• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian Wustari Mangunjaya pada tahun 2001 dan 2002 tentang sikap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian Wustari Mangunjaya pada tahun 2001 dan 2002 tentang sikap"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Penelitian Wustari Mangunjaya pada tahun 2001 dan 2002 tentang sikap individu terhadap perubahan pada karyawan tingkatan staf hingga manajer dari berbagai tingkatan (manajer muda, madya, dan utama) yang berasal dari 3 BUMN (2 persero dan 1 perum) menemukan hasil penelitian bahwa pada umumnya sikap dominan yang ditampilkan individu dalam menghadapi perubahan adalah cenderung untuk mendasarkan diri pada aspek logika dan rasional. Hal ini terdapat pada pada semua tingkatan jabatan, dan tidak terbatas pada aspek pendidikan maupun usia. Reaksi dominan kedua yang ditampilkan seseorang dalam menghadapi perubahan adalah bersifat negatif (kontrol negatif), yaitu cenderung untuk bereaksi secara emosional terhadap perubahan yang dianggapnya kurang positif. Jenis ini biasanya memunculkan sikap negatif terhadap perubahan (resistensi perubahan).

Penelitian Maria Vakola, Ioannis Tsaousis, dan Ioannis Nikolaou tahun 2003 tentang ‘The role of emotional intelligence and personality variables on attitudes toward organisational change’ menunjukkan hasil bahwa ada hubungan diantara sifat kepribadian dan sikap karyawan terhadap perubahan. Selain itu, kontribusi kecerdasan emosi pada sikap dalam menghadapi perubahan adalah signifikan, mengindikasikan bahwa ada nilai tambah dari penggunaan kecerdasan emosi dalam menghadapi perubahan organisasi.

(2)

Hampir serupa dengan penelitian diatas, maka penulis akan lebih memfokuskan pada pengaruh kecerdasan emosi ditambah dengan pengaruh dari resistensi perubahan dosen - sebagai orang yang relatif cukup berpengaruh dalam suatu lembaga pendidikan tinggi - terhadap sikapnya dalam menghadapi perubahan organisasi, dalam hal ini ITS dimana lembaga tersebut akan berubah status dari PTN menjadi PT BHMN.

2.2 Asumsi Dasar Penelitian

Resistensi perubahan dan kecerdasan emosi yang dimiliki dosen dalam penelitian ini diidentifikasi dapat mempengaruhi sikap dosen terhadap perubahan ITS dari PTN menuju PTBHMN. Bilamana seorang dosen mempunyai resistensi perubahan yang relatif rendah dan selain itu cerdas secara emosi maka dia akan mempunyai sikap positif atau sikap efektif terhadap perubahan ITS dari PTN menuju PT BHMN. Begitu juga sebaliknya, jika dosen mempunyai resistensi perubahan yang relatif cukup besar dan mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dia akan mempunyai sikap negatif terhadap perubahan ITS dari PTN menuju PTBHMN.

2.3 Perubahan ITS dari PTN menuju PTBHMN

Globalisasi pasar tenaga kerja dan kompetisi antar perguruan tinggi yang sudah tidak dapat dihindari lagi serta perkembangan teknologi yang terus berlangsung dengan cepat memaksa ITS harus melakukan perubahan yang sangat mendasar terhadap cara pandang, operasi, pengelolaan dan budaya yang selama

(3)

ini berkembang di ITS. Selain itu, perkembangan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini seperti reformasi dan penerapan otonomi daerah secara luas memerlukan pengawalan secara ketat oleh lembaga-lembaga yang independen agar tidak menyimpang dari tujuan semula. ITS sebagai suatu kekuatan moral yang independen terhadap kepentingan kelompok dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pengawalan jalannya reformasi. Perubahan mendasar yang akan dilakukan ITS sesuai dengan kebijakan nasional dan pendidikan tinggi telah mendorong untuk menjadi suatu badan hukum yang lebih otonom agar bisa menjadi lebih berkulitas, efisien dan akuntabel. Oleh karenanya saat ini ITS sedang mempersiapkan diri untuk berubah status dari PTN menjadi PTBHMN. Pengajuan proposal sudah dilakukan oleh pihak ITS kepada pemerintah. Diperkirakan pada tahun 2005 ITS akan berubah status menjadi PTBHMN.

2.3.1 Proses Perubahan

Para ahli dalam usaha mereka untuk membahas dan mengembangkan teori-teori yang berhubungan dengan perubahan berencana banyak dipengaruhi oleh pendapat yang dikemukakan oleh Kurt Lewin yang mengemukakan bahwa suatu proses perubahan berencana selalu meliputi tiga tahapan, yaitu tahapan unfreezing atau pencairan dari keadaan yang ada sekarang, tahapan moving atau pembentukan perilaku/pola yang baru dan tahapan terakhir freezing atau tahapan pemantapan atau pembakuan dari perilaku atau pola yang akan dilembagakan.

(4)

2.3.2 Struktur dan Pengelolaan

Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara yang independen tidak berarti Pemerintah akan melepaskan tanggung jawab konstitusinya untuk tetap membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi, apapun bentuk hukum PTN. Otonomi dan akuntabilitas PTN sebagai BHMN harus mencerminkan keseimbangan peran dan tanggung jawab yang harmonis antara Pemerintah dan PTN dalam penyelenggaraannya. Gambaran keseimbangan peran Pemerintah dalam menagih akuntabilitas dari perguruan tinggi, dan pemberian otonomi dan kebebasan akademik kepada perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara seperti dilukiskan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1

Keseimbangan Peran antara Pemerintah dan Perguruan Tinggi Sumber : Saidi, 2001

Otonomi PTN sebagai BHMN dalam pelaksanaannya harus disertai dengan akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat (stakeholders). Ruang lingkupnya adalah sebagai berikut:

a. Hak mahasiswa untuk belajar dan hak dosen untuk mengajar, sesuai dengan minatnya masing-masing;

(5)

b. Hak untuk menetapkan prioritasnya sendiri, dan melakukan penelitian ilmiah ke arah manapun tujuannya, dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai stakeholdernya;

c. Toleran terhadap perbedaan pendapat sebagai upaya pencarian kebenaran ilmu pengetahuan dan bebas dari campur tangan politik;

d. Sebagai institusi publik, melalui pendidikan dan penelitian, perguruan tinggi berkewajiban untuk mengembangkan kebebasan dasar dan keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas, serta berkewajiban untuk saling bantu membantu, baik secara materi maupun moral, dalam konteks nasional dan internasional;

e. Berkewajiban untuk menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;

f. Menghindari hegemoni intelektual; serta

g. Memiliki hak dan tanggungjawab untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara mandiri untuk mendukung kegiatannya.

Perilaku manajemen dalam pengelolaan Perguruan Tinggi berdasarkan PP 60 tahun 1999 akan sangat berbeda dengan manajemen penyelenggaraan PTN sebagai BHMN yang berdasarkan PP 61 tahun 1999. Pada PTN sebagai BHMN, Majelis Wali Amanat (The Board of Trustees) sebagai badan tertinggi dilingkungan perguruan tinggi, memiliki peran yang sangat strategis karena badan ini bertugas memilih pimpinan perguruan tinggi dan keterlibatan Pemerintah dalam penyelenggaraan perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara

(6)

disalurkan melalui badan ini. Karakteristik PTN sekarang dan PTN sebagai BHMN, adalah seperti dijabarkan dalam gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.2

Karakteristik PTN dan PT BHMN Sumber : Saidi, 2001

Jika dalam PTN professor secara otomatis masuk dalam anggota senat universitas, maka dalam PTBHMN professor akan dipilih untuk masuk dalam senat akademik. Konstitusi PTBHMN bersifat unik dimana peraturan pemerintah dirancang untuk masing-masing universitas tidak lagi sama/seragam seperti PTN. Alokasi sumber daya akan lebih berdasar pada jumlah hasil atau keluaran misalnya lulusan mahasiswa, bukan lagi jumlah masukan atau mahasiswa yang diterima oleh perguruan tinggi tersebut . PTBHMN akan lebih intensif untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya dengan efisien. PTBHMN ini juga akan lebih kredibel untuk bertindak sebagai kekuatan moral. Akses akan lebih luas untuk mengembangkan pendapatan bagi perguruan tinggi yang bersangkutan.

(7)

PTN sebagai BHMN mempunyai struktur organisasinya seperti pada gambar 2.3. Wali Amanat (the Board of Trustees) sebagai organ tertinggi perguruan tinggi yang mewakili pemerintah dan masyarakat , akan mempunyai peran yang sangat panting mengingat badan ini bertanggung jawab dalam memilih dan mengawasi pekerjaan pimpinan perguruan tinggi. Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan PTN sebagai BHMN disalurkan melalui badan ini. Anggota Wali Amanat terdiri dari Rektor (tidak mempunyai hak suara), wakil pemerintah, pemakai lulusan perguruan tinggi, perusahaan swasta dan industri, dosen dan masyarakat umum. Kepemimpinan PTN sebagai BHMN akan sangat berbeda dengan PTN yang ada sekarang karena mekanisme pemilihan pimpinan perguruan tinggi yang berbeda. Perguruan Tinggi sebagai BHMN terdiri unsur-unsur Majelis Wali Amanat , Dewan Audit, Senat Akademik, Pimpinan, Dosen, tenaga administrasi, pustakawan, teknisi, unsur pelaksana akademik, unsur pelaksana administrasi dan unsur penunjang (lihat gambar 2.3)

Gambar 2.3

Rencana Struktur Organisasi PTN sebagai BHMN Sumber : Saidi, 2001

(8)

2.3.3 Proses Perubahan Status Hukum

Sebagai konsekuensi logis menjadi PTN sebagai BHMN tidak hanya sekadar perubahan statusnya, tetapi yang jauh lebih penting adalah transformasi sistem penyelenggaraan perguruan tinggi sesuai dengan status hukum barunya. Perlu diingat bahwa keuntungan yang didapat dari perubahan status hukum menjadi perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara akan sama besarnya dengan resiko yang harus ditanggung PTN yang bersangkutan sehubungan dengan perubahan statusnya. Sekali perubahan status hukumnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP), maka itu menjadi keputusan yang mengikat dalam penyelenggaraan PTN yang bersangkutan. Untuk itu perlu ada seperangkat kriteria/persyaratan yang dipergunakan dalam menentukan kelayakan suatu PTN untuk menjadi BHMN. Kriteria berikut ini secara umum dipergunakan dalam menentukan kelayakan 4 perguruan tinggi negeri percontohan (ITB, UI, IPB, UGM) menjadi badan hukum milik negara;

1. Kapasitas Manajemen (management capacity)

Sebagai badan hukum, penting bagi perguruan tinggi untuk memiliki kemampuan manajemen dan kapasitas perencanaan yang mencukupi. Desakan adanya akuntabilitas dan peningkatan efisiensi, resiko yang mungkin ditemui dalam membuat berbagai keputusan, dan standar kualitas yang dipersyaratkan memerlukan tingkat kapasitas manajemen dan kepemimpinan yang mencukupi.

(9)

2. Kualitas (quality)

Sebagai kekuatan moral yang kredibel, mencapai kualitas yang paling tinggi menjadi sangat penting bagi PTN sebagai BHMN. Definisi dari kualitas mencakup pelaksanaan norma akademik dan nilai-nilai yang berlaku pada PTN yang bersangkutan harus menjamin bahwa kepentingan kualitas tidak dikorbankan karena pettimbangan seperti keuangan, politik dan keuntungan ekonomis lainnya. Secara umum, kualitas juga mencakup relevansi yang tercermin dalam misi, tujuan dan program yang direncanakan.

3. Keberlanjutan (sustainability)

Aspek yang penting dalam keberlanjutan adalah kemampuan PTN yang bersangkutan untuk menjamin flesibilitas keuangannya. Dalam process review biasanya, sustainability tidak hanya terbatas pada keberlangsungan secara finansial, tetapi juga kepemimpinan. Disamping sistem akunting dan pelaporan yang memenuhi persyaratan, tingkat pendapat yang bisa digali, dan tingkat subsidi dari Pemerintah, kemampuan untuk menjaga kualitas yang dipersyaratkan , adaptabilitas dan responsive terhadap perubahan lingkungan, merupakan faktor yang menentukan keberlanjutan. 4. Akuntabilitas (accountability)

PTN selalu terikat dan tergantung kepada lingkungannya, sehingga sistem nilai, norma dan berbagai ketentuan yang mengatur komunitas sekelilingnya harus selalu menjadi pertimbangan dan acuan dalam manajemen penyelenggaraan perguruan tinggi. Oleh karena itu , otonomi

(10)

yang dilaksanakan oleh suatu perguruan tinggi harus merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan akuntabilitas. Akuntabilitas didefinisikan sebagai kewajiban menyelenggarakan perguruan tinggi dengan menggunakan sumberdaya secara legal dan bijaksana untuk mencapai tujuan berdasarkan asas kenapa sumberdaya tersebut berada. Prestasi yang diperoleh atas penggunaan sumberdaya tersebut

dibandingkan dengan tujuan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek relevansi, efektifitas, kelayakan biaya, dan upaya secara terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki proses atau mendapatkan proses yang lebih efektif, merupakan bagian dari akuntabilitas.

5. Efisiensi (efficiency)

Efisiensi didefinisikan sebagai tingkat frugalitas (frugality) atau tingkat kehematan dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki. Mengingat efisiensi selama ini menjadi alasan dalam penyelenggaraan PTN karena keterbatasan struktural sebagai unit pelayanan pemerintah, maka efisiensi merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan kelayakan perubahan status suatu perguruan tinggi.

6. Tanggung jawab sosial (social responsibility)

Tujuan sosial pendidikan tinggi harus merupakan dasar dari prinsip "nirlaba" (non-profit-principle) dalam penyelenggaraan suatu perguruan tinggi. Hal ini pada gilirannya akan menjadi hambatan bagi penyelenggara perguruan tinggi yang telah berketetapan menjalankan programnya secara komersial untuk kepentingan penyelenggara.

(11)

Akuntabilitas termasuk justifikasi tanggungjawab sosial untuk nilai akademik sebagai tujuan pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi diminta menjelaskan sistem yang direncanakan yang menjamin bahwa prinsip tersebut di atas dapat dipertahankan selama PT yang bersangkutan masih beroperasi.

2.3.4 Manajemen Sumber Daya Manusia

Sebagai BHMN, PTN dapat menentukan sendiri gaya sistem pengelolaan (university governance) dan manajemen sumberdaya yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi yang bersangkutan. Tradisi yang dianut oleh suatu perguruan tinggi akan sangat mempengaruhi sistem pengelolaan dan gaya manajemen sumberdaya yang akan dianut, apakah lebih kepada desentralisasi atau sentralisasi. Sumber daya manusia (SDM) merupakan aset yang paling berharga bagi suatu perguruan tinggi, dan sering dianggap sebagai keunggulan kompetitif dibandingkan industri, bisnis dan sektor pemerintahan. PTN sebagai BHMN harus melakukan perubahan status pegawainya secara bertahap dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi pegawai universitas yang dipekerjakan atas dasar kontrak. Sesuai dengan Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Pegawai Negeri, dimungkinkan adanya pegawai negeri tidak tetap (non-tenure tract or contract basis for civil service). Oleh karena itu, PNS (tenured employees) harus didorong menjadi pegawai tidak tetap perguruan tinggi (non-tenured university staff). Beralihnya status dosen dan karyawan ITS dari PNS ke pegawai ITS memberikan konsekuensi yang besar dalam pengelolaan SDM ITS. Penanganan proses peralihan ini akan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun. Perbaikan sistem

(12)

pengelolaan SDM secara total meliputi audit sistem pengelolaan SDM, kebijakan dasar pengelolaan SDM, redistribusi SDM, perbaikan sistem rekrutmen, perbaikan sistem perencanaan karir, perbaikan dan implementasi performance appraisal system, perbaikan dan implementasi sistem remunerasi, perbaikan dan implementasi sistem promosi dan penempatan, penyusunan dan impementasi sistem pengembangan SDM. Proyeksi perubahan status PNS menjadi pegawai perguruan tinggi seperti dilukiskan pada gambar 2.4.

Gambar 2.4

Perubahan Status Kepegawaian Sumber : Saidi, 2001

2.3.5 Kesiapan perguruan tinggi

Sebelum perguruan tinggi siap melakukan proses otonomi sebagai BHMN, maka paling tidak terdapat tujuh butir yang harus dipersiapkan oleh perguruan tinggi sampai kepada tingkat sistem dan operasionalnya yaitu

a. mahasiswa, b. mata kuliah,

(13)

c. manajemen,

d. sumber daya manusia, e. keuangan,

f. perolehan pendapatan,

g. administrasi yang profesional.

Perguruan tinggi umumnya telah siap dengan sistem dan operasional untuk kedua butir teratas, yaitu sistem untuk mahasiswa (misalnya pendaftaran, pendataan, pemantauan, hasil ujian, profil mahasiswa, data alumni dan lain-lain) dan sistem untuk mata kuliah (misalnya isi kurikulum, tata cara dan modus penyajian, mata kuliah yang terkait, dosen yang relevan, pencatatan dan pendataan mata kuliah, hasil pembelajaran yang diharapkan, tuntutan mahasiswa, tingkat keberhasilan mahasiswa, dan lain-lain). Kelima butir lainnya perlu dipersiapkan baik secara khusus oleh perguruan tinggi maupun bersama dengan pemerintah pusat (Dirjen Dikti dan instansi terkait lainnya). Persiapan terhadap kelima butir dimaksud hendaknya menjadi prioritas utama demi terlaksananya proses perubahan menjadi PTBHMN.

Dalam bidang manajemen, perguruan tinggi hendaknya mempunyai beberapa hal sebagai berikut untuk kesiapan menjadi BHMN:

a. tatacara keterlibatan Majelis Wali Amanat (lembaga tertinggi dari perguruan tinggi) dalam hal penetapan kebijakan strategis perguruan tinggi maupun keputusan penting lainnya termasuk disini kemampuan Majelis Wali Amanat untuk memberikan akuntabilitas perguruan tinggi terhadap external stake holders;

(14)

b. suatu sistem yang menggambarkan strategi masa depan yang didasarkan evaluasi diri;

c. suatu proses perencanaan yang meliputi seluruh kegiatan operasional (termasuk cara penetapan dibuka / ditutupnya suatu program / kegiatan) yang juga dapat digunakan untuk menetapkan anggaran total perguruan tinggi;

d. mekanisme pengalokasian sumber daya diantara berbagai komponen yang ada di perguruan tinggi;

e. adanya kebijakan perguruan tinggi mengenai kegiatan pembelajaran (bukan pengajaran), kegiatan penelitian, pemasaran / promosi, kegiatan perolehan dana maupun kegiatan tambahan para staf;

f. mekanisme internal yang efektif untuk jaminan kualitas pembelajaran dan penelitian – hal ini untuk pengukuran tingkat keberhasilan ditinjau dari aspek mutu;

g. tatacara penilaian akuntabilitas setiap individu perguruan tinggi (akademik maupun non akademik);

h. sistem informasi manajemen yang memadai (tidak harus terlalu canggih); i. struktur manajemen yang jelas dalam hal pendelegasian kewenangan, hal

ini untuk mencegah kesalahpahaman antara individu dengan panitia / kelompok kerja dalam hal pembagian tugas.

Dalam bidang sumber daya manusia , perguruan tinggi perlu mempersiapkan beberapa hal berikut ini :

(15)

b. rancangan skala pembayaran beserta kriteria yang akan diterapkan kepada staf pergruan tinggi;

c. rancangan tunjangan pensiun bagi staf pergruan tinggi, termasuk pembagian tanggung jawab antara pemerintah, perguruan tinggi dan individu yang bersangkutan ;

d. kebijakan dan prosedur pemberian penghargaan dan rekrutmen staf berdasarkan prestasi/kinerja yang terukur, termasuk disini pola penilaian staf dan pengembangan staf;

e. pola pemberian sanksi bagi staf yang tidak menunjukkan prestasi / kinerja; f. tata cara penanganan jika terjadi tuntutan oleh staf (sebagai pegawai)

terhadap pimpinan pergruuan tinggi (sebagai pemberi kerja);

g. sistem pencatatan personil yang dikaitkan dengan sistem pembayaran gaji. Dalam bidang keuangan, perguruan tinggi perlu mempersiapkan beberapa hal sebagai berikut :

a. prosedur finansial lengkap dengan tingkat pendelegasian kewenangannya; b. sistem pembukuan yang lengkap termasuk rekening masuk maupun yang

harus dibayarkan;

c. sistem pembayaran gaji yang dikaitkan dengan pengeluaran lain di perguruan tinggi;

d. adanya metode analisis biaya yang memungkinkan perkiraan pembiayaan berbasis aktivitas;

e. mekanisme untuk pemantauan – pengendalian terhadap pemasukan dan pengeluaran yang bersifat regular;

(16)

f. pengaturan manajemen aliran uang tunai; g. pengaturan proses pengadaan;

h. pencatatan aset kapital dan sistem finansial untuk pengelolaan lahan dan bangunan termasuk pemeliharaannya;

i. pengaturan perihal perbankan dan perpajakan serta kewajiban finansial lainnya.

Dalam bidang perolehan pendapatan, perguruan tinggi perlu mempersiapkan beberapa hal berikut ini :

a. kebijakan perguruan tinggi untuk mendorong stafnya untuk memperoleh pendapatan tambahan atas nama perguruan tinggi;

b. mekanisme yang mengendalikan proses perolehan pendapatan sehingga tidak mengorbankan misi akademik perguruan tinggi;

c. aspek legal dan ketentuan pajak bagi setiap perusahaan yang didirikan oleh perguruan tinggi tersebut dalam rangka perolehan tambahan pendapatan; d. kebijakan pendistribusian pendapatan yang diperoleh oleh staf atas nama

perguruan tinggi (pembagian keuntungan diantara staf bersangkutan, institusi dan lainnya);

e. kebijakan mengenai penanganan paten dan royalti yang diperoleh staf atas nama perguruan tinggi;

f. sistem yang akurat mengenai perhitungan biaya pekerjaan yang dilakukan staf atas nama perguruan tinggi (termasuk perhitungan overhead perguruan tinggi), dan sistem pemantauan penggunaan dana selama pekerjaan berlangsung;

(17)

g. ketentuan internal mengenai peluang mencari tambahan pendapatan bagi staf tetap (full time staff) sehingga tidak meninggalkan tugas utama dan tidak kemudian dikategorikan sebagai staf tidak tetap (part time).

Untuk penanganan administrasi yang profesional, pada saat ini perguruan tinggi mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga yang memenuhi syarat karena berbagai macam alasan, diantaranya belum memadainya penghargaan dengan ketrampilan mereka. Untuk mengatasi hal ini, perguruan tinggi perlu bekerja keras secara bertahap menseleksi personil administrasi yang profesional dan bila perlu melakukan berbagai pelatihan.

2.3.6 Kesiapan ITS menjadi PT BHMN

Dalam membangun ITS, selama kurun waktu empat tahun kedepan (2003-2007) memiliki dua target. Pertama, menghantarkan ITS sebagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dengan pilarnya kualitas, otonomi, kesempatan dan keadilan. Kedua menghantarkan ITS sebagai Perguruan Tinggi yang mendapatkan pengakuan secara internasional (internationally recognize) dengan pilarnya reputasi akademik dan kualitas mahasiswa. Pencapaian target bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba, akan tetapi memerlukan persyaratan (termasuk kesesuaian tradisi) perencanaan, aktivitas dan sumber daya. Dalam konteks inilah pentingnya membangun tradisi agar aktivitas yang dirancang dapat berjalan secara efektif untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan. Dengan tradisi, kebiasaan dan budaya yang sudah terbangun,

(18)

prestasi yang dicapai dengan aktivitas yang memerlukan usaha luar biasa terasa menyenangkan dan bersifat alami.

Ada 4 tradisi yang ingin dibangun di ITS. Pertama, tradisi keilmuan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menjadi tugas utama adalah menyelenggarakan pendidikan, pengajaran, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tradisi keilmuan tersebut tercermin dalam aktivitas-aktivitas belajar mengajar, dan riset sehingga diharapkan ITS mampu menampilkan inovasi-inovasi teknologi yang mampu memberikan nilai tambah, meningkatkan competiveness bagi bangsa ini. Tradisi keilmuan tidak hanya ditandai dengan meningkatnya aktivitas keilmuan,tapi mampu membangun pola pikir masyarakat ITS yang obyektif dan terbuka sebagai pilar utama keilmuan. Obyektif dalam makna sesuai dengan nalar-nalar rasional, dan terbuka tersebut, memberikan inspirasi dan menjiwai dalam mengelola sumberdaya ITS.

Kedua, tradisi kerja keras. Tradisi ini sebagai bagian dari etos kerja, yang sangat penting untuk ditumbuhkan.Tidak ada cara yang lebih mulai untuk mengejar ketertinggalan, mencapai suatu cita-cita kecuali dengan menumbuhkan semangat kerja keras. Diantara sekian banyak metode untuk menumbuhkan tradisi kerja keras ini antara lain mulai berhenti untuk mengkritik yang dapat mematikan semangat dan mulai membiasakan untuk memberikan penghargaan kepada siapapun yang telah berprestasi, yang kedua membentuk kelompok kecil sebagai creative minority, sebagai contoh dan panutan. Untuk kasus ITS, kedua pendekatan tersebut tepat untuk digunakan secara simultan. Kerja keras yang

(19)

diimbangi dengan pola pikir yang terbuka, obyektif, akan mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas diri dan organisasi.

Ketiga, tradisi kerapian manajemen. Manajemen dalam makna yang lebih sederhana adalah mengelola sumber daya. Kerapian pengelolaan (properness management) sangat dipengaruhi kemampuannya menangkap dan menterjemahkan fungsi-fungsi kebutuhan organisasi, mengalokasikan dengan tepat sumber daya yang dimiliki (appropriateness resources allocation), ternasuk didalamnya dana dan staf, dan melaporkannya secara transparan. Kerapian manajemen bukan saja sebagai pelunasan tanggung jawab pengelola institusi, tapi dengan kerapian manajemen mampu meningkatkan tingkat kepercayaan publik, sehingga pada akhirnya mampu mendorong partisipasi publik. Kerapian manajemen tersebut dapat diukur melalui efisiensi, efektivitas, dan produktivitas, yang kesemuanya itu harus dapat dipertanggungjawabkan (accountable).

Keempat, tradisi socio cohevesiness. Sebagai suatu organisasi pendidikan tinggi, ITS memiliki fungsi-fungsi stratejik dalam konteks membangun bangsa. Dengan jumlah populasi sekitar 20.000 orang, terdiri dari 17.000 mahasiswa, serta 3000-an dosen dan karyawan, level pendidikan berada diatas rata-rata, inflow mahasiswa baru sekitar 4000 dan outflow lulusan sekitar 3500, maka sebagai komunitas, ITS harus mampu membangun ikatan sosial, ikatan emosional sehingga ITS bukan saja tempat bekerja, tempat menuntut ilmu, akan tetapi ITS sebagai ‘ibu’ yang mampu membesarkan dan mendidik anggota komunitas ITS. Kuatnya socio cohesiveness menjadikan keluarga besar ITS terasa sangat menikmati keberadaannya di ITS. Sebaliknya kurangnya perhatian dan lemahnya

(20)

ikatan sosial akan mendorong brain drain baik yang bersifat terang-terangan maupun tersembunyi (hidden).

Dengan empat tradisi tersebut, diharapkan pengembangan ITS ke depan lebih sistimatis, terukur, efektif karena telah didukung dengan tradisi, kebiasaan dan budaya yang mendorong dan comply dengan kemandirian dan kemampuan berkompetisi (competiveness). Dua hal terakhir ini merupakan esensi dari otonomi perguruan tinggi (PTBHMN) dan pengakuan internasional (internationally recognize).

Selain membangun tradisi, kebiasaan maka perlu juga diberikan perhatian khusus kepada tiga kekuatan sekaligus moto ITS yaitu membangun citra (image building), penguatan modal intelektual (intelellectual capital strengthening) dan pengembangan jejaring (networking development). Nama baik, citra dan martabat ITS dibangun melalui keunggulan keilmuan dan kuatnya jaringan antara ITS dengan stakeholders (Nuh, 2003).

Dalam perubahan status ITS dari PTN menjadi PTBHMN ada tujuh prinsip utama yang akan menjadi acuan. Prinsip utama tersebut pada prinsipnya berupa prakondisi, kaidah, jaminan dan batasan. Ketujuh prinsip utama tersebut adalah :

Prinsip 1 : Nilai-nilai akademis tidak boleh dikalahkan oleh nilai-nilai ekonomis. Salah satu tujuan PTBHMN adalah meningkatkan efisiensi. Meskipun begitu harus dijaga bahwa kepentingan ekonomis tidak mengorbankan kepentingan akademis.

(21)

Prinsip 2 : Pemerintah bertanggungjawab atas sebagian besar biaya pendidikan. Seperti halnya telah ditetapkan pada UUD 1945 yang telah diamandemenkan, pemerintah bertanggungjawab untuk mencerdaskan bangsa. Untuk itu pemerintah harus mempunyai tanggung jawab terbesar dalam pembiayaan ITS-PTBHMN. ITS memperkirakan bahwa untuk dapat menjalankan ITS-PTBHMN dengan baik kontribusi minimal pemerintah adalah 65%.

Prinsip 3 : Pada masa transisi ITS-PTBHMN harus memfokuskan pada perbaikan kualitas, efisiensi, transparan dan akuntabilitas. Pemberian status PTBHMN pada prinsipnya adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada perguruan tinggi, terutama di bidang kepegawaian dan keuangan, agar perguruan tinggi lebih berkualitas, efisien, transparan dan akuntabel. Konsekuensinya, pada saat perguruan tinggi menyiapkan diri untuk menjadi PTBHMN hal-hal yang menjadi pokok perhatiannya adalah perbaikan kualitas, efisiensi, tarnsparansi dan akuntabilitas.

Prinsip 4 : ITS menempuh kebijakan konservatif pada SPP dan gaji pegawai, progresif pada perbaikan kualitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Peningkatan kualitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas memerlukan peningkatan biaya dan kesejahteraan karyawan. Meskipun begitu, ITS mengambil kebijakan yang konservatif terhadap kenaikan SPP dan gaji karyawan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan kemampuan masyrakat dalam membayar SPP dan kemampuan ITS untuk menggali dana masyarakat yang masih minim.

(22)

Prinsip 5 : Tidak akan ada pemutusan hubungan kerja karena proses peningkatan efisiensi. Sekarang ini ITS kelebihan tenaga non-akademik. Peningkatan efisiensi dilakukan dengan mengurangi jumlah tenaga non-akademik pada unit-unit. Meskipun begitu, kelebihan tenaga tidak akan diberhentikan, tetapi dialokasikan pada unit-unit lain yang akan dibentuk pada masa transisi. Unit-unit baru tersebut terutama adalah unit untuk menggali dana masyarakat melalui Unit Usaha Komersial.

Prinsip 6 : Tidak akan ada mahasiswa tidak dapat masuk ITS maupun drop out karena tidak dapat membayar SPI atau SPP. Peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat dihindari lagi akan membutuhkan peningkatan biaya operasional. Meskipun begitu, ITS menjamin tidak akan ada mahasiswa pintar yang tidak masuk ITS karena tidak mampu membayar SPP, atau mahasiswa pintar yang drop out dari ITS karena tidak mampu membayar SPP. ITS akan memberikan bantuan berupa beasiswa, keringanan biaya atau bahkan pembebasan biaya untuk mahasiswa yang betul-betul tidak mampu.

Prinsip 7 : Pemanfaatan sumberdaya ITS akan digunakan semaksimal mungkin untuk peningkatan kualitas pelaksanaan TRIDHARMA. Salah satu kebebasan yang akan dimiliki ITS pada saat menjadi ITS-PTBHMN adalah dalam pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki. ITS mempunyai banyak sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk men-generate dana. Semua dana yang didapat dari hasil pemanfaatan sumberdaya akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk peningkatan kualitas pelaksanaan Tridharma ( Transition Plan ITS, 2004).

(23)

2.3.7 Sikap Individu (Dosen) Dalam Menghadapi Perubahan

Secara historis, istilah sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang ( Allen, Guy & Edgley, 1980 dalam Azwar, Saifuddin, 1997). Definisi sikap itu sendiri ada puluhan banyaknya yang secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga kerangka pemikiran. Salah satu diantaranya adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadic (triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu obyek. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subyek seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Komponen perilaku atau komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. Pemikiran diatas bisa dikategorikan sebagai pendekatan yang pertama (Breckler, 1984; Katz & Stotland, 1959; Rajecki, 1982 dalam Azwar, Saifudin, 1997). Pendekatan kedua dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi diantara ketiga komponen kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk sikap. Oleh karena itu pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikap hanya pada aspek afektif saja (single component). Definisi ini mengatakan bahwa sikap tidak lain adalah afek atau penilaian – positif

(24)

atau negatif – terhadap suatu objek (Azwar, Saifudin, 1997). Penulis akan membatasi pada pendekatan yang kedua ini.

Oleh karena itu dalam menghadapi perubahan, kita akan memaklumi bahwa setiap individu memiliki pilihan sikapnya sendiri dan hal ini mewarnai sikap serta perilaku yang ditampilkannya dalam menghadapi perubahan serta memiliki dampak terhadap efektivitas perubahan. Untuk itu, Eales-White (1994) membagi sikap individu dalam menghadapi perubahan dalam 4 kategori yaitu : (1). Logika Rasional atau Analisis & Evaluasi (LR) (2). Kontrol Negatif atau Menolak & Bertahan (KN) 3. Fokus terhadap Manusia atau Menerima & Membantu Orang lain (FM) dan (4). Positif dan Kreatif atau Eksplorasi & Penemuan (PK), dan keempat sikap tersebut dinyatakan dalam diagram sebagai berikut (gambar 2.5):

Otak kiri Otak kanan Analisis dan Evaluasi

(LR)

Eksplorasi dan Penemuan (PK)

Menolak dan Bertahan (KN)

Menerima dan Membantu Orang Lain (FM) Fokus Internal Fokus Eksternal

Gambar 2.5

Sikap dalam Menghadapi Perubahan Sumber : Eales-White, (1994) Intelektual

(25)

Eales-White (1994) menyatakan bahwa dari empat jenis sikap individu dalam menghadapi perubahan, maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

(1) Logika Rasional (LR) mempunyai ciri a. tidak emosional ;

b. terfokus pada logika dan rasional ; c. tertarik pada fakta dan implementasi;

d. terfokus pada analisis peristiwa dan implikasinya ;

e. cenderung untuk mengevaluasi dan mencari jawaban atau alasan, (2) Kontrol Negatif (KN) mempunyai ciri

a. emosional

b. berpikir dan bersikap negatif ; c. orientasi pada diri sendiri ;

d. ingin tetap pada kondisi lama (rasa aman) ; e. menolak adanya perubahan ;

f. melawan organisasi dan lingkungan ;

g. melawan dengan cara yang logis maupun tidak logis, (3) Fokus terhadap Manusia (FM) mempunyai ciri

a. menjajagi pengalaman perubahan ;

b. lebih beraksi emosional daripada intelektual ;

c. tidak terfokus pada diri sendiri tetapi lebih pada orang lain yang terpengaruh perubahan ;

d. kebutuhan emosional terpenuhi dengan cara bertukar pengalaman dengan orang lain ;

(26)

e. memperoleh dan memberikan dukungan bagi mereka yang terpengaruh/terkena akibat adanya perubahan,

(4). Positif dan Kreatif (PK) mempunyai ciri a. menikmati adanya perubahan ;

b. berani mengambil resiko,;

c. ingin berperan pada perubahan dan masa yang akan datang ; d. cenderung untuk tidak terlibat secara emosional terhadap

konsekuensi dari perubahan tersebut , baik pada diri sendiri maupun orang lain ;

e. lebih terfokus pada dinamika perubahan ; f. memiliki banyak ide dan pertanyaan ;

g. melakukan penjajagan mengenai kemungkinan konsekuensi dari perubahan

2.4 Resistensi pada Perubahan

Pemecahan permasalahan organisasi pada umumnya melibatkan pengenalan tentang perubahan. Jika perubahan yang diperlukan adalah kecil, mereka pada umumnya dapat menangani tanpa masalah. Barulah ada masalah penting ketika perubahan pada skala yang lebih besar dan melibatkan banyak individu dan sub unit. Ketika permasalahan organisasi muncul, para manajer berusaha untuk mengambil tindakan korektif, dimana sering berdampak pada pola pekerjaan atau nilai-nilai, dan perlawanan pasti akan ditemui. Walaupun banyak potensi masalah muncul dalam perubahan program organisasi, masalah yang paling mungkin

(27)

ditemui adalah perlawanan personal untuk mengubah pola perilaku kerja. Pada tingkatan individu, perubahan menghadirkan perubahan serangkaian pola perilaku, menggambarkan hubungan dengan orang lain, prosedur kerja, dan ketrampilan pekerjaan.

2.4.1 Pengertian Resistensi pada Perubahan

Kreitner dan Kinicki (2001) mendefinisikan resistensi pada perubahan sebagai suatu reaksi emosional/tingkah laku yang muncul sebagai respon terhadap munculnya ancaman, baik nyata atau imajiner bila terjadi perubahan pada pekerjaan rutin (Lasmahadi, 2002). Sedangkan menurut Greenberg dan Baron (1997) resistensi pada perubahan didefinisikan sebagai kecenderungan bagi karyawan untuk menolak sepakat pada perubahan organisasi, baik oleh karena ketakutan individu menyangkut hal-hal yang tak dikenal maupun karena halangan organisasi seperti kelesuan structural (inertial structure).

2.4.2 Prinsip dan Sumber Penolakan

Perubahan umumnya tidak dapat berjalan dengan lancar, sering ia berhadapan dengan berbagai kendala, antara lain penolakan terhadapnya. Ada prinsip penolakan yang harus diketahui. Sebelum melakukan suatu aksi terhadap penolakan, perlu disadari beberapa prinsip penolakan sebagai berikut :

(i) merupakan bagian dari proses transisi (ii) pada umumnya tidak disadari

(28)

Untuk itu penolakan terhadap perubahan dapat diatasi dengan cara memahami suatu penolakan serta merencanakan dan memanajemeni perubahan secara efektif dan efisien (Maurer, 1996 dalam Mangunjaya, 2001).

Penolakan/resistensi terhadap suatu perubahan bukan tanpa alasan. Menurut Galpin (1996) dan Plant (1987) beberapa sumber penolakan terhadap perubahan adalah sebagai berikut :

(1) Masalah pribadi

a. Ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui

b. Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga (status, kekuasaan)

c. Terlalu terikat/terpaku pada cara-cara lama d. Ketakutan akan kegagalan

e. Ketidakmampuan untuk menghadapi kritikan f. Ancaman terhadap ketrampilan dan kompetensi g. Tidak melihat adanya keuntungan

h. Takut terlihat bodoh i. Enggan untuk mencoba

j. Enggan untuk melepaskan kebiasaan lama (2) Perubahan itu sendiri

a. Perubahan yang diusulkan tidak menunjukkan adanya kemajuan b. Tidak adanya kejelasan arah perubahan

c. Perbedaan persepsi tentang kebutuhan untuk berubah d. Kurangnya kepercayaan bahwa tujuan dapat tercapai

(29)

(3) Prosedur Perubahan

a. Tidak/kurang adanya partisipasi b. Waktu yang salah

c. Proses yang terlalu cepat

d. Tidak ada persetujuan dan komitmen tentang tujuan untuk berubah (4) Sistem Manajemen dan Iklim Organisasi

a. Kurang taktis

b. Kurang adanya keyakinan dan kepercayaan pada manajemen c. Kurang adanya model perilaku

d. Faktor sejarah yang kurang mendukung

e. Rendahnya kepercayaan terhadap iklim organisasi f. Hambatan budaya organisasi

Dari sumber-sumber penolakan diatas, tampak bahwa faktor individu (masalah pribadi) adalah yang paling banyak menjadi sumber penolakan dalam suatu perubahan.

2.4.3 Reaksi/Perilaku Penolakan

Reaksi maupun perilaku penolakan, menurut Maurer (1996) dapat dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut :

(1) Tertutup

Penolakan dapat dilakukan secara tertutup ataiu memang sengaja ditutupi sehingga kurangnya dukungan terhadap perubahan tersembunyi atau tidak dapat dijelaskan.

(30)

(2) Terbuka

Perubahan dapat juga terbuka sehingga mereka yang menolak perubahan mengekspresikan pandangan mereka secara terbuka dan memberikan alas an ketidaksetujuan mereka. Meskipun penolakan secara terbuka mengarah pada debat dan konflik pada saat-saat tertentu, tetapi lebih mudah untuk dimanajemeni daripada penolakan yang tertutup. Dalam hal penolakan yang terbuka, manajemen dapat melihat dan mendengar lawan-lawan mereka yang memungkinkan mereka secara langsung mencari pemecahannya.

(3) Tidak disadari

Penolakan dapat dilakukan secara tidak sadar. Pada saat tersebut umumnya mereka tidak menyadari bahwa perilaku mereka menolak perubahan. Dalam hal ini tindakan mereka pada umumnya didasarkan pada informasi yang salah, kurangnya pelatihan, atau rutinitas kerja yang telah tertanam dengan kuat. Biasanya mereka mungkin menyadari bahwa perilaku mereka tidak sesuai dengan persyaratan yang telah disetujui tetapi pada saat-saat tertentu secara rasional kembali kepada kebiasaan lama seperti ‘mengerjakan sesuatu yang dapat merugikan organisasi’. Penolakan yang tidak disadari membuat manajemen kesulitan dalam melakukan perencanaan, tindakan karena mereka yang menolak percaya bahwa dirinya tidak bersalah. Mereka merasa telah mengerjakan tugas-tugasnya dan tidak menolak perubahan.

(31)

(4) Disadari

Penolakan yang termotivasi secara sadar juga merupakan sebuah tantangan yang serius. Para penolak ini mengadopsi posisi mereka setelah menganggap bahwa perubahan tersebut adalah sesuatu yang negatif. Mereka mungkin saja salah mendapatkan informasi atau melayani sendiri, tetapi opini mereka harus didengar. Jika tidak , maka penolakan mereka akan semakin meningkat.

2.4.4 Piramida Penolakan

Galpin (1996) menyatakan bahwa penolakan terhadap perubahan dapat disebabkan oleh (i) tidak mengetahui, (ii). tidak dapat, (iii). tidak mau, yang tercermin pada piramida penolakan di bawah ini (gambar 2.6).

Gambar 2.6 Piramida Penolakan Sumber : Galpin, 1996

(32)

Galpin (1996) lebih lanjut mengatakan bahwa dari piramida tersebut tingkatan resistensi pertama adalah yang berhubungan dengan pengetahuan (tidak mengetahui). Dalam hal ini pengetahuan dapat diberikan melalui informasi mengenai proses perubahan. Informasi tersebut harus berdasarkan pada apa yang ingin diketahui oleh pihak manajemen dan pegawai. Orang pada umumnya ingin mengetahui pertanyaan mendasar, seperti “Apa yang terjadi “, ”Mengapa melakukan hal ini”, ”Bagaimana cara Melakukannya”, ”Kapan akan Dilakukan”, ”Dampak apa yang Akan Terjadi”. Tingkatan kedua dari piramida adalah ketidakmampuan yang dapat diatasi melalui pelatihan dan pendidikan. Dalam rangka proses perubahan individu umumnya memerlukan ketrampilan baru. Tingkatan tertinggi dari piramida penolakan adalah keinginan. Dengan adanya pengetahuan dan kemampuan akan membantu seseorang menjadi lebih bersedia berubah. Meskipun demikian, faktor-faktor lain juga harus diperhatikan, seperti keterlibatan senior manajemen dalam proses komunikasi yang akan menjadi tanda bahwa perubahan merupakan prioritas organisasi. Cara-cara untuk mengatasi resistensi pada perubahan menurut Galpin (1996) adalah sebagai berikut (gambar 2.7):

(33)

Gambar 2.7

Cara untuk Mengatasi Resistensi pada Perubahan Sumber : Galpin, 1996

Meskipun reaksi penolakan tidak menyenangkan, tetapi sebenarnya dengan melakukan kegiatan mengatasi penolakan, dapat diperoleh beberapa manfaat menurut Maurer (1996) sebagai berikut (i) penggunaan kekuatan penolakan/resistensi dapat ditingkatkan tingkat kesuksesan dan kecepatan waktu implementasi dari ide tersebut (ii) menunjukkan respek/rasa hormat terhadap mereka yang menentang akan membuat hubungan menjadi lebih kuat, tidak hanya meningkatkan proses perubahan, tetapi juga membuat dasar yang kuat untuk perubahan di masa yang akan datang (iii) bekerja mengatasi penolakan akan

Menetapkan tujuan, melakukan pengukuran, melakukan pembinaan dan umpan balik, memberikan penghargaan dan pengakuan

Mendidik dan melatih hal-hal baru dalam ketrampilan, teknik manajemen, dsb

Mengkomunikasikan Apa, Mengapa, Bagaimana, Bilamana, Siapa, dsb.

(34)

meningkatkan semua pihak dalam menemukan dan memenuhi tujuannya masing-masing (iv) dengan adanya penolakan memungkinkan manajemen untuk terhindar dari tindakan yang kurang baik atau waktu yang tidak tepat.

2.4.5 Memanajemeni Perubahan dan Penolakan

Untuk memanajemeni proses perubahan maupun mengatasi penolakan terhadap perubahan tersebut, menurut Galpin (1996) – karena hal tersebut berhubungan dengan manusia – hal yang perlu dilakukan oleh pendekatan perilaku adalah seperti yang tampak pada siklus perubahan perilaku di bawah ini (gambar 2.8).

Gambar 2.8 Siklus Perubahan Perilaku

Sumber : Galpin, 1996

Dari siklus perubahan perilaku tersebut, tampak bahwa yang menjadi dasar adanya suatu perubahan perilaku adalah memunculkan kesadaran akan pentingnya

Membentuk Kebiasaan (6) baru Memunculkan Kesadaran (1) Menerima Umpan balik (5) Mengembangkan keinginan untuk berubah (2)

Memperoleh

Ketrampilan/sikap baru (3)

Menerapkan

(35)

suatu perubahan, hal ini adalah pengenalan pada pihak manajemen dimana dapat meningkatkan perilaku tertentu atau memperoleh suatu ketrampilan yang diperlukan. Ada banyak cara dimana manajemen mengenalinya. Sebagai contoh, ketika karyawan meminta pelatihan, ketika seorang manajer memperhatikan hasil yang bagus yang dicapai oleh manajer lain yang secara efektif melatih karyawan, ketika seorang manajer mengambil suatu kursus latihan yang menyoroti ketrampilan dan dampak pelatihan organisasi, dan lain-lain. Manajemen selanjutnya harus mengembangkan keinginan untuk berubah. Beberapa faktor dapat menanamkan atau membangkitkan secara berangsur-angsur keinginan ini, mencakup umpan balik dari karyawan atau para rekan kerja yang menunjukkan bahwa ada suatu kebutuhan untuk berubah, refleksi diri tentang dampak dari perilaku seseorang pada orang lain dengan siapa dia bekerja, dan insentif yang menghubungkan dengan tujuan, pengukuran, umpan balik, dan pengenalan dan penghargaan pada perubahan ketrampilan kepemimpinan yang positif. Memperoleh ketrampilan yang baru adalah tahap ketiga. Manajemen mungkin sadar akan kebutuhan bekerja bersama regu lebih efektif dan mungkin punya keinginan untuk melakukannya tetapi tidak mengetahui bagaimana cara melakukannya. Oleh karena itu manajer harus mempunyai kesempatan untuk belajar ketrampilan tim secara praktis, seperti bagaimana cara melakukan pertemuan-pertemuan interaktip, menimbulkan umpan balik dan masukan dari karyawan, mengembangkan tujuan tim, dan ketrampilan kepemimpinan lain yang memusatkan pada pengembangan ketrampilan, pengalaman, dan praktek daripada sekedar teori manajemen. Para manajer harus menerapkan ketrampilan yang baru

(36)

yang telah mereka pelajari. Penerapan sehari-hari akan menguatkan apa yang telah dipelajari. Penerapan reguler membantu para manajer menguji dan meningkatkan ketrampilan mereka, melihat hasil yang telah dicapai, dan melakukan penyesuaian perilaku jika perlu. Lebih dari itu pihak manajemen memerlukan penguatan umpan balik ketika mereka mempraktekkan ketrampilan mereka. Umpan balik dapat juga diperoleh dari para stake holders. Langkah terakhir adalah membentuk kebiasaan baru. Kebiasaan baru dibentuk ketika seorang manajer telah mempraktekkan ketrampilannya secara langsung dan secara otomatis. Otomatis dari suatu ketrampilan macam ini adalah serupa dengan tatacara di mana kebanyakan orang mengemudikan mobil mereka atau mengenakan dasi dan sepatu mereka. Pada mulanya ketrampilan melibatkan aktivitas yang sedemikian rupa sehingga perlu dengan sadar dilatih/dipraktekkan. Tetapi dengan praktek reguler dan konsisten, ketrampilan menjadi otomatis.

2.4.6 Mempersiapkan Individu untuk Menghadapi Perubahan

Salah satu yang menjadi dasar dari adanya perubahan perilaku adalah memunculkan kesadaran akan pentingnya suatu perubahan . Bila hal ini telah dapat dilakukan maka proses selanjutnya diharapkan akan dapat menjadi lebih lancar. Kiat dan pendekatan di bawah ini dapat digunakan untuk mempersiapkan individu dalam menghadapi perubahan di organisasi (Clark,1991); Smith (1996), Mure (1996) dan Galpin (1996) dalam Mangunjaya, (2001) :

a. Memberi informasi, sosialisasi,dan meyakinkan. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan cara: memberikan informasi, memberikan argumentasi,

(37)

menyatakan perlunya perubahan, mendorong seseorang untuk mempelajari proses perubahan tersebut dan merangsang seseorang untuk mengtahui kenyataan yang ada. Kegiatan ini perlu dilakukan di awal suatu proses perubahan karena seperti diketahui bersama tingkatan resistensi yang pertama dari penolakan adalah berhubungan dengan tidak tahu, sehingga dengan adanya pemberian informasi dan fakta yang dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan baik reaksi penolakan tersebut akan dapat diatasi. b. Memberi Inspirasi. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan cara :

menunjukkan antusiasme dan kepercayaan terhadap perubahan, memberikan semangat, memberi tanggung jawab individu untuk berperan serta dalam perubahan dan membantu individu untuk mengembangkan potensinya.

c. Mengarahkan. Dalam hal ini diupayakan untuk dapat menjaga hasil kinerja supaya tetap merupakan tujuan utama dari perubahan perilaku maupun ketrampilan.

d. Pendekatan Individual. Yaitu dengan cara mendengarkan secara cermat apa yang dikatakan oleh individu dan mempercayainya serta tetap menjaga hubungan dengan semua orang pada semua tingkatan di organisasi.

e. Memberikan Dukungan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara menempatkan individu pada posisi dimana mereka dapat belajar melalui perbuatan; memberikan informasi maupun dukungan yang diperlukan untuk dapat menghasilkan kinerja yang diinginkan dan memberikan dukungan yang tepat, yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

(38)

f. Mempersiapkan dan mengembangkan kompetensi individu. Yaitu dengan cara memberikan berbagai pelatihan dan kursus untuk meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan kompetensi individu. Hal ini perlu dilakukan untuk mempersiapkan individu serta mencegah munculnya penolakan individu yang disebabkan karena faktor ketidakmampuan.

g. Meningkatkan kreativitas dan inovasi. Yaitu dengan cara melakukan improvisasi dan inovasi. Hal ini antara lain merupakan cara terbaik untuk menghasilkan kinerja yang efektif dalam menghadapi perubahan.

h. Membiarkan individu untuk memilih sikap. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menerima kebutuhan dan hak seseorang untuk menolak perubahan serta memberikan waktu dan kebebasan bagi seseorang untuk menentukan sikapnya.

i. Negosiasi. Yaitu dilakukan dengan cara meberikan penekanan pada aspek keuntungan, serta melakukan negosiasi pada kelompok dan individu. j. Pendekatan/orientasi tim. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan cara

menggunakan pendekatan kinerja tim dan membangun dukungan dalam kelompok.

k. Memberi contoh dan hasil yang konkrit. Yaitu membuat penerimaan secara nyata melalui contoh konkrit.

l. Mengembangkan desain dan iklim organisasi yang kondusif. Yaitu dengan cara meyakinkan bahwa setiap orang selalu mengetahui kinerjanya masing-masing yang dihubungkan dengan hasil pada keseluruhan

(39)

organisasi sebagai akibat dari perubahan. Dalam hal ini iklim organisasi yang kondusif akan dapat menunjang percepatan hal tersebut.

m. Melakukan pemaksaan. Yaitu menjelaskan pada mereka yang masih menolak/menentang bahwa mereka harus mengikutinya. Pendekatan ini diharapkan dilakukan bila pendekatan lainnya sudah tidak berhasil sehingga merupakan alternatif terakhir.

2.5 Kecerdasan Emosi 2.5.1 Emosi

Sudah lama diketahui bahwa emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar terhadap sikap manusia. Bersama dengan dua aspek lainnya, yakni kognitif (daya pikir) dan konatif (psikomotorik), emosi atau yang sering disebut aspek afektif, merupakan penentu sikap, salah satu predisposisi perilaku manusia. Namun tidak banyak yang mempermasalahkan aspek emosi hingga muncul Daniel Goleman, yang mengangkatnya menjadi topik utama di bukunya. Kecerdasan emosi memang bukanlah konsep baru dalam dunia psikologi. Lama sebelum Goleman, di tahun 1920, E.L. Thorndike sudah mengungkap social intelligence, yaitu kemampuan mengelola hubungan antar pribadi baik pada pria maupun wanita. Thorndike percaya bahwa kecerdasan sosial merupakan syarat penting bagi keberhasilan seseorang di berbagai aspek kehidupannya.

Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan kita yang mendalam mengenai emosi itu sendiri. Banyak orang tidak tahu menahu mengenai emosi atau besikap negatif terhadap emosi karena kurangnya

(40)

pengetahuan akan aspek ini. Seorang anak yang terbiasa dididik orang tuanya untuk tidak boleh menangis, tidak boleh terlalu memakai perasaan akhirnya akan membangun kerangka berpikir bahwa perasaan, memang sesuatu yang negatif dan oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya anak akan menjadi sangat rasional, sulit untuk memahami perasaan yang dialami orang lain serta menuntut orang lain agar tidak menggunakan emosi. Salah satu definisi akurat tentang emosi diungkap J.P. Du Prezz, seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan. Secara tegas dia mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.

Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak mau melakukan perubahan. Ada perasaan takut dengan apa yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khwatir, ada pula rasa marah karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya kelewat puas dengan kondisinya, lantas takut melangkah. Berikutnya mereka menjadi orang yang gagal.

Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi

(41)

buruk. Berbagai buku psikologi yang membahas masalah emosi seperti yang dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni emosi menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan baik terhadap kita maupun orang lain yang berhubungan dengan kita (Martin, 2003).

Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stress dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja dituntut mampu menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang. Tak hanya soal kemampuan logika, kini tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berelasi dan berempati. Dalam berkata, bertindak dan mengambil keputusan, seseorang membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.

Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress pekerjaan. Semakin tepat kita mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan kita. Ketrampilan manajemen emosi memungkinkan kita menjadi akrab dan mampu bersahabat, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Berbagai riset tentang emosi umumnya berkesimpulan sederhana bahwa ‘adalah penting untuk membawa emosi yang menyenangkan ke tempat kerja’. Emosi yang tadinya sering ditinggal di rumah saat berangkat kerja kini justru semakin perlu dilibatkan di setiap setting bisnis. John Naisbitt pun dalam bukunya “High Tech, High Touch : Technology and Our Search for

(42)

Meaning” mendukung pendapat ini. Dikatakannya pada situasi dimana teknologi mewabah, kita justru haus akan sentuhan kemanusiaan. Perkembangan tehnologi yang luar biasa yang kini terjadi dirasakan tak diiringi dengan perubahan sosial yang memadai. Kita hidup di era yang oleh Naisbitt disebut sebagai ‘zona keracunan tehnologi’. Di satu sisi kita sangat memuja tehnologi, di sisi lain kita melihat ada bagian yang hilang dari tehnologi, yaitu sentuhan kemanusiaan yang kita idamkan (Martin, 2003).

2.5.2 Pengertian kecerdasan emosi

Menurut Goleman yang dikutip Bliss (1999) kecerdasan emosi didefinisikan sebagai suatu kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen dan integritas dari seseorang , dan kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya. Atau dengan kata lain Goleman (2000) memberi pengertian kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain , kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Yoenanto, Nono Hery, 2002). Sedangkan menurut Anthony Martin Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita dan orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali kita tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan.

(43)

Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.

Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tidak memiliki kematangan emosi maka ia akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.

2.5.3. Kecerdasan Emosi dalam Pekerjaan

Di dunia kerja kelebihan orang–orang yang mempunyai kecerdasan tinggi dibandingkan orang lain tercermin dari beberapa fakta berikut ini :

• Pada posisi yang berhubungan dengan banyak orang mereka lebih sukses bekerja. Terutama karena mereka lebih berempati, komunikatif, lebih tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain ;

(44)

• Para salesman, penyedia jasa, atau professional lainnya yang mempunyai kecerdasan emosi tinggi nyatanya lebih disukai pelanggan, rekan sekerja dan atasannya;

• Mereka lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional. Pendapat mereka dianggap selalu obyektif dan penuh pertimbangan ;

• Mereka menanggung stress yang lebih kecil karena bisa dengan leluasa mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mereka mampu memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh gosip, namun berani untuk marah jika merasa benar;

• Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi mereka selalu lebih mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan mudah beradaptasi;

• Di saat orang lain menyerah, mereka tidak putus asa dan frustrasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan sebagai langkah awal guna meningkatkan kecerdasan emosi di tempat kerja. Dua ahli EQ (Emotional Quotient), Salovey & Mayer (1990) – pengembang konsep EQ, jauh sebelum Goleman – merangkumnya menjadi lima aspek berikut ini : 1). kesadaran diri (self awareness), 2). mengelola emosi (managing emotions), 3). memotivasi diri sendiri (motivating oneself), 4). empati (emphaty) dan 5). menjaga relasi (handling relationship).

(45)

Seperti halnya Peter dan Salovey, pada mulanya Daniel Goleman pun menyebut 5 dimensi guna mengembangkan kecerdasan emosi yaitu 1). Penyadaran Diri, 2). Mengelola Emosi, 3). Motivasi Diri, 4). Empati dan 5). Ketrampilan Sosial. Namun dalam buku-buku terbitan terakhirnya Goleman lebih mempertegas sekaligus menyederhanakan framework kompetensi EQ-nya menjadi sebagai berikut :

Self awareness

• Penyadaran emosi diri • Self assessment • Percaya diri Social awareness • Emphaty • Orientasi service • Penyadaran organisasi Self Management • Kontrol diri

• Mempercayai dan dipercaya • Disiplin dan tanggung

jawab (conscientiousness) • Kemampuan adaptasi • Dorongan berprestasi • Inisiatif

Social Skill

• Membangun orang lain • Mempengaruhi (influence) • Komunikasi • Manajemen konflik • Kepemimpinan • Katalis perubahan • Membangun ikatan • Kerjasama dan kolaborasi

Gambar 2.9

Framework kompetensi EQ terbaru Daniel Goleman Sumber : Martin, 2003

2

3

2 3

(46)

Dalam buku terbarunya yang membahas kompetensi EQ, “The emotionally Intelligent Workplace” Goleman menjelaskan bahwa perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-nya. Kemampuan penyadaran social (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi. Dikatakannya pula ada kaitan antara dimensi EQ yang satu dengan lainnya. Jadi tidaklah mungkin memiliki ketrampilan sosial tanpa memiliki kesadaran diri, pengaturan diri maupun kesadaran sosial.

2.6 Pengaruh Resistensi pada Perubahan dan Kecerdasan Emosi terhadap Sikap Dosen mengenai Perubahan ITS dari PTN menuju PT BHM

Sikap yang ditampilkan individu dalam menghadapi perubahan adalah bermacam-macam. Begitu juga dengan sikap dosen mengenai perubahan ITS yang sebelumnya berstatus hukum PTN akan beralih menjadi PT BHMN. Perubahan ini tentunya tidak bisa mendadak dan langsung, melainkan ada proses yang biasanya meliputi tiga tahapan seperti yang dikemukakan oleh Kurt Lewin. Proses tersebut meliputi tahapan unfreezing atau pencairan dari keadaan yang sekarang (PTN), tahapan moving atau pembentukan perilaku/pola yang baru dan akhirnya menjadi tahapan freezing atau pemantapan/pembakuan dari perilaku atau pola yang akan dilembagakan (PT BHMN). Perilaku manajemen dalam pengelolaan PTN akan berbeda dengan pengelolaan PT BHMN. Dalam landasan

(47)

implementasi PT BHMN disebutkan bahwa berbagai perubahan harus terjadi secara komprehensif Yang akan dibahas oleh penulis adalah kesiapan perguruan tinggi tersebut, dalam hal ini ITS yang menerapkan empat tradisi yaitu tradisi keilmuan, tradisi kerja keras, tradisi kerapian manajemen dan tradisi socio cohesiveness (Nuh, 2003).

Sikap itu sendiri dibatasi penulis pada aspek afektif saja yaitu tentang afek atau penilaian - positif atau negatif - terhadap suatu obyek (Azwar, Saifudin, 1997). Setiap dosen memiliki pilihan sikapnya sendiri dan hal ini mewarnai sikap serta serta perilaku yang ditampilkannya dalam menghadapi perubahan. Untuk itu sikap terhadap perubahan dapat dikategorikan menjadi empat yaitu logika rasional (LR), kontrol negatif (KN), fokus terhadap manusia (FM), dan positif kreatif (PK) (Eales-White, 1994).

Perubahan umumnya tidak dapat berjalan dengan lancar, sering ia berhadapan dengan berbagai hambatan antara lain penolakan/resistensi terhadapnya. Penolakan/resistensi terhadap suatu perubahan bukan tanpa alasan. Sumber penolakan tersebut adalah masalah pribadi, perubahan itu sendiri, prosedur perubahan, dan sistem manajemen & iklim organisasi (Galpin, 1996). Dalam hal ini resistensi perubahan dosen dalam tataran kognitif. Sebagaimana tampak dari ciri-ciri/karakteristik dari masing-masing kategori sikap terhadap perubahan ternyata aspek emosi juga menjadi salah satu pertimbangan seseorang didalam mempengaruhi keputusannya dalam perubahan. Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak mau melakukan perubahan (Martin, Anthony Dio, 2003). Padahal kemampuan mengelola emosi ini (kecerdasan emosi) merupakan

(48)

syarat penting bagi keberhasilan seseorang di berbagai aspek kehidupannya. Menurut Daniel Goleman (1999) kecerdasan emosi merupakan kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen, integritas dan kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya. Hal ini terangkum dalam dalam framework kompetensi EQ Daniel Goldman yaitu self awareness, self management, social awareness dan social skill.

Gambar

Gambar 2.8  Siklus Perubahan Perilaku

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian dengan menaburkan Cendawan pada lingkungan untuk pengendalian hayati telah dilaporkan mampu memberi efek positif Penyebaran yang banyak materi Cendawan

Penggunaan kohesi dan koherensi dalam wacana surat kabar Jawa Pos rubrik Zetizen edisi November- Desember 2019 terdiri dari dua aspek, yaitu aspek gramatikal dan

Jika nomor telepon yang tertera di atas tidak berfungsi, silakan buat laporan anda secara online melalui situs ini.. Silakan memberi tanda di dalam laporan tersebut bahwa

dan Rf Kromatografi Lapis Tipis dari ketiga sampel sabun mandi yang terdiri dari sampel A, B dan C dapat disimpulkan bahwa sampel sabun mandi positif mengandung

Dalam bab ini akan menjelaskan tentang tinjauan pustaka dari teori yang digunakan terkait dengan tema penelitian penulis yaitu mengenai Pelayanan Birokrat Garis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah tentang metode alternatif untuk pengolahan limbah industri terutama industri tekstil dengan mengembangkan membran

Orang-orang martir menjadi dorongan bagi perluasan Injil pada masa itu, hal ini juga mendorong dengan munculnya orang-orang besar yang berjuang seperti para Apostolic

Berdasarkan kesimpulan dan data temuan hasil penelitian maka dapat diimplikasikan bahwa (1) penerapan metode simulasi dalam proses pembelajaran IPS memiliki peranan yang berarti