• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENGOLAHAN TAPAK PERMUKIMAN DI LAHAN RAWA, BANJARMASIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP PENGOLAHAN TAPAK PERMUKIMAN DI LAHAN RAWA, BANJARMASIN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

96 LANTING Journal of Architecture, Volume 1, Nomer 2, Agustus 2012, Halaman 96 -105 ISSN 2089-8916

KONSEP PENGOLAHAN TAPAK PERMUKIMAN

DI LAHAN RAWA, BANJARMASIN

Dahliani

Dosen Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Lambung Mangkurat lily.unlambjm@gmail.com

Abstrak

Kota Banjarmasin berada di bawah permukaan laut yang dipengaruhi oleh pasang naik dan pasang surut (pasut) air laut. Bentang alam kota yang relatif landai ini menyebabkan terbentuknya kawasan lahan rawa dan terdapat ratusan saluran air baik alami dan buatan berupa sungai dan terusan (kanal). Pada saat ini, pertumbuhan kota Banjarmasin bergeser dari berbasis sungai menjadi berbasis daratan, sehingga karakter lokal mulai lenyap dan tidak memperhatikan kondisi lahannya. Penelitian ini dilakukan dengan metode historis dan deskriptif dengan mendasarkan kajian terhadap perkembangan permukiman di Banjarmasin.Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan permukiman sebagian besar diurug, kecuali pada area bangunan yang masih menggunakan struktur panggung, sehingga mengurangi area resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka karakteristik lahan rawa di Banjarmasin akan hilang. Ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Kondisi lingkungan kota Banjarmasin yang berupa lahan rawa dan terdapat sungai-sungai harus menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam setiap perencanaan.

Kata kunci : tapak permukiman, lahan rawa

Abstract

Banjarmasin is located below sea level and it is influenced by tides and tidal of sea water. It has relatively gentle slope which led to the formation of wetlands and there are hundreds of waterways both natural and man-made form of rivers and canals. Nowadays, the growth of the city has shifted from water-based to land-based development so that the local character starts to disappear and it does not pay attention to the condition of the land. This research was conducted with historical and descriptive method by basing the study on the development of settlements in Banjarmasin. The result of this research shows that the majority of residential sites are filled with soil – except in the areas of houses on stilts – thus reducing the water catchment area. If this condition continues, then the characteristics of wetlands in Banjarmasin will disappear. It is a challenge that must be resolved. Environmental conditions in the form of Banjarmasin wetlands and rivers should become a top priority to be considered in the city planning.

Keywords: residential sites, wetlands

PENDAHULUAN

Banjarmasin berada di pulau Kalimantan yang yang secara geologis dibentuk oleh endapan alluvial dari sungai Barito dan sungai Martapura. Kota Banjarmasin berjarak sekitar 23 km dari pantai dan berada di dataran rendah pada elevasi rata-rata minus 16 cm di bawah permukaan laut, serta dipengaruhi oleh pasang naik dan pasang surut (pasut) air laut. Bentang alam kota yang relatif landai ini menyebabkan terbentuknya kawasan lahan basah berupa rawa yaitu rawa pasang surut dan terdapat ratusan saluran air baik alami dan buatan berupa sungai dan terusan (kanal).

Pada saat ini, pertumbuhan kota Banjarmasin yang ditinjau dari pola permukimannya bergeser dari berbasis sungai menjadi berbasis daratan, sehingga karakter lokal mulai lenyap dan tidak memperhatikan kondisi lahannya. Banyak tumbuh perumahan yang tidak memperhatikan lahan berupa rawa. Seluruh lahan diurug, kecuali pada area bangunan yang masih menggunakan struktur panggung, sehingga mengurangi area resapan air. Kanal-kanal semakin sempit akibat pelebaran jalan darat dan tumbuhnya permukiman di bantaran sungai. Kondisi ini mengakibatkan pasang cepat naik menggenangi area permukiman, masuknya air laut lebih jauh ke daratan (infiltrasi air

(2)

97 laut) dan banjir pada saat hujan lebat dan air

pasang.

Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka karakteristik Banjarmasin sebagai kota seribu sungai akan hilang dan lama kelamaan akan tenggelam. Ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan, sehingga perlu adanya pengolahan tapak yang memperhatikan lahan rawa dalam setiap perencanaan tapak permukimannya.

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Morfologi Kota Banjarmasin

Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura, sehingga secara umum kondisi morfologi Banjarmasin didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berada di dataran rendah. Daerah ini terletak di bawah permukaan air laut rata-rata 0,16 m (dpl) dengan tingkat kemiringan lereng 0%-2%. Kondisi ini sangat menunjang bagi pengembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Kota Banjarmasin merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air.

Kota Banjarmasin berada di cekungan Barito dan berkembang di atas delta yang secara geologis dibentuk oleh endapan aluvial dari sungai Barito dan Martapura. Kota ini memiliki bentang alam yang relatif landai sehingga terbentuk kawasan lahan basah berupa rawa. Selain itu terdapat lebih dari seratus saluran drainase baik alami maupun buatan, berupa sungai berkelok (meander) beserta anak-anak sungainya dan terusan (kanal) (Pramukanto, 2010). Berdasarkan historis, orang Banjar membuat tiga macam kanal sesuai besaran dan fungsinya. Saluran utama disebut anjir, berfungsi untuk menghubungkan dua sungai besar. Kedalaman anjir rata-rata 1 meter hingga 2 meter dengan panjang saluran mencapai 100 sampai 2.000 meter. Saluran sekunder disebut handil, yang dikelola secara kolektif dan lebih berguna untuk mengairi daerah pertanian. Saluran terakhir yang paling kecil (tersier) disebut saka, yang digunakan untuk

mengairi lahan milik pribadi atau keluarga (Arif, 2008)

Berdasarkan historisnya, jalan sebagai transportasi darat, dibentuk dari hasil tanah timbunan dengan menggali tanah di kiri kanan jalan, area bekas galian berfungsi sebagai saluran drainase daerah sekitar jalan tersebut (Chandrawidjaja, 2003), sehingga masih ada area aliran air saat pasang naik. Tapi pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 70-an, jalan darat mulai dibangun dengan menimbun rawa-rawa. Orientasi pembangunan kota ke darat menjadikan kanal-kanal terabaikan, lahan yang semula berupa rawa, areal pertanian dan persawahan dengan cepat berubah menjadi komplek perumahan, perkantoran, pertokoan serta sarana jalan dan fasilitas umum lainnya. Dan, mulai tahun 90-an terjadi penutupan besar-besaran sungai dan kanal di Kota Banjarmasin (Arif, 2008). Dari sisi tata ruang, hilangnya kanal-kanal menyebabkan hancurnya sistem tata air di Banjarmasin saat ini. Berdasarkan proyeksi kenaikan muka laut di wilayah Banjarmasin, tinggi muka laut mencapai 0,37 m untuk tahun 2010, 0,48 m untuk tahun 2050 dan 0,934 m untuk tahun 2100 (Susandi, 2008). Banjir kerap kali menggenangi Banjarmasin, suatu hal yang tak pernah terjadi pada masa lalu.

Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut Dalam pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua, Bogor istilah lahan rawa dibedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau rawa pedalaman (nontidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993 menyatakan rawa dibagi dalam tiga kategori, yaitu (10 rawa pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak. Lahan rawa pasang surut umumnya mempunyai topografi datar dan pengaruh luapan pasang surut air laut yang lebih atau sama kuat dengan luapan air sungai, yang bersifat tetap menurut peredaran bulan (Noor, 2007). Genangan di lahan rawa pasang surut hanya 1-2 meter dan berlangsung 3-4 jam, yaitu saat terjadi pasang besar (pasang purnama), kecuali daerah pinggir sungai (radius 60-100 km dari pinggir sungai). Pada kawasan rawa

(3)

98 pasang surut, luapan pasang terjadi secara

berkala akibat pengaruh daya tarik antara benda-benda langit; bulan, matahari dan bumi. Dengan demikian, turun naiknya muka air/air tanah pada rawa pasang surut sudah tentu dengan siklus yang tetap.

Berdasarkan historisnya, pengaruh pasang surut diperluas sampai ke pedalaman dengan cara menggali saluran-saluran, dengan harapan air sungai bisa keluar masuk rawa melalui saluran tersebut. Keberadaan saluran-saluran ini, selain menambah subur daerah pedalaman, juga menambah area resapan air akibat pasang naik.

Manajemen air merupakan faktor penting dalam pembangunan di daerah rawa (Chandrawidjaja, 2003). Dikenal dua tingkatan manajemen air, yaitu :

1. Manajemen air makro, berfungsi menghubungkan tata air didalam kawasan dengan tata air disekitarnya 2. Manajemen air mikro, berfungsi

menghubungkan tata air di lahan perumahan dengan system jaringan salurannya.

Berdasarkan manajemen air ini , maka dapat disimpulkan bahwa untuk daerah rawa pasang surut pengaliran air yang paling penting.

Pola dan Tapak Permukiman di

Banjarmasin

Pola permukiman merupakan lingkup penyebaran daerah tempat tinggal penduduk menurut keadaan geografi (fisik) tertentu. Untuk pertumbuhan kota Banjarmasin, permukiman penduduk pada awalnya terkonsentrasi pada tepian sungai, terutama daerah aliran sungai Barito dan anak sungainya. Di wilayah tersebut banyak terdapat kantong permukiman sampai berdirinya pusat kerajaan (Saleh, 1981; Atmojo, 2002). Permukiman penduduk memanjang di tepian sungai membentuk pola linier dengan aliran sungai sebagai poros. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, dan di depan rumah biasanya terdapat dermaga yang dipakai untuk tempat menyandarkan atau mengikat alat transportasi berupa perahu (Daud, 1997). Pola permukiman seperti ini sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, karena masih mempertimbangkan sungai sebagai potensi alam. Tetapi pada

perkembangan permukiman berikutnya, banyak rumah tumbuh di bantaran sungai dengan orientasi ke jalan dan membelakangi sungai sebagai akibat dari semakin berkembangnya jalan raya sebagai transportasi darat.

Arsitektur rumah tradisional yang berlokasi di tepian sungai menggunakan konstruksi rumah panggung dari bahan kayu ulin dan pancangan kayu galam (Huzairin, 2004). Tradisi ini berlanjut sampai ke daerah daratan yang berair dan berawa menyesuaikan dengan kondisi geomorfologis kota Banjarmasin. Sehingga di bagian bawah bangunan masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan penampungan air. Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan (rawa) yang menyesuaikan dengan tapak permukimannya. Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat (Muhammad, 2007).

Pada permukiman modern, praktek pembangunan dengan mengurug rawa merupakan trend. Akibat dari perilaku membangun ini, maka rawa yang berfungsi sebagai area resapan dan penampungan air semakin menyempit. Resiko banjir pada permukiman modern lebih besar dibandingkan dengan permukiman tradisional (Tharziansyah, 2002).

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian historis yang menekankan pada penafsiran gejala pada masa lampau guna memahami kondisi sekarang dan penelitian deskriptif yang menekankan pada gejala-gejala yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan. Dengan metode penelitian ini diharapkan dapat membuat konsep pengolahan tapak permukiman di lahan rawa, Banjarmasin. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan survei langsung ke lokasi pengamatan dan wawancara. Data yang didapat dianalisa secara kualitatif.. Pengungkapan pengolahan tapak permukiman dilakukan secara grafis dan dipaparkan secara deskriptif.

(4)

99 HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Tapak Permukiman Lahan rawa di Banjarmasin termasuk rawa pasang surut. Sungai menjadi wadah aliran air agar pada saat pasang naik, air tidak masuk ke daratan. Kanal-kanal (sungai buatan) yang menghubungkan dua buah sungai utama dibuat untuk mempermudah dan mempersingkat transportasi air pada waktu dulu juga digunakan untuk mengairi area pertanian. Sehingga di Banjarmasin banyak terdapat sungai untuk antisipasi banjir pada saat pasang tinggi dan saat hujan lebat.

Berdasarkan historis, permukiman banyak tumbuh di tepi sungai karena kemudahan akses transportasi air. Pada perkembangan selanjutnya, permukiman lebih mengarah ke daratan karena dibentuknya jalan-jalan darat. Transportasi air mulai ditinggalkan,sedangkan transportasi darat semakin berkembang. Kondisi tapak juga mengalami perubahan. Pada mulanya banyak lahan rawa yang berhubungan dengan saluran air, tetapi sekarang ini lahan rawa mulai berkurang karena bertambah luasnya area permukiman. Hal ini dapat mengurangi area resapan air dan air tidak dapat mengalir dengan leluasa.

Untuk perkembangan selanjutnya, permukiman tumbuh di sepanjang jalur darat ini baik formal maupun informal. Permukiman informal biasanya tumbuh di sepanjang sungai, sedangkan permukiman formal tumbuh di area pedalaman (lebih jauh dari sungai). Untuk permukiman yang posisinya dekat dengan sungai, pada saat pasang naik mudah digenangi air tetapi cepat juga surutnya karena air cepat mengalir. Berbeda dengan permukiman yang jauh dari sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan lebih lama karena air sulit untuk keluar karena tidak ada area pengaliran.

Perkembangan tapak permukiman dibedakan menjadi dua kawasan, yaitu (a) tapak permukiman yang berada di tepian (dekat) sungai dan (b) tapak permukiman pedalaman (jauh dari sungai).

a .Tapak Permukiman Tepian Sungai Perkembangan tapak permukiman tepian sungai terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1. Berdasarkan historis, permukiman tumbuh di sepanjang tepian sungai dengan orientasi ke sungai. Setiap rumah memiliki dermaga sebagai tempat menambatkan perahu, sebagai wadah “batang” untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi, cuci dan mengambil air untuk keperluan di rumah. Jarak antara rumah dengan sungai + 30 meter, terdapat titian dari kayu ulin dengan struktur panggung sebagai penghubung rumah dengan dermaga. Antara dermaga dan titian terdapat urugan tanah yang dijadikan sebagai tanggul (kemudian berkembang fungsinya menjadi jalan darat). Tanggul ini biasanya diurug dengan cara mengeruk sungai saat musim kemarau (sungai kering) sehingga mengurangi endapan lumpur yang dapat membuat sungai dangkal. Rumah menggunakan struktur panggung dengan tiang ulin dan pondasi kacapuri atau pancangan kayu galam. Jarak antar rumah lebih dari 20 meter. Pada tahap ini, kondisi tapak permukiman masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan aliran air.

2. Mulai tumbuh rumah-rumah di bagian belakang dan samping rumah utama (lapis pertama) Hal ini disebabkan karena sistem kekerabatan yang sangat erat, dan ada kecenderungan orang tua sulit berpisah dengan anaknya walaupun anak sudah menikah dan mempunyai keluarga, maka dibuatlah rumah di bagian samping atau di bagian belakang rumah utama untuk anak-anak dan keluarganya. Selain itu tumbuh pula rumah di bantaran sungai. Akses menuju rumah-rumah yang baru menggunakan titian. Sedangkan titian yang menghubungkan rumah utama dengan dermaga berubah menjadi halaman yang berasal dari tanah yang dikeruk dari sungai dan dari bawah rumah. Pada tahap ini, kearifan lokal lahan rawa masih diperhatikan, yakni menggunakan rumah struktur panggung, akses titian dan sistem urug dan keruk untuk halaman dengan tanah urugan dari area tersebut juga.

(5)

100 3. Pada tahap berikutnya, titian menuju

rumah-rumah disekitar rumah lapis pertama mulai hilang diganti dengan urugan tanah dan perkerasan paving stone. Rumah di bantaran sungai bertambah banyak menjorok ke sungai, sungai semakin sempit. Titian di bantaran sungai juga sudah diurug menjadi halaman rumah. Transportasi darat semakin berkembang, sehingga fungsi

dermaga dan sungai sebagai media transportasi mulai berkurang. Urugan tanah (reklamasi rawa) semakin luas, lahan rawa semakin berkurang. Sebenarnya pengurugan lahan ini (reklamasi rawa) bisa saja dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan kearifan lokal agar tidak merusak alam demi terwujudnya permukiman yang berkelanjutan.

Gambar 1. Perkembangan tapak permukiman di tepian sungai

Gambar 2. Akses disekitar rumah utama

yang menggunakan perkerasan

Gambar 3. Rumah di bantaran sungai yang semakin mempersempit sungai

Gambar 4. Akses rumah di area bantaran sungai yang menggunakan titian kayu ulin

(6)

100 b. Tapak Permukiman Pedalaman (jauh

dari sungai)

Perkembangan permukiman di kota Banjarmasin tidak hanya ditepian sungai, tapi berkembang ke area pedalaman yang jauh dari sungai. Permukiman di area pedalaman ini lebih didominasi oleh perumahan formal yang dibangun oleh developer.`Pola permukimannya dapat dilihat pada gambar 5 berikut :

Pada gambar 5 terlihat bahwa seluruh halaman diurug. Saluran yang mengalirkan air berupa gorong-gorong atau saluran terbuka dari area panggung rumah menuju keluar tidak ada, sehingga air terkungkung di bawah lantai rumah. Apabila terjadi pasang tinggi, maka biasanya lantai bangunan yang berada paling bawah (area dapur/service) akan tergenang air. Pada

saat pembangunan rumah tidak ada lagi system urug dan keruk, sehingga tidak ada area resapan air. Pada salah satu sisi atau kedua sisi jalan juga tidak terdapat saluran air, kalaupun ada biasanya dengan lebar minimal (l = 20 cm, t = 30 cm), akibatnya permukiman akan banjir saat pasang tinggi dan perlu waktu yang lama untuk surut kembali. Kondisi ini menunjukkan pengolahan tapak permukiman yang tidak memperhatikan kondisi lahan rawa.

Rumah modern yang dibangun sekarang ini juga tidak memperhatikan kondisi tapak lahan rawa. Pada bagian bawah bangunan (masih menggunakan struktur panggung) seluruhnya ditutup dengan kayu ulin agar nanti pada saat mengurug halaman, tanah urug tidak masuk ke bagian bawah bangunan (gambar 6).

Gambar 6. Bagian bawah bangunan seluruhnya ditutup

dengan kayu ulin

Gambar 7. Lahan yang diurug seluruhnya untuk mempermudah

pekerjaan konstruksi Gambar 5. Pola Permukiman area daratan

(7)

101 Hal ini menghambat pengaliran air saat

pasang dan surut. Bahkan ada beberapa lahan yang di urug seluruhnya sebelum dilakukan pembangunan untuk mempermudah pekerjaan konstruksi (gambar 7). Berbeda dengan rumah tradisional yang menggunakan struktur panggung, tapi masih memberikan keleluasaan air untuk mengalir di bagian bawah bangunannya (gambar 8).

Untuk permukiman yang posisinya dekat dengan sungai, pada saat pasang naik mudah digenangi air tetapi cepat juga surutnya karena air cepat mengalir. Berbeda dengan permukiman yang jauh dari sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan lebih lama karena air sulit untuk keluar karena tidak ada area pengaliran.

Konsep Pengolahan Tapak Permukiman Manajemen air merupakan hal yang paling utama dalam pengolahan tapak permukiman di lahan rawa pasang surut. Berdasarkan historis dan kondisi morfologinya, kota Banjarmasin banyak memiliki sungai-sungai alami maupun buatan untuk mengantisipasi pasang surut dan infiltrasi air laut ke daratan. Hal ini dapat dijadikan dasar utama dalam pengolahan tapak di lahan rawa pasang surut yaitu memudahkan dan memberikan ruang untuk aliran air.

Ada tiga hal yang dapat dilakukan sebagai konsep pengolahan tapak permukiman, yaitu :

1. Konstruksi bangunan panggung

Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan (rawa). Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat. Untuk menahan beratnya beban bangunan dan menyalurkan gaya berat ke bumi, digunakan system pondasi batang (log). Sistem pondasi ini menggunakan batang kayu Kapur Naga yang diletakkan sebagai bantalan. Sifat balok kayu yang mampu “mengapungkan” bangunan menjadikannya sangat fungsional. Sedangkan kekuatan dan keawetan kayu secara alamiah terbentuk dari proses alami pengawetan dengan membenamkan kayu ke lumpur/rawa (gambar 9). Untuk struktur yang lebih ringan, menggunakan konstruksi kacapuri, yakni dengan kayu galam yang disusun melintang disepanjang bentang bangunan. Prinsipnya sama dengan system pondasi batang kayu kapur naga (gambar 10). Karena perkembangan teknologi struktur sekarang ini dan sulitnya untuk mendapatkan batang (log) serta kayu galam yang berdiameter lebih dari 15 cm, maka struktur panggung menggunakan pancangan kayu galam (gambar 11) .

Gambar 8. Bagian bawah bangunan dibiarkan terbuka untuk pengaliran air

(8)

102 2. Terdapat area resapan air dan aliran air

yang menerus

Berdasarkan historisnya, aliran air berupa sungai-sungai ataupun kanal-kanal kecil masuk sampai ke pedalaman untuk mengantisipasi pasang surut dan memberi pengairan area pertanian. Seharusnya sebuah kawasan permukiman harus memiliki saluran-saluran air (berupa sungai buatan) yang saling berhubungan menuju sungai utama, sehingga air mempunyai wadah untuk mengalir pada saat pasang tinggi. Banyaknya sungai-sungai dan adanya kesinambungan antara sungai yang satu dengan sungai yang lainnya dapat menjaga kota Banjarmasin yang berada 16 cm di bawah permukaan air laut dari bahaya banjir.

Adanya resapan air dan aliran air yang menerus merupakan hal yang penting pada lahan rawa pasang surut. Untuk tapak

permukiman dapat dilakukan pada komplek perumahan dan pada satu kapling rumah tinggal. Pada komplek perumahan, saluran air (kanal) primer dengan lebar minimal 4-6 meter dapat dibuat di bagian depan dan belakang tapak permukiman yang berhungan langsung dengan sungai atau kanal utama yang ada di kawasan tersebut. Jadi yang terpenting disini sebenarnya adalah dilakukannya normalisasi seluruh sungai yang ada di kota Banjarmasin, sehingga air akan mengalir tanpa hambatan. Saluran sekunder dibuat di dalam komplek perumahan dengan lebar 2-3 meter yang berhubungan langsung dengan saluran primer dan tertier. Saluran tertier dibuat di sekeliling kelompok kavlingan rumah dan terdapat gorong-gorong yang lebar untuk menghubungkan antar saluran yang berada di bawah jalan. Saluran Primer Saluran Sekunder Saluran Sekunder Saluran Sekunder Saluran

Primer Saluran Tertier

Gambar 9. Kontruksi pondasi batang kayu (log) kapur naga Sumber : Muhammad, 2007

Gambar 10. Kontruksi pondasi kacapuri kayu galam

Gambar 11. Kontruksi pondasi pancangan

kayu galam

(9)

104 Untuk konsep aliran air yang menerus

pada satu kaplingan lahan rumah tinggal adalah dengan menggunakan konstruksi bangunan panggung dan lahan tidak di urug (gambar 13). Seandainya ada bagian yang diurug untuk halaman dan taman, maka menggunakan sistem urug dan keruk, sehingga masih ada lahan sebagai area resapan air dan tetap ada aliran air yang menerus ke saluran tertier yang berada di bagian depan tapak.

3. Sistem urug dan keruk

Berdasarkan historisnya, pada saat membangun rumah orang dulu mengeruk tanah seluas rumah yang akan dibangun sebelum memasang pondasi. Kerukan ini berfungsi untuk mengurangi tanah berlumpur dan memudahkan pancangan galam mengenai tanah keras pada saat dipancangkan. Hasil kerukan ditimbun ke depan rumah sebagai halaman. Sistem urug dan keruk merupakan manajemen air yang sudah dilakukan sejak dulu. Sebagian lahan di keruk untuk mengurug bagian lahan yang lain. Hasil kerukan biasanya berfungsi sebagai kanal atau kolam, sedangkan hasil urugan berfungsi sebagai jalan maupun halaman (gambar 14).

KESIMPULAN

Berdasarkan tinjauan historis dan kondisi eksisting, maka konsep pengolahan tapak permukiman di Banjarmasin adalah dengan memperhatikan manajemen air pada rawa pasang surut. Air harus secepatnya mengalir agar tidak tergenang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi infiltrasi air laut ke daratan saat pasang tinggi dan banjir pada saat hujan lebat. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah: 1. Konstruksi bangunan panggung

2. Adanya aliran air yang menerus (lancar) dan area resapan air

3. Mengurug satu bagian lahan dengan cara mengeruk bagian lahan yang lain dalam Gambar 14. Kegiatan keruk dan urug

untuk membuat kanal dan jalan

Gambar 13. Layout dan perspektif bangunan pada satu kavling lahan rawa tanpa mengurug Sumber : Tugas SPA 2 Angga Isnareza H1B109022

(10)

105 satu kapling lahan atau kawasan,

sehingga wadah air (resapan air) pada saat air pasang masih tersedia

4. Memperhatikan keberadaan sungai-sungai (kanal) yang berada di sekitar permukiman untuk mempermudah aliran air.

5. Mengurangi urugan tanah dari tempat lain DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, Bambang (2002) Wilayah DAS Barito dan anak-anak Sungainya : Pusat Pertumbuhan Permukiman dan Kerajaan di Kalimantan Selatan, dalam Bentang Lahan dan Pemukiman Kuno di Indonesia

Buletin Arkeologi NADITIRA WIDYA, Edisi Khusus No.09, Oktober 2002. Pusat Penelitian Arkeologi. Badan Arkeologi Banjarmasin

Chandrawidjaja, Robert. 2003. Reklamasi Rawa “Rawa Pasang Surut dan Rawa Lebak”. Fakultas Teknik Unlam. Banjarmasin. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat

Banjar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Huzairin, M. Deddy. 2004. Buku Ajar Struktur dan Konstruksi Bangunan 3. Fakultas Teknik Unlam. Banjarmasin.

Muhammad, Bani Noor. 2007. Analisis Nilai Pusaka Lahan Basah sebagai Pedoman Penataan Lingkungan Binaan Kota Banjarmasin. Laporan Penelitian Dosen Muda. Lembaga Penelitian Unlam. Banjarmasin.

Noor, Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan dan Pengembangannya. Rajawali Pers. Jakarta.

Saleh, Idwar. 1984. Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya sampai dengan Akhir Abad ke-19. Museum Negeri Lambung Mangkurat. Propinsi Kalimantan Selatan

Susandi, Ami dkk. 2008. Dampak Perubahan Iklim terhadap Ketinggian Muka Laut di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Volume 12 No. 2.

Tharziansyah, Muhammad. 2004. Pola Permukiman Periferi Kota Banjarmasin, Studi Kasus Koridor Jalan A. Yani KM 6 – KM 17. Jurnal Info Teknik Volume 5 No. 1 Juli 2004. Fakultas Teknik Unlam. Banjarmasin.

Sumber dari internet :

Ahmad Arif. Seribu Sungai, seribu Kenangan.

http://cetak.kompas.com/read/2008/12/24/

04035139/seribu.sungai.seribu.kenangan. Diakses 23 April 2011.

Qodarian Pramukanto. Eco-Planning Banjarmasin: Membangun Kembali Simbiose di Kota Seribu Sungai.

http://qpramukanto.staff.ipb.ac.id/.../eco- planning-banjarmasin-membangun-kembali-simbiose-di-kota-seribu-sungai. Diakses 12 April 2011.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan tapak permukiman di tepian sungai
Gambar 6.  Bagian bawah  bangunan seluruhnya ditutup
Gambar 8.  Bagian bawah bangunan dibiarkan terbuka untuk  pengaliran air
Gambar 9. Kontruksi pondasi  batang kayu (log) kapur naga  Sumber : Muhammad, 2007
+2

Referensi

Dokumen terkait

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,