• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN

TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE

DI WILAYAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS

LAPORAN HASIL

KARYA TULIS ILMIAH

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat strata-1 kedokteran umum

DIMAS ADITYA RAHADIAN G2A008060

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO 2012

(2)

PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN

TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE

DI WILAYAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS

Disusun oleh :

DIMAS ADITYA RAHADIAN G2A008060

Telah disetujui: Semarang, 26 Juli 2012

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Nahwa Arkhaesi, MSi.Med, Sp.A dr. Hardian 19691025 200812 2 001 19630414 199001 1 001

Ketua Penguji Penguji

dr. Dodik Pramono, MSi.Med dr. Hari Peni Julianti, M.Kes, Sp.KFR 19680427 199603 1 003 19700704 199802 2 001

(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Yang bertanda tangan ini,

Nam : Dimas Aditya Rahadian NIM : G2A008060

Alamat : Jl. Nakula 8 No.6 Blok 38, Bumi Satria Kencana, Bekasi Selatan Mahasiswa : Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro Semarang. Dengan ini menyatakan bahwa:

a) Karya tulis ilmiah saya ini adalah asli dan belum pernah dipublikasi atau diajukan untuk mendapatkan gelar akademik di Universitas Diponegoro maupun di perguruan tinggi lain.

b) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan orang lain, kecuali pembimbing dan pihak lain sepengetahuan pembimbing.

c) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan judul buku aslinya serta dicantumkan dalam daftar pustaka

Semarang, 26 Juli 2012 Yang membuat pernyataan,

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah. Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Kami menyadari sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya laporan hasil Karya Tulis Ilmiah ini. Bersama ini, kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES, Ph.D., Rektor Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menimba ilmu di Universitas Diponegoro.

2. dr. Endang Ambarwati, Sp.KFR, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, yang telah memberikan sarana dan prasarana kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.

3. dr. Nahwa Arkhaesi, MSi.Med, Sp.A dan dr. Hardian, selaku dosen pembimbing I dan II yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan dengan penuh kesabaran membimbing kami dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini

4. dr. Dodik Pramono, M.Si.Med dan dr. Hari Peni Julianti, M.Kes, Sp.KFR selaku ketua penguji dan penguji yang telah memberikan saran yang sangat berarti dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah.

5. Staf Dinas Kesehatan Kota Semarang, Puskesmas Pegandan, Puskesmas Poncol, Kelurahan Gajahmungkur dan Kelurahan Sekayu yang telah membantu dalam memperoleh data yang dibutuhkan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Seluruh responden di Kelurahan Gajahmungkur dan Kelurahan Sekayu yang terlibat dalam penelitian ini yang telah memperbolehkan penulis melakukan penelitian dan bersikap kooperatif.

(5)

iv

7. Orang tua tercinta, ayahanda Sidik Budi Rahardjo dan ibunda Esti Handayani, serta kakak tercinta Handika Rizky Hutama, dan segenap keluarga yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan bantuan moril maupun material.

8. Teman-teman satu kelompok yang telah memberikan dukungan dan bantuan, serta bekerjasama selama pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini.

9. Serta pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Kami menyadari Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Semarang, 26 Juli 2012

(6)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN.. ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x DAFTAR SINGKATAN ... xi ABSTRAK ... xii ABSTRACT ... xiii BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Masalah penelitian ... 4 1.3 Tujuan penelitian ... 5 1.3.1 Tujuan umum ... 5 1.3.2 Tujuan khusus ... 5 1.4 Manfaat penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat untuk pengetahuan ... 5

1.4.2 Manfaat untuk pelayanan kesehatan ... 5

1.4.1 Manfaat untuk penelitian... 5

1.5 Orisinalitas penelitian... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Demam berdarah dengue... 8

2.1.1 Definisi ... 8

2.1.2 Etiologi ... 8

2.1.3 Epidemiologi ... 9

2.1.4 Vektor dan cara penularan ... 11

2.1.5 Gambaran klinis ... 14

(7)

vi

2.2 Pengetahuan ... 20

2.2.1 Pengertian pengetahuan ... 20

2.2.2 Faktor- faktor yang mempengaruhi pengetahuan ... 22

2.3 Tindakan kesehatan ... 26

2.3.1 Pengertian tindakan kesehatan ... 26

2.4 Hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pencegahan ... 28

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ... 29

3.1 Kerangka teori ... 29

3.2 Kerangka konsep ... 30

3.3 Hipotesis ... 30

BAB 4 METODE PENELITIAN... 31

4.1 Ruang lingkup penelitian ... 31

4.2 Tempat dan waktu penelitian ... 31

4.3 Rancangan penelitian ... 31

4.4 Populasi dan sampel penelitian ... 32

4.4.1 Populasi target ... 32

4.4.2 Populasi terjangkau ... 32

4.4.3 Sampel penelitian ... 32

4.4.3.1 Kriteria inklusi ... 32

4.4.3.2 Kriteria eksklusi ... 32

4.4.4 Cara pengambilan sampel ... 32

4.4.5 Besar sampel ... 33 4.5 Variabel penelitian ... 34 4.5.1 Variabel bebas ... 34 4.5.2 Variabel terikat ... 34 4.5.3 Variabel perancu ... 34 4.6 Definisi operasional ... 34

4.7 Cara pengambilan data ... 36

4.7.1 Alat penelitian ... 36

4.7.2 Jenis data ... 37

(8)

vii

4.8 Alur penelitian ... 38

4.9 Analisis data ... 38

4.10 Etika penelitian... 39

BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 40

5.1 Karakteristik responden ... 40

5.2 Tingkat pengetahuan ibu mengenai DBD ... 44

5.3 Tindakan pencegahan DBD ... 49

BAB 6 PEMBAHASAN ... 52

BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN ... 59

7.1 Simpulan ... 59

7.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Orisinalitas penelitian ... 6

Tabel 2 Definisi operasional.... ... 34

Tabel 3 Distribusi karakteristik sosio-demografik responden penelitian ... 41

Tabel 4 Distribusi riwayat DBD dalam keluarga responden penelitian ... 43

Tabel 5 Distribusi tingkat pengetahuan ibu mengenai DBD responden di wilayah endemis dan non endemis ……….……… 44

Tabel 6 Distribusi tingkat pengetahuan ibu mengenai DBD ... 46

Tabel 7 Distribusi tingkat pengetahuan ibu mengenai DBD ……….………. . 46

Tabel 8 Distribusi tindakan pencegahan DBD responden di wilayah endemis dan non endemis ……….………. 49

Tabel 9 Distribusi tindakan pencegahan DBD responden penelitian... 50

(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta negara dengan risiko tinggi DBD ... 9

Gambar 2. Angka insiden DBD per 100.000 penduduk tahun 2008 &2009... 10

Gambar 3. Incidence Rate (IR) DBD Kota Semarang tahun 2009 ... 11

Gambar 4. Siklus hidup nyamuk Aedes sp ... 12

Gambar 5. Kerangka teori ... 29

Gambar 6. Kerangka konsep ... 30

Gambar 7. Desain penelitian ... 31

Gambar 8. Alur penelitian ... 38

(11)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance

Lampiran 2. Surat permohonan Ethical Clearance

Lampiran 3. Surat permohonan ijin penelitian Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Semarang

Lampiran 4. Surat ijin penelitian Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Semarang

Lampiran 5. Surat ijin penelitian Dinas Kesehatan Kota Semarang Lampiran 6. Surat permohonan ijin penelitian Kelurahan Gajahmungkur Lampiran 7. Surat ijin penelitian Ketua RW VIII Kelurahan Gajahmungkur Lampiran 8. Surat permohonan ijin penelitian Kelurahan Sekayu

Lampiran 9. Sampel informed consent responden penelitian Lampiran 10. Data DBD Kota Semarang tahun 2011

Lampiran 11.Lembar spreadsheet data responden penelitian Lampiran 12.Hasil output analisis program statistik

Lampiran 13.Kuesioner penelitian

Lampiran 14.Rekapitulasi jawaban kuesioner Lampiran 15.Dokumentasi penelitian

(12)

xi

DAFTAR SINGKATAN

ALT : alanine amino transferase AST : aspartate amino transferase CFR : case fatality rate

DBD : demam berdarah dengue

DHF : dengue hemorrhagic fever

DEN : dengue

IR : incidence rate

KLB : kejadian luar biasa

LS : lintang selatan

LU : lintang utara

PKK : pemberdayaan dan kesejahteraan kelurga

PPM-PLP : pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkunganpemukiman

PSN : pemberantasan sarang nyamuk

RNA : ribonucleic acid

RT : rukun tetangga

RW : rukun warga

SMA : sekolah menengah atas

SSD : sindrom syok dengue

TPA : tempat penampungan air

UMK : upah minimum kabupaten/ kota WHO : World Health Organization

(13)

xii ABSTRAK

Latar Belakang: Demam berdarah dengue masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Insidensi DBD pada anak cenderung menunjukkan peningkatan dalam jumlah penderita maupun wilayah persebaran. Kendala yang masih terjadi adalah ketidaktahuan masyarakat dan perilaku pencegahan yang belum konsisten. Masyarakat di wilayah endemis dan non endemis mungkin memiliki pengetahuan dan tindakan pencegahan DBD yang berbeda karena perbedaan kondisi lingkungan dan kemudahan memperoleh informasi tentang DBD.

Tujuan: Membuktikan perbedaan tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD antara wilayah endemis dan non endemis.

Metode: Penelitian observational analitik dengan desain cross sectional dilakukan pada periode Maret – Juni 2012. Sampel penelitian adalah ibu yang memiliki anak berusia ≤ 14 tahun yang tinggal di Kelurahan Gajahmungkur (endemis) dan Sekayu (non endemis). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Uji statistik menggunakan uji 2.

Hasil: Tidak terdapat perbedaan distribusi antara usia responden, usia anak, pekerjaan, ekonomi, dan riwayat DBD dalam keluarga pada kedua kelompok, sedangkan tingkat pendidikan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Sebanyak 46,2% responden di wilayah endemis memiliki tingkat pengetahuan baik, sedangkan sebagian besar responden di wilayah non endemis (92,3%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik. Enam responden di wilayah endemis memiliki tindakan pencegahan DBD baik (23,1%), sedangkan seluruh responden di wilayah non endemis memiliki tindakan pencegahan DBD yang kurang baik. Pada uji 2 didapatkan perbedaan yang bermakna antara tingkat pengetahuan (p=0,002) dan tindakan pencegahan DBD (p=0,01) pada kedua kelompok.

Kesimpulan: Tingkat pengetahuan dan tindakan pencegahan DBD responden di wilayah endemis lebih tinggi dibandingkan dengan responden di wilayah non endemis.

(14)

xiii

ABSTRACT

Background: Dengue hemorrhagic fever is still an issue in Indonesia. DHF

incidence rate in children shows a significant increase both in number of patients and epidemic area. Problems that still exist nowadays are people ignorance and inconsistent prevention effort. People in endemic and non-endemic area may have different knowledge and precaution towards DHF due to the environment and ease in gaining information about DHF.

Aim: To prove the difference of knowledge and precaution towards DHF in mothers between endemic and non-endemic area.

Method: This was an analytic-observational study with cross sectional design,

which held from March- June 2012. The samples were mothers who had children less than 14 years old in age and lived in Gajahmungkur (endemic) and Sekayu (non-endemic). Sampling done by using questionnaire. Data were being tested statistically with 2.

Result: There was no significant differences between age of the respondents,

occupations, income, age of the children and DHF history in a family in both groups, while the education level showed significant difference (p<0,001). 46.2% of the respondents in endemic area had good knowledge level, while other respondents in non-endemic area had poor knowledge level (92.3%). Six respondents in endemic area had good precaution towards DHF (23,1%), but all of the respondents in non-endemic area (100%) had poor precaution towards DHF. A chi-square test showed that there were significant different level of knowledge (p=0,002) and precaution towards DHF (p=0,01) in both groups.

Conclusion: Knowledge level and precaution towards DHF of respondents in

endemic area is higher than the respondents in non-endemic area.

(15)

1 1.1Latar belakang

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus dengue yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviruses). Virus tersebut ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes sp terutama Aedes aegypti.1 Infeksi virus dengue mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari demam dengue, DBD hingga sindrom syok dengue (SSD).2

Demam berdarah dengue merupakan penyakit mosquito-borne viral dengan penyebaran paling cepat di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, insiden DBD meningkat 30 kali lipat dengan ekspansi geografis yang meningkat ke daerah-daerah baru.3 Lebih dari 70% populasi berisiko DBD tinggal di regional Asia Tenggara dan Pasifik bagian barat, seperti Indonesia, Thailand, dan Sri Lanka.3,4

Indonesia merupakan salah satu negara endemis DBD di Asia Tenggara. Kasus DBD di Indonesia pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, namun konfirmasi virologis baru dilaporkan pada tahun 1970. Hingga tahun 1994, kasus DBD telah dilaporkan ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia.5 Pada akhir tahun 2005, sebanyak 350 kabupaten/kota telah melaporkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD.1

Demam berdarah dengue masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Hingga kini, DBD cenderung menunjukkan peningkatan dalam jumlah

(16)

penderita maupun daerah persebaran.6 Dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun, terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah insidensi. Incidence rate (IR) DBD meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 43,42 per 100.000 penduduk pada akhir 2005.1 Pada tahun 2009, kurang lebih 158.912 kasus dilaporkan terjadi di Indonesia, dengan case fatality rate (CFR) sebesar 0.89%. Insidensi DBD di Indonesia umumnya meningkat pada bulan Januari hingga Februari.4 Karena adanya perbedaan suhu dan kelembaban udara, maka puncak insidensi berbeda di setiap daerah, seperti di Jawa Tengah, insidensi mengalami peningkatan mulai bulan November, dan mencapai puncak insidensi pada bulan Januari.5,7

Semarang merupakan salah satu wilayah yang mempunyai tingkat insidensi DBD yang tinggi di Jawa Tengah.7 Pada tahun 2009, sebanyak 3.883 kasus DBD terjadi di Semarang. Jumlah tersebut mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2008 yang mencapai 5.249 kasus. Namun, penurunan jumlah kasus di tahun 2009 berbanding terbalik dengan jumlah kematian akibat DBD yang mengalami kenaikan menjadi 43 orang dari 18 orang pada tahun 2008, dengan CFR sebesar 1,1% dari 0,3% pada tahun 2008. Hingga akhir tahun 2009, telah dilaporkan terjadi 165 Kali KLB di tingkat kelurahan, 35 Kali KLB di tingkat puskesmas dan 15 kali KLB di tingkat kecamatan.8 Kelurahan Gajahmungkur merupakan salah satu kelurahan endemis di Semarang. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2011, sebanyak 57 kasus DBD ditemukan di kelurahan ini dan 41 kasus diantaranya diderita oleh anak kelompok umur ≤ 14 tahun. Sementara itu, Kelurahan Sekayu merupakan daerah

(17)

non endemis DBD yang digolongkan ke dalam kelurahan sporadis di Semarang, dimana pada tahun 2011, tidak ditemukan kasus DBD di kelurahan ini.9

Transmisi virus dengue yang erat kaitannya dengan keberadaan vektor nyamuk Aedes sp, menyebabkan pemberantasan dan pencegahan DBD mutlak harus berdasarkan pada manajemen yang berbasis lingkungan. Pengelolaan tersebut menyangkut media transmisi virus berupa nyamuk dan habitatnya yang memungkinkan nyamuk berkembang biak, serta terkait dengan perilaku manusia yang memudahkan nyamuk untuk berkembang biak dan menularkan virus tersebut pada manusia.10

Ibu merupakan individu yang dianggap memiliki hubungan yang sangat dekat dengan anak. Ibu sebaiknya memiliki pengetahuan yang lebih mengenai DBD, sehingga anak dapat terhindar dari DBD, mengingat angka morbiditas dan mortalitas anak akibat DBD yang masih cukup tinggi.7,9Penelitian yang dilakukan Benthem et al menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan upaya pencegahan DBD, dimana masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai DBD memiliki upaya pencegahan yang baik pula.11 Namun, kendala yang masih sering terjadi di masyarakat adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai penyakit dan perilaku manusia yang belum konsisten dalam melakukan program pencegahan dan pemberantasan DBD.12 Penelitian yang dilakukan Purwo Atmodjo menyebutkan bahwa terdapat perbedaaan pengetahuan mengenai DBD antara wilayah endemis dan non endemis. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang tinggal di wilayah endemis lebih tahu dan lebih mudah mendapat informasi, dan mempunyai pengalaman karena keluarga maupun tetangganya pernah

(18)

menderita DBD.13 Namun, penelitian lainnya menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan mengenai DBD dan perilaku PSN antara wilayah endemis dan non endemis.14

Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan suatu penelitian yang mempelajari perbedaan tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD di wilayah endemis dan non endemis di Kota Semarang. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu landasan untuk meningkatkan pengetahuan dan tindakan masyarakat dalam mencegah DBD baik di wilayah endemis maupun non endemis di Kota Semarang.

1.2 Masalah penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas disusun permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu mengenai DBD antara wilayah endemis dan non endemis?

2. Apakah terdapat perbedaan tindakan pencegahan DBD yang dilakukan ibu antara wilayah endemis dan non endemis?

(19)

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Membuktikan perbedaan tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD antara wilayah endemis dan non endemis.

1.3.2 Tujuan khusus

1) Menganalisis perbedaan tingkat pengetahuan ibu antara wilayah endemis dan non endemis.

2) Menganalisis perbedaan tindakan pencegahan DBD antara wilayah endemis dan non endemis.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat untuk pengetahuan

Sebagai tambahan pengetahuan orang tua khususnya ibu mengenai DBD pada anak dan mengingatkan kembali pentingnya melakukan tindakan pencegahan DBD baik di wilayah endemis maupun non endemis.

1.4.2 Manfaat untuk pelayanan kesehatan

Sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan untuk peningkatan mutu program pemberantasan DBD pada anak.

1.4.3 Manfaat untuk penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya khususnya dalam pencegahan DBD.

(20)

1.5 Orisinalitas penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka pada database Pubmed (www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed) dan Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia ditemukan beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini, antara lain:

Tabel 1. Penelitian tentang perbandingan tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD di wilayah endemis dan non endemis

No Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

1. Dengue Knowledge and Practice and Their Impact on Aedes Aegypti Population in Kamphaeng

Phet,Thailand 16 Constantianus J, et al.

The American Society Of Tropical Medicine And Hygiene

Am. J. Trop. Med. Hyg: 2006; 74(4), 692–700

-Desain : case control

-Sampel yang digunakan berasal dari 2 sub distrik, yaitu Kon Tee dan Na Bo Kham.

-Variabel yang diteliti meliputi pengetahuan, sikap, praktik, dan faktor lingkungan, serta populasi larva Aedes.

Hasil penelitian ini menunjukan adanya korelasi antara praktik pencegahan DBD dengan populasi nyamuk dewasa. Subjek penelitian yang tinggal di Kon Tee memiliki pengetahuan yang lebih rendah. Penelitian ini menjelaskan adanya hubungan langsung antara pengetahuan, usaha preventif dan jumlah populasi nyamuk Aedes sp

2. Perbedaan Faktor Perilaku PSN dan Lingkungan di Desa Endemis dan Non

Endemis DBD

(Wilayah Puskesmas Ngadiluwih, Kab. Kediri, Jawa Timur)14 Sukma Nata Nur Malasari

Under graduate

Thesis Airlangga University

-Desain : cross sectional

-Sampel: 59 responden desa endemis dan 39 responden desa non endemis.

-Variabel bebas : faktor perilaku PSN serta faktor lingkungan yang meliputi keberadaan semak dan pengelolaan sampah padat.

-Variabel tergantung : endemisitas desa.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan pada perilaku PSN, tetapi tidak terdapat perbedaan pengetahuan dan faktor lingkungan antara desa endemis dan desa non endemis. Penelitian ini juga membuktikan adanya perbedaan pengelolaan sampah antara dua desa tesebut.

(21)

Tabel 1. Penelitian tentang perbandingan tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD di wilayah endemis dan non endemis

No Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

3. Perbandingan Faktor Perilaku, Sosial ekonomi dan Kondisi Lingkungan Keluarga Penderita pada Kejadian Penyakit DBD di Daerah Endemis dan Non Endemis13

Purwo Atmodjo

Post graduate Thesis Airlangga University

- Desain : Comparative Study

- Sampel : 90 responden dari daerah endemis dan sebanyak 22 responden daerah non endemis.

- Variabel yang diteliti : usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan penderita, jumlah tanggungan dalam keluarga, kelembaban, pencahayaan kamar tidur penderita, adanya tidaknya baju yang digantung di kamar penderita, adanya semak di sekitar rumah penderita, pengetahuan, sikap dan keberadaan larva Aedes sp.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat ekonomi yang rendah maka praktek pencegahan DBD rendah pula, ditemukan pula perbedaan kondisi lingkungan kamar penderita di daerah endemis dan non endemis DBD. Penelitian ini menjelaskan terdapat perbedaan pengetahuan mengenai gejala DBD dan tingkat keberadaan larva antara di daerah endemis & non endemis DBD, namun tidak terdapat perbedaan sikap di dua wilayah tersebut.

Perbedaan penelitian ini terletak pada lokasi, waktu, sampel dan variabel yang diteliti. Penelitian ini dilakukan pada sampel ibu yang memiliki anak ≤ 14 tahun yang tinggal di Kelurahan Gajahmungkur dan Sekayu, Kota Semarang pada periode penelitian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi tingkat pengetahuan, tindakan pencegahan DBD.

(22)

8 2.1 Demam berdarah dengue

2.1.1 Definisi

Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan infeksi virus dengue. Virus ini termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviruses). Demam berdarah dengue merupakan penyakit mosquito-borne viral yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes sp terutama Aedes aegypti.1 Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari demam dengue, DBD hingga SSD.2

2.1.2 Etiologi

Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Virus dengue merupakan genus flavivirus dari famili Flaviviridae. Virus ini berukuran 50 nm dengan RNA rantai tunggal & memiliki empat jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Keempat serotipe ini dapat ditemukan di Indonesia.15,17 Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe virus menghasilkan imunitas seumur hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap serotipe yang lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang banyak berhubungan dengan kasus berat.5

(23)

2.1.3 Epidemiologi

Demam berdarah dengue merupakan penyakit mosquito-borne viral dengan penyebaran paling cepat di dunia. Diperkirakan terjadi sekitar 50 juta infeksi virus dengue yang terjadi setiap tahun.3 Sebanyak 70 % atau sekitar 1,7 miliar populasi berisiko terdapat di regional Asia Tenggara- Pasifik bagian barat, seperti Indonesia, Thailand, Myanmar, Sri Lanka dan 30 % populasi berisiko lainnya tinggal di Benua Afrika serta Amerika.3,4

Gambar 1. Peta negara dengan risiko tinggi DBD Sumber : World Health Organization (WHO)3

Demam berdarah dengue merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di Indonesia. Jumlah kasus DBD meningkat dari hanya 58 kasus di tahun 1968 menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Pada tahun 1968, persebaran kasus DBD hanya terbatas di 2 kabupaten/kota pada 2 provinsi, namun terjadi peningkatan yang signifikan hingga telah menyebar ke 382 kabupaten/ kota di 32 provinsi pada tahun 2009.12

(24)

Semua umur dapat terinfeksi virus dengue, meskipun baru berumur beberapa hari.12 Menurut data distribusi umur pada kasus DBD di Indonesia dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran kelompok umur, dimana pada tahun 1993 hingga tahun 1998, kelompok umur terbesar adalah kelompok umur < 15 tahun, namun mulai dari tahun 1999 – 2009, kelompok umur ≥ 15 tahun merupakan kelompok umur dengan kasus DBD terbanyak.15 Akan tetapi, kasus DBD pada kelompok umur < 15 tahun merupakan kelompok umur dengan jumlah kematian yang bermakna.7 Bila dilihat distribusi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama, Hal ini menggambarkan bahwa risiko DBD tidak bergantung dengan jenis kelamin.15

Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kejadian DBD yang cukup tinggi, lebih dari 54 kasus per 100.000 penduduk di tahun 2009. Pada tahun 2008, Jawa Tengah merupakan provinsi dengan risiko tinggi DBD, sedangkan pada tahun 2009, Jawa tengah digolongkan ke dalam provinsi dengan risiko sedang DBD sebagaimana terlihat pada gambar 2.15

Gambar 2. Angka insiden DBD per 100.000 penduduk tahun 2008 & 2009 Sumber : Pusat data dan surveilans epidemiologi Depkes RI15

(25)

Semarang merupakan salah satu wilayah yang mempunyai tingkat insidensi DBD yang tinggi di Jawa Tengah.7 Semarang memiliki IR di atas target nasional (< 2 kasus per 10.000 penduduk), bahkan sebagian besar wilayah tersebut memiliki IR di atas target Kota Semarang yaitu kurang dari 20 kasus per 10.000 penduduk.8

Gambar 3. Incidence Rate (IR) DBD Kota Semarangtahun 2009 Sumber: Dinas kesehatan Kotas Semarang8

2.1.4 Vektor dan cara penularan

Transmisi DBD terjadi dari manusia ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes sp betina yang mengandung virus dengue.17 Manusia merupakan hospes reservoir virus dengue. Virus dengue mengalami masa inkubasi selama 4-6 hari dalam tubuh penderita. Virus tersebut sudah mulai terdapat dalam darah penderita 1- 2 hari sebelum demam terjadi. Viremia tersebut terjadi selama 4- 7 hari. Dalam masa ini, penderita tersebut merupakan sumber penularan.12 Virus dengue dihisap oleh Nyamuk Aedes sp betina, lalu mengalami inkubasi dan replikasi selama 8-10 hari di kelenjar ludah, lalu ditularkan kepada manusia.17

(26)

Aedes aegypti merupakan vektor utama virus dengue. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan Aedes scutellaris juga diketahui dapat menjadi vektor virus dengue.10 Semua spesies tersebut selain Aedes aegypti memiliki distribusi geografis yang lebih terbatas dan epidemi yang ditimbulkan tidak separah yang diakibatkan oleh Aedes aegypti.19

Siklus hidup nyamuk dimulai saat telur menetas menjadi larva/ jentik dalam waktu 6-10 hari.18 Telur tersebut diletakkan pada dinding tempat perindukan nyamuk. Oleh karena itu, pada waktu pembersihan tempat penampungan air dianjurkan pula untuk menyikat dindingnya.12 Telur dapat bertahan hingga beberapa bulan dalam keadaan kering. Kemudian, larva Aedes sp berkembang menjadi pupa dalam waktu beberapa jam hingga 2 hari. Dalam waktu < 2 hari, pupa berkembang menjadi nyamuk dewasa.18,20 Siklus tersebut selesai dalam waktu 9- 12 hari. Waktu yang diperlukan nyamuk untuk berkembang biak menjadi dasar mengapa kegiatan PSN DBD dilakukan seminggu sekali.18,20

Gambar 4. Siklus hidup nyamuk Aedes sp Sumber : Hopp MJ dan Foley J20

(27)

Nyamuk Aedes aegypti dapat ditemukan di negara yang terletak pada 400 LU – 400 LS dan hanya hidup pada suhu antara 8- 37oC. Ciri khas nyamuk tersebut adalah memiliki tubuh hitam dengan bercak hitam putih khas pada bagian thorak. Nyamuk ini berkembang biak di air bersih, seperti bak mandi, tempayan penyimpanan air, dan kontainer buatan yang lain.20 Nyamuk dewasa Aedes sp menyukai tempat yang gelap, lembab, hinggap pada kain yang digantung dan lebih suka menggigit di daerah yang terlindung seperti rumah, sekolah dan sebagainya.12,20 Sementara itu, Aedes albopictus, yang dikenal sebagai vektor sekunder, lebih menyukai kontainer di luar rumah, baik kontainer buatan maupun alami, seperti potongan bambu, lubang pohon, lipatan daun pelepah pohon pisang yang terdapat di luar rumah sebagai tempat perindukannya (breeding place).18 Tempat berkembang biak nyamuk juga bergantung dengan kondisi setempat, misalnya tempat penampungan air pada dispenser, kulkas, vas bunga, hingga tempat minum binatang peliharaan dapat dijadikan tempat berinduk nyamuk.12

Nyamuk Aedes sp betina mempunyai sifat antropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, sedangkan nyamuk jantan Aedes sp hanya menghisap cairan tumbuhan seperti sari bunga untuk keperluan hidupnya. Disamping itu, nyamuk Aedes sp betina juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik, sehingga nyamuk akan menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut dapat meningkatkan risiko penularan DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.21

(28)

Nyamuk Aedes sp betina menghisap darah mulai pagi sampai petang hari dengan puncak aktivitas pada pukul 09.00- 10.00 dan 16.00- 17.00. Di Indonesia, transmisi dengue terjadi melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.18

2.1.5 Gambaran klinis

Berdasarkan Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention &Control yang dikeluarkan WHO tahun 2009, gambaran klinis penderita dengue terdiri dari:3

1. Fase Febris (Febrile phase)

Pasien mengalami demam tinggi 2-7 hari, disertai eritema kulit, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan injeksi faring, konjungtiva, anoreksia, mual serta muntah. Pada fase ini dapat ditemukan manifestasi perdarahan ringan seperti ptekie dan perdarahan mukosa. Perdarahan gastrointestinal jarang sekali ditemukan. Hepatomegali dapat ditemukan beberapa hari setelah demam terjadi.

2. Fase Kritis (Critical phase)

Fase ini terjadi pada hari 3–7 sakit, ditandai dengan penurunan suhu tubuh menjadi 37,5oC – 38oC, disertai kenaikan permeabilitas kapiler, peningkatan hematokrit & timbulnya kebocoran plasma (plasma leakage). Kebocoran plasma sering didahului oleh terjadinya leukopeni progresif & trombositopeni. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura dan asites dapat dideteksi pada fase ini. Pada fase ini, pasien dapat mengalami syok.

(29)

3. Fase Pemulihan (Recovery phase)

Apabila fase kritis dapat terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ruangan ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Proses tersebut membuat keadaan umum penderita semakin membaik, ditandai dengan nafsu makan yang pulih, hemodinamik stabil & diuresis yang membaik.

Menurut panduan WHO tahun 2009 tersebut disepakati klasifikasi DBD terbaru yang merupakan penyempurnaan dari kriteria WHO tahun 1997. Adapun klasifikasi DBD tersebut adalah:3

1. Kriteria dengue tanpa/ dengan tanda bahaya a. Probable Dengue

1) Bertempat tinggal di daerah/ bepergian ke daerah endemis dengue 2) Demam disertai 2 dari hal berikut :

a. Mual, muntah, nyeri

b. Ruam, Uji torniket positif, leukopeni b. Dengue dengan tanda bahaya

1) Disertai dengan adanya tanda bahaya antara lain: a. Nyeri perut, muntah berkepanjangan

b. Terdapat akumulasi cairan

c. Perdarahan mukosa, hepatomegali d. Letargi, lemah

e. Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit 2) Konfirmasi laboratorium bila bukti kebocoran plasma tidak jelas.

(30)

2. Kriteria dengue berat (severe dengue) Ditandai dengan:

1) Kebocoran plasma yang berat (severe plasma leakage).

Dapat menyebabkan syok (takikardi, ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit dan akumulasi cairan berupa asites maupun efusi pleura disertai distress pernafasan.

2) Perdarahan hebat (severe bleeding).

3) Gangguan organ yang berat (severe organ involvement)

Dapat terjadi gangguan hati akut (AST atau ALT ≥ 1000), gagal ginjal akut, ensefalopati, gangguan kesadaran dan manifestasi tak lazim lainnya (gangguan jantung dan organ lain).

2.1.6 Pencegahan

WHO mengeluarkan beberapa cara untuk mencegah DBD, antara lain: 1. Manajemen lingkungan

Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga kontak manusia-vektor berkurang. Menurut WHO, manajemen lingkungan dapat dibagi menjadi 3 jenis:3,19

a. Modifikasi lingkungan, pengubahan fisik habitat larva jangka panjang. b. Manipulasi lingkungan, pengubahan sementara habitat vektor melalui

pemusnahan tempat perkembangbiakan nyamuk.

(31)

Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mencegah DBD, antara lain:3,19,23

1) Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang meliputi kegiatan:

-Menguras dan menyikat bak mandi, tempat penampungan air minimal seminggu sekali. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa perkembangan siklus hidup nyamuk Aedes sp adalah 9-12 hari.

-Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, dan kontainer buatan lainnya dengan tujuan agar nyamuk tidak dapat bertelur.

-Mengubur barang-barang bekas terutama yang berpotensi menjadi tempat berkembangnya larva nyamuk, seperti kaleng, botol maupun ember. 2) Mengganti air pada vas, tempat minum binatang peliharaan maupun

tempat yang berpotensi sebagai breeding place nyamuk setidaknya seminggu sekali.

3) Membersihkan pekarangan dan halaman sekitar tempat tinggal dan menutup lubang pada pohon yang dapat menampung air.

4) Membersihkan air yang tergenang di atap rumah serta membersihkan salurannya kembali jika salurannya tersumbat oleh sampah dedaunan. 5) Mengurangi kontak antara vektor dengan manusia dengan cara:

-Memakai celana, baju lengan panjang, maupun kaos kaki berbahan tebal dan tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar.

-Memakai kelambu yang diberi insektisida (misalnya permetrin).

-Memakai obat nyamuk bakar, oles, dsb untuk perlindungan diri.

(32)

-Mengatur pencahayaan rumah agar ruangan tidak lembab. 2. Kontrol biologis

Pengendalian vektor menggunakan preparat biologis jarang dilakukan. Pengendalian ini dilakukan untuk membasmi vektor pada tahap larva. Kontrol biologis dapat dilakukan dengan:3,19,21

a. Menggunakan ikan pemakan larva nyamuk, seperti Gambusia affinis dan Poecilia reticulate maupun Copepoda predator seperti Cyclopoidea.

b. Menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14 yang efektif untuk spesies Aedes aegypti dan Aedes stephensi. Keunggulan penggunaan bakteri adalah tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Namun, kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan tidak efektif untuk spesies non target.

3. Manajemen secara kimiawi

Pengendalian secara kimiawi merupakan cara pengendalian dengan menggunakan zat kimia. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor dapat menguntungkan sekaligus merugikan. Bila insektisida digunakan secara tepat target, dosis, waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang non target. Disisi lain, pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan resistensi vektor.21 Cara pengendalian ini dapat dilakukan antara lain dengan:19,23

a. Pengasapan/ fogging (dengan menggunakan malathion atau fenthion), berguna mengurangi penularan sampai batas tertentu. Pengasapan kurang memberikan hasil yang efektif karena hanya membunuh nyamuk dewasa.

(33)

b. Memberikan bubuk abate pada tempat penampungan air. Pemberian abate berfungsi untuk membunuh larva di tempat air yang sulit dikuras dengan cara menaburkan bubuk Temephos/ Altosoid 2-3 bulan sekali sebanyak 1 gram abate untuk 10 liter air atau 2,5 gram Altosoid untuk 100 liter air. Cara yang paling mudah dan efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas yang dikenal dengan istilah 3M Plus yaitu, menguras dan menyikat tempat penampungan air minimal seminggu sekali, menutup setelah menggunakannya serta menimbun barang bekas yang berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk. Selain itu, dapat dilakukan dengan melakukan tindakan plus seperti menggunakan kelambu saat tidur, memasang kasa, menggunakan obat nyamuk oles/ repellant, memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang sesuai dengan kondisi setempat.23

Berbagai upaya telah dilakukan pula oleh pemerintah dalam mencegah penyakit DBD sejak pertama kali dilaporkan di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Kegiatan pemberantasan mulai diprogramkan mulai tahun 1975 – 1979. Kegiatan itu meliputi pengamatan, pengobatan penderita, dan fogging fokus dengan radius 100 m. Pada masa itu mulai dibentuk unit pemberantasan penyakit DBD di Tingkat Dati I dan Dati II.Mulai tahun 1985 - 1989, dilakukan abatisasi massal dan stratifikasi desa endemis dan non endemis.22 Pada tahun 1989, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 mengenai pencegahan & penanggulangan DBD melalui kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam.5

(34)

Mulai tahun 1990, dikembangkan program pemberantasan intensif DBD melalui kerja sama lintas program dan sektor.22 Hingga kini, pemerintah terus mengalakkan kebijakan-kebijakan guna menekan angka kejadian DBD, salah satunya dengan program PSN Plus, pembentukan unit Pokja (kelompok kerja), Pokjanal (kelompok kerja fungsional) di tingkat desa/ kelurahan serta jumantik (juru pemantau jentik).22,23

2.2. Pengetahuan

2.2.1 Pengertian pengetahuan

Definisi pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui; kepandaian.24 Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pada umumnya, sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indera penglihatan dan pendengaran.Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).25 Pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:25,26,27

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang telah dipelajari atau diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tahap paling rendah dari pengetahuan. Misalnya, masyarakat diharapkan mampu menyebutkan definisi dari DBD atau mampu menyebutkan kepanjangan dari 3M.

(35)

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar. Orang yang telah paham terhadap suatu objek dapat menjelaskan, menyebutkan, menyimpulkan terhadap suatu objek yang dipelajari. Pada tahap ini, masyarakat mampu menjelaskan mengapa 3M penting dalam pencegahan DBD.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi & kondisi yang sebenarnya. Dalam aplikasi terhadap kasus DBD, masyarakat mampu menjelaskan bagaimana menerapkan prinsip 3M dalam mencegah DBD.

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih ada kaitannya satu sama lain. Pada tahap analisis, masyarakat mampu membedakan ciri-ciri nyamuk Aedes sp dengan nyamuk lainnya.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Pada tahap ini, masyarakat diharapkan mampu untuk menjelaskan proses masuknya virus dengue sampai terjadinya DBD.

(36)

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi yaitu kemampuaan untuk melakukan penilaian terhadap objek. Misalnya, pada tahap ini individu dapat menilai seseorang yang terinfeksi virus dengue melalui tanda, gejala, serta gambaran klinis lainnya.

Tingkat pengetahuan dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif sebagai berikut:26

1) Baik : Hasil presentase 76%-100% 2) Cukup : Hasil presentase 56%-75% 3) Kurang : Hasil presentase kurang dari 56%

2.2.2 Faktor- faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Faktor Internal

1) Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pengetahuan erat kaitannya dengan pendidikan. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir dan daya cerna seseorang terhadap informasi yang diterima. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula informasi yang dapat diserap dan tingginya informasi yang diserap mempengaruhi tingkat pengetahuannya, demikian juga sebaliknya.12,26 Pendapat lainnya mengatakan bahwa pendidikan yang rendah mengakibatkan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka lebih bersifat konservatif,

(37)

karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.28 Orang yang berpendidikan tinggi memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap masalah kesehatan.12 Penelitian oleh Syed dkk pada tahun 2010 di Pakistan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan pengetahuan tentang DBD (p=0,004).29

2) Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan merupakan suatu cara memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan di masa lalu.26

3) Intelegensia

Merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Tingkat intelegensia mempengaruhi seseorang dalam menerima suatu informasi. Orang yang memiliki intelegensia tinggi akan mudah menerima suatu pesan maupun informasi.25,26

4) Usia

Usia adalah umur individu mulai saat dilahirkan. Pada umumnya, seiring bertambahnya usia, seseorang akan lebih matang dalam berpikir, bekerja dan menerima informasi. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa lebih dipercaya dibandingkan orang yang belum tinggi tingkat kedewasaannya.26 Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berumur lebih tua tidak mutlak memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang lebih muda. Sebagaimana dibuktikan oleh penelitian yang

(38)

dilakukan Constantianus et al bahwa kelompok umur muda memiliki pengetahuan tentang DBD yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia tua.16

5) Pekerjaan

Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menunjang kehidupan. Pekerjaan merupakan cara untuk mencari nafkah dan umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.26 Sebagai contoh, individu yang bekerja sebagai tenaga kesehatan akan mempunyai pengetahuan yang lebih mengenai sesuatu yang berhubungan dengan bidang yang dikerjakannya dibandingkan dengan orang yang bekerja di luar bidangkesehatan.

2. Faktor Eksternal

1) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang. Dapat berkaitan dengan keadaan di sekitar daerah tempat tinggalnya.26 Tempat tinggal merupakan tempat menetap sehari-hari.Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut.30

Hubungan antara lingkungan dengan pengetahuan terletak pada kemudahan mendapatkan informasi. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di wilayah endemis lebih mudah menemukan kasus DBD di sekitar lingkungan tempat tinggal, sehingga mempengaruhi tingkat pengetahuannya. Masyarakat di daerah tersebut akan lebih sering mendapatkan informasi mengenai penyakit tersebut bila dibandingkan masyarakat yang tinggal di daerah non endemis.14,15

(39)

Menurut penelitian yang dilakukan di Karachi, Pakistan, informasi yang diberikan oleh teman atau kerabat yang tinggal di sekitar lingkungan tempat tinggal memiliki peran dalam menambah pengetahuan seseorang mengenai DBD.31

2) Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Individu yang berasal dan keluarga yang berstatus tingkat ekonomi baik umumnya memiliki sikap positif dalam memandang kesehatan dan masa depannya bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Faktor ekonomi berhubungan pula dengan kesempatan mendapatkan informasi.26,28 Menurut penelitian Syed dkk menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status sosial ekonomi dengan pengetahuan tentang DBD.29 Berdasarkan riset Depkes RI, diketahui bahwa kelompok dengan tingkat ekonomi rendah dan kelompok dengan pengeluaran rumah tangga per kapita yang tinggi memiliki tingkat kesadaran yang rendah dalam mengenali suatu penyakit.32 Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam menghitung tingkat ekonomi, salah satunya dengan menggunakan model tingkat konsumsi, model kesejahteraan keluarga, upah minimum kabupaten/ kota (UMK) dan sebagainya.33

3) Media massa

Media massa dapat memberikan informasi yang dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact), sehingga menghasilkan pengetahuan. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, termasuk penyuluhan kesehatan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan seseorang.26,30 Semakin banyak

(40)

seseorang menerima informasi mengenai suatu penyakit maka pengetahuannya mengenai penyakit tersebut pun akan meningkat. Menurut penelitian yang telah dilakukan, televisi merupakan sumber informasi utama dalam menyebarkan informasi mengenai DBD.31

2.3 Tindakan kesehatan

2.3.1 Pengertian tindakan kesehatan

Tindakan (practice) merupakan salah satu domain operasional dari perilaku kesehatan.34 Tindakan merupakan overt behavior atau suatu respon nyata seseorang terhadap adanya stimulus. Tindakan dilakukan seseorang dilakukan setelah seseorang mengetahui dan menilai suatu stimulus.30

Berdasarkan kualitasnya, tindakan dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:25,35

1. Tindakan terpimpin (guided response)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu kegiatan tetapi masih tergantung tuntunan maupun panduan orang lain.

2. Tindakan secara mekanisme (mechanism response)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu kegiatan secara otomatis. Tindakan ini dilakukan tanpa perintah dari orang lain.

3. Adopsi (adoption)

Adopsi merupakan tindakan yang tidak sekedar rutinitas, sudah berkembang dan dilakukan modifikasi, sehingga menjadi perilaku yang berkualitas.

(41)

Berikut ini merupakan bentuk tindakan kesehatan:28,34

1. Tindakan sehubungan dengan penyakit (mencakup pencegahan maupun penyembuhan penyakit).

2. Tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. 3. Tindakan kesehatan lingkungan.

Tindakan merupakan suatu respon terbuka yang mudah diamati atau dilihat orang lain bila dibandingkan dengan sikap yang merupakan suatu respon yang tertutup, sehingga sulit diamati secara jelas. Salah satu hal yang mempengaruhi terbentuknya suatu praktik atau tindakan diperlukan adanya faktor dukungan (support) dari pihak lain yang tinggal di sekitar, misalnya keluarga, kerabat, tokoh masyarakat dan sebagainya.35

Menurut teori Lawrence Green yang dikutip oleh Notoadmodjo, perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:25

1) Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang, misalnya pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. 2) Faktor pendukung (enabling factor), mencakup lingkungan fisik, tersedia atau

tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat steril dan sebagainya.

3) Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam perilaku petugas kesehatan atau seseorang yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

(42)

2.4 Hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pencegahan

Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” yang terjadi melalui proses penginderaan khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.25 Sedangkan, tindakan merupakan overt behavior atau suatu respon nyata seseorang terhadap adanya stimulus. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku yang terbuka (overt behavior). Suatu tindakan kesehatan yang dilandasi dengan pengetahuan, maka cenderung bersifat long lasting.30

Benthem et al. meneliti tingkat pengetahuan masyarakat di Thailand mengenai pemberantasan dan pencegahan DBD. Hasilnya menunjukkan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai DBD memiliki upaya pencegahan yang jauh lebih baik.12

(43)

29 3.1. Kerangka teori

Gambar 5. Kerangka teori Status endemisitas Tindakan pencegahan DBD Tingkat pengetahuan ibu Usia ibu

Riwayat DBD dalam keluarga Tingkat pendidikan

Tingkat ekonomi Adanya kontak dengan

media informasi Tingkat intelegensia Jenis pekerjaan Sikap ibu Ketersediaan fasilitas Pengaruh lingkungan sosial

(44)

3.2 Kerangka konsep

Gambar 6. Kerangka konsep

3.3 Hipotesis

1) Tingkat pengetahuan ibu yang tinggal di wilayah endemis lebih tinggi dibanding ibu di wilayah non endemis.

2) Tindakan pencegahan DBD yang dilakukan ibu yang tinggal di wilayah endemis lebih tinggi dibanding ibu di wilayah non endemis.

Status endemisitas

Tingkat pengetahuan ibu Tindakan pencegahan DBD

Usia ibu

Riwayat DBD dalam keluarga Tingkat pendidikan

(45)

31 4.1 Ruang lingkup penelitian

Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Kesehatan Masyarakat-Ilmu Kedokteran Pencegahan.

4.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Kelurahan Gajahmungkur dan Sekayu pada bulan Maret sampai Juni 2012.

4.3 Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional yang membandingkan tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD ibu di wilayah endemis dan non endemis.

Gambar 7. Desain Penelitian Endemis DBD

Tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD baik

Tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD kurang baik

Tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD kurang baik Non endemis

DBD

Tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD baik

(46)

4.4 Populasi dan sampel penelitian 4.4.1 Populasi target

Ibu yang memiliki anak dengan usia ≤ 14 tahun yang tinggal di wilayah endemis dan non endemis DBD.

4.4.2 Populasi terjangkau

Ibu yang memiliki anak dengan usia ≤ 14 tahun yang tinggal di wilayah Kelurahan Gajahmungkur dan Sekayu pada periode penelitian. Kelurahan Gajahmungkur dipilih karena termasuk wilayah endemis DBD, sedangkan Kelurahan Sekayu merupakan wilayah non endemis DBD berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2011.

4.4.3 Sampel penelitian

Responden adalah ibu yang memiliki anak dengan usia ≤ 14 tahun yang tinggal di wilayah Kelurahan Gajahmungkur dan Sekayu pada periode penelitian yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

4.4.3.1 Kriteria inklusi

1. Ibu yang telah tinggal di wilayah tersebut minimal selama 6 bulan. 2. Ibu yang tinggal serumah dengan anak.

4.4.3.2 Kriteria Eksklusi

1. Ibu bekerja sebagai tenaga medis. 2. Ibu yang tidak bersedia diwawancara. 4.4.4 Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan memilih RT/RW yang memiliki angka kejadian DBD tertinggi pada kelurahan tersebut.

(47)

4.4.5 Besar sampel

Perhitungan besar sampel dilakukan dengan rumus besar sampel untuk uji hipotesis perbedaan proporsi dua populasi. Rumus ini dipilih karena peneliti ingin membandingkan tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD antara kelompok yang tinggal di wilayah endemis dan non endemis DBD. Perhitungan besar sampel adalah sebagai berikut:39

Keterangan:

Berdasarkan perhitungan diatas, dibutuhkan sampel minimal sebanyak 21 untuk tiap kelompok. Besar sampel total minimal adalah 42 subyek penelitian.

(48)

4.5 Variabel penelitian 4.5.1 Variabel bebas

Status endemisitas 4.5.2 Variabel terikat

Tingkat pengetahuan ibu Tindakan pencegahan DBD 4.5.3 Variabel perancu

Tingkat ekonomi Tingkat pendidikan

Riwayat DBD dalam keluarga Usia ibu

4.6 Definisi operasional Tabel 2. Definisi operasional

No Variabel Unit Skala

1. Status endemisitas

Berdasarkan data laporan tahunan DBD Dinas Kesehatan Kota Semarang. Status endemisitas tersebut dapat dikategorikan menjadi:

1)Wilayah endemis DBD

2)Wilayah non endemis DBD (sporadis, potensial, bebas)

- Nominal

2. Tingkat pengetahuan ibu

Pengetahuan ibu mengenai DBD adalah sesuatu yang diketahui ibu mengenai DBD, yang meliputi gejala, tanda, penyebab, vektor, cara pemberantasan dan pencegahan DBD. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner & dikategorikan menjadi:26

(49)

Tabel 2. Definisi operasional

No Variabel Unit Skala

1)Kategori baik yaitu menjawab benar 76%–100% 2)Kategori cukup yaitu menjawab benar 56%–75 % 3)Kategori kurang yaitu menjawab benar < 56% dari

total pertanyaan yang diberikan 3. Tindakan Pencegahan DBD

Tindakan pencegahan DBD adalah suatu perbuatan nyata yang dilakukan ibu untuk mencegah terjadinya penyakit DBD. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan observasi secara langsung.25 Masing-masing item pertanyaan akan diberi nilai:

- Melakukan : nilai 1 - Tidak melakukan : nilai 0

Lalu total nilai akan dikategorikan menjadi 3 berdasarkan Bloom’s cut off point 60-80%.36

1)Kategori baik yaitu 80%–100% 2)Kategori cukup yaitu 60%–79 % 3)Kategori kurang yaitu ≤ 59%

- Ordinal

4. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi yang dimaksud merupakan jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu bulan. Tingkat ekonomi dihitung dari pendapatan kepala keluarga dan dikategorikan berdasarkan UMK Kota Semarang yang berlaku mulai 1 Januari 2012:37

1) Kategori tinggi (diatas UMK) : ≥ Rp 991.500,- 2) Kategori rendah (dibawah UMK) : < Rp 991.500,-

(50)

Tabel 2. Definisi operasional

No Variabel Unit Skala

5. Tingkat pendidikan

Pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti responden. Diketahui melalui wawancara dengan responden dan dikategorikan sebagai berikut:

1)Kategori tinggi : Pendidikan sarjana

2)Kategori sedang : SMA sederajat, Akademik 3)Kategori rendah : < SMA sederajat

- Ordinal

6. Riwayat DBD dalam keluarga

Ada tidaknya keluarga inti yang pernah menderita DBD. Variabel ini diketahui melalui wawancara dengan responden dan dinyatakan dengan:

1)Ya : ada keluarga yang pernah menderita DBD

2)Tidak : tidak ada keluarga yang pernah menderita DBD

- Nominal

7. Usia ibu

Usia adalah umur individu mulai saat dilahirkan hingga saat berulang tahun.26 Diketahui dari hasil wawancara karakteristik responden dalam kuisioner. Usia ibu dikategorikan sebagai berikut:38

1) < 20 2) 20-30 3) 31-40 4) >40

Tahun Rasio

4.7 Cara pengambilan data 4.7.1 Alat penelitian

Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan (kuesioner) tentang tingkat pengetahuan ibu dan tindakan pencegahan DBD yang

(51)

telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan dengan uji validitas expert. Kuesioner dikonsultasikan kepada 3 ahli yang berkompeten (experts validity). Masing-masing item pertanyaan dilakukan penilaian +1 apabila setuju, +0 apabila ragu-ragu dan -1 apabila tidak setuju. Item pertanyaan akan dimasukkan ke dalam kuesioner apabila rerata penilaian dari ketiga ahli tersebut ≥ 0,5. Reliabilitas kuesioner telah diuji dengan uji reliabilitas cronbach alfa.40

4.7.2 Jenis data

Data yang diambil merupakan data primer yang diperoleh dari responden penelitian melalui wawancara kuesioner. Data primer tersebut meliputi data karakteristik responden dan data mengenai tingkat pengetahuan ibu serta tindakan pencegahan DBD. Data karakteristik meliputi usia ibu, usia anak, jenis pekerjaan, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, riwayat DBD dalam keluarga.

4.7.3 Cara Kerja

Wilayah penelitian ditentukan berdasarkan data DBD Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2011. Sampel dipilih sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan peneliti pada RT/RW yang memiliki angka kejadian DBD tertinggi pada kelurahan yang diteliti. Subjek yang bersedia mengikuti penelitian dibuktikan dengan kesediaan menandatangani informed consent. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah dilakukan uji validitas dan realibilitas serta observasi langsung yang dilakukan pada responden. Kuesioner dibacakan secara langsung kepada responden dan diberikan penjelasan secara lisan mengenai butir pertanyaan. Setelah jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi, dilakukan input data ke komputer untuk pengolahan dan analisis data.

(52)

4.8 Alur penelitian

Gambar 8. Alur penelitian 4.9 Analisis data

Data yang diperoleh dilakukan pemeriksaan kebenaran, diedit, dikoding, ditabulasi, dan diinput ke dalam komputer.

Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Pada analisis deskriptif, data yang berskala kategorial dinyatakan sebagai distribusi frekuensi dan persentase. Sedangkan, data yang berskala kontinyu dinyatakan sebagai data rerata dan simpang baku.

Penentuan wilayah penelitian berdasarkan data DBD Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2011

Sampel penelitian di Kelurahan Gajahmungkur

Pengolahan dan analisis data

Sampel penelitian di Kelurahan Sekayu

Pengisian kuesioner dan observasi langsung Pengisian kuesioner dan

observasi langsung

(53)

Uji hipotesis menggunakan uji Chi Square (χ2). Uji ini dipilih oleh karena variabel bebas dan terikat berskala kategorial. Apabila dijumpai sel dengan frekuensi harapan <5 yang jumlahnya lebih dari 20%, maka analisis data menggunakan uji Fisher exact. Nilai p dianggap bermakna apabila p < 0,05.39,40 Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer.

4.10 Etika penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, prosedur penelitian telah dimintakan Ethical Clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan ijin dari pemerintah daerah setempat. Subjek penelitian diberi penjelasan mengenai maksud, tujuan, manfaat dan prosedur penelitian. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian diminta untuk menandatangani informed consent. Subjek berhak menolak untuk diikutsertakan tanpa ada konsekuensi apapun. Subjek juga berhak untuk keluar dari penelitian sesuai dengan keinginan.

Seluruh biaya yang berkaitan dengan penelitian ditanggung sepenuhnya oleh peneliti. Sebagai ucapan terima kasih, subjek penelitian diberikan imbalan sesuai kemampuan peneliti.

(54)

40

Pemilihan wilayah penelitian berdasarkan data DBD dari Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2011. Pemilihan sampel di kelurahan Gajahmungkur dilakukan dengan mencari RW yang memiliki insidensi DBD terbanyak dan dari RW tersebut dicari RT yang memiliki insidensi DBD terbanyak. Berdasarkan data tersebut, maka penelitian untuk wilayah Gajahmungkur dilakukan di RT IV/RW VIII & RT I/RW VIII, sedangkan pemilihan wilayah penelitian di Kelurahan Sekayu diambil berdasarkan data DBD tahun 2010. Hal ini dikarenakan pada tahun 2011 tidak ditemukan kasus DBD di wilayah tersebut. Berdasarkan data tersebut, maka penelitian di Kelurahan Sekayu dilakukan di RT IV/RW II & RT VI/RW II.

5.1 Karakteristik Responden

Selama periode penelitian yang telah dilakukan sejak Maret 2012 sampai dengan Juni 2012, didapatkan 26 responden di wilayah endemis DBD, yaitu Kelurahan Gajahmungkur dan 26 responden di Kelurahan Sekayu sebagai kelurahan non endemis DBD. Berdasarkan kelengkapan data, terdapat 52 responden yang dimasukkan dalam analisis. Distribusi karakteristik responden penelitian ditampilkan pada tabel 3.

(55)

Tabel 3. Distribusi karakteristik sosio-demografik responden penelitian (n=52) Variabel

Kelompok

p Endemis Non Endemis

Usia responden;ȝ (tahun) 35,04±8,60 (22-50) 31,6 ±7,64 (21-52) 0,1ª Usia anak;ȝ (tahun) 6,2 ± 4.37 (0,8-13) 4.4 ± 3,77 (0,2-12) 0,4ª Jenis kelamin anak; n (%)

- Perempuan 10 (38,5%) 11 (42,3%) - Laki-laki 16 (61,5%) 15 (57,7%) 0,8* Tingkat ekonomi; n (%) - Rendah 13 (50%) 12 (46,2%) - Tinggi 13 (50%) 14 (53,8%) 0,8* Tingkat pendidikan; n (%) - Rendah 13 (50%) 1 (3,8%) - Sedang 12 (46,2%) 19 (73,1%) - Tinggi 1 (3,8%) 6 (23,1%) <0,001* Jenis pekerjaan; n (%)

- Ibu Rumah Tangga 20 (76,9%) 20 (76,9%)

- Swasta 4 (15,4%) 3 (11,5%)

- Wiraswasta 2 (7,7%) 2 (7,7%)

- Lain-lain 0 (0%) 1 (3,8%) 0,8*

ȝ

Rerata ± Simpang Baku (min-maks) * Uji 2

ª Uji t tidak berpasangan

Pada tabel 3 tampak umur ibu yang tinggal di wilayah endemis lebih tua dibandingkan ibu yang tinggal di wilayah non endemis DBD, namun perbedaan tersebut adalah tidak bermakna (p=0,1). Usia anak kelompok endemis juga lebih tua dibandingkan dengan kelompok non endemis, namun hal tersebut juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,4).

(56)

Pada distribusi jenis kelamin anak, sebagian besar responden kedua kelompok memiliki anak laki-laki, namun perbedaan distribusi tersebut tidak bermakna (p=0,8). Berdasarkan tingkat ekonomi, pada wilayah endemis, jumlah responden dengan tingkat ekonomi rendah sama dengan responden dengan tingkat ekonomi yang tinggi. Sebaliknya, pada wilayah non endemis sebagian besar responden termasuk ke dalam tingkat ekonomi tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan pada distribusi tingkat ekonomi pada kedua kelompok (p=0,8).

Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, pada wilayah endemis sebagian besar responden termasuk tingkat pendidikan rendah, sedangkan di wilayah non endemis sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan sedang. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan distribusi tingkat pendidikan pada kedua kelompok (p=<0,001). Pada distribusi jenis pekerjaan, sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis pekerjaan antara kedua kelompok (p=0,8).

Distribusi adanya riwayat DBD dalam keluarga di wilayah endemis dan non endemis ditampilkan pada tabel 4.

Gambar

Tabel  1.  Penelitian  tentang  perbandingan  tingkat  pengetahuan  ibu  dan  tindakan  pencegahan DBD di wilayah endemis dan non endemis
Tabel  1.  Penelitian  tentang  perbandingan  tingkat  pengetahuan  ibu  dan  tindakan  pencegahan DBD di wilayah endemis dan non endemis
Gambar 1. Peta negara dengan risiko tinggi DBD Sumber : World Health Organization (WHO) 3
Gambar 2. Angka insiden DBD per 100.000 penduduk tahun 2008 &amp; 2009 Sumber : Pusat data dan surveilans epidemiologi Depkes RI 15
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Teknik Arsitektur FPTK UPI yang telah membantu Peneliti dalam proses..

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ketersediaan koleksi yang dibangun Perpustakaan FAH UIN Jakarta tampaknya belum memperlihatkan refleksi kebutuhan

Bab II Kajian Pustaka, terdiri dari Tinjauan Umum tentang Jaminan Kredit, Tinjauan Umum tentang Hak Tanggungan, Tinjauan tentang Sertifikat Hak Milik Tanah, Tinjauan

bentuk formatif asosiasi pilihan ganda dengan reward dan punishment score lebih baik dari hasil belajar siswa pada kelompok yang membiasakan evaluasi bentuk uraian?...

Berdasarkan penelitian sebelumnya [13], mengenai pembakaran menyeluruh pada ruang bakar dan reaktor pirolisis ( sebelum optimasi) menggunakan bahan biomassa kayu,

Dari beberapa kendala telah terjadi maka Proyek Pembangunan Underpass di simpang Dewa Ruci Kuta Bali merupakan proyek yang memiliki risiko cukup tinggi.. Proyek

Tujuan penelitian ini adalah: Untuk Memperoleh peningkatan kemampuan penyesuaian diri dengan teman sebaya melalui layanan bimbingan kelompok pada siswa kelas VII A

Menurut pendapat kami, laporan keuangan konsolidasian yang kami sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan konsolidasian