• Tidak ada hasil yang ditemukan

ir dipinqqi KRUËHG smcarpfucddaair

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ir dipinqqi KRUËHG smcarpfucddaair"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ir

dipinqqi

KRUËHG

(2)
(3)
(4)

Titel Asli:

PENGALAMANKU MASA PERANG ATJEH Tjetakan Pertama :

1 April 1941 Tjetakan Kedua :

Oktober 1962

Hak tjipta ditangan pengarang dan diperlindiingi oleh hukum

(5)

Dipinggir Kruëng

SAMPOJNIT

Oleh:

JOESOEF SOU'YB

*

Tjetakan ketiga 56» WW ttt >"

"'C

£

f

D i t e r b i t k a n Oleh:

CV, PUSTKA „AIDA"

(6)
(7)

-1. DJ ADI BURUH ATJEH TRAM

Sepasang mata jang tadjam berwarna belau mengukur saja dari udjung rambut sampai keempu kaki, kemudian balik pula keatas lambat-lambat sampai tiba tentang mata saja, lalu kedengaran suara jang hebat.

"Engkau?!", tanjanja.

Saja tetap berdiri dengan berani. "Ja !", sahutku.

"Bah !"

Mata itu kembali pula mengukur saja. Tiada dapat saja mengatakan arti pandang itu. Akan dikatakan takdjub, tapi serupa ada mengandung kurang pertjaja dalam hatinja, sehingga ia berkata pula :

"Sesungguhnja ?"

Kedjadian itu ialah pada suatu hari didalam bulan April tahun 1903. Itulah mula pertama kali saja berhadapan dengan bakal sep saja, nama-nja van Barkel, berpengawakan gemuk, tegap, pendek, mcndjabat pangkat setasiun sep di Lho' Seumawe. Kemudian hari ia mendjadi sep jang teramat sajang kepada saja.

Masa itu perang Atjeh sedang mendjadi-djadi. Banjak korban jang gugur dan banjak orang jang pergi mengantarkan njawanja. Pada hari itu saja datang mendapatkan tuan van Barkel untuk minta kerdja sebagai masinis dalam Atjeh tram.

"Tidakkah kau merasa ngeri ?" katanja. "Baik saja beri ingat kau lebih dahulu — berpahit-pahit kita — karena usiamu masih muda — bahwa njawamu saban-saban akan terantjam oleh bahaja. Hampir setiap hari Atjeh tram beroleh serangan orang muslimin. Baikpun djalan kereta api jang dibongkarnja, baikpun djembatan jang diruntuhkannja, maupun peluru dan anak-anak panah jang berlajangan dari tumpukan-tumpukan hilalang jang berada disepandjang djalan kereta api. Kalau kau djadi masinis tanggung djawabmu besar. Kau tak merasa ngeri?"

"Tidak !" sahutku. "Siapa jang akan merasa ngeri kalau ia didorong oleh kemauan hatinja. Saja tiada ngeri dan tiada takut".

Hatiku pekat ketika berkata itu.

"Baik ! Baik !" djawabnja. "Kepekatan hatimu membesarkan hati saja. Kami memang sedang kekurangan orang. Berpuluh-puluh bahkan beratus orang lagi masih dapat kami terima. Sekarang tjoba buktikan apa kepandaianmu dalam kerdja jang kau pinta".

"Tiada sebuah djua".

Tuan itu mengeretjengkan matanja memandangi saja, sehingga saja kemalu-maluan. Pandir benar saja ! Alangkah bodoh dan sombongnja saja, berani meminta kerdja, jang sedikitpun tiada pengetahuan saja 5

(8)

dalam hal itu. Tapi saja beranikan djuga hati saja seraja berkata: "Walaupun demikian !"

"Walaupun demikian bagaimana?" tanjanja, "Akan kau djerumus-kankah Atjeh tram kadalam djurang ?"

Saja tiada dapat menjahut lagi.

'Nou, kau boleh djadi setoker dulu, Karem !" katanja kemudian, sedang nama saja sebetulnja Abdulkarim. "Nanti kalau radjin dan ada dj asamu, dan pengetahuanmu telah ada pula dalam hal mesin, akan segera engkau diangkat mendjadi masinis. Maukah engkau dengan perdjandjian itu ?"

"Dengan segala suka hati, tuan". "Bagus !"

Saja ketika itu belum berapa bulan datang dari kampungku di Minangkabau akan mengadu nasib dinegeri sebelah utara itu. Banjak perantau pulang dari sana membawa kekajaan tiada terhingga dan sekaliannja tjoga-tjoga kelihatan olehku. Ketjongkakkan mereka itu setiba dikampung menarik hatiku pula akan mengadu nasib dinegeri sebelah utara itu. Esa hilang, kedua terbilang — pikir hatiku. Keka-tjauan dinegeri sebelah utara jang sedang mendjadi-djadi itu — saja pandang sebagai air jang sedang buntjah kena tuba — masa ikan berbuntangan dan orang menjauknja dengan mudah.

Telah ada dua tiga bulan saja berada disini tapi belum djuga saja beroleh pekerdjaan jang menjenangkan hati. Lebih dahulu perlu saja terangkan bahwa segenap perantau dari Minang pada masa itu tiada suka memburuhkan tenaganja. Tiada sedikit djuga selera mereka kedjurusan itu. Dipandang „mendjual diri" kepada Belanda. Terlebih-lebih karena pentjaharian dalam lapangan dagang masa itu amat besar, sebentar-sebentar sadja naik daun dan keuntungannja lipatganda. Oleh sebab itu mereka tjoga-tjoga dan sangat meletjehkan perburuhan.

Maka gubernemen kekurangan buruh. Baikpun dalam lapangan guru-guru, baikpun dalam pekerdjaan kawat dan talipon, terlebih-lebih untuk pegawai Atjeh tram. Berapa banjaknja anak Padang jang dibudjuk supaja bekerdja dengan gubernemen masa itu, tapi mereka tolak dengan senjum simpul, sambil menggontjangkan sakunja jang berderingan. Mereka lebih tjoga berdagang diluaran.

Maka djangan heran djika gadji seorang kuli djalan sadja ketika ' itu seringgit satu hari, sedangkan harga seekor ajam tjuma sepitjis dan harga sekilo beras tjuma sekelip. Guru-guru hanja terambil dari orang-orang jang pandai tulis batja, habis perkara ! Dalam Atjeh tram djangan dikata lagi besar-besar gadji pegawainja !

Tapi betapa keadaan saja sendiri ? Mula tiba saja tjoba djuga berdagang serupa itu. Tapi saja ini dungu, bukan dungu sebenarnja sebab saja tetap tjerdik dan berani, hanja dungu dalam hal berdagang. Dagang apapun djuga jang saja kerdjakan tiada sebuah djuga jang baik djalannja.

"Engkau tidak tahu di-lubuknja !" kata teman-teman saja, akan montjela kebodohanku. Kata lubuk itu telah djadi permainan mulut

(9)

bagi mereka, jaitu tempat tersembunji kekajaan jang bisa dikorek, serupa lubuk ikan bagi seorang pendjala.

Dan mereka sesungguhnja tahu dilubuknja ! Dari pendjual sirih atau pendjaga katjanggoreng, dalam sebentar sadja telah melompat kekedai nasi, dan sebentar lagi .sudah mempunjai sebuah toko kain. Pandai-pandai benar mereka mentjahari lubuknja !

Tapi saja tidak. Barangkali karena darah dagang tidak ada dalam tubuh saja. Saja seorang muda jang berdarah perisau. Dari semendjak ketjil sudah demikian tabiatku, suka kepada pengalaman jang gandjil-gandjil, walaupun mungkin membahajakan bagi diriku sendiri. Suka benar hati saja kalau saja dapat melakukan suatu pekerdjaan jang dipandang berani oleh orang dan lalu mendjadi buah tutur.

Dalam kampung kami ada suatu tempat jang terkenal sangat angker, siapa jang berani melintas disitu tengah hari nistjaja akan mati tegak. Ketika itu saja masih ketjil dan nakal. Benarkah? — demikian pikir saja dalam hati.

Pada suatu tengah hari tepat, sewaktu-waktu bajang-bajang tengah buntar, sajapun pergi kesitu. Teman-temanku memperhatikan dari djauh, karena tiada seorang djuga jang berani dekat. Saja menari-nari dan bersorak sorai ditempat itu, berdjam-djam lamanja, sampai matahari gelintjir dari tengah. Ketika saja kembali kekampung sampai berapa lamanja kemudian, keadaan saja tetap sehat bugar !

"Nasib baik bagi dia tidak kena tegur", kata orang mempertjakap-kan keberanian saja. "Kalau kena, wah, nistjaja dia amempertjakap-kan mati tegang dan tiada akan beranak lagi induknja !"

Saja hanja tersenjum sadja.

Sebuah lagi, dalam kampung kami dahulu terkenal benar musim tjindaku. Musim itu setiap bulan Hadji. Kalau sendja sudah turun orang tak berani lagi melangkahi tangga, dan habis magrib, biasanja segala pintu dan djendela telah terkuntji. Anak-anak tidak ada lagi bermain dalam terang bulan sebagai galibnja. Tapi bagaimana dengan saja?

Saja ini patut digelari orang sitjengeng masa itu. Saja pergi ketangga sebuah rumah, saja naiki tangga itu pelahan-pelahan dan pintunja lalu saja garuk-garuk. Didalam lalu terdengar bunji djerit dan pekik orang karena kesangatan terkedjut dan ketakutan, sedang diluar kedengaran bunji gelak saja terbahak-bahak. Dengan segera saja tinggalkan rumah itu dan saja pergi pula mengganggu rumah lain.

Demikianlah tabiat perisau itu telah saja bawa semendjak ketjil, dan sampai-sampai besar, pun tetap mendjadi seorang perisau djuga

Darah penggalas (dagang) tak ada pada saja. Bapa saja jang meninggal sewaktu saja masih ketjil pun bukan seorang penggalas, hanja seorang petani. Begitupun djuga nenek saja. Djadi dari turunan tidak ada sipat itu jang akan saja pusakai. Oleh sebab itulah ketika pikiran saja telah sangat tertumbuk lalu dagangan jang biasa saja djadjakan sepandjang hari itu saja perserakkan dengan gemas. Jang bertaburan itu dipilihi oleh teman-temanku sekediaman. Saja tiada berketjil hati malah saja gelak-gelak dengan suka hati.

(10)

Apa jang mesti saja lakukan? — demikian saja bertanja didalam hati dan ada beberapa hari lamanja saja pikirkan.

"Djangan kau masuk bekerdja dalam Atjeh tram !" kata teman-temanku menasihati, ketika niatku kemudian saja kabarkan kepada mereka. "Engkau hendak tekan-mati ? Djangan ! Kalau hendak membu-ruh djuga, lebih baik djadi kuli talipon umpamanja, dan kalau nasibmu baik, engkau boleii mendjadi mandur dan gadjimu tentu akan besar. Tapi akan bekerdja dalam Atjeh tram, djangan !"

' Puan !" sahutku.

Kata djangan dari teman-temanku itu membangkitkan darah perisau-ku kembali. Dengan hati pekat saja pergi mendapatkan sep setasiun Lho' Seumawe, lalu saja minta kerdja kepadanja. Hati saja tetap sudah !

"Berapa gadji kau pinta ?" "Seringgit sehari, tuan".

"Baik !" sahutnja dengan tiada berpikir pandjang sedikit djuga. Waktu kemudian saja keluar dari kantornja, saja amat menjesal didalam hati, kenapa tjüma seringgit saja pinta. Pandir benar saja ini ! — kata saja didalam hati, sedangkan sesalku itu tak putus hingga sampai-sampai kerumah tempat tumpanganku. Kenapa tidak dua ringgit saja sebutkan ataupun lebih ?

Berapa sadja pintaku, asal djangan berlebih-lebihan benar, nistjaja akan diperkenankannja. Seringgit ! wah, serupa sadja dengan gadji kuli djalan dan kuli rel. Betul bodoh saja tiada terkira, sedang djabatanku sebagai setoker akan lebih besar tanggungannja dari seorang kuli djalan. Tapi akan balik kembali meminta tambah tiada pula saja berani. Berolok-olok namanja itu !

Maka saja padakan sadja gadji itu dan keesokan harinja saja mulai bekerdja. Sekaranglah baharu betul-betul sesuai kerdja jang saja djabat dengan tabiatku jang perisau dan suka pengalaman.

Berbahagiakah saja dalam djabatanku jang baharu itu? Dengan terus terang saja katakan, dengan tiada bersembunji sedikit djuga, bahagia jang pertama sekali saja terima tampar dan tempeleng !

Sampai sekarang masih tergelak saja, setiap saja terkenang akan hal itu. karena sebabnja lain tidak oleh kepandiran dan kebodohan saja djuga. Tuan tentu ingin bertanja dan mengetahui, kenapa djadi demikian?

(11)

II. DALAM BAHAJA

Telah seminggu saja bekerdja tetapi perkakas dan pesawat dalam lokomotip masih gelap bagiku. Sungguh tumpul otak benar saja ini !

Satu kali saja -lagi membersihkannja ketika tiba-tiba tersinggung pcrnja oleh saja. Lokomotip terkedjut dan menggelindjang sebagai orang kena gelitik, mendompak kemuka dan lari dengan ladju. Saja terhempas kedinding belakangnja dan terhenjak disitu dengan muka jang putjat dan persendian jang gemetar. Wadjah saja tiada berdarah setitik djuga lagi.

Tukang pompa-air jang lagi mengisikan air terlempar dan terpekik dengan suara bergumam dan menggeletar. Tergilaskah dia?

Wallahu a'lam ! Antara seratus meter didepan ada sebarisan gerobak dan ideresi jang lagi berhenti. Dalam sekedjap mata lagi akan terdjadi pertubrukan jang sangat dahsjat dan sekaliannja akan hantjur luluh. Hal jang ngeri itu melintas dengan tjepat diruang mata saja tetapi saja tiada berdaja.

Saja pedjamkan mata saja menjambut maut jang akan turut itu. Dari segala sudut perosn setasiun menderu ketelinga saja bunji pekik dan djerit orang, njaring bergema-gema laksana lagu kematian tengah diperdengarkan.

Ruh saja telah terbang bersama gema djerit dan,pekik. Meskipun demikian masih tampak oleh saja, antara sadar dan tiada, masinis jang terhempas kedinding belakang sebagai saja djuga — tjepat tegak dan melompat kemuka — membantukan pér itu kembali — dan

lokomotip terdiri dengan napas terh'engah !

Rasa-rasa terdengar oleh saja engahan napas orang diseluruh peron. Rasa-rasa tampak oleh saja sekaliannja menarik napas dengan lega. Tapi bagaimana keadaanku sendiri ?

Masinis berpaling kepadaku dengan mata terbelalak. Dibantunkan-nja leher badjuku dan saja lalu ditampar ,dan ditempelengDibantunkan-nja dengan se-kuatJ tulangnja dan dengan segemas-gemas hatinja. Tiada ia berkata sepatah djuga, hanja giginja sadja jang berderak-derik, matanja berapi-api. Sampai sekarang mpsih tampak-tampak oleh saja tangannja turun naik, sedangkan pipi dan pelipis serta rumpun telinga saja mendjadi landasan.

Saja tiada melawan sedikit djuga. Bukan sadja karena saja tiada bergaja sebab karena kesangatan putjat dan terkedjut, pun karena saja merasa akan kesalahan dan kealpaanku. Saja biarkan sadja dia bergendang dirumpun telingaku.

Karena kedjadian itu pangkat saja turun mendjadi tukang rem.

(12)

Itulah bahagian pertama, baharu sadja seminggu saja bekerdja. Menjesalkah saja ?

Tidak !

Sebab sekarang tahu benar saja kebesaran tanggungandjawab seorang setoker daripada tukang rem. Apalagi gadji saja tiada pula diturunkan. Turun? Dalam dua tiga bulan belum Atjeh tram akan memperoleh seorang buruh, akan ganti saja !

Dan tentang tempeleng itu, beberapa hari lamanja masih terasa-rasa olehku sakitnja. Tapi tiada saja berketjil hati kepada masinis.

Dia seorang Menado, sipatnja penaik darah dan lekas marah, tapi hatinja sebetulnja sangat baik. Kebaikan hatinja itu ternjata ketika ia datang meminta maaf kepada saja. Saja terpanggil kedalam kantor menghadap sep, dan ketika saja keluar dengan muka jang merah padam, dia telah menjambut saja dimuka pintu sambil mengulurkan tangannja. "Tiada saja sengadja akan menempelengmu sedemikian hebatnja" katanja. "Darah saja ketika itu sedang mendidih dan kebetulan tiada dapat saja tahan. Maaf banjak-banjak saja pinta. Dan pangkatmu diturunkan ? Wahai, sedikitpun saja tiada bersengadja supaja pangkatmu turun mendjadi tukang rem, sekali-kali tidak !"

Tentu sadja dia segera saja maafkan. Bahkan kemudian ia mendjadi sahabat saja jang sangat karib; dan ketika kemudian ia mengalami nasib jang sangat malang dalam satu kedjadian jang- sangat ngeri — sebagai akan saja tjeritakan djuga — saja turut mentjutjurkan airmata menge-nangkan nasibnja !

Dan tentang tukang-pompa itu, berkat doa, tiadalah dia mendapat ketjelakaan jang hebat benar, selain luka-luka ketjil tentang lutut dan tapak tangannja.

Telah berapa bulan lamanja saja bekerdja sebagai tukang rem. Kadang menuruti djalan kedjurusan barat menudju Samalanga sampai ke Sigli, kadang ketimur, sampai ke Lho' Sukon.

Djalan kereta api sebelah ketimur baharu hingga itu. Pembikinan djalan dan pemasangan rel menudju Idi baharu sadja dimulai, dan kerapkali terhenti dan rusak binasa, karena serangan jang sekonjong-konjong dari barisan muslimin. Demikian biasa dipanggilkan terhadap pasukan kesultanan Atjeh jang melakukan perlawanan terhadap pendja-djahan Belanda masa itu. Mereka itu berani-berani benar. Kagum saja setiap mendengar berita kegagah-beranian mereka. Mereka menjerbu menembusi hudjan peluru — karena setiap kerdja itu selalu dilindungi oleh bataljun marsose — tjuma bersendjatakan kelewang dan pedang, lalu mengamuk dengan hebat. Konon kabarnja mereka itu kebal-kebal, benar tidaknja, wallahu a'lam I

Selama beberapa bulan mendjadi tukang rem ini banjak sudah pengalaman saja dalam berbagai bahaja. Njaris-njaris saja tiada ada didunia ini lagi. Benar kiranja kata teman-temanku, bahwa bekerdja dalam Atjeh tram, sebagai sengadja tekan^mati. Terlebih-lebih bahaja itu sangat hebat kalau lagi berdjalan kedjurusan Sigli.

Peperangan sebelah kesana semakin lama semakin keras. Perlawanan terhadap kompeni dipimpin oleh Teuku Panglima Polem. Dahulu jang

(13)

terkenal benar ialah Teuku Umar. Jang belakangan ini biasa dipanggil-kan orang Djohan Pahlawan karena gagah beraninja, tetapi ia telah meninggal tahun 1898.

Jang menggembirakan orang Atjeh benar menjabung njawa masa itu ialah karena Sultan Daud Alamsjah, sultan jang menduduki tahta keradjaan Atjeh, telah meninggalkan keratonnja di Kutaradja dan turut serta mengembara menjusun segala penjerangan. Kompeni sengadja memburu dan mengedjarnja kian kemari tetapi senantiasa tiadalah diperoleh djedjaknja.

Dalam pada itu saja makin merasakan betapa sangat ngeri bahaja jang selalu dihadapi oleh seorang masinis. Dia mesti selalu berdiri dipintu lokomotip jang tiada bertutup, dan dari pinggir-pinggir djalan jang ditutupi hilalang tinggi itu kerapkali berdengungan peluru dan anak panah dengan tiada disangka-sangka. Dengus napas lokomotip jang berlari kentjang hilang lenjap oleh deru tembakan jang menghudjan. Kalau saja masih setoker, berdiri dipintunja j a r s sebelah lagi amboi, ngeri saja mengenangkannja !

Mudjur pangkatku telah turun mendjadi tukang rem. Setiap ada serangan saja dapat berlindung kedalam wagon jang biasanja berlapis wadja itu. Oleh sebab itu seleraku untuk mendjadi masinis tak titik lagi. Sekarang jang tampak-tampak diruang mataku ialah pangkat kondektur, wah, alangkah senangnja !

Kalau nasib baik boleh naik pula mendjadi spion kondektur, dan kemudian naik lagi mendjadi adjun setasiun sep, sebab djabatan setasiun sep masih tertentu bagi orang kulit putih sadja. Terbajanp;-bajang dalam mimpiku topi pasmen lekat dikepalaku, berpita merah

dan berlilit benang emas. Wah, alangkah tampannja lagi. berdjalan mon-dar-mandir diperon setasiun, memberikan berbagai perintah dengan gagah. Ketika itu ketjemasan akan mendapat serangan se-konjong2 tak ada lagi sebagai jang mesti dialami setiap hari oleh seorang tukang rem sebagai saja.

Bilamana angan-angan itu telah menjesak memanaskan kepalaku biasanja berkatalah saja seorang diri untuk menghiburkan hati :

"Tak akan Jari gunung dikedjar. Asalkan radjin dan sungguh nistjaja jang ditjita-tjita itu akan tertjapai djuga. Kondektur ! Pokoknja asalkan pandai 'menulis dan membatja, habis perkara. Dan saja mudjur ada mempunjai kepandaian itu, dan nistjaja akan segera djuga naik pangkat-ku, asal ada aku membuat djasa. Baik kunanti !"

Maka sebagai sebatang anak air lalu kenang-kenangan jang pandjang itu segera saja empang hingga itu. Dan saja semakin tjermatlah melakukan kerdja jang saja djabat sekarang ini, jaitu tukang rem !

Tapi ada sebuah tabiatku jang sekarang timbul sekonjong-konjong. Karena tjita-tjitaku itu sangat tinggi maka keselamatan diriku sekarang sangat saja hematkan. Saja katakan demikian, karena bagi seorang tukang rem tiada kurang pula marabahaja. Tiada selamanja saja dapat meluputkan diri kedalam wagon; karena kalau kewadjiban menghendaki, saja terpaksa berdiri terus diberanda deresi memegang rem dalam

(14)

^ffSèS^S^f&T'.

lagi pegangan hatiku

'

jait

*

-d a r iKL h o ' % ^ na n gve r d J a l a n d e n g a n l a d j u Pa d a s u a t" ambang petang

pun aan kereta tiada lama lagi akan mendekati Sampoj Nit

Disebelah sana awan dan kabut b ^ r a k - a r e k ** k e r u h*e r a k -s ™ ? 'e r k?dJu t «** bunji desir pakaian disisiku dan saja menoleh Seorang diantara djururawat perempuan itu - menurut t a k s i r ^ m £

"Sudah lewatkah Sampoj Nit ?" "Belum" sahutku.

Dalam suaranja dapat saja ketahui ketjemasan bertjampur kuatir dalam hatmja Sebabnja lain tiada karena d a e r a h - d a e r a h X n n smi masih sangat berbahaja. Orang-orang Atjeh sebelah sini beLm s'emuanTa

(15)

tunduk kepada gubernemen, dan djikapun ada jang tunduk, lianja pada mulut djua.

"Tentu engkau telah kerap bolak-balik didjalan ini, bukan?" tanjanja pula.

"Telah enam bulan lebih ! — ja, kira-kira begitulah. Kenapa kau tanjakan ?"

Ia memandang kepadaku. Dalam sinar matanja tampak olehku, hatinja tertarik memperhatikanku. Dengan terus terang saja katakan, rupa parasku tiadalah djelek. Kata orang termasuk berupa djuga. Sajang sedikit, jang mendjatuhkan merekku — pangkatku tukang rem ! Karena ia memperhatikan saja maka iapun saja tatap pula. Tapi matanja itu segera dilajangkannja kembali keluar dan berkata :

'Tiada pernahkah kau mengalami bahaja disebelah sini, saja maksud, jang menimpamu ?"

"Djalan disebelah sini memang berbahaja, nona, hampir tiap-tiap minggu ada-ada sadja bahaja. Kalau tidak penjerangan tentulah pem-bongkaran rel. Tapi insja Allah, selama ini belum saja beroleh ketjela-kaan".

"Baik benar untungmu" udjarnja pula sambil madju kemuka dan berdiri disisi terali.

Tapi baharu sadja sedjurus ia berdiri disana tiba-tiba mendengung sebuah tembakan dari dalam rimba pinang. Suara panggilan kedengaran dari dalam deresi :

"Dina !"

'Darahku tersirap. Gadis itu — jang sekarang saja ketahui namanja Dina — terlompat dan terpekik, sedang tubuhnja rebah sebagai batang pisang kena tebang, jang segera saja sambut dengan kedua tanganku. Dalam kedjap itu djuga, antara djarak sepuluh meter, bunji tembakan itu terulang kembali beberapa dentam. Sebuah diantaranja tepat me-ngenai topiku, diterbangkannja keluar lalu dilajangkan angin.

Saja segera meniarap. Saja terpikir bahwa tembakan-tembakan itu pasti akan disusuli hudjan peluru.

Dalam segenap deresi, jang tiga buah banjaknja itu, terdjadi keributan tiada terkira-kira. Berderam-deram bunji djendela diturunkan orang bertjampur dengan bunji djerit pekik serta suara perintah jang hiruk pikuk.

Keadaanku sangat gugup memandangi gadis jang terbaring disisiku. Bunji tembakan itu ada beberapa kaü lagi kedengaran, kemudian sunji senjap, sehingga saja heran, sedang djalan kereta semakin idiperken-tjang oleh masinis.

Gadis ini dengan tjemas saja periksa kalau-kalau ia kena tembak. Kiranja ia tjuma pingsan karena kesangatan teikedjut. Saja segera bangkit. Ketika tubuhnja saja angkat hendak saja bawa kedalam, tiba-tiba kereta ternunu kemuka dan kemudian terdorong kembali kebela-kang dengan hebat, berderak-derik bunjinja sebagai hendak retak dan rebah, sedang djalannja terhenti. Saja bersama beban jang saja pangku itu terhempas-hempas dan terdegar-degar, lalu terhenjak. Kepalaku terantuk amat keras, ingatanku pusing, pemandanganku

(16)

kunang. Dari dalam segenap deresi kedengaran raung dan pekik orang. Suara hingar bingar itu membangunkanku. Ternjata lokomotip tak djalan lagi dan rupanja telah djatuh dari rel. Kemudian hari baharu saja ketahui, bahwa rel telah dibongkar orang tapi sengadja diletakkan nja djuga ditempatnja, supaja djangan lekas tampak oleh setoker atau masiniy. Dari belakang mereka ganggu dengan tembakan-tembakan, agar djalan kereta semakin kentjang kedalam djurang kebinasaan jang telah mereka sediakan. Tuhan djuga jang menolong — segenap deresi dan wagon tiada rebah !

Tapi dalam ingatanku terlintaslah hal jang lebih ngeri. Nistjaja mereka akan datang menjerang dengan dahsjat. Wahai, soldadu pengiring tiada berapa orang dan kekuatan itu amat ketjil benar untuk melawan serangan jang akan tiba. Tampan akan punah kami semuanja disantap kelewang dan pedang !

Persangkaanku itu tiada salah. Selang sekedjap sadja antaranja, dari dalam rimba pinang kiri kanan, kedengaran tempik sorak jang riuh rendah. Disana sini berlompatan berpuluh-puluh orang Atjeh dengan kelewang terhunus. Kedatangan mereka disambut soldadu dari dalam deresi dengan hudjan peluru dan bunji tembakan lalu kedengaran berbalas-balasan.

Kegugupanku hilang. Saat sematjam ini saat orang menghiraukan dirinja seorang-seorang sadja. Saja segera bangkit memangku gadis jang masih pingsan itu. Ia tampak membukakan matanja dengan pelahan, kemudian menatap kepadaku dengan terbeliak, demi. mendengarkan suara jang berderam-deram itu, dalam sinar matanja terbajang kengerian didalam hatinja. Wadjahnja jang putjat dan lesu itu ada mempunjai

bentuk ketjantikan dan garis-garis kemolekan.

Didalam rasa belas kasihan tersimpul suara hatiku jang tertarik kepadanja. Dari sana sini berdengungan djua bunji peluru.

"Tolong saja" udjamja dengan suara jang mengojak hatiku. "Lin-dungi njawa saja".

Meskipun tiada dipintanja, dalam hati ketjilku telah terbit djuga keinginan menjelamatkan dirinja, membelanja dengan sepenuh-penuh hati. Saja katakan kepada tuan, tiadalah saja menjesal menolongnja, meskipun saja sendiri hampir menghadapi maut. Akibat dari pertolo-ngan jang saja berikan kepadanja itu akan saja tjeritakan djuga kepada tuan kelak !

Pintu deresi telah ditutupkan orang, entah dengan sengadja entah tidak, lalu segera saja kuakkan dengan kakiku dan tubuh gadis itu telah berada didalam. Tiba-tiba kedengaran olehku ada orang jang melompat ketangga beranda. Masih njaring kedengaran olehku sampai sekarang dering dan desir kelewangnja jang terajun hendak memukul punggung-ku. Akan masuk terus kedalam deresi itu tak sempat lagi. Tubuh Dina saja lepaskan dan saja segera mendjatuhkan diri dan berpaling dengan tjepat, matjam laku seekor kutjing diterkam lawan, sedang kakiku naik menghantamkan musuh jang hendak memadami njawaku itu. Terdjangku itu tepat tentang dadanja. Saja bersjukur akan peladjaran silat jang diberikan guru-tuaku masa dikampung dulu. Ia tunggang balik ditangga,

(17)

terguling-guling kedalam selokan jang dalam dipinggir djalan kereta api, ditumbuhi paku-rensam jang lebat. Sementara itu disana smi telah terdjadi perkelahian jang sangat hebat.

Saja belum sempat bangun ketika ditangga sebuah lagi melompat pula seorang dengan garang. Ia bersendjatakan gada dan matanja mengantjam dengan dahsjat. Seakan-akan kilat ia mengajun gadanja. Untung tangannja dapat saja tangkap dan tak saja lepas-lepaskan lagi. Tapi ia sigap benar. Ditundanja saja dan lalu lututnja menerdjangkan dada saja dengan deras, hingga saja terdenguk dan napasku bergasau. Seirin<* dengan itu gadanja tiba dikepalaku. Pusing pemandanganku dan mataku berkunang-kunang. Peganganku lepas dan saja terlempar kebelakang, tunggang balik ditangga, terguling-guling kedalam selokan dalam itu sebagai lawanku tadi, terhempas-hempas sehingga tubuhku memur rasanja. Disana — lawanku pertama tadi ah, saja djatuh pingsan !

(18)

111. FUH LADJUI

Ketika saja siuman saja terbaring disisi lawanku pertama tadi. Saja berasa terbangun dari mimpi. Tapi suara jang berderam-deram dan raung jang berkepandjangan disepandjang djalan kereta api itu menja-darkan saja dari nanar.

Saja duduk. Dikepala dan disekelilingku berdjeraitan paku rensam. Saja heran melihat lawanku pertama itu masih belum bergerak. Saja beriingsut mendekatinja. Ia terbaring dengan teréréng dan dari dadanja menjembur-njembur darah, dan tentang luka didadanja itu tersembul udjung kelewang. Ternjata sewaktu ia djatuh terguling-guling dari atas, udjung kelewang jang terlepas dari tangannja telah menusuk punggung-nja sendiri dan tembus kedadapunggung-nja. Tusukan itu tepat tentang djantung-nja dan itu jang menghebatkan lukadjantung-nja. Memandangi keadaandjantung-nja itu hati saja djatuh kasihan.

Saja raba-raba kepalanja dan saja pegang nadi tangannja kalau-kalau ia masih bernjawa. Dengan susah pajah ia membukakan matanja dan memandang kepadaku dengan pandang jang menjajukan.

"Air !" udjarnja dengan serak.

Ketika itu kami berada dalam bentjah dibawah semak paku rensam. Dibawa oleh hati kasihan saja lalu mentjedok air dengan kedua tapak tanganku dan saja dekapkan kebibirnja. Air itu dihirupnja sedikit demi sedikit.

"Terima ka sih .." udjarnja.

Pilu hatiku mendengarkan suaranja jang sudah sajup-sajup itu. Ia mengerang. Waktu saja tjoba hendak membersihkan lukanja, ia menga-duh sajup, matanja terkerdjap dengan lambat selaku membantah. Saja raba tangannja dan saja tekan nadinja, tapi tangannja itu makin lama makin dingin, dingin sangat ia telah menghembuskan napas ! Saja pandangi ia dengan hati terharu dan pilu, meskipun tadi, hampir ia menewaskan njawaku sendiri.

Apa jang akan saja lakukan lagi ? Pergi keatas berarti menghantar-kan' njawa. Dengan hati-hati saja merajap dibawah paku rensam itu mendekati rimba pinang. Perihal Dina telah saja serahkan sadja keselamatan njawanja kepada Tuhan. Ia telah berada didalam deresi dan setiap deresi tempat orang sakit masa itu seluruhnja dilapisi oleh wadja. D j adi tak perlu saja kuatirkan dia lagi !

Saja merajap djuga sampai kepinggir semak. Tapi sekonjong-konjong saja disergap oleh seseorang dengan rentjongnja jang berkilat. Matanja bengis. Ia telah separuh tua tapi hatinja rupanja masih djantan dan garang.

(19)

"Andjing kafféé !" teriaknja. Tangannja menjentap rentjongnja keatas dan hendak mengajunkannja kedada saja.

"Astagfirullah ! Teuku hendak membunuh seorang Muslim ?" uäjarku dengan suara gemetar. Sekudjur persendianku telah lunglai karena kedatangannja sekonjong-konjong sadja sehingga saja tak sempat untuk bersiap menangkis. Hanja dengan muslihat sematjam jang saja utjapkan itu sadja saja mentjoba hendak menghindarkan bahaja. Lama ia menatap saja dengan heran. Akan bergerak saja tak berani pula, karena mungkin merusak-binasakan muslihat jang sedang saja atur. Kalau saja bergerak sedikit sadja, mentjoba bangkit, nistjaja rentjongnja akan bermalam didadaku. Saja terus mendjalankan lakon itu dengan tjerdik.

"Kau penipu !" serunja. "Kau tentu kafféé itäm bangsa Ambon membikin dosa besar ?" udjarku pula. „Ingatlah, darah seorang Muslim haram bagi seorang Muslim !"

Bahasa Atjehku fasih dan lantjar karena memang saja telah mahir dalam bahasa itu. Tiba-tiba ia berteriak dengan garang.

"La ilaha illa'Llah Muhammadur-rasulu'Llah ! Teuku hendak atau Menado !"

Masa itu dalam tentera gubernemen memang bangsa Ambon dan Menadolah jang terbanjak. Tapi demi mendengar perkataannja itu sajà makin mendapat djalan untuk melepaskan diri.

"Saja anak Padang !" sahutku dengan suara bulat dan pasti. "Sebagai teuku djuga sajapun seorang Muslim. Ingatlah ! saja seorang Muslim !"

Saja tekankan benar suaraku ketika menjebut muslim, karena segenap orang Atjeh jang mengadakan perlawanan masa itu menamakan dirinja barisan muslimin dan perang jang mereka adakan itu ialah perang sabéé (perang sabil).

Entah karena pengaruh kataku itu dan entah karena memang bentuk mukaku tiada sedikit djuga mirip dengan orang Ambon atau Menado, tampak olehku pada sinar matanja itu bahwa ia mulai menaruh pertjaja kepadaku. Rentjongnja diturunkannja kembali sambil berkata :

"Tjoba engkau mengutjapkan sjahadat sekali lagi !"

"Asjhadualla ilaha illa'llah wa asjhaduanna Muhammadar rasulu'llah !" sahutku dengan sefasihat-fasihat suaraku.

Girang ia kelihatan, mukanja berseri. Menurut pendapatku, boleh djadi pikirannja ketika itu begini : Kalau saja hanja seorang penipu, a ia telah berpahala besar, karena ia telah memasukkan saja keda-lam Iskeda-lam dengan pengutjapan sjahadat itu !

Saja biarkan dia bergirang hati demikian karena kegirangan hati saja sendiri lebih dari dia, sebab dengan mudah djuga saja terluput dari bahaja.

Tapi ternjata kegirangan hatiku itu hanja sekedjap, sebab tiba-tiba ketempat itu berlompatan beberapa orang Atjeh sambil berteriak dengan garang dan dahsjat :

"Kafféé i t ä m ! Fun lädju !" (Kafir hitam! Bunuh sadja!). Tubuhku menggigil kembali mendengarkan teriak-teriakan jang bagai tagar ditengah hari itu, apalagi demi memandangi sekaliannja

(20)

tjungkan kelewang, pedang dan rentjongnja kepada saja. Sangka saja, disinilah akan tammat riwajat hidup saja !

Saja pedjamkan mata saja untuk menjambut maut jang akan memutus kudukku.Djika seorang tjuma jang datang, akan dapat rasanja saja pengaruhi; tapi djika sudah sampai enam orang sebagai jang mengelilingi diriku sekarang ini, akan sia-sialah adanja. Mataku terpe-djam beberapa saat lamanja, dan baharu kubukakan kembali ketika segenap suara itu tiba-tiba terhenti. Dihadapanku tampak orang tua itu mengangkat tangannja dan dengan sepenuh hatinja berseru :

"Tidak !"

Dan apa jang kedjadian sesudah itu tiada saja ketahui lagi, karena kepalaku tiba-tiba digada orang. Mendenjut segala urat dikepalaku. Sakitnja bukan alang kepalang karena memur gada jang pertama belum hilang. Saja pusing dan pemandanganku lalu gelap !

(21)

.IV DALAM TAWANAN

Waktu saja sadar kedua kalinja saja terbaring dalam sebuah gubuk buruk. Keadaan didalam gubuk ini senjap dan gelap, hanja diterangi d a m a r ketjil terkelip-kelip. Disebelah luar tjuma kedengaran dengung r i m b a jang seram dan sunji. Dimanakah saja ini ? — itulah pertanjaan jang pertama-tama timbul dalam kepalaku.

Dimuka gubuk terdengar suara dua orang berbitjara dengan perlahan. " I a telah bangun !"

"Biarkan sadja. Tiada akan dapat ia melarikan diri. I k a t a n kaki tangannja tjukup teguh. Hai, Njak Biden, k u a p m u telah berapi-api".

"Saja telah sangat mengantuk". "Sajapun demikian".

"Bagaimana dengan tawanan i n i ? "

"Biarkan sadja. I a tak akan lari. Tiada jang lebih njaman sekarang ini dalam h a w a m a l a m sesedjuk ini selain selimut jang hangat dan berbaring diatas kasur tebal".

"Tampaknja kau teringat k e r u m a h ! Hai saja heran kenapa tawanan ini tak dibunuh sadja ? Kalau ia lepas tentu ia akan mengabarkan t e m p a t persembunjian kita kepada m u s u h !" N

"Pendapat sajapun demikian djuga. Tapi Teuku Tjhie' melarang. Baik saja m a u p u n engkau tentu tiada akan b e r a n i melanggar perintah-nja".

"Tengok teman-teman lain telah mendengkur, tengoklah ! Dimana kita akan membaringkan tubuh, Njak O s é n ? "

"Ikutlah saja !"

Pertjakapan itu diiringi sunji senjap jang dalam, kemudian terdengar bunji ranting patah dipidjakkan kedua orang jang sedang merajap itu. Tiap-tiap patah pertjakapan itu tiada sebuah djua jang luput dari telinga saja.

Njatalah sekarang ini saja sudah mendjadi tawanan. Kaki dan tangan saja sesungguhnja terikat dengan erat, tiada dapat saja gerakkan.

Alangkah b u r u k niat kedua orang itu, hendak m e m b u n u h saja ! Mudjur sadja p e m u k a m e r e k a itu, jang dipanggilkannja Teuku Tjhie', mempunjai pertimbangan lain dari pengikut-pengikutnja. Kalau tidak nistjaja lampu njawa saja akan p a d a m . Alangkah mulia hati benar ia ! Saja mengutjapkan terimakasih didalam hati kepadanja.

Tapi — dimanakah saja i n i ? Akan djawab pertanjaan ini dapatlah saja kira-kirakan didalam ingatanku bahwa saja b e r a d a ditempat persembunjian pasukan muslimin pengembara, ditengah-tengah rimba-raja.

(22)

Beberapa hari kemudiannja baru saja ketahui bahwa saja djatuh kedalam tangan barisan muslimin jang dikepalai Teuku Tjhie' Tunong, seorang panglima Atjeh jang telah sekian lama ditjari-tjari dan dikedjar tentara Belanda. Namanja mendjadi buahtutur benar dibibir orang karena terkenal sangat gagah berani. Baik saja tjeritakan sedikit tentang dirinja.

Nama sebenarnja dari pahlawan ini ialah Teuku Tjut Muhammad. Ia berhak atas tahta keradjaan Keurëuto. Sebuah daerah keradjaan jang makmur terletak disebelah hilir Panton Labu. Keradjaan ini selama ini diperintah oleh seorang radja bernama Po Tjut Asiah, seorang ratu jan-; bidjaksana dan adil dalam pemerintahan. Daerah itu telah lama tunduk kepada Belanda tetapi pada batinnja masih menghormati Sultan Atjeh dan selalu memberikan bantuan dengan diam-diam kepada pasukan muslimin jang berlindung kesitu.

Tatkala ratu jang bidjaksana ini mangkat lantas pihak Belanda mengangkat Teuku Tjut Samsirah, .adik Teuku Tjut'Muhammad, naik menggantikan Po Tjut Asiah dengan bergelar Teuku Tjhie' Bintara. Disebabkan suatu perselisihan jang tiada terang, Teuku Tjut Muhammad lalu menghindarkan diri kedalam rimba, menjusun barisan muslimin dan mengatur perlawanan terhadap Belanda.

Karena djasa-djasa jang ditundjukkannja didalam peperangan, maka oleh Sultan Atjeh jang masa itu telah mengembara pula mengatur dan memimpin perlawanan, lalu mengangkat dan mengesankan Teuku Tjut Muhammad sebagai Teuku Tjhie' jang berhak atas keradjaan Keurëuto. Tetapi ia tiada dapat menduduki keradjaannja itu karena disitu memerintah seorang radja jang ditanam Belanda.

Itulah sebabnja ia beroleh gelaran Teuku Tjhie' Tunong atau Radja jang mengembara digunung, dan pahlawan ini membangkitkan gentar dalam hati soldadu-soldadu Belanda. Ia sering melakukan penjerangan-penjerangan jang sangat berbahaja.

Sekarang saja telah djadi tawanannja karena serangan jang dilaku-kannja sendja tadi.

Benar kata pendjaga jang bernama Njak Osen itu bahwa saja tiada akan dapat melarikan diri. Bukan sadja ikatan kaki dan tangnku teguh tetapi pula sekudjur persendian dan tulang belulangku telah letih lunglai. Apalagi ditambah pula oleh lapar jang amat sangat sehingga gelang-gelang perutku bernjanji-njanji. Semendjak lohor sampai djauh tengah malam ini belum sebuah djua jang masuk kedalam perutku.

"Hai perut ! agak diamlah engkau", udjarku menghiburkan. Tapi tiada ia dapat kuhiburkan dengan demikian.

Untuk melengah-lengahkannja saja tjoba memalingkan ingatan kepada hal jang lain-lain.

Saja terkenang akan nasib teman-temanku, nasib mereka dalam kereta jang kutinggalkan. Masih hidupkah mereka gerangan atau telah djadi korban sekaliannja? Diruang mataku lalu terbajang paras Dina jang lesu dan putjat serta selalu matjam orang kelelahan itu.

Sfkapnja dingin sadja, mukanja tenang, tiada ada tampak tanda-tanda hidupnja ada dihiasi gembira. Apakah memang telah demikian sipatnja

(23)

ataukah tjuma'karena ia sedang berada dalam tjemas dan ketakutan ? Biarpun ia pendiam demikian tapi raut mukanja itu manis benar tampak oleh saja. Wahai, masih hidupkah dia ?

Saja tiada berani mengingatkan kematiannja karena menghantjurkan hati saja. Heran saja memikirkan, gandjil benar perasaan saja itu Alangkah tjepatnja saja tertarik oleh gadis tersebut ! Kalau ditanjakan' orang kepada saja sebabnja akan saja djawab dengan pasti :

Entah !"

Kalau benar kata orang bahwa tjinta itu bisu maka kata entah itu sangat mengandung arti. Akan tetapi saja tiada maklum pada saat itu

Tjuma sadja, wahai, tiada lama dapat kulengahkan njanjian selane-gelang perutku sebab semakin lama semakin keras bunji lagunia A m ^ f i va nt f ïa k U ?' ,P i k i r k U d e n g a n t a k u t bertjampur bimbang. Sekalian

mereka telah mendengkur dan tidur njenjak dan «ada sebuah djuga lagi suara pertjakapan terdengar didalam malam jang senjap mati itu

Tiba-tiba saja mendjerit sekuat-kuat suaraku hingga daalm Unetai-ngan tempat persembunjian itu terdjadi hiruk pikuk. Hampir sekalian-« £ Ä ^ " terkedjut. Jang mula-mula melompat kedalam gubukku ialah dua orang.Menurut dugaanku, keduanjalah jang benama feratid°rSbenarngan ^ B i d 6 n' ' ^ b°l 6 h ^ m"e k a toelU™ s e ^

"Ada apa ?", tanjanja serempak.

marah*""1 k a m U ^ ^ ^ B a d j a k a h s a j a s a mPa i Pa& ?". kataku dengan "Demikian perintah kami terima".

n i P h "1^1 1^ Ü' S a h U t k U d e n g a n l e b i h k e r a s' "DJa d i t i a d a teringatkah l ^ f ™ , ? ^ ™ p u l a s e m b a hJ ^ n g dan membajarkan kewadjibanku kepada Tuhan ? Karena oleh kamu ini saja telah keluputan waktu magrib ! Sekarang akan kamu biarkan pulakah saja kehUangan"

waktu 'ïsja? Saja hendak sembahjang !' ^ ^ ^ ^

iJS

r

5SS

,

ÄSi

l t a keluar dengan hebat

-

sedang

**—*

Pasukan-pasukan muslimin itu biasanja keras-keras memegang agama dan tiada ada suatu daja upaja bagiku untuk menaklukkan mereka Ä d e"g a n d j a 1^ a g a m a Pu l a- Meskipun hatiku didalam teramat ketjut, tetapi saja beranikan djuga memperlihatkan gertak

Muslihatku itu tampak pula mudjarabnja kemudian, karena demi mendengar perkataanku itu, pendjaga jang tendekat sekali berdir ketempatku kelihatan bimbang. Ia menoleh kepada temannja dan berpandang-pandangan seketika lamanja, seakan-akan hendak tania-menanjakan pendapat masing-masing. Keduanja sama-sama bimbang

n i " " f H ^ V ^ m a S,U k k e d a I a m orangtua jang telah melindungi

njawaku sendja tadi. Kemudian hari baharu saja ketahui bahwa o-an«tua itu bukan lam daripada Pang Penggero, seorang panglima jang mendjadi tangankanan benar bagi Teuku Tjhiek Tunong.

"Apa jang terdjadi ?" tanjanja dengan bengis.

Kedua pendjaga itu menjampaikan perkataan saja. Demi mendengar

(24)

itu mukanja jang merah padam sewaktu masuk, sekonjong-konjong berobah lembut. Didekatinja saja dan pundakku lalu ditepuk-tepuknja dengan riang.

"Engkau sungguh muslim jang taat kepada Tuhan, kau muslim sedjati " udjamja dan ia tiada berhenti-henti menepuk pundakku. "Kau muslim sedjati ! Muslim sedjati mesti berani seperti engkau mesti berani menjangkal segala apa djuga jang akan menghalangi kewadjiban-nja kepada Tuhan, meskipun ia berada dalam keadaan sebagai engkau sekarang ini. Tahukah engkau, bahwa kau sekarang ini djadi tawanan kami ?"

"Ja" sahutku.

"Nah permintaanmu itu akan dikabulkan. Tapi kalau engkau tjoba memperdayakan kami, njawamu tiada akan kami ampuni. Berdjandjikah engkau ?"

"Ja" sahutku. "Baiklah".

Selang sedjurus ia keluar kembali. Dimuka gubukku terdengar suara hingar bingar. Rupanja sekalian mereka ingin mengetahui apa jang telah terdjadi dan kenapa saja meraung sehebat itu. Sesudah mereka ketahui duduk keadaan jang sebenarnja, lalu kedengaran olehku suara mereka tertawa terbahak-bahak, hiruk pikuk bunjinja. Rupanja mereka merasa-kan geli mendengarmerasa-kan. Dalam pada itu ikatan kaki dan tanganku telah dilepaskan oleh Njak Osen dan kepadaku diberikan Njak Biden sebuah perian air untuk mengambil udhuk.

Saja katakan dengan terus terang — betul selama ini saja tidak pernah meninggal sembahjang setiap waktu — tapi sechusjuk sebagai waktu itu belum pernah saja lakukan.

Tjis ! hendak berdusta pula saja. Lebih betul djika saja katakan bahwa saja berbuat-buat chusjuk, sedang Njak Osen dengan Njak Miden memperhatikanku sadja dari sudut gubuk.

Suara hingar bingar diluar telah henti dan diam sebab sekaliannja telah kembali kepembaringannja.

Sembahjang itu saja iringi pula dengan sunat-sunat rawatibnja, doa dan zikir. Lama saja tafakur dan lama dahulu maka.saja bangkit dari tikar sembahjang.

Entah oleh karena pengaruh perbuatanku itu, pandangan kedua pendjaga itu mendjadi mesra kepada saja. Njak Osen bangun mendapat-kan saja dan berkata :

"Laparkah engkau ?"

Put juk ditjinta ulam tiba ! — tempik hatiku didalam. Memang itu benarlah jang saja inginkan. Tentu bodoh benar saja kalau saja tidakkan. Gebab itu tiada lama antaranja terletaklah makanan dihadapanku. Ah, bantal disorongkan kepada orang mengantuk, nasi dihidangkan kepada orang lapar, bertemu benar ruas dengan buku. Njanji gelang-gelang perutku lalu lipur dan hilang oleh keriulian mulutku mengunjah

(25)

makanan. Didalam hatiku saja mengutjapkan sjukur kepada Tuhan

karena ditundjukinja saja suatu muslihat.

Amat ia Maha Murah !

(26)

V. DARI RIMBA KERIMBA

Setiap pasukan muslimin itu tiadalah mempunjai tempat tetap Senantiasa berpindah-pindah agar musuh djangan dapat membauni djedjaknja. Bersama mereka itu ikut perempuan-perempuan dan anak-anak. Perempuan-perempuan mereka itu gagah-gagah berani pula dan kerapkali ikut serta perang. Hal itu saja pandangi sendiri sewaktu saja masih djadi tawanan mereka. Seorang diantaranja hendak saja sebutkan seumpama Tjuk Methia, isteri Teuku Tjhiek Tunong.

Hal itu tiada mengherankan saja, karena terlebih dahulu saja sudah mendengar djuga kabar berita jang serupa itu, seperti berita-berita perihal Tjut Njak Dien, isteri marhum Teuku Umar Djohan Pahlawan jang sampai kepada masa saja tertawan itu masih meneruskan perla-wanan suaminja disebelah Atjeh Barat.

Selama saja djadi tawanan itu saja telah mengembara bersama mereka, melintasi rimba-rimba raja, mendaki gunung-gunung jang tinggi menjeberangi sungai-sungai jang besar jang disebutkan dalam bahasa Atjeh dengan Kruëng. Masuk kesebelah pedalaman sampai-sampai arah ke Leuhong dan Woini dan kemudian balik kembali mendekati tempat-tempat kompeni jang berada disepandjang djalan Atjeh Tram dan mereka lalu mengadakan penjerangan-penjerangan ketjil untuk

mene-ganggu. 6

Telah hampir tiga minggu lamanja saja berada bersama mereka turut membawakan benda-benda peralatan maupun perbekalan. Akan melepaskan saja rupanja mereka sangat bimbang dan tjuriga, sebab tempat-tempat perdjalanan dan persembunjian mereka telah saja ketahui segenapnja. Akan membunuh saja, dengan tiada sebab karenanja, mereka takut pula akan ditimpa dosa. Sebab itu saja didjaga mereka sadja dengan teliti.

Lambat laun saja berteman karib benar dengan Njak Osen sebab saja pandai membuat djenaka dan olok-olok. Bahkan anak-anak mereka bergirang hati benar kalau lagi berada didekat saja. Akan tetapi walaupun demikian tiadalah dapat hati saja merasa aman. Bukan sadja karena tempat jang sebentar-sebentar berpindah itu, tetapi jang terutama benar, hati saja selalu diharu tjemas dan gentar didekat mereka.

Walaupun saja ada diperlakukan mereka dengan baik, karena saja patuh sadja kelihatannja, tapi hati saja sebenarnja amat ingin terlepas dari tangan mereka. Tetapi saja belum berani mentjoba melarikan diri karena belum ada kesempatan baik terbuka. Kalau saja tjoba akan sia-sialah djadinja dan njawa djua tantangannja. Keinginan itu saja pendam sadja dahulu didalam hati.

(27)

Pernah saja diadjak mereka supaja masuk sadja dalam pasukan muslimin tapi adjakan itu saja tolak. Ketjuali hal itu saja pikir ketika itu membuang-buang njawa sadja, pun djuga tentu tiada djadi lagi tertjapai keinginanku hendak djadi "kondektur".

Pada hari jang keduapuluh satunja saja dalam tawanan, terdjadilah hal jang akan mengubah djalan nasibku. Waktu itu, pagi-pagi benar — sewaktu segenap pendjuru rimba masih diselimuti kabut — datang dua orang mengiringkan dua orang mengirimkan dua tawanan. Kedua tawa-nan itu bangsa Atjeh djuga. Jang seorang namanja Pang Mobin tetapi jang seorang lagi tiada teringat lagi namanja oleh saja.

Keduanja mata-mata kompeni dan kebetulan tertangkap oleh pasukan muslimin. Keduanja dibawa mendjumpai Teuku Tjhiek Tunong. Ketika ia diantjam hendak dibunuh, maka entah karena takutnja, kedua-njapun membukakan rahasia '"impeni, bahwa sekarang ada sepasukan kompeni jang lagi mentjahari dan mengikuti djedjak Teuicu Tjhiek Tunong. Pasukan itu dikeJpalai oleh Luitenant Koek dan terdiri atas empatpuluh lima orang dengan persendjataan lengkap. Malam ini mereka akan menjeberangi kruëng jang ada dekat Sampojnit.

Ketika itu saja duduk bersama-sama mereka itu didalam sebuah pondok besar. Berita itu disambut mereka dengan terperandjat karena djarak persembunjian kami ketika itu tiada berapa djauh dari Sampojnit. Sunji senjap beberapa djurus lamanja. Kesunjian itu kamudian dipe-tjahkan oleh suara Teuku Tjhiek Tunong :

"Dengar !" katanja dengan suaranja jang menjatakan agung dan hebatnja, perkataannja itu dihadapkannja kepada kedua tangkapan itu. "Kami suka mendjandjikan kemerdekaan dirimu, asal kamu bersetia dan bersumpah, akan ikut bersama kami. Maukah kamu ?"

Disini perlu saja tjeritakan bahwa sipat orang Atjeh sangat gandjil. Kehormatan mereka kepada Uluëbëluangnja sangat dalam tertanam didalam hati setiap mereka.

Seorang dua mungkin terbudjuk oleh kompeni tapi bilamana tengah djauh berada dari kepalanja. Manakala mereka telah berada kembali didepan Uluebeulangnja, sipat keperwlraan dan pengorbanan mereka timbul kembali. Relalah mereka mati asal untuk Radjadja. Demikian pula dengan kedua tawanan ini. Mereka segera bersumpah dan belot mendjadi orang muslimin kembali.

Sekalian mereka bersukatjita menjambut kedua teman baru ini. Dalam pada itu mereka lalu bermupakat mentjahari ichtiar untuk memasang perangkap bagi pasukan patruli tersebut. Achirnja putuslah djuga suatu daja upaja, begini djalannja :

Pang Mobin bersama temannja itu mesti balik kembali ke Sampojnit. Keduanja tak boleh mengentarakan perobahan pendiriannja.

Nanti malam, untuk menjeberangi krueng Sampojnit, pasukan patroli itu tentu akan mempergunakan perahu. Pang Mobin dengan temannja mesti menawarkan dirinja untuk penundjuk djalan beserta menjeberang-kannja.

Dipinggir seberangnja segenap pasukan muslimin akan menanti dengan alat sendjata jang lengkap.

(28)

n»™? * S tengah-tengah sungai besar itu kelak, jang berarus

*Z t H ua n g a t, d a l a m > d a n d a r i p m g g i r s e b e r a nS telah terdengar

n L t ^ ï ™ S eLa k U a l 3 m a t' P a n g M o b i n dengan temannja harus membalikkan perahu itu hingga terbenam. Atau kalau tidak, mentjabut ^ ™ l 0 bln g a i r n j a- D a l a m k e a d a a n Ja n g s a n^a t ^ balau Uu n e C ? ÜÏI n mUSlanhi dalJ P i n g g i r S e b e r a n g "t™ melepaskan hudjan

dfsamh„MH J a n g„Sfn g g U P d l a n t a r a s e r d a d u i t u berenang ketepi ai an disambut dengan kelewang dan rentjong

-Demikianlah ! *

Segenap mereka sangat bersukatjita menjambut buah pikiran jang dipandang tjerdik dan sempurna itu. Tapi sajsa termenung D i b ^ i k t o bermatjam pikiran timbul dalam kepalaku.

Kedua bekas tangkapan itu berdjandji dan bersumpah akan k T m b a f T i H WM a k a l"*? l a m a a n t a r a n j a k e d^ n JaP u n dilePpaskan1ah kembali. Ketika mereka lenjap sudah dari pemandangan karena kelin-dungan oleh semak belukar, dalam hatiku timbul pertanjaan : "Dapatkah

keduanja akan setia kepada djandjinja ?" T ^apaiKan Tatkala bimbang hatiku itu ,saja katakan kepada Njak Osen ia

mendjawab dengan tersenjum :

i '

"Keduanja orang Atjeh, sahabat

Saja biarkan dia dengan kebanggaan hatinja itu, karena kepala saja sendiri sedang penuh pula oleh pikiran akan melepaskan diri !

(29)

VI. DIPINGGIR KRUENC SAMPOJNIT

Sendja berangsur gurun. Bajang-bajang kaju-kaju semakin pandjang, bertambah lama garis-garisnja bertambah kabur, achirnja mendjadi satulah ia dengan gelap jang turun menjelimuti alam. Kami masih dalam perdjalanan ditengah rimba menudju krueng Sampojnit.

Sekalian pasukan muslimin itu siap lengkap dengan sendjata. Pada mereka ada beberapa putjuk senapan bekas rampasan dari tangan kompeni. Selain itu mereka tjuma bersendjatakan rentjong, pedang dan kelewang. Pada wadjah mereka tiada terbajang sedikit djuga takut dan gentar.

Dalam pada itu tiada saja mengerti apa gunanja saja dibawa mereka. Mulanja saja bersangka saja akan ditinggalkannja dan telah saja ran-tjangkan suatu djalan untuk meluputkan diri. Kiranja persangkaan saja itu keliru. Ketjewa benar hati saja ketika Njak Osen mengatakan bahwa saja mesti ikut. Rupanja mereka merasakan waswas untuk meninggalkan saja ditempat persembunjian.

Selama dalam perdjalanan ditengah rimba ini, kepalaku tunduk Banjak jang membimbangkan dan menjebalkan hatiku. Sia-sia djadinja niat jang telah saja rekakan. Dengan sebal saja ikutkanlah mereka mengarungi rimba raja.

Sunji sesunji-sunjinja dan sekaliannja berdjalan sebagai bajang-bajang. Ditelinga saja masih mengiang-ngiang fatwa dan pedato Tenungku Ben Dawod untuk menggembirakan dan memberanikan hati pasukan muslimin itu sewaktu akan berangkat. Ia adalah ulama mereka dan sangat mereka perpegangi segala fatwanja. Ia seorang ulama berasal dari Pira' — mentua Teuku Tjhiek Tunong — jang sedjak dulu tiada mau tunduk kepada gubernemen Belanda dan hanja tetap mengakui kekuasaan Sultan Atjeh. Dalam barisan muslimin ini, ia laksana bara jang selalu menjalakan api semangat mereka, mengobarkannja dengan gembira; sehingga oleh kepandaiannja berpedato, menjusun dan melon-tarkan kalimat jang berapi-api, lupa sipendengarnja akan harga njawanja. Kepandaiannja itu telah saja dengar dan perhatikan sore tadi sewaktu akan berangkat !

Dalam perdjalanan mengarungi onak dan duri ini dengan berdiamkan diri, segenap pidatonja itu masih mendenging-denging ditelinga saja, tapi hanja tinggal sajup-sajup bagai imbauan dari djauh, karena kepalaku sendiri sedang penuh oleh pikiran hendak melepaskan diri. Rantjanganku pertama telah gagal. Sekarang ini kepalaku rasakan berputar mentjahari djalan lain, hingga ia berasa panas. Sekali ranting berduri memukul mataku dengan tiada saja ketahui sehingga saja terdjerit. Ketika itu 27

(30)

sekaliannja terhenti dan menoleh kepadaku dan dengan serentak ter-dengar suara mendesis: "Sssstt !"

Njak Osen dan orang-orang jang berdiri didekatku membelalakkan matanja kepadaku sehingga saja merasakan takut. Oleh sebab itu saja berdjalan makin hati-hati.

Lewat sedikit pukul sembilan malam sampailah kami dipinggir krueng Sampojnit jang didjandjikan. Malam gelap. Tjahaja bintang hanja terkelip-kelip suram pada dataran tjakrawala jang hitam. Desau air mengalir bergema-gema mengiris kesunjian malam. Segenap mereka telah memilih tempat persembunjian masing-masing.

Sungai itu besar, berarus deras, mempunjai tebing jang agak ketinggian. Ditebingnja tumbuh pohon-pohonan diselimuti semak-semak jang rapat. Pinggir seberang sana kerendahan dan ditumbuhi oleh pohon-pohon bakau. Airnja jang luas itu menghitam kelam.

Uang Nenggëro memerintahkan Njak Biden mendjaga saja. Mereka bersembunji dipingglr-pinggir sungai sedang saja bersama Njak Biden berada djauh dibelakang. Mataku saja lajangkan kemuka, melampaui kepala mereka jang tersembul pada semak-semak, akan melihat gerak diseberang. Hatiku berdebar-debar. Dadaku memukul dengan kentjang. Bukan saja sadja rasa hatiku demikian, bahkan pasukan muslimin ini lebih lagi gerangan. Walaupun mereka menanti dengan diam, tapi tampak djuga olehku, bahwa mereka gelisah menunggukan saat jang mendebar-kan itu. Degup-degup hati Njak Biden jang berdiri disisiku bagai terde-ngar rasanja keluar. Sebentar-sebentar ia menarik napas. Matanja seperti mataku djuga, melajang kemuka, tiada berapa ia memperhatikanku.

Ia tiada berkata sepatahpun djuga dan sajapun berdiamkan diri sadja.

Telah lama kami menanti tetapi tiada sebuah djua gerak diseberang kelihatan. Waswasku timbullah kalau-kalau kedua mata-mata jang belot itu telah balik gagang. Maka djangan-djangan tempat kami menanti sekarang ini jang telah kena kepung !

Perasaan serupa itu ada pula pada Njak Biden, dibisikkannja ketelingaku. Akan djawabnja saja hanja menggelengkan kepala dan mataku menoleh dengan tadjam berkeliling. Lakuku itu diturutkan oleh Njak Biden. Sekeliling kami sunji sahadja sehingga hatinja kembali aman dan tenang.

"Boleh djadi mereka hendak melarutkan malam dahulu", bisiknja pula. "Maka kita terpaksa menanti berdjam-djam lagi".

Benar tidaknja persangkaannja itu wallahu a'lam. Perkataannja itu tiada saja sahuti karena kepala saja tiba-tiba diserang oleh satu niat. Saja perhatikan ia dengan sudut mata dan djalan darahku gemuruh rasanja.

Kami hanja berdua sadja disini. Teman-temannja djauh dimuka. Bukankah mudah benar bagiku, selagi ia tiada memperhatikanku, men-tjekik batang lehernja dari belakang, merebahkannja seraja menghimpit tubuhnja dengan kuat supaja djangan bersuara sedikit djuapun ? Ni itulah sekarang jang terbit dalam hatiku, menggelora dengan tjepat.

(31)

sehingga dadaku berdempung-dempung. Ia saja perhatikan dengan tadjam — dengan sanding mata !

Tubuhnja kukuh dan tegap, ia lengkap dengan sendjata. Maka timbul pula bimbang hatiku, kalau-kalau sebelum ia sempat kurebahkan ia dapat melepaskan dirinja, atau sebelum lehernja dapat kutjekik erat _ ia dapat bersuara, maka nistjaja saja akan tidak melihat matahari esok hari lagi. Karena itu saja ukur-ukur dan saja amang-amanglah idia leV'h dahulu dalam kira-kiraku. Saja gambarkanlah tjara-tjara akan mengalah-kan dan merebahmengalah-kannja.

Tapi tiba-tiba, entah karena ia maklum dan merasa akan niat jang terkandung dalam kalbuku itu, ia menoleh dan mendeham ketjil Saja disuruhnja duduk dan ia berdiri dibelakangku.

"Penat kau barangkali berdiri sadja", katanja bagai berbisik. "Silakan kau duduk".

Mendengar bunji suaranja ternjata ia tidak maklum akan niatku. Tapi saja terpaksa duduk supaja ia djangan tjuriga. Dalam pada itu hatiku marah bukan kepalang karena kembali niatku gagal.

Hasratku tetap sudah bahwa pada malam semalam ini saja mestilah meluputkan diri. Tapi bagaimana djalannja ? Maka sajapun mentjoba pula memikirkan muslihat lain.

Sebentar lagi, djikalau bersua sebagaimana jang mereka rentjanakan akan terdjadilah hiru-biru, akan terdjadi kalang-kabut jang ngeri. Asap bedil akan bergumpal-gumpal, bunji tembakan akan bertjampur dengan raung dan pekikan. Maka bagaimana saja mesti mempergunakan piluang jang baik itu? Hal itulah jang saja pikirkan selagi duduk termenung diam.

Sekonjong-konjong segala semak belukar bergojang demi dari djauh kedengaran desir dajung membelah air. Saja tegak kembali. Segenap mata tertudju kemuka dengan tadjam. Amboi, perahu besar dua buah tampak bergerak madju dari seberang sana dan keduanja penuh ber-muatan serdadu !

Tali hatiku menggeletar. Tapak tangan dan kakiku basah oleh keringat dingin. Dadaku bergontjang mengingat apa jang akan terdjadi sekedjap lagi !

Sahabat ! Tiada kuat hatiku akan mentjeriterakan kengerian peris-tiwa masa itu. Sampai kepada masa'ini perisperis-tiwa Sampojnit itu amat tertjatat didalam sedjarah. Masih tampak-tampak olehku, dalam tjahaja bintang jang terkidjap-kidjap dipermukaan air, sungai besar itu merah oleh darah; dan dipinggir sungai, darah berleleran diatas rumput. Djangan dikata pula lagi raung djerit dan pekik jang menjeramkan.

Kesingkatan peristiwa itu sadja jang sanggup saja tjeritakan. Benar-lah berlaku kadjadian jang rereka rentjanakan sedjak bermula. Kedua perahu itu mendekati tengah. Dua tembakan kedengaran dan kedua perahu itu sekonjong-konjong terbalik. Suara pekik lalu bertjampur dengan djerit gemas dan amarah jang kalang kabut.

"Tukang dajung !" "Setan, tangkap ia !"

(32)

"Keduanja lolos " "Buru dan selami lekas !"

"Wahai, senapanku !"

Kearah tumpak itu sekonjong-konjong menghudjan peluru dari pinggir. Djerit gemas bergantikan djerit sakarat. Mana jang sanggup menjeberang kepinggir disambut pula oleh pedang dan kelewang. Konon kabarnja — setelah saja beroleh kabar pasti beberapa hari kemudiannja — diantara empatpuluh lima orang serdadu itu ada duapuluh sembilan orang jang mendjadi korban. Seorang diantaranja Luitenant Koek sendiri. Dalam pada itu ada empatpuluh dua senapan jang hilang lenjap Kedjadian itu ialah dalam bulan Nopember 1903 !

Bagaimana keadaanku sendiri ? Sebelum peristiwa itu kedjadian itu sewaktu saja masih duduk termenung, sebenarnja saja telah beroleh suatu akal.

Masih djelas terbajang-bajang diruang mataku sekarang, ketika saja tertegak demi mendengar desir dajung djauh diseberang, mata Njak Biden berkilat-kilat dan bertjahaja-tjahaja. Persendiannja menggigil menahan kegembiraan. Tapi dengan tjepat ia berpaling kepadaku dan memperhatikan segala gerakku. Pada sikapnja dapat kuterka, bahwa dia sedia akan menjambut mulutku, djikalau saja mentjoba hendak berteriak memberitahu. Bahkan sedialah dia akan memadami njawaku dengan tiada menaruh belas kasihan !

Njawaku ! padahal njawa itu benarlah jang sangat perlu bagiku karena saja ingin djadi "kondektur". Masakan saja akan berlaku sependir itu.

Tidak !

Tjuma dengan tangan gemetar saja lalu meraba tangannja dan saja pinta untuk buang air besar. Ia memandang kepadaku terbeliak, seakan-akan tak hendak pertjaja kepada pendengarannja. Lama saja ditatapnja.

Entah terasa olehnja tanganku jang dingin itu tiba-tiba iai menaruh kasihan.

"Getjarkah engkau ?" tanjanja.

Tiada saja malu ketika itu mengaku dengan terus terang "Marilah !" katanja.

Saja lalu mengirimkannja kepinggir sungai arah kehilir, merajap dengan hati-hati. Setiba disana, tanganku jang sebelah diikatnjalah dengan seutas tali, sedang udjungnja jang sebelah dipegangnja, dan saja dibiarkannja turun kepinggir sungai dan berlindung dibalik sekelompok semak. Demikian tetap dilakukan setiap saja akan buang air besar dalam setiap perdjalanan. Tali itu sebentar-sebentar ditegangi dan saja harus meneganginja pula akan tanda bahwa saja ada.

Tapi sekali itu !

Saja mengutjapkan sjukur kepada Tuhan "karena sekali itu saja ditundjukinja suatu daja baru.

Sebelum -urun kepinggir sungai Njak Biden menasihatiku supaja djangan berteriak dan djangan memberi alamat kepada kedua perahu tersebut.

(33)

'\Kalau engkau lakukan", katanja mengantjam, "Engkau jang akan lebih dahulu mendjadi korban pada malam ini. Akan saja tembak engkau dengan tiada menaruh kasihan".

Memang tiada ada terniat olehku akan berlaku demikian. Saja turun dan berlindung kebalik sekelompok semak. Tapi sebenarnja sekali-kali bukan saja hendak buang air besar, hanja — dengan amat hati-hati ikatan tali pada tanganku itu saja buka — sementara itu bila diteganginja saja tegangi pula — lalu saja ikatkan pada sebuah ranting kaju.

Dihadapanku terbentanglah alam luas, atau lebih betul, permukaan air jang lebar ! Dengan sekali mentjeburkan diri dan menjelam dengan sepandjang-pandjang napasku — mudjur saja ada mempunjai kepandaian menjelam karena negeriku di Minangkabau ditepi danau — maka akan tibalah saja diseberang, dan — saja akan menginjam kebebasan diriku kembali

Saja menarik napas dengan lega, menghirup udara dengan selapang-lapang dada. Sebelum saja melakukan niat itu, saja pandangi tali pada rantingkaju itu lebih dahulu, seraja tersenjum. Kebetulan ketika itu Njak Biden menegangi tali dan sebaliknja rantingkaju itu lalu menegangnya pula. Saja lalu tersenjum geli. Entah berapa lamanja Njak Biden dengan rantingkaju itu bertegang-tegangan tali sepeninggalku, tiadalah saja ketahui.

Dengan perlahan-lahan saja menjelusurkan kepalaku kedalam air, bahuku, pinggangku, kakiku, achirnja hilang lenjaplah sama sekali. Sedjuk dan .dingin sekudjur tubuhku dan saja merangkuh air dengan sekuat-kuat tenagaku. Entah berapa lamanja kemudian baru saja menjembulkan kepala sedikit sadja — tiadalah djelas oleh saja. Tjuma diudik tampak olehku kedua perahu itu terbalik, diiringi suara jang hiruk pikuk, kemudian bunji hudjan peluru jang berderam-deram. Dengan tjepat saja membenamkan kepala kembali dan menjelam arah keseberang. Ketika saja sampai dipinggirnja, duduk terengah dirumpun urat pohonbakau, maka dari sanalah saja memandangi segenap peristiwa jang dahsjat itu. Ngeri hatiku tiadalah dapat dikatakan. Belasan orang jang basah kujup mempertahankan dirinja dari serangan pedang dan kelewang jang berkilatan didalam kerdipan tjahaja bintang !

Malam itu saja tiada berani masuk keperkampungan Sampojnit. Saja takut akan tertangkap kembali. Maka saja menjelusur sasdja kearah lain dan amat saja djauhi benar kampung-kampung orang Atjeh. Maksud saja, sebelum matahari menjingsing esok pagi, telah djauh saja hendaknja dari Sampojnit.

Semalam-malaman itu dengan tiada mengingat letih saja berdjalan sadja. Saja tjemas kalau-kalau perdjalananku ada jang memburu. Dalam lingkungan daerah jang tiada saja kenal benar letak-letaknja ini, nistjaja akan segera saja dapat mereka pegat. Maka tiada ada suatu djalan jang sebaik-baiknja begitu untuk menghindarkan itu, ketjuali meneruskan perdjalanan dengan tiada berhenti-henti semalam-malaman.

Perdjalanan itu bukan menuruti djalan, hanja melintasi belukar-belukar dan rimba. Dingin subuh telah mulai masuk kedalam tulang sumsum.

(34)

Ketika tubuhku telah gemeletuk oleh kesangatan sedjuk, sekudjur persendianku menggigil oleh keletihan, saja lalu merebahkan diri diurat Kaju. baja tertidur disana dengan njenjak berselimutkan embun.

Saja baru terbangun ketika tjahaja matahari dari tjelah-tjelah daun memanasiku mataku. Matahari telah tinggi dan tengah melepaskan tjahajanja jang sangat terik.

« ™ ™anb^dt ?i t e n?a l}-t e nSa h r i m^ besar dan pada tumpak manakah S g f t l a d a l a l\s aJa k e t a l™i. Ternjata perdjalananku semalam telah djauh tersesat. Setelah melepaskan laparku dengan umbi-umbi kaju lalu saja angsur pula perdjalanan untuk mentjahari haluan. Beberapa kali saja memandjat pohon kaju jang tinggi-tinggi akan menindjau arah jang harus kutudju tapi sekian kali pula saja harus meluntjur turun dengan ketjewa. Jang tampak olehku hanja putjuk kaju-kajuan belaka. ™QJ

a p i S a j a b U k a n s e o r a n

S jang lekas putus asa. Saja berdjalan djuga meskipun sampa! sendja belum djuga mendekati kampung orang. Malam itu saja. terpaksa pula bermalam kembali ditengah rimba. Djikalau malam kemarin saja tiada menaruh gentar sedikit djuga karena didorong takut S a n t e r t a nS k a p pula, malam ini mulai saja merasa T,,h^ï,!nca . ^ Ä m r d i a t a S s eP °h o n kaJ'u- Pada djipang dahannja. w » kh J , n d e n g a n S e U t a S a k a r s u p a j a dJ 'a nga n <dJatun- Pada

kesuatu S m a m S a j a t e r b a n^ dan mataku terikat memandang Djauh disebelah barat tampak langit njala kemerah-merahan dan terang benderang tjahajanja. Saja gesek mataku dan saja perhatikan dengan takdjub. Ternjata disana ada kebakaran dan pasti ada sebuah 3 J a?g t e lth m U S n a h °l e h a p i- K a mP ™ g ! perkataan itu mem-bangkitkan kegembiraan dalam hatiku. Arah itu saja perhatikan sangat karena sekonjong-konjong saja beroleh pedoman untuk perdjalanan esok hari. Berdjam-djam lamanja langit masih merah bernjala-njala.

Kemudian hari baru saja ketahui bahwa kampung itu Blang-Me namanja sengadja dimusnahkan oleh pasukan muslimin oleh karena penduduknja memberikan bantuan kepada patroli Belanda. Kenapa mereka sampai kesana tiada saja ketahui. Boleh djadikah mereka mengedjar dan memburu saja ?

(35)

VIII. BALIK DENGAN SELAMAT

Ketika saja terdiri sekonjong-konjong didepan sepku ia terkedjut bukan kepalang. Selang seketika air mukanja lalu berseri-seri dan matanja bertjahaja-tjahaja. Ia bangkit dari kerosinja, didjabatnja tanganku, digontjang-gontjangnja dengan kuat,' kemudian ia menepuk-nepuk pundakku.

"Kami sangka engkau akan tidak kembali lagi kedunia ini, Karem !" katanja dengan girang. "Kedatanganmu sekarang ini bagai djatuh dari langit lajaknja, balik hidup sekonjong-konjong. Hampir kusangka bahwa arwahmu tadi jang mendjelma. Ah, mudjur kau balik dengan tiada bertjatjat sedikit djua, meskipun mukamu putjat bagai majat. Selamat datang, Karem !"

Tiada terkatakan kegembiraan hatiku sendiri karena sempat berdjumpa kembali dengan sepku jang baik hati itu. Ia peramah dan baik budi. Kepadaku tjuma sekali ia pernah marah sehebat-hebatnja, jaitu ketika lokomotip menggelindjang kena singgung pernja, tatkala saja mula masuk kerdja dahulu itu. Sesudah itu tiada ada lagi. Malah ia mendjadi teramat sajang kepadaku, dan kesajangannja itu kentara benar, sewaktu berdjumpa kembali sekarang ini.

Perasaan disajangi oleh sep itu mendjadi satu kebahagiaan benar bagi seorang buruh masa itu. Sepatah kata jang manis atau sebuah tepukan, pundak sudah tjukup untuk memerah-padamkan muka karena kegirangan. Apalagi djika sep memperlihatkan kesajangannja berterang-terang sebagai saja terima sekarang ini. Maka tiada heran djika sajapun merasakan amat berbahagia.

Dipintanja saja mengisahkan segenap pengalamanku dalam masa hampir sebulan itu, ketika saja telah disilakannja duduk didepannja. Kenapa saja dionjokkannja tempat rokoknja dan dengan tiada malu-malu saja mendjemba sebuah sigaret. Saja lalu bertjerita dan didengarkannja dengan asjik.

"Berani ! — berani sungguh kau ini — pekat dan djantan benar hatimu !" katanja sebentar-sebentar memudji. Dan ketika tjerita saja sampai tentang kedjadian dipinggir krueng Sampojnit itu, ia memperbaiki duduknja, dan mendengarkan dengan lebih asjik.

"Sabas kau, Karem !" katanja ketika tjerita saja sudah habis dan ia menghela napas pandjang. Entah oleh kepandaian saja bertjerita entah oleh karena jang saja tjeritakan itu memang mendebar-debarkan hati — rokok ditangannja telah mendjadi abu dengan tiada diisapnja ! Setelah menarik napas sekali lagi ia berkata pula- "Djadi kau melihat sendiri dengan matamu akan kedjadian ditepi sungai Sampojnit itu ?

(36)

Wahai, banjak benar pengalamanmu, banjak oenar perasaianmu tapi mudjur kau kembali dengan tiada kurang suatu apa. Giran? haf ku mendengar keberanian dan ketjerdikanmu, Karem !"

Ia membakar rokoknja sebuah lagi pengganti jang telah habis dengan tiada diketahuinja itu, kemudian mendjemba gagang telepon. Dengan siapa ia bertjakap-tjakap dan apa gerangan jang dipertjakapkannja, tiada saja ketahui, sebab pertjakapan itu didalam bahasa jang biasa kami sebut kreseh-peseh. Ada beberapa menit kemudian ia berpaling kemba'i kepadaku dan berkata, katanja :

"Karem,!" — nama itu belum djuga terobah olehnja menjebutnia meskipun telah berbulan-bulan saja bekerdja pada Atjeh Tram sedan-ia senantsedan-iasa mendengar teman-temanku memanggilku karim sahadja — ' Engkau tentu perlu menjegarkan tuduhmu dahulu, karena putjat benar engkau saja lihat, apalagi sebagai katamu tadi dalam beberapa hari ini kau hanja memakan umbi-umbi kaju. Sebab itu engkau saja izinkan perlop selama limabelas hari".

"Tapi bagaimana dengan gadjiku selama sebulan jang lampau ini ?" tanjaku dengan tjemas.

Sepku itu tertawa.

"Tentu sadja tiada dibajar karena engkau tiada bekerdja", sahutnia dengan tersenjum. Oleh karena pada persangkaanku ketika itu ia berkata dengan sesungguhnja, maka saja menatapnja. Ia mengerti rupanja akan arti pandangku itu, sebab itu ia berkata pula :

K, i "Z! ^ \ d j a n g a n «e m a s> Karem ! Saja tjuma main-main. Gadjimu bulan Oktober dan Nopember akan kau terima. Dan masa jang sebulan kau dalam tawanan pasukan muslimin itu boleh kau anggap sadja kau dalam perlop'. Sekarang perlopmu itu ditambah limabelas hari lagi Djadi kau boleh masuk kerdja, pada habis bulan sadja".

Tiada terperikan girang hatiku. Berkali-kali saja mengutjapkan terimakasih. Tapi sekonjong-konjong keinginan hendak djadi "kondektur" lalu bergerak-gerak dalam kalbuku hendak meluntjur dari mulutku bagai baji dalam kandungan. Selama ini keinginan itu tinggal keinginan dan belum pernah saja sampaikan kepadanja. Pada pikirku sekaranglah kesempatan jang sebaik-baiknja, pada saat hatinja tengah terbuka benar. Maka dengan gugup dan tertegun-tegun saja berkata :

"Tapi tuan " "Apa ?"

"Pekerdjaan tukang rem berbahaja benar, tuan " "Djadi bagaimana ? Kenapa tidak bitjara terus terang sadja Aiuh katakanlah apa jang terasa dalam hatimu, Karem !"

Demi mengengarkan perkataannja jang achir itu keberaniankupun timbul. Saja sampaikan keinginanku hendak djadi kondektur itu Tiba-tiba ia gelak terbahak hingga merah padam mukaku kemalu-maluan Ia merasakan geli seorang tukang rem hendak djadi kondektur.

Referensi

Dokumen terkait

(menatap Rifan dengan sorot mata sedih bercampur emosi) Kalau Ibuk mati, kamu bisa mendoakan ibuk jika masuk Pondok.. Permintaan Ibuk itu saja, kamu mondok kalau masih sayang

perihal materi dan tujuan yang akan dipelajari serta acara pembelajaran yang akan dipelajari dalam menulis teks puisia.

Pada saat saat tertentu atau khususnya saat client akan terhubung (assosiate) atau ketika akan memutuskan diri (deauthentication) dari sebuah jaringan wireless, maka

Hasil penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian, diantaranya adalah penelitian dari Anggriani (2012) yang dilaksanakan pada siswa kelas VII di SMP N

Dalam uji tak merusak menggunakan gelombang ultrasonik perlu dilakukan pemrosesan lebih lanjut terhadap sinyal-sinyal yang diperoleh baik dengan analisis amplituda,

No Temuan Reff COBIT 5 Analisis Risiko Rekomendasi - Terdapat bug dalam sistem conversion test) 11 Tidak ada rencana pelatihan, hanya terdapat materi pelatihan

Nama- nama calon petugas yang lolos seleksi administrasi dan berhak mengikuti ujian tertulis dan wawancara dapat dilihat pada lampiran 1.. Jadwal dan tempat pelaksanaan tes