• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Estuaria

Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut (Dahuri, 2004; Efrieldi, 1999). Atau merupakan daerah pertemuan massa air asin dan air tawar, yang secara periodik berubah-ubah karena adanya percampuran. Percampuran ini menyebabkan zona lingkungan dikawasan muara sungai sangat labil. Walaupun demikian kawasan ini merupakan daerah yang sangat produktif karena input nutrient dari daratan yang dibawa oleh aliran sungai (Thoha, 2007).

2.1.1 Tipe Estuaria

Berdasarkan pada sirkulasi air dan stratifikasi airnya estuaria terbagi atas 3 tipe yaitu:

1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, cirinya adanya batasan yang jelas antara air tawar dan air laut/asin. Air tawar dari sungai merupakan lapisan atas dan air laut menjadi lapisan bawah. Terjadinya perubahan salinitas dengan cepat dari arah permukaan ke dasar. Estuaria ditemukan didaerah-daerah dimana aliran air tawar dan sebagian besar lebih dominan daripada intrusi air laut yang dipengaruhi oleh pasang surut, contoh: muara Missisipi, Amerika.

(2)

2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial (paling umum di jumpai). Aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui air pasang. Percampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh pasang surut, contoh: Teluk Chesapeaks, Amerika.

3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur dan tidak terdapat stratifikasi.

2.1.2 Sifat Fisik Estuaria

Beberapa sifat fisik penting estuaria antara lain : 1. Salinitas

Estuaria memiliki peralihan (gradien) salinitas yang bervariasi, terutama tergantung pada permukaan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tetapi mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menyangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah.

2. Substrat

Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, bahkan organik ini menjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria (Efrieldi, 1999).

(3)

3. Suhu

Suhu air di estuaria lebih bervariasi daripada diperairan pantai didekatnya. Hal ini terjadi karena di estuaria volume air lebih kecil, sedangkan luas permukaan lebih besar. Dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada, air estuaria lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Penyebab lain terjadinya variasi ini ialah masuknya air tawar dari sungai. Air tawar di sungai lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman daripada air laut. Suhu estuaria lebih rendah pada musim dingin dan lebih tinggi pada musim panas daripada perairan pantai sekitarnya (Dianthani, 2003; Thoha, 2003).

4. Pasang surut

Arus pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Disamping itu arus pasang-surut juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan limbah yang sampai ke estuaria.

5. Sirkulasi air

Selang waktu mengalirnya air dari sungai kedalam estuaria dan masuknya air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air.

6. Kekeruhan air

Karena besarnya jumlah partikel tersuspensi dalam perairan estuaria, air menjadi sangat keruh, kekeruhan tertinggi terjadi pada saat aliran sungai maksimum. Kekeruhan minimum di dekat mulut estuaria dan makin meningkat ke arah pedalaman atau hulu. Pengaruh ekologi dari kekeruhan adalah penurunan

(4)

penetrasi cahaya secara mencolok. Selanjutnya hal ini akan menurunkan fotosintesis dan tumbuhan bentik yang mengakibatkan turunnya produktivitas. 7. Oksigen (O2)

Masuknya air tawar dan air laut secara teratur kedalam estuaria bersama dengan pendangkalan, pengadukan, dan pencampuran air dingin biasanya akan mencukupi persediaan oksigen di dalam estuaria. Karena kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, maka jumlah oksigen dalam air akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter tersebut di atas.

8. Penyimpanan Zat Hara

Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon mangrove dan lamun serta ganggang lainya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani.

2.1.3 Biota Estuaria 1. Komposisi Fauna

Di perairan estuaria terdapat 3 komponen fauna yaitu: fauna laut, fauna air tawar dan fauna payau. Komponen fauna yang terbesar adalah fauna air laut yaitu hewan stenohaline yang terbatas kemampuannya dalam mentolelir perubahan salinitas (umumnya ≥ 300/00) dan hewan euryhaline yang mempunyai kemampuan untuk mentolerir berbagai perubahan atau penurunan salinitas di bawah 300/00.

Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologi yang mampu bertahan hidup di estuari

(5)

2. Komponen Flora

Selain miskin dengan jumlah fauna estuaria juga miskin dengan flora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan yang mencuat yang dapat tumbuh mendominasi, mungkin terdapat padang rumput laut (Zosfera

thalassia, Cymodocea) selain di tumbuhi oleh alga hijau dari Genera Ulva,

Entheromorpha dan Chadophora. Estuaria berperan sebagai perangkap nutrien

(nutrient trap) yang mengakibatkan semua unsur-unsur esensial dapat didaur ulang oleh bermacam kerang, cacing dan oleh detritus atau bekteri secara berkesinambungan sehingga terwujud produktivitas primer yang tinggi.

1. Plankton Estuaria

Plankton estuaria miskin dalam jumlah spesies. Hal ini di sebabkan oleh kekeruhan yang tinggi dan cepatnya penggelontoran. Menurut Barner, (1974)

dalam Dianthani, (2003), jumlah spesies pada umumnya jauh lebih sedikit

daripada yang mendiami habitat air tawar atau air laut didekatnya. Fitoplankton yang dominan di estuaria yaitu Genera Diatom (Skeletonema sp, Asterionella sp,

Chaetoceros sp, Nitzchia sp, Thalassiionema sp, dan Melosira sp) dan

dinoflagellata yang melimpah di estuaria (Gymnodinium sp, Gonyaulax sp,

Peridinium sp dan Ceratium sp). Zooplankton estuaria yang khas yaitu Genera

Kopepoda (Eurytemora sp, Acartia sp, Pseudodiaptomus sp dan Centropages sp),

Misid (Neomysis sp, Praunus sp, dan Mesopodopsir sp) dan Amfipoda

(Gammarus sp).

2.2. Plankton dan Pembagiannya

Plakton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air tubuhnya umumnya berukuran relatif kecil, mempunyai daya gerak relatif pasif

(6)

sehingga distribusinya sangat dipengaruhi oleh daya gerak air seperti arus dan lainnya (Suin, 2002). Secara umum plankton dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: fitoplankton yaitu plankton tumbuhan dan zooplankton yaitu plankton hewan. Menurut Arinardi (1995) secara umum plankton dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran dan contoh biotanya seperti tertera pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1. Pengelompokan Plankton Berdasarkan Ukuran dan Contoh

Biotaya

Kelompok Ukuran Biota umum

A. Plankton 1. Ultranoplankton 2. Nanoplakton 3. Mikroplankton 2 µm 2-20 µm 2-200µm Bakteri

Fungi, Flagellata dan Diatomae kecil Pitoplankon, Foraminifera, Ciliata, dan Rotifera B. Plankton Net 1 Mesoplankton 2 Mikroplankton 3 Makroplankton 4 Megaplankron 0,2-2 mm 2-20 mm 20-200 mm > 200 mm Copepoda, Cadocera Cephalopoda, Enphasid Copepoda Cyanea, Schiphozoa 2.3. Ekologi Plankton

Kehadiran fitoplankton di ekosistem perairan sangat penting, karena fungsinya sebagai produsen primer dalam perairan atau karena kemampuan dalam mensintesis senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis (Heddy dan Kurniati, 1996). Dalam ekosistem air, proses fotosintesis dilakukan oleh fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai produktivitas primer. Fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis.

(7)

Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan fitoplankton di suatu perairan lentik adalah kecepatan arus air. Selain itu kekeruhan air juga sangat mempengaruhi keberadaan fitoplankton. Kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar umumnya terdiri dari diatom dan ganggang hijau serta dari kelompok ganggang biru. Pada perairan yang tercemar, seperti di sungai Daplim George, Amerika Serikat, fitoplankton yang dominan adalah fitoflagellata dan ganggang biru, selanjutnya pada daerah hilir banyak di temukan ganggang biru dan diatom (Marshall, 1985).

Kepadatan fitoplankton dapat dipengaruhi oleh musim, terjadi fluktuasi kepadatan fitoplankton yang bervariasi antara musim panas dan musim dingin. Kelompok zooplankton yang terdapat pada ekosistem perairan adalah dari jenis Crustaceae/Copepoda dan Cladocera, serta Rotifera. Kepadatan zooplankton di suatu daerah lentik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Sebagian besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi organik, baik berupa fitoplankton maupun detritus. Berhubung karena bentuk dan ukuran tubuh yang bervariasi maka terdapat berbagai tipe makanan zooplankton dalam memanfaatkan materi.

2.4. Plankton Sebagai Bioindikator

Kualitas suatu perairan terutama perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan fluktuasi populasi plankton yang mempengaruhi tingkat tropik perairan tersebut. Fluktuasi dari populasi plankton sendiri dipengaruhi terutama

(8)

perubahan berbagai faktor lingkungan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi populasi plankton adalah ketersediaan nutrisi disuatu perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi fioplankton dan proses ini akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan (Fahrul et al, 2002).

Yang perlu diperhatikan dalam memilih indikator biologi adalah tiap spesies mempunyai respon terhadap pencemaran yang spesifik. Alga hijau biru

(Mycroytis sp) meningkat bila perairan subur/pencemaran pupuk nitrogen,

pencemaran pupuk fosfat dapat dilihat dengan meningkatnya kehadiran alga hijau biru.

2.5. Parameter Fisika-Kimia

Menurut Nybakken (1992), sifat fisik-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor abiotik akan diperoleh gambaran tentang kualitas perairan. Faktor fisika-kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan plankton antara lain:

1. Suhu

Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air, termasuk plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan

(9)

kebutuhan organisme akan oksigen. Perubahan suhu dalam perairan akan mempengaruhi kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik.

Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10Ԩ hanya pada

kisaran suhu yang masih ditolerir, akan meningkatkan aktivitas fisiologi (misalnya: respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Suhu ekosistem akuatik secara alamiah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.

Disamping itu pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh faktor antropogen yaitu faktor yang diakibatkan oleh manusia seperti limbah panas yang berasal dari pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya pelindung sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung. Hutapea (1990)

dalam Azwar (2001), menyatakan bahwa perbedaan suhu pada suatu perairan

dipengaruhi faktor yaitu: (1) variasi jumlah panas yang diserap (2) pengaruh konduksi panas (3) pertukaran tempat masa air secara lateral oleh arus (4) pertukaran air secara vertikal.

(10)

Soetjipta (1993) dalam Azwar (2001), menyatakan bahwa suhu yang dapat

ditolerir oleh organisme pada suatu perairan berkisar antara 20-30Ԩ. Isnansetyo

& Kurniastuti (1995), menyatakan suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar

antara 25-30Ԩ, sedangkan yang sesuai untuk pertumbuhan zooplankton berkisar

antara 15-30Ԩ.

Suhu di suatu ekosistem air berfluktuasi baik harian maupun tahunan, fluktuasi terutama mengikuti pola suhu antara lingkungan sekitarnya. Selain itu terlihat bahwa suhu air juga dipengaruhi faktor ketinggian dan letak geografis, selanjutnya suhu sungai juga akan berfluktuasi mengikuti aliran air mulai dari hulu sampai kearah hilir.

2. Penetrasi cahaya

Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosisten perairan. Besar

(11)

nilai penetrasi cahaya dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya fotosintesis. Penetrasi cahaya sangat mempengaruhi keberadaaan plankton disuatu badan perairan. Sebab penetrasi cahaya sangat menentukan proses fotosintesis.

Menurut Nybakken (1992), kedalaman penetrasi cahaya yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada bekerjanya faktor antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjangnya gelombang cahaya, kecerahan air, pantulan cahaya oleh permukaan air, lintang geografik dan musim. Menurut Barus (2004), kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisme air, intesitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi intesitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton disuatu perairan. Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton) dan juga mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. 3. Arus

Arus air adalah faktor yang mempunyai perananan yang sangat penting baik pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terlarut dalam air. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen. Selain itu dikenal arus laminar. Arus terutama berfungsi sebagai pengangkut energi panas dan substansi yang terdapat di dalam air. Arus juga mempengaruhi penyebaran organisme. Arus vertikal mempengaruhi distribusi plankton

(12)

Adanya arus pada ekosistem akuatik membawa plankton khususnya fitoplankton yang menumpuk pada tempat tertentu. Jika tempat baru itu kaya akan nutrisi yang menunjang pertumbuhan fitoplankton dengan faktor abiotik yang mendukung bagi pertumbuhan kehidupan plankton (Basmi, 1992). Pengaruh arus bagi organisme air yang paling penting adalah ancaman bagi organisme tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras.

4. Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas, dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsetrasi sebanyak 21% volum, air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Kosentrasi menurun sejalan dengan meningkatnya suhu air. Peningkatan suhu menyebabkan konsetrasi oksigen menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah meningkatkan konsetrasi oksigen terlarut (Barus, 2004).

Kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan jumlah garam terlarut dalam air. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan

(13)

dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme air (Barus, 2004).

Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l. Sanusi (2004), menyatakan bahwa DO yang berkisar antara 5,45-7,00 mg/l cukup baik bagi proses kehidupan biota perairan. Semakin rendah nilai DO suatu perairan, maka semakin tinggi pencemaran suatu ekosistem. Disamping pengukuran konsetrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak.

5. Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

Nilai BOD5 menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk

menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dalam hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari senyawa organik diuraikan sudah mencapai

(14)

kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD5 adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut, dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu.

Pengukuran BOD5 didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologi seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Menurut Brower et al, (1990), nilai konsetrasi BOD5 menunjukkan

kualitas suatu perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik dan apabila konsumsi O2 berkisar 10 mg/l-20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaraan oleh materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD5 umumnya lebih besar dari 100 mg/l.

6. Chemical Oxygen Demand (COD)

Nilai COD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg/l O2. Untuk produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme, oleh karena itu disamping mengukur nilai BOD perlu dilakukan pengukuran terhadap COD. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang

(15)

mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar/tidak bisa diuraikan secara biologis.

7. Derajat Keasaman ( pH)

Organisme air dapat hidup dalam perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dengan basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat pada 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi nilai pH perairan tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang sengat tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsetrasi amoniak yang bersifat sangat toksik bagi organisme

Derajat keasaman perairan air tawar berkisar antara 5-10 (Laporan Pelaksanaan Kursus Analisa Limbah Industri Angkatan II Staf Akademik PTN Indonesia Bagian Timur 7-17 Juli 1994). Setiap organisme mempunyai nilai pH yang optimum bagi kehidupannya. Perkembangan alga Cyanophiceae akan sangat jarang dalam perairan apabila nilai pH di bawah 5 (Shubert, 1984).

8. Salinitas

Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (0/00).

(16)

Berdasarkan Venice System to Classification of water According to Salinity, air diklassifikasikan berdasarkan nilai salinitasnya sebagai berikut :

Tabel 2.2. Klafikasi Air Berdasarkan Nilai Salinitasnya (Schlieper 1958)

No. Jenis Air Salinitas (0/00)

1 Limnin (Air Tawar) < 0,5 0/00 2 Mixohalin (Payau) 0,5 – 30 0/00 3 Enhalin (Air Laut) 30 – 40 0/00

4 Hyperhalin > 40 0/00

Dalam keseluruhan biosfer terbentuk batas yang jelas antara habitat perairan tawar dengan habitat perairan laut yang di batasi air payau (estuaria). Hanya 1% dari keseluruhan organisme air yang dapat hidup pada kedua habitat yang berbeda tersebut. Sisanya sebagian akan hidup pada habitat air tawar saja dan sebagian lagi hidup hanya habitat air laut saja.

Secara alami kandungan garam terlarut dalam air dapat meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi dari hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat.

9. Nitrat dan Nitrit

Mikroorganisme akan mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat. Penguraian ini dikenal sebagai proses nitrifikasi. Proses oksidasi ammonium menjadi nitrit dilakukan oleh jenis bakteri Nitrosomonas. Selanjutnya nitrit oleh aktivitas bakteri Nitrobacter akan dirombak menjadi nitrat, yang merupakan produk akhir dari proses penguraian senyawa protein dan diketahui sebagai senyawa yang kurang berbahaya jika dibandingkan ammonium/amoniak atau nitrit. Nitrat adalah merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kadar nitrat yang optimal untuk pertumbuhan

(17)

fitoplankton adalah 3,9 mg/l-15,5 mg/l (Basmi, 1992). Sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

10. Ammonium dan Amoniak

Limbah domestik dari hasil peruraian bahan organik seperti lemak dan protein dapat menimbulkan masalah dalam perairan yaitu zat amoniak (NH3) dan ammonium (NH4+). Dari hasil penelitian diketahui bahwa kesetimbangan antara ammonium dan amoniak di dalam air dapat dipengaruhi oleh nilai pH air (Baur, 1987; Borneff, 1982 dalam Barus, 2004). Semakin tinggi nilai pH akan

menyebabkan keseimbangan antara ammonium dengan amoniak semakin bergeser ke arah amoniak, artinya kenaikan pH akan meningkatkan konsetrasi amoniak yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air.

11. Fosfor

Fosfor bersama dengan nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air, seperti di ketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi yang utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi alga secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air. Kadar fosfor yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l (Wardhana, 1994).

Biomassa dari vegetasi ini setelah mati akan mengalami proses pembusukan/dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara aerob, artinya proses tersebut membutuhkan ketersediaan oksigen terlarut didalam air. Akibat proses dekomposisi tersebut kandungan oksigen terlarut akan semakin sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus berlangsung dapat menimbulakan

(18)

kondisi anaerob karena kandungan oksigen terlarut sudah sangat sedikit. Dalam kondisi tidak tersedia oksigen terlarut proses penguraian akan berjalan secara anaerob yang menghasilkan berbagai jenis senyawa yang bersifat toksik dan menimbulkan bau busuk seperti amoniak (Barus, 2004).

Gambar

Tabel 2.2. Klafikasi Air Berdasarkan Nilai Salinitasnya  (Schlieper 1958)

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dilakukan tahap deasetilasi kitin menjadi kitosan dengan menggunakan larutan basa konsentrasi tinggi yaitu 50% pada suhu 100 °C selama 6 jam.. Hasil

Setiap pola memiliki beberapa kemungkinan posisi yang berbeda untuk mengisi ruang kosong yang masih tersedia pada plat. Kemungkinan ini dibuat dengan cara melakukan rotasi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perhitungan dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada PT.Hirose Electric Indonesia dalam 2 tahun pajak terakhir telah

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, bentonit alam yang diperoleh dari daerah Muara Lembu Kabupaten Sengingi Propinsi Riau Daratan dapat

Meningkatkan produktivitas dalam industr perlu adanya strategi promosi dalam perusahaan, agar produksi tidak tergantung pada permintaan sehingga industri kacang

Peran ICCTF adalah untuk menggalang, mengelola dan menyalurkan pendanaan yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim serta mendukung program pemerintah untuk

lebih hijau dan tebal, juga memiliki batang yang lebih tebal sehingga mampu menyimpan cadangan makanan, maupun unsur hara dan air agar tanaman dapat bertahan

Guna pembayaran : Biaya Pemeliharaan gedung Puskesmas untuk Puskesmas Sumbersari bulan Januari sesuai faktur terlampir.. Jember, 2008 Mengetahui , Kepala