commit to user
1
Hubungan antara Psychological Well-Being dan Dukungan Sosial dengan Ekspresi Emosi
Family Caregiver Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta
Relationship Between Psychological Well-Being and Social Support with Expression of Emotion Family Caregiver of Schizophrenia Patients In Hospital Regional Mental Surakarta
Meinar Andari Puteri, Machmuroch, Selly Astriana Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret [email protected]
ABSTRAK
Ekspresi emosi adalah suatu upaya mengkomunikasikan status perasaan individu yang berorientasi pada tujuan dan terdiri dari hostilitas, kritik, emosi yang berlebihan, kehangatan, dan komentar positif. Tingkat ekspresi emosi yang terdapat pada family caregiver pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta disebabkan oleh faktor pribadi dan lingkungan. Ekspresi emosi pada individu dipengaruhi oleh berbagai variabel, diantaranya yaitu psychological well-being dan dukungan sosial.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara psychological well-being dan dukungan sosial dengan ekspresi emosi, hubungan antara psychological well-being dengan ekspresi emosi, dan hubungan antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi pada family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Sampel dalam penelitian ini merupakan 100 family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Instrumen yang digunakan adalah Family Questionnaire (FQ), skala psychological well-being, dan skala dukungan sosial.
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan nilai Fhitung sebesar 5,430 (> Ftabel 3,09) dengan sig. 0,006 (p < 0,05) dan nilai R = 0,317. Nilai R2 dalam penelitian ini sebesar 0,101 atau 10,1%, dimana sumbangan efektif psychological well-being sebesar 0,1% dan sumbangan efektif dukungan sosial sebesar 10%. Secara parsial, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara psychological well-being dengan ekspresi emosi (sig 0,115 < 0,05), rx1y = 0,160; serta tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi (sig 0,432> 0,05), rx2y = 0,080.
Kesimpulan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara psychological well-being dan dukungan sosial dengan ekspresi emosi, tidak terdapat hubungan psychological well-being dengan ekspresi emosi, dan tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi pada family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.
Kata kunci: ekspresi emosi, psychological well-being, dukungan sosial, family caregiver pasien skizofrenia
PENDAHULUAN
Penderita skizofrenia dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dunia. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock dan Sadock, 2007). Provinsi Jawa Tengah berada pada peringkat
keempat dari beberapa daerah di Indonesia dengan jumlah penderita skizofrenia terbanyak. Angka prevalensi kejadian skizofrenia di Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,33% yakni berkisar angka 110.000 jiwa (IICB, 2012). Salah satu daerah di Jawa Tengah dengan angka penderita skizofrenia yang cukup banyak adalah
commit to user
2 Surakarta. Jumlah penderita skizofrenia di
Surakarta lebih besar dari seperlima jumlah penderita skizofrenia di Jawa Tengah.
Skizofrenia merupakan gangguan mental kronik, pervasif, dan bersifat kambuhan yang umumnya menyerang seseorang pada usia produktif serta merupakan penyebab utama disabilitas pada kelompok usia 15-44 tahun (Kring, 2012). Penderita skizofrenia biasanya mengalami gangguan proses berpikir, gangguan emosi, gangguan perilaku, dan disfungsi kognitif. Hal ini membuat mereka mengalami hambatan dalam pekerjaan, hubungan sosial, kemampuan merawat diri, dan bidang lainnya. Prianto (dalam Suaidy, 2006) menyatakan bahwa hal tersebut membuat orang dengan skizofrenia (ODS) cenderung menggantungkan sebagian besar aspek kehidupannya pada orang yang peduli terhadap dirinya, baik itu hubungan sebagai keluarga atau relasinya.
Individu yang secara umum merawat dan mendukung individu lain dalam kehidupannya disebut caregiver (Awad dan Voruganti, 2008). Masing-masing caregiver dibedakan sesuai dengan gangguan yang diderita oleh orang yang dirawat. Salah satu dari caregiver skizofrenia yang berperan aktif dalam merawat pasien skizofrenia adalah anggota keluarganya atau yang biasa disebut family caregiver. Tugas
family caregiver skizofrenia tidak hanya
membantu memberikan makan, mengganti baju, dan mempersiapkan obat untuk pasien tetapi juga harus memberikan dukungan baik secara material atau psikologis. Banyaknya tugas yang harus dilakukan oleh family caregiver pasien
skizofrenia sering memicu timbulnya tuntutan dari mereka. Stigma buruk dari masyarakat juga membuat proses perawatan ODS menjadi semakin sulit dan menjadikan hal tersebut sebagai beban.
Terdapat dua jenis beban perawatan ODS. Beban perawatan ODS terdiri atas beban objektif, seperti adanya tugas perawatan dan berkurangnya waktu untuk kegiatan rekreasi. Beban subjektif perawatan ODS merupakan dampak emosional dari adanya tanggung jawab perawatan yang meliputi ketegangan dalam kehidupan, kegelisahan, depresi keluarga karena ketidakmandirian ODS serta kecemasan ODS terhadap sesuatu (Granville, 2005). Proses perawatan terhadap ODS di rumah juga menimbulkan beban psikologis yang sangat berat pada keluarga.
Selama proses perawatan muncul sikap negative dari keluarga. Sikap negatif ini biasanya dipicu oleh tekanan emosi negatif yang kemudian memunculkan komentar kritik dan perilaku kekerasan. Bentuk komentar kritik dan perilaku kekerasan ini dimasukkan ke dalam aspek ekspresi emosi.
Planalp (dalam Safaria & Saputra, 2009) mengatakan bahwa ekspresi emosi adalah suatu upaya mengkomunikasikan status perasaan individu yang berorientasi pada tujuan. Persepsi dalam bentuk verbal dan non verbal adalah jenis dari ekspresi emosi. Ekspresi emosi terdiri dari beberapa sikap yaitu permusuhan, kritik yang berlebihan, dan dukungan yang tidak tepat. Pasien dengan keluarga yang ekspresi emosinya tinggi dan melakukan kontak lebih lama atau
commit to user
3 sama dengan 35 jam per minggu mempunyai
risiko kambuh atau rawat inap ulang dua kali lebih besar. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Kavanagh pada tahun 1992 dan Barrowclough tahun 1996, menunjukkan bahwa angka kekambuhan pasien skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi (EE) yang tinggi setelah dipantau selama 9 bulan adalah 48-66%, sedangkan pada keluarga dengan EE yang rendah angka kekambuhan 21%.
Brown menyebutkan (dalam Hazra dkk, 2010) tinggi rendahnya EE keluarga dapat diketahui melalui komentar-komentar yang dikeluarkan oleh keluarga pada saat proses wawancara mengenai keadaan ODS. Tingginya ekspresi emosi semakin menunjukkan rasa tidak puas dari family caregiver pasien skizofrenia dan rasa tidak puas ini mengarah pada rendahnya tingkat kebahagiaan atau kesejahteraan psikologisnya. Berdasarkan hal tersebut salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya ekspresi emosi family caregiver skizofrenia adalah psychological well-being.
Psychological well-being dapat diartikan sebagai kebahagiaan, dalam arti bebas dari distress yang dicerminkan oleh keseimbangan afek positif dan negatif (Diener & Larsen, 1993). Psychological well-being dapat tercapai apabila seorang caregiver memiliki hubungan personal yang baik, interaksi sosial yang baik, kepuasan hidup, serta kemampuan untuk menyeimbangkan emosi negatif dan positif yang ada pada dirinya. Bagi family caregiver pasien skizofrenia, psychological well-being menjadi
sulit dicapai karena pasien skizofrenia cenderung tidak realistis dan membuat ODS atau pun keluarganya mendapat isolasi dari lingkungan luar. Kondisi pasien skizofrenia juga membuat keluarga sebagai caregiver menjadi tidak puas dengan hidupnya. Rasa tidak puas ini yang memicu rendahnya tingkat psychological
well-being. Peran family caregiver dalam
merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan skizofrenia menunculkan perlunya pemberian dukungan sosial dari masyarakat sekitar untuk family caregiver pasien skizofrenia.
Dukungan sosial yang diberikan pada family caregiver ODS dapat berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stres dan konsekuensi negatifnya. Uchino menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau ketersedian bantuan kepada seseorang dari orang lain atau suatu kelompok (dalam Sarafino, 2011). Family caregiver selain bertugas untuk merawat dan memberikan dukungan pada ODS, mereka juga membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang lain baik berupa material atau psikologis. Dukungan dan bantuan ini akan membuat family caregiver lebih nyaman dalam merawat ODS sehingga kondisi emosi family caregiver juga stabil. Menurut Cobb, dkk, (dalam Sarafino, 1998) sumber utama dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari anggota keluarga, teman dekat, rekan kerja, saudara, dan tetangga. Sari, Johnson, dan Johnson (dalam Ermayanti & Abdullah, 2011) menyebutkan bahwa dengan adanya
commit to user
4 penghargaan yang positif dari keluarga akan
membantu individu untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Sama halnya dengan caregiver pasien skizofrenia yang membutuhkan dukungan sosial dari orang-orang di lingkungan tempat tinggal mereka untuk mendapatkan kenyamanan dan hal itu dapat membantu menstabilkan emosi mereka agar tercapai angka ekspresi emosi yang rendah. Dukungan sosial ini terkadang sulit didapatkan oleh family caregiver pasien skizofrenia karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gangguan mental skizofrenia dan mereka cenderung takut didekati oleh ODS atau pun keluarganya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada lima orang
family caregiver pasien skizofrenia yang
menjalani pengobatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta maka dapat terlihat bahwa ekspresi emosi yang muncul baik itu tinggi ataupun rendah pada caregiver. Jadi
family caregiver pasien skizofrenia
membutuhkan kesejahteraan psikologis dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini didukung oleh penelitian Gross dan John (2003) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan individual dalam pengalaman ekspresi emosi dan selanjutnya berdampak secara berbeda terhadap kebahagiaan (well-being). Sheridan dan Radmacker (1992) menyebutkan bahwa adanya dukungan sosial dapat membuat individu menyadari bahwa ada lingkungan terdekat individu yaitu keluarga yang siap membantu individu dalam menghadapi tekanan.
Dari uraian tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan antara psychological well-being dan dukungan sosial dengan ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.
DASAR TEORI 1. Ekspresi Emosi
Ekspresi emosi merupakan refleksi dari perasaan-perasaan internal, mempengaruhi perasaan internal, mengkomunikasikan perasaan, menunjukkan maksud, mempengaruhi perilaku, dan perasaan orang lain (Wade & Travis, 2007). Planalp mengatakan bahwa ekspresi emosi adalah suatu upaya mengkomunikasikan status perasaan individu yang berorientasi pada tujuan (dalam Safaria & Saputra, 2009).
Tingginya ekspresi emosi (EE) dari keluarga merupakan salah satu faktor penyebab kekambuhan pada penderita gangguan skizofrenia. Hal ini didukung dengan penelitian King dan Dixon (Francis & Papageorgiou, 2004) yang menemukan bahwa kekambuhan skizofrenia disebabkan oleh adanya expressed emotion (EE) yang tinggi pada keluarga. Brown menyebutkan tinggi rendahnya EE keluarga dapat diketahui melalui komentar-komentar yang dikeluarkan oleh keluarga pada saat proses wawancara mengenai keadaan ODS (dalam Hazra dkk, 2010).
George Brown (dalam Amaresha dan Venkatasubramanian, 2012) menjelaskan lima komponen EE yaitu kritik (critical
commit to user
5
comment/CC), keterlibatan emosi yang
berlebihan (emotional over involment/EOI), hostilitas, komentar positif, dan kehangatan. 2. Psychological Well-Being
Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) mengatakan bahwa secara psikologis manusia yang memiliki sikap positif terhadap diri dan orang lain adalah manusia yang mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang bersifat baik maupun buruk serta merasa positif dengan kehidupan masa lalunya, memiliki relasi positif dengan orang lain, mampu melakukan dan mengarahkan perilaku secara mandiri, penuh keyakinan diri (otonomi), dapat melakukan sesuatu bagi orang lain (memiliki tujuan hidup), dapat mengembangkan potensi diri sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, serta mampu mengambil peran aktif dalam memenuhi kebutuhannya melalui lingkungan. Psychological well-being berhubungan dengan kepuasan pribadi, keterikatan, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki (Bartram & Boniwell, 2007).
Ryff (dalam Papalia, 2002) mengemukakan enam dimensi psychological well-being yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
3. Dukungan Sosial
Cobb & Wills (dalam Sarafino, 1998) dukungan sosial mengarah pada rasa nyaman, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima oleh individu dari individu lain atau kelompok. Inti dari dukungan sosial adalah mengetahui bahwa orang lain mencintai dan mau melakukan sesuatu yang dapat mereka lakukan untuk individu. Sarason, Levine, dan Basham (dalam Kirana, 2010) menyebutkan bahwa dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang melibatkan salah satu faktor atau lebih dari karakteristik berikut ini: afeksi (ekspresi menyukai, mencintai, mengagumi dan menghormati), penegasan (ekspresi persetujuan, penghargaan terhadap ketepatan, kebenaran dari beberapa tindak pernyataan, pandangan), dan bantuan (transaksi-transaksi dimana bantuan dan pertolongan dapat langsung diberikan seperti barang, uang, informasi dan waktu).
Pierce (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan.
Menurut Cohen and McKay (dalam Sarason, 2013), mengklasifikasikan dukungan sosial dalam empat dimensi yaitu appraisal support, tangible support, self-esteem support, dan belonging support. 4. Family Caregiver Pasien Skizofrenia
commit to user
6 Caregiver adalah individu yang secara
umum merawat dan mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya (Awad & Voruganti, 2008). Caregiver dibagi menjadi dua, yaitu caregiver formal dan caregiver informal. Caregiver formal adalah caregiver yang menerima bayaran untuk melakukan tugas-tugas seorang caregiver. Caregiver informal adalah caregiver yang menyediakan bantuan pada individu lain yang memiliki hubungan pribadi dengannya, seperti hubungan keluarga, teman, ataupun tetangga. Caregiver yang utamanya adalah keluarga atau disebut
family caregiver dituntut menggunakan
sebagian besar waktunya untuk merawat dan memberikan dukungan sosial demi kondisi ODS yang lebih baik.
METODE PENELITIAN
Peneliti menggunakan skala likert sebagai alat pengumpulan data dengan menggunakan try out terpakai. Try Out terpakai berarti ke dua alat ukur penelitian hanya akan diberikan sekali kepada responden kemudian diuji validitas dan reliabilitasnya sehingga didapatkan item valid, selanjutnya skor dari item ke dua skala digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Jumlah responden dalam try out sekaligus menjadi responden penelitian yang berjumlah 100 orang. Responden diminta untuk mengisi skala dan memberikan respon langsung terhadap setiap pernyataan terhadap skala psikologis yang diberikan. Responden penelitian ditemui di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta.
Populasi pada penelitian ini adalah family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Sampel dalam penelitian ini sebanyak minimal 100 orang yang memenuhi keriteria yakni
family caregiver pasien skizofrenia yang
menjalani perawatan di RSJD Surakarta dan merawat pasien skizofrenia minimal 35 jam per minggu. Teknik sampling penelitian ini adalah teknik purposive quota incidental sampling, karena sampel yang representatif dalam penelitian ini diambil secara kebetulan, yaitu yang sesuai dengan kriteria subjek dan penelitian yang ditemui dilapangan dengan jumlah yang sudah ditentukan.
Metode pengumpulan data menggunakan alat ukur berupa skala psikologi, yaitu:
1. Skala Ekspresi Emosi
Skala Ekspresi Emosi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala ekspresi emosi yang diadaptasi dan dimodifikasi oleh peneliti dari alat ukur ekspresi emosi yang dikembangkan oleh Georg Wiedemann, Oliver Rayki, Elias Feinstein, dan Kurt Hahlweg yang dinamakan Family Questionnaire. Skala ini disusun berdasarkan aspek ekspresi emosi yang meliputi: kritik/Critical Comments (CC) dan keterlibatan emosi yang berlebihan/Emotional Over Involvement (EOI).
2. Skala Psychological Well-Being
Psychological well-being dalam
penelitian ini diukur dengan menggunakan skala psychological well-being yang
commit to user
7 diadaptasi dan dimodifikasi oleh peneliti dari
alat ukur psychological well-being yang dilakukan Ryff (1989) yang dinamakan Ryff’s Psychological Well-Being Scale. Skala ini disusun berdasarkan aspek psychological well-being yang meliputi: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Peneliti memodifikasi alat ukur Ryff’s Psychological Well-Being Scale dengan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, melakukan pengubahan penilaian (scoring), dan mengurangi jumlah aitem pada skala.
3. Skala Dukungan Sosial
Skala dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan dimensi dukungan sosial menurut Cohen dan McKay (dalam Sarason, 2013) yaitu appraisal support, tangible support, self-esteem support dan belonging support.
HASIL- HASIL
Penghitungan dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan komputer program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 21. 1. Uji Asumsi Dasar
a. Uji Normalitas
Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan One Sample Kolmogrov Smirnov dengan taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai signifikansi pada kolom. Nilai
signifikansi ekspresi emosi adalah 0,318 > 0,05, nilai signifikansi psychological well-being adalah 0,469 > 0,05, dan nilai signifikansi dukungan sosial 0,241 > 0,05.
b. Uji Linearitas
Pengujian pada penelitian ini menggunakan SPSS dengan menggunakan test for linearity pada taraf signifikansi 0,05. Hasil uji linearitas untuk variabel psychological well-being dengan ekspresi emosi nilai Sig. linearity sebesar 0,001 (p<0.05) dan hasil uji linearitas untuk variabel dukungan sosial dengan ekspresi emosi nilai Sig. linearity sebesar 0,001 (p<0.05), maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tiap variabel prediktor dengan variabel kriterium terdapat hubungan yang linear. 2. Uji Asumsi Klasik
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji regresi linier berganda. a. Uji Multikolinearitas
Berdasarkan hasil uji multikolinearitas dapat diketahui VIF pada masing-masing variabel sebesar 2,172. VIF 2,172 < 5 menunjukkan bahwa antarvariabel predictor tidak ada multikolinearitas. b. Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas dapat diketahui nilai Sig. variabel psychological well-being sebesar 0,641 dan pada dukungan sosial 0,632 yang masing-masing lebih dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
commit to user
8 tidak terjadi heteroskedastisitas.
c. Uji Autokorelasi
Berdasarkan hasil uji autokorelasi dapat diketahui nilai DW sebesar 1,829, nilai dU sebesar 1,7152, nilai (4-dU) sebesar 2,2848. Nilai DW terletak antara dU dan (4-dU) sehingga dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi. 3. Uji Hipotesis
Pada hasil uji hipotesis menunjukkan nilai korelasi (r) sebesar 0,317 dengan nilai signifikansi 0,006 (p-value > 0,05). Nilai Fhitung sebesar 5,430 dan nilai signifikansi (p-value) sebesar 0,006. Nilai Ttabel pada taraf signifikansi 0,05 adalah sebesar 3,09. Nilai Thitung > Ttabel (5.430 > 3.09), maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu ada hubungan yang signifikan antara psychological well-being dan dukungan sosial dengan ekspresi emosi.
Pada hasil uji korelasi parsial yang pertaman menunjukkan significance (2-tailed) sebesar 0,115 (0,115 > 0,05), maka hipotesis kedua dalam penelitian ini ditolak. Dapat diketahui pula nilai koefisien korelasi (r) antara psychological well-being dengan ekspresi emosi ketika menetapkan dukungan sosial sebagai variabel kontrol sebesar 0,160. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara psychological well-being dengan ekspresi emosi pada family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.
Pada hasil uji parsial yang kedua
significance (2-tailed) sebesar 0,432 (0,432 > 0,05), maka hipotesis kedua dalam penelitian ini ditolak. Dapat diketahui pula nilai koefisien korelasi (r) antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi ketika menetapkan psychological well-being sebagai variabel kontrol sebesar 0,080. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi pada family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.
4. Kontribusi Psychological Well-Being dan Dukungan Sosial dengan Ekspresi Emosi
Kontribusi Psychological Well-Being dengan Ekspresi Emosi sebesar 0.001, sehingga dikatakan bahwa sumbangan efektif psychological well-being terhadap ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia adalah sebesar 0,1%, sedangkan kontribusi Dukungan Sosial dengan Ekspresi Emosi sebesar 0.10, sehingga dikatakan bahwa sumbangan efektif dukungan sosial terhadap ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia adalah sebesar 10%, dan sisanya sebesar 89,9% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
5. Analisis Deskriptif
Hasil kategorisasi pada skala psychological well-being dapat diketahui bahwa responden secara umum memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi sebanyak 71 orang atau sebesar 71%. Pada skala dukungan sosial dapat diketahui bahwa
commit to user
9 responden secara umum memiliki tingkat
dukungan sosial yang tinggi sebanyak 75 orang atau sebesar 75%. Pada skala ekspresi emosi dapat diketahui bahwa responden secara umum memiliki tingkat ekspresi emosi yang rendah sebanyak 57 orang atau sebesar 57%.
PEMBAHASAN
Hasil pengujian hipotesis dalam penelitian mengenai hubungan antara psychological well-being dan dukungan sosial dengan ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta menunjukkan hasil nilai signifikansi (p-value) 0,006 < taraf signifikansi 0,05. Nilai koefisien korelasi ganda (r) yang didapatkan sebesar 0,317. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai Fhitung sebesar 5,430 > Ftabel sebesar 3,09. Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang dikemukakan dalam penelitian ini diterima, yaitu terdapat hubungan antara psychological well-being dan dukungan sosial dengan ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia. Dengan kata lain, psychological well-being dan dukungan sosial dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Semakin tinggi psychological well-being dan dukungan sosial, maka semakin rendah ekspresi emosinya, begitu pula sebaliknya.
Nilai R Square sebesar 0,101 menunjukkan bahwa sumbangan pengaruh dari
psychological well-being dan dukungan sosial secara bersama-sama terhadap ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta yaitu sebesar 10,1%. Sedangkan, sebesar 89,9% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Sumbangan efektif dari psychological well-being terhadap ekspresi emosi sebesar 0,1% dan sumbangan efektif dari dukungan sosial terhadap ekspresi emosi sebesar 10%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial memberikan pengaruh yang lebih besar daripada pengaruh yang diberikan psychological well-being terhadap ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Lebih dominannya pengaruh dukungan sosial disebabkan karena dukungan sosial merupakan suatu keharusan dalam menjaga kesehatan mental yang optimal pada kebanyakan orang (McDonagh, 2005). Kesehatan mental yang optimal tercapai dengan melihat rendahnya ekspresi emosi family caregiver. Penelitian yang dilakukan oleh Barret, Gross, Christensen, dan Benvenuto (dalam Manz, 2007) menemukan bahwa emosi negatif dapat mempengaruhi aktivitas seseorang dan kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif akibat pengalaman-pengalaman emosional serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian hidup, memvisualisasikan masa depan yang positif, dan mempercepat pengambilan keputusan.
Ekspresi emosi mempunyai peranan penting dalam upaya untuk mencegah risiko
commit to user
10 kambuh pasien skizofrenia yang sedang dirawat.
Hal ini dikarenakan ekspresi emosi berkaitan dengan aspek penting menentukan efektivitas dalam komunikasi hubungan interpersonal. Seseorang yang tidak lancar dalam komunikasi interpersonalnya apalagi jika orang yang diajak berkomunikasi adalah penderita skizofrenia maka orang tersebut tidak akan sabar dalam merawat pasien skizofrenia dan akan mengakibatkan sering kambuhnya pasien skizofrenia yang dirawatnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gross dan John (2003), yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan individual dalam pengalaman ekspresi emosi dan selanjutnya berdampak secara berbeda terhadap kebahagiaan (well-being). Salah satu dari jenis well-being yang dimaksud adalah psychological
well-being. Seseorang dengan psychological
well-being yang tinggi bebas dari distress yang dicerminkan oleh keseimbangan afek positif dan negatif (Diener & Larsen, 1993). Bebas dari distress menunjukkan keadaan seseorang yang sehat secara mental yang memiliki sejumlah kualitas kesehatan mental yang positif seperti penyesuaian diri aktif terhadap lingkungan, dan kesatuan kepribadian, disebut Shek (dalam Hutapea, 2011) sebagai psychological well-being. Sehat secara mental ini kemudian ditunjukkan dengan angka ekspresi emosi yang rendah.
Selain psychological well-being yang mendukung, family caregiver pasien skizofrenia juga perlu dukungan dari orang-orang yang berada di lingkungannya. Menurut Sarason, dkk
(1983) individu yg menerima dukungan sosial yang positif selama hidupnya akan membantu terbentuknya harga diri dan cenderung memandang segala sesuatu secara positif dan optimistik dalam kehidupannya. Oleh karenanya individu tersebut memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam mengendalikan berbagai situasi yang dihadapinya termasuk dalam mengendalikan emosinya yang mengarahkan pada rendahnya tingkat ekspresi emosi.
Banyak ahli psikologi setuju bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting dalam menghadapi stres (Hawari, 2002), sehingga hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial berhubungan dengan ekspresi emosi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta dapat diprediksi oleh psychological well-being dan dukungan sosial secara bersama-sama.
Hasil pengujian hipotesis kedua pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara psychological
well-being dengan ekspresi emosi pada family
caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Nilai koefisien korelasi antara variabel psychological well-being dengan ekspresi emosi (rx2y) sebesar 0,160 dengan p-value 0,115 (p>0,05). Hasil perhitungan sumbangan efektif psychological well-being terhadap ekspresi emosi, diperoleh persentase 0,1%. Meskipun terdapat sumbangan pengaruh psychological well-being terhadap ekspresi emosi, akan tetapi analisis statistik menunjukkan tidak terdapat
commit to user
11 hubungan yang signifikan antara psychological
well-being dengan ekspresi emosi.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dari Fredrickson (2000) yang menyimpulkan bahwa emosi positif sangat penting untuk mendorong kesehatan yang optimum dan well-being. Salah satu faktor yang cukup kuat mempengaruhi ekspresi emosi adalah tingkat pengetahuan. Nurdiana & Umbransyah (2007) mengatakan bahwa pengetahuan keluarga berhubungan signifikan dan berkorelasi negatif dengan kekambuhan pada penderita skizofrenia. Kekambuhan pada penderita skizofrenia disebabkan oleh ekspresi emosi yang tinggi, maka hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan berhubungan dengan ekspresi emosi. Fadli dan Mitra (2013) juga menyatakan pengetahuan yang perlu dimiliki oleh keluarga antara lain pemahaman tentang gangguan mental yang diderita klien/penyakit skizofrenia, faktor penyebab, cara pemberian obat, dosis obat, dan efek samping pengobatan, gejala kekambuhan, serta sikap yang perlu ditunjukkan dan dihindari selama merawat klien dirumah. Sikap yang perlu ditunjukkan dan dihindari selama merawat klien di rumah dipengaruhi oleh tingkat ekspresi emosi seseorang. Maka agar dapat melakukan perawatan yang tepat, keluarga perlu mempunyai bekal pengetahuan tentang penyakit yang dialami penderita. McDonagh (2005) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ekspresi emosi adalah dukungan sosial. Seorang profesional berpendidikan
rendah cenderung memiliki ekspresi emosi lebih tinggi dari profesional lebih berpendidikan.
Hasil pengujian hipotesis ketiga pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi pada family caregiver pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Nilai koefisien korelasi antara variabel dukungan sosial dengan ekspresi emosi (rx2y) sebesar 0,080 dengan p-value 0,432 (p>0,05). Hasil perhitungan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap ekspresi emosi, diperoleh persentase 10%. Meskipun terdapat sumbangan pengaruh dukungan sosial terhadap ekspresi emosi, akan tetapi analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya Smet (1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial secara positif berhubungan dengan ekspresi emosi. Taylor (1997) menjelaskan bahwa dukungan sosial dapat melindungi jiwa seseorang dari akibat stres. Tidak sesuainya hasil penelitian dengan teori yang ada serta penelitian sebelumnya, dapat disebabkan karena family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta mendapatkan ekspresi emosi rendah dari faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian.
Barrett & Fossum berpendapat bahwa ekspresi emosi merupakan hasil manifestasi dari keadaan fisiologis dan kognitif manusia, juga merupakan cermin dari pengaruh kultur budaya dan sistem sosial (dalam Kurniawan & Hasanat,
commit to user
12 2010). Ekman menyatakan bahwa kultur dan
sistem sosial tempat individu tinggal dan menetap akan membatasi dan mengatur kepada siapa, kapan, dan dimana saja seseorang boleh memperlihatkan dan merahasiakan emosi-emosi tertentu, serta dengan cara seperti apa emosi tersebut akan dimunculkan melalui perilaku nonverbal dan ekspresi wajah (dalam Kurniawan & Hasanat, 2010). Salah satu faktor yang mempengaruhi ekspresi emosi adalah kultur negara atau daerah tempat seseorang tinggal.
Gudykunst & Kim (dalam Kurniawan & Hasanat, 2010) mengemukakan bahwa contex memainkan peranan kunci dalam menjelaskan beberapa perbedaan komunikasi pada masing-masing budaya. Contex adalah informasi yang mengelilingi suatu komunikasi dan membantu penyampaian pesan. Berdasarkan hal tersebut, gaya dalam berkomunikasi diklasifikasikan dalam high contex dan low contex. Pada budaya low contex pembicaraan yang terjadi bersifat eksplisit dan pesan yang kata-kata yang diucapkan mewakili sebagian besar dari pesan tersebut. Sebaliknya, dalam budaya high contex pesan disampaikan secara implisit dan kata‐kata yang diucapkan hanya mewakili sebagian kecil dari pesan tersebut. Indonesia yang menganut high contex, membuat arti senyuman menjadi sangat penting sekali dalam proses interaksi sosial. Matsumoto menyebutkan senyuman dapat diartikan bermacam‐macam, misalnya ketika individu sedang mengalami kegelisahan atau kesedihan, maka ketika mereka sedang berkomunikasi sedikit mungkin akan
menyembunyikan perasaan aslinya tersebut dengan tetap menampilkan senyum (dalam Elfenbein & Ambady, 2003).
Kategorisasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa variabel ekspresi emosi pada subjek penelitian berada pada kategori rendah dengan rerata empirik sebesar 31,10 dan rentang nilai 25,6-35,2. Adapun fenomena yang terjadi adalah family caregiver pasien skizofrenia yang mengeluh tentang beberapa perbuatan yang dilakukan oleh penderita skizofrenia sangat menjengkelkan, seperti marah atau mengamuk kapan saja, tidak mau mendengarkan nasehat, dan seringkali mereka mengganggu aktivitas yang dilakukan. Padahal terkadang aktivitas yang diganggu sangat penting.
Ekspresi emosi family caregiver juga dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Menurut McDonagh (2005), faktor yang melatarbelakangi ekspresi emosi yaitu terapi keluarga, dukungan sosial, profesionalitas, tingkat pendidikan, dan budaya. Faktor jenis kelamin juga dihitung sebagai faktor tambahan yang mempengaruhi ekspresi emosi. Hal tersebut sesuai dengan riset dari McConatha, dkk (dalam Dewi, 2012) yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih banyak merenung daripada perempuan setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan, dan terungkap lebih segan mengungkapkan rasa bermusuhan daripada perempuan. Rendahnya tingkat ekspresi emosi pada subjek penelitian dapat disebabkan karena hanya faktor pribadi dan faktor lingkungan yang dimasukkan sebagai
commit to user
13 variabel penelitian, sedangkan faktor budaya,
pendidikan, dan jenis kelamin tidak dimasukkan sebagai variabel penelitian.
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ada hubungan yang signifikan antara psychological well-being dan dukungan sosial dengan ekspresi emosi family
caregiver pasien skizofrenia di
RSJDSurakarta.
2. Tidak ada hubungan yang signifikan antara psychological well-being engan ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.
3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan ekspresi emosi family caregiver pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.
4. Persentase sumbangan pengaruh yang diberikan psychological well-being dan dukungan sosial secara bersama-sama terhadap ekspresi emosi sebesar 10,1% yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,101, sedangkan sisanya 89,9% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.
5. Besarnya sumbangan relatif
psychological well-being terhadap
ekspresi emosi sebesar 1,2%, dan sumbangan relatif dukungan sosial terhadap ekspresi emosi sebesar 98,8%. 6. Besarnya sumbangan efektif
psychological well-being terhadap
ekspresi emosi sebesar 0,1%, dan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap ekspresi emosi sebesar 10%.
B. Saran
1. Bagi family caregiver pasien skizofrenia a. Family caregiver dapat mengurangi
interaksi dirinya dengan pasien skizofrenia saat sedang dalam keadaan marah.
b. Family caregiver sebaiknya tidak
overprotective pada pasien
skizofrenia yang sedang dia rawat. c. Family caregiver disarankan untuk
melakukan hal-hal yang menyenangkan selama merawat pasien skizofrenia.
d. Family caregiver dapat menerima
bantuan orang-orang disekitarnya tanpa merasa malu dan berburuk sangka.
2. Bagi masyarakat sekitar
a. Masyarakat dapat memberikan dukungan tenaga, uang, ataupun barang yang bisa digunakan untuk membantu merawat pasien skizofrenia.
b. Masyarakat tidak menjauhi atau mengucilkan family caregiver pasien skizofrenia yang tinggal di lingkungannya.
c. Masyarakat dapat memberikan nasehat untuk family caregiver pasien skizofrenia yang ada di lingkungannya.
commit to user
14 a. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat
memperluas populasi dan memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian menjadi lebih luas, serta mampu mencapai proporsi yang seimbang, sehingga kesimpulan yang diperoleh akan lebih komprehensif.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan skala yang jumlah aitemnya tidak terlalu banyak.
c. Pengambilan data sebaiknya dilakukan oleh banyak orang untuk menghemat waktu penelitian.
d. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk melakukan penelitian berulang-ulang disertai perubahan dan penyempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Awad, A.G., & Varuganti, L.N. (2008). The burden of Schizophrenia on caregiver: a review. Pharmacoeconomic. Review Article.
Amaresha, A.C., & Venkatasubramanian, G. (2012). Expressed Emotion in Schizophrenia: An Overview. Indian J Psychol Med, 34(1),12–20.
Bartram, D., & Boniwell, L. (2007). The science of happiness: Achieving sustained psychological wellbeing. Positive Psychology in Practice, 478-482.
Dewi, K.S. (2012). Kesehatan Mental. Semarang: UPT UNDIP Press Semarang.
Diener, E., & Larsen, R.J. (1993). The Experience of Emotional Well-Being. New York: Guilford Press.
Elfenbein, H.A., & Ambady, W. (2003). Universals and Cultural Differences In Recognizing Emotions. Psychological Bullletin, 12, 159‐163.
Ermayanti, S., & Abdullah, S.M. (2011). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Pada Masa Pensiun. Yogyakarta: Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.
Fadli, S.M., & Mitra. (2013). Pengetahuan dan Ekspresi Emosi Keluarga serta Frekuensi Kekambuhan Penderita Skizofrenia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7(10), 468-470. Francis, A., & Papageorgiou, P. (2004).
Expressed Emotion In Greek Versus Anglo Saxon Families Of Individuals With Schizophrenia. Australian Psychologist, 39(2): 172-177.
Fredrickson, W.E. (2000). Perception of Tension in Music: Musician versus Nonmusician. Journal of Musik Therapy, 37(1).
Granville, D.N., & Dixon, L. (2005). Caregiver Burden, Family Treatment Approaches and Service User in Families of Patients with Schizophrenia. Journal Psychiatry Relat sci, 42(1), 15-22.
Gross J.J., & John. (2003). Individual Differences in Two Emotion Regulation Processes: Implications for Affect, Relationships, and Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 348-363.
Hawari, D. (2002). Dimensi Religi Dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Hazra, S., Chakrabarti, S., Sahu K.K., Pillai, R.R., & Khess, C.R.J. (2010). Attitude Towards Mental Illness and Expressed Emotion of Key Relaties Of Persons with Schizophrenia Nuclear vs Joint Family. Indian Journal of Social Psychiatry, 26(1-2), 52-58.
Hutapea, B. (2011). Emotional Intelligence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta. Jurnal Insan, 13(2), 65-70.
IICB. (2012). Profil Provinsi Jawa Tengah.
Indonesia Investment Collaboration
Board. Retrieved from
commit to user
15 .id/newsipid/id/demografipendudukjkel.
php?ia=33&is=37
Kail, R., & Cavanaugh, C. (2000). Human Development: a Lifespan View. USA: Woodswoth Publishing Co.
Kirana, A., & Moordiningsih. (2010). Studi Korelasi Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Prestasi Akademik: Telaah Pada Siswa Perguruan Tinggi. Indigenous, Jurrnal Ilmiah Berskala Psikologi, 12(1), 37-46.
Kring, A.M., Johnson, S.L., Davidson, G.C., & Neale, J.M. (2012). Abnormal Psychology. USA: John Wiley & Sons Inc.
Kurniawan, A.P., & Hasanat, N.UI. (2010). Perbedaan Ekspresi Emosi Pada Beberapa Tingkat Generasi Suku Jawa di Yogyakarta. Jurnal Psikologi, 34(1), 1-5.
Manz, Charles C. (2007). Emotional Discipline, 5 Langkah Menata Emosi untuk Merasa Lebih Baik Setiap Hari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Matsumoto, D. (1993). Ethnic differences in
affect intensity, emotion judgments, display rule attitudes, and self‐reported emotional expression in an American sample. Motivation & Emotion, 17(1), 107‐123.
McDonagh, L.A. (2005, November). Expressed Emotion as a Precipitant of Relapse in Psychological Disorders. Paper Personality Research. Retrieved from
http://www.personalityresearch.org/pape rs/mcdonagh.html
Nurdiana, S., & Umbransyah. (2007). Peran
serta Keluarga terhadap Tingkat
Kekambuhan Klien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 3(1), 41-47.
Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana. Ryff, C.D. (1989). Happiness is Everything,
or is it? Exploration on the meaning of PWB. Journal of Personality and Social Psychology, 57. 1069-1081. Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The
structure of psychological well-being
revisited. Journal of Personalityand Social Psychology, 69, 719-727.
Sadock B.J., & Sadock, V.A. (2007). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. New York: Lippincott Williams & Wilkins.
Safaria., & Saputra. (2009). Manajemen Emosi. Yogyakarta: Bumi Aksara. Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology:
Biopsychological Interactions. New
York: John Wiley & Sons Inc.
Sarafino, E.P., & Smith, T.W. (2011). Health
Psychology: Biopsychosocial
Interactions Seventh Edition. New York: John Wiley & Sons Inc.
Sarason, I. G., Henry M. L., Robert B. B., & Barbara R. S. (1983). Assesing Social Support: The Social Support Questioner. Journal of Personality and Social Psychology, 44, 127-139.
Sarason, I.G. (2013). Social Support: Theory, Reasearch, and Applications. Jerman: Springer Science & Business.
Sheridan, C.L., & Radmacher, S.A. (1992) Health Psychology: Challenging The Biomedical Model. Canada: John Wiley and Sons Inc.
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.
Suaidy, S.E.I. (2006). Beban keluarga dengan anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Jurnal TAZKIYA Journal of Psychology, 6, 110-129.
Subandi. (2008). Ngemong: Dimensi Keluarga Pasien Psikotik di Jawa. Jurnal Psikologi UGM, 41(35), 62-79.
Taylor, L. L. (1997). Health Psychology. USA: The Mac GrawHill Companies Inc.
Wade, C., & Travis, C. (2007). Psikologi. Jakarta: Erlangga.