• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

11 A. Kreativitas

1. Pengertian Kreativitas

Kreativitas didefinisikan berbeda-beda. Sedemikian beragam definisi itu, sehingga kreativitas tergantung bagaimana orang mendefinisikannya karena kreativitas merupakan konsep majemuk dan multidimensional, tidak ada satu definisi yang dapat mewakili pemahaman yang beragam tentang kreativitas. Hal ini disebabkan dua alasan. Pertama, sebagai ‘konstruk hipotesis’, kreativitas merupakan ranah psikologi yang kompleks dan multidimensional yang mengandung tafsiran yang beragam. Kedua, definisi-definisi

kreatifitas, memberikan tekanan yang berbeda-beda,

tergantung dasar teori yang menjadi acuan pembuat definisi. Untuk lebih memahami pengertian kreativitas, maka peneliti mengutip beberapa pendapat tentang definisi kreativitas, diantaranya adalah:

Solso, Maclin & Maclin (2002) mendefinisikan bahwa kreativitas adalah suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang selalu dipandang menurut kegunaannya. Guilford (dalam Ali dan Asrori, 2006) menyatakan bahwa kreativitas mengacu pada kemampuan

(2)

yang menandai ciri-ciri seorang kreatif. Lebih lanjut ia mengemukakan dua cara berpikir, yaitu cara berpikir konvergen dan divergen. Cara berpikir konvergen adalah cara-cara individu dalam memikirkan sesuatu dengan berpandangan bahwa hanya ada satu jawaban yang benar. Sedangkan cara berpikir divergen adalah kemampuan individu untuk mencari berbagai alternatif jawaban terhadap suatu persoalan. Disini Guilford (dalam Munandar, 1999) menekankan bahwa individu yang memiliki kemampuan berpikir kreatif akan lebih banyak memiliki cara-cara berpikir divergen daripada konvergen.

Munandar (1999) mengemukakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya, yaitu semua pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dari lingkungan masyarakat.

Selain itu juga Roger (dalam Munandar, 1998) mendefinisikan kreativitas sebagai proses munculnya hasil-hasil baru ke dalam suatu tindakan. Hasil-hasil-hasil baru itu muncul dari sifat-sifat individu yang unik yang berinteraksi dengan individu lain, pengalaman, maupun keadaan hidupnya. Selanjutnya Torrance (dalam Ali dan Asrori, 2006) mendefinisikan kreativitas sebagai proses kemampuan memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan dalam hidupnya merumuskan hipotesis-hipotesis baru, dan

(3)

mengkomunikasikan hasil-hasilnya serta sedapat mungkin memodifikasi dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan.

Menurut Rhodes (dalam Munandar, 2009) pengertian kreativitas dapat ditinjau dari empat aspek atau yang disebut dengan Four P’s of Creativity, yaitu :

a. Pribadi: kreativitas mencerminkan keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya (Hulbeck dalam Munandar, 2009).

b. Pendorong: kondisi internal dan eksternal yang mendorong kepribadian kreatif. Kondisi internal dapat berupa motivasi internal untuk menghasilkan sesuatu sedangkan kondisi eksternal berasal dari dorongan serta dukungan dari lingkungan.

c. Proses: bersibuk diri secara kreatif yang menunjukkan kelancaran, kelenturan (fleksibelitas), dan orisinalitas dalam berpikir dan berperilaku. Adapun langkah-langkah kreatif menurut Wallas (dalam Munandar, 2009) yaitu meliputi tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.

d. Produk: suatu karya dapat dikatakan kreatif jika merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinal dan bermakna bagi individu dan lingkungannya.

Ke-empat konsep di atas saling terkait satu sama lain, sehingga dalam melihat suatu kreativitas tidak dapat dilepaskan dari satu kesatuan konsep tersebut atau tidak juga

(4)

dapat dilihat hanya dengan satu ‘P’ saja. Empat faktor atau konsep ‘P’ tersebut memiliki fokus pembahasan yang berbeda, namun tetap saling terkait. Selanjutnya Torrence (dalam Munandar, 2009) menjelaskan hubungan keempat aspek tersebut, yaitu dengan berfokus pada proses kreatif, maka jenis pribadi, lingkungan dan produk yang dihasilkan akan sangat mempengaruhi, seperti rasa percaya diri dan kemandirian merupakan salah satu jenis pribadi yang akan mendukung pada proses kreatif, lingkungan yang tidak mengikat pada pemikiran secara divergen, dan produk baru yang mempunyai nilai guna baik dalam bentuk penyelesaian masalah maupun dalam bentuk material.

Munandar (2002) kembali menyatakan bahwa kreativitas sebagai kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberi gagasan-gagasan baru dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Baron (dalam Munandar, 2002) yaitu suatu kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.

Sementara itu dalam pengertian lain menurut Campbell (1986) kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya :

(5)

a. Baru (Novel) : inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan.

b. Berguna (Useful) : lebih enak, mendidik, memecahkan masalah, mengurai hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik atau banyak.

c. Dapat dimengerti (Understanding) : hasil yang amat sama dan dapat dimengerti.

Berdasarkan pendapat-pendapat para pakar kreativitas di atas maka dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mengkombinasikan pengetahuan, menemukan cara-cara baru, membuat ide-ide yang baru dengan tujuan untuk memecahkan masalah dan membuat karya yang dapat bermanfaat.

2. Aspek-aspek Kreativitas

Guilford (dalam Sternberg, 1999) mengemukakan beberapa faktor penting yang merupakan aspek dari kemampuan berpikir kreatif, yaitu:

a. Kelancaran Berpikir (Fluency of Thinking)

Adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir yang perlu ditetapkan adalah kuantitas bukan kualitas. Munandar (1998) mengemukakan bahwa kelancaran berpikir adalah kemampuan untuk mencetuskan banyaknya gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, memberikan banyak cara atau saran untuk

(6)

melakukan berbagai hal dan selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.

b. Keluwesan Berpikir (Flexibility)

Adalah kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda dan mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru. Munandar (1998) mengemukakan bahwa keluwesan berpikir merupakan kemampuan melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau cara yang berbeda-beda, maupun mengubah cara pendekatan atau cara berpikir.

c. Elaborasi Pikiran (Elaboration)

Adalah kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau merinci detil-detil dari suatu objek gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Munandar (1998) mengemukakan bahwa elaborasi pikiran adalah kemampuan untuk memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan, mampu menambahkan atau merinci detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga lebih menarik. Aspek ini juga penting dalam mengungkapkan kreativitas karena orang yang

(7)

kreatif adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide sampai ke hal-hal yang kecil. d. Keaslian Berpikir (Originality)

Adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik

(Unusual) atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan

asli. Munandar (1998), mengemukakan bahwa keaslian berpikir adalah kemampuan untuk memikirkan ide-ide baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, mampu membuat kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat aspek-aspek penting pada kreativitas yaitu (1). kelancaran berpikir (fluency of thinking) berupa kemampuan memberikan banyak gagasan dalam waktu yang relatif singkat, (2). keluwesan berpikir (flexibility) berupa kemampuan melihat berbagai macam kemungkinan penggunaan suatu benda, berbagai macam sudut pandang dan jawaban dari suatu masalah, (3). elaborasi pikiran berupa kemampuan memperkaya dan mengembangkan ide-ide sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya. dan (4). keaslian berpikir (origanility) yang berupa kemampuan memberikan jawaban yang tak terduga dan tak terpikirkan oleh orang pada umumnya

Dalam penelitian ini untuk mengukur kreativitas pada siswa Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dan Sekolah Menengah Pertama 10 Salatiga, peneliti menggunakan dua

(8)

skala, yaitu TKF (Tes Kreativitas Figural) yang diadaptasi oleh Munandar (1977) dari Torrance Test of Creative Thinking

(Circle Test) dan TKV (Tes Kreativitas Verbal) yang dibuat

oleh Munandar (1977) yang berlandaskan model struktur intelek Guildford.

3. Proses dan Tahap Kreativitas.

Pada dasarnya proses kreatif berlangsung sangat subyektif, misterius, dan personal. Meskipun proses kreatif mempunyai tahap-tahap tertentu, tidaklah mudah mengidentifikasi secara persis pada tahap manakah suatu proses kreatif seseorang sedang berada. Guilford (dalam Munandar, 1985) mengajukan model struktur intelektual yang mengacu pada proses kreatif. Teori ini menjelaskan tentang tugas-tugas yang melibatkan produksi yang divergen. Produksi divergen ini merupakan kemampuan dalam menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah. Wallas (Munandar 2009), mengemukakan pendapatnya tentang proses kreatif bahwa proses kreatif terjadi melalui empat tahap, yakni:

a. Preparation / persiapan : persiapan dengan menyelidiki

persoalan yang akan dipecahkan.

b. Incubation / inkubasi : pengeraman terhadap persoalan itu

untuk suatu jangka waktu.

c. Illumination / iluminasi : penyinaran dengan lahirnya

(9)

d. Verification / verifikasi : pengujian atau pengembangan terhadap gagasan baru itu sehingga benar-benar terlaksana.

Selanjutnya Walgito (2004) mengemukakan bahwa dalam berpikir kreatif ada beberapa tingkatan sampai seseorang memperoleh sesuatu hal yang baru atau pemecahan masalah. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:

a. Persiapan: tingkatan seseorang memformulasikan masalah dan mengumpulkan fakta-fakta atau materi yang dipandang berguna dalam memperoleh pemecahan baru.

b. Inkubasi: merupakan tahap berlangsungnya masalah dalam jiwa seseorang karena belum menemukan pemecahan terhadap permasalahan.

c. Pemecahan / iluminasi: tahap mendapatkan pemecahan masalah.

d. Evaluasi: tahap pengecekan apakah pemecahan yang diperoleh sudah sesuai atau tidak.

e. Revisi: tahap revisi terhadap pemecahan yang diperoleh. Sedangkan Timpe (1992) mengemukakan ada empat sifat utama yang membuat seseorang anak menjadi kreatif, yaitu: kepekaan terhadap masalah, aliran gagasan, keaslian dan fleksibilitas.

(10)

a. Kepekaan terhadap masalah

Kepekaan terhadap masalah merupakan kemampuan anak mengenali sebuah masalah yang ada, ataupun dapat menghapuskan kesalahpahaman, kesalahan konsepsi, kekurangan fakta, dan penghalang lain sehingga anak mampu mengenali masalah yang sesungguhnya, faktor-faktor penyebabnya dan memahami akibat-akibat yang akan dirasakan.

b. Aliran gagasan

Anak dapat mengumpulkan sejumlah besar pemecahan alternatif terhadap suatu masalah tertentu dalam waktu tertentu . Makin banyak gagasan yang anak miliki, maka semakin memungkinkan anak menemukan suatu pemecahan terhadap masalah yang sedang dihadapinya. c. Keaslian

Anak selalu terdorong untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dalam segala hal dan menemukan konsep-konsep baru untuk belajar setelah mengevaluasi konsep-konsep lama yang sudah terlihat usang dan tidak lagi efektif.

d. Fleksibilitas

Kesediaan anak untuk menggunakan berbagai macam sudut pandang, perspektif, pendekatan atau paradigma dalam memecahkan suatu masalah. Artinya anak tidak hanya terpaksa pada satu metode saja, tetapi anak mencoba melihat dan memecahkan masalah dari pendekatan-pendekatan lain.

(11)

4. Faktor-Faktor yang memengaruhi kreativitas

Kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu dan lingkungannya. Seseorang memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada, dengan demikian baik perubahan di dalam individu maupun di dalam lingkungan dapat menunjang atau menghambat upaya kreatif (Munandar, 2009). Hurlock (1993) menegaskan bahwa semua anak mempunyai potensi untuk kreatif. Kreativitas tersebut berbeda pada setiap individu, hal ini menunjukkan bahwa untuk mengembangkan pemikiran kreatif perlu rangsangan dan kesempatan dari lingkungan. Dimana lingkungan yang mengandung keamanan dan kebebasan psikologis, maka kreativitas akan muncul dari kualitas dan keunikan individu yang memungkinkan terciptanya hal-hal yang baru.

Menurut Guilford (dalam Munandar, 2009) bahwa faktor yang mempengaruhi pemikiran kreatif pada individu adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan aptitude dan

non-aptitude traits. Secara aptitude berpikir kreatif meliputi

kelancaran, kelenturan dan orisinalitas. Ini ditunjukkan dengan kemampuan berpikir secara divergen. Sedangkan secara

non-aptitude atau afektif meliputi kepercayaan diri, keuletan,

kemandirian, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Munandar (dalam Ali dan Asrori, 2006) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas adalah usia, tingkat pendidikan orang tua, tersedianya fasilitas dan penggunaan waktu luang terhadap kegiatan kreatif, dan lain sebagainya.

(12)

Rogers (dalam Munandar, 1999) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi kreativitas siswa, yaitu:

a. Faktor Internal

Yaitu berasal dari individu itu sendiri, yang meliputi keterbukaan terhadap pengalaman, terhadap rangsangan-rangsangan dari luar atau rangsangan-rangsangan dari dalam, kemampuan untuk menilai diri produk-produk ciptaannya, keterbukaan terhadap kritik dari orang lain, kemampuan untuk bermain atau bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk, konsep-konsep serta membentuk kombinasi-kombinasi baru berdasarkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya.

b. Faktor eksternal

Yaitu berasal dari luar individu yang bersangkutan, yang meliputi keamanan dan kebebasan psikologis, sarana atau fasilitas, toleransi terhadap pandangan bagi orang kreatif, adanya waktu bebas yang cukup dan kesempatan untuk menyendiri, dorongan-dorongan untuk mengembangkan fantasi, kognisi dan inisiatif serta penerimaan dan penghargaan terhadap individu.

Munandar (2009) mengemukakan bahwa lingkungan yang dapat memengaruhi kreativitas individu dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

(13)

B. Jalur Pendidikan

1. Pengertian Jalur Pendidikan

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mengakui ada 3 jalur pendidikan dan mengacu pada definisi yang dikemukanan oleh Coombs (dalam Abdulhak, 2012), yaitu:

a. Formal

Adalah sistem pendidikan yang berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai universitas dan yang setaraf, termasuk kegiatan belajar yang berorientasi akademik dan umum, macam-macam spesialisasi dan latihan tehnik serta latihan profesional. b. Informal

Adalah proses yang berlangsung seumur hidup, yang dalam proses itu setiap orang memperoleh nilai, sikap, ketrampilan, dan pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidup sehari-hari dan pengaruh sumber-sumber pendidikan dalam lingkungan hidupnya, seperti keluarga, teman sepermainan, tetangga, pekerjaan, perpustakaan, pasar, media massa, dan sebagainya.. c. Nonformal

Adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisasikan diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara sengaja untuk melayani peserta didik tertentu guna mencapai tujuan belajarnya.

(14)

2. Pengertian Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Menengah Pertama adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal maupun nonformal setelah lulus dari sekolah dasar.

a. Jalur Pendidikan Nonformal (Qaryah Thayyibah)

Sekolah Nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang bisa dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

b. Jalur Pendidikan Formal (SMP 10 Salatiga)

Sekolah Formal adalah jalur pendidikan pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi.

3. Kondisi Sekolah

a. Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah)

Menurut Abhiyoga (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa metode pembelajaran komunitas ini adalah :

1) Sebagai sebuah kelompok belajar yang menitik-beratkan sistem pembelajaran pada minat anak, proses pembelajaran yang ada pastinya akan jauh dari istilah “paksaan”.

2) Sistem pembelajaran akan terjadi secara alami sesuai keinginan dari sang anak yang telah disepakati bersama, yang terbentuk dalam forum-forum.

3) Kegiatan belajar KB QT juga tak berlangsung formal, dalam belajar, jika anggota kelompok belajar merasa

(15)

bosan atau jenuh dengan suasana yang ada dalam ruangan, mereka dapat mengusulkan untuk belajar di alam terbuka, tergantung kesepakatan bersama. 4) Tidak seperti sekolah pada umumnya, KB QT kurang

setuju dengan istilah “guru”, yang seakan-akan menjadi sumber utama proses belajar. Guru di KB QT umum disebut sebagai pendamping yang memiliki kapasitas selevel dengan anggota belajar yang lain. Tidak ada anggota komunitas yang menjadi pusat sumber pengetahuan dan disebut “guru”. Semuanya sama-sama belajar satu sama lain sesuai dengan konsep “long life education”

5) Dalam proses belajarnya, KB QT tak memiliki system ranking atau sistem sejenis yang dapat menimbulkan “gab” antara satu anak dengan anak yang lain. KB QT akan menganggap bahwa semua anak adalah unggulan dan semua anak rangking 1. Dengan begitu tak ada “gab” atau level-level artifisial yang terkadang justru kurang berkenan atau bahkan menjadi sebuah permasalahan baru yang muncul dalam hubungan atau interaksi antara anggota belajar. 6) Sistem Evaluasi Berpusat pada Subjek Didik yaitu puncak keberhasilan pembelajaran adalah ketika si subjek didik menemukan dirinya, berkemampuan mengevaluasi diri sehingga tahu persis potensi yang dimilikinya, dan berikut mengembangkannya sehingga bermanfaat bagi yang lain

(16)

Menurut Abhiyoga (2011) Sebagai sebuah kelompok belajar yang menitikberatkan sistem pembelajaran pada minat anak, proses pembelajaran yang ada pastinya akan jauh dari istilah “paksaan”. Bukan oleh guru, sistem pembelajaran akan terjadi secara alami sesuai keinginan dari sang anak yang telah disepakati bersama, yang terbentuk dalam forum-forum. Kegiatan belajar KB QT juga tak berlangsung formal. Dalam belajar, jika anggota kelompok belajar merasa bosan atau jenuh dengan suasana yang ada dalam ruangan, mereka dapat mengusulkan untuk belajar di alam terbuka, tergantung kesepakatan bersama.

Tak seperti sekolah regular lain yang menggunakan seragam sebagai identitas seorang pelajar, KB QT tidak memberlakukannya. Seragam dipandang sebagai sebuah penyeragaman yang menjemukan. Dengan duduk melingkar tanpa seragam, keadaan belajar akan terasa lebih santai dan memposisikan anggota belajar lebih nyaman berinteraksi satu sama lain.

Pada proses pembelajaran yang ada, KB QT lebih mengedepankan proses produksi daripada konsumsi pengetahuan. Anggota komunitas belajar QT sebisa mungkin dimotivasi untuk menghasilkan karya-karya yang mereka produksi, berbekal landasan-landasan mendasar yang muncul atau pernah mereka bahas dan pelajari dalam forum-forum yang telah terbentuk. Disinilah professional skill setiap individu akan

(17)

digembleng. Telah disepakati bahwa karya-karya yang telah terwujud nyata ini akan mendapatkan point plus yang lebih ketimbang jawaban-jawaban hafalan yang diisikan pada lembar jawab tes, yang nantinya bermuara pada selembar kertas ijazah Negara.

b. Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga)

Sekolah Formal memakai jalur pendidikan formal dalam sistem dan kondisi sekolahnya yang diuraikan oleh Joesoef (2008) bahwa :

1) Selalu dibagi atas jenjang yang memiliki hierarkis 2) Waktu penyampaian diprogram lebih panjang atau

lebih lama.

3) Usia siswa disesuatu jenjang relatif homogen, khususnya jenjang - jenjang permulaan

4) Para siswa umumnya berorientasi studi untuk jangka waktu yang relatif lama, kurang berorientasi pada materi program yang bersifat praktis, dan kurang berorientasi ke arah cepat kerja.

5) Materi pelajaran pada umumnya lebih banyak bersifat akademis, dan umum.

6) Merupakan response dari kebutuhan umum dan relatif jangka panjang.

Menurut buku Rancangan Proses Pembelajaran tahun 2011/2012 kelas 7 yang diambil satu kali pertemuan dalam 13 mata pelajaran dapat dilihat bahwa metode pembelajaran yang dipakai meliputi :

(18)

No Metode Pembelajaran Prosentase 1 Tanya Jawab 19,07% 2 Ceramah 14,31% 3 CTL 9,52% 4 Pemodelan 9,52% 5 Demonstrasi 9,52% 6 Diskusi 7,14% 7 Pemberian Tugas 7,14% 8 Inkuiri 4,76% 9 Unjuk Kerja 2,38%

10 Three Pass Technique 2,38%

11 Observasi 2,38%

12 Life Skill 2,38%

13 Inklusive 2,38%

14 Part and Whole 2,38%

15 Reciprocal 2,38%

16 Cooperative Learning 2,38%

Dari beberapa metode pembelajaran yang dipakai oleh sekolah menengah pertama 10 Salatiga, dapat dilihat bahwa prosentase terbesar yang dipakai pada setiap mata pelajaran adalah dengan cara ceramah dan tanya jawab.

Yamin (2012) memberikan pandangan tentang kondisi sekolah formal bahwa sekolah tersebut memiliki regulasi yang padat seperti seragam, sepatu, buku dan segala macam yang sudah ditentukan setiap hari tertentu kemudian juga harus dibawa dan jangan sampai ada yang tertinggal. Masuk sekolah harus tertib. Dalam sekolah, jangan ada yang membuat kegaduhan atau apa pun yang dapat menciptakan hiruk pikuk sebab ini tidak akan menjadikan proses pembelajaran berjalan dengan sedemikian baik. Yang lebih penting lagi, ketika jam

(19)

terakhir sudah selesai, sekolah atau jam sekolah sudah bubar, maka semua siswa harus segera pulang ke rumah masing-masing. Jangan ada yang masih keluyuran dalam sekolah dan begitu seterusnya. Persoalannya adalah terkait aturan yang dibuat sekolah juga semakin rumit dan bertambah rumit.

4. Siswa

a. Pengertian Siswa

Siswa adalah peserta didik pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pada tahap ini, menurut Erickson (dakam Hanum, 2000) siswa memasuki tahap awal dari perkembangan remaja. Siswa adalah subjek atau pribadi yang unik (khas untuk dirinya) sehingga perlu adanya peraturan program belajar yang selaras dengan kemampuan dasar sikap siswa (Samana, 1992).

Menurut Monks (dalam Hanum, 2000), pada umumnya siswa adalah remaja masih belajar di sekolah menengah atau perguruan tinggi. Rata-rata remaja menyelesaikan sekolah lanjutan pada usia kurang lebih 18 tahun.

b. Pengertian Siswa Sekolah Menengah Pertama

Siswa sekolah menengah pertama adalah individu yang sedang menjalani pendidikan di sekolah menengah pertama. Menurut Sulaeman (1995), siswa SMP secara kronologis berusia antara 12-15 tahun. Batasan usia remaja menurut Monks (dalam Hanum, 2000) adalah

(20)

antara 12-21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan, 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir.

C. Perbedaan Tingkat Kreativitas antara pendidikan nonformal (Qaryah Thayyibah) dan pendidikan formal (SMP 10 Salatiga)

Program pendidikan di Qaryah Thayyibah sudah semakin meluas dan cukup dikenal, termasuk di lingkungan lokal maupun interlokal. Banyak para pendidik dan tokoh masyarakat menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah menurut Bahruddin (2006) Qaryah Thayyibah dapat membebaskan siswa untuk belajar apa saja sesuai minat dan hal-hal yang disukainya terlebih dahulu dalam mereka melakukan proses belajar. Sesekali mereka berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, seperti persawahan, taman burung, perkebunan yang berisi beraneka ragam makhluk hidup, seperti persawahan, pasar, dan tempat tempat lain yang dapat dijadikan sebagai sarana belajar, menurut Rogers (dalam Munandar,1999) sarana dan fasilitas belajar yang begitu nyata akan mempengaruhi kreativitas seorang siswa.

Feldhusen dan Treffinger (dalam Fasko, 2001) juga menyatakan bahwa menyediakan sarana untuk bereksplorasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kreativitas. Hal ini berbeda dengan konsep sekolah formal seperti yang sangat komplek. Belajar mengajar di sekolah formal seperti SMP 10 Salatiga berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana guru

(21)

harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan, melalui proses belajar mengajar di dalam kelas melalui ceramah ataupun tanya jawab. Proses belajar mengajar dengan tanya jawab dan ceramah menurut Hisyam (2001) dan Sugandi (2006) dapat menekan kreativitas siswa. Selain itu, siswa yang belajar di sekolah formal memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda dan harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan pihak sekolah sehingga menyebabkan keterbatasan bagi ruang gerak siswa (Suryadi dan Hartilaar,1993). Keterbatasan tersebut akan membuat kreativitas anak tidak berkembang (Munandar, 1999).

Dalam mendidik, baik Qaryah Thayyibah maupun sekolah formal seperti SMP 10 Salatiga, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Pengelolaan di sekolah formal seperti pengaturan dan penentuan kurikulum serta materi ajarnya, dan kemudian di dalam sekolah formal juga telah mengatur jadwal belajar dan menentukan seragam untuk seluruh siswa. Menurut Feldhusen dan Treffinger (dalam Fasko, 2001) dalam pengaturan dan penentuan materi ajar serta jadwal yang ketat tidak akan memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan sifat eksploratif yang cenderung berpengaruh pada kreativitas siswa. Sementara pengelolaan pada Qaryah Thayyibah diarahkan pada keinginan siswa, kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh siswa (Bahruddin, 2006). Pemberian kebebasan tersebut akan mempengaruhi sisi psikologis siswa dan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kreativitas (Munandar, 1999).

(22)

Qaryah Thayyibah juga memiliki jadwal belajar yang fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan pendamping, menyediakan pendampingan oleh guru dalam membangun dan menguatkan sebuah ide/gagasan adalah salah satu cara meningkatkan kreativitas (Treffinger dalam Fasko, 2001).

Menurut Mulyasa (dalam Rusman, 2011), pembelajaran menyenangkan merupakan suatu proses pembelajaran yang didalamnya terdapat suatu hubungan yang kuat antara guru dan siswa, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Pembelajaran menyenangkan adalah adanya pola hubungan baik antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran. Guru memosisikan diri sebagai mitra belajar siswa, bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan guru belajar dari siswanya, kondisi seperti ini juga terjadi di Qaryah Thayyibah. Dalam hal ini perlu diciptakan suasana yang demokratis dan tidak ada beban, baik guru maupun siswa dalam melakukan proses pembelajaran. Jadwal belajar yang ketat seperti halnya di sekolah formal, kurang mampu mengoptimalkan kepentingan ini. Kemungkinan, pada saat pembelajaran berlangsung, siswa dan juga gurunya belum memiliki minat untuk belajar, efeknya proses belajar mengajar menjadi tidak efektif. Makna dari pelajarannya pun kemungkinan tidak dapat diserap, sehingga proses kreativitas akan terhambat. Namun, di Qaryah Thayyibah dengan membebaskan maka siswa ketika belajar tidak adanya unsur paksaan atau tertekan sehingga memberikan kebebasan untuk bereksplorasi dan merangsang kreativitas siswa (Munandar, 1999) serta pendamping juga ingin belajar dari siswanya ketika proses belajar mengajar berlangsung.

(23)

Sementara itu, hal yang dapat menunjang kreativitas menurut Munandar (1985) adalah menciptakan iklim yang menunjang pengembangan kreativitas dan mendorong anak merasa tertarik dan tertantang untuk bersibuk diri secara kreatif. Blair, Jones, Simpson (1975) mengatakan bahwa anak akan kreatif bila diberi kesempatan untuk menyentuh, menggunakan peralatan-peralatan, dan mengubah-ubah bentuk objek. Setiap sekolah baik sekolah formal seperti SMP 10 Salatiga maupun sekolah nonformal seperti Qaryah Thayyibah pasti pernah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyentuh, menggunakan peralatan, dan mengubah-ubah bentuk objek dalam setiap pelajarannya, tetapi hal yang membedakan dari keduanya adalah frekuensi/seberapa sering dimana mereka selaku sekolah yang memfasilitasi peserta didik untuk melakukan kegiatan tersebut. Hal ini memberi implikasi bahwa apa pun jenis kegiatan belajar hendaknya menyediakan lingkungan dan sarana yang dapat mengembangkan sifat eksploratif dan rasa ingin tahu dari peserta didiknya. Kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan lebih mendorong perkembangan kreativitas. Siswa-siswa yang mengikuti di komunitas belajar

Qaryah Thayyibah diperkirakan memiliki kreativitas yang berbeda

dibandingkan dengan siswa-siswa yang belajar di sekolah formal seperti SMP 10 Salatiga. Siswa di Qaryah Thayyibah lebih fleksibel dalam menerima maupun mengikuti pendidikan, tidak kaku dan tidak terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal. Pendidikan Qaryah Thayyibah lebih kepada upaya pengembangan kreatif anak-anak itu sendiri, sehingga tercipta anak-anak yang senang belajar, menjalankan aktivitas pembelajaran dengan

(24)

motivasi internal yang mandiri, kreatif, serta mampu menguasai materi pelajaran secara lebih efektif.

Dengan melihat adanya perbedaan dalam sistem pembelajaran dan kondisi sekolah maka jika diberikan alat tes berupa tes kreativitas figural dan kreativitas verbal akan menghasilkan skor yang berbeda. Dengan demikian, kreativitas siswa Qaryah Thayyibah belum tentu sama dengan kreativitas yang dimiliki oleh siswa di sekolah formal.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukan di atas, maka dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada perbedaan kreativitas antara siswa jalur pendidikan nonformal

(Qaryah Thayyibah) dan siswa jalur pendidikan formal (SMP 10

Salatiga) dengan rata-rata tingkat kreativitas lebih tinggi pada jalur pendidikan nonformal (Qaryah Thayyibah)”.

E. Hipotesis Statistik

Hipotesis statistik dalam penelitian ini antara lain :

Ho : µ1 = µ2 Tidak ada perbedaan yang signifikan antara

antara siswa jalur pendidikan nonformal Qaryah

Thayyibah dan siswa jalur pendidikan formal

SMP 10 Salatiga

H1 : µ1 ≠ µ2 Ada perbedaan yang signifikan antara antara

siswa jalur pendidikan nonformal Qaryah

Thayyibah dan siswa jalur pendidikan formal

Referensi

Dokumen terkait

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Sebelumnya telah dilakukan penelitian tentang eksplorasi dan uji efektivitas cendawan antagonis yang berasal dari rizosfer tanaman padi terhadap pertumbuhan

Uji distribusi normal adalah uji untuk mengukur apakah data kita memiliki distribusi normal sehingga dapat dipakai dalam statistik parametrik.. digunakan adalam model

Dapat memberikan penjelasan hubungan antara status gizi dengan usia Menarche pada remaja, sehingga dokter dapat mengkaitkan kejadian menstruasi yang berbeda-beda

Hal lain yang juga perlu dipertim- bangkan untuk dimasukkan dalam pertim- bangan kebijakan pengembangan perikan- an di Kabupaten Talaud adalah perikanan tangkap yang

Adapun hambatan-hambatan yang ditemui oleh Reserse Kriminal Polres Tulang Bawang dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan : dapat ditinjau dari faktor subtansi

a) Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang

ODHA yakni informan adalah seorang waria yang sudah cukup lama menderita HIV/AIDS sebagai indikasi bahwa waria ODHA tersebut sudah mampu bertahan hidup dengan infeksi