• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Salah satu tujuan yang tercantum dalam Millennium Development Goals adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Salah satu tujuan yang tercantum dalam Millennium Development Goals adalah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Penelitian

Salah satu tujuan yang tercantum dalam Millennium Development Goals adalah menangani berbagai penyakit menular salah satunya infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus yang penyebab Acquired Immuno De ciency Syndrome (AIDS). Penyakit ini membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan, sehingga target Millenium Development Goals / MDGs untuk HIV dan AIDS adalah menghentikan laju penyebarannya pada 2015. (Kementrian Kesehatan RI, 2009)

Masalah utama saat ini adalah rendahnya kesadaran tentang isu-isu HIV dan AIDS, terbatasnya layanan untuk menjalankan tes dan pengobatan, kurangnya pengalaman untuk menangani dan anggapan bahwa ini hanya masalah kelompok risiko tinggi atau yang sudah tertular. Stigma yang masih kuat menganggap bahwa HIV hanya akan menular pada orang-orang tidak bermoral menjadi sebuah tantangan untuk mengajak semua pihak merasa ini sebagai masalah yang perlu dihadapi bersama. (Dalimoenthe. 2011)

Masalah kesehatan ini menjadi sangat kompleks mengingat masih tingginya kasus infeksi HIV dan AIDS. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jumlah kasus HIV dan AIDS saat ini menempati urutan posisi ke-12 di antara provinsi lainnya.

(2)

Akumulasi penghitungan dari Direktorat Pengendalian Penyakit dan Lingkungan (Ditjen PP & PL, 2013) bulan Juni 2013, mengungkap jumlah kasus HIV dan AIDS di DIY sebanyak 2.475 kasus, terdiri atas 1.693 kasus HIV dan 782 kasus AIDS. Dari faktor penyebaran, perilaku seksual berisiko dengan hubungan heteroseksual paling dominan di antara faktor lainnya, sebanyak 4.953 atau 48 %. Faktor risiko AIDS 80 % juga melalui hubungan heteroseksual. Ini menunjukkan perilaku seksual berisiko masih menjadi penyebab utama penularan HIV. Prevalensi terjadinya kasus HIV pada perempuan pun terus mengalami peningkatan, tahun 2011 penderita HIV 44% adalah perempuan, tahun 2012 meningkat menjadi 43% dan di tahun 2013 meningkat menjadi 58% (Kemenkes, 2013).

Perempuan lebih rentan tertular HIV 2,5 kali dibandingkan laki-laki dan remaja putra. Laporan terbaru dari UNAIDS (2012) menemukan bahwa dari 35,3 miliar orang yang hidup dengan HIV, 17,7 milliarnya adalah perempuan. Secara fisik, bentuk organ kelamin perempuan seperti bejana terbuka memudahkan virus masuk ke dalam vagina ketika berhubungan intim dengan lelaki positif HIV, melalui luka kecil, lecet atau masuknya cairan sperma ke vagina. Secara biologis permukaan (mukosa) alat kelamin perempuan yang lebih luas menyebabkan cairan sperma mudah terpapar ketika hubungan seksual. Selain itu, sperma yang terinfeksi HIV mempunyai konsentrasi virus yang lebih tinggi dibanding konsentrasi HIV pada cairan vagina (Dalimoenthe, 2011)

Akses informasi dan pendidikan pada beberapa kalangan perempuan jauh lebih rendah sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan

(3)

reproduksi, termasuk persoalan seputar HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka (Aditya, 2005). Posisi mereka yang rentan terhadap penularan HIV adalah orang-orang yang memiliki daya tawar lemah, tidak berpendidikan, dan mereka yang secara sosial maupun ekonomi tidak mandiri (Aditya, 2005).

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya dalam menangani hak, kebutuhan serta perlindungan bagi perempuan melalui kebijakan yang telah dikeluarkan. Salah satu kebijakan pemerintah untuk perempuan, yang dapat berlaku juga pada perempuan dengan HIV adalah dengan meratifikasi CEDAW (The Convetion On The Eliminaton of All Form of Discrimination Against women) ke dalam UU no.7 tahun 1984, UU no.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan UU no.36 tahun 2009 tentang kesehatan. Isi dari perjanjian CEDAW (1979) itu sendiri adalah melarang diskriminasi yang didasarkan pada gender dan memastikan hak perempuan atas akses setara terhadap layanan perawatan kesehatan. Pasal 16 mencantumkan hak untuk memilih pasangan dan untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai reproduksi jumlah anak, jarak kelahiran anak, akses terhadap informasi dan pendidikan (CEDAW, 1981)

Perempuan HIV mempunyai hak asasi manusia termasuk untuk bereproduksi, dan melanjutkan keturunan. Namun, risiko penularan pada pasangan dengan status diskordan (pasangan dengan salah satu memiliki status HIV yang berbeda), kemungkinan transmisi ke janin saat hamil, melahirkan atau menyusui membuat perempuan harus berpikir dua kali. Perempuan HIV masih lemah dalam negosiasi untuk melakukan sex yang aman. Penelitian dari Dhairyawan, et al. (2012)

(4)

menunjukkan bahwa 52% perempuan dengan HIV mengalami kekerasan oleh pasangan intim mereka, 14 % mengalami kekerasan saat sedang hamil. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mannopaibon, et al. (1998) di thailand menunjukkan terjadi perubahan subtansial dalam keluarga setelah 2 tahun melahirkan, antara lain meningkatnya manifestasi pasangan terhadap penyakit atau kematian, perpisahan keluarga, penurunan pendapatan keluarga, perubahan kemampuan dalam merawat anak, dan gejala depresi serta isolasi. Perempuan dituntut untuk menggantikan peran suami dalam mencari nafkah sekaligus membesarkan anak, sedangkan dirinya sendiri juga mengalami infeksi, apabila dukungan keluarga kurang akan semakin memperburuk kondisi perempuan HIV.

Laporan dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia / IPPI (2012), menunjukkan 28, 98% perempuan dengan HIV mengalami kekerasan seksual, masih adanya perempuan HIV yang dipaksa berhubungan seksual saat menstruasi dan tidak berani menolak karena takut pasangannya marah dan 13,58% mengalami sterilisasi paksa / aborsi saat hamil. Hal ini menunjukkan masih kurangnya perhatian pemerintah dan LSM terhadap seksualitas perempuan HIV. Sedangkan isu kekerasan seksualitas pada perempuan dengan penyakit HIV sendiri masih dianggap terpisah (IPPI, 2012)

Perempuan positif HIV dilema terhadap perilaku sex yang aman dan keinginan memiliki keturunan. Penelitian Jolly (2009) alasan terbesar pasangan diskordan ingin memiliki keturunan adalah untuk menjamin kelangsungan hidup atau keturunan, kelangsungan hubungan dan tekanan lingkungan sosial untuk memiliki anak. Tantangan yang dihadapi adalah risiko penularan dari pasangan ke anak, kurangnya

(5)

negosiasi untuk melakukan seks yang aman dan gangguan sistem kesehatan tubuh yang akan mengganggu sistem repoduksi.

Dinamika seksualitas pada perempuan dengan HIV ini perlu menjadi perhatian petugas kesehatan karena akan mempengaruhi sistem reproduksi perempuan HIV, pasangan dan keturunannya. Penelitian Carol Bova dan Amanda D (2003) menjelaskan bahwa sebagian besar perempuan HIV tetap melanjutkan hubungan seksual setelah diagnosa HIV positif dan beberapa perempuan dengan HIV melaporkan bahwa status HIV menyebabkan memburuknya fungsi seksualitas. Perempuan dengan status mental yang baik, arti hidup yang positif, kualitas hidup yang baik, gejala HIV yang sedikit, dan tidak pernah melakukan penyalahgunaan obat memiliki fungsi seksual yang lebih tinggi.

Perilaku seksual yang baik dan benar sangat penting untuk keberhasilan program kehamilan dan bahkan pencegahan penularan infeksi pada pasangan diskordan. Agar tidak menular ke pasangan, perempuan dengan HIV harus selalu memakai kondom saat berhubungan intim. Pada saat masa subur pasangan diskordan dapat berhubungan badan tanpa menggunakan kondom. Pada kondisi ini risiko penularan HIV/AIDS melalui sperma atau cairan vagina bisa saja terjadi tetapi kemungkinannya kecil (Wahyuningsih, 2012).

Perilaku seksual yang tidak aman pada perempuan HIV dapat meningkatkan infeksi menular seksual lainya seperti gonorea, sifilis, herpes dan klamidia, ini akan menjadi parah bila kekebalan tubuh penderita turun. Gonorea dan klamidia dapat menyebabkan infeksi urera (uretritis) dan anus, atau rektum. Infeksi ini dapat

(6)

menyebabkan komplikasi serius. Perempuan dengan gonorea dan klamidia akan meningkatkan risiko infertilitas dan kehamilan ektopik yang bisa mengancam kehidupan (Daar, 2006). Selain itu pada pasangan yang keduanya terinfeksi HIV, perilaku seksual yang aman ditujukan untuk menghindari koinfeksi atau infeksi ulang dengan HIV jenis lain atau penyakit infeksi lain, karena jika terjadi HIV ko–infeksi akan semakin sulit untuk ditangani.

Bagaimanapun, perilaku seksual yang tidak aman atau tidak dilindungi dengan kondom pada dua orang pasangan yang sama – sama terinfeksi HIV akan meningkatkan risiko apalagi jika salah satu pasangan juga memiliki infeksi menular seksual lainya, ini akan menyebabkan HIV Superinfection. Ini terjadi pada orang yang terinfeksi HIV dan terinfeksi HIV lagi dengan jenis virus HIV yang berbeda. Penanganannya akan lebih sulit sekalipun menggunakan pengobatan ARV (Anti Retro Viral) kombinasi, karena ada kemungkinan seseorang yang terinfeksi dua virus yang sama akan terjadi resistensi obat (Boskey, 2013).

Kecemasan, panik, ketidakmampuan menerima kondisi dan rendahnya pengetahuan perempuan dengan HIV AIDS tentang perilaku seksual yang baik pasca diagnosis dapat memperburuk status HIV perempuan. Gangguan seksualitas menyebabkan hubungan suami istri tidak harmonis dan meningkatnya konflik rumah tangga sehingga dapat mengarah pada perceraian. Perceraian bisa diawali dari masalah yang berawal di tempat tidur seperti tidak didapatkannya kepuasan ketika berhubungan intim dengan pasangan dan kehilangan gairah (Familia, 2010).

(7)

Perempuan HIV berisiko meningkat masalah seksualnya, penelitian yang dilakukan oleh Bell, et al. (2006) melaporkan bahwa perempuan dengan HIV / AIDS memiliki masalah seksual dan mereka tidak puas dengan seksualitas semenjak 12 bulan sebelumnya. Sedangkan 60% dokter yang mengobati HIV tidak pernah menanyakan fungsi seksual kepada pasien HIV perempuan padahal penanganan dari dokter dapat memperbaiki situasi ini dan setidaknya masalah seksual dapat didiskusikan sehingga dapat mengurangi beban psikologis pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Fumaz (2009) menemukan bahwa perempuan yang mengalami gangguan fungsi seksual, gejala depresi, dan gangguan menstruasi adalah perempuan yang memiliki tingkat kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan. Tingkat kepatuhan pengobatan Antiretroviral / ARV yang rendah tersebut akan menurunkan kualitas hidup pasien HIV. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mannheimer (2005) menyebutkan bahwa kualitas hidup pasien HIV meningkat setelah 1 sampai 4 bulan pengobatan ARV. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pasien yang melakukan pengobatan ART rutin akan berkurang gangguan seksualnya.

Kualitas hidup yang semakin menurun, adanya kemungkinan mengalami gangguan seksual, rasa kasihan dengan pasangan yang sudah terinfeksi HIV dapat menyebabkan ketidakpuasan terhadap hubungan seksualitas, sehingga terkadang pasangan menyalahkan penderita dan terjadi stress pada penderita dan pasangan. Informasi yang kurang tersebut menyebabkan meningkatnya kecemasan dan stres pada perempuan HIV positif. Apalagi sebagian besar masyarakat masih memandang

(8)

tabu membicarakan masalah seksual, sehingga tidak mencari informasi tentang cara penanganan dan berperilaku menurut persepsi yang dipercaya.

Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada perempuan positif HIV di Yogyakarta didapatkan adanya perubahan peran dan status perempuan setelah diagnosa HIV yaitu adanya kematian pasangan yang terlebih dahulu terkena HIV dan AIDS sehingga perempuan menjadi janda, tuntutan ekonomi keluarga yang menyebabkan perempuan harus bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan dan tidak patuh dalam menggunakan kondom. Ketidakpatuhan menggunakan kondom dikarenakan kesengajaan / khilaf dan merasa tidak nyaman saat menggunakan dan menuruti ajakan pasangan untuk tidak menggunakan. Hasil selanjutnya yaitu terjadinya penurunan hasrat seksual pada beberapa perempuan karena rasa takut, kecemasan akan kematian dan beban hidup yang berat, kondisi ini menuntut perempuan harus bekerja ekstra sehingga mengalami keletihan. Hasil wawancara studi pendahuluan didapatkan data menurut yang disampaikan partisipan ada perempuan dengan HIV mengijinkan pasangannya mencari pasangan lain untuk menyalurkan hasrat seksualnya dan ini meningkatkan risiko penularan dan penyebaran HIV. Perhatian dan penanganan yang serius dari petugas kesehatan serta pemerintah perlu dilakukan mengingat akan semakin meningkatnya laju penyebaran penyakit, dan dapat menurunkan kualitas hidupnya pasien itu sendiri. Dampak seksual pasca diagnosis HIV juga penting untuk diperhatikan, karena terkait dengan hak reproduksi, melanjutkan keturunan, dan kesehatan seksualitas secara fisik, mental dan sosial.

(9)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan penelitian adalah : ”Bagaimanaperubahan perilaku seksualitas pada perempuan pasca diagnosis HIV / AIDS di Kota Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengeksplorasi perubahan perilaku seksualitas pada perempuan pasca diagnosis HIV / AIDS di Kota Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi perubahan perilaku seksualitas: sebelum diagnosa, saat diagnosa, dan saat ini pada perempuan pasca diagnosis HIV / AIDS di Kota Yogyakarta.

b. Mengidentifikasi penyebab perubahan perilaku seksualitas pada perempuan pasca diagnosis HIV / AIDS di Kota Yogyakarta.

(10)

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, referensi, informasi dan menambah wawasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tentang kesehatan reproduksi terutama seksualitas perempuan pascadiagnosis HIV / AIDS di Kota Yogyakarta dan dipergunakan sebagai bahan penelitian baik sekarang maupun yang akan datang.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perempuan terutama perempuan pascadiagnosis HIV / AIDS dan keluarganya tentang kesehatan reproduksi serta perubahan perilaku seksualitas yang terjadi pada perempuan pascadiagnosis HIV / AIDS di Kota Yogyakarta.

3. Bagi Komunitas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi untuk penanganan, perlindungan serta pengembangan konseling di komunitas terutama Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM dalam peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada perempuan dengan HIV / AIDS di Kota Yogyakarta.

(11)

E. Keaslian Penelitian

Ada beberapa penelitian yang serupa namun ada perbedaannya, diantaranya adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Manopaibon (1998) dengan judul “Impact of HIV

on families of HIV infected women who have recently given birth, Bangkok, Thailland”. Tujuan penelitian untuk mengetahui perubahan situasi dalam keluarga pada perempuan dengan HIV positif yang baru saja melahirkan anak. Metode penelitian dengan interview dan membandingkan dengan informasi dasar selama kehamilan. Lokasi penelitian di Bangkok, Thailand. Sampel penelitian 129 perempuan dengan HIV positif. Hasil penelitian beberapa perempuan tertutup dengan status HIV nya (34%), perempuan menunjukkan level depresi dan ketakutan yang tinggi, depresi dan ketakutan sebagian besar karena kesehatan anak dan masa depan keluarga. setelah 2 tahun melahirkan, terjadi perubahan substansi keluarga yaitu meningkatnya manifestasi penyakit pasangan atau kematian, perpisahan keluarga, penurunan pendapatan, penurunan kemampuan merawat anak, dan adanya tanda depresi serta isolasi. Persamaan dengan penelitian ini adalah sampel penelitian. Perbedaanya adalah tujuan penelitian, dan lokasi penelitian.

2. Penelitian Carol (2003) dengan judul “Sexual Functioning Among HIV–Infected Women”. Tujuan penelitian mendiskripsikan aktivitas seksual, fungsi seksual, dan perilaku seksual yang aman pada pasien dengan HIV. Metode penelitian dengan cross sectional survey deskriptif, lokasi penelitian di Massachusetts. Subyek penelitian perempuan dengan HIV positif. Hasil penelitian perempuan

(12)

tetap meneruskan untuk berhubungan seksual setelah diagnosa HIV, fungsi seksual tidak berubah namun pada beberapa perempuan dilaporkan adanya penurunan fungsi seksual, 51% perempuan menggunakan kondom saat berhubungan seksual, 25%nya tidak menggunakan kondom. Persamaan dengan penelitian ini adalah tujuan penelitian, perbedaannya adalah lokasi penelitian, dan adanya faktor yang mempenggaruhi perubahanperilaku serta metode penelitian.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Bell, et al.(2006) dengan judul “HIV–Associated Female Sexual Dysfunction – Clinical Experience And Literature Review”. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan pengalaman perempuan dengan HIV, dan mengetahui disfungsi seksual, lokasi penelitian di London. Subyek penelitian perempuan dengan HIV – AIDS. Metode penelitian dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian didapatkan setengah dari perempuan mengalami masalah seksual atau tidak puas dengan seksualitas semenjak 12 bulan sebelumnya. Disfungsi seksual kemungkinan meningkat pada perempuan dengan HIV positif. Persamaannya dengan penelitian ini adalah di tujuan penelitian, perbedaannya di penambahan tujuan penelitian meliputi perbahan perilaku seksual dan faktor yang mempengaruhi. Perbedaanya dilokasi penelitian dan kriteria partisipan dan metode penelitian.

4. Penelitian dari Jolly Beyeza, et al (2009), dengan judul “The Dilemma of Safe Sex and Having Children: Chalenge Facing HIV Sero Discordant Couple In Uganda”. Tujuan penelitian adalah mengeksplorasi praktik seksual untuk

(13)

memahami pengaruh luas dalam keinginan memiliki anak dan pencegahan transmisi pada pasangan diskordan. Lokasi penelitian di Uganda, Sampel penelitian 114 pasangan diskordan. Hasil penelitian alasan utama menginginkan anak, karena menjamin kelangsungan hidup, mengamankan hubungan, dan tekanan yang relatif untuk bereproduksi. Tantangannya adalah risiko penularan pada pasangan dan anak, kurangnya negosiasi untuk melakukan sex yang aman, dan adanya kegagalan sistem kesehatan tubuh untuk melakukan sex yang aman. Persamaan dengan peneltian ini adalah mengeksplorasi praktik seksual. Sedangkan perbedaannya adalah penambahan tujuan terkait perubahan perilaku dan faktor penyebab perubahan perilaku, partisipan penelitian, lokasi penelitiandan metode penelitian.

(14)

14 A. Tinjauan Pustaka

1. HIV / AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunitis akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV, Human Immunodeficiency Virus. (Duarsa, 2005). AIDS ditandai dengan lemahnya sistem imunitas secara progresif, sehingga menyebabkan penderita mudah terkena infeksi dan kanker. Sindrom ini pertama kali didefinisikan oleh Centre For Disease Control and Prevention (CDCP) pada tahun 1981.

AIDS disebabkan oleh virus golongan retrovirus yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus atau HIV. Virus ini menyerang sel yang mengandung substansi disebut antigen CD 4. Antigen ini berfungsi sebagai penerima HIV dan membiarkan virus itu masuk ke dalam sel. HIV menyerang CD 4 yang merupakan sel darah putih (Cooper, 1996). Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi sistem imun sehingga tubuh akan mudah dimasuki berbagai macam bakteri atau penyakit lain

(15)

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik seperti demam, berkeringat, pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. (Cooper, 1996)

Tiga prinsip utama dalam penularan HIV yaitu lewat produk darah, kontak seksual, dan dari ibu ke janin. Penularan HIV pada awalnya dikaitkan dengan kontak seksual, transfusi darah, dan penggunaan narkoba suntikan, dan studi epidemiologi menemukan adanya agen infeksi dalam darah dan cairan kelamin. Penularan infeksi HIV dapat terjadi dari ibu ke anak sewaktu di dalam rahim atau melalui saluran vagina saat bersalin dan pemberian ASI (Holmes, 1999). Risiko penularan melalui transfusi darah telah dihilangkan karena adanya pemeriksaan rutin terhadap semua produk darah (Cooper, 1996). Penularan HIV bisa melalui : 1) Hubungan Seks : Melalui hubungan seksual virus akan masuk ke dalam tubuh melalui membran mukosa yang ada pada rektum, alat kelamin dan atau mulut. Sementara itu sumber virus berasal dari cairan sperma atau cairan vagina. urutan risiko infeksi berdasarkan cara berhubungan adalah ; anal seks, hubungan seksual penis-vagina, oral seks. Oral seks mempunyai risiko jauh lebih kecil dari kedua cara yang lain. Setiap kenaikan 10 kali RNA HIV plasma darah sama dengan

Referensi

Dokumen terkait

Persentase campuran yang terdiri dari bahan/bahan-bahan dengan toksisitas akut yang tidak diketahui: 32.3% (mulut), 40.7% (kulit), 58.4% (Penghirupan).. Persentase campuran

Pada hari yang sama untuk keempat objek yang diidentifikasi terlihat bahwa pola nilai koefisien atenuasi liniernya sama, dimana untuk ketiga hari pengambilan citra

INTI, pada dasarnya pelaksanaan penempatan karyawan tidak sesuai dengan ketentuan beberapa pegawai belum menempati posisi dan tempat yang tepat sesuai dengan

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas segala bentuk karunia, rahmat, nikmat, dan ridhoNya, sehingga Tugas Akhir dengan judul

Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan untuk para responden atau kuesioner berisi daftar pertanyaan yang berstruktur , jenis

Bagaimana wujud rancangan Technospace di Yogyakarta yang berfungsi sebagai fasilitas hiburan dan juga apresiasi pendidikan, yang dapat mengekspresikan semangat kedinamisan dan

Perhitungan indeks RCA bertujuan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas nenas dan pisang Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga

Dari pendapat-pendapat para sarjana maupun dari peraturan Merek itu sendiri, secara umum yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda untuk membedakan