• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. rentang perjalanan sejarah yang panjang. Sejarah kehidupan ketatanegaraan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. rentang perjalanan sejarah yang panjang. Sejarah kehidupan ketatanegaraan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota Bukittinggi yang sering disebut “Kota Jam Gadang” mempunyai rentang perjalanan sejarah yang panjang. Sejarah kehidupan ketatanegaraan pemerintah daerah Kota Bukittinggi telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, yang diawali dengan pendirian Benteng Fort de Kock pada tahun 1825, kemudian dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan sampai pada zaman kemerdekaan saat ini. Peran sejarah yang telah dimainkan Kota Bukittinggi selama sejak hampir dua abad yang lalu ini memiliki aspek sejarah yang menjadi daya tarik wisata.

Selain sebagai kota yang memiliki sejarah yang panjang, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota yang memiliki kesejukan udara dan keelokan pemandangannya, karena berada pada ketinggian sekitar 780 - 950 meter dari permukaan laut dengan kondisi alam berupa perbukitan. Berbagai objek wisata alam maupun sejarah banyak ditemui di kota ini, karena kondisi geografis dan sejarah panjang yang dimilikinya, sehingga menjadikan kota ini salah satu destinasi utama di Sumatera Barat.

Pariwisata sebagai suatu sektor kehidupan, telah memiliki peran penting yang memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan daerah. Perekonomian Kota Bukittinggi berdasarkan perkembangan nilai PDRB atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Tabel 1. Apabila dilihat distribusinya dari tahun ke tahun, tidak mengalami pergeseran yang terlalu signifikan. Sektor-sektor yang memberikan

(2)

kontribusi terbesar di Kota Bukittinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, angkutan/komunikasi, bank/keuangan/pemerintahan umum, serta industri pengolahan non migas. Dengan demikian, maka dapat terlihat bahwa sektor-sektor yang memberikan kontribusi besar adalah sektor-sektor yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata.

Tabel 1.Kontribusi tiap sektor terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bukittinggi Atas Dasar Harga Konstan 2000

No. Sektor Tahun 2011 2012 2013 Rupiah (Juta) % Rupiah (Juta) % Rupiah (Juta) % 1. Pertanian 19.093,54 1,75 19.400,75 1,67 19.329,03 1,56 2. Pertambangan dan Penggalian 22,73 0,00 22,22 0,00 21,98 0,00 3. Industri Pengolahan

(Industri Non Migas) 108.697,49 9,94 112.740,18 9,69 116.505,70 9,43 4. Listrik dan Air Bersih 22.667,76 2,07 24.467,26 2,10 25.557,28 2,07

5. Bangunan 37.584,35 3,44 41.082,99 3,53 41.806,05 3,38 6. Perdagangan, Hotel, Restoran 235.785,32 21,57 255.165,22 21,95 277.289,82 22,44 7. Angkutan/Komunikasi 262.782,32 24,04 278.665,13 23,96 294.943,28 24,87 8. Bank/Keu/Perum 110.518,31 10,11 117.506,56 10,10 127.552,56 10,32 9. Jasa-Jasa 296.101,03 27,08 314.090,24 27,00 332.493,69 26,91 Total 1.093.253 100 1.163.141 100 1.235.500 100

Sumber : Bukittinggi dalam Angka 2014

Sejalan dengan itu, sebagaimana tercantum pada Lampiran 2 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, Kota Bukittinggi merupakan salah satu Destinasi Pariwisata yang berskala nasional. Ini menunjukkan bahwa Kota Bukittinggi merupakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih

(3)

aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

Pembangunan kepariwisataan merupakan suatu hal yang kompleks. Dalam pedoman penyusunan RIPPDA kabupaten/kota disebutkan bahwa kegiatan kepariwisataan bertumpu pada pergerakan berbagai aspek, ketahanan idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang secara dinamis membangun kepariwisataan nasional. Kepariwisataan dilaksanakan dalam konsep yang bersifat multi dimensi, interdisipliner dan partisipatoris dalam suatu sistem yang utuh dan terpadu. Pembangunan pariwisata dapat menghasilkan berbagai manfaat, namun juga dapat menimbulkan permasalahan, maka manfaat harus dioptimalkan dan permasalahan yang mungkin akan timbul harus diminimalisir. Maka dibutuhkan proses perencanaan yang baik agar dapat menghasilkan sebuah kebijakan yang mampu mengakomodir semua hal tersebut di atas sehingga dapat meningkatkan keberhasilan implementasinya.

Untuk merespon hal tersebut dan atas dasar Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan maka Pemerintah Kota Bukittinggi melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata telah melakukan penyusunan Rencana Induk Pembangunan Pariwisataan Daerah (RIPPDA) pada tahun 2013. Hal tersebut dilakukan dengan harapan untuk mengembangkan dan membangun keterpaduan pembangunan kepariwisataan baik itu secara lintas sektoral, lintas pelaku maupun lintas regional yang sinergis serta berkelanjutan. Tujuan dari penyusunan RIPPDA

(4)

adalah untuk menuju arah kebijakan yang strategis dalam pembanguan sektor pariwisata dalam kurun waktu 20 tahun. RIPPDA ini diharapkan dapat menjadi arahan bagi pemerintah daerah khususnya dan pelaku wisata serta masyarakat pada umumnya dalam mengembangkan kepariwisataan di Kota Bukittinggi di masa yang akan datang.

Gambar 1. Aturan yang mendasari penyusunan RIPPDA Kabupaten/Kota Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 12 ayat 3 menyebutkan bahwa pariwisata merupakan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan pemerintahan pilihan adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Dengan potensi pariwisata yang dimiliki oleh Kota Bukittinggi, seharusnya pariwisata menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian dibutukan suatu kebijakan yang lahir

Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan

dan Pariwisata dalam Diktum kelima, butir 21 menginstruksikan kepada gubernur,

bupati dan walikota untuk menyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (pengembangan produk, penetrasi serta sarana dan pelayanan/Sumber

Daya Manusia)

Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

dalam Bab VIII Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pasal 30 menginstruksikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun dan menetapkan

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota.

(5)

melalui proses perencanaan yang baik untuk mewujudkan penyelenggaraan kepariwisataan yang berkelanjutan.

Kualitas dokumen perencanaan sangat bergantung pada proses penyusunannya. Proses penyusunan ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung untuk itu, seperti pengorganisasian dan kepemimpinan yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia, serta sumber daya lainnya seperti dana dan waktu (Sumaryadi, 2005). Semakin memadai faktor-faktor tersebut, maka diharapkan perencananan akan semakin baik. Namun kondisi riil yang terjadi di daerah adalah bahwa terjadi pemaksaan atas sumber daya pendukung perencanaan seperti sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sumber daya fisik yang lainnya termasuk waktu, telah menyebabkan hasil perencanaan tidak mengarah kepada kualitas yang lebih baik, tetapi hanya sebatas pencapaian kinerja bagi eksekutif dan lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan legislatif. Hal ini berkaitan dengan pengukuran kinerja eksekutif yang didasarkan pada target dan realisasi dengan satuan pengukuran dalam bentuk persentase, indek, rata-rata, angka dan jumlah, semakin tinggi realisasi menggambarkan tingkat capaian yang semakin baik serta DPRD yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Melihat fenomena penyusunan rencana pembangunan yang terjadi di daerah-daerah dan memahami bahwa pariwisata di Kota Bukittinggi merupakan kegiatan ekonomi yang penting, mencakup aspek yang amat luas, yang membutuhkan strategi tertentu dalam perencanaannya agar dapat menghasilkan kebijakan yang mampu mengarahkan pembangunan pariwisata ke depan, maka

(6)

menjadi menarik untuk mengetahui proses penyusunan perencanaan pembangunan kepariwisataan di Kota Bukittinggi, sebagai sebuah pembelajaran (leason learn).

1.2. Rumusan Masalah

Perencanaan bertujuan menghasilkan kebijakan. Perencanaan merupakan salah satu pengaruh paling signifikan pada perkembangan pariwisata (Dredge & Jamal, 2015). Demikian juga halnya dengan penyusunan RIPPDA, bertujuan untuk menghasilkan kebijakan yang akan menjadi panduan dalam melakukan tindakan di masa yang akan datang. Pembuatan kebijakan pariwisata merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai aktor dan lembaga dalam negosiasi distribusi kekuasaan dan kompleksitas organisasi (Bramwell & Lane, 2000; Dredge, 2006; Stevenson, Airey, & Miller, 2008; Farsari, Butler, & Szivas, 2011).

Perencanaan bukan dilakukan pada masyarakat yang homogen, namun pada masyarakat yang heterogen (multiple public, multiple stakeholders) (Allmendinger, 2002; Healey, 2003; Ansell & Gash, 2007; Emerson, Nabatchi, & Balogh, 2011). Oleh karenanya perencanaan pariwisata merupakan proses sosial, yang merangkul partisipasi, gagasan inklusif, melibatkan interaksi, menekankan pada proses dialog (komunikasi), negosiasi, dan kolaborasi antara pemangku kepentingan (stakeholders) dalam konteks yang luas untuk menuju pembangunan berkelanjutan (Bramwell & Lane, 2000; Stevenson, Airey, & Miller, 2008; Dredge, Jenkins, & Whitford, 2011).

(7)

Pada saat ini di Indonesia pelaksanaan rencana pembangunan di daerah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan dan Evaluasi Pelaksanan Rencana Pembangunan Daerah. Perencanaan pembangunan daerah didefinisikan sebagai suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.

Demikian juga halnya dengan perencanaan pembangunan pariwisata daerah. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada Pasal 9 ayat 4 disebutkan bahwa penyusunan rencana induk pembangunan pariwisata dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. Hal ini merupakan wujud diselenggarakannya prinsip kepariwisataan yang menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan. Dari uraian tersebut, secara implisit dapat disimpulkan bahwa pendekatan kolaboratif penting dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata, karena kolaborasi menekankan keterlibatan dan interaksi semua pelaku untuk mencapai tujuan bersama (Bramwell & Lane, 2000; Healey, 2003; Booher & Innes, 2002). Namun di Indonesia, perencanaan kolaboratif masih merupakan hal baru yang belum melekat dalam praktek proses perencanaan pembangunan (Djunaedi, 2012), walaupun secara normatif tersirat dalam peraturan perundang-undang.

(8)

Menurut Allmendinger (2002) dalam Sufianti (2014) teori perencanaan dapat dikelompokan ke dalam teori normatif maupun preskriptif. Teori normatif mengatakan bagaimana dunia seharusnya, dan memberikan ide bagaimana mencapainya (of planning), dan teori preskriptif berkaitan dengan cara terbaik untuk mencapai kondisi yang diinginkan (in planning). Perencanaan kolaboratif dikelompokkan ke dalam teori normatif. Meskipun demikian, teori ini harus mampu diterjemahkan, bagaimana perencanaan kolaboratif diimplementasikan ke dalam praktik. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, pertanyaan penelitian yang menjadi dasar studi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses penyusunan dokumen Rencana Induk Pembangunan Pariwisata (RIPPDA) Kota Bukitttinggi Tahun 2013-2033?

2. Apakah proses penyusunan RIPPDA tersebut menggambarkan proses perencanaan kolaboratif?

3. Faktor apa yang berpengaruh dalam proses penyusunan RIPPDA tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dilakukan yaitu untuk mendeskripsikan proses penyusunan dokumen Rencana Induk Pembangunan Pariwisata (RIPPDA) Kota Bukitttinggi Tahun 2013, dan melihat apakah perencanaan kolaboratif tergambar dalam proses penyusunan RIPPDA tersebut, serta faktor apa yang berpengaruh dalam proses penyusunan RIPPDA tersebut, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjadi pembelajaran dan memberikan bahan dan masukan

(9)

untuk menyempurnakan proses perencanaan pembangunan pariwisata daerah ke depan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat teoritis, yaitu kegunaan hasil penelitian bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penyempurnaan proses penyusunan rencana induk pembangunan pariwisata daerah ke depan;

2. Manfaat praktis, yaitu kegunaan hasil penelitian bagi beberapa pihak

a. Bagi pemerintah, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam upaya menerapkan teori pendekatan perencanaan ke dalam praktek proses penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata periode berikutnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pemerintah daerah untuk lebih optimis dan arif dalam perencanaan pengembangan pariwisata.

b. Peneliti, stakeholders dan masyarakat, dapat bermanfaat dalam :

1) Menambah wawasan, kapasitas, dan memperkaya khasanah pengetahuan tentang proses penyusunan rencana induk pembangunan pariwisata daerah; dan

2) Sebagai referensi dan bahan perbandingan bagi penelitian berikutnya dalam rangka menyempurnaan penyusunan rencana induk pembangunan pariwisata daerah.

(10)

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian ini mengkaji proses penyusunan Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kota Bukitinggi Tahun 2013-2033. Penyusunan RIPPDA bertujuan menghasilkan kebijakan yang memerlukan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga menekankan pentingnya kolaborasi dalam proses penyusunannya. Proses penyusunan RIPPDA Kota Bukitinggi yang terjadi di lapangan akan dideskripsikan melalui penelitian ini, dan kemudian dilihat sejauh mana perencanaan kolaboratif tergambar dalam proses penyusunan RIPPDA tersebut, serta faktor apa yang berpengaruh dalam proses penyusunan RIPPDA tersebut.

Penelitian mengenai proses perencanaan kolaboratif pernah dilakukan oleh Pratiwi (2014) dengan judul Proses Perencanaan Kolaboratif dalam Pelayanan Publik Studi Kasus Badan Kerjasama Antar Daerah Subosukawonosraten. Penelitian Pratiwi (2014) membahas proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan kolaboratif pada pelayanan publik pada kasus kerjasama antar daerah se-Subosukawonosraten. Pelayanan publik difokuskan pada kerjasama layanan transportasi-Bus Balik Solo Trans dan kerjasama layanan wisata terpadu antar daerah (yang meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabuparen Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Klaten). Penelitian Pratiwi (2014) tentu berbeda dengan penelitian ini. Selain dari lokasi yang berbeda, substansinya juga tentu berbeda, penelitian Pratiwi (2014) dikhususkan untuk melihat proses kolaboratif pada kerjasama layanan wisata

(11)

terpadu, sedang penelitian ini akan dilakukan untuk melihat proses penyusunan rencana induk pembangunan pariwisata daerah dan melihat gambaran proses perencanan kolaboratif dalam proses penyusunan RIPPDA Kota Bukittinggi tersebut.

Gambar

Tabel 1. Kontribusi tiap sektor terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto  (PDRB) Kota Bukittinggi Atas Dasar Harga Konstan 2000
Gambar 1. Aturan yang mendasari penyusunan RIPPDA Kabupaten/Kota  Kemudian  dalam  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2014  tentang  Pemerintahan Daerah pasal 12 ayat 3 menyebutkan bahwa pariwisata merupakan  Urusan  Pemerintahan  Pilihan

Referensi

Dokumen terkait

Dana pinjaman ini berasal dari zakat dan infaq beberapa pihak yang digulirkan oleh pengelola kepada masyarakat, atas dasar ini penulis menduga bahwa model

 Aktiva beresiko Aktiva beresiko , merupakan aktiva dimana , merupakan aktiva dimana pengembalian yang akan diterima di masa. pengembalian yang akan diterima

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah model pembelajaran experiential dengan menggunakan materi cahaya dan sifat-sifatnya diterapkan sebagai

Identifikasi jenis-jenis gulma pada pertanaman kedelai di lahan pasang surut.D akhyar Nazemi,. Pengaruh diversitas dan dominansi gulma

Bangunan tenda darurat berupa air inflated structure ini diharapkan dapat mempermudah pemerintah dalam menangani masalah bencana dan akan menjadi model fasilitas

 Disampaikan kepada seluruh jemaat bahwa Minggu, 10 September 2017 akan menggunakan Tata Ibadah dari Majelis Sinode GPIB dalam rangka HUT ke – 58 Pelkat PA.. Hutomo H.S

4 Order Pembelian M erupakan entitas yang memberikan informasi mengenai bahan mentah atau alat makan yang akan di beli ke supplier.. Pembelian Setiap order pembelian di buat

Menetapkan : KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS DIPONEGORO TENTANG PENETAPAN BIAYA SERTA PENGANGKATAN DOSEN PENGAMPU KEGIATAN PENDIDIKAN BIMBINGAN KETERAMPILAN PADA PROGRAM