

ix ABSTRACT

Yustinus Kurniawan. 2016. Impoliteness Language in the Hindu Religion Domain of Municipality City Region, Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, USD

This study discusses the lack of politeness in a language. The purpose of this study is (1) to describe the linguistic forms and the pragmatics of language impoliteness, (2) to describe what impoliteness in a language, and (3) to describe the linguistic and pragmatics source of impoliteness speak in the realm of Hindu municipality, Yogyakarta.

This research is a qualitative descriptive study. The research data are in the form of verbal utterances which were not polite spoken by religious and community leaders as well as leaders of the Hindu religious leaders in the Municipality of Yogyakarta. The speeches were all taken naturally in conversation in the topic of religion. Instruments used in this research are to guide the interview (in the form of inducement questions and a list of cases) and the blank observation armed with the theory of linguistic and pragmatic impoliteness in a language. Data collection method used is with the recording technique and refers to the technical note as well, the method of conversation with basic techniques such as fishing technique. Analysis of the data in this study uses contextual method.

In accordance with the purpose of research, the results of this study are presented as follows: (1) the nature language impoliteness pragmatic and linguistics (2) the meaning of linguistic and pragmatic impoliteness (3) the markers for impoliteness linguistic and pragmatic in the realm of Hindu religion in Regional Municipality of Yogyakarta. First, the manifestation of linguistics and pragmatics of language impoliteness is in the form of verbal utterances which are not polite, then divided into norms violation category with emphasizing subcategory; the face-threatening category with threatening and asserting subcategories; the face-insinuating category with the harassing, warning, admonishing and counseling subcategories,; face-eliminating category with reprimanding, asserting, quipping, offending, and warning subcategories; conflict-causing category with mocking, asserting, threatening, warning, offending, and cursing subcategories. Second, the intention behind linguistics and pragmatics of impoliteness language delivered by speakers who give understanding, warning, reprimanding, self-introspection, annoyed, advising, so as not to be scolded, talking nonsense, dismissing, disappointed, protesting. Last time, the marker of linguistics and pragmatics of language impoliteness is known from (1) the context of extra-linguistics which includes speakers and utterers, the context of the speech, the purpose of the speaker, and speech as a form of action or activity, speech as a product of verbal acts, (2) intra-linguistics which includes diction, phatic category, stress, intonation and tone.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa memberi berkat dan kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Agama Hindu wilayah KotaMadya Yogyakarta”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk

menyelesaikan studi di Prodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan, pendampingan, saran, dan sebagai dosen pembimbing yang dengan bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan sebagai dosen pembimbing yang dengan bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik, mengarahkan, membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

(12)

xi

5. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrasi.

6. Teman-teman yang memberikan bantuan dan dukungan (Valentina Tris Marwati, dan Nuridang Fitra Nagara, Fabianus Anga Renato, Bambang Sumarwanto, Yudahening Pinandito, Nurbeta Kistanti) untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat angkatan 2009, yang berdinamika bersama selama menjalani perkuliahan di PBSI.

8. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 16 Desember 2016 Penulis

(13)

xii DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERSEMBAHAN iv

HALAMAN MOTTO v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR BAGAN xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 5

1.5 Batasan Istilah 6

1.6 Sistematika Penelitian 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8

2.1 Penelitian yang Relevan 8

2.2 Pragmatik 14

2.3 Fenomena Pragmatik 15

2.3.1 Praanggapan 15

(14)

xiii 2.3.3 Deiksis 19 2.3.4 Kesantunan Berbahasa 21 2.3.5 Ketidaksantunan Berbahasa 25 2.3.6 Teori-teori Ketidaksantunan 26 2.4 Konteks 30

2.4.1.1 Konteks Ekstra Linguistik 33 2.4.1.2 Penutur dan Lawan tutur 33

2.4.1.3 Konteks Tuturan 33

2.4.1.4 Tujuan Penutur 33

2.4.1.5 Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas 34 2.4.1.6 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal 34 2.4.1.7 Konteks Intra Linguistik 35

2.4.1.8 Unsur Segmental 35 2.4.1.9 Diksi 35 2.4.1.10 Kategori Fatis 42 2.4.1.11 Unsur Suprasegmental 44 2.4.1.12 Tekanan 44 2.4.1.13 Intonasi 45 2.4.1.14 Nada 45 2.5 Teori Maksud 46 2.6 Kerangka Berpikir 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 50

3.1 Jenis Penelitian 50

3.2 Subjek Penelitian 51

3.3 Data dan Sumber Data 51

3.4 Instrumen Penelitian 52

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 53 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data 55

(15)

xiv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 58

4.1 Deskripsi Data 58

4.1.1 Analisis Data 60

4.1.2 Melanggar Norma 60

4.1.3 Mengancam Muka Sepihak 63

4.1.4 Melecehkan Muka 69 4.1.5 Menghilangkan Muka 79 4.1.6 Menimbulkan Konflik 87 4.2 Pembahasan 99 BAB V PENUTUP 129 5.1 Simpulan 129 5.2 Saran 131

5.2.1 Bagi Pemuka dan Umat beragama 131

5.2.2 Bagi Peneliti Lanjutan 131

DAFTAR PUSTAKA 133

LAMPIRAN 136

(16)

xv

DAFTAR BAGAN

Hal.

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi uraian (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) sistematika penyajian. Berikut adalah uraian dari kelima hal tersebut.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Manusia membutuhkan interaksi antara manusia satu dengan yang lain, alat yang digunakan untuk interaksi yang disebut bahasa. Sebagai ilmu kajian bahasa yang terus mengalami perkembangan, kajian bahasa linguistik memiliki berbagai cabang ilmu yang saling bersinergi yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Secara umum, linguistik menganalisis bahasa mengenai aspek yang berhubungan dengan struktur kebahasaannya. Percabangan ilmu bahasa menunjukkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang terakhir. Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). Objek kajian lingustik lebih pada struktur bahasa yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Kajian pragmatik muncul dikarenakan ada beberapa kajian bahasa yang tidak dapat dijelaskan dengan kajian liguistik, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakainya untuk memperjelas maksud

(18)

dari penutur, oleh karena itu dalam pengunaan bahasa agar maksud dan tujuan penutur dapat tersampaikan dengan baik serta dapat diterima oleh mitra tutur, dengan memadukan kajian linguistik dan pragmatik akan menghasilkan tuturan yang baik.

Hal ini perlu disadari bahwa dengan bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk berinteraksi serta menyampaikan keinginan kita kepada lawan bicara. Dalam pengunaan bahasa hendaknya kita dapat melihat situasi agar dapat diterima oleh mitra tutur. Menurut Rahardi (2006: 20) konteks tuturan dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.

Dalam kehidupan sehari hari tidak lepas dari interaksi dengan tindak tutur secara lisan dan tulis, patut disadari bahwa bahasa lisan berkembang sangat cepat hampir tidak terkontrol oleh kajian ilmu yang mendasarinya, kesantunan dalam bertindak tutur kian luntur oleh perkembangan bahasa lisan, konteks dan situasi tidak lagi menjadi acuan dalam bertutur, tidak terlepas dari situasi yang formal dan diangap sakral seperti halnya dalam tidak tutur dalam upacara keagamaan.

Kota Yogyakarta adalah salah satu Kota yang terkenal dengan budaya Jawa yang menjunjung tinggi kesantunan dalam bertindak tutur. Serta keberagaman agama yang ada di wilayah kota Yogyakarta. Salah satu agama yang terdapat di wilayah Yogyakarta adalah agama Hindu. Menurut Badan Statistika Kota Yogyakarta, Agama Hindu 0,42% dari total penduduk Kota Yogyakarta (BPS,

(19)

2012:16). Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dibandingkan agama lain yang mendiami wilayah Yogyakarta.

Banyaknya warga pendatang dari berbagai wilayah serta latar belakang yang berbeda dengan membawa bahasa daerah yang berbeda beda membuat keberagaman bahasa di wilayah kota Yogyakarta semakin banyak, sehingga kota Yogyakarta cukup layak untuk menjadi subjek penelitian kebahasaan dalam kesantunan bertindak tutur. Penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui kesantuanan tuturan akan dilakukan dalam lingkup keagamaan. Lingkup ini dipilih karena agama adalah salah satu forum yang mempunyai situasi resmi yang secara tidak langsung memaksa setiap penganutnya bertutur dengan bahasa yang menurut penutur baik untuk berinteraksi dengan mitra tutur.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas, maka permasalahan utama penelitian ini adalah bagaimana manifestasi ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa umat pemuka agama Hindu di wilayah Kotamadya Yogyakarta. Selanjutnya secara terperinci masalah-masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi:

a. Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah agama Hindu yang diungkapkan oleh pemuka kepada umatnya dan antar umat agama Hindu di wilayah Kotamadya Yogyakarta?

(20)

b. Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah agama Hindu di wilayah Kotamadya Yogyakarta?

c. Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan oleh pemuka kepada umatnya dan antar umat agama Hindu wilayah Kotamadya Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah seperti di atas, tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan manifestasi ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa umat beragama Hindu di wilayah Kotamadya Yogyakarta. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a) Mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam ranah agama Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya Yogyakarta.

b) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah agama Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya Yogyakarta.

c) Mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik yang terdapat dalam ranah agama Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya Yogyakarta.

(21)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ketidaksantunan berbahasa dalam ranah agama ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian yaitu:

a. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas kajian serta memperkaya khasanah teoretis tentang ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru.Penelitian ini dapat dikatakan memiliki kegunaan teroretis karena dengan memahami teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan baru dan referensi untuk menghindari ketidaksantunan berbahasa dalam berkomunikasi.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga diharapkan dapat memberikan masukan khususnya bagi tokoh agama dalam berkomunikasi untuk menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun. Demikian pula, penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi dalam bidang pendidikan terutama bagi dosen, guru, mahasiswa, siswa, dan tenaga kependidikan untuk mempertimbangkan adanya ketidaksantunan berbahasa dalam komunikasi yang harus dihindari.

(22)

1.5 Batasan Istilah

Supaya tidak menimbulkan adanya perbedaan pengertian, perlu ada penjelasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Batasan istilah yang digunakan diambil dari pendapat dari beberapa pakar dalam bidangnya. Beberapa batasan istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:

1) Ketidaksantunan berbahasa

Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur. 2) Pragmatik

Ilmu bahasa yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial budaya tertentu (Rahardi, 2003:16).

3) Ketidaksantunan linguistik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu tuturan.

4) Ketidaksantunan pragmatik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang menyertai suatu tuturan.

5) Ranah

Lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat misal keluarga, pendidikan, tempat kerja, keagamaan, dan sebagainya (Depdiknas 2008:1139).

(23)

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) fenomena pragmatik, (3) teori pragmatik, (4) teori ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, dan (7) unsur suprasegmental.

Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, dan (6) sajian hasil analisis data.

Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3) pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan berbahasa.

(24)
(25)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan penelitian yang relevan, landasan teori dan kerangka teori. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, mengenai teori kesantunan berbahasa, dan teori ketidaksantunan berbahasa.serta penelitian lain yang sejenis. Kerangka berpikir berisi acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu dan teori terdahulu yang relevan yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian Yang Relevan

Penelitian pragmatik sekarang semakin banyak diteliti karena dirasa masih banyak kajian pragmatik yang layak untuk diteliti dan dikaji ulang untuk mengembangkan ilmu pragmatik agar dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari dasar penelitian kesantunan yang mengunakan ilmu pragmatik menarik untuk diteliti dan dikaji ulang. Hal ini menimbulkan kurang seimbangnya karena penelitian yang ada lebih banyak meneliti kesantunnan sedangkan penelitian ketidaksantunan masih jarang ditemukan. Peneliti menemukan beberapa penelitian mengenai kesantunan berbahasa. Peneliti menemukan empat penelitian yang meneliti tentang ketidaksantunan. Keempat penelitian itu adalah penelitian Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013), Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), dan Olivia Melissa Puspitarini (2013). Penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013.

(26)

Penelitian tentang kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh Galuh Eka Noviyanti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komunikatif. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara, pancingan, dan daftar kasus. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2) tekanan, (3) intonasi, dan (4) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tindak verbal, dan (4) tindak perlokusi. Ketiga, makna penanda ketidaksantunan dari masing-masing jenis ketidaksantunan meliputi (1) makna penanda ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, menghina, dan mengejek mitra tutur sehingga dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel mitra tutur dengan tingkah laku penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna penanda ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur bermaksud untuk bercanda sehingga membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak

(27)

menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur membuat mitra tutur benar-benar malu dihadapan banyak orang, dan (5) makna penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan bagi mitra tutur.

Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Peneliti menggunakan dua mtode dalam penelitan ini, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh Galuh Eka Noviyanti (2013). Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud

(28)

ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur). Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur. Ketiga, makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: (1) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, (2) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, (3) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, (4) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur didepan banyak orang, dan (5) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa lainnya dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini serupa dengan penelitian ketidaksantunan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda

(29)

ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh ketiga peneliti diatas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumnya, yakni pertama,

(30)

wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi (1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, (2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, (4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur didepan banyak orang, dan (5) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok. Dari beberapa penelitian diatas didapat kesimpulan, bahwa dari segi hasil penelitian ternyata masih banyak ditemukan ketidaksantunan berbahasa yang dikaji secara Linguistik, Pragmatik dan berdasarkan teori-teori ketidaksantunan dalam buku Impoliteness in Language oleh Bousfield et al (Eds.). Kita dapat menemukan kesimpulan yang lain dari keempat penelitian tersebut, yaitu dari segi jenis penelitian termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Pengambilan data dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dari beberapa penelitian diatas, peneliti semakin yakin untuk digunakan sebagai referansi serta acuan untuk mengkaji ketidaksantunan berbahasa secara Linguistik, Pragmatik, dan berdasarkan teori-teori

(31)

ketidaksantunan yang ada. Khususnya digunakan untuk mengkaji ketidaksantunan berbahasa dalam ranah agama Hindu.

2.2 Pragmatik

Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi dan memiliki daya ekspresi dan dan informatif yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Komunikasi tidak lepas dari suasana maupun kontek. Untuk mengkaji mengenai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui sudut pandang pragmatik.

Huang (2007:2) memaparkan bahwa “pragmatics is the systematic study of meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang menjelaskan

definisi pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa. Definisi lain dijelaskan oleh Levinson (1983:9) via Nadar (2009:4) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik & Penelitian Pragmatik, yang mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:

Pragmatics is the study of those relations between language and context that are

grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Maksud dari definisi Levinson adalah pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Yule (2006:3) menelaah ada 4 (empat) definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang

(32)

mengkaji tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah bagian dari studi linguistik yang mengkaji penggunaan bahasa. Pengkajian bahasa dalam pragmatik akan selalu terikat dengan koteks dari pengguna bahasa tersebut.

2.3 Fenomena Pragmatik

Pragmatik membagi menjadi empat fenomena, yakni praanggapan, implikatur, deiksis dan kesantunan. Keempat fenomena itu akan dijelaskan sebagai berikut.

2.3.1 Praangapan

Dalam berkomunikasi seseorang memiliki suatu gagasan yang akan dituturkan kepada mitra tutur. Hal tersebut diasumsikan bahwa mitra tutur telah mengetahui sesuatu yang telah dituturkan oleh penutur. Karena informasi telah mendapat anggapan untuk diketahui, maka informasinya biasanya tidak dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan. Hal ini didukung oleh pendapat Harimurti (2001:176), yang menyatakan bahwa praanggapan atau presuposisi merupakan syarat yang yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat.

Levinson (1983:201-202) dalam Nadar (2009:66) menyimpulkan dari berbagai definisi-definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para ahli bahasa, mengemukakan bahwa presupposisi pragmatik mengandung dua hal pokok yaitu kesesuaian ‘appropriateness’ atau kepuasan ‘felicity’ dan pemahaman bersama

(33)

‘mutual knowledge’, atau ‘common ground’ dan ‘joint assumption’. Dengan demikian pemahaman bersama ‘common ground’ dan kesesuaian

‘appropriateness’merupakan hal-hal mendasar dalam berbagai definisi mengenai presupposisi pragmatik. Jadi, praanggapan merupakan sesuatu yang dianggap dan diketahui oleh lawan tutur.

2.3.2 Implikatur

Implikatur menerangkan apa yang dimaksudkan penutur, berbeda dengan apa yang dikatakan sebenarnya oleh penutur. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya (Nadar, 2009:60). Pemahaman terhadap implikatur percakapan tidak lepas dari asas kerjasama (cooperative principl) (Grice dalam Yule 1996:31-32). Grice menjabarkan prinsip kerjasama tersebut ke dalam empat maksim percakapan, yakni pertama, maksim kuantitas. Maksim kuantitas menjelaskan mengenai percakapan yang singkat tetapi maknanya padat, tepat dan tidak berbelit-belit. Kedua, maksim kualitas yang menjelaskan mengenai percakapan yang sesuai dengan kenyataan dan fakta yang terjadi. Ketiga, maksim relevansi merupakan suatu hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terjalin secara baik dan membicarakan sesuai permasalahan. Terakhir adalah maksim cara yakni antara penutur dan mitra tutur menghindari tuturan yang tidak jelas, ketakaburan ujaran, ketaksaan dan menugkapkan tuturan secara sistematis.

Grice membagi implikatur menjadi dua, yakni conventional implikatur (implikatur konvensional), dan conversation implikatur (implikatur percakapan). Dalam implikatur konvensional, maksud diperoleh langsung dari makna kata dan

(34)

bukan dari prinsip percakapan. Implikatur ini bersifat secara umum dan konvensial. Berbeda dengan implikatur perckapan, yakni implikatur memliki variasi karena makna dan pengertian yang dimaksudkan bergantung pada konteks pembicaraan. Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu.

Menurut Yule (2006:69–80) implikatur dibedakan menjadi lima macam sebagai berikut.

1) Implikatur percakapan

Penutur yang menyampaikan makna lewat implikatur dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi. Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan yang mempertahankan asumsi kerja sama.

2) Implikatur percakapan umum

Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, hal ini disebut implikatur percakapan umum.

3) Implikatur berskala

Informasi tertentu yang selau disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Ini secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas, seperti yang ditunjukkan dalam skala

(35)

(semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit) dan (selalu, sering, kadang-kadang), dimana istilah-istilah itu didaftar dari skala nilai tertinggi ke nilai terendah. Dasar implikatur berskala adalah bahwa semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan. 4) Implikatur percakapan khusus

Percakapan sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di mana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan amplikatur percakapan khusus.

5) Implikatur konvensional

Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas sejauh ini, implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan, dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya presupposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata tersebut digunakan. Kata

yang memiliki implikatur konvensional adalah kata ‘bahkan’ dan ‘tetapi’.

(36)

Di dalam sebuah pertuturan yang sesungguhnya, si penutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan yang dipertuturkan itu. Diantara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan yang tidak tertuis, bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu sudah saling dimengerti dan saling dipahami. Grice (1975) dalam Rahardi (2003) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut implikatur percakapan (Rahardi, 2006:85).

2.3.3 Deiksis

Penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapan-ungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal dari pada yang diucapkan (Yule, 2006:26)

Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan kontek pembicaraan. Deiksis idefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Deiksis juga mengacu pada perbedaan antara ungkapan-ungkapan

deiksis “dekat penutur (proksimal)” dan “jauh dari penutur (distal)”. Ungkapan yang termasuk dalam deiksis dekat penutur (proksimal) adalah di sini, ini, sekarang, sedangkan deiksis jauh dari penutur (distal) menggunakan ungkapan itu, di sana, pada saat itu. Istilah-istilah proksimal biasanya ditafsirkan sebagai istilah

(37)

sebagai acuan terhadap titik atau keadaan pada saat tuturan penutur terjadi di

tempatnya. Sementara itu, untuk istilah distal yang menunjukkan ‘jauh dari penutur’, tetapi dapat juga digunakan untuk membedakan antara ‘dekat dengan lawan tutur’ dan ‘jauh dari penutur maupun lawan tutur’ (Yule, 2006:14).

Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri.

Deiksis terbagi lima macam yakni deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Hal tersebutakan dipaparkan sebagaiberikut :

1) Deiksis Persona, yakni menentukan suatu ujaran yang dipengaruhi oleh peran peserta dalam peristiwa berbahasa. Peran peserta berbahasa terbagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.

2) Deiksis Tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa

(38)

bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada

pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41).

3) Deiksis Waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu juga ditujukan pada partisipan dalam wacana. Dalam banyak bahasa, deiksis

(rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41).

4) Deiksis Wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dan sebagainya.

5) Deiksis Sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42).

(39)

2.3.4 Kesantunan Berbahasa

Dalam kesantunan tercermin antara kesantunan berperilaku dan kesantunan berbahasa. Kesantunan berperilaku merupakan tata cara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu. Sedangkan, kesantunan berbahasa dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang, yang berarti bahasa (yang digunakan) seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui kepribadiaannya (Pranowo, 2009:3).

Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku. Pemakaian bahasa verbal lebih mudah untuk dilihat atau diamati. Namun, disamping itu terdapat pula bahasa nonverbal yang mendukung pengungkapan kepribadian seseorang, yakni berupa mimik, gerak-gerik tubuh, sikap, atau perilaku.

Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa dengan baik dan benar saja belum cukup. Agar dapat membentuk perilaku seseorang menjadi lebih baik hendaknya juga menerapkan penggunaan bahasa yang santun.

Pemakaian bahasa seseorang berbeda-beda, dalam masyarakat masih terdapat penggunaan bahasa yang santun maupun tidak santun. Pada kenyataannya, penggunaan bahasa yang tidak santun lebih banyak terjadi dalam

(40)

berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Pranowo (2009:51) memaparkan beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain (a) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada yang mahir menggunakan kaidah kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir berbahasa secara santun. Maka dari itu, agar terwujudnya dominasi penggunaan bahasa santun daripada bahasa yang tidak santun perlu melakukan hal berikut (a) kaidah kesantunan berbahasa sudah dideskripsikan dengan baik, (b) kaidah yang sudah dideskripsikan tersebut kemudian disosialisasikan kepada masyarakat, (c) pembinaan terus menerus melalui berbagai jalur (sekolah, kantor, lembaga-lembaga lain yang menjadi tempat berkimpulnya orang banyak), (d)

pengawasan yang sifatnya “sapa senyum” agar masyarakat semakin sadar untuk

menggunakan bahasa yang santun terus menerus (Pranowo, 2009:52).

Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, gaya bahasa digunakan untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur. Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain: majas hiperbola, majas perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut, Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu

(41)

aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Sedangkan, aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua, dan sebagainya), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur dengan mitra tutur, gaya bicara, dan sebagainya).

Melihat fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat, beberapa ahli mengidentifikasikan indikator kesantunan berbahasa. Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa seseorang dapat dikatakan santun atau tidak. Dell Hymes (1978) dalam Pranowo (2009:100–

101) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan, segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa penutur, pranata sosial kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Sedangkan, Grice (2000) dalam Pranowo (2009:102) lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi. Kemudian Leech (1983) via Pranowo (2009:102–103), memaparkan prisnsip kesantunannya sebagai indikator kesantunan berbahasa, yakni: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Selanjutnya, Pranowo (2009:103–105) mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur

(42)

yang mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.

2.3.5 Ketidaksantunan Berbahasa

Ketidaksantunan berbahasa ini muncul dengan melihat realita di masyarakat dalam menggunakan bahasa atau berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang santun dalam berkomunikasi masih jauh dari yang diharapkan.

Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk yang menunjuk pada perilaku kebahasaan yang tidak baik, kasar, dan melanggar tata krama. Selain kelima fenomena di atas, muncul fenomena baru yang belum banyak dikaji oleh para ahli linguistik dan pragmatik, fenomena tersebut merupakan ketidaksantunan berbahasa. Pranowo (2009:68-71) memaparkan gejala penutur yang bertutur secara tidak santun, yaitu penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur, penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya (hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain), penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.

Atas dasar identifikasi di atas, Pranowo (2009:72-73) menyebutkan empat faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara.

(43)

Kedua, faktor pemerolehan kesantunan. Ketiga, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (interferensi bahasa Indonesia). Keempat, karena sifat bawaan “gawan bayi” ang memang suka berbicara tidak santun di hadapan mitra tutur.

2.3.6 Teori-Teori Ketidaksantunan

Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dari kesantunan berbahasa. Kesantunan menunjuk pada perilaku sopan santun dan tata karma yang baik. Sebaliknya, ketidaksantunan menunjuk pada perilaku yang tidak baik, kasar, dan melanggar tata karma. Teori-teori yang mendasari ketidaksantunan berbahasa adalah sebagai berikut.

Menurut pandangan Locher (2008), ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a

particular context.’ Jadi intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada

perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Berikut ini disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan yang diucapkan oleh umat agama Hindu.

Umat 1 :“Hari ini ceramahnya tentang dunia lain”

Umat 2 :“Iya, pasti setan yang dimaksud mukanya sepertimu”

Adapun latar belakang situasinya adalah:

Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat setelah selesai mengikuti upacara keagamaan. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat 2 menunjukan ketidaksantunan perilaku melecehkan muka.

Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar

‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau

(44)

sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009). Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Contoh dari tuturan yang memain-mainkan muka tampak pada cuplikan berikut.

Umat 1 : “Kamu sebagai orang yang beragama, Jangan suka mencela orang

lain seperti itu”

Umat 2: “Siapa kamu Bapaku juga bukan berlagak menasehatiku”

Adapun latar belakang situasinya adalah:

Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika ada orang cacat berjalan di depanya. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat dua menunjukan ketidaksantunan perilaku melecehkan muka.

Dalam pandangan Derek Bousfield (2008), ketidaksantunan dalam

berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionallygratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’

Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’(gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu.

Umat 1 : “Apakah beliau yang akan memimpin upacra keagamaan hari ini”

Umat 2: “Iya, benar sekali orang yang sangat pendek seperti tuyul”

Adapun latar belakang situasinya adalah:

Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagaman akan dimulai. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat dua menunjukan ketidaksantuanan dengan memberikan penekanan kesembronoan dengan mengejek orang lain .

Pemahaman Culpeper (2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah,

Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to

(45)

memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’

(kehilangan muka).

Umat 1 : “Selamat pagi (umat satumenyapa)” Umat 2 : “Pagi juga , mau pergi kemana?”

Umat 1 :“Saya ingin pergi ber ibadah”

Umat 2 : “Orang miskain ya! Ke tempat ibadah memakai pakaian compang

camping”

Umat 1 :“(tetap berjalan sambil menundukan kepala)”

Adapun latar belakang situasinya adalah:

Tuturan tersebut diucapkan oleh umat ketika sedang berjalan menuju temapat ibadah. Berdasarkan contoh di atas menunjukan ketidaksantuanan yang dilakukan olah umat 2 dengan memberikan penekanan pada fakta. Terkourafi (2008) memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness

occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is

attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.

Umat 1 :“Berjalan di sela-sela orang banyak”

Umat 2 : “Dasar sialan tidak punya mata ya? (ketika umat satu tidak sengaja menginjak kaki umat dua)”

Umat 1 :“Maaf mas saya tidak sengaja”

Adapun latar belakang situasinya adalah:

Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamaan berlangsung.

Mereka berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran

(46)

melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,‘impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite

versions of behavior.’(cf. Lohcer and Watts, 2008:5).

Umat 1 : “Menundukan kepala sambil sambil berbisik aduh siapa ini yang mengangu. “gelisahkarena ada yang mencolek kupingnya ”

Umat 2 : “Hehe tertawa lirih sambil mencolek kuping umat didepanya denganmaksud bercanda ”

Adapun latar belakang situasinya adalah:

Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamaan sedang berlangsung. Dalam contoh di atas menunjukan perilaku umat 2 melangar norma sosial karena pada saat menjalankan upacara keagamaan berperilaku sembrono.

Sebagai rangkuman dari sejumlah teori ketidaksantunan yang disampaikan dibagian depan, dapat ditegaskan bahwa terdapat beberapa teori mengenai ketidaksantunan berbahasa yang dikemukakan oleh para ahli yaitu (1) teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan muka dan memain-mainkan muka, (2) teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Bousfield adalah perilaku berbahasa yang mengancam muka yang mengacu pada kesembronoan (gratuitous), hingga mendatangkan konflik, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), (3)teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Culpeperadalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka, (4) teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi adalah

(47)

perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya, dan (5) teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher and Watts adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori ketidaksantunan berbahasa itu, semuanya akan digunakan sebagai kacamata untuk melihat praktik berbahasa yang tidak santun dalam mengamati tuturan dalam ranah agama Hindu wilayah Kota Yogyakarta

2.4 Konteks

Rahardi (2003;18) konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang kemungkinan latar pengetahuan (beckground knowledge)yang muncul dan dilmiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oelh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya menyertai ,mewadahi serta melatarbelakangi hadirnya sebuah penuturan tertentu. Maka dengan mendasarkan pada gagasan leech tersebut , Wijana (1996) dengan tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks situasi pertuturan (spceeh situational context)

Selanjutnya Leech (1983:13) mengartikan konteks dalam sebuah tuturan sebagai“context to be anybackground knowledge assumed to be shared by s and

h and which contributes to h’s interpretation of what s means by a given utterance”. Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119)

(48)

antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keberagaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.

Berdasarkan penjelasan di atas, konteks dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan latar belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan oleh penutur. Komponen konteks mempengaruhi tuturan seseorang serta berhubungan dengan penafsiran dari mitra tutur.

Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) menjelaskan

bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.

Hymes (1974) via Nugroho (2009:119) menghubungkan konteks dengan

situasi tutur. Hymes melibatkan istilah ‘komponen tutur’ dalam menjelaskan tentang konteks. Seperti yang dikutip oleh Sumarsono (2008:325−334), Hymes

menyebutkan terdapat enam belas komponen tutur, yaitu (1) bentuk pesan (message form), (2) isi pesan (message content), (3) latar (setting), (4) suasana (scene), (5) penutur (speaker, sender), (6) pengirim (addressor), (7) pendengar (hearer, receiver, audience), (8) penerima (addressee), (9) maksud-hasil (purpose-outcome), (10) maksud-tujuan (purpose-goal), (11) kunci (key), (12) saluran (channel), (13) bentuk tutur (forms of speech), (14) norma interaksi (norm of interaction), (15) norma interpretasi (norm of interpretation), dan (16) kategori

(49)

wacana (genre). Dalam situasi tutur tersebut, terdapat delapan komponen yang mempengaruhi tuturan seseorang. Kedelapan komponen tutur tersebut meliputi latar fisik dan latar psikologis (setting and scene), peserta tutur (participants), tujuan tutur (ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur (instruments), norma tutur (norms), dan jenis tutur (genres) (Hymes, 1974) via (Nugroho, 2009:119).

Berdasarkan penjelasan di atas, konteks dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan latar belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan oleh penutur. Konteks tersebut disertai dengan komponen-komponen tuturan yang sangat mempengaruhi tuturan seseorang. Kehadiran konteks berhubungan dengan produksi dan penafsiran dari tuturan. Konteks secara liguistik terbagi menjadi dua yaitu intra liguistik dan ekstra liguistik. Faktor intra liguistik adalah faktor yang ada di dalam bahasa itu sendiri, yang termasuk intra liguistik adalah unsur segmental, diksi, kategori fatis, unsur suprasekmental, tekanan, intonasi, nada. Faktor ekstra liguistik, yaitu faktor yang berada di luar bahasa yang meliputi latar belakang sosial budaya, yang termasuk dalam extraliguistik adalah penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, tuturan sebagai bentuk tindak verbal.

Leech (1983) via Rahardi (2012) menggunakan istilah ‘speech situations’

atau situasi tutur dalam pemahamannya tentang konteks. Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah

(50)

aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.

2.4.1.1 Konteks Ekstra Linguistik

Faktor ekstra liguistik, yaitu faktor yang berada di luar bahasa yang meliputi latar belakang sosial budaya, yang termasuk dalam extraliguistik adalah penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, tuturan sebagai bentuk tindak verbal.

2.4.1.2 Penutur Dan Lawan Tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2.4.1.3 Konteks Tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

2.4.1.4 Tujuan Penutur

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau

(51)

sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifa formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.

2.4.1.5 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan Atau Aktivitas

Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

2.4.1.6 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini, dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan No. Kategori Ketidaksantunan Jumlah Tuturan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Deeko lrllFhrd.. ird de' rDpleDemasi

iln cm7| nqhdr

Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis mengenai akar penyebab masalah tersebut serta pencarian solusi terbaik untuk memperbaiki masalah yang ada dengan

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen pada pembelian kopi oven Buriyah di Jember, (2) Untuk

proses kegiatan pemungutan pajak air tanah tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga yaitu kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak dan

Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel-variabel bebas yang meliputi tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang