• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCOBAAN II ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERCOBAAN II ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL

PERCOBAAN II

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

Disusun oleh :

1. Jessica Anindita (FA/09178) ( )

2. Farah Dwi Ningtyas (FA/09181) ( )

3. Annis Iffa Majid (FA/09184) ( )

4. Amalia Mufida (FA/09187) ( )

5. Ezra Sarira (FA/09190) ( )

Kelas/Golongan/Kel. : B/II/2 Tanggal Praktikum : 4 April 2013

Dosen jaga :

Asisten Jaga : Nindi dan

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

PERCOBAAN II

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

I.

TUJUAN

Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati.

II. DASAR TEORI

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan makhluk hidup. Berdasarkan interaksi tersebut, maka farmakologi dibagi menjadi dua yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik. Dalam farmakodinamik dipelajari mengenai pengaruh (efek) obat terhadap makhluk hidup. Sedangkan farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari tentang kinetika absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat dalam tubuh.

Farmakokinetik menentukan kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan intensitas efek obat. Farmakokinetik sangat tergantung pada usia, seks, genetik, dan kondisi kesehatan seseorang.Ada 4 fase dalam proses farmakokinetik:

1. Penyerapan (absorbsi) obat

Absorbsi ditentukan oleh bentuk sediaan, bahan pencampur obat, cara pemberian obat. Absorbsi obat sudah dimulai sejak di mulut, kemudian lambung, usus halus, dan usus besar. Tapi terjadi terutama di usus halus karena permukaannya yang luas, dan lapisan dinding mukosanya lebih permeabel. Bioavailability artinya jumlah dan kecepatan bahan obat aktif masuk ke dalam pembuluh darah, dan terutama ditentukan oleh dosis dari obat

2. Distribusi obat

Distribusi artinya setelah obat masuk ke dalam sirkulasi darah, kemudian obat diditribusikan ke dalama jaringan tubuh.Distribusi obat ini tergantung pada rata-rata aliran darah pada organ target, massa dari organ target, dan karakteristik dinding pemisah diantara darah dan jaringan. Di dalam darah obat berada dalam bentuk

(3)

bebas atau terikat dengan komponen darah albumin, glikoprotein dan lipoprotein, sebelum mencapai organ target. Apabila obat telah terikat dengan protein maka secara farmakologi obat tersebut tidak mempunyai efek terapetik dan ditibusinya terbatas. Selain itu obat tidak dapat menembus membran sel karena merupakan suatu komplek yang besar.

3. Metabolisme

Tempat utama metabolism obat terjadi di hati, dan pada umumnya obat sudah dalam bentuk tidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa obat tetap dalam bentuk aktif sampai di hati. Obat-obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerisasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin dan empedu. Kecepatan metabolisme pada tiap orang berbeda tergantung faktor genetik, penyakit yang menyertai(terutama penyakit hati dan gagal jantung), dan adanya interaksi diantara obat-obatan. Dengan bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun sampai lebih dari 30% karena menurunnya volume dan aliran darah ke hati.

4. Eksresi

Tempat utama terjadinya eksresi adalah di ginjal. Sedangkan sistem billier membantu ekskresi untuk obat-obatan yang tidak diabsorbsi kembali dari sistem pencernaan. Sedangkan kontribusi dari intestine (usus), ludah, keringat, air susu ibu, dan lewat paru-paru kecil, kecuali untuk obat-obat anestesi yang dikeluarkan waktu ekshalasi. Metabolisme oleh hati membuat obat lebih “polar” dan larut air sehingga mudah di ekskresi oleh ginjal. Obat-obatan dengan berat lebih dari 300 g/mol yang termasuk grup polar dan “lipophilic” di ekskresikan lewat empedu.

Secara lebih jelasnya Farmakodinamik menggambarkan bagaimana obat bekerja dan mempengaruhi tubuh, melibatkan reseptor, post-reseptor dan interaksi kimia. Farmakokinetik dan farmakodinamik membantu menjelaskan hubungan antara dosis dan efek dari obat.Respon farmakologis tergantung pada ikatan obat pada target.Konsentrasi obat pada reseptor mempengaruhi efek obat.Farmakodinamik dipengaruhi oleh perubahan fisiologis tubuh seperti proses penuaan, penyakit atau adanya obat lain.

(4)

Penyakit-penyakit yang mempengaruhi farmakodinamik contohnya adalah mutasi genetik, tirotoksikosis (penyakit gondok), malnutrisi (salah gizi) dll.

Pada hakekatnya supaya bisa diserap oleh tubuh obat harus diubah menjadi metabolit aktifnya. Biasanya obat-obat yang demikian disebut dengan Pro drug (Pra obat). Prodrug bersifat labil, tidak mempunyai aktivitas farmakologis, tapi dalam tubuh akan diubah menjadi aktif. Contoh: Bioavailabilitas parasetamol ditingkatkan oleh ester propacetamol dan sumacetamol. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat dieksresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan berjalan serentak di dalam tubuh.

Darah merupakan tumpuan proses absorbsi,distribusi,dan eliminasi. Artinya tanpa darah, obat tidak dapat menyebar ke lingkungan badan dan dikeluarkan dari badan. Karena itu, logis bila adanya proses absorbsi dapat ditunjukkan dengan peningkatan kadar obat dalam darah dan adanya proses distribusi serta eliminasi ditunjukkan dnegan pengurangan kadar obat dalam darah. Dengan kata lain, besarnya obat yang ada dalam darah mencerminkan besarnya kadar obat di tempat absorbsi, distribusi, dan tempat eliminasi.

Penetapan kadar obat di dalam badan dapat dianalisis dari cairan hayati lain seperti urin,saliva atau lainya. Namun, dalam praktik, uji dengan darah paling banyak dilakukan. Di samping tempat dominan yang dilalui obat seperti yang dijelaskan di atas, darah juga menjadi tempat yang paling cepat dicapai oleh obat. Sedangkan urin merupakan cairan hayati yang biasanya digunakan dalam uji fase farmakokinetik untuk mempelajari disposisi suatu obat dan menentukan kadar suatu obat untuk obat-obatan yang dieksresikan lewat urin, minimal 10% nya terdapat dalam urin dalam bentuk utuh yang belum dimetabolisme.

Hasil analisis dalam farmakokinetika dinyatakan dalam parameter farmakokinetika. Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin,saliva dan lainnya). Parameter farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan metabolitnya.

(5)

Terdapat tiga jenis parameter farmakokinetik yaitu parameter primer, sekunder, dan turunan. Parameter farmakokinetik primer meliputi kecepatan absorbsi, Vd (volume distribusi), Cl (klirens). Parameter farmakokinetik sekunder antara lain adalah t1/2 eliminasi (waktu paruh eliminasi), Ke (konstanta kecepatan eliminasi). Sedangkan parameter farmakokinetik turunan harganya tergantung dari dosis dan kecepatan pemberian obat Parameter farmakokinetik meliputi :

1. Parameter pokok

 Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)

Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskular).

 Cl (Klirens)

Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat persatuan waktu (Neal, 2006).

 Volume distribusi (Vd)

Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat (Neal, 2006). 2. Parameter Sekunder

 Waktu paro eliminasi (t1/2)

Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat

di dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang konstan) (Katzung, 2001).

 Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel )

Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yangakan tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasimenunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapaikeseimbangan (Neal, 2006).

3. Parameter Turunan

(6)

Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemikmencapai puncak.  Kadar puncak (Cp mak)

Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum atau plasma. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan eliminasi dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak proses-proses tersebut berada dalam keadaan seimbang.

 Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu (AUC) Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obatdiabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik.

Parameter farmakokinetika sangat penting karena dapat menggambarkan seberapa besar obat diabsorbsi, seberapa tepat obat dieliminasi, seberapa besar efek terapeutik dan ketoksisikan suatu obat. Oleh karena itu agar parameter dapat dipercaya, metode yang digunakan dalam menentukan kadar obat yang digunakan harus memenuhi criteria sebagai berikut:

1. Selektif atau spesifik

Selektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk membedakan suatu obat dari metabolitnya, obat lahir(dalam kasus tertentu yang berkaitan) dan kandungan endogen cuplikan hayati. Selektifitas metode menempati prioritas utama karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah dalam bentuk tak berubah atau metabolitnya. Metode analisis yang digunakan harus memiliki spesifitas yang tinggi terhadap salah satu obat yang akan ditetapkan tersebut. Spesifik hendaknya diterapkan dengan percobaan melalui bukti kromatografi bahwa metode spesfik untuk obat.Sebagai tambahan, standar internal hendaknya dapat dipisahkan secara lengkap dan menunjukkan tidak adanya gangguan senyawa-senyawa lain. Penetapan kadar secara kalorimetrik dan spektrofotometrik biasanya kurang spesifik. Gangguan dari zat lain dapat memperbesar kesalahan hasil (Shargel, 1998).

(7)

2. Sensitif atau peka

Sensitifitas metode berkaiatan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh suatu metode analisis yang digunakan. Pemilihan metode analisis tergantung pada tingkat sensitifitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan kadar dari waktu ke waktu. Sehingga metode analisis yang dipilih harus dapat mengukur kadar obat tertimggi sampai yang terendah yang ada dalam badan.

Perlu diperhatikan bahwa terdapat keterkaitan antara kespesifikan dan kepekaan suatu metode analisis. Dalam berbagai kasus,kespesifikan suatu metode dapat ditingkatkan dengan menurunkan kepekaan, karena dengan cara gangguan komponen lain dalam sampel dapat ditekan. Akan tetapi, penurunan kepekaan kadang-kadang mengakibatkan kekeliruan negative yang merugikan dalam analissi kualitatif. Oleh karena itu, sebelum memilih suatu metode, perlu dipertimbangkan dengan seksama manakah yang lebih dibutuhkan,kepekaan yang maksimum atau kespesifikan yang tinggi.

3. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan(precision)

Ketelitian(accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan anatara harga penetapan kadar rata-rata dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui.

Jika tidak ada data nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran tersebut.Presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan pengukuran. Semakin dekat nilai‐nilai hasil pengulangan pengukuran maka semakin presisi pengukuran tersebut.

(8)

Metode yang baik memberikan hasil recovery yang tinggi yaitu 75-90% atau lebih. Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu hasil itu teliti (accurate) berarti purata sama dengan harga sebenarnya, walaupun penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan ini, adalah lebih baik hasil yang kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat. Ketepatan(precision) menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil (reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui pengukuran ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yang sama. Ketepatan berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata kecil meskipun karena kesalahan sistematik, purata berbeda agak besar dengan harga sebenarnya. Kemudian dilakukan perhitungan statistik yang sesuai dengan penyebaran data, sperti datndar deviasi atau koefisien variasi.

4. Cepat

Kecepatan berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis dalam suatu macam penelitian farmakokinetika

5. Efisien

Metode tidak terlalu panjang karena dikhawatirkan akan menimbulkan suatu kesalahan sistematik.

III. ALAT DAN BAHAN

Alat : Bahan:

( )

(9)

1. Labu takar 5,0 ml 1.Stok Sulfametoksazol 1 mg/ml 2. Pipet volume 0,1;0,2;1;2 ml 2. Asam trikloroasetat (TCA) 3. Tabung reaksi (15 buah) 3.Natrium nitrit (NaNO2)0,1% 4. Mikropipet dan tips 4. Amonium Sulfamat 0,5%

5. Skalpel 5. Heparin

6. Eppendorf 6. Darah tikus

7. Alat Vortex 7. N-(1-naftil)etilendiamin 0,1% 8. Spektrofotometer dan kuvet 8. Aquadest

9. Beaker glass 10. Sentrifuge

Hewan uji : Tikus (putih).

IV. CARA KERJA

1. Pengambilan darah tikus

Tetesi microcup dengan 5 tetes heparin

Masukkan pipa kapiler ke dalam kelopak mata kelinci, tunggu hingga darah mengalir

Tampung darah dengan microcup hingga volume nya ±3 mL

2. Pembuatan kurva baku

Masukkan darah tikus ke dalam 6 tabung reaksi @ 250 µL

Masukkan sulfametoksasol dengan kadar 25, 50, 100, 200, dan 400 µg/mL ke dalam 5 tabung reaksi berisi darah yang berbeda @ 250 µL

Masukkan 250 µL aqquadest ke dalam 1 sampel darah dalam tabung reaksi yang tersisa sebagai blangko

(10)

Ke dalam tiap tabung reaksi tambahkan 2 mL TCA 5%, vortex selama 30 detik

Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Ambil 1,5 mL supernatan, encerkan dengan 2 mL aquadest, vortex selama 30 detik

Tambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, vortex 30 detik, diamkan 3 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, vortex 30 detik, diamkan selama 2 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, vortex 30 detik

Ukur absorbansi pada 545 nm

Hitung regresi linear konsentrasi sulfametoksazol vs absorbansi

Tentukan persamaan kurva baku

3. Perhitungan validasi

Masukkan darah tikus ke dalam 9 tabung reaksi @ 250 µL

Masukkan sulfametoksasol dengan kadar 50, 100, dan 300 µg/mL ke dalam 9 tabung reaksi berisi darah yang berbeda @ 250 µL, 3 tabung reaksi untuk tiap konsentrasi sulfametoksazol

(11)

Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Ambil 1,5 mL supernatan, encerkan dengan 2 mL aquadest, vortex selama 30 detik

Tambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, vortex 30 detik, diamkan 3 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, vortex 30 detik, diamkan selama 2 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, vortex 30 detik

Ukur absorbansi pada 545 nm

Hitung kadar sulfametoksazol terukur dengan persamaan kurva baku yang telah ditentukan

Analisis Data

Menentukan perolehan kembali, keslahan acak, dan kesalahan sistematik.

Perolehan kembali (recovery)

Hitung perolehan kembali dan keslahan sistematik untuk tiap besaran kadar

Kesalahan acak

V. HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN

(12)

Data Sampel Kadar Obat (g/ml) Absorbansi Kurva Baku (y=bx+a) Darah Tikus 0 0,176 a = 0,195 b =1,85.10-3 r =0,8063 y= 1,85.10-3x + 0,195 25 0,158 50 0,213 100 0,390 200 0,581 400 0,864

Keterangan: kadar 25 tidak terdeteksi (LOD) bisa diabaikan.

Data Absorbansi Sampel Darah (Validasi)

Data Sampel Kadar (g/ml) Absorbansi

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

Darah tikus

75 0,526 0,365 0,389

150 0,245 0,365 0,391

300 0,870 0,860 0,661

Perhitungan Larutan Stok

V1.M1=V2.M2

Keterangan:

V1 = Volume sulfametoksazol yang diambil (ml)

V2 = Volume labu takar (ml)

M1 = Konsentrasi/kadar sulfametoksazol stok (g/ml) M2 = Konsentrasi/kadar yang diinginkan (g/ml)

(13)

Kadar stok sulfametoksasol= 1 mg/ml = 1000 g/ml a. Kadar 25 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 25 g/ml V1 = 0,125 ml = 125 l b. Kadar 50 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 50 g/ml V1 = 0,25 ml = 250 l c. Kadar 100 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 100 g/ml V1 = 0,5 ml = 500 l d. Kadar 200 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 200 g/ml V1 = 1 ml e. Kadar 400 g/ml V1.M1 = V2.M2 V1. 1000 g/ml = 5 ml. 400 g/ml V1 = 2 ml

Perhitungan Kadar Sampel Darah Tikus

Kurva baku :y= 1,85.10-3x + 0,195

a. Kadar 75 µg/ml

Replikasi 1  y = 0,526

0,526 = 1,85.10-3x + 0,195 0,331 = 1,85.10-3x

(14)

x = 178,9189g/ml Replikasi 2  y = 0,365 0,365 = 1,85.10-3x + 0,195 0,17 = 1,85.10-3x x = 91,8919g/ml Replikasi 3  y = 0,389 0,389 = 1,85.10-3x + 0,195 0,194 = 1,85.10-3x x = 104,8649g/ml Kadar Rata-Rata = (178,9189+ 91,8919+ 104,8649)g/ml 3 = 125,2252 g/ml SD = 46,9503 Kesalahan acak(CV) = 46,9503 x 100% = 37,4927 % 125,2252

Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%

kadar diketahui Replikasi 1 = 178,9189 x 100% = 238,5585 % 75 Replikasi 2 = 91,8919 x 100% = 122,5225 % 75 Replikasi 3 = 104,8649 x 100% = 139,8199 % 75 Rata-Rata Recovery= (238,5585 % + 122,5225 %+ 139,8199 %)= 166,9670 % 3

(15)

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery

Replikasi 1 = 100% - 238,5585 % = -138,5585 % Replikasi 2 = 100% - 122,5225 % = -22,5225 % Replikasi 3 = 100% - 139,8199 % = -39,8199 %

Rata-rata kesalahan sistemik = -(138,5585 % + 22,5225 % + 39,8199 %)

3 = -66,9670 % b. Kadar 150 µg/ml Replikasi 1  y = 0,245 0,245 = 1,85.10-3x + 0,195 0,05 = 1,85.10-3x x = 27,0270 g/ml Replikasi 2  y = 0,365 0,365 = 1,85.10-3x + 0,195 0,17 = 1,85.10-3x x = 91,8919 g/ml Replikasi 3  y = 0,391 0,391 = 1,85.10-3x + 0,195 0,196 = 1,85.10-3x x = 105,9459 g/ml Kadar Rata-Rata = (27,0270 + 91,8919 + 105,9459) g/ml 3 = 74,9549 g/ml SD = 42,0974 Kesalahan acak (CV) = 42,0974 x 100% = 56,1636 % 74,9549

(16)

Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100% kadar diketahui Replikasi 1 = 27,0270 x 100% = 18,0180 % 150 Replikasi 2 = 91,8919 x 100% = 61,2613 % 150 Replikasi 3 = 105,9459 x 100% = 70,6306 % 150 Rata-Rata Recovery= (18,0180 % + 61,2613 % + 70,6306 %) = 49,9700 % 3

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery

Replikasi 1 = 100% - 18,0180 % = 81,9820 % Replikasi 2 = 100% - 61,2613 %= 38,7387 % Replikasi 3 = 100% - 70,6306 % = 29,3694 %

Rata-rata kesalahan sistemik = 81,9820 % + 38,7387 % + 29,3694%

3 = 50,0300 % c. Kadar 300 µg/ml Replikasi 1  y = 0,870 0,870 = 1,85.10-3x + 0,195 0,675 = 1,85.10-3x x = 364,8649 g/ml Replikasi 2  y = 0,860 0,860 = 1,85.10-3x + 0,195 0,665 = 1,85.10-3x x = 359,4595 g/ml

(17)

Replikasi 3  y = 0,661 0,661 = 1,85.10-3x + 0,195 0,466 = 1,85.10-3x x = 251,8919 g/ml Kadar Rata-Rata = (364,8649 + 359,4595 + 251,8919) g/ml 3 = 325,4054 g/ml SD = 63,7219 kesalahan acak (CV) = 63,7219 x 100% = 19,5823 % 325,4054

Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%

kadar diketahui Replikasi 1 = 364,8649 x 100 % = 121,6216 % 300 Replikasi 2 = 359,4595 x 100 % = 119,8198 % 300 Replikasi 3 = 251,8919 x 100 % = 83,9640 % 300 Rata-Rata Recovery= (121,6216 + 119,8198 + 83,9640) % 3 = 108,4685 %

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery

Replikasi 1 = 100% - 121,6216 % = -21,6216 % Replikasi 2 = 100% - 119,8198 % = -19,8198 % Replikasi 3 = 100% - 83,9640 % = 16,0360 %

(18)

3 = -8,4685 %

VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini bertujuan untuk memahami langkah-langkah analisis obat dalam caiiran hayati. Cairan hayati yang digunakan adalah darah. Darah yang digunakan adalah darah tikus. Dan obat yang digunakan adalah sulfametoksazol. Metode yang digunakan adalah metode Bratton-Marshall. Untuk menguji ketepatan dan ketelitian metode yang digunakan, ditetapkan beberapa parameter statistika yaitu recovery dan kesalahan sistematik sebagai parameter ketelitian, serta standar deviasi dan kesalahan acak sebagai parameter ketepatan.

Cairan hayati yang digunakan sebagai media obat adalah darah. Digunakan darahkarena darah merupakan tempat yang paling cepat dicapai dalam proses absorpsi dan distribusi baik ke jaringan target maupun ke organ eliminasi, sehingga kadar obat di dalam sirkulasi sistemik ini paling mencerminkan kadar obat sebenarnya di dalam badan. Selain itu, bentuk obat pada umumnya tidak berubah, merupakan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi. Karena itu, penetapan kadar obat pada cuplikan darah akan memberikan suatu indikasi langsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi.

Obat yang dianalisis dalam praktikum ini ialah sulfametoksazol. Struktur sulfametoksazol :

C10H11N3O3S BM 253,28 Nama lain : N1-(5-metil-3-isoksazolil)sulfanilamida

(19)

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform; mudah larut dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer; agak sukar larut dalam etanol

(Anonim, 1995)

Sulfametoksazol merupakan derivat dari Sulfisoxasol yang mempunyai absorbsi dan ekskresi yang lebih lambat. Bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam NaOH encer. Dari sifat-sifat itu, larutan obat ini dibuat dengan melarutkan terlebih dahulu SMZ dalam NaOH kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki. Obat ini biasa digunakan dalam bentuk sediaan tablet, injeksi, suspensi, tetes mata, dan salep mata.

Waktu paruh plasma Sulfametoksazol adalah 11 jam.

Sulfametoksazol: absorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan ± 20 G terikat oleh protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam bentuk terasetilasi. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paro 10-12 jam. Dosis oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dd sampai infeksi terjadi.

Fungsi: untuk infeksi sistemik, untuk infeksi saluran seni.

Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini ialah metode Bratton-Marshall. Metode ini didasarkan pada prinsip kalorimetri yaitu terbentuknya senyawa berwarna yang intensitasnya dapat ditentukan secara spektrofotometri visibel. Metode ini melalui 3 tahap yaitu :

1. Pembentukan Senyawa Diazo

Salah satu syarat reaksi diazotasi adalah senyawa harus memiliki gugus amina aromatik primer. Sulfametoksazol memiliki struktur standar amina aromatik primer, sehingga reaksi diazotasi dapat berlangsung. Dengan reaksi sebagai berikut:

(20)

NaNO2

(garam diazonum dari sulfametoksazol)

2. Penghilangan sisa asam nitrit dengan penambahan asam sulfamat

Pada proses terbentuknya garam diazonium yang dihasilkan dari reaksi antara amina aromatik primer dengan asam Nitrit (HNO2) yang berasal dari natrium nitrit, pada tahap ini terjadi kelebihan asam nitrit yang harus di hilangkan dengan penambahan asam sulfamat, karena kalau tidak dihilangkan, senyawa yang sudahberwarna akan dirusak (dioksidasi) oleh asam nitritsehingga kembali lagi menjadi tidak berwarna. Reaksi penghilangan sisa asma nitrit sebagai berikut:

HNO2 + HSO3NH2 N2 + H2SO4 + H2O

3. Pengkoplingan garam diazonium-NED

Pada proses ini, garam diazonium yang sudah terbentuk segera direaksikan dengan reagen kopling membentuk senyawa kopling yang memiliki gugus kromofor yang lebih panjang sehingga dapat dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis. Reagen kopling yang khas dalam metode Bratton-Marshall adalah N-(1-Naftil) etilen diamin (NED).Dengan demikian pergeseran bathokromik sehingga λ lebih panjang, sementara intensitas warnanya lebih tajam. Hasilnya senyawa menjadi lebih mudah dideteksi oleh spektrofotometriUV-Vis.

Penetapan kadar obat dalam darah tikus

Sebelum memulai penetapan, dilakukan pengambilan sampel darah. Sampel darah yang diambil adalah sampel darah tikus. Saat pengambilan, tikus dimasukkan ke dalam penahan

+

TCA

(21)

gerak. Darah diambil dari vena ophtalmicus yang terletak di sudut mata tikus. Daerah yang keluar segera ditampung dalam eppendorf. Sebelumnya eppendorf telah diberi sedikit heparin (5 tetes). Heparin digunakan untuk mencegah koagulasi darah tikus. Apabila terjadi koagulasi, pada saat disentrifugasi maka yang keluar adalah serum bukan plasma darah. Plasma darah adalah sampel yang dibutuhkan karena sulfametoksazol berikatan dengan protein plasma bukan serum di dalam darah.

Langkah pertama dalam penetapan kadar obat dalam darah tikus adalah dilakukan pembuatan kurva baku dari darah tikus. Untuk itu, dibuat seri kadar larutan sulfametoksazol kadar 0, 25, 50, 100, 200, dan 400 μg/ml. Seri kadar ini dibuat dengan cara mengencerkan larutan stok (sulfametoksazol) dengan aquadest hingga 100 ml. Pengenceran dilakukan sesuai rumus V1M1 = V2M2.

Setelah larutan siap, masing masing larutan sulfametoksazol berbagai kadar diambil 250 μl dan ditempatkan pada tabung reaksi. Pada masing – masing tabung reaksi berisi sulfametoksazol ditambahkan 250 μl darah tikus. Tabung lalu digojog ringan agar homogen. Setelah merata, ke dalam tabung reaksi ditambahkan asam TCA (Trikloroasetat) 10% sebanyak 2 ml. Tujuan dari penambahan TCA ini adalah untuk mendenaturasi protein dalam darah tanpa memecah protein menjadi asam amino penyusunnya. Dengan pemberian TCA, maka protein akan mengendap dan memisah dengan plasma darah. TCA juga digunakan untuk memberikan suasana asam yang dibutuhkan untuk proses reaksi kimia diazotasi sehingga dapat diketahui kadar sulfametoksazol sebenarnya. Kondisi asam yang diberikan TCA juga mampu menghentikan enzim pemetabolisme obat dalam darah. Untuk memaksimalkan kerja TCA, TCA perlu dihomogenkan ke seluruh campuran. Untuk menghomogenkannya, dilakukan vortexing selama kurang lebih 30 detik.

Langkah selanjutnya adalah melakukan sentrifugasi campuran. Seluruh campuran, disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Proses sentrifugasi ini akan memisahkan bagian padat (protein) darah dengan plasma darah yang berupa cairan. Plasma darah akan tampak sebagai supernatan bening di bagian atas tabung reaksi. Supernatan bening ini mengandung sejumlah sulfametoksazol yang tidak ikut mengendap bersama protein darah. Setelah itu, diambil 1, 5 ml supernatan secara hati – hati, agar tidak ada endapan yang ikut

(22)

terambil. Supernatan yang bebas endapan merupakan obat bebas dari protein plasma, sedangkan obat yang terikat pada protein plasma tidak aktif secara farmakologis dan tidak memiliki efek terapetik. Supernatan lalu dimasukkan ke tabung reaksi bersih dan diencerkan dengan 2 ml akuades. Supernatan yang telah diencerkan kemudian ditambahkan larutan NaNO2 0,1 % sebanyak 0,1 ml, lalu didiamkan selama 3 menit. Dengan adanya ion NO2- dari NaNO2 dan ion H+ dari TCA maka terbentuklah asam hipotetik HNO2. HNO2 akan bereaksi dengan amina aromatis yang dimiliki oleh sulfametoksazol sehingga membentuk garam diazonium dan memnyebabkan perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasi (kromofor) sehingga dapat dibaca absorbansinya. Selanjutnya, ditambahkan 0,2 ml larutan ammonium sulfamat 0,5 % ke masing – masing tabung reaksi. Ammonium sulfamat akan menghilangkan kelebihan HNO2, karena HNO2 berlebih akan merusak senyawa yang terbentuk. Hilangnya HNO2, ditandai dengan tidak adanya gelembung N2 yang dapat mengganggu analisis. Reaksinya adalah

HNO2 + H2NSO3H

H2SO4 + H2O + N2

Setelah 2 menit, campuran ditambahkan N(1-naftil)etilendiamin (NED) 0,1% sebanyak 0,2 ml. Penambahan NED ini ditujukan untuk menimbulkan reaksi kopling yang menyempurnakan reaksi diazotasi sebelumnya. Campuran ini lalu diletakkan di tempat gelap selama 5 menit untuk menyempurnakan reaksi. Setelah 5 menit, absorbansi masing – masing campuran dibaca menggunakan spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan adalah 525 nm dan digunakan blangko darah dengan kadar 0. Panjang gelombang 545 nm dipilih karena memiiki sensitivitas tinggi, dimana dengan perubahan sedikit kadar dapat menyebabkan perubahan absorbansi yang besar.

Setelah semua campuran dibaca aborbansinya, dibuat persamaan kurva baku menggunakan regresi linier. Berdasarkan daa yang diperoleh, maka persamaan kurva bakunya adalah:

y = 1,85. 10-3x + 0,195

Dalam percobaan ini juga dibutukan validasi data. Untuk itu, dibuat larutan sulfametoksazol dengan kadar 75, 100 dan 300 μg/ml. Cara pembuatan dan perlakuan larutan seri sama dengan pembuatan larutan untuk kurva baku. Setelah larutan siap, larutan dibaca absorbansinya pada λ = 525 nm. Proses validasi ini direplikasi sebanyak 2 kali. Data absorbansi

(23)

hasil pembacaan kemudiaan dimasukkan kembali ke persamaan kurva baku dan didaptkan hasil kadar terukur sebagai berikut.

Kadar

Diketahui(μg/ml) Replikasi Absorbansi Kadar Terukur

Kadar Rata - Rata (μg/ml) 75 I 0,526 178,9189 125,2252 II 0,365 91,8919 III 0,389 104,8649 150 I 0,245 27,0270 74,9549 II 0,365 91,8919 III 0,391 105,9459 300 I 0,870 364,8649 325,4054 II 0,860 359,4595 III 0,661 251,8919

Nilai Perolehan Kembali (PK) / Recovery

Nilai perolehan kembali menunjukkan efisiensi dari analisis yang dilakukan. Semakin tinggi nilai recovery maka semakin tinggi akurasi dan efisiensi analisis. Recovery yang baik berada dalam rentang kadar 75 – 90%.

Nilai perolehan kembali sampel darah tikus:  Kadar 75 μg/ml = 166,9670 %

 Kadar 150 μg/ml = 49,9700 %  Kadar 300 μg/ml = 108,4685 %

Dari hasil diatas, dapat terlihat bahwa nilai Recovery dari kadar 150 μg/ml kurang dari 75% (<75%), menunjukkan bahwa nilai akurasi dan efisiensi analisisnya rendah. Recovery dari kadar 75 μg/ml dan 300 μg/ml melebihi 90% (> 90%), hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

 senyawa endogen atau metabolit yang ikut terukur. Kemungkinan disebabkan karena terdapat molekul-molekul pengganggu atau protein dalam darah yang dapat meningkatkan nilai absorbansi pada saat pengambilan supernatan

 ketidaktelitian praktikan dalam penambahan analit ataupun larutan pereaksi.  kesalahan praktikan dalam penetapan blanko saat pembacaan absorbansi

(24)

Untuk menghindari kesalahan dalam parameter nilai perolehan kembali / recovery dapat dilakukan :

 Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak menyebabkan hemolisis, untuk sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah sehingga komponen-komponen intrasel keluar tercampur dalam plasma sehingga tidak menggangu proses absorbansi sampel.

 Saat pengambilan supernatan hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut terambil. Pengukuran sampel ataupun larutan harus tepat.

Nilai Kesalahan Sistematik

Nilai kesalahan sistematik menunjukkan ketelitian atau akurasi metode yang digunakan. Nilai kesalahan sistematik seharusnya < 10% agar hasil dapat dikatakan teliti atau akurat. Kesalahan ini bersifat konstan dan mengakibatkan penyimpangan tertentu dari rata-rata.

Nilai kesalahan sistematik pada percobaan sampel darah tikus:  Kadar 75 μg/ml = -66,9670 %

 Kadar 150 μg/ml = 50,0300 %  Kadar 300 μg/ml = -8,4685 %

Dari hasil perhitungan, nilai kesalahan sistematik tidak ada yang < 10%, sehingga dapat dikatakan hasil percobaan tidak teliti atau tidak akurat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesalahan sistemik antara lain:

 Kesalahan personel dan operasi. Dalam percobaan ini kemunkinan kesalahan pada ketidaktelitian praktikan dalam pengukuran volume sampel maupun reagen. Dapat diminimalisir dengan peningkatan ketrampilan analisis. Makin terampil, makin kecil kesalahan personel.

 Kesalahan alat dan pereaksi, dapat disebabkan oleh pereaksi yang kurang valid atau telah terkontaminasi atau pemakaian alat yang kurang tepat walaupun alatnya baik.  Kesalahan metode, dapat disebabkan kesalahan pengambilan sampel dan kesalahan

(25)

belum sempurna, yaitu masih adanya gelembung udara saat pengukuran absorbansi sehingga mempengaruhi serapan.

Nilai Kesalahan Acak / Coefficient Varian (CV)

Kesalahan acak merupakan tolok ukur inprecision suatu analisis, dan dapat bersifat

positif atau negative. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan oleh tetapan variasi. Kesalahan acak menunjukkan presisi atau ketepatan suatu analisis. Kesalahan acak pada percobaan seharusnya kurang dari 10 % agar dapat dikatakan presisi atau akurat.

Nilai kesalahan acak pada percobaan sampel darah tikus:  Kadar 75 μg/ml = 37,4927 %

 Kadar 150 μg/ml = 56,1636 %  Kadar 300 μg/ml = 19,5823 %

Dari hasil diatas, dapat terlihat bahwa nilai kesalahan acak semua kadar melebihi 10%. Dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa percobaan pada semua kadar yang dilakukan tidak presisi dan tidak memenuhi syarat. Kesalahan ini umumnya disebabkan masalah pengukuran berulang dan alat yang digunakan kurang sensitif. Selain itu pada pengukuran saat praktikum juga terjadi kesalahpahaman saat penetapan blangko spektrofotometri sehingga mempengaruhi nilai pembacaan absorbansi.

Dari keseluruhan nilai parameter yang diujikan, sensitivitas, akurasi maupun presisinya rendah. Banyak kemungkinan faktor penyebabnya baik dari praktikan, cara pengerjaan, alat maupun metode yang digunakan.

Untuk menghindari kesalahan dalam parameter nilai perolehan kembali / recovery dapat dilakukan :

 Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak menyebabkan hemolisis, untuk sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah sehingga komponen-komponen intrasel keluar tercampur dalam plasma sehingga tidak menggangu proses absorbansi sampel.

(26)

 Pengukuran sampel ataupun larutan harus tepat.

VII. KESIMPULAN

1. Cairan hayati yang digunakan dalam percobaan ini adalah darah tikus. 2. Obat yang digunakan dalam percobaan ini adalah sulfametoksazol.

3. Metode yang digunakan yaitu prosedur penetapan kadar Brattan Marshall yang telah dimodifikasi.

4. Data yang di peroleh dari percobaan “Analisis Obat dalam Cairan Hayati” adalah sebagai berikut :

5. Berdasarkan percobaan, metode Bratton-Marshal yang telah dimodifikasi, secara keseluruhan belum memenuhi persyaratan accuracy, presition dan efficiency, serta alat yang digunakan kurang memenuhi syarat sensitivitas.

6. Kesalahan yang terjadi pada percobaan kemungkinan disebabkan karena kesalahan metodik,kesalahan operatif, maupun kesalahan instrumental.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh, 2002, Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anief, Moh., 2002, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

CAIRAN HAYATI KADAR

rata-rata RECOVERY (%) KESALAHAN ACAK (%) rata-rata KESALAHAN SISTEMATIK (%) Darah Tikus 75,0 37,4927 % 150,0 56,1636 % 300,0 19,5823 %

(27)

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia,Edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Donatus, Drs., Apt., 1989, Analisis Farmakokinetika, Bagian I, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.

Katzung Bertram, G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 8, Salemba Medika, Jakarta.

Neal, M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta.

Shargel, Leon, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press, Surabaya.

Siswandono, 2000, Kimia Medisinal, Airlangga University Press, Surabaya.

Yogyakarta, 24 April 2013 Praktikan,

1. Jessica Anindita (FA/09178) 2. Farah Dwi Ningtyas (FA/09181) 3. Annis Iffa Majid (FA/09184) 4. Amalia Mufida (FA/09187) 5. Ezra Sarira (FA/09190)

Referensi

Dokumen terkait

Analisis dot blot dilakukan juga sebagai langkah awal pemeriksaan adanya protein kelenjar saliva nyamuk yang dapat berikatan dengan beberapa protein sampel darah manusia..

Untuk senyawa obat yang dipakai berbeda-beda, sedangkan untuk sampel biologisnya sama yaitu plasma darah dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma

Sifat umum serum dan plasma adalah mengandung protein dalam jumlah besar. Protein sangat berbeda secara fisikokimia dengan molekul obat yang bermolekul kecil. Tetapi sering kali

Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half-life eliminasi (waktu paruh) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma

Jenis Kelamin Ras Kadar Homosistein Kadar C Reactive Protein Viskositas Plasma Kadar Fibrinogen Status Chronic Renal Insufficiency Minum Obat:  DM  Dislipidemia

Kejang yang terjadi karena kadar obat dalam darah yang berlebihan dapat dicegah dengan memberikan dosis terkecil yang efektif untuk anestesi lokal yang dibutuhkan

Prediksi Profil Kadar Plasma-Waktu Obat pada Manusia: Css-MRT Metode ini dikerjakan dengan terlebih dahulu membuat profil kadar plasma- waktu yang dinormalisasi (normalized curve)