• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Air

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Air"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Sumberdaya Air

Sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya, sedangkan air sendiri memiliki pengertian semua air yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaaan, air tanah, dan air hujan. Sebagai suatu sumberdaya, air memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang harus dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan memanfaatkan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (UU Sumberdaya Air Nomor 7 Tahun 2004). Air baku adalah air yang diambil dari lingkungan, dan kemudian diperlakukan atau dimurnikan untuk menghasilkan air minum. Air baku untuk air minum rumah tangga yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Air baku tidak boleh dianggap aman untuk minum atau mencuci tanpa perawatan lebih lanjut. Air minum adalah air minum rumah tangga yang sudah melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

Potensi ketersediaan sumberdaya air baik yang berasal dari air permukaan maupun potensi air tanah sangat besar. Data menunjukan bahwa potensi air permukaan di Indonesia sebesar 1 789 milyar m3 tersebar di berbagai badan air, sedangkan potensi air tanah sebesar 4.7 x 109 m3 tersebar di 224 cekungan air tanah (Sudodo dan Prastowo 2005). Sampai dengan tahun 1990, potensi air di Indonesia yang dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian (irigasi) sebesar 74.9 x 109 m3/tahun dengan peningkatan 6.7% per tahun; kebutuhan domestik 3.1 x 109 m3/tahun dengan peningkatan 6.7 % per tahun; kebutuhan industri 0.7 x 109 m3/tahun, dengan peningkatan 12.5 % per tahun (Sudodo dan Prastowo 2005).

Ada 3 (tiga) masalah utama yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya air, yaitu:

1. Rusaknya daerah resapan air.

(2)

3. Pemenuhan kebutuhan air baku, baik untuk masyarakat maupun industri yang semuanya mengambil dari air tanah dalam jumlah besar dan berakibat turunnya tinggi permukaan tanah dan terjadinya intrusi air laut.

Menurut Sudodo dan Prastowo (2005), beberapa indikator kerusakan sumberdaya air dapat diidentifikasikan sebagai berikut: (1) rasio debit sungai maksimum; (2) koefisien aliran permukaan (limpasan, run off); (3) erosi dan sedimentasi; (4) muka air permukaan; dan (5) muka air tanah.

Sebagai bukti telah terjadi kerusakan daerah resapan air adalah bertambahnya daerah aliran sungai (DAS) yang kritis tiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 24 (dua puluh empat) DAS kritis dan kemudian meningkat menjadi 39 (tiga puluh sembilan) DAS kritis pada tahun 1992, meningkat lagi menjadi 59 (lima puluh sembilan) DAS kritis pada tahun 1998, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 62 (enam puluh dua) DAS kritis. Dari 62 (enam puluh dua) DAS kritis tersebut sebanyak 26 (dua puluh enam) DAS kritis berada di Pulau Jawa (Sudodo dan Prastowo 2005). Dengan demikian, rehabilitasi daerah hulu sebagai daerah resapan air menjadi faktor penting untuk mencegah banjir di musim hujan dan kelangkaan air pada musim kemarau.

Penggunaan air di kawasan perkotaan antara lain adalah untuk air minum (permukiman), industri, usaha perkotaan (perdagangan/pertokoan), transportasi, dan lainnya. Melihat besarnya peran dan fungsi air serta untuk mengantisipasi semakin tingginya kebutuhan air khususnya air minum di kawasan perkotaan, maka air baku air minum harus mendapat perhatian yang serius. Pada saat ini dipastikan kinerja pelayanan air minum di kawasan perkotaan masih sangat kurang terutama di Kota Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang, dan Kota Kecil. Sebagai contoh pelanggan air minum perkotaan di Indonesia baru mampu dilayani sebanyak 50% kebutuhan air minum penduduk Indonesia (Dirjen Cipta Karya, DPU, 1998). Kota Semarang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2008 jumlah penduduk yang terlayani air minum baru sekitar 56% atau sekitar 860 000 jiwa. Jika dicermati ada beberapa permasalahan besar yang terkait dengan perencanaan sistem air minum di kawasan perkotaan, seperti: 1. Sumber air baku untuk air minum di kawasan perkotaan mengalami

(3)

2. Kebutuhan air minum yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.

3. Rendahnya cakupan pelayanan air minum di kawasan perkotaan.

4. Kinerja pengelolaan air minum PDAM yang menurun akibat tingginya kebocoran, biaya operasi, dan pemeliharaan yang meningkat.

2.1.1 Ketersediaan Air Baku

Pengertian ketersediaan sumberdaya air adalah air yang dapat dimanfaatkan untuk hidup dan kehidupan manusia dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Ketersediaan air baku dapat berupa air hujan, air sungai, mata air, dan air bumi baik air bumi dangkal (unconfined aquifer), maupun air bumi dalam (confined aquifer). Air hujan diasumsikan sebagai masukan tunggal dalam sistem hidrologi DAS, sedangkan air sungai, mata air, dan air bumi adalah bentuk lain dari air hujan.

Menurut Todd (1980), air merupakan sumberdaya alam yang terpulihkan dan keberadaannya mengikuti suatu kaidah atau sistem yng disebut daur hidrologi. Dalam mempelajari sistem hidrologi, Asdak (2007) mengemukakan bahwa model daerah aliran sungai (DAS) merupakan model yang baik guna menelusuri sumberdaya air, karena DAS merupakan suatu sistem hidrologis sehingga dapat terjadi proses masukan luaran. Dengan demikian pengelolaan DAS secara umum dapat didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam pulih (seperti air, tanah, dan vegetasi) dalam sebuah DAS dengan tujuan adalah untuk memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS agar secara kontinyu meningkatkan hasil air (water yield) untuk keperluan air minum, industri, pertanian, tenaga listrik, dan lain sebagainya.

Tujuan sistem hidrologi DAS umumnya lebih menekankan pada aliran air permukaan, sedangkan untuk air bumi mempunyai pendekatan agak berbeda, dapat dikatakan bahwa wilayah DAS tidak identik dengan cekungan air bumi sehingga pendekatan yang komprehensif diharapkan akan lebih memadai tetapi juga lebih kompleks.

Cekungan air bawah tanah adalah suatu daerah yang dijumpai lapisan mengandung air (aquifer) dengan pasokan air bawah tanah yang memiliki perilaku air bawah tanah yang tertentu dan kualitas yang tertentu pula. Pasokan air

(4)

bawah tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor curah hujan, sifat fisik batuan yang berupa kesarangan dan kelulusannya, morfologi, dan struktur geologi.

Pada cekungan air bawah tanah Semarang terdapat 2 (dua) sistem akuifer (Sihwanto dan Sukirno 2000) yaitu:

1. Sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir. Sistem ini dijumpai pada batuan sedimen lepas berupa endapan alluvium (lapisan batuan hasil pelapukan) yang terdiri atas pasir lanau dan lempung, dengan kelulusan sedang sampai tinggi.

2. Sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir dan rekahan. Sistem ini disamping dipengaruhi sifat fisik batuan berupa produk gunung api; batuan sedimen laut juga dipengaruhi oleh adanya struktur geologi yang sangat mempengaruhi aliran dan akumulasi air bawah tanah, terutama pada daerah yang batuannya padu. Struktur patahan memegang peranan yang penting dalam menentukan produktivitas akuifer serta keterdapatan air bawah tanah, terutama pembentukan celah-celah dan rekahan pada batuan yang kompak/padu (Todd 1980). Daerah resapan cekungan Semarang utamanya di Kabupaten Semarang dikontrol oleh sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir dan rekahan ini.

Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut air infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan oleh karenanya mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah. Ada juga bagian dari air hujan yang telah masuk ke dalam tanah, terutama pada tanah yang hampir atau telah jenuh, air tersebut ke luar ke permukaan tanah lagi dan lalu mengalir ke bagian yang lebih rendah. Aliran air permukaan yang disebut terakhir sering juga disebut air larian atau limpasan. Bagian penting dari air larian dalam kaitannya dengan rancang bangun pengendalian air larian adalah besarnya debit puncak, Q (peak flow atau debit air yang tertinggi) dan waktu tercapainya debit puncak, volume, dan penyebaran air larian. Curah hujan yang jatuh terlebih dahulu memenuhi air untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan mengisi cekungan tanah

(5)

baru kemudian air larian berlangsung ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi ke dalam tanah. Semakin lama dan semakin tinggi intensitas hujan akan menghasilkan air larian semakin besar. Namun intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat menghancurkan agregat tanah sehingga akan menutupi pori-pori tanah akibatnya menurunkan kapasitas infiltrasi. Volume air larian akan lebih besar pada hujan yang intensif dan tersebar merata di seluruh wilayah DAS dari pada hujan tidak merata, apalagi kurang intensif. Disamping itu, faktor lain yang mempengaruhi volume air larian adalah bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan tataguna lahan. Kerapatan daerah aliran (drainase) mempengaruhi kecepatan air larian. Kerapatan daerah aliran adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas DAS (km2). Makin tinggi kerapatan daerah aliran makin besar kecepatan air larian sehingga debit puncak tercapai dalam waktu yang cepat. Vegetasi dapat menghalangi jalannya run off dan memperbesar jumlah air infiltrasi dan masuk ke dalam tanah (Asdak 2007).

2.1.2. Kebutuhan Air

Kebutuhan air yang dimaksud adalah kebutuhan air yang digunakan untuk menunjang segala kebutuhan manusia meliputi air bersih domestik dan non domestik, air irigasi baik pertanian maupun perikanan, dan air untuk penggelontoran kota. Air bersih digunakan untuk memenuhi kebutuhan:

1. Kebutuhan air domestik, keperluan rumah tangga.

2. Kebutuhan air non domestik, untuk industri, pariwisata, tempat ibadah, tempat sosial, serta tempat-tempat komersil, dan tempat-tempat umum lainnya.

2.1.2.1. Kebutuhan Air Domestik

Kebutuhan air domestik sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi per kapita. Kecenderungan populasi dan sejarah populasi dipakai sebagai dasar perhitungan kebutuhan air domestik terutama dalam penentuan kecenderungan laju pertumbuhan (growth rate trends).

Estimasi populasi untuk masa mendatang merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kebutuhan air domestik. Laju penyambungan juga menjadi parameter yang dipakai untuk analisis. Propensitas untuk penyambungan

(6)

perlu diketahui dengan melakukan survei kebutuhan nyata, terutama di wilayah yang sudah ada sistem penyambungan air bersih dari PDAM.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri terdapat pengertian mengenai air bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, didapat beberapa pengertian mengenai:

1. Air baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.

2. Air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

3. Air limbah adalah air buangan yang berasal dari rumah tangga termasuk tinja manusia dari lingkungan permukiman.

4. Penyediaan air minum adalah kegiatan menyediakan air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif.

5. Sistem penyediaan air minum yang selanjutnya disebut SPAM merupakan satu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non fisik dari prasarana dan sarana air minum.

6. Pengembangan SPAM adalah kegiatan yang bertujuan membangun, memperluas dan/atau meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (kelembagaan, manajemen, keuangan, peran masyarakat, dan hukum) dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.

7. Penyelenggaraan pengembangan SPAM adalah kegiatan merencanakan, melaksanakan konstruksi, mengelola, memelihara, merehabilitasi, memantau,

(7)

dan/atau mengevaluasi sistem fisik (teknik) dan non fisik penyediaan air minum.

8. Penyelenggara pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.

Berdasarkan petunjuk Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu perihal Pedoman Perencanaan dan Desain Teknis Sektor Air Bersih, disebutkan bahwa sumber air baku yang perlu diolah terlebih dahulu adalah:

1. Mata air, yaitu sumber air yang berada di atas permukaan tanah. Debitnya sulit untuk diduga, kecuali jika dilakukan penelitian dalam jangka beberapa lama.

2. Sumur dangkal (shallow wells), yaitu sumber air hasil penggalian ataupun pengeboran yang kedalamannya kurang dari 40 meter.

3. Sumur dalam (deep wells), yaitu sumber air hasil penggalian ataupun pengeboran yang kedalamannya lebih dari 40 meter.

4. Sungai, yaitu saluran pengaliran air yang terbentuk mulai dari hulu di daerah pegunungan/tinggi sampai bermuara di laut/danau. Secara umum air baku yang didapat dari sungai harus diolah terlebih dahulu, karena kemungkinan untuk tercemar polutan sangat besar.

5. Danau dan penampung air (lake and reservoir), yaitu unit penampung air dalam jumlah tertentu yang airnya berasal dari aliran sungai maupun tampungan dari air hujan.

Air bersifat universal dalam pengertian bahwa air mampu melarutkan zat-zat yang alamiah dan buatan manusia. Untuk menggarap air alam, meningkatkan mutunya sesuai tujuan, pertama kali harus diketahui dahulu kotoran dan kontaminan yang terlarut di dalamnya. Pada umumnya kadar kotoran tersebut tidak begitu besar. Dengan berlakunya baku mutu air untuk badan air, air limbah dan air bersih, maka dapat dilakukan penilaian kualitas air untuk berbagai kebutuhan. Di Indonesia ketentuan mengenai standar kualitas air bersih mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

(8)

Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 mengelompokkan klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas:

1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.

4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Pada hakikatnya, pemantauan kualitas air pada perairan umum memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia, dan biologi.

2. Membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu sesuai dengan peruntukannya menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001.

3. Menilai kelayakan suatu sumberdaya air untuk kepentingan tertentu (Effendie 2003).

Mengingat betapa pentingnya air bersih untuk kebutuhan manusia, maka kualitas air tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu:

1. Syarat fisik, antara lain:

a. Air harus bersih dan tidak keruh. b. Tidak berwarna.

c. Tidak berasa. d. Tidak berbau.

(9)

e. Suhu antara 10o-25 o C (sejuk). 2. Syarat kimiawi, antara lain:

a. Tidak mengandung bahan kimiawi yang mengandung racun. b. Tidak mengandung zat-zat kimiawi yang berlebihan.

c. Cukup yodium.

d. pH air antara 6.5 – 9.2.

3. Syarat bakteriologi, antara lain: tidak mengandung kuman-kuman penyakit seperti Disentri, Tipus, Kolera, dan bakteri patogen penyebab penyakit.

Pada umumnya kualitas air baku akan menentukan besar kecilnya investasi instalasi penjernihan air dan biaya operasi serta pemeliharaannya. Sehingga semakin jelek kualitas air semakin berat beban masyarakat untuk membayar harga jual air bersih.

Kebutuhan air domestik dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, kebutuhan air per kapita dan proyeksi waktu air akan digunakan (Yulistiyanto dan Kironoto 2008). Standar kebutuhan air domestik adalah dari Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Tahun 2003 dan SNI Tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Standar kebutuhan air rumah tangga berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk

Jumlah Penduduk Jenis Kota Jumlah Kebutuhan Air (l/orang/hari) >2 000 000 Metropolitan >210 1 000.000 - 2 000 000 Metropolitan 150-210 500 000 - 1 000 000 Besar 120-150 100 000 - 500 000 Besar 100-150 20 000 - 100 000 Sedang 90-100 3 000 - 20 000 Kecil 60-100

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU dalam Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2006

Kebutuhan air domestik akan dipengaruhi juga oleh pola konsumsinya seperti penduduk kota menggunakan air lebih banyak dibandingkan penduduk desa. Berdasarkan SNI Tahun 2002 tentang sumberdaya air penduduk kota membutuhkan 150 liter/hari/kapita, sedang penduduk perdesaan memerlukan 60 liter/hari/kapita. Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat diformulasikan kebutuhan air penduduk desa maupun kota (SNI 2002).

(10)

2.1.2.2. Kebutuhan Air Non Domestik

Kebutuhan air non domestik meliputi pemanfaatan komersial, kebutuhan institusi, dan kebutuhan industri. Kebutuhan air komersial untuk suatu daerah cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan penduduk dan perubahan tata guna lahan. Kebutuhan ini bisa mencapai 20 sampai 25% dari total suplai (produksi) air.

Kebutuhan institusi antara lain meliputi kebutuhan air untuk sekolah, rumah sakit, gedung-gedung pemerintah, tempat ibadah, dan lain lain. Untuk penentuan kebutuhan tersebut cukup sulit karena sangat tergantung dari perubahan tataguna lahan dan populasi. Pengalaman menyebutkan angka 5% cukup representatif. Kebutuhan untuk industri saat ini dapat diidentifikasikan, namun untuk kebutuhan industri yang akan datang cukup sulit untuk mendapatkan data akurat. Hal ini disebabkan beragamnya jenis dan macam kegiatan. Untuk estimasi angka 2 sampai 5% dari total produksi dapat dipakai sebagai dasar dan acuan perhitungan.

Kebutuhan air untuk industri merupakan kebutuhan untuk kegiatan produksi meliputi bahan baku, pekerja, industry, dan kebutuhan pendukung industri lainnya. Menurut Erwan et al. (1996) dalam SNI Tahun 2002, untuk memperoleh data yang akan digunakan untuk menghitung kebutuhan air industri diperlukan kuesioner dan wawancara langsung, namun jika datanya terbatas maka prediksi penggunaan air dapat menggunakan standar dari Direktorat Teknik Penyehatan, Ditjen Cipta Karya Depertemen Pekerjaan Umum. Besar kebutuhan rata-ratanya adalah 2 000 liter/unit/hari atau 500 liter/hari/karyawan (Nippon Koei 1995 dalam SNI 2002). Proyeksi kebutuhan air industri sangat kompleks dengan segala faktor-faktor yang ikut mendukungnya. Semakin besar suatu industri maka pemanfaatan air akan semakin banyak. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis industri yang diusahakan misalnya industri sedang minuman ringan lebih kecil kebutuhannya dibandingkan industri besar minuman ringan. Penelitian ini tidak menghitung kebutuhan air untuk kegiatan industrinya, namun hanya untuk kebutuhan pekerja yang ada dalam industri. Oleh sebab itu, tidak dibedakan antara kebutuhan industri besar, menengah, dan kecil.

Air irigasi merupakan air yang diambil dari suatu sungai atau waduk melalui saluran-saluran irigasi yang disalurkan ke lahan pertanian guna menjaga

(11)

keseimbangan air dan kepentingan pertanian. Air sangat dibutuhkan untuk produksi pangan, seandainya pasokan air tidak berjalan baik maka hasil pertanian akan terpengaruh. Air irigasi dapat berasal dari air hujan maupun air permukaan atau sungai. Pemanfaatan air irigasi tidak hanya untuk pertanian saja melainkan dapat juga dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang lain seperti perikanan dan peternakan. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebutuhan untuk penyiapan lahan (IR), kebutuhan air konsumtif untuk tanaman (Etc), perkolasi (P), kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (RW), curah hujan efektif (ER), efisiensi air irigasi (IE), dan luas lahan irigasi (A) (SNI 2002).

2.2. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai yang disingkat DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. DAS dibatasi oleh pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh dengan aktivitas daratan. Menurut Rahmadi (2005) DAS adalah suatu daerah yang dibatasi (dikelilingi) oleh garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan dialirkan melalui satu outlet. Komponen yang ada di dalam sistem DAS secara umum dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu (1) komponen masukan yaitu curah hujan, (2) komponen output yaitu debit aliran dan polusi/sedimen, dan (3) komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim, dan topografi.

Dengan pengertian tersebut berarti DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang besar dan luas yang di dalamnya terdapat sub sistem-sub sistem yang beragam dan saling ketergantungan membentuk satu fungsi. Sebagai suatu ekosistem, DAS merupakan suatu satuan wilayah pembangunan yang perlu ditata agar pemanfaatannya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti kegiatan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan, industri, pertambangan, pariwisata, dan permukiman.

Koefisien run off atau air larian (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan.

(12)

atau

Keterangan: di = Jumlah hari dalam bulan ke-i.

Q = Debit rata-rata bulanan (m3/detik) dan 86 400 = jumlah detik dalam 24 jam.

P = Curah hujan rata-rata setahun (m/tahun). A = Luas DAS (m2).

Misalnya C untuk hutan adalah 0.1 artinya 10% dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka C ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C yang besar berarti sebagian besar air hujan menjadi air larian, maka ancaman erosi dan banjir akan besar. Besaran nilai C akan berbeda-beda bergantung pada topografi dan penggunaan lahan. Semakin curam kelerengan lahan semakin besar nilai C lahan tersebut. Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan bisa dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan

Kondisi Daerah Nilai C

Pegunungan yang curam 0.75 - 0.90

Pegunungan tersier 0.70 - 0.80

Tanah bergelombang dan hutan 0.50 – 0.75

Tanah dataran yang ditanami 0.45 – 0.60

Persawahan yang diairi 0.70 – 0.80

Sungai di daerah pegunungan 0.75 – 0.85

Sungai kecil di dataran 0.45 – 0.75

Sungai besar di dataran 0.50 – 0.75

Sumber : Dr. Mononobe dalam Suyono S. (1999)

Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat

dalam suatu DAS

Air larian (mm) C = –––––––––––––––––

(13)

produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah (Asdak 2007).

Ada beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai tingkat keberhasilan pengelolaan DAS, antara lain:

1. Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi kepentingan kehidupan (indikator ekonomi).

2. Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial).

3. Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi (indikator lingkungan).

4. Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi).

Menurut Rahmadi (2002), pada pengelolaan DAS indikator yang paling memungkinkan untuk diukur secara objektif adalah melihat kondisi tata airnya, yang meliputi:

1. Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuantitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai.

2. Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.

3. Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit

(14)

puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain.

4. Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang mempengaruhi besarnya air masuk ke dalam tanah adalah vegetasi, kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dan lain-lain. Ketinggian muka air tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer).

5. Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini dipengaruhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya, sehingga apabila terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi.

Ada 5 (lima) indikator biofisik yang dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa DAS dikatakan masih baik dan dapat berfungsi secara optimal, yaitu: (1) debit sungai konstan dari tahun ke tahun, (2) kualitas air baik dari tahun ke tahun, (3) fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil, (4) ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun, dan (5) kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu.

Fokus perhatian utama dalam pengelolaan DAS adalah stabilitas sistem DAS, yang berkaitan dengan karakteristik setiap komponen DAS dalam hubungan saling terkait dan saling mempengaruhi. Dengan demikian maka strategi pengelolaan DAS mencakup: (1) penggunaan lahan sesuai kemampuannya, (2) proteksi tanah dari segala faktor perusak, (3) mengurangi banjir dan sedimentasi, (4) meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah, (5) meningkatkan produktivitas tanah, (6) memperbaiki dan mempertahankan fungsi hidrologis DAS, dan (7) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(15)

2.3. Pendekatan dan Pemodelan Sistem

Menurut Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan. O’Brien (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, tiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus dipandang secara keseluruhan (holistik) dan akan bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking) sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Sebuah sistem mempunyai asupan (input) yang akan berproses untuk menghasilkan luaran (output). Pada sebuah sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan, dan sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu hirarki. Dengan demikian, sistem dapat berfungsi sebagai salah satu pendekatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang kompleks atau merumuskan kebijakan dan strategi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metode penyelesaian masalah yang dimulai dengan cara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources) (Eriyatno 1998).

Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama (Eriyatno 2002). Menurut Manetch dan Park (1977), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi sebagai berikut:

(16)

1. Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan.

2. Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem konkrit adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya.

3. Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan.

Menurut Aminullah (2003), ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu; (1) analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua pemangku kepentingan dalam sistem; (2) formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem; (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua pemangku kepentingan dalam sistem; (4) pemodelan abstrak, yang mencakup suatu proses interaktif antara analis sistem dan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem; (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan; dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi.

Dalam ilmu manajemen secara sederhana sistem digambarkan sebagai satu kesatuan antara asupan, proses, dan luaran. Sistem akan membentuk suatu siklus yang berjalan secara terus-menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi kontrol atau umpan balik. Prinsip sistem ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sering dihadapi atau menyusun (merangkai) berbagai elemen sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat (Midgley 2000). Untuk menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan sistem harus dilakukan identifikasi terhadap semua komponen yang terdapat dalam sistem dan menentukan hubungan dari tiap komponen tersebut.

Perubahan pada satu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh

(17)

faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). Sistem dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan asupan dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Dengan demikian nilai luaran sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel asupan (Djojomartono 2000).

Menurut Manetsch dan Park (1977) model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek tertentu. Model dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif, dan ekonik (Aminullah 2003). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.

Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari asupan sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat memberikan penyelesaian dunia nyata yang kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap asupan atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base) (Eriyatno 2003).

Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk pada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loops) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari asupan, proses, luaran, dan umpan balik. Menurut Muhammadi et al. (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis.

Menurut Muhammadi et al. (2001), untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal digunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow

(18)

chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika dua variabel saling mempengaruhi.

Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis. Misalnya, Program Steella untuk memberikan gambaran tentang perilaku sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang kita bangun. Setelah itu, dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan, dan kebijakan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengubah perilaku sistem yang terjadi.

Perilaku model sistem dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Menurut Muhammadi et al. (2001) tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan konsep

Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling tergantung. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan.

2. Pembuatan model

Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. 3. Simulasi

Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab-akibat antar variabel

(19)

dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model.

4. Validasi hasil simulasi

Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.

2.4. Pembangunan Berkelanjutan

Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic et al. (1997), bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya.

Menurut World Commision on Environment and Development (WCED 1987), pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Greenland dan Szabalcs (1992), menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi lingkungan secara harmonis. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep kegamangan terhadap pola pembangunan industri yang memuja efisiensi dan pengembangan besar-besaran modal, tanpa memperhitungkan atau hanya sedikit sekali mempertimbangkan kerusakan alam (Setiadi 2004).

Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam

(20)

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jeneiro disepakati oleh semua negara di dunia termasuk Indonesia untuk digunakan sebagai panduan. Program aksi dunia hasil konferensi Rio tersebut dikenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan, bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahan yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan.

Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin pembangunan dalam konteks ekonomi tumbuh jika tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Salim (2004) menyatakan bahwa prasyarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah bahwa setiap proses pembangunan mencakup tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Tiga aspek tersebut dalam pembangunan harus berada dalam sebuah keseimbangan tanpa saling mendominasi. Lebih jauh Salim (2004) membuat matriks pembangunan berkelanjutan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Matriks pembangunan berkelanjutan

Ekonomi Sosial Lingkungan

Ekonomi Quitable growth Ekonomi input sosial Ekonomi input lingkungan Sosial Sosial input ekonomi Berantas Kemiskinan Sosial input lingkungan Lingkungan Lingkungan Input

ekonomi

Lingkungan Input

sosial Lestarikan ekosistem

Sumber: Salim 2004.

Dari berbagai definisi tersebut secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

(21)

Konsep pembangunan berkelanjutan tidak sekedar sebuah terobosan baru yang dihasilkan para ahli pada dekade tahun 1970-an. Pembangunan berkelanjutan tersebut telah menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu keniscayaan dan kebutuhan dalam pembangunan ekonomi (Arief 2001). Dengan kata lain, kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap (fixed variable) dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan mudah dicerna. Bermula dari kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan bahwa perekonomian yang terlalu mengandalkan pada hasil ekstrasi sumberdaya alam tidak akan bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan (Arief 2001).

Menurut Mitchell (1997), ada (2) dua prinsip keberlanjutan, yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip lingkungan/ekologi: pertama, melindungi sistem penunjang kehidupan; kedua, memelihara integritas ekosistem dan; ketiga, mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global.

2. Prinsip sosial politik: pertama, mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia di bawah daya dukung atmosfer; kedua, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia; dan ketiga, menyakinkan adanya kesamaan sosial, politik, dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.

Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan mengandung aspek :

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini pemanfaatan sumberdaya alam hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama.

2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perlu memperhatikan

(22)

keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya alam pada tingkat individu.

3. Comunity sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan yang berkelanjutan

4. Institusional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.

Ada 4 (empat) prinsip pengelolaan sumberdaya alam guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan, yaitu:

1. Optimalisasi pemanfaatan sosial ekonomi; Bahwa pengembangan sumberdaya alam harus didasarkan pada strategi yang dapat mengoptimalkan manfaat sosial dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang dapat diperbarui.

2. Koordinasi antar bidang sektoral; Ekosistem sumberdaya alam wajib dikelola dengan memadukan kebijakan-kebijakan sektoral, perencanaan dan strategi pengelolaan guna mengoptimalisasi pemanfaatannya. Optimalisasi manfaat sosial ekonomi dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi yang lebih baik dalam proses perencanaan atas kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam.

3. Multiguna sumberdaya alam; Dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya, kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia dan dapat diperbarui.

4. Memperhatikan kapasitas ekosistem; Pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat bergantung pada kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam menyediakan sumberdaya guna memenuhi permintaan.

2.5. Kelembagaan

Kelembagaan atau institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan

(23)

yang tidak terlepas, serta lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu atau bagaimana individu mengerjakan sesuatu. Institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang telah mendefinisikan bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus dilakukan (Kartodihardjo 2001).

Menurut Karin E. Kemper, USA (2005) kelembagaan adalah (1) aturan main dalam interaksi interpersonal, yaitu sekumpulan aturan mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak, perlindungan hak-hak dan tanggungjawabnya; (2) suatu organisasi yang memiliki hirarki yaitu adanya mekanisme administrasi dan kewenangan. Dalam prakteknya, institusi dapat merupakan gabungan dan kebijakan dan tujuan, hukum dan regulasi, rencana dan prosedur organisasi, mekanisme insentif, mekanisme akuntabilitas, norma, tradisi, dan adat istiadat.

Marimin (2004) mendefinisikan institusi sebagai bentuk prosedur yang diakui, didirikan dan mempunyai sangsi untuk mengatur hubungan antar individu atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Eriyatno (2003) institusi merupakan serangkaian tata nilai, aturan, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi ruang dan waktu. Beberapa pengertian di atas, pemahaman kelembagaan diartikan sama dengan institusi.

Seringkali pengertian institusi dan organisasi menjadi kabur, padahal pengertian institusi dan organisasi ada perbedaan. Ruttan (1986) dalam (Kartodiharjo 2001) mendefinisikan institusi sebagai “behavioral rules that govern of action and relationships”. Organisasi adalah “the decision making units - families, firms, bureaus - that exercise control of resources. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, dan organisasi pendidikan. Pengoperasian institusi diaktualisasikan melalui organisasi. Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang mendorong individu-individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktivitas anggotanya dan produktivitas masyarakat secara

(24)

keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktivitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam di sekitamya (Kartodihardjo et al. 2000 dalam Ramdan 2006). Institusi yang berjalan baik dalam pengelolaan air memiliki fungsi yang penting, misalnya untuk memfasilitasi resolusi konflik (Bandaragoda 2000 dalam Ramdan 2006).

Tujuan kelembagaan adalah untuk mengurangi ketidakpastian terhadap sumberdaya tertentu, karena setiap pihak memberikan pengakuan bahwa hak seseorang merupakan kewajiban bagi orang lain. Manfaat kelembagaan, adalah: (1) Pedoman masyarakat untuk berperilaku dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya;

(2) Menjaga keutuhan masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Prinsip dasar kelembagaan lingkungan adalah: (1) keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas administratif pemerintahan, (2) menyeluruh, yakni kewenangan mencakup tingkat lokal, regional, dan nasional, (3) koordinatif memiliki fungsi koordinasi antar lembaga lainnya (UPI & KLH 2003). Kelembagaan sosial atau kelembagaan masyarakat (social institution) adalah suatu sistem yang mengatur hubungan antar manusia dan antar kelompok untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Menurut Biswasroy et al. (2010), sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya air mencakup tiga hal, yaitu: (1) aturan main (rule of the game) yang berlaku di masayarakat, (2) organisasi-organisasi, dan (3) kebijakan-kebijakan baik dari pemerintah pusat dan daerah yang berupa peraturan perundangan maupun pedoman untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Aturan main yang berlaku di masyarakat misalnya: tingkah laku, adat istiadat, tata nilai maupun hak-hak ulayat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pengelolaan danau. Organisasi-organisasi yang merupakan perwujudan norma-norma dalam hubungan antar manusia mencakup: organisasi sosial, ekonomi dan budaya, misalnya untuk aras nagari adalah lembaga adat nagari, persatuan perantau nagari, LSM, dan lain sebagainya. Sedangkan kebijakan formal berupa peraturan perundangan maupun program dan pemerintah pusat maupun daerah.

(25)

2.6. Analisis Prospektif

Analisis prospektif adalah suatu metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam sistem ahli yang dapat menggabungkan pembuat keputusan dalam rangka menyusun kembali beberapa perencanaan dengan pendekatan yang berbeda. Menurut Hardjomidjojo (2002), analisis prospektif digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.

Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena dari analisis prospektif dapat diprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi di masa datang, baik yang bersifat positif (diinginkan) maupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Analisis prospektif dapat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan.

Analisis prospektif merupakan pengembangan dari metode Delphi yang menggunakan pendapat kelompok pakar untuk pengambilan keputusan. Menurut Hardjomidjojo (2002) tahapan analisis prospektif pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan tujuan sistem yang dikaji. Tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar mengerti ruang lingkup kajian dan penyamaan pandangan tentang sistem yang dikaji.

2. Identifikasi faktor yang berpengaruh. Faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut biasanya merupakan kebutuhan stakeholders sistem yang dikaji. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, pakar diminta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut.

3. Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor, dengan pedoman penilaian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.

4. Penyusunan keadaan yang mungkin terjadi (state) pada faktor. Berdasarkan faktor dominan yang diperoleh pada tahap 3, disusun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Setiap faktor boleh memiliki lebih dari satu keadaan, dengan ketentuan keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi

(26)

(bukan khayalan) dalam suatu waktu di masa yang akan datang. Keadaan bukan merupakan tingkatan atau ukuran suatu faktor, tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari sebuah faktor.

Tabel 4 Pedoman penilaian analisis prospektif

Skor Pengaruh

0 Tidak ada pengaruh

1 Berpengaruh kecil

2 Berpengaruh sedang

3 Berpengaruh sangat kuat

Sumber: Hardjomidjojo (2002)

5. Membangun dan memilih skenario. Skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu keadaan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible.

6. Analisis skenario dan penyusunan strategi. Penyusunan strategi didasarkan pada pencapaian skenario yang diinginkan ataupun menghindari skenario yang berdampak negatif pada sistem.

2.7. Pemodelan Sistem Dinamik

Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah abstraksi dari realitas, pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri (Handoko 1994).

Menurut Eriyatno (2003) kegunaan model antara lain adalah sebagai berikut:

1. Untuk menentukan atau menggambarkan sesuatu, misalnya sistem informasi manajemen.

2. Untuk membantu dalam usaha menganalisis atau mengkaji sistem.

3. Untuk menentukan, menjelaskan, dan menggambarkan hubungan-hubungan serta kegiatan-kegiatan (proses).

(27)

4. Untuk menampakkan situasi atau keadaan melalui perlambang atau simbol-simbol yang bisa dimanipulasikan untuk menghasilkan suatu prediksi atau ramalan.

Model simulasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Model simulasi statis dan dinamis

Model simulasi statis merepresentasikan sistem pada satu titik waktu atau pada kondisi dimana waktu tidak memiliki pengaruh. Sedangkan model simulasi dinamis merepresentasikan sistem seiring dengan perubahan waktu. 2. Model simulasi deterministik dan stokastik

Jika suatu model simulasi tidak mengandung komponen probabilitas (misalnya random) maka model simulasi tersebut disebut model simulasi deterministik. Pada model simulasi deterministik output didapat bila besaran input dan hubungan-hubungan dalam model telah ditentukan sebelumnya. Sementara beberapa sistem harus dimodelkan dengan menggunakan input random, model simulasi pada kondisi demikian disebut stokastik.

3. Model simulasi diskrit dan kontinu

Jika perubahan status sistem hanya pada saat-saat tertentu maka model simulasi tersebut disebut diskrit. Sedangkan bila perubahan status sistem terus menerus sepanjang waktu disebut model simulasi kontinu.

Permodelan mencakup suatu pemilihan dari karakteristik dari perwakilan abstrak yang paling tepat pada situasi yang terjadi. Pada umumnya, model matematis dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Suatu model adalah bisa statik atau dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model dinamik lebih sulit dan mahal pembuatannya, namun memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada analisis dunia nyata (Handoko 1994).

Suatu sistem didefinisikan sebagai himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Namun tidak semua kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional, dan tujuan yang berguna.

(28)

Suatu kawasan dengan berbagai sumberdaya dan aktivitas di dalamnya merupakan suatu sistem yang kompleks (Eriyatno 2003).

Dari beberapa batasan mengenai pengertian sistem, dapat disimpulkan bahwa sistem adalah seperangkat obyek yang membentuk susunan tertentu dan menunjukkan sifat saling berhubungan, baik antara objek yang satu dengan yang lainnya ataupun antara bagian-bagian dari masing-masing objek yang bersangkutan. Secara lebih sederhana dapat diungkapkan bahwa sistem adalah seperangkat objek yang merupakan kumpulan dari sub sistem-sub sistem yang saling berimbaldaya. Di dalam sub sistem terdapat banyak sub-sub sistem, dan di dalam sub-sub sistem terdapat pula sejumlah sub-sub sistem dan seterusnya (Sabari 1991).

Secara umum ciri-ciri sistem adalah sebagai berikut (Awad 1979 dalam Budihardjo 1995):

1. Pada hakekatnya sistem itu bersifat terbuka, selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Setiap sistem terdiri atas dua atau lebih sub sistem, dan setiap sub sistem terbentuk dari beberapa sub sistem yang lebih kecil.

3. Antar sub sistem terjalin saling ketergantungan, dalam arti bahwa satu sub sistem membutuhkan masukan (input) dari sub sistem lain dan keluaran (output) dari sub sistem tersebut diperlukan sebagai masukan bagi sub sistem yang lain lagi.

4. Setiap sistem memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya melalui mekanisme umpan balik (feed back).

5. Setiap sistem mempunyai keandalan dalam mengatur diri sendiri (selft regulation) terutama dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan sistem.

6. Setiap sistem mempunyai tujuan dan sarana tertentu yang ingin dicapai. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua pelaku dalam sistem, (2) fomulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem, (3) identifikasi sistem, bertujuan

(29)

untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua pelaku dalam sistem, (4) pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem, (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan, dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem. Pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi.

Menurut Forrester (1961) fokus utama dari metodologi sistem dinamik adalah pemahaman atas sistem, sehingga langkah pemecahan masalah memberikan umpan balik pada sistem. Enam tahap pemecahan masalah dengan metodologi sistem dinamik adalah: (1) identifikasi dan definisi masalah, (2) konseptualisasi sistem, (3) fomulasi model, (4) simulasi dan validasi model, (5) analisis kebijakan dan (6) implementasi.

Menurut Pramudya (1989), pendekatan sistem dilakukan dengan tahapan kerja yang sistematis yang dimulai dari analisis kebutuhan hingga tahap evaluasi, seperti disajikan pada Gambar 2.

Mulai

Analisis Kebutuhan

Formulasi Permasalahan

Identifikasi Sistem

· Diagram Lingkar Sebab Akibat

· Diagram Input-Output · Diagram Alir A A Pemodelan Sistem Validasi Model Layak Implementasi Evaluasi Tidak Ya

(30)

Pengujian terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori (Forrester 1961):

1) Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya.

2) Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model. 3) Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model

terhadap berbagai rekomendasi kebijakan.

2.8. Validasi dan Analisis Sensitivitas Model

Pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif harus taat fakta. Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pekerjaan pemodelan obyektif itu ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Teknik validasi yang utama dalam metode berpikir sistem adalah validasi struktur model, yaitu sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang berorientasi proses, keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauhmana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi sistem nyata. Sedangkan validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana “kinerja” model (compatible) dengan “kinerja” sisem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah memvalidasi kinerja model dengan data empiris untuk sejauh mana perilaku “output” model sesuai dengan perilaku data empirik (Muhammadi et al. 2001).

Sensitivitas model adalah respon model terhadap stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakukan tertentu pada struktur model. Perlakukan tersebut disebut uji sensitivitas. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variable, dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji analisis sensitivitas ini dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Perlakuan/intervensi terhadap model, sebagai sebuah tindakan adalah berdasarkan kondisi yang mungkin terjadi dalam dunia nyata maupun berdasarkan pilihan

(31)

kebijakan yang mungkin dilakukan. Dengan kata lain tindakan tersebut bersifat layak. Ringkasnya uji sensitivitas adalah intervensi parameter input model dan/atau struktur model untuk melihat seberapa jauh kepekaannya terhadap perubahan output model (Muhammadi et al. 2001).

2.9. Analisis dan Perumusan Kebijakan

Analisis kebijakan mengandung dua kata yaitu analisis dan kebijakan. Analisis adalah suatu pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam analisis pekerjaan intelektual tersebut adalah proses memilah dan mengelompokkan obyek ke dalam bagian yang lebih rinci sehingga diperoleh pengetahuan tentang ciri dan cara kerja dari obyek tersebut. Bedakan dengan sintesis sebagai pekerjaan intelektual yang menggabungkan dan menyatukan bagian rinci ke dalam bentuk yang lebih umum sehingga diperoleh pengetahuan tentang esensi dan keseluruhan bagian tersebut. Di lain pihak, dalam kebijakan upaya atau tindakan tersebut bersifat peka untuk mempengaruhi kerja sebuah sistem. Oleh karena sasarannya adalah mempengaruhi sistem, maka tindakan tersebut bersifat strategis, yaitu yang bersifat jangka panjang dan menyeluruh. Bedakan dengan program sebagai upaya atau tindakan yang bersifat peka untuk mempengaruhi kerja unsur tertentu dari sebuah sistem. Oleh karena sasarannya adalah mempengaruhi unsur tertentu dari sistem, maka tindakan tersebut bersifat taktis, bahkan rutin yang umumnya bersifat jangka pendek dan terbatas (Muhammadi et al. 2001).

Quandun dalam Dunn (2000) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai.

(32)

Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Ada dua tahap untuk analisis kebijakan, yaitu: (1) pengembangan kebijakan alternatif, dan (2) analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan alternatif adalah suatu proses berpikir kreatif, yaitu menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem mencapai tujuan. Sedangkan analisis kebijakan alternatif, seperti yang telah dijelaskan analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Dalam rangka mempengaruhi sistem tersebut ada dua pilihan, yaitu sistemnya tetap atau berubah. Jika sistemnya tetap, maka analisis terhadap langkah-langkah yang diambil menghasilkan alternatif langkah yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem atau disebut sebagai kebijakan fungsional. Sebaliknya apabila sistemnya diubah, maka analisis terhadap langkah-langkah yang diambil menghasilkan alternatif langkah yang menciptakan variasi struktur sistem yang berbeda dengan sistem semula atau disebut kebijakan perubahan struktural. Pada umumnya pemilihan langkah ini dikaitkan dengan prakiraan kecenderungan lingkungan sistem ke depan (Muhammadi et al. 2001).

2.10. Hasil Penelitian Terdahulu

Sudah ada beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan topik penelitian ini, baik dari sisi objek penelitian (DAS, air baku permukaan, dan air minum) maupun metodologi yang digunakan (MDS, valuasi ekonomi, dan ISM). Namun, secara metodologi, belum ada penelitian yang mengkombinasikan antara metode MDS, Prospektif dan permodelan dengan sistem dinamis. Kebanyakan penelitian yang dilakukan berhenti sampai model konseptual. Namun belum ada yang mengkombinasikan antara model kualitatif dengan model analitikal. Disamping itu belum ada penelitian tentang Model Pengelolaan Air Baku Air Minum yang Berbasis DAS. Banyak penelitian tentang ketersediaan, kebutuhan dan kualitas air serta banyak pula penelitian tentang DAS. Namun penelitian penelitian yang telah ada dilakukan secara parsial dan tidak terintegrasi. Penelitian ini mempunyai nilai novelty karena topiknya tentang ketersediaan air baku, kebutuhan air baku dan kualitas air baku air minum yang diteliti secara bersamaan dan diintegrasikan dalam bentuk Model Sitem Dinamis berbasis DAS.

(33)

Secara rinci hasil penelitian terdahulu dalam bentuk nama peneliti, judul penelitian, tahun penelitian, motodologi yang digunakan, dan kesimpulan yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5.

Gambar

Tabel 2 Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan
Gambar 2 Tahapan kerja dalam pendekatan sistem.
Tabel 5 Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek dan metodologi penelitian model pengelolaan air baku untuk kebutuhan air   minum secara berkelanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Gagasan utama paragraf kedua: Ikan pari manta memiliki sirip dada dan ekor yang lebar.. Gagasan utama paragraf ketiga: Ciri khas ikan pari manta adalah

Untuk mempelajari dan menjelaskan unsur dan sifat bangun ruang sederhana seperti balok dan kubus, di hadapan siswa telah disediakan model balok dan kubus yang tidak

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Melihat potensi kitosan dan silika, keduanya merupakan bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan membran sel bahan bakar karena silika dapat meningkatkan

a) Pesan (Stimulus,S), stimulus atau pesan yang dimaksud disini adalah isi informasi dan fitur-fitur yang ada di situs Kaskus. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada

Tabel 1 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan intensitas serangan CMV pada tanaman tomat hasil penularan virus dari empat gulma yang sakit sebagai sumber inokulum

Data hasil observasi dalam penelitian upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada materi jajargenjang dengan menggunakan metode penemuan terbimbing di kelas IV

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan