• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kortikosteroid Intranasal (Fluticasone Furoate) Terhadap Ekspresi Matriks Metalloproteinase-9 Pada Polip Hidung Di RSUPH Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kortikosteroid Intranasal (Fluticasone Furoate) Terhadap Ekspresi Matriks Metalloproteinase-9 Pada Polip Hidung Di RSUPH Adam Malik Medan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polip Hidung

2.1.1 Definisi

Polip hidung adalah penyakit peradangan kronis dari mukosa sinonasal

ditandai dengan edema, jaringan fibrosa, vaskularisasi, sel-sel inflamasi

dan sel-sel kelenjar dengan infiltrasi sel inflamasi, remodeling jaringan

yang mencakup akumulasi dan fibrosis matriks ekstraselular (Lee et al

2003; Kahveci et al 2008).

2.1.2 Epidemiologi

Tingkat prevalensi polip hidung adalah sekitar 2% pada seluruh

populasi. Meningkat dengan bertambahnya usia, mencapai puncaknya

pada usia 50 tahun keatas. Perbandingan laki-laki : perempuan sekitar

2:1. Polip hidung kejadiannya tinggi pada kelompok pasien yang memiliki

penyakit saluran napas yang spesifik. Tingkat kekambuhan polip

tergantung pada jenis penyakit (Mygind & Lund 2008).

Prevalensi polip hidung di Amerika Serikat dan Eropa sekitar 2,1-4,3%

(Storms,Yawn & Fromer 2007). Di Finlandia, prevalensi polip hidung

sekitar 4,3% (Bachert, Watelet, Gevaert & Cauwenberge 2005).

Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih

dominan 2,2:1. Dari seluruh orang dewasa di Thailand sekitar 1-4%

(Akerlund, Melen, Holmberg & Bende 2003). Di Indonesia, Sardjono

Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip hidung sebesar

4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS. Dr. Soetomo

Surabaya. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai

Februari 2005 kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria

(65%) dan 9 wanita (35%) (Munir 2008). Selama periode Januari sampai

Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang yang

terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 wanita (48,8%) (Dewi, 2011). Sembiring

(2)

(2014) melaporkan, didapatkan 29 orang penderita polip hidung yang

belum mendapat intervensi apapun, terdiri dari 19 pria dan 10 wanita.

2.1.3 Histopatologi

Secara histologi, polip terdiri dari stroma fibromyxomatous yang ditutupi

oleh epitel pernapasan khas dengan metaplasia sel skuamosa jinak.

Ujung saraf sangat sedikit pada epitel dan kelenjar submukosa, dan terjadi

penebalan membran basal. Dibandingkan dengan mukosa dinding lateral

hidung yang berdekatan, dijumpai eosinofil dan sel mast yang banyak

pada polip inflamasi (Schlosser & Woodworth 2009).

Polip hidung dengan massa seperti anggur terdiri dari epitel respiratori

dengan variasi penebalan membran basal, terbungkus, dan dilapisi

stroma yang membedakannya dari submukosa sinus normal. Stroma yang

melapisi polip hidung terbagi pada 3 subtipe : (a) edematous, eosinofilik,

(b) fibroinflamasi, dan (c) glandular. Dari semua subtipe diatas polip

edematous eosinofilik merupakan yang paling sering, sekitar 85%

spesiment polip (Ryan 2014).

Menurut Hellquist terdapat 4 tipe histopatologi polip hidung, yaitu

Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands, dan Polyp with Stromal Atypia.

Inflamasi infiltrat seluler pada polip hidung terdiri dari eosinofil,

limfosit, sel plasma, dan sel mast yang serupa dengan yang diamati pada

mukosa bronkus penderita asma, menunjukkan bahwa mekanisme

inflamasi dari dua penyakit tersebut mirip (Lee et al 2003).

2.1.4 Patogenesis polip hidung

Mekanisme dibalik pembentukan polip merupakan multifaktorial. Bukti

terbaru menunjukkan peran penting sitokin proinflamasi, kemokin, dan

faktor chemotactic dalam patogenesis inflamasi polip, bersamaan dengan berbagai faktor lingkungan, faktor genetik, dan faktor biokimia (Schlosser

(3)

Polip hidung dianggap sebagai subkelompok rinosinusitis kronis.

Mukosa sinus pada polip hidung ditandai dengan edema stroma, infiltrasi

sel-sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma, perubahan epitel

di atasnya dan dalam beberapa kasus, terjadi hiperplasia kelenjar

submukosa seromucous. Faktor-faktor yang mengarah pada aspek

morfologi polip hidung, seperti infiltrasi dengan sel-sel inflamasi,

perubahan epitel pernapasan dan komponen ekstraseluler, masih belum

bisa dipastikan. Peningkatan beberapa sitokin dan kemokin telah

terdeteksi dalam sinusitis kronis dan polip hidung. Sampai saat ini

hubungan antara sitokin tinggi dan tingkat kemokin serta perkembangan

edema dan perubahan dari matriks ekstraseluler masih dalam perdebatan.

Kemungkinan faktor permeabilitas pembuluh darah merupakan faktor

pertumbuhan endotel vaskular yang disekresikan oleh sel-sel mast dan

deposisi mediator beracun, seperti protein kationik eosinofil dan protein

dasar utama, oleh degranulasi eosinofil aktif yang merusak epitel.

Proses pembentukan polip hidung dipengaruhi oleh beberapa hal,

diantaranya :

Tempat terbentuknya polip

Epitel permukaan yang dipengaruhi oleh tipe epitel, defek pada

epitel, dan adanya proses inflamasi

Inervasi saraf

Sel sel goblet

Kelenjar submukosa

Pembuluh darah, exudasi plasma dan edema

Inflamasi, polip hidung merupakan bentuk akhir dari inflamasi pada

saluran nafas atas (Mygind & Lund 2008).

2.1.5 Inflamasi pada polip hidung

Munculnya polip hidung merupakan manifestasi klinis dari proses

inflamasi yang ditandai dengan adanya edema stroma dan adanya infiltrat

(4)

Menurut Bernstein polip hidung terbentuk melalui 4 stadium :

Fase I : Iritasi mukosa

Terdapat semakin banyak bukti yang menunjukkan epitel saluran nafas

sebagai penghalang fisik untuk mencegah masuknya partikel berbahaya

ke submukosa, epitel tersebut berperan penting sebagai "metabolik aktif"

penghalang fisik-kimia. Setelah iritasi oleh rangsangan berbahaya,

kemungkinan terjadi peningkatan jumlah:

1. Inflamatori eicosanoids, yang berfungsi sebagai aktivator sel dan

chemoattractants.

2. Proinflammatory cytokines, memiliki efek yang besar pada pertumbuhan, differensiasi, migrasi, dan aktivasi sel sel inflamatori

3. Molekul adhesi sel spesifik, yang berperan penting pada pengambilan

sel sel inflamasi.

4. Major histocompatibility complex (MHC) class II antigens, yang berperan penting terhadap presentasi antigen dan aktivasi sel T.

Stimulasi sel epitel oleh berbagai agen dapat menyebabkan degenerasi

sitokin yang berbeda dan aktivasi inflamasi sel tertentu. Perkembangan

awal dari polip hidung di dinding lateral hidung kemungkinan merupakan

hasil dari stimulasi epitel oleh perubahan aerodinamis; sehingga terjadi

iritasi metabolik atau secara fisik mengubah dan merusak epitel

permukaan.

Fase II : Tumour necrosis factor-α (TNF−α) dan interleukin-1β (IL−1β).

Dua sitokin tersebut sering ditemukan meningkat pada epitel mukosa

hidung saat terjadinya iritasi. Sitokin tersebut menyebabkan peningkatan

regulasi ekspresi dari molekul adhesi endotel yang terdapat pada reaksi

inflamatori, terutama endothelial adhesion molecule (ICAM-1) dan

vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1).

Fase III : Eosinofil

Potensi terjadinya kerusakan pada epitel berhubungan dengan mediator

(5)

cationic protein diketahui menstimulasi sekresi mukus saluran nafas,

sedangkan MBP eosinofil menghambat sekresi mukus saluran nafas.

Fase IV : Disregulasi transport cairan dan elektrolit. Sodium channels and cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR) alteration.

Terdapat cairan ekstraseluler dalam jumlah yang banyak pada polip

diduga akibat disregulasi dari transport cairan dan elektrolit. Hal ini dapat

diketahui karena adanya beberapa mediator inflamasi. Pada umumnya,

histamin diketahui dapat meningkatkan permebilitas vaskular. Vascular

endothelial growth factor adalah mediator yang kuat baik pada

angiogenesis maupun permeabilitas vaskular. Protein tersebut meningkat

pada polip hidung dibandingkan dengan mukosa hidung.

Epithelial alterations in nasal polyps

Bersamaan dengan inflamasi, edema ekstraselular dan terdapatnya

mediator inflamasi, perubahan morfologi seperti hiperplasia sekretori dan

metaplasia squamosa sering ditemukan pada permukaan polip hidung.

Temuan ini diduga merupakan modifikasi dari diferensiasi dan proliferasi

(6)

Tabel 2. 1. Components of Nasal Polyps.

Albumin and others plasma protein Histamine

IL-1β, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8

Interferon-Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor

RANTES

Basic fibroblast growth factor EOTAXIN

Vascular endothelial growth factor p-selectin

Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor

e-selectin

Transforming growth factor α-1 and -1 MMP-7, MMP-9

Keratinocyte derived growth factor CD 4+, CD 8+

Intercellular adhesion molecule-1 Macrofag

Vascular cell adhesion molecule-1 Mast cell

Tumor necrosis factor α

Sumber: Bachert,Watelet,Gevaert,Cauwenberge (2005); Shun et al

(7)

2.1.6 Matriks metalloproteinase

Matriks metalloproteinase (MMPs) adalah famili dari zinc dan calcium- dependent endopeptidases yang memainkan peran kunci terhadap degradasi matriks ekstraselular (ECM). MMPs mampu menghancurkan

semua konstituen matriks ekstra seluler termasuk kolagen, elastin,

proteoglican, laminin dan fibrocintin. Matriks metalloproteinase dan

Tissue Inhibitor Metalloproteinase (TIMPs) diproduksi oleh berbagai sel stroma, makrofag, netrofil, monosit, limfosit, granulosit, platelet darah,

fibroblast, keratinosit, myosit, neuron, astosit, sel endotelial dan hepatosit

serta sel sel neoplastik. MMPs penting dalam proses remodeling normal.

Aktivasi dan overekspresi MMPs atau ketidakseimbangan MMPs dan

Tissue Inhibitor Metalloproteinase (TIMPs), berkaitan dengan sejumlah penyakit tertentu yang terkait dengan kerusakan dan remodelling matriks

ekstraseluler, seperti rheumatoid arthritis, penyakit periodontal, invasi

tumor dan metastasis, dan proses pada pembuluh darah seperti

aterosklerosis, angiogenesis dan aneurisma (De, Fenton & Jones 2005;

Kuzminsky, Przybyszewski, Graczyk & Bartuzi 2012).

Gambar 2. 1 Struktur MMPs

Terdapat sekitar 26 MMPs, yang dikelompokkan menurut spesifisitas

substratnya. Struktur MMP secara garis besar terdiri dari : 1) sinyal

peptida yang mengarahkan MMP untuk mensekresi atau jalur insersi

membran plasma; 2) prodomain; 3) katalitik domain berikatan dan domain

(8)

Secara kolektif, semua famili MMP dapat mendegradasi semua

komponen matriks ekstraseluler dan membran basalis epitel. MMPs dan

TIMPs berperan terhadap perkembangan otitis media akut dan kronis, poliposis hidung dan penyakit Sjogren kelenjar ludah (De, Fenton & Jones

2005).

Metalloproteinases dibagi menjadi :

1. Matrilysins (endometalloproteinases)

Grup ini termasuk MMP-1 dan MMP-7. MMP-1 dan MMP-7 dicirikan

dengan kurangnya domain hemopeksin. Substrat dari MMP-1 dan MMP- 7

berupa makromolekul ECM, serta molekul yang diekspresikan pada

permukaan seluler seperti Fas-ligan, pro-TNF, dan E-cadherin. Akibatnya,

mereka dapat berpartisipasi dalam apoptosis sel.

2. Collagenases (MMP-1, MMP-8, MMP-13)

Molekul molekul ini terdiri dari domain hemopexin yang berhubungan dengan domain katalitik melalui regio hinge. Substrat dari enzim enzim ini termasuk kolagen tipe I, II, III, V, dan IX.

3. Stromelysins

Grup ini termasuk 2 enzim : MMP-3 dan MMP-10. Mereka memainkan

peran yang sama tetapi berbeda dalam aktivitas proteolitik. Fungsi

utamanya termasuk hidrolisis komponen ECM dan aktivasi bentuk MMPs

yang tidak aktif.

4. Gelatinases (MMP-2 dan MMP-9)

Mereka ditandai dengan afinitas yang tinggi terhadap kolagen dan

gelatin. Disamping itu, MMP-2 menghidrolisis peptide bonds pada kolagen tipe I, II, dan III. Diantara semua MMPs, mereka memainkan peran yang

paling signifikan dalam reaksi alergi.

5. Membran MMPs, terbagi kedalam dua grup :

– tipe membrane proteins. Grup ini termasuk MMP-14, MMP-15, MMP-16, dan MMP-24;

(9)

Matriks Metalloproteinase berperan pada beberapa proses patologi yang

kompleks, antara lain :

Destruksi jaringan, misalnya pada invasi dan metastasis kanker,

reumatoid artritis, osteoartritis, ulkus dekubitus, ulser gastrikus,

ulserasi kornea, penyakit periodontal, kerusakan otak dan penyakit

neuroinflamasi.

Fibrosis, misalnya pada sirosis hepatis, fibrosis paru, otosklerosis,

aterosklerosis, dan multipel sklerosis.

Kelemahan matriks, misalnya pada kardiomiopati dilatasi,

epidermolisis bulosa, aneurisma aorta, dan restenotic lesions

(Amalinei et al 2010).

2.1.7 Peranan MMP pada degradasi matriks ekstra seluler

Matrik ekstraseluler merupakan makromolekul komplek seperti

kolagen, polisakarida, dan glikoprotein. Matrik ekstraseluler berperan

dalam proses pertumbuhan dan migrasi sel, pemeliharaan bentuk sel dan

hubungan antar sel. Matrik disintesa oleh fibroblas dan sebagian besar

terdiri dari glikosaminoglikan, kolagen, fibronektin, dan laminin yang

berfungsi sebagai penunjang dan menjaga stabilitas jaringan. Pada

kondisi fisiologis, matrik ekstraseluler diperbaharui secara terus menerus.

Keseimbangan dinamis antara formasi dan degradasi molekul matrik

ekstraseluler memungkinkan perkembangan, remodeling, dan perbaikan

jaringan secara normal. MMP-9 dapat mendegradasi hampir semua

komponen matriks ekstraseluler. Matriks ekstraseluler terdiri dari membran

basal dan matriks interstisial dan merupakan struktur yang kompleks yang

mengelilingi dan mendukung sel-sel mukosa, dan memainkan peran

penting dalam perubahan fisiologis sel-sel ini. Keseimbangan antara

sintesis dan penghancuran matriks ekstraseluler penting bagi

homeostasis. Onset dan remodeling matriks ekstraseluler harus

dikendalikan. Proteolisis tidak terkendali dan kehancuran komponen ini

merupakan bagian dari proses patologis. MMPs adalah kelompok enzim

(10)

Pada reaksi inflamasi, termasuk inflamasi alergi, struktur yang ketat

dari matrik ekstraseluler menjadi longgar karena aktifitas enzim spesifik

jaringan seperti matrik metalloproteinases. Akibatnya, berbagai sel dapat

menyusup ke tempat peradangan yang sedang berlangsung, sehingga

memungkinkan pemeliharaan dan modifikasi. Meskipun degradasi pasif

protein matrik ekstraseluler dan fasilitas perpindahan sel mewakili fungsi

utama dari MMPs, molekul molekul ini juga dapat merupakan modulator

aktif reaksi inflamasi, melepaskan faktor pertumbuhan, sitokin, dan

reseptor mereka antar ruangan. Selain itu, MMPs dapat terlibat langsung

dalam pembentukan reseptor baru pada permukaan sel, serta seperti

dalam proses imunologi melalui interaksi langsung dengan molekul yang

berada pada membran sel. Pada kondisi fisiologis, MMPs mengontrol dan

mengatur proses perkembangan seperti angiogenesis, embriogenesis,

dan remodeling jaringan. Selain itu, MMPs mempertahankan homeostasis

tubuh dan memainkan peran penting dalam proses penyembuhan

(Kuźmiński, Przybyszewski, Graczyk & Bartuzi 2012).

Beberapa MMPs diketahui berperan dalam degradasi matriks

ekstraseluler dan aktivasi cytokines. MMP - 9 ( 92 - kDa kolagenase IV )

disekresikan dari berbagai sel termasuk fibroblas, limfosit, sel-sel endotel,

neutrofil, dan makrofag. Ekspresi MMPs diatur di berbagai tingkatan;

seperti transkripsi gen, aktivasi proenzim, dan interaksi dengan inhibitor

jaringan dari metaloproteinase. Matrix metalloproteinases (MMPs)

diketahui memainkan peranan penting dalam invasi terhadap mukosa

hidung dengan sel sel inflamasi melalui degradasi matrik ekstraseluler

(Erbek & Erkan 2008; Bugdayci, Kaymakci & Bukan 2008).

2.1.8 Matriks Metalloproteinase-9 pada polip hidung

Dari keseluruhan jenis MMP yang pernah ditemukan sampai sekarang

ini, jenis gelatinase MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim utama untuk

mendegradasi kolagen type IV, V, VII, X, XI dan XIV, gelatin, elastin,

proteoglycan core protein, myelin basic protein, fibronektin, dan fibrilin -1

(11)

komponen utama yang membentuk struktur molekul stroma (Amalinei,

Caruntu & Balan 2007; Chen, Langhammer, Westhofen & Lorenzen

2007).

Pada polip hidung, perubahan jaringan yang mencakup akumulasi dan

fibrosis matriks ekstraselular (ECM). Inflamasi infiltrat seluler pada polip

hidung telah terbukti terdiri dari eosinofil, limfosit, sel plasma, dan sel mast

ke tingkat yang mirip dengan yang diamati pada mukosa bronkus

penderita asma. Matriks metalloproteinase (MMPs) tampaknya

bertanggung jawab untuk edema dan transmigrasi sel, dan perubahan

matriks ekstra seluler dalam saluran nafas penderita asma. Aktivasi

MMPs dihambat oleh inhibitor dari metalloproteinase (TIMPs) yang

membentuk kompleks 1:1 dengan MMP. Kehilangan koordinasi antara

MMPs dan TIMPs diyakini menghasilkan degradasi jaringan. Eosinofil

merupakan sumber utama MMPs; MMP-9 meningkat dengan akumulasi

eosinofil pada saluran nafas pasien asma (Lee et al 2003).

Kebanyakan polip hidung, pada lamina propria tampak eosinofil dan

limfosit dengan jumlah yang banyak. Inflamasi menyebabkan polip hidung

dimediasi oleh neuropeptida, sitokin, dan growth faktor yang dihasilkan

oleh sel sel tersebut. Gambaran umum berupa proses patologis yang

berbeda, edema dan peningkatan sel-sel inflamasi di submukosa.

Beberapa MMPs diketahui berperan dalam degradasi matrik ekstraselular

dan aktivasi sitokin. MMP-9 (92-kDa kolagenase IV) disekresikan dari

berbagai sel termasuk fibroblas, limfosit, sel endotel, neutrofil, dan

makrofag. Secara khusus kolagen tipe IV memotong komponen struktural

utama dari membran basal. MMP-9 memainkan peran penting dalam berbagai penyakit Otolaryngologi (De, Fenton & Jones 2005 ; Kahveci et

al 2008).

Pada polip hidung, MMP-9 dapat meningkatkan permeabilitas vaskular

dengan degradasi berbagai komponen lamina basal sehingga

menyebabkan edema saluran pernafasan dan perpindahan sel sel radang.

(12)

endotelial yang terjadi selama pertumbuhan polip (Bugdayci, Kaymakci &

Bukan 2008).

2.1.9 Diagnosis

Penderita polip hidung akan mengeluhkan hidung tersumbat dari yang

ringan sampai berat, tergantung ukuran polip. Adanya polip hidung juga

akan mempengaruhi resonansi suara. Penderita juga akan mengeluhkan

rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips. Terdapat keluhan hiposmia atau anosmia, rasa nyeri pada hidung disertai sakit

kepala (Lund 1995). Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior

didapatkan massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius

dan mudah digerakkan. Adanya fasilitas naso-endoskopi akan sangat

membantu diagnosis kasus polip yang baru. Pemeriksaan CT scan

diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi

medikamentosa, jika ada komplikasi sinusitis dan pada perencanaan

tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Mangunkusumo & Wardhani

2007).

2.1.10 Stadium polip

Tabel 2. 2 Stadium polip menurut Mackay and Lund, 1995.

Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip terbatas pada meatus media 1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum

memenuhi rongga hidung

2

Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3

Sumber: Assanasen and Naclerio (2001).

Untuk menilai polip hidung peneliti menggunakan naso-endoskopi dan

menentukan stadium berdasarkan stadium polip menurut Mackay & Lund

(13)

2.1.11 Penatalaksanaan polip hidung

Tujuan terapi pada polip hidung adalah untuk menyingkirkan polip

ataupun mengurangi ukuran polip, membuka jalan nafas, meningkatkan

dan memperbaiki sensasi penciuman, mengurangi rekurensi setelah

operasi, serta untuk meningkatkan kualitas hidup. Penatalaksanaan polip

hidung berfokus pada pendekatan dengan obat obatan, dengan pilihan

utamanya berupa kortikosteroid oral dan intranasal, pembedahan

dilakukan pada pasien yang tidak berespon terhadap obat obatan

(Bachert 2011).

Kortikosteroid dapat menekan fase fase pada proses inflamasi. Hal

inilah yang menjelaskan bagaimana kortikosteroid mempunyai efek yang

sangat kuat terhadap inflamasi. Kortikosteroid menghambat pelepasan

mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan

dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi amplifikasi reaksi

inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga

menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matrix protein ekstraselular.

Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi

(14)

Gambar 2. 2 Algoritma penatalaksanaan polip hidung & sinus paranasal.

2.2 Kortikosteroid

Efek yang bervariasi dari kortikosteroid sebagai anti inflamasi pada

polip hidung berfungsi untuk mengurangi infiltrasi dan aktivasi eosinofil

serta mengurangi sekresi dari sitokin kemotaktik oleh mukosa dan sel sel

epitel polip. Penelitian histologi mengemukakan terjadi penurunan protein

kationik eosinofil dan konsentrasi albumin secara signifikan seperti reduksi

kadar eotaxin dan fibronektin, pada jaringan homogenasi dari pasien polip

(15)

mempertimbangkan inflamasi yang didominasi oleh eosinofil. Pada

patofisiologi polip hidung dan efek inhibisi dari kortikosteroid pada

inflamasi tersebut, kortikosteroid menjadi terapi andalan pada polip hidung

(Bachert 2011).

2.2.1 Kortikosteroid topikal dan sistemik

Polip hidung merupakan peradangan eosinofilik dengan perubahan jaringan berturut-turut, kortikosteroid topikal dan sistemik merupakan

pilihan pertama untuk pengobatan. Penggunaan kortikosteroid sistemik

mempengaruhi semua jaringan polip dalam hidung dan sinus paranasal,

tetapi mempunyai efek samping sistemik, bila digunakan dalam jangka

waktu lama. Penggunaan kortikosteroid topikal efek samping lebih

minimal. Tapi tidak berdampak terhadap polip dalam sinus. Kortikosteroid

lipofilik mudah masuk kedalam sitoplasma sel target sehingga mengikat

satu reseptor glukokortikoid. Kortikosteroid yang menghasilkan efek pada

sel-sel inflamasi dengan meningkatkan atau sebagai inhibisi. Transkripsi

gen melalui proses yang dikenal sebagai transaktivasi dan transrekspresi,

masing-masing transaktivasi dimediasi oleh pengikatan reseptor hormon

glukokortikoid -diaktifkan DNA Urutan disebut elemen glukokortikoid

dengan respon kortikosteroid dapat menekan banyak tahapan (Badia &

Lund 2001).

2.2.2 Kortikosteroid intranasal

Beberapa penelitian menyebutkan kortikosteroid intranasal merupakan

pengobatan terbaik untuk polip hidung. Namun, kortikosteroid intranasal

saja tidak menyelesaikan semua masalah pasien yang menderita polip

hidung. Hal ini mungkin karena pada beberapa pasien yang tidak

responsif terhadap kortikosteroid seperti yang terjadi pada cystic fibrosis,

silia primer tardive dan penyakit lainnya yang ditandai dengan dominasi

infiltrasi neutrophil daripada eosinophil ( Badia & Lund 2001).

Kortikosteroid topikal mengurangi jumlah eosinofil total dalam jaringan

(16)

menekan produksi terhadap aktivasi regulasi. Penelitian terbaru

menunjukkan bahwa apoptosis (kematian sel) pada sel inflamasi adalah

faktor penting dalam resolusi peradangan, dan apoptosis diinduksi di

eosinofil dalam kultur sel dengan kortikosteroid ( Badia & Lund 2001).

Kortikosteroid intranasal merupakan terapi lini pertama untuk polip

hidung dan pengobatan setelah operasi, berdasarkan guideline EP3OS.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa kortikosteroid merupakan

terapi yang efektif untuk polip hidung (Anolik 2010). Tiga jenis

kortikosteroid yang telah diteliti dengan penelitian yang adekuat dan telah

dipublikasikan yaitu : Fluticasone , budesonide dan mometasone furoate.

Guideline EPOS merekomendasikan kortikosteroid intranasal sebagai

terapi lini pertama untuk penyakit sedang sampai berat. Kortikosteroid oral

jangka pendek direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada terapi

intranasal hanya pada pasien pasien dengan penyakit yang berat, dan

prosesnya harus dievaluasi oleh dokter spesialis setelah 1 bulan

mendapatkan terapi (Bachert 2011).

2.2.3 Fluticasone furoate

Fluticasone furoate adalah kortikosteroid fluorinated sintetik dengan efek anti inflamasi yang reaksinya meningkat dengan reseptor

glucocorticoid intraseluler. Fluticasone furoate memiliki afinitas reseptor

relatif lebih besar untuk reseptor glukokortikoid manusia daripada

kortikosteroid yang lain termasuk dexamethasone, mometasone furoate, fluticasone propionate, ciclesonide active principle, dan budesonide. Cara kerja fluticasone furoate pada rinitis alergi belum diketahui secara pasti tapi diperkirakan muncul dari satu atau lebih dari efek anti-inflamasi yang

luas yang terbagi dengan kortikosteroid lain, yang berkerja pada banyak

(17)

Fluticasone furoate semprot hidung merupakan suspensi cair

fluticasone furoate micronized yang disemprotkan ke mukosa hidung. Dialirkan pada sisi aktuasi dengan semprotan pendek untuk menjaga

aliran obat dan meminimalisasi variabilitas dosis. Aliran semprotan selalu

tetap jumlahnya, yang dibuat supaya mudah digunakan. Setiap aktuasi

semprotan mengalirkan 27.5 μg fluticasone furoate dalam 50 μL dari suspensi (0.015% w/w benzalkonium chloride, dextrose anhydrous, edetate disodium, microcrystalline cellulose, carboxymethylcellulose sodium, polysorbate 80, dan purified water). Fluticasone furoate mempunyai volume aplikasi terendah per spray dibandingkan beberapa

kortikosteroid cair lainnya termasuk budesonide, triamcinolone acetonide,

fluticasone propionate, and mometasone furoate (Anolik 2010).

Gambar 2. 3 Struktur kimia fluticasone furoate: (6α, 11β, 16α, 17α) -6,9-

difluoro-17-{[(fluoro-methyl)thio]carbonyl}-11-hydroxy-16-methyl-3-oxoandrosta-1,4-dien-17-yl 2-furancarboxylate.

Fluticasone furoat diberikan sekali sehari. Menurut informasi

peresepan di Amerika Serikat, pada mereka yang berusia 12 tahun atau

lebih, dosis awal direkomendasikan adalah 110 g sekali sehari diberikan

sebagai dua semprotan (27,5 g / semprot) di setiap lubang hidung. Pada

anak-anak berusia 2-11 tahun, dosis awal yang dianjurkan adalah 55 g

(18)

setiap lubang hidung, dengan pilihan untuk meningkatkan ke 110 g (dua

semprotan di setiap lubang hidung) sekali sehari dalam hal respon

memadai untuk 55 g sekali sehari. Fluticasone furoat semprot hidung

memiliki eksposur sistemik yang rendah (Anolik 2010).

Fluticasone furoat mengalami metabolisme pertama yang ekstensif

oleh enzim di hati CYP3A4. Paparan sistemik fluticasone furoat (AUC)

setelah inhalasi berulang meningkat hingga 3 kali lipat pada subyek

dengan gangguan hati ringan, sedang dan berat. Dosis yang diberikan

harus diperhatikan pada pasien dengan kerusakan hati karena akan lebih

berisiko.

Fluticasone furoat cepat dibersihkan (Total plasma clearens 58,7 L /

h) dari sirkulasi sistemik terutama metabolisme di hati melalui sitokrom

P450 CYP3A4 isozim. Pasien dengan gangguan fungsi hati dapat

mempengaruhi metabolisme kortikosteroid. Farmakokinetik fluticasone

furoat setelah pemberian intranasal pada subyek dengan gangguan hati

belum dievaluasi. Sebuah studi menyebutkan bahwa dosis tunggal 400

mcg per oral inhalasi fluticasone furoat pada pasien dengan gangguan

hati sedang (Child-Pugh Kelas B) menghasilkan peningkatan Cmax (42%)

dan AUC (0-4) (172%), mengakibatkan sekitar 20% pengurangan tingkat

kortisol serum pada pasien dengan gangguan hati dibandingkan dengan

subyek sehat. Subyek dengan gangguan hati ringan atau sedang dan

subyek kontrol yang sehat (n = 9) menerima flutikason furoat / vilanterol

200/25 mcg sekali sehari selama 7 hari. Sebagai tindakan pencegahan,

subyek dengan gangguan hati berat menerima dosis kombinasi yang lebih

rendah dari fluticasone furoat / vilanterol 100 / 12,5 mcg sekali sehari

selama 7 hari. Dengan dosis ulangan, ada peningkatan paparan sistemik

fluticason furoat (hingga peningkatan 3 kali lipat dalam AUC) pada subyek

dengan gangguan hati ringan, sedang, atau berat dibandingkan dengan

subyek sehat. Pada subyek dengan gangguan hati moderat, kortisol

serum rata-rata (0 ke 24 jam) berkurang sebesar 34% dibandingkan

(19)

2.4 Kerangka konsep

Keterangan gambar :

Kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk pengobatan.

Kortikosteroid menghasilkan efek pada sel-sel inflamasi dengan

meningkatkan atau menginhibisi pada transkripsi gen. Kortikosteroid

mengurangi imunoreaktivitas positif dan intensitas MMP-9 pada matriks

ekstraseluler, menghalangi sintesis kolagen, menghasilkan efek pada

sel-sel inflamasi dengan mengurangi inflamasi. Kortikosteroid topikal

mengurangi jumlah eosinofil total dalam jaringan polip. Kortikosteroid

dapat menghambat masuknya sel-sel ini dengan menekan produksi

terhadap aktivasi regulasi. Hal tersebut menyebabkan normalisasi

ekspresi MMP-9 sehingga inflamasi dan remodeling menurun dan polip

hidung jadi mengecil.

Mengurangi imunoreaktifitas positif & intensitas MMP-9 pada matriks ekstraseluler

Mengurangi jumlah eosinofil Mengurangi

Inflamasi

Polip hidung mengecil Inflamasi dan remodeling menurun Menghalangi sintesis

kolagen (menghalangi produksi dari

degranulasi matrik proteinase)

Fluticasone Furoate

Gambar

Gambar 2. 3  Struktur kimia fluticasone furoate: (6α, 11β, 16α, 17α)-6,9-difluoro-17-{[(fluoro-methyl)thio]carbonyl}-11-hydroxy-16-methyl-3-oxoandrosta-1,4-dien-17-yl 2-furancarboxylate

Referensi

Dokumen terkait

Metal Mineral Mining Business License Area (WIUP) and Coal.. Mining Business License Area (WIUP) that has

Universitas Sumatera Utara... Universitas

Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan hasil belajar berdasar ketuntasan yakni banyaknya siswa yang tuntas sebelum tindakan sebanyak 10 siswa (37,04% dari seluruh

Analisis Pengembangan Perkebunan Karet.. Metode dan

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis

Rancangan sistem yang diusulkan dalam studi ini masih menggunakan konsep programa linear obyektif tunggal khususnya pada perencanaan produksi agregat sehingga masih bisa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:(1)manakah yang memberikanprestasi belajar lebih baik antara siswa yang dikenakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan

Pada indikator pertama, ketiga, dan keempat tidak terlihat adanya perbedaan pada siswa FI1 dan FI2, yaitu dalam menginterpretasikan ide matematis dapat memahami masalah