• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI BESAR DI JAWA DENGAN MENGGUNAKAN DATA GPS TEC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI BESAR DI JAWA DENGAN MENGGUNAKAN DATA GPS TEC"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

35

ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI BESAR DI

JAWA DENGAN MENGGUNAKAN DATA GPS TEC

Hendri Subakti1, Aldilla Damayanti Purnama Ratri2 , Buldan Muslim3

1)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Tangerang Selatan

2)

Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar

3)

Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN,Jl.Dr Junjungan 133 Bandung 40173 *Email : hendri.subakti@stmkg.ac.id

ABSTRAK

Anomali ionosfer sebagai akibat dari aktivitas gempabumi merupakan suatu fenomena yang kini banyak diteliti dalam penelitian seismo-ionospheric coupling. Umumnya,variasi ionosfer akibat gempabumi lebih lemah daripada gangguan yang dihasilkan oleh sumber yang berbeda, misalnya badai geomagnetik. Namun, gangguan badai geomagnetik menunjukkan perilaku yang lebih global, sedangkan anomali seismo-ionosfer hanya terjadi secara lokal. Ini menunjukkan bahwa aktivitas gempabumi merupakan suatu hal yang unik sehingga banyak penelitian yang dilakukan agar bisa memberikan peringatan dini sebelum terjadi gempabumi. Salah satu penelitian yang banyak dikembangkan saat ini adalah pendekatan seismo-ionospheric-copuling. Penelitian ini menghubungkan antara keadaan di lithosfer-atmosfer dan ionosfer sebelum dan saat gempabumi terjadi. Tulisan ini memilih total electron content dalam arah vertikal (VTEC) di ionosfer sebagai parameternya. Total Electron Content (TEC) adalah kandungan elektron total dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km. Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari LAPAN dengan mengidentifikasi sinyal abnormal melalui metode statistika, diperoleh adanya anomali di ionosfer yang ditandai dengan penurunan kandungan elektron sebesar 1 TECU di ionosfer sebelum gempabumi terjadi. Penurunan nilai VTEC ini tidak berasosiasi dengan badai magnetik sehingga diindikasikan sebagai prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan Dst Index yang tidak menunjukkan adanya gangguan magnetik.

Kata kunci : Gempabumi, Ionosfer, VTEC, seismo-ionospheric coupling, Dst Index.

ABSTRACT

Ionosphere’s anomalies as an effect of earthquake activity is a phenomenon that is now being studied in seismo-ionospheric coupling. Generally, variation in the ionosphere caused by earthquake activity is weaker than the interference generated by different source, such as geomagnetic storms. However, disturbances of geomagnetic storms show a more global behavior, while the seismo-ionospheric anomalies occur only locally in the area which is largely determined by magnitude of the earthquake. It show that the earthquake activity is unique and because of its uniqueness it has been much research done thus expected to give clues as early warning before earthquake. One of the research that has been developed at this time is the approach of seismo-ionospheric-coupling. This study related the state in the lithosphere-atmosphere and ionosphere before and when earthquake occur. This paper choose the total electron content in a vertical (VTEC) in the ionosphere as a parameter. Total Electron Content (TEC) is defined as the amount of electron in vertical column (cylinder) with cross-section of 1m2 along GPS signal trajectory in ionosphere at around 350 km of height. Based on the analysis of data obtained from the LAPAN agency to identify abnormal signals by statistical methods, obtained that there are an anomaly in the ionosphere is characterized by decreasing of electron content of the ionosphere at 1 TECU before the earthquake occurred. Decreasing of VTEC is not associated with magnetic storm that is indicated as an earthquake precursor. This is supported by the Dst index showed no magnetic interference.

(2)

36 I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan aktivitas tektonik yang sangat aktif karena berada pada pertemuan 3 lempeng utama dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik serta 1 lempeng kecil yaitu Filipina. Akibatnya, Indonesia menjadi kawasan seismik yang aktif dengan aktivitas gempabumi yang sangat tinggi. Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau yang terdapat di Indonesia dengan tingkat seismisitas yang sangat aktif, baik di daratan oleh sesar-sesar lokalnya maupun di laut oleh subduksinya. Gempabumi merupakan peristiwa bergetar atau

bergoncangnya bumi karena

pergerakan/pergeseran lapisan batuan kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Untuk mengantisipasi adanya gempabumi dan meminimalisasi banyaknya korban jiwa,maka muncullah gagasan-gagasan untuk mengamati, meneliti,mempelajari hingga memprediksi kapan gempabumi terjadi.

Berawal dari sebuah pemikiran bahwa semua yang ada di langit dan bumi ini selalu berhubungan satu sama lain, maka penulis mencoba menghubungkan kejadian yang ada di bumi yakni gempabumi dengan yang ada di langit yaitu kandungan elektron pada ionosfer dengan memanfaatkan pengukuran total electron content arah vertikal menggunakan

GPS.

Beberapa tahun terakhir, telah banyak dikembangkan metode yang menitikberatkan pada hubungan antara pengaruh gempabumi terhadap kandungan ionosfer dengan memanfaatkan pengukuran GPS-TEC. Hal ini

dikarenakan banyaknya fenomena

elektromagnetik yang mungkin terkait dengan kegiatan seismik dan telah banyak dibahas pula dalam beberapa literatur (misalnya Hayakawa dan Fujinawa, 1994, Hayakawa, 1999; Hayakawa, 2000; Hayakawa dan Molchanov, 2002). Liu dkk. (2000) meneliti frekuensi plasma ionosfer (atau kerapatan elektron) yang direkam oleh ionosonda lokal dan menemukan bahwa frekuensi kritis puncak F2, foF2, menurun secara signifikan beberapa hari menjelang terjadinya gempabumi untuk gempabumi besar dengan magnitudo 6.0 SR di wilayah Taiwan antara 1994-1999.

Ionosfer sendiri merupakan bagian dari daerah terionosasi oleh atmosfer atas bumi yang

ketinggiannya mencapai 50 km hingga 1000 km dimana ia akan mempengaruhi gelombang elektromagnetik yang menjalar berupa tambahan waktu tunda propagasi. Besarnya pengaruh tersebut ditentukan oleh kandungan elektron total (total electron content, TEC) dan frekuensi gelombang elektromagnetik yang digunakan.

TEC arah vertikal (VTEC) sangat peka terhadap perubahan kerapatan elektron foF2. Konsentrasi elektron maksimum F2 pada lapisan ionosfer adalah salah satu dari parameter yang paling peka berkaitan dengan aktivitas seismik, kita dapat menggunakan data TEC untuk memperkirakan ukuran spasial dan perubahan temporal dari dampak ionosfer sebelum gempabumi pada beberapa kawasan seismo-aktif. Sebelum terjadi gempabumi, konsentrasi elektron-elekron tersebut akan terganggu. Gangguan ini akan dijelaskan dalam model fisis mekanisme Seismo-Ionosperic

Coupling. Tulisan ini menitikberatkan pada

identifikasi anomali ionosfer dari kerapatan elektron sebelum dan saat terjadinya gempabumi.

II. Landasan Teori 2.1 Teori Gempabumi

Gempabumi merupakan getaran bumi yang dihasilkan oleh pelepasan energi yang cepat dari energi strain yang terakumulasi dalam periode waktu tertentu karena pelepasan energi elastis yang terkumpul oleh pergeseran sesar. Pelepasan strain yang tiba-tiba ini akan menimbulkan gelombang gempa. Hal tersebut mengacu pada Elastis Rebound Theory yang dikemukakan pertama kali oleh seorang Profesor Geologi Henry Fielding Reid pada tahun 1906 setelah terjadinya gempabumi San Fransisco. Mekanismenya dapat dijelaskan sebagai berikut :

(3)

37 Apabila terdapat dua buah gaya yang bekerja

berlawanan arah pada batuan kulit bumi maka batuan tersebut akan terdeformasi karena batuan mempunyai sifat elastis. Apabila gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan pada batuan tersebut berlangsung terus menerus maka perlahan daya dukung pada batuan akan mencapai maksimum dan akan terjadi pergeseran. Akibatnya batuan akan mengalami patahan secara tiba-tiba sepanjang bidang sesar. Setelah itu batuan akan kembali stabil. Namun setelah mengalami perubahan bentuk atau posisi, saat batuan mengalami gerakan yang tiba–tiba akibat pergeseran batuan, energi stress yang tersimpan akan dilepas dalam bentuk getaran yang kita kenal sebagai gempabumi. 2.2 Seismo Ionospheric Coupling

Seismo-Ionospheric Coupling adalah ide atau

pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan fenomena-fenomena anomali di Ionosfer akibat terjadinya gempabumi.

Gambar 2. Diagram Mekanisme Fisis Seismo

Ionospheric Coupling

Menurut Kamogawa (2004), terdapat empat pendapat penyebab adanya anomali di Ionosfer sebelum terjadi gempabumi. Pendapat pertama diduga karena adanya emisi gas radon. Gas radon umumnya muncul di wilayah yang banyak mengandung air bawah tanah yang reservoirnya berupa batuan beku asam, seperti granit. Emisi gas radon yang mengandung ion-ion positif ke ionosfer menyebabkan berkurangnya elektron di sana. Pendapat kedua menduga fenomena bernama Positive Hole

Diffusion yang mengeluarkan ion-ion positif

sebagai penyebab turunnya jumlah elektron. Pendapat kedua ini digolongkan sebagai

“electric field effect”. Pendapat ketiga karena

adanya proses panas (heating) yang muncul di dekat bumi sebagai akibat pelepasan energi gelombang gempa. Pendapat keempat karena adanya pergerakan tanah (ground motion) yang menghasilkan ion-ion positif. Kedua pendapat terakhir digolongkan sebagai ”mechanical

effect”.

2.2.1 Positive Hole Diffusion

Sebelum gempabumi terjadi, ionosfer menunjukkan anomali yang signifikan (Molchanov et al.1993).Gangguan ini meluas di sepanjang area, dari 500 hingga 1000 km, dan membutuhkan perubahan medan listrik di dekat permukaan tanah, dimana cukup kuat untuk menimbulkan reaksi di ionosfer.

Permukaan bumi dan ionosfer bisa dianggap sebagai dua lempeng kapasitor. Lempeng di permukaan bumi tetap, sementara di ionosfer bergerak dan bisa mengakibatkan perubahan medan listrik pada permukaan tanah. Data ditunjukkan oleh Liu et al.(2000,2001) menyatakan bahwa potensial bumi sering menjadi positif sebelum terjadi gempabumi utama. Akibatnya didominasi elektron, plasma negatif dari atas ionosfer tertarik ke bawah, sementara lapisan ionosfer yang lebih rendah didominasi ion positif.yang terdorong ke samping. Sorokin et al.2001; Pullinets and Boyarchuk 2004) mengusulkan bahwa medan listrik dihasilkan di permukaan tanah karena emisi radon sebelum gempabumi.

Gambar 3. Pemodelan channel elektrostastis

gangguan di ionosfer.

Ada dua tipe penghantar muatan listrik, yaitu elektron dan elektron yang rusak. Elektron yang rusak ini muncul ketika elektron terkunci di suatu tempat tertentu dalam struktur kristal. Elektron yang rusak ini adalah penghantar bermuatan listrik positif yang disebut hole, sehingga sering disebut positive hole.

Sebelum gempabumi terjadi, terlebih dahulu ada beberapa batuan yang tertekan lebih dahulu, karena pada dasarnya batuan itu terdiri atas beberapa material, material sendiri terdiri atas beberapa molekul dan molekul terdiri atas beberapa atom, dimana atom merupakan bagian terkecil yang terdiri atas proton, elektron, dan neutron.

Akibatnya, ketika batuan itu tertekan, maka secara tidak langsung, positive hole (P-hole

(4)

38 “h”) juga diaktiifkan di zona sesar yang

tertekan dan menyebar ke tanah di sekitarnya. Beberapa dari P-hole tersebut mencapai permukaan tanah dan membentuk potensial permukaan positif di daerah yang luas di sekitar pusat gempabumi. Potensial ini menyebabkan medan listrik vertikal ke atas yang menembus ionosfer melalui atmosfer. Elektron "e" di ionosfer tertarik ke bawah dan bergabung kembali dengan partikel netral "n" atau positif ion "e" di atmosfer sehingga mempengaruhi kepadatan elektron (plasma) di ionosfer. Karena muatan listrik tersebut mengalir, maka disebut positive hole diffusion. Keduanya berperan penting dalam semikonduktor.

2.2 TEC

Menurut Abidin (2000), TEC adalah kandungan elektron total dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km. Propagasi gelombang radio melalui ionosfer akan mengalami delay time sebagai akibat dari keterkaitannya dengan elektron bebas di ionosfer. Delay time ini dikarakteristikan oleh total electron content (TEC) ionosfer yang merupakan fungsi dari variabel-variabel seperti lokasi geografis, waktu lokal, musim, radiasi eksrim UV (Ultra Violet) dan aktivitas medan magnet. Jumlah ini merepresentasikan kerapatan atau densitas dari elektron di Ionosfer (electron density). Nilai TEC dinyatakan dalam TEC Unit (TECU) dimana 1 TEC Unit sama dengan 1016 elektron/m2.

Gambar 4. Definisi Total Electron Content

III. Data dan Metode 3.1 Data

3.1.1 Data Gempabumi

Data gempabumi pulau Jawa yang digunakan didapatkan dari data sekunder Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika tahun 2009.

Berikut data gempabumi yang terjadi pada tahun 2009 dengan magnitudo 6 SR.

Tabel 1. Data Gempabumi M 6 SR di Pulau Jawa.

3.1.2 Data Total Electron Content (TEC). Penelitian ini menggunakan data sekunder

Total electron Content yang didapatkan dari

Pusat Sains Antariksa (Pusatsainsa) LAPAN Bandung pada koordinat 6.894 LS dan 107.586 BT.

3.2 Metodologi Penelitian

3.2.1 Prinsip Perhitungan Data TEC

Gambar 5.Geometri Total Electron Content Prinsip perhitungan TEC adalah sebagai berikut: STEC = . ( ) Tion …. (1) Dimana fL1 = 1575.42 MHz fL2 = 1227.6 MHz

Tion = Selisih waktu perlambatan untuk

frekuensi L1 dan L2.

Setelah didapatkan nilai STEC, VTEC dihitung dengan rumus :

√ ...(2) 3.2.2 Pemilihan Parameter TEC

Dalam data TEC setiap satelit akan menampilkan informasi sebagai berikut:

 Week, menunjukkan pekan dalam waktu gps,

 Time (UT), menunjukkan waktu penerimaan sinyal,

 PRN, menunjukkan nomor satelit yang memancarkan sinyal,

(5)

39  Elevation, elevasi dari receiver di

bumi,

 Azimuth, azimuth dari receiver di bumi,

TEC30, Nilai TEC setiap 30 detik.(Sri Ekawati,2008)

Selanjutnya dipilih parameter Elevasi diatas 45 karena penulis menggunakan asumsi single layer model.

Disini dilakukan analisa data TEC selama enam belas hari dari hari kejadian gempa bumi hingga 15 hari sebelum gempa bumi terjadi. 3.2.3 Deteksi Sinyal Abnormal

Untuk mengidentifikasi sinyal abnormal, digunakan perhitungan Running median X pada setiap epoch data yang dihubungkan dengan

Interquartile Range IQR (jangkauan

interkuartil).

Median (Me) = Q2 = Jika n ganjil

=

Jika n genap . ..(3) Dalam statistik, kuartil adalah metoda statistik yang membagi data menjadi empat bagian, yaitu Kuartil Pertama (Q1), Kuartil Kedua (Q2)

dan Kuartil Ketiga (Q3). Jangkauan interkuartil

(IQR) adalah selisih dari kuartil ketiga dengan kuartil pertama.

IQR=Q3 - Q1 …………(4)

Batas atas (Upper Bound) adalah nilai rata-rata TEC normal ditambah jangkauan interkuartil pada setiap epoch data (Liu, dkk., 2004). Untuk membentuk batasan atas (upper bound) digunakan rumus:

Upper Bound (UB)=X + IQR ….(5) Batas bawah (Lower Bound) adalah nilai rata-rata TEC normal dikurangi jangkauan interkuartil pada setiap epoch data (Liu, dkk., 2004). Untuk membentuk batasan bawah

(lower bound) digunakan rumus :

Lower Bound (LB) = X – IQR …..(6) 3.2.4 Dst Index

Dst adalah indeks geomagnet yang digunakan untuk menunjukkan level badai magnet di seluruh dunia. Dst indeks didapatkan dari nilai rata-rata komponen horizontal medan geomagnet pada lintang-lintang tengah dan lintang ekuatorial di seluruh dunia yang mengukur intensitas dari equatorial elektrojet global. Komponen horizontal,H dari medan geomagnetik besar dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk kembali ke tingkat

rata-ratanya. (Bround, 1861; Adam 1892 ; Moos ,1910).

Dst Index yang bernilai negatif mengindikasikan sebuah proses badai magnetik, semakin negatif nilai Dst index tersebut menunjukkan intensitas sebuah badai magnetik yang semakin kuat.

Dst Index digunakan untuk melihat apakah anomali dari VTEC tersebut disebabkan oleh badai magnetic atau disebabkan oleh aktivitas gempabumi.

3.2.5 Flowchart Pengolahan dan Analisa

Gambar 6. Diagram alir pengolahan dan analisa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gempabumi 28 Agustus 2009.

Pada tanggal 28 Agustus 2009 terjadi gempabumi dengan kekuatan 6.2 SR, kedalaman 10 km dan episenter gempabumi terletak pada 6.06 LS – 114.95 BT pusat gempabumi di laut. Berdasarkan hasil pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar 8).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang sudah dilakukan, diperoleh adanya penurunan yang cukup signifikan satu hari menjelang gempabumi 28 Agustus 2009, tepatnya pada 27 Agustus 2009 sebesar 1 TECU (Gambar 8).Adanya penurunan ini diindikasikan sebagai prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan Dst Index bulan Agustus 2009 (Gambar 7) yang tidak menunjukkan indikasi badai magnetik, sehingga penurunan nilai VTEC pada 27 Agustus tersebut diindikasikan sebagai prekursor gempabumi 28 Agustus 2009 dimana terjadi penurunan nilai VTEC serta tidak

(6)

40 didapatkan gangguan magnetik pada waktu

tersebut.

Gambar 7. Dst Index Bulan Agustus 2009

Gambar 8. Variasi VTEC pada 13 – 28 Agustus

2009

4.2 Gempabumi 02 September 2009

Pada tanggal 02 September 2009 terjadi dua kali gempabumi, gempabumi pertama berkekuatan 7.5 SR, kedalaman 57 km dan episenter gempabumi terletak pada 8.07 LS – 107.28 BT pusat gempabumi di laut dan gempabumi kedua berkekuatan 6 SR, kedalaman 40 km dan episenter gempabumi terletak pada 8.04 LS – 107.34 BT pusat gempabumi di laut. Berdasarkan hasil pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar 10).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang sudah dilakukan, diperoleh adanya penurunan yang cukup signifikan enam hari menjelang gempabumi 02 September 2009, tepatnya pada 27 Agustus 2009 sebesar 1 TECU (Gambar 10).Adanya penurunan ini diindikasikan sebagai prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan Dst Index bulan Agustus dan September 2009 (Gambar 9) yang tidak menunjukkan indikasi badai magnetik, sehingga penurunan nilai VTEC pada 27 Agustus tersebut diindikasikan sebagai prekursor gempabumi 02 September 2009 dimana terjadi penurunan nilai VTEC serta tidak didapatkan gangguan magnetik pada waktu tersebut.

Gambar 9. Dst Index Bulan Agustus dan

September 2009

Gambar 10. Variasi VTEC pada 18 Agustus – 2

September 2009

4.3 Gempabumi 13 September 2009

Pada tanggal 13 September 2009 terjadi gempabumi dengan kekuatan 6.6 SR, kedalaman 252 km dan episenter gempabumi terletak pada 7.96 LS – 107.22 BT pusat gempabumi di laut. Berdasarkan hasil pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar 12).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan VTEC pada gempabumi 13 September 2009 (Gambar 12). Tidak adanya penurunan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya data TEC yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 11. Dst Index Bulan Agustus dan

(7)

41

Gambar 12. Variasi VTEC pada 29 Agustus – 13

September 2009

4.4 Gempabumi 16 Oktober 2009

Pada tanggal 16 Oktober 2009 terjadi gempabumi dengan kekuatan 6.4 SR, kedalaman 10 km dan episenter gempabumi terletak pada 6.79 LS – 105.11 BT pusat gempabumi di laut. Berdasarkan hasil pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar 14).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan VTEC pada gempabumi 16 Oktober 2009 (Gambar 14). Tidak adanya penurunan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya data TEC yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 13. Dst Index Bulan Oktober 2009

Gambar 14. Variasi VTEC pada 1 – 16 Oktober 2009

4.5 Gempabumi 09 Desember 2009

Pada tanggal 09 Desember 2009 terjadi gempabumi dengan kekuatan 6.1 SR,

kedalaman 186 km dan episenter gempabumi terletak pada 9.47 LS – 104.33 BT pusat gempabumi di laut. Berdasarkan hasil pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar 16).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan VTEC pada gempabumi 09 Desember 2009 (Gambar 16). Tidak adanya penurunan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya data TEC yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 15. Dst Index Bulan Nopember dan Desember 2009

Gambar 16. Variasi VTEC pada 24 Nopember – 9 Desember 2009

4.6 Korelasi Magnitudo Dengan Periode Prekursor Gempabumi

Gambar 17. Korelasi magnitudo dengan periode

prekursor gempabumi

Dari grafik di atas, terlihat bahwa semakin besar magnitudo gempabumi yang terjadi di

(8)

42 suatu tempat, maka dibutuhkan waktu yang

relatif lama untuk melepaskan energi. Hal ini dikarenakan semakin besar energi yang dikeluarkan maka daerah yang tertekan pun semakin luas, mengingat bumi ini tidaklah homogen maka daerah yang terkena stress pun akan memberikan respon yang berbeda. Ada batuan/daerah yang ketika dikenai stress ia akan langsung patah dan ada pula yang memerlukan waktu relatif lama untuk batuan tersebut patah.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisa, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain : 1. Ditemukan adanya anomali di ionosfer

dengan ditandai penurunan kandungan elektron di ionosfer beberapa hari sebelum gempabumi 28 Agustus 2009 dan gempabumi 02 September 2009.

2. Terjadi penurunan jumlah kandungan elektron arah vertikal (VTEC) di ionosfer pada tanggal 27 Agustus 2009 yakni 1 hari sebelum gempabumi 28 Agustus 2009 dan 6 hari sebelum gempabumi 02 September 2009 sebesar 1 TECU.

3. Adanya anomali di ionosfer dengan ditandai penurunan kandungan elektron di ionosfer beberapa hari menjelang terjadinya gempabumi tersebut tidak berasosiasi dengan gangguan badai magnetik. Penurunan ini bisa diindikasikan sebagai akibat dari proses fisis Seismo-Ionospheric

Coupling sebelum gempabumi terjadi.

4. Anomali nilai VTEC sebelum gempabumi 28 Agustus 2009 dan 02 September 2009 ini bisa digunakan sebagai prediksi sebelum terjadinya gempabumi.

5. Gempabumi besar umumnya dihubungkan dengan daerah yang lebih luas dan didahului dengan waktu yang lebih lama selama periode persiapan gempabumi (memiliki waktu pendahulu yang lebih cepat).

DAFTAR PUSTAKA

A Takeuchi,B.W.S Lau F.T Freund., 2005.

Current and Surface induced by stress-activated positive holes in

igneous rocks. Special Issue “Recent

Progress in Seismo electromagnetics” in Physics and Chemistry of the Earth.

Abidin, H.Z., 2000. Penentuan Posisi dengan

GPS dan Aplikasinya: Pradnya

Paramita.

Justicea. A. A., 2014. Mendeteksi Tsunami menggunakan GPS-TEC (Total Electron Content). Skripsi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Chapman, S., The Electric current System of

magnetic storm, Terr.Mag.Atomos.

Phys.,40,349,1935

Chapman,S.,The morphology of magnetic

storms : an extension of the analysis of Ds, the disturbance local-time

inequality, Annali in Geofisica,

5,481,1952

Davies, K.,1990. Ionospheric Radio,Peter Peregrinus Ltd.,580 pp.

Freund,F. Stress-activated positive hole change

carriers in rocks and the generator of pre-earthquake signals. 2009. In

Electromagnetic Phenomena

Associated with Earthquakes; Hayakawa, M., Ed.; Transworld Research Netwirk : Trivandrum, India, pp.41-96

Hayakawa, M dan Molchanov, O.A (Eds), 2002. Seismo Electromagnetics: Lithosphere-Atmosphere-Ionosphere Coupling, Terra Scientific Publishing

Company, Tokyo, Terrapub.

Hayakawa,M. dan Fujinawa,Y.(Eds), 1994.

Electromagnetics Phenomena Related to Earthquake Prediction, Terra

Scientific Publishing Company, Tokyo,Terrapub..

Subakti, H. 2008: Analisis Variasi GPS – TEC

Yang Berhubungan Dengan

Gempabumi Besar Di Sumatera.

Bidang Sistem Jaringan Observasi Geofisika. Pusat Sistem Jaringan. Badan Meteorologi & Geofisika, Jakarta

Made I, K.A. S., 2009. Analisa Vertical Total

Electron Content Di Ionosfer Daerah

Jawa Dan Sekitarnya Yang

(9)

43

Yogyakarta 26 Mei 2006 UTC. Skripsi Akademi Meteorologi dan

Geofisika.

J.Y. Liu, Y.J. Chuo, S.J. Shan, Y.B. Tsai,Y.I. Chen, S.A. Pulinets, S.B. Yu, 2004:

Pre-earthquake Ionospheric

Anomalies Registered by Continuous GPS TEC Measurements. Annales

Geophysicae, European Geosciences Union, 22: 1585-1593

Jhuang, H.K., Liu, J.Y., Chen, Y.I., dan Lin, Y.H., 2005. Ionospheric foF2 and

TEC anomalies during M≥5.0 Taiwan Earthquakes, IWSE, National Central

Untiversity.

Kamogawa ., M., 2004. Atmospheric Field

Variations before the March 31, 2002 M6.8 Earthquake in Taiwan. TAO,

15, no.3, 397-412.

Liperovsky, V.A., Pokhotelov, O.A., Meister, C.V., Liverovskaya, E.V., 2007. On

Recent Physical Model of

Lithosphere-Atmosphere Coupling

Before Earthquakes.Natural Hazard

And Earth System Sciences, nhess June.

Liu,J.Y.,Chen,Y.I., Chuo, Y.J., dan Tsai,Y.B. : Variation of ionospheric Total Electron Content during Chi-Chi Earthquake, Geophys. Res.Lett., 28,1383-1386,2001

Liu,J.Y.,Chen,Y.I., Pullinet.S.A., dan Tsai,YB and Chuo,Y.J.,2000. Seismo

ionospheric signatures prior to M

6.0 Taiwan Earthquake,

Geoph.Res.Lett.,27(19).3113-3116. Pamela A. B., 2006. Observasi Anomali Total

Electron Content (TEC) di Ionosfer Sumatera dan Hubungannya dengan Gempa Besar Aceh 26 Desember 2004. Skripsi Institut Teknologi Bandung.

Pulinets, S.A.;Boyarchuk,K. 2004. Ionospheric

Precursors of Earthquakes; Springer:

Berlin, Germany.

Scholtz C.H.,Syke L.R.,Aggarwal Y.P.(1973),

Earthquake Prediction: a physical

basis,Science, 181, 803-809.

Sri Ekawati, Personal Communication, Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN-Bandung

Widarto, D.S., 2004. Eksperimentasi Metoda

Baru Berdasarkan Variasi Sinyal Seismo-Elektrik: LIPI.

http://geophysics.ou.edu/ geol1114/

notes/earthquakes/ earthquakes.html diakses pada tanggal 23 September 2014

http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_final/

200908/index.html diakses tanggal 01 April 2014.

(10)

Gambar

Gambar 1 : Mekanisme Teori Elastis Rebound
Gambar 2. Diagram Mekanisme Fisis Seismo  Ionospheric Coupling
Gambar 4. Definisi Total Electron Content  III.  Data dan Metode
Gambar 6. Diagram alir pengolahan dan  analisa
+3

Referensi

Dokumen terkait

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI TENTANG FORUM JARINGAN PENELITI DAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI JAWA BARAT, JAWA

2.Meknisme penyelesaikan konflik yang diperankan perempuan dilalui dengan langkah langkah : Pertama Identifikasi masalah konflik; Kedua memilah konflik individu yang terlibat;

”Buwuhan” adalah istilah setempat untuk kelembagaan tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hajatan atau membantu yang terkena musibah dengan memberikan

Hal yang paling mendasar untuk dapat menentukan nilai cadangan premi dengan menggunakan metode Fackler yaitu mengetahui usia pemegang polis (tertanggung) x tahun

Anak domba jantan memiliki bobot sapih lebih tinggi dibandingkan betina, seperti terlihat pada hasil penelitian ini rata-rata bobot sapih individual jantan pada domba

bahwa induk yang diberi pakan yang rendah vitamin E akan menghasilkan larva abnormal yang tinggi. Defisiensi vitamin E pada ikan dapat

Lingkungan Teman Sebaya juga merupakan faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Akuntansi angkatan 2010 Fakultas Ekonomi dan

“Membahas dan menyepakati kegiatan prioritas pembangunan di wilayah kecamatan yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan pembangunan desa/kelurahan.”.. - Usulan Kecamatan :