• Tidak ada hasil yang ditemukan

R I S M A W A T I G

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "R I S M A W A T I G"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI LAJU PENGERINGAN

SEMI-REFINED CARRAGEENAN (SRC) YANG DIPRODUKSI

DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DENGAN METODE

PEMANASAN KONVENSIONAL DAN PEMANASAN OHMIC

SKRIPSI

OLEH

R I S M A W A T I

G62108259

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

(2)

ii

STUDI LAJU PENGERINGAN

SEMI-REFINED CARRAGEENAN (SRC) YANG DIPRODUKSI

DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DENGAN METODE

PEMANASAN KONVENSIONAL DAN PEMANASAN OHMIC

SKRIPSI

OLEH

R I S M A W A T I

G62108259

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Teknologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

(3)

iii HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) yang Diproduksi dari Rumput Laut Eucheuma

cottonii dengan Metode Pemanasan Konvensional dan

Pemanasan Ohmic

Nama : Rismawati

Stambuk : G62108259

Program Studi : Keteknikan Pertanian Jurusan : Teknologi Pertanian

Disetujui Oleh Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Salengke, M.Sc. NIP. 19631231 198811 1 005

Inge Scorpi Tulliza, STP.,M.Si. NIP. 19771105 200501 2 001 Mengetahui Ketua Jurusan Teknologi Pertanian Ketua Panitia Ujian Sarjana

Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir, MS NIP. 19570923 198312 2 001

Dr. Ir. Sitti Nur Faridah, MP NIP. 19681007 199303 2 002

(4)

iv KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) yang Diproduksi dari Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Metode Pemanasan Konvensional dan Pemanasan Ohmic” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari bahwa begitu banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Salengke, M.Sc. dan Ibu Inge Scorpi Tulliza, STP, M.Si. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Abd. Azis, STP, M.Si. selaku teknisi laboratorium yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis selama melakukan penelitian.

Tentu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang tua dan keluarga atas segala doa dan nasihat yang diberikan kepada penulis, serta teman-teman Tim Rumput Laut (Amry, Fildzah, Noneng, Nunu, Rahma, Fati, Rahmat, dan Almh. Vivin) penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan kerja samanya selama ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bila dalam skripsi ini terdapat kesalahan atau kekeliruan. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Makassar, September 2012

Penulis

(5)

v Rismawati. G6210825. Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) yang Diproduksi dari Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Metode Pemanasan Konvensional dan Pemanasan Ohmic. Dibimbing oleh Salengke dan Inge Scorpi Tulliza.

RINGKASAN

Pengolahan rumput laut untuk menghasilkan produk-produk bermanfaat umumnya dilakukan melalui proses alkalisasi dan ekstraksi kemudian diikuti dengan proses pengeringan produk yang dihasilkan. Dalam proses produksi karaginan setengah murni (semi-refined carrageenan), rumput laut yang telah melalui proses alkalisasi harus dikeringkan untuk menurunkan kadar airnya dari sekitar 85% menjadi 12%. Dalam penelitian ini, proses alkalisasi rumput laut jenis Eucheuma cottonii dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu alkalisasi dengan pemanasan konvensional dan alkalisasi dengan pemanasan Ohmic dengan tiga level suhu pemanasan yaitu 70oC, 75oC, dan 80oC dengan menggunakan konsentrasi larutan KOH 0,5 N dan 1 N dan dipanaskan selama 1 jam dan 2 jam pada kuat medan listrik 3,7 V/cm dan 4,9 V/cm. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh metode alkalisasi, lama proses alkalisasi, dan konsentrasi alkali terhadap laju pengeringan karaginan kasar dan menentukan model pengeringan yang paling sesuai dengan karakteristik pengeringannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alkalisasi rumput laut dengan metode pemanasan Ohmic memiliki laju pengeringan yang lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan konvensional sehingga dapat disimpulkan bahwa metode alkalisasi, lama proses alkalisasi, dan konsentrasi alkali mempengaruhi laju pengeringan semi-refined carrageenan. Dari pengeringan lapisan tipis yang dilakukan diperoleh model pengeringan yang paling sesuai dalam merepresentasi karakteristik pengeringan semi-refined carrageenan adalah model Page dengan nilai R2 yang bervariasi antara 0,896-0,997, nilai 2 bervariasi antara 0-0,00001355 dan nilai RMSE bervariasi antara 0,00006-0,00349.

Kata Kunci : Laju Pengeringan, Pemanasan Ohmic, Semi-Refined

(6)

vi RIWAYAT HIDUP

Rismawati. Penulis dilahirkan di Watampone pada tanggal 13 April 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Alm. Abdul Majid dan Ibu Hj. Bahriah, BA. Penulis memulai pendidikan formal pertama pada tingkat taman kanak-kanak yaitu TK Matannatikka, Watampone pada tahun 1995-1996. Selanjutnya, penulis bersekolah di SD Inpres 12/79 Macanang pada tahun 1996-2002. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Watampone pada tahun 2002-2005. Setelah itu, dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 2005-2008 di SMA Negeri 4 Watampone. Melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) pada tahun 2008, penulis diterima sebagai salah satu mahasiswi di Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin dan menyelesaikan studi tingkat S1 pada tahun 2012.

(7)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RINGKASAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Kegunaan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma cottonii ... 4

2.2 Panen dan Pascapanen Rumput Laut Eucheuma cottonii a. Panen ... 5

b. Pascapanen ... 5

2.3 Karaginan ... 6

2.4 Teknologi Pengolahan Rumput Laut Eucheuma cottonii a. Perlakuan Alkali Dingin (Cold Alkali Treatment) ... 9

b. Produksi Karaginan Setengah Murni (SRC) ... 9

c. Produksi Karaginan Murni (RC) ... 11

2.5 Pemanasan Konvensional dengan Oil Bath ... 11

2.6 Pemanasan Ohmic ... 12

2.7 Konsep Dasar Pengeringan a. Pengeringan ... 14

b. Jenis Pengeringan ... 15

c. Kadar Air ... 16

d. Laju Pengeringan ... 16

(8)

viii III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat ... 20

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.3 Perlakuan Penelitian ... 20

3.4 Prosedur Penelitian ... 21

3.5 Parameter Pengamatan ... 23

3.6 Diagram Alir Penelitian ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air Selama Pengeringan ... 25

4.2 Laju Pengeringan ... 27

4.3 Model Pengeringan a. Moisture Ratio (Rasio Kelembaban) ... 33

b. Analisa Model Pengeringan ... 34

c. Kesesuaian Model Pengeringan ... 36

V. KESIMPULAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(9)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Standard Mutu Karaginan ... 8 2. Beberapa Teknologi Pengolahan Karaginan dari Eucheuma sp. ... 11 3. Model Matematika Pengeringan ... 18 4. Matriks Perlakuan dalam Alkalisasi dan Sifat Fisik SRC yang

Dihasilkan ... 20 5. Penurunan Kadar Air (%bb) Selama Pengeringan pada Metode

Pemanasan Konvensional dan Pemanasan Ohmic (Konsentrasi

Larutan KOH 0,5 N) ... 26 6. Penurunan Kadar Air (%bb) Selama Pengeringan pada Metode

Pemanasan Konvensional dan Pemanasan Ohmic (Konsentrasi

Larutan KOH 1 N) ... 27 7. Bentuk Linear Model Pengeringan yang Diuji ... 34 8. Nilai Konstanta dan R2 dari Model Pengeringan pada Perlakuan

Pemanasan Konvensional ... 35 9. Nilai Konstanta dan R2 dari Model Pengeringan pada Perlakuan

Pemanasan Ohmic ... 35 10. Nilai R2, 2, dan RMSE pada Perlakuan Pemanasan Konvensional ... 36 11. Nilai R2, 2, dan RMSE pada Perlakuan Pemanasan Ohmic ... 37

(10)

x DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Oil Bath ... 11 2. Prinsip Kerja Pemanasan Ohmic ... 13 3. Diagram Alir Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) ... 24 4. Grafik Penurunan Kadar Air SRC Selama Pengeringan pada

Metode (a) Pemanasan Konvensional; (b) Pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 3,7 V/cm); (c) Pemanasan Ohmic (kuat medan

listrik 4,9 V/cm) ... 25 5. Grafik Laju Pengeringan SRC Terhadap Waktu Pengeringan

dengan Perlakuan Alkalisasi (a) Pemanasan Konvensional; (b) Pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 3,7 V/cm; dan (c) Pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 4,9 V/cm) ... 28 6. Grafik Lama Pemanasan pada Konsentrasi Alkali 0,5 N terhadap

Laju Pengeringan SRC, (a) t = 1 jam, T = 70OC; (b) t = 2 jam, T = 70OC; (c) t = 1 jam,T = 75OC; (d) t = 2 jam, T = 75OC; (e) t = 1 jam,

T = 80OC; dan (f) t = 2 jam, T = 80OC ... 29 7. Grafik Lama Pemanasan pada Konsentrasi Alkali 1 N terhadap

Laju Pengeringan SRC (a) t = 1 jam, T = 70oC; (b) t = 2 jam, T = 70oC; (c) t = 1 jam, T= 75oC; (d) ) t = 2 jam, T = 75oC; (e) t = 1 jam, T = 80oC; dan (f) t = 2 jam, T = 80oC ... 30 8. Grafik Konsentrasi Alkali pada Lama Pemanasan 1 jam Terhadap

Laju Pengeringan SRC (a) 0,5 N, T = 70oC; (b) 1 N, T = 70oC; (c) 0,5 N, T = 75oC; (d) 1 N, T = 75oC; (e) 0,5 N, T = 80oC; dan (f) 1 N, T = 80oC ... 31 9. Grafik Konsentrasi Alkali pada Lama Pemanasan 2 jam Terhadap

Laju Pengeringan SRC (a) 0,5 N, T = 70oC; (b) 1 N, T = 70oC; (c)

0,5 N, T = 75oC; (d) 1 N, T = 75oC; (e) 0,5 N, T = 80oC; dan (f) 1 N, T = 80oC ... 32 10. Grafik MR Selama Proses Pengeringan SRC untuk Semua

Perlakuan (Alkalisasi dengan (a) Pemanasan Konvensional, (b) Pemananasan Ohmic, kuat medan listrik 3,7 V/cm, dan (c) Pemanasan Ohmic, kuat medan listrik 4,9 V/cm ... 33 11. Grafik Kesesuaian Model Page dengan Model Observasi pada

Perlakuan Alkalisasi dengan Pemanasan Konvensional ... 39 12. Grafik Kesesuaian Model Page dengan Model Observasi pada

Perlakuan Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmic pada Kuat

Medan Listrik 3,7 V/cm ... 40 13. Grafik Kesesuaian Model Page dengan Model Observasi pada

Perlakuan Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmic pada Kuat

(11)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Hasil Pengamatan Selama Pengeringan pada Perlakuan

Alkalisasi dengan Pemanasan Konvensional ... 45 2. Hasil Pengamatan Selama Pengeringan pada Perlakuan

Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmic ... 47 3. Kadar Air Basis Basah, Laju Pengeringan, dan Moisture Ratio

Selama Pengeringan pada Perlakuan Alkalisasi dengan

Pemanasan Konvensional ... 51 4. Kadar Air Basis Basah, Laju Pengeringan, dan Moisture Ratio

Selama Pengeringan pada Perlakuan Alkalisasi dengan

Pemanasan Ohmic ... 53 5. Grafik Persamaan Linear Model Pengeringan pada Perlakuan

Alkalisasi dengan Pemanasan Konvensional ... 57 6. Grafik Persamaan Linear Model Pengeringan pada Perlakuan

Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmic ... 63 7. Hasil Regresi Linear Model Pengeringan pada Perlakuan

Alkalisasi dengan Pemanasan Konvensional ... 75 8. Hasil Regresi Linear Model Pengeringan pada Perlakuan

Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmic ... 77 9. Dokumentasi Kegiatan Selama Penelitian ... 81

(12)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya perairan yang telah sejak lama dimanfaatkan sebagai komoditi ekspor hingga saat ini. Sebagai negara maritim, Indonesia merupakan negara penghasil rumput laut yang melimpah dan sangat potensial untuk dikembangkan, baik dari segi pembudidayaan, pengolahan hingga pemasarannya. Dalam merealisasikan hal tersebut, diperlukan upaya yang saling bersinergi agar hasil rumput laut di Indonesia menjadi lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Jenis rumput laut yang dianggap bernilai ekonomi dan mempunyai peluang besar untuk dikembangkan salah satunya adalah jenis Eucheuma cottoniii. Rumput laut ini merupakan rumput laut yang mengandung karaginan yaitu kappa-karaginan. Kappa-karaginan adalah jenis karaginan yang memiliki karakteristik gel yang kuat (rigid) yang digunakan sebagai bahan pengental, pengemulsi, dan pembentuk gel sehingga dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan industri seperti industri pangan, farmasi, kosmetik serta industri lainnya yang menggunakan rumput laut sebagai bahan baku atau bahan aditifnya (Anggadiredja et. al., 2009). Oleh karena itu, Eucheuma cottoniii berpotensi untuk dioptimalkan pengembangannya. Pengembangan budidaya rumput laut ini harus pula diikuti oleh pengembangan industri pengolahannya.

Semi-refined carrageenan (SRC) atau karaginan setengah murni merupakan salah satu bentuk olahan rumput laut yang diproduksi dengan metode alkalisasi melalui proses pemanasan. Pengolahan rumput laut menjadi SRC ini harus ditunjang dengan penggunaan teknik pengolahan yang tepat sehingga dapat menghasilkan kekuatan gel, viskositas dan rendemen yang optimal dari SRC tersebut. Selama ini di Indonesia pembuatan SRC masih diproduksi dengan metode pemanasan konvensional, namun pengembangan teknologi pengolahan rumput laut, khususnya pembuatan SRC terus dilakukan agar produksi SRC lebih meningkat. Salah satu metode pemanasan alternatif yang telah dikembangkan adalah pemanasan Ohmic dengan pemberian perlakuan pada kuat medan listrik, konsentrasi larutan alkali, serta suhu dan lama alkalisasi.

(13)

2 Pada dasarnya, pemanasan Ohmic adalah suatu teknik di mana suatu material dipanaskan dengan melintaskan arus listrik yang melewatinya di mana proses tersebut mengacu pada peningkatan temperatur yang relatif cepat (Berk, 2009). Penggunaan metode pemanasan Ohmic dalam pengolahan rumput laut dianggap sangat tepat dimana hasil penelitian Salengke dan Sastry (2005) menunjukkan bahwa pemanasan Ohmic menyebabkan permeabilitas dinding sel sehingga dapat mempercepat laju reaksi, meningkatkan laju difusi, dan mempercepat proses pengeringan dengan peningkatan laju pengeringan (drying rate) bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional ataupun dengan microwave.

Pengeringan merupakan tahapan pengolahan yang cukup penting karena terkait dengan kadar air bahan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap penampakan, tekstur, cita rasa, nilai gizi bahan pangan, dan aktivitas mikroorganisme. Oleh karena itu, kondisi pengeringan yang sesuai dalam pembuatan SRC sangat penting sehingga diperlukan pengidentifikasian model pengeringan yang memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi terhadap pola perilaku kadar air bahan. Selain itu, semi-refined carrageenan (SRC) yang telah dialkalisasi baik yang diproduksi dengan metode pemanasan konvensional ataupun pemanasan Ohmic perlu dikeringkan agar nantinya dapat diolah menjadi tepung karaginan.

Proses pengeringan pada produksi SRC dapat dilakukan dengan penjemuran maupun dengan mesin/alat pengering. Namun, SRC yang ditujukan untuk pangan, proses pengeringannya sebaiknya menggunakan mesin atau alat pengering. Standar mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO (Food Agriculture Organization) dari parameter kadar air adalah maksimal 12%.

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan sebuah penelitian yang memfokuskan pada perbandingan penggunaan metode pemanasan dalam memproduksi SRC yaitu pemanasan konvensional dan pemanasan Ohmic terhadap laju pengeringan SRC yang dihasilkan dan penentuan model pengeringan sehingga dapat diketahui bahwa pemanasan Ohmic tepat untuk diaplikasikan dalam pengolahan rumput laut.

(14)

3 1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari laju pengeringan semi-refined carrageenan (SRC) yang dihasilkan dari berbagai kondisi perlakuan alkalisasi baik dengan metode pemanasan konvensional ataupun pemanasan Ohmic, mengetahui faktor yang memengaruhi laju pengeringan SRC dan mengetahui efektifitas penggunaan pemanasan Ohmic dalam pembuatan SRC, serta menentukan model pengeringan yang paling sesuai dengan karakteristik pengeringan SRC.

Penelitian ini berguna sebagai bahan informasi dan referensi bagi industri rumput laut dalam melakukan penanganan pascapanen rumput laut yang dapat meningkatkan nilai tambah dari pengolahan rumput laut terutama dari proses pengolahan SRC dengan menggunakan metode pemanasan yang tepat.

(15)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma cottonii

Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) penghasil karaginan. Jenis karaginan yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii adalah kappa-karaginan, sehingga jenis ini secara taksonomi dinamai Kappaphycus alvarezii. Nama „cottonii’ umumnya lebih dikenal dan umumnya dipakai dalam dunia perdagangan internasional (Sulastri, 2011).

Berdasarkan klasifikasi taksonomi (Anggadiredja et. al., 2009), Eucheuma cottonii digolongkan ke dalam :

Kingdom : Plantae Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Bangsa : Gigartinales Suku : Solierisceae Marga : Eucheuma

Jenis : Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) Ciri-ciri Eucheume cottonii yaitu thallus silindris, permukaan licin, cartilageneus (menyerupai tulang rawan/muda), serta berwarna hijau terang, hijau olive, dan cokelat kemerahan. Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), dan duri lunak/tumpul yang melindungi gametangia. Percabangan bersifat alternatus (berseling), tidak teratur, serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga) (Anggadiredja et. al., 2009).

Eucheuma cottonii tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal), melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa batu karang mati, batu karang hidup atau cangkang moluska. Umumnya mereka tumbuh dengan baik di daerah terumbu karang (reef) karena tempat ini beberapa persyaratan untuk pertumbuhan terpenuhi, antara lain faktor kedalaman, suhu, cahaya, subsrat dan gerakan air (Atmadja et. al., 1996).

Rumput laut E. cottonii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin hidup pada lapisan fotik, yaitu kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu

(16)

5 mencapainya. Di alam jenis ini biasanya hidup berkumpul dalam satu komunitas atau koloni dan indikator jenisnya (species indicator) antara lain jenis-jenis Caulerpa, Hypnea, Turbibaria, Padina, Gracilaria, dan Gelidium. E. cottonii tumbuh di rataan terumbu karang dangkal sampai kedalaman 6 m, melekat di batu karang, cangkang kerang, dan benda keras lainnya. Faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan jenis ini yaitu cukup arus dengan salinitas (kadar garam) yang stabil, yaitu berkisar 28-34 per mil. Oleh karenanya, rumput laut jenis ini akan hidup baik bila jauh dari muara sungai. Jenis ini telah dibudidayakan dengan cara diikat pada tali sehingga tidak

perlu melekat pada substrat karang atau benda lainnya (Anggadiredja et. al., 2006).

2.2 Panen dan Pascapanen Rumput Laut Eucheuma cottonii a. Panen

Tidak hanya teknik budidaya, kualitas rumput laut juga dipengaruhi oleh umur tanaman, cara panen, dan keadaan cuaca pada saat panen. Rumput laut siap dipanen pada umur 1,5-2,0 bulan setelah tanam. Apabila panen dilakukan kurang dari umur tersebut maka akan dihasilkan rumput laut berkualitas rendah. Hal ini dikarenakan kandungan karaginan yang dikandungnya menjadi rendah dan kekuatan gel dari

karaginan juga rendah, tetapi kadar airnya tinggi (Anggadiredja et. al., 2009).

b. Pascapanen

Kualitas rumput laut dipengaruhi oleh tiga hal penting, yaitu teknik budi daya, umur panen, dan penanganan pascapanen. Penanganan pascapanen merupakan kegiatan atau proses yang dimulai sejak setelah tanaman dipanen, yang meliputi pencucian, pengeringan, pembersihan kotoran atau garam (sortasi), pengepakan, pengangkutan, dan penyimpanan. Berikut tahapan penanganan pascapen rumput laut Eucheuma sp. (Anggadiredja et. al., 2009).

a. Pencucian

Rumput laut Eucheuma sp. dicuci dengan air laut pada saat panen sebelum diangkat ke darat.

b. Pengeringan/penjemuran

Rumput laut yang telah besih dikeringkan dengan cara dijemur di atas para-para bambu atau di atas plastik, terpal, atau jaring

(17)

6 sehingga tidak terkontaminasi oleh tanah atau pasir. Pada kondisi panas matahari baik, rumput laut akan kering dalam waktu 2-3 hari. Kadar air pada rumput laut yang harus dicapai dalam pengeringan berisar 31-35% untuk jenis Eucheuma sp. Selama pengeringan, rumput laut tidak boleh terkena air tawar, baik air hujan maupun air embun.

c. Pembersihan kotoran/garam (sortasi)

Pada saat dikeringkan atau dijemur, akan terjadi penguapan air laut dari rumput laut yang membentuk butiran garam yang melekat di permukaan thalusnya. Butiran garam tersebut perlu dibuang dengan cara mengayak atau mengaduk-aduk rumput laut kering sehingga butiran garam turun. Apabila masih banyak butiran garam melekat maka butiran garam tersebut akan kembali menghisap uap air di udara sehingga rumput laut menjadi lembab kembali dan dapat menurunkan kualitas rumput laut itu sendiri. Rumput laut berkualitas baik bila total garam dan kotoran tidak lebih dari 3-5% sesuai dengan permintaan industri.

d. Pengepakan

Rumput laut yang sudah kering dan bersih dimasukkan ke dalam karung plastik dan di-press supaya memudahkan dalam penyimpanan dan pengangkutan.

e. Pengangkutan

Selama proses pengangkutan, rumput laut harus dijaga agar tidak terkena air tawar maupun air laut karena dapat menurunkan kualitas rumput laut atau hancur bila kondisi tersebut berlangsung lama. f. Penyimpanan

Dalam penyimpanan, senantiasa rumput laut dijaga agar tidak terkena air tawar. Oleh karena itu, atap gudang tidak boleh bocor dan sirkulasi udara dalam gudang harus cukup baik.

2.3 Karaginan

Karaginan merupakan polisakarida yang linier atau lurus, dan merupakan molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa. Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Setiap spesies memiliki susunan polimer karaginan yang beragam, dan hal

(18)

7 itu juga tergantung umur rumput laut, musim, dan lain sebagainya (Cahyadi, 2008).

Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat. Karaginan merupakan molekul besar yang terdiri dari lebih 1.000 residu galaktosa, oleh karena itu variasinya banyak sekali. Berdasarkan stereotip struktur molekul dan posisi ion sulfatnya, karaginan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu iota, kappa, dan lambda karaginan (Banadib dan Khoiruman, 2010).

Kelarutan karaginan di dalam air dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya temperatur, senyawa organik, garam yang larut dalam air, dan tipe karaginan itu sendiri. Umumnya karaginan dapat melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya protein, sehingga mampu menghasilkan berbagai jenis pengaruh, seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan penyaringan stabilisasi. Hasil interaksi dari karaginan protein tergantung pada pH isoelektrik dari protein (Kordi, 2011).

Karaginan terdapat pada tanaman, umumnya dalam bentuk sejumlah polimer yang sangat mirip, atau fraksi-fraksi yang perbandingan jumlahnya tergantung pada asal spesies. Karaginan larut dalam air, tetapi sedikit larut dalam pelatur-pelarut lainnya, umumnya perlu pemanasan agar karaginan larut semuanya. Biasanya pemanasan dilakukan sampai suhu 50-80oC, tergantung adanya kation yang dapat mendorong pembentukan gel seperti ion kalium atau faktor lainnya. Kemampuan karaginan untuk membentuk gel dengan ion-ion merupakan dasar penggunaannya di bidang pangan. Sifat-sifat karaginan yang unik sebagai hidrokoloid adalah reaktivitasnya dengan beberapa jenis protein, khususnya dengan protein susu yang menyebabkan timbulnya sifat-sifat yang menjadi alasan banyak penggunaannya dalam pangan (Cahyadi, 2008).

Karaginan dapat digunakan untuk meningkatkan kestabilan bahan pangan baik yang berbentuk suspensi (dispersi padatan dalam cairan) dan emulsi (dispersi gas dalam cairan). Selain itu dapat digunakan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya dan bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya. Karena sifatnya yang hidrofilik maka penambahan karaginan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas

(19)

8 fase kontinyu sehingga emulsi menjadi stabil. Karaginan dapat berfungsi dalam industri makanan sebagai bahan pengental, pengemulsi dan stabilisator suhu. Karaginan digunakan dalam industri makanan, kosmetik dan tekstil (Natasasmita, 2011).

Agar karaginan juga banyak dipergunakan sebagai bahan penambah (aditif) pada berbagai makanan Eropa. Karaginan juga sangat penting di dalam industri makanan karena karaginan juga dapat berinteraksi dengan protein membentuk struktur gel yang memberikan sifat kepadatan dan kekenyalan, misalnya diaplikasikan dalam mie basah. Dalam pembuatan karaginan terdapat proses pengeringan untuk mendapatkan karaginan yang kering dan siap dihaluskan. Hal yang diinginkan dalam proses pengeringan adalah keluarnya air dari dalam bahan yang dikeringkan ke lingkungannya, sedangkan cara yang ditempuh untuk mencapai hal ini bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan. Ada yang menggunakan panas matahari, panas buatan oleh heater, sistem vakum, atau kombinasi keduanya (Banadib dan Khoiruman, 2010).

Karaginan yang diproduksi dari hasil ekstrak rumput laut jenis Eucheuma memiliki standard mutu agar dapat diterima di pasar internasional. Standard mutu karaginan dipaparkan sebagai berikut (Kusumanto, 2011).

Tabel 1. Standard Mutu Karaginan

Spesifikasi FAO FCC EEC

Zat volatil (%) Maks. 12 Maks. 12 Maks. 12

Sulfat (%) 15-40 18-40 15-40

Kadar abu (%) 15-40 Maks. 35 15-40

Viskositas (cP) Min. 5 - -

Kadar Abu Tidak Larut Asam (%) Maks. 1 Maks. 1 Maks. 2 Logam Berat :

Pb (ppm) Maks. 10 Maks. 10 Maks. 10

As (ppm) Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3

Cu (ppm) - - Maks. 50

Zn (ppm) - - Maks. 25

Kehilangan karena Pengeringan (%) Maks. 12 Maks. 12 - Sumber : A/S Kobenhvns Pektifabrik dalam Kusumanto, 2011.

Keterangan :

FAO : Food Agriculture Organization FCC : Food Chemical Codex

(20)

9 2.4 Teknologi Pengolahan Rumput Laut Eucheuma cottonii

a. Perlakuan Alkali Dingin (Cold Alkali Treatment)

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii banyak diminta dalam bentuk kering alkali sebagai bahan baku untuk industri karaginan. Rumput laut yang telah mendapat proses alkali mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan dengan rumput laut kering biasa. Rumput laut ini diproses dengan cara perendaman rumput laut segar dalam larutan alkali. Perendaman dalam larutan alkali dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan gel pikokoloid yang diperoleh (Suryaningrum, 2011).

Proses alkali dingin bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang lebih baik dan lebih tahan dalam penyimpanan. Proses ini dilakukan dengan merendam rumput laut Eucheuma sp. dalam larutan alkali dengan konsentrasi tertentu pada suhu kamar tanpa pemanasan. Untuk merendam Eucheuma spinosum menggunakan alkali NaOH, sedangkan

untuk Eucheuma cottonii menggunakan alkali KOH (Anggadiredja et al., 2009).

Prosesnya disebut alkali dingin dan rumput laut yang telah mendapatkan proses perendaman dalam larutan alkali ini disebut dengan Alkali Treated Seaweed. Perendaman dilakukan segera setelah rumput laut dipanen dan dibersihkan. dengan menggunakan larutan KOH 1,5-3% dalam bak plastik atau bak semen selama 2–3 jam. Setelah proses perendaman selesai rumput laut kemudian dicuci dengan menggunakan air laut sampai netral, kemudian dijemur (Suryaningrum, 2011).

Perendaman dalam larutan alkali selain dapat meningkatkan gel pikokoloid yang diperoleh, juga diperoleh warna rumput laut yang lebih kering serta sifat fisika kimia karaginan yang dihasilkan lebih baik dan karaginan yang dihasilkan lebih putih (Suryaningrum, 2011).

b. Produksi Karaginan Setengah Murni (semi-refined carrageenan/SRC) Proses produksi karaginan semirefine lebih banyak diaplikasikan pada rumput laut Eucheuma cottonii, meskipun ada juga permintaan pasar untuk SRC dari Eucheuma spinosum. Produk SRC ada yang berbentuk chips dan ada pula yang berbentuk tepung (flour). Proses produksi SRC chips dan tepung SRC sebagai berikut:

(21)

10 a. SRC chips

Proses produksi SRC chips pada intinya dilakukan melalui proses perlakuan alkali dalam kondisi panas yang disebut dengan proses alkali treatment atau proses alkali modification. Adapun tahapannya sebagai berikut (Anggadiredja et al., 2009).

1. Proses perlakuan alkali: masak Eucheuma sp. dalam larutan alkali panas (KOH untuk Eucheuma cottonii dan NaOH untuk Eucheuma spinosum) pada temperatur 85oC selama 2-3 jam atau lebih, sambil sesekali diaduk.

2. Netralisasi (pembersihan): cuci rumput laut yang telah melalui perlakuan alkali dengan air tawar hingga netral.

3. Pemotongan (chopping): potong rumput laut yang sudah dibersihkan (netral) dengan ukuran 2-4 cm.

4. Pengeringan (drying): keringkan potongan kecil rumput laut tersebut dengan cara dijemur di bawah panas matahari selama 1-2 hari atau menggunakan mesin/alat pengering.

5. Pengemasan: kemas rumput laut bentuk chips tersebut dalam drum, kantong plastik, atau karton.

b. Tepung SRC

Proses tepung SRC merupakan kelanjutan produk SRC chips. Caranya dengan menghancurkan (grinding) produk chips menjadi tepung berukuran 40-60 mesh (disesuaikan) dengan permintaan pasar. Namun, dalam proses produksi perlu memperhatikan beberapa hal, sebagai berikut (Anggadiredja et. al., 2009).

1. Produk SRC flour dapat digunakan dalam industri makanan/minuman (food grade) maupun industri lainnya (nonfood grade).

2. Proses perlakuan alkali panas, baik konsentrasi alkali dan lamanya memasak, akan sangat menentukan apakah tepung SRC ditujukan untuk pangan atau nonpangan.

(22)

11 c. Produksi Karaginan Murni (refined carrageenan/RC)

Selain semirefine, hasil olahan rumput laut karaginofit yaitu refine carrageenan atau karaginan murni. Proses produksi untuk mendapatkan karaginan murni melalui proses ekstrasksi karaginan dari rumput laut. Terdapat dua metode proses produksi karaginan, yaitu metode alkohol

(alcohol method) dan metode tekan (pressing method) (Anggadiredja et. al., 2009).

Beberapa teknologi pengolahan karaginan secara garis besar disajikan dalam tabel berikut (Anggadiredja et. al., 2009).

Tabel 2. Beberapa Teknologi Pengolahan Karaginan dari Eucheuma sp. Bahan Baku Tahap

Proses

Jenis/Tipe

Karaginan Metode

Bentuk Produk E. spinosum refine iota-karaginan metode alkohol powder E. cottonii refine kappa-karaginan metode alkohol powder metode pressing powder semirefine food grade

kappa-karaginan alkali panas

chip

powder industrial grade

kappa-karaginan alkali panas

chip

powder Sumber : Anggadiredja et. al., 2009.

2.5 Pemanasan Konvensional dengan Oil Bath

Penangas minyak atau oil bath adalah peralatan yang berisi minyak yang bisa mempertahankan suhu minyak pada kondisi tertentu selama selang waktu yang ditentukan. Oil bath merupakan perangkat pemanas yang umumnya terdapat pada laboratorium yang menggunakan prinsip pemanasan minyak sebagai regulator suhu. Oil bath dapat digunakan untuk pemanasan pada suhu tinggi yaitu 170oC hingga Gambar 1. Oil Bath 200oC (Anonim, 2012).

(23)

12 Bagian-bagian dari perangkat oil bath antara lain pengatur suhu, motor penggerak yang berfungsi sebagai alat pengaduk, dan elemen pemanas dengan listrik. Cara kerja dari oil bath adalah minyak dimasukkan ke dalam bejana, kemudian mengatur suhu yang dikehendaki dan memasukkan bahan yang akan dipanaskan. Proses pemanasan larutan alkali dalam oil bath terjadi karena adanya perambatan panas dari dinding oil bath yang telah dipanaskan terlebih dahulu kemudian berpindah ke dalam larutannya. Akibat distribusi panas seperti ini selalu terjadi perbedaan suhu antara dinding dengan pelarut (Soesanto, 2006).

2.6 Pemanasan Ohmic

Pemanasan Ohmic adalah proses pengolahan bahan pangan secara modern menggunakan suhu dimana bahan pangan berfungsi sebagai resistor listrik, dipanaskan dengan mengalirkan listrik. Energi listrik diubah menjadi panas, yang mengakibatkan pemanasan cepat dan seragam. Pemanasan Ohmic disebut juga sebagai pemanasan Joule, pemanasan hambatan listrik atau pemanasan elektrokonduktif (Rindang et. al., 2011).

Metode pemanasan Ohmic merupakan suatu proses di mana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara keduanya) dipanasi secara

simultan dengan menggunakan arus listrik yang melaluinya (Salengke, 2000). Dalam pengertian yang lebih terbatas, pemanasan Ohmic

mengacu pada proses di mana arus listrik yang dilewati oleh fluida secara spesifik akan meningkatkan suhunya dengan cepat (Berk, 2009).

Dalam pemanasan Ohmic, seperti pemanasan microwave, panas tidak dihantarkan ke dalam bahan pangan melalui permukaannya tetapi disalurkan ke dalam bahan pangan oleh konversi energi menjadi panas. Laju pemanasan tidak bergantung pada konduktivitas termal atau koefisien pindah panas. Oleh karena itu, pemanasan menjadi lebih cepat dan seragam (Berk, 2009).

Industri makanan telah menunjukkan minat baru dalam teknologi Ohmic dalam beberapa tahun terakhir, dengan sistem baru yang dirancang sejak awal 1990-an. Bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional, dimana panas yang dilakukan dari luar pada permukaan bahan pangan, pemanasan Ohmic dilakukan dengan pemanasan di seluruh bahan pangan. Keberhasilan pemanasan Ohmic tergantung pada tingkat panas yang

(24)

13 AC

dihasilkan dalam sistem, konduktivitas listrik dan metodenya (Rindang et. al., 2011).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Salengke (2000) terlihat bahwa selain menimbulkan efek pemanasan, teknologi pemanasan Ohmic menyebabkan terjadinya permeablitas dinding sel sehingga dapat mempercepat laju reaksi, meningkatkan laju difusi, meningkatkan rendemen dan meningkatkan laju pengeringan sehingga teknologi pemanasan Ohmic sangat potensial untuk diaplikasikan dalam bidang pengolahan pangan.

Prinsip pemanasan Ohmic sangat sederhana sebagaimana yang diilustrasikan dalam gambar di bawah ini:

AC power supply

Elektroda

Gambar 2. Prinsip Kerja Pemanasan Ohmic

Pemanasan Ohmic didasarkan pada aliran listrik AC (Alternative Current) melalui bahan pangan seperti makanan yang mempunyai kandungan air yang tahan terhadap listrik saat pemanasan. Voltase AC digunakan pada bagian kedua ujung tempat bahan pangan yang diproses. Tingkatan pemanasan secara langsung proporsional dengan kekuatan medan elektrik dan konduktivitas listrik. Kekuatan alat medan elektrik dapat divariasikan dengan penyesuaian gap elektroda atau penggunaan voltase. Bagaimanapun juga, faktor yang paling terpenting adalah konduktivitas listrik dari produk dan tergantung dari temperatur yang digunakan. Jika produk lebih dari satu fase misalnya pada pencampuran cairan dan partikel, konduktivitas listrik dari seluruh fase harus di pertimbangkan sehingga konduktivitas listrik meningkat seiring dengan kenaikan temperatur (Rindang et. al., 2011).

(25)

14 Keunggulan utama dari pemanasan Ohmic adalah cepat dan sistem pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang mengandung partikulat. Hal tersebut mengurangi jumlah total panas yang kontak dengan produk dibandingkan dengan pemanasan konvensional yang memerlukan waktu untuk terjadinya penetrasi panas ke bagian pusat bahan dan pemanasan partikulat lebih lambat dari fluida. Dalam pemanasan Ohmic, partikel dapat mempercepat pindah panas dengan melakukan formulasi pada kandungan senyawa ionik yang tepat di dalam fase fluida dan fase partikulat untuk meyakinkan level konduktivitas listrik yang tepat (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

Pemanasan Ohmic dianggap sangat cocok untuk proses termal partikulat dalam bahan pangan cair karena partikulat-partikulat dipanaskan secara simultan dengan laju pemanasan yang sama atau lebih cepat daripada cairan (Darvishi et. al., 2011). Oleh karena itu, pemanasan Ohmic dapat digunakan untuk memanaskan makanan cair yang mengandung partikel besar seperti sup, semur, dan irisan buah dalam sirup, saus dan cairan yang mempunyai sensitifitas panas yang lain (Rindang et. al., 2011).

Selain itu, sama halnya dengan proses pengolahan termal lainnya, pemanasan Ohmic juga dapat menghambat aktivasi mikroorganisme dengan panas. Dalam pemanasan Ohmic, mikroba diperkirakan tidak aktif karena suhu. Diperkirakan juga kontribusi dari mekanisme pematian. Mekanisme elektroporasi mungkin terjadi selama pengoperasian pemanasan Ohmic di bawah frekuensi (50–60 Hz) dapat mengakibatkan terjadinya pembentukan pori-pori pada dinding sel sehingga meningkatkan permeabilisasi dinding sel. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan diffusivitas sel sehingga dapat meningkatkan laju pengeringan (Ramaswamy, 2005).

2.7 Konsep Dasar Pengeringan a. Pengeringan

Pengeringan didefinisikan sebagai hilangnya air melalui proses evaporasi, baik dari bahan pangan yang berbentuk cair ataupun padat yang bertujuan agar menghasilkan produk dengan kadar air rendah (Berk, 2009). Pengeringan pangan juga berarti pemindahan panas dengan sengaja dari bahan pangan sehingga penguapan air dapat terjadi dengan memberikan panas laten penguapan (Nasution, 1982).

(26)

15 Pengeringan merupakan metode pengawetan pangan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan pangan sehingga daya simpan menjadi lebih panjang. Perpanjangan daya simpan terjadi karena aktivitas mikroorganisme dan enzim menurun sebagai akibat dari air yang dibutuhkan untuk aktivitasnya tidak cukup. Prinsip proses pengeringan adalah proses terjadinya pindah panas dari alat pengering dan difusi air (pindah massa) dari bahan yang dikeringkan. Pindah massa air tersebut memerlukan perubahan fase air dari cair menjadi uap atau dari beku menjadi uap (pada pengeringan beku) (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Perubahan fase air dapat dicapai dengan beberapa metode berikut ini (Estiasih dan Ahmadi, 2009):

1. Konduksi dengan cara kontak dengan plat panas seperti pada oven pengering.

2. Konveksi dari udara panas seperti pada pengering kabinet (cabinet dryer).

3. Radiasi sinar inframerah.

4. Energi gelombang mikro seperti pada microwave. b. Jenis Pengeringan

Pemilihan jenis pengeringan yang sesuai untuk suatu produk pangan ditentukan oleh kualitas produk akhir yang diinginkan, sifat bahan pangan yang dikeringkan, dan biaya produksi atau pertimbangan ekonomi. Jenis-jenis pengeringan meliputi penjemuran, pengeringan matahari, pengeringan udara panas, pengeringan kabinet, pengeringan terowongan, pengeringan ban berjalan, pengeringan semprot, pengeringan drum, pengeringan vakum, pengeringan beku, pengeringan gelombang mikro dan vakum gelombang mikro, serta pembekuan-pengeringan (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Pemilihan metode pengeringan yang akan diterapkan pada bahan pangan tergantung dari jenis dan karakteristik bahan pangan tersebut. Dalam hal ini bahan pangan yang akan dikeringkan adalah karaginan maka metode-metode dehidrasi yang cocok untuk bahan pagan tersebut adalah (Buckle et. al., 2010) :

1. Pengeringan dalam alat pengering berbentuk drum (drum drying). 2. Pengeringan secara penyemprotan (spray drying).

(27)

16 4. Pengeringan dalam talam (tray drying).

5. Pengeringan secara pembekuan (freeze drying).

6. Pengeringan dalam alat pengering hisapan udara (pneumatic drying). c. Kadar Air

Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung dalam bahan basah. Dua basis yang secara umum digunakan untuk menyatakan nilai kadar air yaitu kadar air basis basah dan kadar air basis kering. Kadar air basis basah (KAbb) adalah banyaknya kandungan air per unit massa dalam bahan basah, sedangkan kadar air basis kering (KAbk)

adalah jumlah air per unit massa padatan bahan (Singh and Heldman, 2009).

Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut: Kabb= Wa

Wt x 100% = Wt-Wk

Wt x 100%...(1)

dimana:

Kabb = Kadar air basis basah (%) Wa = Berat air dalam bahan (g) Wk = Berat kering mutlak bahan (g) Wt = Berat total (g) = Wa + Wk

Kadar air basis kering adalah perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air berat kering dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Kabk= Wa

Wk x 100% = Wt-Wk

Wk x 100%...(2)

dimana:

Kabk = Kadar air basis kering (%) Wa = Berat air dalam bahan (g) Wk = Berat kering mutlak bahan (g) Wt = Berat total (g) = Wa + Wk d. Laju Pengeringan

Laju pengeringan didefinisikan sebagai massa air yang hilang per unit waktu per massa padatan, atau massa air yang hilang per unit waktu per unit luasan. Data laju pengeringan direpresentasikan dalam bentuk kurva pengeringan (drying curves) yang merupakan plot antara laju pengeringan dan kadar air basis kering (Berk, 2009).

(28)

17 Umumnya diketahui bahwa banyak produk makanan mengalami periode kecepatan pengeringan konstan dengan awal yang cepat diikuti oleh periode dengan kecepatan pengeringan menurun lebih lamban, yang kadang-kadang terdiri dari dua kecepatan yang berbeda. Selama periode konstan, air menguap dari permukaan dengan kecepatan yang tergantung pada kondisi pengeringan, tetapi kemudian setelah kadar air kritis tercapai, air yang akan menguap harus berdifusi dari dalam bahan pangan. Jadi pengeluaran 15-20% terakhir dari jumlah keseluruhan air yang diuapkan selama pengeringan menyita sebagian besar waktu dan energi untuk pengeringan, dan untuk beberapa produk membatasi mutu dari produk kering yang dihasilkan (Buckle et. al., 2010).

Faktor-faktor utama yang memengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah (Buckle et. al., 2010).

1. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar air). 2. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan).

3. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengeringan (suhu, kelembaban, dan kecepatan udara).

4. Karakteristik alat pengeringan (efisiensi pemindahan panas).

Air yang berada di permukaan bahan yang dikeringkan menguap ke udara, sehingga menghasilkan daerah yang memiliki tekanan uap air yang rendah di permukaan. Hal ini menyebabkan adanya beda potensial antara bagian permukaan bahan yang bertekanan uap air rendah dengan bagian dalam yang tekanan uap airnya masih relatif tinggi, sehingga terbentuklah „gradien tekanan‟. Gradien tekanan inilah yang menjadi tenaga pendorong bagi air untuk berpindah dari bagian dalam bahan ke permukaan (Banadib dan Khoiruman, 2010).

Mekanisme pengeringan dapat diterangkan dengan teori perpindahan massa dimana peristiwa lepasnya molekul air dari permukaan tergantung dari bentuk dan luas permukaan. Bila suatu bahan sangat basah/lapisan air yang menyelimuti bahan itu tebal, maka akan menarik molekul-molekul air dari permukaan datar. Bila pengeringan diteruskan, kecepatan penguapan air yang lepas dari molekul akan tetap sama. Setelah molekul-molekul air yang membentuk lapisan pada

(29)

18 permukaan datar habis, luas permukaan akan naik karena titik-titik dari permukaan butir jadi rata yang akan memperluas permukaannya sehingga dalam pengeringan ada 2 macam mekanisme yaitu mekanisme penguapan dengan kecepatan tetap (constant rate period) dan mekanisme penguapan dengan kecepatan menurun (falling rate period) (Prasetyaningrum et. al., 2003).

2.8 Model Matematika Pengeringan

Sistem pengeringan mengenal adanya model simulasi yang digunakan untuk mempelajari dan menganalisis karakteristik bahan yang dikeringkan. Simulasi adalah metode dimana kinerja sistem atau proses dapat diprediksi dengan menggunakan model matematika selama proses pengeringan. Untuk menjelaskan bagaimana sistem bekerja selama proses pengeringan dalam pemodelan maka didasarkan pada berbagai persamaan matematika. Solusi dari persamaan ini harus memungkinkan perhitungan terhadap parameter yang telah ditentukan yang memengaruhi kondisi bahan selama proses pengeringan. Oleh karena itu, penggunaan model matematika merupakan alat penting untuk mensimulasi kinerja sistem pengeringan (Garavand et. al., 2011).

Beberapa model teoritis yang sering digunakan dalam pengeringan lapisan tipis hasil-hasil pertanian, antara lain:

Tabel 3. Model Matematika Pengeringan

No. Nama Model Model Matematika

1 Newton MR = exp(-kt)

2 Page MR = exp(-ktn)

3 Modified Page MR = exp[(-kt)n]

4 Henderson and Pabis MR = a exp(-kt)

5 Logarithmic MR = a exp(-kt) + c

6 Two term MR = a exp(-k0t) + b exp(-k1t) 7 Two term exponential MR = a exp(-kt) + (i-a)exp(-kbt) 8 Wang and Singh MR = M0 + at + bt2

9 Approximation of diffusion MR = a exp(-kt) + (1-a)exp(-kbt)

10 Modified Henderson and Pabis MR = a exp(-kt) + b exp(-gt) + c exp(-ht) Sumber: Meisami, 2010.

Keterangan : t = interval waktu pengeringan a, b, c, g, h, i, k, n = konstanta

(30)

19 Seperti halnya dengan laju penurunan kadar air, rasio kelembaban (moisture ratio) juga mengalami penurunan selama proses pengeringan. Kenaikan suhu udara pengeringan mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencapai setiap tingkat rasio kelembaban sejak proses transfer panas dalam ruang pengeringan meningkat. Sedangkan, pada suhu tinggi, perpindahan panas dan massa juga meningkat dan kadar air bahan akan semakin berkurang (Garavand et. al., 2011).

Rasio kelembaban (moisture ratio) SRC (semi-refined carrageenan) selama pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

MR= Mt - Me

Mo - Me

...(3) dimana MR merupakan Moisture Ratio (rasio kelembaban), Mt merupakan kadar air pada saat t (waktu selama pengeringan, menit), Mo merupakan kadar air awal bahan, dan Me merupakan kadar air yang diperoleh setelah berat akhir bahan. Nilai satuan Mt, Mo dan Me merupakan persentase dari kadar air basis kering bahan (Garavand et. al., 2011).

(31)

20 III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada April 2012 sampai dengan Juli 2012 di Laboratorium Processing, Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan gedung Teaching Industry, Universitas Hasanuddin, Makassar.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain reaktor ohmic (panjang = 16,2 cm dan diameter = 5,8 cm), oil bath Julabo HC, timbangan analitik Mettler Toledo PL602-S (ketelitian 0,01 g), termometer, alat pengering tipe cross-flow, timer, oven Venticell, magnetic hot plate stirer Labinco L32, anemometer, gelas ukur, saringan, desikator, perangkat komputer dan kamera digital.

Bahan yang digunakan adalah larutan KOH (kalium hidroksida) 0,5 N dan 1 N, aluminium foil, tissu, plastik kedap udara, kertas label, air bersih dan rumput laut segar jenis Eucheuma cottonii dengan umur panen 50 hari yang diperoleh dari Desa Lasitaeng, Kecamatan Taneterilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

3.3 Perlakuan Penelitian

Perlakuan yang dilaksanakan dalam penelitian didahului dengan proses alkalisasi rumput laut pada berbagai kondisi kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan pada suhu 60oC dan kecepatan udara 1,3 m/s. Matriks perlakuan dan sifat fisik SRC yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Matriks Perlakuan dalam Alkalisasi Rumput Laut dan Sifat Fisik SRC yang Dihasilkan Kode Sampel Kuat Medan Listrik (V/cm) Lama Pemanasan (jam) Konsentrasi KOH (N) Suhu Alkalisasi (oC)

Sifat Fisik SRC yang Dihasilkan Kadar Air Awal (%bb) Viskositas (cP) Kekuatan Gel (g/cm2) A1 kontrol 1 0,5 70 88,26 75,80 110,59 B1 3,7 1 0,5 70 86,92 53,80 124,87 C1 4,9 1 0,5 70 88,60 47,40 104,52 A2 kontrol 1 1 70 84,51 26,40 201,41 B2 3,7 1 1 70 85,51 44,20 328,40 C2 4,9 1 1 70 86,41 37,60 288,17 A3 kontrol 1 0,5 75 88,49 85,60 172,08 B3 3,7 1 0,5 75 89,05 55,40 124,79 C3 4,9 1 0,5 75 88,97 55,60 129,29 A4 kontrol 1 1 75 86,01 51,00 208,96 B4 3,7 1 1 75 85,34 43,80 316,37 C4 4,9 1 1 75 87,29 27,40 215,03 A5 kontrol 1 0,5 80 90,50 56,00 359,20 B5 3,7 1 0,5 80 89,10 41,00 156,61

(32)

21 Kode Sampel Kuat Medan Listrik (V/cm) Lama Pemanasan (jam) Konsentrasi KOH (N) Suhu Alkalisasi (oC)

Sifat Fisik SRC yang Dihasilkan Kadar Air Awal (%bb) Viskositas (cP) Kekuatan Gel (g/cm2) C5 4,9 1 0,5 80 90,82 38,80 178,43 A6 kontrol 1 1 80 87,05 45,00 287,19 B6 3,7 1 1 80 87,29 35,20 220,33 C6 4,9 1 1 80 87,43 31,80 282,76 A7 kontrol 2 0,5 70 87,19 68,60 250,75 B7 3,7 2 0,5 70 88,47 59,90 132,72 C7 4,9 2 0,5 70 89,42 39,40 174,11 A8 kontrol 2 1 70 84,77 28,40 257,90 B8 3,7 2 1 70 86,82 26,60 170,63 C8 4,9 2 1 70 87,83 43,40 204,84 A9 kontrol 2 0,5 75 89,06 60,15 328,85 B9 3,7 2 0,5 75 90,24 54,00 210,41 C9 4,9 2 0,5 75 89,67 57,00 233,69 A10 kontrol 2 1 75 85,71 33,40 273,11 B10 3,7 2 1 75 86,57 37,80 262,60 C10 4,9 2 1 75 87,85 37,00 395,42 A11 kontrol 2 0,5 80 91,19 72,20 407,72 B11 3,7 2 0,5 80 90,90 44,80 195,26 C11 4,9 2 0,5 80 91,63 43,80 184,43 A12 kontrol 2 1 80 85,83 23,60 136,44 B12 3,7 2 1 80 87,10 34,20 370,81 C12 4,9 2 1 80 88,39 36,80 254,12 Keterangan :

Masing-masing perlakuan terdiri dari dua sampel ulangan

SWAR : Seaweed-Alkali Ratio (perbandingan antara massa rumput laut kering dengan volume larutan KOH)

kode A : Sampel yang dialkalisasi dengan pemanasan konvensional (kontrol)

kode B dan C : Sampel yang dialkalisasi dengan pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 3,7 V/cm dan 4,9 V/cm)

3.4 Prosedur Penelitian

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi persiapan bahan, modifikasi alkali karaginan dari Eucheuma cottonii, dan pengeringan semi-refined carrageenan (SRC).

a. Persiapan Bahan

Prosedur yang dilakukan dalam mempersiapkan bahan penelitian adalah menyiapkan rumput laut Eucheuma cottonii yang telah dipanen dan mencucinya dengan air laut untuk menghilangkan benda asing yang melekat. Setelah itu rumput laut dijemur di atas terpal plastik hingga kering, kemudian sampel rumput laut kering diambil untuk diukur kadar airnya. Selain itu, larutan KOH dengan konsentrasi 0,5 N dan 1 N dibuat sebagai larutan alkali yang akan dicampurkan dengan rumput laut dalam proses pemanasan atau alkalisasi.

(33)

22 b. Modifikasi Alkali Karaginan

Dalam penelitian ini, alkalisasi rumput laut dilakukan dengan dua metode pemanasan, yaitu pemanasan konvensional dengan menggunakan oil bath dan pemanasan Ohmic. Hasil dari alkalisasi rumput laut menggunakan oil bath dijadikan sebagai kontrol atau pembanding dengan hasil alkalisasi dengan pemanasan Ohmic.

Alkalisasi rumput laut yang dilakukan dengan pemanasan konvensional menggunakan oil bath dimulai dari mengambil rumput laut sebanyak 12,5 gram dan direndam dalam air bersih selama 15 menit dan disaring, kemudian larutan KOH sebanyak 250 ml dimasukkan ke dalam gelas ukur untuk setiap perlakuan (SWAR = 1:20). Setelah suhu pada oil bath mencapai suhu yang ditentukan (70oC, 75oC, dan 80oC), rumput laut dimasukkan ke dalam larutan KOH dan dipanaskan hingga waktu 1 jam dan 2 jam, kemudian disaring untuk memisahkan rumput laut dengan larutan KOH. Sampel rumput laut ditimbang sebelum dikeringkan untuk mengetahui berat awalnya.

Alkalisasi rumput laut dengan metode pemanasan ohmic dilakukan dengan mengambil sampel rumput laut sebanyak 15 gram dan larutan KOH sebanyak 300 ml (SWAR = 1:20) untuk semua perlakuan. Setelah itu rumput laut dipanaskan dalam larutan KOH dalam reaktor ohmic dengan kuat medan listrik 3,7 V/cm dan 4,9 V/cm, variasi suhu 70oC, 75oC, dan 80oC dengan lama pemanasan 1 jam dan 2 jam. Setelah proses pemanasan selesai, rumput laut dipisahkan dari larutan KOH menggunakan saringan dan dicuci dengan air bersih. Rumput laut yang telah dialkalisasi kemudian ditimbang untuk mengetahui berat awalnya sebelum dikeringkan.

c. Pengeringan SRC

Proses pengeringan SRC dilakukan dengan menggunakan alat pengering tipe cross-flow dengan suhu 60oC dan kecepatan udara 1,3 m/s. SRC dikeringkan selama 90 menit dan data berat sampel diambil dengan interval waktu 10 menit. Setelah dikeringkan, masing-masing sampel diambil sebanyak 1 gram untuk menghitung kadar airnya dengan metode oven. Hasil dari perhitungan kadar air dijadikan acuan untuk menghitung laju pengeringan.

d. Identifikasi Model Pengeringan

Beberapa model matematika pengeringan yang biasa digunakan dalam merepresentasi nilai Moisture Ratio (MR) sebagai berikut.

(34)

23 1. Model Newton 𝑀𝑅𝑁𝑒𝑤𝑡𝑜𝑛 = exp⁡(−𝑘𝑡) ...(4) 2. Model Henderson-Pabis 𝑀𝑅𝐻𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑠𝑜𝑛 −𝑃𝑎𝑏𝑖𝑠 = 𝑎 exp(−𝑘𝑡)...(5) 3. Model Page 𝑀𝑅𝑃𝑎𝑔𝑒 = exp(−𝑘𝑡𝑛)...(6)

dimana k, a, dan n adalah konstanta pengeringan yang diperoleh dari koefisien persamaan linear model, dan t adalah waktu pengeringan.

Berdasarkan persamaan linear dari ketiga persamaan model tersebut selanjutnya dalam software Microsoft Excel dimasukkan nilai MR pengamatan dalam setiap bentuk linear dari model tersebut. Untuk model Newton dan Henderson-Pabis, nilai ln MR diplot bersama dengan nilai waktu pengeringan t, sedangkan untuk model Page, yang diplotkan ke dalam grafik adalah nilai ln(-ln MR) dan ln t. Dari plot ini, program Microsoft Excel digunakan untuk menentukan garis linearnya dengan memilih Linear pada Trendline Option dan memberi tanda centang pada Display Equation on Chart untuk menampilkan persamaan dalam grafik yang nilainya akan digunakan sebagai konstanta dalam masing-masing model.

Setelah nilai MR pada masing-masing model didapatkan, dilakukan analisa kesesuaian model antara MR observasi dan MR masing-masing model dengan menentukan nilai R2, 2 (chi-square) dan RMSE (root mean square error). Rumus untuk menentukan nilai 2 dan RMSE menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝜒2= (𝑀𝑅𝑒𝑥𝑝 .𝑖− 𝑀𝑅𝑝𝑟𝑒 .𝑖)2 𝑁 𝑖=1 𝑁−𝑧 ...(7) 𝑅𝑀𝑆𝐸 = (𝑀𝑅𝑝𝑟𝑒 .𝑖− 𝑀𝑅𝑒𝑥𝑝 .𝑖)2 𝑁 𝑖=1 𝑁 ...(8)

di mana N adalah jumlah data observasi dan z adalah konstanta. 3.5 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah perubahan massa SRC (gram) dalam interval waktu tertentu untuk menghitung kadar air basis basah SRC (%) dan laju pengeringan SRC (g H2O/g padatan/menit).

a. Kadar Air Basis Basah

Kadar air basis basah SRC dapat diketahui dengan cara menimbang bahan sampel sebelum dan setelah dikeringkan kemudian dioven. Kadar air

(35)

24 basis basah SRC dapat diketahui dengan menggunakan rumus pada persamaan (1).

b. Laju Pengeringan

Laju pengeringan didefinisikan sebagai massa air yang hilang per unit waktu per massa padatan. Laju pengeringan suatu bahan pangan dapat diketahui menggunakan rumus berikut.

 = −𝑑𝑊 𝑀𝑑𝑡 = − 𝑑𝑋 𝑑𝑡 , 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑋 = 𝑊 𝑀...(9)  = laju pengeringan (g H2O/g padatan/menit)

W = massa air dalam bahan pangan (gram) M = massa padatan dalam bahan pangan (gram) X = kadar air basis kering

t = waktu pengeringan (menit) c. Moisture Ratio (MR)

Rasio kelembaban (moisture ratio) SRC (semi-refined carrageenan) untuk setiap perlakuan selama pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan (3).

3.6 Diagram Alir Penelitian

Mulai Rumput laut yang telah

dialkalisasi

Penimbangan sampel

Pengeringan sampel selama 90 menit, T = 60 o

C, v = 1,3 m/s (pengambilan data berat sampel setiap 10 menit)

Perhitungan kadar air dengan metode oven

Perhitungan Laju Pengeringan

Selesai

Identifikasi Model Pengeringan

(36)

25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kadar Air Selama Pengeringan

Proses pengeringan semi-refined carrageenan (SRC) yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan suhu pengeringan 60oC dengan kecepatan udara pengering 1,3 m/s. Sebelum dikeringkan, proses alkalisasi dilakukan dengan pemberian perlakuan variasi metode pemanasan, variasi kuat medan listrik, serta variasi suhu dan lama pemanasan. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar air selama proses pengeringan akan mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Pengaruh proses alkalisasi rumput laut Eucheuma cottonii terhadap nilai kadar air SRC dapat diperhatikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Penurunan Kadar Air SRC Selama Pengeringan pada Metode (a) Pemanasan Konvensional; (b) Pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 3,7

V/cm); (c) Pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 4,9 V/cm) (a)

(b)

(c)

Keterangan:

Kode A: Pemanasan konvensional Kode B: Pemananasan Ohmic (kuat

medan listrik 3,7 V/cm) Kode C: Pemanasan Ohmic (kuat

medan listrik 4,9 V/cm) Sampel 1: Alkalisasi pada konsentrasi

0,5 N, T=70oC dan t=1 jam Sampel 2: Alkalisasi pada konsentrasi

1 N, T=70oC dan t=1 jam Sampel 3: Alkalisasi pada konsentrasi

0,5 N, T=75oC dan t=1 jam Sampel 4: Alkalisasi pada konsentrasi

1 N, T=75oC dan t=1 jam Sampel 5: Alkalisasi pada konsentrasi

0,5 N, T=80oC dan t=1 jam Sampel 6: Alkalisasi pada konsentrasi

1 N, T=70oC dan t=1 jam Sampel 7: Alkalisasi pada konsentrasi

0,5 N, T=70oC dan t=2 jam Sampel 8: Alkalisasi pada konsentrasi

1 N, T=70oC dan t=2 jam Sampel 9: Alkalisasi pada konsentrasi

0,5 N, T=75oC dan t=2 jam Sampel 10: Alkalisasi pada konsentrasi

1 N, T=75oC dan t=2 jam Sampel 11: Alkalisasi pada konsentrasi

0,5 N, T=80oC dan t=2 jam Sampel 12: Alkalisasi pada konsentrasi

(37)

26 Gambar 4, Tabel 5 dan Tabel 6 menunjukkan perilaku penurunan kadar air SRC pada proses pengeringan selama 90 menit. Penurunan kadar air pada semua perlakuan (variasi konsentrasi KOH, variasi suhu dan variasi waktu) pada semua metode pemanasan baik secara konvensional maupun metode Ohmic menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar air secara drastis pada 50 menit pertama dan kemudian menurun secara perlahan dari menit ke 50 hingga menit ke 90. Hasil pengukuran kadar air akhir SRC dengan metode oven menunjukkan nilai kadar air SRC berkisar antara 5,5%bb–14%bb, di mana kadar air terendah yaitu 5,5% terjadi pada sampel A7 (perlakuan alkalisasi dengan pemanasan konvensional, lama pemanasan 2 jam, suhu pemanasan 70oC, dan konsentrasi larutan alkali 0,5 N), sedangkan kadar air tertinggi yaitu 14% terjadi pada sampel C10 (perlakuan alkalisasi dengan pemanasan Ohmic kuat medan listrik 4,9 V/cm, lama pemanasan 2 jam, suhu pemanasan 75oC, dan konsentrasi larutan alkali 1 N). Secara umum, kadar air SRC cenderung mengalami penurunan dengan bertambahnya konsentrasi KOH. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi larutan alkali menyebabkan pHnya semakin tinggi sehingga meningkatkan kemampuan KOH untuk mengekstrak karaginan dan kadar airnya berkurang (Yashiita dan Rachmawati, 2010).

Tabel 5. Penurunan Kadar Air (%bb) Selama Pengeringan pada Metode Pemanasan Konvensional dan Pemanasan Ohmic (Konsentrasi Larutan KOH 0,5 N)

Kode Waktu (menit)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 A1a 88,26 77,30 55,80 26,57 16,18 13,49 12,87 12,48 12,16 12,00 A1b 88,49 80,48 67,51 51,64 34,24 21,29 15,51 13,44 12,24 12,00 A1c 90,50 84,83 74,72 61,52 41,98 28,48 19,86 16,22 14,43 13,50 A2a 87,19 77,59 61,44 41,67 22,10 12,27 8,22 6,34 5,76 5,50 A2b 89,06 80,58 64,46 43,78 23,64 13,54 9,47 7,94 6,77 6,50 A2c 91,19 85,58 76,74 61,44 44,44 28,83 18,88 14,21 12,96 12,00 B1a 86,92 77,27 61,33 38,96 23,08 14,19 10,96 9,54 8,92 8,50 B1b 89,05 81,47 71,64 60,00 45,25 30,55 20,47 14,25 11,28 10,00 B1c 89,10 81,54 68,81 51,15 31,93 19,29 13,27 11,04 10,40 10,00 B2a 88,47 79,05 64,78 47,81 29,63 17,97 12,59 10,30 9,44 9,00 B2b 90,24 83,13 72,35 56,95 40,09 26,30 16,13 11,67 10,44 10,00 B2c 90,90 84,69 73,79 61,11 43,21 27,12 17,98 12,92 9,55 9,00 C1a 86,60 77,42 63,35 45,26 30,17 19,23 13,09 10,46 9,41 9,00 C1b 88,97 80,29 66,91 46,97 29,23 18,21 14,20 11,60 10,46 10,00 C1c 90,82 83,64 71,40 49,53 29,41 18,06 13,60 11,67 11,29 11,00 C2a 89,42 82,60 71,69 58,31 39,53 21,42 15,20 12,76 11,16 11,00 C2b 89,67 82,20 69,09 48,60 31,12 18,45 11,58 8,22 6,54 6,00 C2c 91,63 86,38 78,36 67,41 49,19 33,17 21,31 14,03 10,32 9,00 Keterangan:

Kode A : Pemanasan konvensional

Kode B dan C : Pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 3,7 V/cm dan 4,9 V/cm) Kode 1 dan 2 : Lama pemanasan 1 jam dan 2 jam

(38)

27 Tabel 6. Penurunan Kadar Air (%bb) Selama Pengeringan pada Metode

Pemanasan Konvensional dan Pemanasan Ohmic (Konsentrasi Larutan KOH 1 N)

Kode Waktu (menit)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 A1a 84,51 72,61 51,65 33,91 22,01 16,73 14,14 13,19 12,71 12,50 A1b 86,01 74,72 62,22 40,03 25,46 17,39 14,03 12,88 12,15 12,00 A1c 87,05 77,05 61,78 40,60 24,18 15,68 13,76 12,41 12,00 12,00 A2a 84,77 72,05 56,01 35,24 21,17 13,70 9,79 8,05 7,15 7,00 A2b 85,71 76,61 60,80 42,51 25,62 16,74 13,15 11,36 10,54 10,00 A2c 85,83 67,24 44,99 26,09 13,54 11,47 8,98 7,88 7,07 6,50 B1a 85,51 72,55 53,70 32,31 17,96 11,76 9,08 8,05 7,64 7,50 B1b 85,34 75,16 60,36 45,92 31,88 20,03 13,82 10,89 9,95 9,00 B1c 87,29 77,13 64,68 47,85 33,97 21,78 15,44 12,95 11,37 10,50 B2a 86,82 78,31 64,97 49,05 30,81 17,22 13,14 11,52 10,60 10,00 B2b 86,57 76,91 63,10 47,74 31,45 19,99 13,81 10,72 9,19 8,00 B2c 87,10 75,65 56,03 36,89 24,93 17,96 14,62 13,24 12,84 12,50 C1a 86,41 75,56 56,51 36,07 22,57 10,89 7,82 7,38 7,15 7,00 C1b 87,29 78,49 63,49 46,78 29,77 19,04 14,09 11,99 11,36 11,00 C1c 87,43 78,12 63,93 45,17 27,25 16,70 12,22 10,25 9,14 8,50 C2a 87,83 78,72 65,17 46,22 30,88 16,74 11,87 10,04 9,53 9,00 C2b 87,85 78,53 63,46 44,73 30,36 21,36 16,51 15,10 14,37 14,00 C2c 88,39 79,71 66,48 47,31 25,93 14,64 10,85 9,68 9,17 9,00 Keterangan:

Kode A : Pemanasan konvensional

Kode B dan C : Pemanasan Ohmic (kuat medan listrik 3,7 V/cm dan 4,9 V/cm) Kode 1 dan 2 : Lama pemanasan 1 jam dan 2 jam

Kode a, b, dan c : Suhu Pemanasan 70oC, 75oC, dan 80oC

Secara umum, penggunaan metode pemanasan Ohmic pada perlakuan yang sama (kode B dan C) diperoleh hasil penurunan kadar air yang lebih signifikan jika dibandingkan dengan metode pemanasan konvensional, dimana tampak nilai kadar air untuk perlakuan pemanasan Ohmic lebih rendah dibandingkan perlakuan pemananasan konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pemanasan Ohmic pada perlakuan modifikasi alkali untuk menghasilkan SRC dapat mempercepat laju pengeringan.

4.2 Laju Pengeringan

Laju pengeringan yang terjadi selama proses pengeringan untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5, di mana grafik tersebut menunjukkan terjadi laju pengeringan menurun. Secara umum, kecenderungan grafik yang ditunjukkan oleh kedua metode tersebut relatif tidak jauh berbeda, namun pada grafik laju pengeringan dengan perlakuan pemanasan Ohmic baik kuat medan listrik 3,7 V/cm ataupun 4,9 V/cm menunjukkan pola penurunan laju pengeringan yang lebih teratur pada setiap perlakuan daripada pemanasan konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan Ohmic sangat tepat diaplikasikan untuk pengolahan rumput laut dalam memproduksi semi-refined carrageenan (SRC), dimana metode pemanasan yang digunakan dalam proses modifikasi atau alkalisasi karaginan selama ini di Indonesia masih secara konvensional.

Referensi

Dokumen terkait

Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat rata-rata nilai akurasi suhu pada semua kolam di semua waktu menunjukkan nilai pada rentang 97% sampai 99%.. Hal ini menunjukkan tingkat akurasi

Proses verifikasi (menarik kesimpulan) kami ambil berupa intisari dari penyajian data yang merupakan hasil dari analisis yang dilakukan dalam penelitian kami. Teknik

Penelitian mengenai pelaksanaan pengembangan produk dilatar belakangi oleh semakin ketatnya persaingan usaha sejenis yang memproduksi makanan khas wingko Babat di kabupaten

Dari kedua nilai yang diperoleh, dapat dilihat bahwa promosi below the line lebih baik daripada promosi above the line, namun apabila nilai tersebut dimasukan ke

( 1) Bendahara Desa dalam mempertanggungjawabkan penggunaan dana Program Dana Bantuan Pembangunan Desa dengan membuat kuitansi secara utuh setiap tahap pengeluaran

responden rata-rata sebesar 3,65 tergolong baik, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa karyawan pada The Sardine Restaurant Seminyak Bali memberikan respon pada

Setelah penulis mengabstraksikan pandangan Liftschitz tentang sisi pemikiran seni Karl Marx, penulis ingin menambahkan beberapa hal di antaranya adalah bahwa