• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PERM (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PERM (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA DALAM POLITIK OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Dosen Pengajar :

Oleh:

1. Durotun Nafiah 8111416085 2. Eko Sunarsih 811416210

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG FAKULTAS HUKUM

2017

KATA PENGANTAR

(2)

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat nikmat dan rahmat serta hidayah-Nya makalah tentang permasalahan hak asasi manusia dalam politik otonomi daerah di indonesia dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai dengan yang kami harapkan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari dosen pengajar mata kuliah Hukum Asasi Manusia bapak Ridwan Arifin, S.H,.Ll.m untuk memenuhi penugasan terstruktur yang sesuai dengan rencana pembelajaran semester(RPS).

Akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar. Kami banyak mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penyususnan makalah ini. Semuanya tidak akan sukses tanpa dukungan dari orang-orang terdekat, semoga hasilnya tidak mengecewakan dan mendapat apresiasi yang terbaik. Adapun kami hanyalah manusia biasa apabila terjadi kesalahan ataupun hal yang kurang berkenan untuk menjadi sumber bacaan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya kami sebagai penyusun makalah ini.

Semarang, Oktober 2017

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL………...

1

KATA

PENGANTAR………...

2

DAFTAR ISI………. ……….

3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar

Belakang………...

4

1.2 Rumusan Masalah………. …………

4

1.3 Metode

Penulisan………..

5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Otonomi Daerah………. ………...

6

2.2 Aspek-aspek Otonomi

daerah………

9

2.3 Pelanggaran HAM dalam politik otonomi Daerah………

11

2.4 Studi kasus pelanggaran otonomi daerah………..

12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ………...

…...

17

3.2 Saran

…...

17

Daftar

Pustaka………..

18

Daftar

Tabel………. Tabel 1.1 Pekerja Anak Di

Papua………

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Keputusan politik untuk menegakan HAM (Hak Asasi Manusia) dalam bidang politik, sosial, dan budaya sering terhambat oleh faktor-faktor kekuasaan pemerintah meliputi: sistem politik yang dianut oleh negara(otoriter, totaliter, sentralistik, mutlak, kedaulatan negara, semi demokratis, demokratis, dan lain-lain) sehingga semakin demokratis suatu negara semakin kuat proses penegakan hak asasi manusia dalam suatu negara. salain itu, sistem ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh penegakan hukum disuatu negara, namun lemahnya hukum tidak berbanding lurus dengan tingkah laku pejabat yang melanggar norma-norma hukum yang berlaku meskipun sudah ditetapkan peraturan-peraturan yang mengikat bagi warga negara.1

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 telah diamanatkan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah hal ini tersebut diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat daearah melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan emperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Negara Indonesia, dijelaskan dalam pasal 18B ayat 1 UUD 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia.3 Keputusan politik

1 A. Masyhur Effendi dan taufani S. Evandri, Ham dalam dinamika/dimensi hukum, politik,

ekonomi, dan sosial (Rev.ed.; Bogor : Ghalia Indonesia; 2014 ) hlm.28

2Undang-Undang Dasar 1945

(5)

penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik Pelanggaran HAM. Dimana seseorang di ekspoitasi secara besar-besaran tanpa memperhatikan hak-hak sebagai warga negara, “the advent of the Code of Hammurabi in which it is specified that people cannot be tortured, enslaved and have their wealth confiscated without a fair judgment”( Kode Hammurabi di mana ia ditentukan bahwa orang tidak dapat disiksa, diperbudak dan kekayaan mereka disita tanpa adil pertimbangan)4

Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.5 Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut tidak hanya terjadi didalam lingkup nasional, melainkan dalam ruang daerah yang ditetapkan sebagai peraturan-peraturan otonomi daerah. Peraturan-peraturan yang banyak berpihak pada perkembangan dan perwujudan dalam otonomi daerah disisipkan peraturan yang ternyata telah menghilangkan hak-hak rakyat sebagai warga negara yang dilindungi oleh hukum negara. kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tersebut kekurangan

(6)

efektifan pelaksanaannya sehingga masyarakat merasa banyak dirugikan dengan adanya peraturan yang diterbitkan oleh pemerintahan daerah.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kewenangan dalam menjalankan otonomi daerah?

2. Aspek-aspek apa saya yang perlu diperhatikan dalam menjalankan otonomi daerah?

3. Bagaimana jika politik otonomi daerah melangggar hak asasi manusia? 4. Pelanggaran HAM yang terjadi sebagai otonomi derah khusus papua? 1.3 METODE PENULISAN

Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode studi pustaka atau Library Research. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaanStudi tersebut memperhatikan beberapa hal, meliputi:

1. Variabel Kepustakaan

Variabel merupakan unsur, aspek, dan bagian tertentu dari judul/tema/masalah penelitian. variabel tersebut bersifat tidak baku (kaku).

2. Teori Penelitian Kepustakaan

Teori penelitian kepustakaan menjelaskan tentang berbagai teori yang didapat, kemudian dianalis dan dikembangkan dalam format pemikiran penulis/peniliti lalu dikritisi atau sebaliknya didukung.

3. Penelitian Kepustakaan

Salah satu komponen sangat penting dalam sebuah penelitian. Hal ini menyatakan hubungan (tema/judul) apa yang digali atau ingin diteliti.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 OTONOMI DAERAH

(7)

pendapatan daerah, kesenjangan investasi antar daerah, pendapatan daerah yang dikuasai oleh pemerintahan pusat, kesenjangan reginal, dan kebijakan investasi yang terpusat. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya salah satu alternative untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan sumber daya alam(SDA) dan sumber daya manusia(SDM) untuk mensejahterakan rakyat.6

Fakta sentralitas pemerintahan terbukti telah menyalahi hakikat dari demorasi. Sehingga, asas desentralisasi ditetapkan untuk membagi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahannya sendiri sehingga disebut otonomi daerah.7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai dasar pelakssanaan otonomi daerah, dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki daerah dan mengurangi jarak politik antara rakyat dengan pemerintahan sehingga rakyat dapat secara langsung beraspirasi dalam tatakelola daerahnya. Ketentuan pada pasal 1 ayat (6) jo (12) UU Peraturan Daerah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah, yaitu:

Pasal 1 ayat (6) “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pasal 1 ayat (12) “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 8

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sehingga berupa instrument administrasi/ managemen yang digunakan untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat di daerah

6 Winarna Adisubrata, Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia (Semarang : Aneka Ilmu,

2007).

7 Ibid,.

(8)

dalam mendorong pemberdayaan masyarakat, menghadapi tantangan global dan mengembangkan demokrasi. Sehingga otonomi daerah dianggap dapat menjawab persoalan-persoalan pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan perintahan dan pembangunan kehidupan politik yang efektif. Landasan hukum dalam melaksanaakan otonomi daerah diatur dalam pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :

(1)Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan derah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2)Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3)Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4)Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5)Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7)Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.9

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dibentuk undang-ungang organik sebagai pelaksanaan dari pasal 18 UUD 1945. Undang-undang Nomer 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang digantikan oleh Undang-undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lalu

(9)

digantikan dengan Undang-undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lalu disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Selain perubahan-perubahan menjadi sistem desentralisasi, adanya privilege bagi daerah-daerah tertentu dengan sebutan sebagai daerah istimewa, diantaranya Aceh dan papua. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g)angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.10 Serta Diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (UU Keistimewaan) yang diantaranya memberikan keistimewaan penyelenggaraan keistimewaan penyelenggaraan kehidupan beragama (pasal 3 ayat (2) UU Keistimewaan) yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at islam. Berdasarkan ketentuan TAP MPR No.IV/MPR/1999 dan TAP MPR No.IV/MPR/2000 serta pengakuan implisit yang terdapat pada pasal 18A dan Pasal 18B amandemen kedua UUD 1445, dikeluarkanlah Undang-undang Nomer 18 Tahun 2001 yeng berisi tentang otonomi daerah bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.11

Ketentuan pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah terfokusnya otonomi daerah pada tingkat

10 lihat Muridan S. Widjojo (editor), Op. Cit. hlm 23.

11 Moh.Fauzi, " Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia pada Era Otonomi Daerah (Studi

(10)

kota dan kabupaten yang ditinjau baik dari segi kewenangan maupun segi pertimbangan keuangan yang diterimanya, maka daerah provinsi semakin jauh dari adanya kewajiban untuk mewujudkan dan melaksanakan kebijakan dalam segala bidang perkembangan daerah. Selain itu, otonomi daerah banyak memberikan wewenang kepada daerah kota dan kabupaten dalam mengeluarkan kebijakan dibidang politik, dan sosial budaya yang memngakibatkan adanya tumpang tindih antara kebijakan satu dengan lainnya sehingga mengakibatkan kerugian terhadap pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri.12

2.2 ASPEK-ASPEK OTONOMI DAERAH

Kebijakan otonomi daerah pertama pada masa pemerintahan B.J Habibie, keluarnya otonomi daerah tersebut merupakan titik balik pelaksanaan otonomi daerah yang lebih demokratis dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan otomoni sebelumnya(melalui Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1974 Produk Orde Baru) yang dinilai sentralis. Kebijakan otonomi daerah pada masa B.J Habibie tersebut tidak lepas dari tuntutan daerah dan sikap pemerintah pusat yang akomodatif atas tuntutan daerah, sbahwa kebijakan tersebut bermaksud untuk mendorong agar lebih mandiri dan demokratis. 13 Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu:

1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.

3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.

12 Nita Triana, "pendekatan Ekoregion dalam Sistem Hukum Pengelolaan Sumber Daya Air Sungai di Era Otonomi Daerah".pandecta, Volume 9. Nomor 2. Desember 2014.

(11)

Makna hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka kebijakan otonomi daerah harus mampu:

1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri

2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.

3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.

4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.

(12)

responsive dalam mendukung otonomi daerah selayaknya para perancang memperhatikan asas-asas pembentukan perda sebagai kerangka acuan. 14

Peraturan daerah merupakan hasil kerja bersama antara DPRD dengan Gubernur/Bupati/Walikota karena tatacara pembuatan PERDA harus ditinjau dari beberapa unsur pemerintahan. Keikut sertaan DPRD membentuk Perda bertalian dengan wewenang DPRD di bidang legislatif atau yang secara tidak langsung dapat dipergunakan sebagai penunjang fungsi legislatif, yaitu hak penyidikan, hak inisiatif, hak amandemen, persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah (RanPerda). Unsur Partisipasi adalah partisipasi dimaksudkan sebagai keikutsertaan pihak-pihak luar DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan membentuk RanPerda atau Perda.15

2.3 Pelanggaran HAM dalam Politik Otonomi Daerah

Politik hukum menurut Mahfud MD adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.16 Hukum dan politik merupakan subsistem yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem kemasyarakatan, masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Sistem hukum memikul tanggung jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan kewajiban yang timbul karena hak yang bersangkutan. Sasaran utama dalam sistem politik ialah memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan, meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan namun banyak yang masih adanya peraturan yang tumpang tindih yang menimbulkan konflik. Adanya peraturan daerah yang bermasalah serta peraturan yang tidak pro terhadap rakyat, maka aplikasi politik hukum dalam pembuatan Perda harus selaras dengan teori tujuan hukum itu

14 Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung

Otonomi Daerah”, Ilmu Hukum, Vol. 10, Nomer. 19, Pebruari 2014.

(13)

sendiri yaitu harus dapat memberikan rasa adil dan memberikan kepastian hukum serta terdapat nilai kemanfaatan.17

Pembatalan perda bermasalah telah memperoleh landasan hukum dalam Undang-undang Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 251 ayat 1-3 Undang-Undang Nomer.23 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa:

(1)Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.

(2)Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(3)Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.

2.4 Studi kasus pelanggaran politik otonomi daerah khusus papua

Kekerasan seperti yang terjadi di Paniai sudah sering terjadi di Papua. Menurut catatan Kontras terdapat sejumlah kasus kekerasan di Papua yang tidak jelas penyelesaiannya, antara lain: Kasus Teminabuan (1966-1967), Peristiwa Kebar 26 Juli 1965, Peristiwa Manokwari 28 Juli 1965 dan Operasi Militer 1965 - 1969. Kemudian peristiwa penghilangan paksa di Sentani 1970, Operasi Militer di Paniai sepanjang 1969 - 1980, Operasi Militer di Jaya Wijaya dan Wamena Barat kurun 1970 - 1985, kasus pembunuhan di Timika kurun 1994 - 1995, kasus pembunuhan di Tor Atas Sarmi kurun 1992, penghilangan paksa Aristoteles Masoka, pembunuhan Opinus Tabuni dan banyak kasus lainnya yang belum terdokumentasikan dengan baik.18 Selain itu masih ada kasus Pembunuhan Pendeta Kinderman Gire di puncak jayanMenurut

17 Ibid, hlm.28.

(14)

Catatan Kondisi Hak Asasi Manusia di Papua yangn dikeluarkan oleh ELSAM (Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat) terdapat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di Papuayaitu19:

1. Peristiwa Abepura.

Pada 7 Desember 2000 terjadi penyerangan kantor Polsek Abepura oleh sekelompok orang bersenjata golok dan parang. Dalam peristiwa itu satu orang anggota polisi tewas dan sejumlah lainnya luka-luka. Beberapa jam setelah penyerangan itu Polres Jayapura menggelar operasi penyisiran dan pengejaran. Dalam operasi tersebut telah terjadi rangkaian kekerasan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

2. Peristiwa Wasior.

Peristiwa ini bermula dari penyerangan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini lima orang anggota Brimob tewas dan satu orang warga sipil tewas. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan di sekitar Wasior. Dalam proses pengejaran tersebut diduga telah terjadi pula pelanggaran berat hak asasi manusia.

3. Peristiwa Pembunuhan Theys.

Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay hari Sabtu, 10 November 2001 diculik. Esok harinya, ia ditemukan telah tewas di Koya Tengah, Kecamatan Muara Tami, Kabupaten Jayapura. Jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok mobil Toyota Kijang dengan wajah babak belur dan luka di pelipis, dahi, dan leher. Peristiwa ini menyulut kemarahan masyarakat Sentani, daerah asal Theys. Ratusan warga Sentani membakar dua rumah toko, dua bank (BRI dan BPD Irja), dan 12 bangunan

(15)

lainnya, situasi pun mencekam sampai ke hari-hari berikutnya. Penculikan yang berakhir pembunuhan ini diduga terkait erat dengan aktivitas politik Theys dan kawan-kawannya. Saat dibunuh, Theys berstatus sebagai tahanan luar dan sedang diadili di Pengadilan Negeri Jayapura dengan dakwaan melakukan sejumlah kegiatan makar dengan tujuan memisahkan Irian Jaya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Banyak pihak berpendapat bahwa pembunuhan Theys adalah upaya terakhir untuk membungkam keinginan rakyat Papua untuk merdeka.

4. Peristiwa Wamena.

(16)

Rp 2,298 Triliun pun sudah ditransfer. "Lalu kemanakah uang ini saat rakyatnya menderita?" tanya Frits penuh keprihatinan. 5. Perjuangan keras tanpa lelah dari Mama-mama Pedagang Asli

Papua untuk memperoleh pasar yang layak di tengah kota Jayapura.

Perjuangan mama-mama bersama Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP) dan tim Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP), barangkali akan membuahkan hasil yang baik bagi Mama-mama Pedagang Asli Papua ini. Setidaknya, lokasi sekitar komplek Perum Damri sudah diratakan oleh Pemerintah Kota Jayapura pada 27 April 2016 untuk lokasi pasar tetap. Walikota Jayapura MR Kambu mengatakan dirinya akan mengusahakan adanya pasar bagi Mama-mama Padagang Asli Papua. Ia menyampaikan hal itu, saat mama-mama melakukan demonstrasi ke kantor walikota pada 10 Oktober 2008. Lalu pada 14 Oktober 2008, Mr Kambu mengirim surat kepada Gubernur Provinsi Papua perihal pembangunan pasar bagi Mama mama Pedagang Asli Papua. Surat walikota ini belum ditanggapi secara serius oleh pemerintah provinsi Papua. Sejak surat itu dikirim hingga September 2009, tidak pernah ada langkah nyata dari Pemerintah Provinsi Papua untuk membangun pasar untuk Mama-mama Pedagang Asli Papua. Menurut pantauan penulis, terdapat adanya tarik ulur antara Pemerintah Kota Jayapura dengan Pemerintah Provinsi Papua. Birokrasi yang berbelitbelit, dan sistem dan mekanisme kerja antar instansi pemerintah yang tidak berjalan baik, telah ikut menyebabkan Mama-mama Pedagang Asli Papua tetap terpinggirkan dari sistem perekonomian.

(17)

kedua di Indonesia, menurut Survei Rumah Tangga Sangat Miskin tahun 2008 (RTSM)

Tahu

n Jumlah Peker ja

Laki-Laki Wanita Usia < 15 Tahu n Jumla h Sekol ah Jumla h Anak Usia Sekol ah Jumla h Anak Belu m Sekol ah Jumla h Anak Putus Sekol ah 2008 130.0 00 orang 75.0 00 oran g 55.00 0 orang 80.0 00 oran g 2.365

buah 445.000 anak

98.185

anak 11.399anak

Table 1.1 pekerja anak di Papua

Perkembangan politik dan keamanan Papua dapat dipahami dari tiga isu utama: pertama, internasionalisasi Papua. Kedua, penyelesaian masalah-masalah HAM. Ketiga, perkembangan dan implementasi Otonomi Khusus (Otsus Papua). Internasionalisasi isu Papua ditandai dengan gerakan politik kaum muda Papua yang semakin solid dalam membangun koordinasi dan sinergi dengan jaringan aktifis HAM di dalam maupun di luar negeri. Koordinasi gerakan lokal Papua menghasilkan wadah “perjuangan” politik yang dinamakan United Liberation Movement for West Papua

(18)

dalam memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keamanan Papua.20

(19)

BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan

Pelanggaran ham yang terjadi akibat pembuatan kebijakan dalam mengelola daerah otonom perlu diperhatiakan sehingga peraturan-peraturan tersebut tidak merugikan pihak yang lain. Dalam studi kasus yang dipaparkan jelas masih banyak sekali pelanggaran Hak Asasi manusia yang secara jelas terjadi akibat pengaruh dari politik otonomi daerah yang bersangkutan sehingga yang berkuasa dalam suatu daerah tersebut menghalalkan segala cara dalam mempertimbangkan untuk berotonomi yang semestinya merupakan penyelewangan kewenangan otonomi daerah. Penyalahan wewenang dalam mengelola daerah khusus terjadi tidak terlepas dari kebijakan dan kelalaian negara. Lantas, bagaimanakah nasib anak-anak Papua. Banyak hak-hak anak yang tidak terpenuhi dengan baik. Selain persoalan gizi buruk, anak-anak Papua juga terenggut hak atas pendidikannya dan hak untuk tumbuh kembang dengan baik. 3.2 Saran

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, A. Masyhur dan taufani S. Evandri. Ham dalam dinamika/dimensi hukum, politik, ekonomi, dan sosial. Rev.ed.; Bogor : Ghalia Indonesia, 2014. Undang-Undang Dasar 1945.

Stancea, Isabela. A CONCEPT WITH UNIVERSAL MEANINGS, HUMAN RIGHTS. MA-RI. Mengenai unsur-unsur pidana dalam pelanggaran HAM dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dilihat dalam Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Tanggungjawab Komando. Jakarta, 2006.

Widjojo, Muridan S. (editor). Papua Roadmap. Jakarta: Obor, 2009.

Adisubrata, Winarna. Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia. Semarang : Aneka Ilmu, 2007.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Peraturanan Daerah.

Fauzi, Moh.Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia pada Era Otonomi Daerah (Studi atas Otonomi Hukum di Provinsi Aceh). Sosial dan Budaya Keislaman. Vol. 24 No. 1, Juni 2016.

Triana, Nita. Pendekatan Ekoregion Dalam Sistem Hukum Pengelolaan Sumber Daya Air Sungai Di Era Otonomi Daerah.pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014.

Ardika, Gede Tusan. Konsep Dasar Otonomi Daerah Dalam Era Reformasi. GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1, 2011.

Suharjono, Muhammad. Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung Otonomi Daerah. Ilmu Hukum. Vol. 10, Nomer. 19, Pebruari 2014. Manan, Bagir. Menyongsong Fajar OtonomiDaerah.Pusat Studi Hukum U11. Yogyakarta ,2001.

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1. Jakarta: LP3ES, 1998. SKP Keuskupan Jayapura. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan

Hak Asasi Manusia.Gambaran 2000, SKP, 2001.

Gambar

Table 1.1 pekerja anak di Papua

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan Surat Persetujuan dan Penetapan Pemenang General Manager PT Jasa Marga (Persero) Tbk Cabang Cawang-Tangerang-Cengkareng nomor : CJ.PM.03.3686 tanggal 08

Berdasarkan Penetapan Pemilihan Langsung Nomor: 17 /PAN.APBD.KLP.II.A/PL/DPU.CK-P/2012, tanggal 16 Juli 2012 dan berita acara hasil Pemilihan Langsung Nomor:

a) 0 Non existent (tidak ada), merupakan posisi kematangan terendah yang merupakan suatu kondisi dimana organisasi merasa tidak membutuhkan adanya mekanisme proses

• Bagi daerah yang telah melaksanakan Pemilukada Tahun 2015, penyusunan rancangan awal RKPD Tahun 2017 berpedoman pada arah kebijakan dan sasaran pokok RPJPD, serta memperhatikan

Berikut ini adalah tampilan dari halaman kelompok dari sistem klasifikasi dokumen , pada halaman ini dapat dilihat data kelompok yang telah disimpan dalam database

The instilling of tolerance values through various activi- ties in this nature-based school looks more meaningful because children are conditioned in a concrete learning

Istilah informed consent menurut KKI 5 adalah Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang mempunyai arti persetujuan pasien atau yang sah

Masukkan Pin Mandiri sesuai dengan (Metode APPLI 1) pada token mandiri anda.. “ela jut ya Klik