• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752013009 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752013009 BAB III"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

34

BAB III

KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN KONFLIK AMBON

3.1 Suatu Catatan Historis: Dinamika perjumpaan Islam dan Kristen di Maluku dalam

perebutan kekuasaan:

Bagian ini akan difokuskan pada kajian sejarah masuk dan berkembangnya agama

Islam dan Kristen di Maluku yang telah berlangsung sejak abad 15 sampai sekarang. Dengan

rentang waktu yang cukup panjang itu, kedua agama telah memeberikan warna dalam kedua

aspek kehidupan masyarakat Di Maluku. Dampak perkembangan kedua agama tersebut di

Maluku merupakan fenomena sosial-kultural.

Persoalan sekitar kapan, dari mana oleh siapa, dan bagaimana Islam dan Kristen

disebarkan di Maluku, tampaknya akan tetap merupakan hal yang tak pernah habis untuk

dipermasalhkan. Kekurangan dan akurasi sumber, obyektifitas peneliti, serta perbedaan

pendapat tentang arti masuknya Islam dan Kristen, dan belum adanya rumusan historis yang

bisa dijadikan pegangan bersama, selalau malahirkan kontroversi sekitar masuknya Islam dan

Kristen di Maluku. Sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan berupa sumber tertulis

(dokumen). Lewat sumber tertulis ini, yang diharapkan adalah, hendak dipahami paling tidak

melihat hubungan Islam dan Kristen dalam realitas sosial, dua kelompok agama yang

berperan positif sebagai kekuatan perubahan di Maluku.

a. Masuknya Islam di Maluku

Suatu unsur penting dalam sejarah daerah Maluku adalah masuknya agama islam.

Mungkin sekali agama ini sudah dikenal sebelum abad ke-15. Tetapi yang jelas adalah,

bahwa dalam abad ke-15 berbagai pulau di Maluku telah mengenal agama ini sejak abad ke-9

pedagang-pedagang muslim telah datang ke Indonesia.1 Penyebaran agama Islam di

(2)

35

kepulauan Indonesia dirintis oleh para pedagang Arab.2 Dominasi pedagang-pedagang

muslim semakin tersa di bidang perdagangan dan politik. Sejalan dengan penanaman

kekuasaan, para pedagang muslim secara aktif pula menanamkan agama islam di

daerah-daerah yang dikuasai, terutama di kota-kota pelabuhan.

Sejak abad ke-14, agama islam telah dibawa ke Maluku Utara (Kerajaan Ternate,

Tidore, Jailolo, oleh pedagang Cina.3 Mala perkembangan kerajaan di Maluku utara ada

kaitannya dengan perluasan agama ini. Perluasan kekuasaan Ternate ke Ambon Lease

(Maluku Tengah), khususnya Hitu dengan sendirinya disertai oleh ekspansi agama islam

pula. Tetapi penyebaran agama Islam dari pulau jawa juga sangat kuat. Di Hitu dijumpai

banyak pedagang Jawa yang kemudian menetap dan bermukim di sana.4

Dalam abad ke-16 Huamoal di Seram Barat telah mengenal agama Islam dengan

kedatangan orang-orang dari Utara lebih bertambah banyak. Bukti kedatangan orang-orang

dari utara masih bisa diidentifikasikan sekarang, misalnya di Huamoal masih terdapat bekas

pemukiman orang Tarnate yang bernama Gamsunge Ternate: kampung baru). Beberapa nama

yang terdapat di Maluku Tengah, seperti Sangaji, Tomagola, Tuanani berasal dari Maluku

Utara. Di Huamoal yang merupakan wilayah Ternate, pernah terdapat pejabat yang mewakili

sultan Ternate yaitu Kimelaha dan Salahakan di Lesiela (Luhu Sekarang),5 demikian halnya

dengan pulau-pulau Manipa, Kelang, dan Boanoau. Selain itu Hitu di Pulau Ambon juga

mengenal agama Islam. Malah menurut suatu legenda, salah satu orang dari penguasa Hitu

pernah bertemu dengan sultan Tarnate di Gersik. Di sana mereka membuat suatu perjanjian

persaudaraan, sehingga Hitu juga dianggap bagian dari pengaruh Ternate. Kondisi ini yang

2 Rumphius, G.E, 1973. Ambonsche Historie, dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, PDIN-LIPI, Jakarta 3 Th. M. Jacobs, A Treatise on the Moluccas (c. 1544 Probably the preliminary version of Antonio

Kartodirdjo, et.al, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm 75

4 Sejarah Daerah Maluku (Jakaarta: Departemen P dan ; Proyek Penelitian Buku Bacaan Indonesia dan Daerah,

1978), hlm 57

5 M.G Ohorella, Hukum Adat mengenai Tanah dan Air di Puu Ambon, (Disertasi Doktor, Universitas

(3)

36 kemudian berdampak pada pulau Haruku dan Saparua yang merupakan bagian dari Maluku

Tengah juga telah mengenal agama Islam.

Pengislaman pulau Ambon dan sekitarnya secara sadar dan teratur, umumnya

dilaksanakan di bawah pengaruh dan perintah kesultanan Ternate dan Tidore yang

merupakan pusat kekuasaan politik dan perdagangan di masa itu mempunyai pengaruh atas

hampir seluruh gugusan pulau di Maluku Utara dan Maluku Tengah.6 Pusat islam pada waktu

itu adalah Hitu yang letaknya di Jasirah Leihtu bagian utara pulau Ambon yang menjadi basis

penyebaran agama Islam.7 Di Jazirah Leihitu terdapat suatu bentuk pemerintahan yang

dikepalai oleh Raja Hitu dan dilaksanakan oleh Empat Perdana Hitu.8

Ekspansi Islam dan proses islamisasi memperlihatkan, bahwa Islam baik sebagai

fenomena agama maupun politik. Sejak awal (akhir abad ke-13) telah memainkan peranan

dan merupakan bagian vital dalam formasi negara baru.9 Bila diperhatikan ekspansi dan

perluasan Islam di Indonesia dapat disimpulkan, bahwa basis yang paling awal adalah selat

Malaka. Dari sana muslim mengembangkan jaringan ke seluruh daerah Maluku. Menurut

Ann Kumar, pada abad ke-16 jaringan inipun masuk Maluku.10 Perluasan agama Islam ke

daerah Maluku itu sangat banyak berhubungan dengan perdagangan cengkeh yang dapat

dikategorikan sebagai kekayaan hasil alam Maluku pada masa itu.

Dalam tahun 1511 orang Portugis berhasil merebut pusat perdagangan Asia Tenggara

dan Malaka, namun pada akhir tahun yang sama, dari Malaka bangsa Portugis melakukann

pelayaran ke timur untuk mengunjungi kepulauan rempah-rempah yang termasyur di Maluku.

Di bawah pimpinan Antonio de’ Abreu kapal-kapal itu berlayar lewat Gersik di pantai utara

Jawa ke Banda. Pada saat perjalanan pulang bangsa Portugis ini mendarat di pantai Hitu dan

6 A.N Radjawane, op. Cit, hlm 71-72

7 Mengenal Maluku, (Departemen Penerangan RI:Penerbitan Khusus No. 107). Hlm 11

8 Empat Perdana: Yaitu Totohatu, Hatumesen, Nustapai dan Pati Tuhar, Lihat Sejarah Daerah Maluku. Op.cit,

hlm 39-44; band Sumarsono, et.al, op cit,hlm 59

9 Harry Aveling (ed), The Development of Indonesia Society. From the coming of Islam to the present Day

(Queensland : University of Queensland Prsess, 1979, hlm 2

(4)

37

mengadakan kontak dengan penduduk pulau Ambon.11 Orang hitu yang telah menganut

agama Islam menerima orang-orang Portugis dengan baik di negeri-negeri Hitu lama dan

diberi tempat tinggal di Pikapoli, di muara sungai Ela, letaknya lebih jauh ke Utara.

Orang-orang Hitu yang mengantar Orang-orang Portugis memerintahkan penduduk negeri-negeri Hatiwi

dan Tawiri yang saat itu masih menganut agama suku untuk menerima orang-orang asing itu.

Hubungan persahabatan antara orang Hitu yang beragama Islam dengan orang

Portugis itu berakhir tahun 1523.12 Perkembangan kekuasaan Portugis di wilayah ini dimulai

sejak awal abad ke-16 pula. Tetapi di Maluku Utara mereka berhasil dihalau oleh Sultan

Babula pada tahun 1575. Sejak itu pusa kekuasaan mereka di Ternate yang dibangun sejak

awal abad ke-16 dipindahkan ke Maluku Tengah. Karena berhadapan dengan Hitu yang

Islam dan memihak pada Ternate itu, mereka akhirnya berpindah ke Leitimur di pulau

Ambon juga. Di sinilah mereka mendirikan benteng sebagai pusat kekuasaan. Benteng ini

kemudian direbut oleh VOC dan diberi nama Victoria.

Orang-orang Portugis di Pikapoli harus meninggalkan tempat yang mereka diami di

pantai itu. Selanjutnya pemuka kampung Hukunalo yang tunduk kepada Hatiwe, mengantar

orang Portugis lewat daerah pegunungan ke bagian teluk dalam, dan tinggal di Poka tetapai

lebih dekat ke Hukunalo. Dengan Kondisi di atas, mengakibatkan kampung-kampung yang

masyarakatnya masih menganut agama suku, seperti Hatiwi, Tawiri dan Hukunalo selalu

berada dalam keadaan perang dengan orang Hitu yang beragama Islam, karena mereka

dianggap memihak Portugis. Keadaan Agama di Maluku dalam tahun-tahun pertama adanya

orang-orang Portugis di sana dapatlah dulukiskan sebagai berikut:

Pada saat Portugis melakukan kontak dengan penduduk Ambon, Tidore, Ternate

kepulauan-kepualan Hitu di Ambon dan beberapa tempat lain sudah beragama Islam.

11 Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1 Awall abad ke 14-abad 18 (Penerbit bagian dokumentasi penerangan

kantor wali gereja Indonesia, Percetakan Arnoldus ende Flores, 1974), hlm 57

(5)

38 Sementara penduduk di jazirah Leitimor di Ambon, Kepulauan Ulias, Buru, Seram dan

beberapa pulau lainya masih hidup dalam agama-agama suku.13

Kondisi ini memperlihatkan, bahwa tidak dapat dihindari perlawanan dan perang

penduduk pribumi (Hitu) dengan Portugis. Menurut Polman, perlwanan dan pertentangan

penduduk muslim mendapat dukungan dari jawa dan Tarnate,14 serta Portugis beraliansi

dengan penduduk Ambon (beragama Kristen). Dalam tahun 1538 ketika terjadi peperangan,

orang Islam dari Jawa dan Hitu mengalami kekalahan dibawah kekuatan Portugis. Dengan

kekalahan orang Islam dari Jawa dan Hitu, memperkokoh kepercayaan penduduk

negeri-negeri yang beragama suku di Hitu Timur dan Leitimur akan kekuasaan dan keunggulan

Portugis. Penduduk tiga negeri utama di teluk itu yaitu: Hatiwi, Amantelo dan Nusaniwe

malah meminta dengan mendesak supaya dipermandikan atau dibabtiskan. Permintaan

mereka dikabulkan, dan mereka dipermandikan oleh pastor Amanda.15

Kondisi-kondisi di atas memperlihatkan keterpisahan di antara masyarakat beragama,

misalnya di pulau Ambon pemeluk agama Islam terdapat di jazirah Leihitu sedangkan

pemeluk agama Kristen di jazirah Leitimor. Kondisi inipun berdampak pada kepulauan

Haruku. Di Haruku penduduk yang memeluk agama Islam terutama terdapat di utara di

sekitar Uli Hatuhaha, sedangkan di bagian Selatan terdapat penduduk yang memeluk agama

Kristen. Di pulau saparua juga demikian, di Utara sebagian besar memeluk agama Islam dan

di bagian Selatan agama Kristen. Pada masa itu terdapat perbedaan yang tajam antara kedua

agama ini. Dengan demkian peperangan yang tadinya terjadi antara penduduk Maluku yang

beragama Islam melawan Portugis, sekarang berdampak menjadi perang antara penduduk

Maluku sendiri yang telah menganut agama Islam dan Kristen.

13 Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1. Awal abad ke 14-abad 18, Ibid, hlm 59

14 Dukungan yang diberikan dari Jawa dan Tarnate kepada penduduk muslim Hitu memperlihatkan sebuah

fenomena bahwa Islam ternyata bukan hanya berbasis lokal tetapi juga melewati batas-batas wilayah Maluku

(6)

39

a. Masuknya Kristen di Maluku

Masuknya agama Kristen atau Kekristenan di kepulauan Maluku bersamaan dengan

masuknya bangsa-bangsa eropa ke daerah ini. proses penyebaran agama Kristen di Maluku

dapat dibagi kedalam dua tahapan yaitu oleh orang Portugis dan orang Belanda. Kehadiran

bangsa-bangsa Eropa di Maluku merupakan pertemuan yang membawa konsukuensi baru

pula, setelah beberapa saat sebelumnya masyarakat Maluku berkenalan dengan agama Islam

yang telah banyak mempengaruhi kehidupan orang-orang di Maluku terutama di jazirah

Leihitu pulau Ambon.

Kekristenan dimulai sejak kedatangan orang-orang Portugis (seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya penginjilan yang pertama kali dilakukan oleh pendiri-pendiri Portugis

adalah pada tahun 1523. Pada waktu itu Antoni de Brino, kepala orang Portugis di Tarnate,

yang membawa Francican ke Tarnate. Kehadiran orang-orang Eropa di Maluku tetap dan

bersamaan dengan adanya ketegangan politik dan usaha perebutan hegemoni dan supermasi

kekuasaan di daerah ini antara masyarakat Islam yang telah lebih dulu menguasai beberapa

daerah. Ditengah ketegangan politik itu, Portugis turut melibatkan diri. Hal ini

mengakibatkan pula pemberitaan injil dan pembentukan Gereja terlibat pula dalam

ketegangan-ketegangan itu. Ditahun 1534, Portugis berhasil menjadikan seorang Raja

Mindanao menjadi Kristen. Hal ini sangat penting karena sampai saat itu belum ada seorang

rajapun yang dapat dikristenkan di Maluku Utara.16

Kehadiran orang-orang Portugis itu sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan

perkembangan situasi yang terjadi di Eropa, terutama dibidang politik, ekonomi dan agama.

Penyebaran Kekristenan di Maluku dimulai sejak Armada Portugis yang dikirim oleh

Antonio Galvao, panglima Portugis di Tarnate, yang berhasil menghancurkan armada

kerajaan Islam dari Jawa di Perairan Ambon pada tahun 1538.

16 R. Z. Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga sejarah Fakultas Sastra UI,

(7)

40 Sesudah peristiwa itu, para penganut agama suku di pulau Ambon mengadakan

pendekatan terhadap orang-orang Portugis untuk meminta bantuan dalam rangka

menghadapai orang-orang Islam dari kerajaan Hitu.17 Dalam kenyataannya, penganut agama

suku tidak hanya meminta bantuan saja, tetapi juga bersedia menerima agama bangsa

Portugis yang ditawarkan oleh para missonaris kepada mereka.

Sejalan dengan hal itu maka diadakan baptisan pertama yang diadakan pada tahun

1538 terhadap raja keluarga Hatiwe dari situlah proses pembabtisan ini berkembang.

Selanjutnya sejak itu berdiri tiga negeri Kristen di pulau Ambon, masing-masing Hatiwe,

Amantelu dan Nusaniwe (semuanya dari kelompok Ulisiwa).18 Selanjutnya orang-orang baru

ini bagi penganut Islam sering diidentikan dengan orang-orang Portugis (orang asing). Pada

tahun-tahun awal sesudah pembabtisan sesudah pertama, pekembangan kekristenan pertama

cukup pesat. Negeri-negeri Kristen yang tadinya hanya tiga, kali ini telah menjadi tujuh.

Dengan demikian empat negeri Kristen yang baru adalah Amahusu, Eri, Silale dan Namalatu.

Perkembangan kekristenan terasa lebih menonjol lagi sejak Faransiskus Xaverius tiba di

Ambon. Kalau pada saat Xaverius tiba di Ambon terdapat hanya tujuh negeri Kristen, seperti

yang telah dijelaskan di atas, maka pada tahun 1560-an, jumlah ini telah meningkat menjadi

puluhan yang tersebar di Ambon, Lease, Seram dan Buru.19

Perkembanagan Kekristenan di atas memperlihatkan, bahwa Ambon dijadikan pusat

kegiatan penyebaran agama Kristen di samping pusat kegiatan penyebaran agama Kristen dan

juga kegiatan politik dan perdagangan ekonomi. Dalam tahun 1599 kontak pertama Ambon

dengan Belanda dibawah pimpinan Warwijk dan Van Hermaskerk, yang mendarat dengan

kapal di Hitu dan diterima oleh Raja di Hitu. Raja Hitu melihat kedatangan Belanda ini

17 Sebelum kehadiran orang-orang Portugis, hubungan di antara penganut agama suku dan penganut agama

Isalam senantiasa diwarnai oleh pertikaian. Lihat J. Keuning, op cit, hlm 17

18 C. Wessel, S.J, De Geschiedenis der R.K Missie Franciscus Xaverius toot haar Vernietinging dcor de O.L

Compagnie 1546-1605 (Niijmegen-utrecht, N.V. Dekker and Van de Vegt en J.W. Van Lecuwen, 1926) hlm 6

(8)

41

sebagai kesempataan untuk membantu masyarakat Hitu menentang Portugis.20 Sebaliknya

bagi belanda diterimanya Belanda oleh Raja Hitu, merupakan kesmpatan untuk melakukan

eksplorasi atau pengambilan rempah-rempah (cengkeh) di Maluku. Kondisi ini

memperlihatkan telah terjadinya kerjasama dalam perang melawan portugis. Tahun 1600

berakhirnya kekuasan atau hegemoni Portugis dan diganti dengan Belanda.21

Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1602 pedagang-pedagang Belanda

mendirikan kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagme (VOC) di

Batavia lalu kemudian masuk ke Maluku. Tujuan Kongsi dagang ini adalah melakukan

monpoli perdagangan pada daerah Maluku. Sebagai perkumpulan perdagangan yang

didirikan pada tahun 1602, memang tidak memiliki politik Islam, tetapi hanya berusaha untuk

mencapai keuntungaan. Usaha monopoli ini dijalankan tidak saja dengan

perundingan-perundingan dagang, tetapi juga dengan perang. Mereka harus melawan orang-orang Portugis

yang telah lama ada di Maluku.

Dalam dinamika pergerakan VOC, Belanda menekan dengan kekerasan terhadap

kehidupan ekonomi dan politik masyarakat Ambon. 22 Penekanan terhadap kebebasan

penduduk merupakan suatu tindakan radikal, dan menunjukkan sebuah kekuatan atau

hegemoni Belanda dalam masyarakat Ambon baik Islam maupun Kristen. Ekspedisi Hongi

-Tochten,23 merupakan sebuah kenyataan sejarah yang pahit dialami oleh kedua kelompok

agama masyarakat Maluku. Menurut laporan Valentjin biasanya dalam suatu perjalanan

Hongi, Islam dan Kristen dibuat secara terpisah. Artinya, susunan armada kora-kora diatur

sedemikian rupa sehingga yang beragama Islam selalu diapit oleh kora-kora Kristen. Sikap

20 Katrien Polman, op cit, hlm 12

21 Untuk mengetahui tentaang dinamika dari aliansi yang dilakukan antara Hitu dan Belanda, serta muncul

friksi diantara mereka: lihat Richard Chauvel, Nasionalists, Solidiers and Separatists ; The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950 (KITLV Press Leiden, 1990) dan Dieter Bartels; A Struggle for Ethnic. Hlm 38

22 Untuk menegetahui lebih jauh tentang pergerakan dan perkembangan kegiatan yang dilakukan oleh Belanda

di Maluku Tengah, lihat sejarah daerah Maluku, Op cit, hlm 72-80

23 Istilah ini terdiri dari dua kata yaitu Hongi artinya Armada dan tochten artinya pelayaran, dengan demikian

(9)

42 Belanda seperti inilah yang membuat jarak dan memunculkan sikap permusuhan di antara

kedua kelompok agama ini.

Dari perjalanan Hongi itu dapat dikemukakan beberapa tindakan yang merupakan

kebijakan pihak Belanda untuk mengatur dan menguasai politik perdagangan, yaitu: (a)

penebangan dan pemusnahan pohon-pohon cengkeh, serta masyarakat biasa setempat

dikerahkan juga untuk berperang. (b) pemaksaan pihak Belanda bagi rakyat untuk

menyerahkan tenaga-tenaga wajib dan sejumlah kora-kora bagi setiap negeri. Selain

kebijakan dalam bidang politik perdagangan di atas, juga adanya tindakan Belanda dalam

proses pelumpuhan sistem dan struktur kehidupan masyrakat Ambon, yaitu: (a) sistem

pemerintahan dihapuskan, bahkan jabatan Kapitan Hitu dan para perdananya dihapuskan: (b)

dihapuskannya kesatuan-kesatuan adat Aman yang kemudian dikenal dengan Negeri.24 (c)

dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda menurunkan

penduduk dari pegunungan (pemukiman negeri lama) ke pesisir pantai,sehingga

komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti dengan nama Negeri, yang

diciptakan oleh pemerintah kolonial.25 Perpindahan ini dengan sendirinya mengakibatkan

sistem Uli mengalami perubahan sosio-historis negeri-negeri ini mengelompok dalam

komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok yang berbasis agama.

Kebijakan-kebijakan Belanda ini terkait dengan pelayaran “Hongi” yang dilakukan.

Artinya pengawasan dapat dilakuakan oleh Belanda secara langsung dan mudah terkontrol.

Hal ini menunjukan bahwa ada proses pengambilalihan kekuasaan dari pemimpin-pemeimpin

kesatuan adat kepada Belanda. Kondisi ini membawa dampak bagi sikap dan mentalitas

24 Negeri merupakan suatu inovasi yang dihasilkan oleh VOC dalam abad ke-17, negeri-negeri itu tercipta

ketika terjadi peperangan untuk menguasai perdagangan cengkeh antara VOC dan Tarnate di Maluku Tengah. Lihat R. Z Leirissa, Maluku Tengah abad ke sembilanbelas (Prisma No 8, Agustus 1980 thn IX). Hlm 69

25 R.Z Leirissa, J. Pattikaihatu, M Soenjata Kartadarmadja, (ed). Sejaraah Sosial di Daerah Maluku

(10)

43 bahkan ikatan-ikatan genologis dari masyarakat Ambon yang semuanya mengarah pada

permusuhan.

Sebagai akibat dari keterlibatan orang-orang Eropa, maka timbullah

pertentangan-pertentangan dan ketegangan yang terus berlangsung antar-masyarakat di Maluku. Dinamika

pertentangan terus digerakkan dan dimainkan oleh Belanda dalam proses menimbulkan

kebencian yang tajam antara Islam dan Kristen yang akan berdampak pada hubungan

keagamaan di Maluku.

3.2Pengistimewaan Pemerintah Kolonial Belanda Terhadap Penduduk Kristen di masa

lalu:

Meskipun dimensi agama sangat menonjol, konflik Maluku merupakan konflik yang

sangat kompleks, di mana berbagai faktor saling berinteraksi dan punya porsi masing-masing

dalam mengobarkan konflik. Periode ini merupakan awal dari peresmian benih-benih

permusuhan dan kekerasan antara penganut islam dan Kristen di Maluku. Jika kekuatan

Portugis akhirnya kalah dan terusir melalui perjuangan gigih Sultan Babulla pada tahun 1570

tidak demikian dengan Belanda yang datang ke Maluku pada akhir abad XVI. Setelah

berhasil menundukan perlawanan rakyat Maluku melalui perang yang cukup panjang, pada

pertengahan abad XVII, VOC secara efektif berhasil memonopoli perdagangan

rempah-rempah sekaligus menacapkan kekuasaannya di Maluku. Selain melakukan kontrol politik

dan ekonomi, Belanda juga menggiatkan penyebaran agama Kristen di wilayah selatan.

Wilayah utara sendiri karena pengaruh kerajaan Tarnate, pemeluk islam masih dominan.

Sementara itu, di Ambon terdapat pola perimbangan Islam dan Kristen yang lebih jelas lagi.

Bagian utara disebut Jasirah Leihitu yang dihuni mayoritas warga Muslim, sedangkan bagian

selatan dinamai Jazirah Leitimur yang di huni mayoritas Kristen Protestan.26

(11)

44 Meskipun cukup berhasil meredam setiap konflik yang melibatkan sentimen agama,

pemerintah belanda dalam hal manajemen antar dua pemeluk agama utama sesungguhnya

menyimpan benih-benih konflik. Pada masa kolonial, secara politis, karena afliasi agama,

warga Kristen Ambon relatif diuntungkan, sementara warga muslim dirugikan, sementara

warga muslim terpinggirkan, penduduk kristen lebih banyak mengenyam pendidikan yang

diselenggrakan pemerintah kolonial. Banyak warga Kristen Ambon yang direkrut dalam

jabatan-jabatan administratif dalam struktur pemerintahan kolonial kala itu, yaitu

dilingkungan ambtenar dan militer. Bagi penduduk Ambon Kristen, menjadi ambtenar

merupakan suatu kebanggaan. Adapun yang kurang memiliki kualifikasi sebagai pegawai

administratif, masuk ke dinas tentara Belanda (KNIL) merupakan alternatif selanjutnya.

Rakyat Kristen Ambon yang relatif terdidik dan memiliki kedekatan dengan pemerintah

kolonial Belanda, seolah-olah menciptakan kelas baru di antara penduduk pribumi

(inlanders) dan orang-orang Belanda. Hal ini menyebabkan hingga sekarang rakyat Kristen di

Maluku menilai tinggi pekerjaan sebagai birokrat di pemerintahan. Sementara itu penduduk

Islam yang tidak suka bekerjasama dengan Belanda karena dianggap Kafir lebih memilih

bekerja dibidang pertanian dan perdagangan.27

Pemerintah kolonial juga menciptakan struktur sosial yang menciptakan pola

segregasi wilayah, yakni interaksi dan struktur masyarakat berdasarkan agama.

Pemukiman-pemukiman dibangun secara eksklusif berdasar agama masing-masing. Terdapan Pemukiman-pemukiman

Kristen yang hanya dihuni oleh penduduk Kristen, sebaliknya juga terdapat pemukiman

Muslim yang khusus untuk penduduk yang beragama Islam akibatnya ada pemisahan dan

pengelompokan (grouping) yang nyata antara penduduk Islam dan Kristen. Warisan ini masih

tetap bertahan hingga setelah indonesia merdeka dan Maluku menjadi bagian dari Indonesia.

Pola segregasi yang terus dipelihara inilah yang menjadi interaksi antarumat bebeda agama

27 Ibid Wasisto Raharjo: Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan

(12)

45 kurang dapat berlangsung efektif, bahkan menyimpan potensi untuk menjadi konflik terbuka

yang kemudian hari ternyata terbukti.28

Sebelum masa kolonial Masyarakt Ambon sejak dulu dikenal sebagai masyarakt yang

heterogen yang ditandai oleh perbedaan suku dan kultur etnis yang beraneka ragam dan

sebagian besar masyarakat Ambon Maluku sebenarnya bukan penduduk asli pulau Ambon

Lease tetapi semuanya adalah warga pendatang dari luar khususnya pulau seram dan para

pendatang membentuk permukiman-permukiman yang tersebar di pulau Ambon. Masyarakat

Ambon Maluku terbentuk berdasar berbagi jenis ikatan-ikatan sosial berdasa suku,

kewilayahan (teritori) dan kepercayaan. Pada masa kolonial persebaran agama Katolik dan

Protestan yang dibawa pihak kolonial semakin menambah heterogenitas masyarakat

Maluku.Tidak hanya klan, budaya, kultur adat, teritori komunal serta administratif tetapi juga

berdasar atas agama dan kultur kepercayaan yang beragama. Sejak saat ini masyarakat

Ambon Maluku mulai terbagi dalam pola permukiman dan teritori berdasar agama, bahkan

dalam wilayah administratif desa dikenal ada desa atau negeri (kumpulan daerah-daerah yang

terdiri dari berbagai klan) Salam (komunitas islam) dan desa atau negeri Sarani (komunitas

kristen). Dan inilah warisan kolonial Belanda yang telah mewariskan struktur sosial yang

menyimpan bom waktu.

Akan tetapi konflik itu bukan dengan sendirinya perseteruan antara Kristen Ambon

versus Muslim non-Ambon. Dalam masalah birokrasi dan sumber-sumber politik lain

(jabatan-jabatan di struktur kepolisian atau kemiliteran, kampus dll) konflik sering terjadi

justru antar etnis Ambon / Maluku, baik Kristen maupun Muslim. Sejak dulu, birokrasi

memang menjadi lahan subur konflik bagi Kristen-Muslim Ambon/Maluku. Misalnya saja

kompetisi antara kelompok Muslim Pelauw dari Kepulauan Lease (khususnya Saparua dan

Haruku) dengan Kristen Ambon. Sementara dalam hal sumber-sumber ekonomi khususnya

(13)

46

market place, konflik justru banyak terjadi antarkelompok Muslim non-Ambon yang

menjadikan ekonomi / pasar sebagai “sumber kehidupan” karena memang ruang-ruang

politik dan birokrasi kurang memungkinkan bagi mereka. Warga Kristen Ambon (juga

Muslim Ambon) dalam sejarah kurang begitu berminat dalam berdagang. Mereka lebih suka

di birokrasi sebagai pegawai, guru, polisi/tentara.

Menurut Sudirman Tebba, kecemburuan sosial termasuk kehormatan dan gengsi yang

berlanjut menjadi kerusuhan sama sekali tidak disebabkan oleh faktor beda agama.

Intoleransi beragama tampaknya hanya dijadikan sebagai “baju” konflik lain yang sebetulnya

tak berkaitan dengan wilayah keimanan. Salah satu persoalan politik–yang sesungguhnya

proses alamiah yang menjadi penyulut konflik agama adalah terjadinya mobilitas vertikal

akibat kemajuan pendidikan.

Sebelum Indonesia merdeka hanya kelompok Kristen yang banyak memperoleh

kesempatan Pendidikan dari pemerintah kolonial Belanda, karena seagama dengan mereka.

Sedang kelompok Islam baru memperoleh kesempatan yang luas menikmati pendidikan

(formal) setelah Indonesia merdeka. Akibatnya sewaktu negara kita merdeka dan

mengembangkan lembaga pemerintah serta memerlukan tenaga‐tenaga terampil di bidang itu,

maka yang siap mengisi lembaga‐lembaga pemerintahan adalah kelompok Kristen, sehingga

mereka menjadi dominan dalam pemerintahan.29

3.3Migrasi Dan Kompetisi Ekonomi

Arus Migrasi ke Ambon sesungguhnya merupakan fenomena yang wajar sejak abad

XVI. Peningkatan arus migrasi ke Maluku terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an.30 Para

imigran umumnya berasal dari Sulawesi (Suku Bugis, Buton, dan Makasar), dan juga dari

Jawa, dengan motif ekonomi. Mereka membangun pemukiman yang terpisah (Kampung

29 SudirmanTebba, Islam Pasca

‐Orde Baru (Yogyakarta:TiaraWacanaYogya), 2001, hal. 156

(14)

47 Bugis, Kampung Ambon), terutama di daerah perkotaan, daerah transit, dan pelabuhan.

Mereka kemudian bekerja sebagai pedagang dalam waktu yang singkat karena keuletannya

merka berhasil mendominasi sektor ekonomi kecil dan informal. Hal ini juga dikarenakan

karena penduduk lokal Maluku sendiri sebagaian besar tidak tertarik dalam bidang

perdagangan. Mereka lebih suka bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan pendapatan

tetap.

Keberhasilan dibidang ekonomi secara relatif membuat status sosial ekonomi kaum

pendatang lebih baik. Ini kemudian diperbandingkan dengan peluang ekonomi penduduk

lokal dan rekrutmen kepegawaian yang makin sedikit. Dominasi kaum pendatang tersebut

dalam sektor ekonomi dalam taraf tertentu, menimbulkan benih-benih ketidaksukaan di

kalangan lokal Ambon, khususnya yang bergama Kristen. Selain itu, kerap pula terjadi friksi

antara kaum pendatang dan penduduk lokal misalnya dalam kasus pemilikan tanah. Rakyat

lokal menilai para pendatang telah merebut tanah-tanah mereka secara sepihak, sedangkan

para pendatang mengklaim tanah-tanah itu telah menjadi milik mereka karena telah lama

didiami.31

Konflik antara rakyat lokal dan para migran yang semual lebih berdimensi ekonomi,

dalam perkembangannya dikaitkan dengan identitas agama. Secara kebetulan juga para etnik

pendatang dari sulawesi mayoritas beragamaa islam. Kecemburuan ekonomi dikaitkan

dengan fakta bahwa kedatangan migran tersebut secara demografis telah mengubah

keseimbangan komposisi demografis umat Kristiani dan Islam di Maluku, khususnya di

Ambon. Bahkan di kalangan warga Kristen, ada kekhawatiran dan kecurigaan bahwa

meningkatnya migran dari Bugis, Buton, dan Makassar merupakan bagian dari Islamisasi

Ambon yang tentu saja dipersiapkan sebagai ancman terhadap keberadaan dan dominasi

(15)

48 Kristen. Segregasi berdasar agama ternyata tidak hanya berlaku dalam hal geografis, tetapi

juga ke masalah ekonomi dan politik.32

Dan dikaitkan dengan perubahan komposisi demografis, yang kemudian

menimbukan permasalahan yang rumit sekaligus sensitif. Akan terlihat bahwa persenyawaan

antara kepentingan ekonomi dan politik yang dibungkus dengan sentimen keagamaan

menjadi bahan bakar konflik yang begitu dasyat. Dalam konteks relasi politik Islam-Kristen,

terdapat perubahan-perubahan yang kemudian menjadi ramuan tersendiri bagi menguatnya

ketegangan antarkelompok. Seperti telah diuraikan diatas, sejak pemerintahan kolonial

Belanda, rakyat Kristen secara politis memiliki kedudukan yang lebih baik dibandingkan

rakyat Ambon Islam. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik dan sikap pemerintah

kolonial, banyak rakyat Kristen yang menempati posisi-posisi penting di pemerintahan

Sementara, rakyat Islam yang menolak mengikuti pendidikan Belanda posisi politiknya

termarginalkan dan banyak menggeluti bidang pertanian dan perdagangan.

3.4Kepemimpinan Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku Periode (1992-1997)

sebagai puncak resistensi dari kelompok Islam:

Di Daerah Maluku, khususnya Ambon, kondisi politik seperti yang diuaraikan ini

sangat tampak terutama dalam 20 tahun terakhir. Sejak Hasan Slamet menjabat Gubernur

pada periode yang kedua, menurut sosiolog Amal Tamrin Tomagola dari Universitas

Indonesia, dia telah memasukan orang-orang Bugis, Buton, dan Makassar ke Maluku,

khususnya ke Kota Ambon, hal serupa dilanjutkan oleh Gubernur Akib Latuconsina. Dengan

memasukan suku-suku itu dalam jumlah yang sangat besar, diharapkan terpenuhi kebutuhan

sumber daya manusia pada aras (level) menengah ke bawah. Selain itu membawa dampak

penyeimbangan komposisi penduduk berdsarkan penganut agama (khususnya Islam dan

Kristen.

(16)

49 Migrasi besar-besaran juga terjadi di kalangan orang Kristen sejak tahun 1950-an,

tatkala terbuka kemungkinan untuk banyak siswa SMA yang melanjutkan studinya ke

Makasar dan Jawa. Hal ini sedikit banyak mengurangi jumlah orang Kristen di Maluku,

terutama di Maluku Tengah Ambon, dan Maluku Tenggara. Indikatornya adalah jumlah

orang Kristen di luar Maluku (termasuk di Belanda) diperkirakan 1,5 juta orang. Semantara

itu, pada sisi lain bertambahnya jumlah penduduk beragama Islam di Maluku juga

disebabkan oleh masuknya migran Buoton, Bugis, Makassar di Maluku secara besar-besaran.

Kombinasi antara sejumlah faktor tersebut di Maluku mengakibatkan jumlah orang Muslim

makin bertambah dan orang Kristen makin berkurang. Jika pada tahun 1945 sampai pada

tahun 1960 jumlah semua orang Kristen di seluruh Maluku diperkirakan 65 persen, maka

pada tahun 1971, berdasakan hasil sensus, jumlah orang Kristen 51 persen dan islam

ditambah lain-lain 49 persen.33

Pasca kemerdekaan tumbuh kesadaran yang kuat dari kalangan Muslim untuk

mengenyam pendidikan yang lebih baik. Secara perlahan tapi pasti putra-putri Muslim yang

terdidik mulai menduduki posisi-posisi strategis di jabatan-jabatan publik. Kondisi ini juga

didukung oleh posisi Islam dalam pentas politik nasional. Setelah sekian lama dipinggirkan,

presiden Soeharto berusaha merangkul islam sebagai salah satu sandaran politiknya selain

ABRI, Golkar, dan Birokrasi, pembentukan ICMI yang kemudian mempunyai status politik

yang cukup besar merupakan fase puncak kemesraan Orde Baru dan Islam. Sama hanya

dengan corak politik Orde Baru. Politik di Maluku dipenuhi dengan pola Patron Klien serta

praktek KKN yang kemudian menjadi bahan bakar konflik yang kemudian menggunakan

identitas agama secara berhadap-hadapan dalam konteks perebutan kekuasaan. Identitas

keagamaan dan etnik selalu menjadi faktor yang menonjol diperhatikan dalam suatu

penempatan posisi. Pada setiap pengangkatan suatu jabatan di suatu instansi misalnya

(17)

50 pertanyaan yang muncul adalah dari etnik mana pejabat tersebut, apa agamanya, dan

bagaimana komposisi etnik dan agama di institusi tersebut. Hal ini secara implisit

menunjukan betapa kuatnya tarik-menarik kepentingan dari masing-masing agama dan

kelompok etnik.

John Pieris34 melihat konflik Maluku tidak jauh berbeda yaitu karena saktor

sosial-politik. Menurut Pieris Organisasi Ikatan Cenidikiawan Islam Indonesia pada awal tahun

1990-an sangat berpotensi menjadi “ancaman” bagi kelompok komunitas Kristen yang berda

dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa ID Card keanggotaan

Ikatan Cenidikiawan Muslim menjadi semacam SIM bagi rekrutmen untuk jabatan-jabatan

penting dalam pemerintahan. Persoalan semacam ini tentu saja melanggar perjanjian tak

tertulis yang sudah berlangsung sejak lama antara komunitas Kristen dan Islam mengenai

“pemerataan dalam posisi-posisi jabatan-jabatan tertentu di Maluku. Misalnya apabila

gubernurnya seorang Kristen maka sekertaris daerahnya seorang muslim. “Kesepakatan”

semacam ini belakangan tidak dilihat lagi oleh para birokrat dari komunitas Islam. Persoalan

tersebuat sangat membuat kecewa para birokrat dari komunitas Kristen. Sementara itu

kelompok Islam yang mersakan dominasi kelompok Kristen begitu kuat di UNPATTI, di

mana jabatan-jabatan struktural banyak diisi oleh kelompok Kristen. Konflik laten untuk

memperebukatan jabatan-jabatan struktural di Unpatti telah berlangsung cukup lama.

Menurut Sudirman Tebba sewaktu kelompok Islam memperoleh pendidikan, maka

mereka pun kemudian siap memasuki lembaga‐lembaga pemerintahan, sehingga terjadilah

mobilitas vertikal umat Islam di daerah itu. Kasus seperti ini terjadi di banyak daerah di

Indonesia, bukan hanya Maluku. Masuknya orang‐orang Islam ke dalam lembaga‐lembaga

pemerintahan, lantas Mengurangi peluang bagi orang‐orang Kristen. Bahkan sedikit demi

sedikit menggeser posisi mereka. Ini terutama terjadi pada masa Orde Baru, karena pada

(18)

51

masa itu mulai banyak orang Islam menjadi sarjana.35 Semakin banyak orang Islam yang

menjadi sarjana makin banyak pula mereka mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan,

sehingga makin banyak orang Kristen tergeser. Proses alamiah ini terus berlanjut sampai

Orde Baru runtuh.

Bangkitnya kekuatan Islam di Maluku setelah kemerdekaan ditandai dengan naiknya

Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku,36 yang diikuti oleh penggantinya Saleh

Latuconsina. Sementara itu posisi-posisi strategis yang semula didominasi oleh warga Kristen

bermarga Tutupoli, Manuhutu, Wattimena, dan Talaut – lalu digantikan dengan orang-orang

Muslim, yang bermarga Tuasikal, Latuconsina, dan Marassabesy. Seiring dengan meguatnya

posisi Islam, rakyat yang didominasi oleh penduduk Kristen merasa dilema apakah akan

bergabung atau terpisah dengan pemerintahan baru Indonesia yang dipimpin oleh

orang-orang dari etnik Jawa yang mayoritas beragama islam.

Ketidakadilan dalam ekonomi juga adalah persoalan struktural, yang sifatnya memang

tidak terjadi langsung dalam menyebabkan konflik dan menjadi dampak yang signifikan

dalam menjadikan konflik. Sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, komunitas Kristen di

Ambon selalu diistiwakan dalam bidang pendidikan, ekonomi dan politik. Privilese yang

terus terjadi sehingga waktu pemerintah orde baru sudah tidak lagi memiliki dari separuh

perwira di tingkat pusat. Dalam mencari pengganti dukungan, Pemerintah Soeharto pada

zaman Orde Baru mencari penggantinya dalam kelompok-kelompok Islam salah satunya di

Maluku dalam organisasi ICMI. Hal yang sangat mempertegas hal ini dengan diangkatnya

B.J. Habibie untuk menjadi wakil presiden sejak 1993. Pergeseran bentuk kekuasaan di

tingkat pusat, berpengaruh juga terhadap keberadaan pimpinan di daerah-daerah khususnya

Maluku menjadi persoalan yang sangat penting karena pemasukan hasil-hasil daerah banyak

yang masuk juga di tingkat kabupaten kota. Proses distribusi yang terjadi di daerah juga dan

35 Ibid Sudirman Tebba, Islam Pasca

OrdeBaru, hlm 9

(19)

52 peran gubernur menjadi sangat menentukan. Dalam konteks di Maluku, pergantian para

birokrat yang kemudian kekayaan sumber daya yang ada di daerah dipengaruhi dengan

naiknya Aqib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku. Sosok Aqib dianggap sebagai

representasi dari komunitas Islam dan masyarakat sipil. Dengan pengaruh Aqib yang begitu

besar, maka tahun 1996 sebagian besar Bupati di Maluku yang berasal dari komunitas Islam,

juga di daerah-daerah dengan penduduk mayoritasnya yang adalah notaben agama Kristen

diganti oleh Akib. Hal ini memulai sebuah kompetisi dalam hal birokrasi dan perekrutan

pegawai negeri sipil antara kristen dan Muslim. Posisi dinas Pendidikan di Maluku yang

biasanya dijabat oleh kaum Kristen dirubah dan alihkan ke kaum Muslim. Pada tahun 1997,

gubernur baru propinsi Maluku berasal dari Orang Ambon yang beragama Islam. Bukan

hanya posisi gubernur saja, akan tetapi posisi Wakil Gubernur, dan sekretaris daerah bukan

dijabat oleh orang Kristen (Muslim dan Katolik). Hal tersebut sangat mengecewakan para elit

politik yang bergama Kristen.

Selanjutnya menurut Abidin Wakanno Direktur Lembaga Antara Iman Maluku,

tindakan Gubernur Akib Latuconsina yang mengganti sebagian besar pejabat di Maluku

dengan pejabat baru yang beragama Islamlah yang justru menimbulkan dampak terjadinya

hal yang menyakitkan, hal yang bisa dipakai oleh profokator sebagai alat untuk

memanas-manasi kedua komunitas beragama di Kota Ambon.37

Menurut Sejarawan Senior Maluku, Max Tapilatu pada waktu kepemimpinan Akib

Latuconsina “Hubungan Patron-klien” atau nepotisme sebagai kunci untuk mendapatkan

kontrak. Hal tersebut membuktikan bahwa perubahan besar dalam bidang politik di Ambon

mempunyai dampak negatif bagi kaum Kristen terutama dalam bidang ekonomi. Hampir

(20)

53 dalam setiap kasus, elit politik yang beragama Kristen kehilangan posisi politik dan ekonomi

semenjak bangkitnya kaum Muslim.38

3.5Kepemimpinan M.J. Papilaya sebagai Wali Kota Ambon periode 2001-2011 sebagai

dominasi komunitas Kristen:

Lebih fundamental lagi, konflik telah memperkuat persepsi negatif publik atas posisi

kantor Pemerintah Kota Ambon (Pemkot) yang sudah terbentuk sejak lama, yakni sebagai

institusi yang dikuasai komunitas Kristen. Dalam situasi konflik yang sangat mendalam, fakta

bahwa mayoritas staf Pemerintah Kota Ambon beragama Kristen sudah lebih dari cukup

untuk menyimpulkan adanya penguasaan kalau tidak mau disebut monopoli satu kelompok

atas kelompok lainnya. Hal ini menempatkan Pemerintah Kota Ambon secara simbolik

sebagai salah satu sumber ketidak-adilan yang merupakan salah satu akar permasalahan

konflik.39

Munculnya persepsi negatif masyarakat atas ketidakadilan yang ada pada pemerintah

kota Ambon. Bagi komunitas Muslim misalnya, pemerintah kota Ambon dinilai sebagai

pusat dan simbol ketidakadilan terutama dalam kaitannya dalam rekruitmen dan promosi

jabatan-jabatan publik. Komunitas ini merasa sebagai korban elite birokrasi pemerintah kota

Ambon, terutama dalam penerimaan dan penempatan pegawai terutama dalam

jabatan-jabatan strategis baik birokrasi maupun Guru. Lebih dari itu, kondisi ini dibaca sebagai upaya

elit birokrasi Kristen mempertahankan dominasi.40

38 Hasil Wawancara dengan Max Tapilatu Sejarawan Senior Maluku, Minguu 22 Sptember 2014 39

Tomagola menempatkan ketidakadilan dan marginalisasi sebagai bagian dari ”bom waktu struktural” dari sebuah konflik, lihat, Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling, (Yogyakarta, Resist Book, 2006). Gejala sebaliknya justru terjadi di tingkat pemerintah provinsi Maluku yang dilihat sebagai simbol dan pusat ketidakadilan bagi kelompok di luar Muslim. Lihat, Ibid. hlm 38

(21)

54

a. Persoalan Mutasi Pegawai

Aktivis Maluku Jean Latuconsina,41 menjelaskan persoalan mutasi dan penempatan

seorang pejabat di dalam struktur Pemerintah Kota dilihat sangat tidak sesuai dari azas

profesionalisme yang seharusnya diperhatikan, supaya tidak akan berimbas pada perasaan

cemburu dalam birokrasi di kota Ambon. Menurut Latuconsina profesionalisme tidak lagi

lagi ditunjukkan, akibanya saya berpendapat mutasi yang digalakan oleh Wali Kota bagi

pejabat di Pemerintah Kota Ambon akan mendatangkan kecemburuan dari berbagai pihak

yang sangat dalam dan kedepannya. J.L menilai, proses-proses mutasi yang menjadi

kebijakan M.J Papilaya sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat di Kota

Ambon pada waktu itu, karena hanya merekrut orang-orang yang mempunyai kedekatan

agama, etnis, yang terus merupakan suatu proses mutasi yang dilakuakan dan tidak

berdasarkan kemampuan calon birokrat yang dipilih pada jabatan-jabatan baru dalam

birokrasi Pemkot. Saya menilai kualitas, kapabilitas tidak menjadi indikator penting di

pemkot Ambon.

Anggota DPRD Maluku, M.S,42 menilai kebijakan Papilaya yang menempatkan

pegawai sangat tidak sesuai dengan bidang kerja dan keahliannya, persoalan seperti ini hanya

akan membuat kinerja pemerintah kota tidak bisa berjalan secara maksimal, tentu saja

persoalan seperti ini tidak akan membawa suatu perubahan yang signifikan sesuai dengan

yang semua publik di kota ini harapkan. Kami selalu meminta supaya mutasi harus juga

sesuai dengan bidang keilmuannya, karena kalau sesuai dengan keahlian dan bidangnya maka

pelaksanaan pemerintahan di lingkup Kota Ambon akan berjalan dengan sangat baik,

persoalannya ialah jika ada sebagian kepala-kepala dinas yang kita nilai tidak ditempatkan

sesuai dengan bidang keilmuannya tentu saja akan menjadi suatu hambatan berarti dalam

(22)

55 menjlankan pemerintahan, dan harapan transformasi justru akan tidak maksimal dari

periode-periode sebelumnya.

Untuk mengkonfirmasi persoalan-persoalan tersebut penulis berkesempatan

mewawancarai mantan Wali Kota Ambon di kediamannya di Karang Panjang Ambon,

menjelaskan bahwa; Perombakan birokrasi yang dilakukannya pada masa jabatannya

bukanlah kebijakan yang mutlak dari saya, saya hanya melaksanakan semacam evaluasi

tambahan dan itu diharuskan jika ada yang saya lihat belum begitu maksimal dan tidak sesuai

dengan yang kita harapkan. “Perombakan ini tidaklah mutlak, waktu itu saya banyak

melakukan semacam evaluasi pada jajaran saya setiap awal tahun kerja. Saya menolok

pernyataan sebagian kalangan bahwa pergantian pimpinan-pimpinan SKPD pada awal

kepemimpinannya terkesan memprioritaskan kepentingan agama dan golongan tertentu.

Di tempat yang berbeda Mientje Tupamahu (Mantan Sekretaris Badan Kepegawaian

Kota Ambon) era kepemimpinan M.J. Papilaya mengakatakan bahwa perlu diketahu di

Pemkot Ambon pada waktu itu, pegawai muslim yang ada sangat minim akan Sumber Daya

Manusia (SDM). Belum lagi dari segi kepangkatan tidak ada yang bisa dipromosikan untuk

menduduki jabatan-jabatan strategis dilingkup birokrat setempat. Hal itulah yang menjadi

kendala bagi Wali Kota, dalam hal merekrut pejabat-pejabat yang beragama muslim untuk

dipromosikan dalam jabatan-jabatan strategis terangnya.43

b. Proses Penerimaan Pegawai

Pemerintah daerah harus ekstra hati-hati dalam menangani setiap isu yang sensitif dari

segi agama. Dalam merekrut pegawai baru, misalnya, publik sangat kritis terhadap

pemerintahan yang selama ini selalu melakukannya dengan cara-cara yang dipandang penuh

nepotisme. Oleh sebab itu, mulai tahun 2002 pemerintah kota harus melakukan serangkaian

uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan meminta lembaga independen dari

(23)

56 Universitas Padjadjaran dan Universitas Pattimura. Wawancara dengan para pelamar untuk

jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan daerah dilakukan secara intensif di bawah

pantauan media.

Kecuali harus dikonsultasikan ke publik, kebijakan rekrutmen juga harus

mempertimbangkan komposisi perwakilan agama dan etnis untuk menghindari

ketidakpuasan. Pada tahun 2008, misalnya, BKK meminta sebuah lembaga di Universitas

Gadjah Mada untuk melaksanakan seleksi sistematis terhadap pelamar pegawai negeri untuk

kota Ambon. Setelah hasilnya keluar, BKK khawatir dengan kenyataan bahwa jumlah yang

diterima timpang ke kelompok agama tertentu. Setelah melalui debat yang panjang tentang

bagaimana strategi terbaik untuk mengumumkan hasil tersebut ke publik, termasuk meminta

pendapat beberapa pejabat keamanan, BKK baru berani mengumumkannya tanpa perubahan.

Lembaga independen itu harus benar-benar bisa meyakinkan bahwa faktor penting

yang harus dilakukan untuk menghindari ketidakpastian justru membeberkan hasilnya

seobjektif dan seterbuka mungkin.44 Kasus ini juga merupakan ujian apakah publik di Ambon

pada akhirnya bisa menerima kriteria profesionalisme dalam seleksi pegawai negeri di Kota

Ambon.

Pemerintah Kota Ambon harus ekstra hati-hati dalam menangani setiap isu yang

sensitif dari segi agama. Dalam merekrut pegawai baru, misalnya, publik sangat kritis

terhadap pemerintahan yang selama ini selalu melakukannya dengan cara-cara yang

dipandang penuh nepotisme. Oleh sebab itu, mulai tahun 2002 pemerintah harus melakukan

serangkaian uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan meminta lembaga

independen dari Universitas Padjadjaran dan Universitas Pattimur. Wawancara dengan para

44

(24)

57 pelamar untuk jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan daerah dilakukan secara intensif

di bawah pantauan media.

Seperti yang telah diutarakan di atas, salah satu akibat langsung dari konflik komunal

pada tataran birokrasi adalah runtuhnya asumsi-asumsi dasar model birokrasi Weberian yang

akhirnya berakibat pada kegagalan pemerintah kota dalam menjalankan fungsi pelayanan.

Perkembangan pada era ini mengindikasikan bahwa birokrasi telah menjadi arena perluasan

konflik. Dalam berbagai kesempatan, Papilaya berulang kali mengungkapkan kesan awal

ketika ia pertama kali memasuki Kantor Walikota Ambon bahwa secara kasat mata kantor

Wali Kota Ambon menjadi bukti terjadinya apa yang disebut sebagai fenomena

etnic-captured atas birokrasi.45 Hal ini telah menyebabkan fungsi pelayanan publik dan fungsi pemerintahan lainnya gagal dilaksanakan. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk

memahami kondisi pegawai secara komprehensif. Latar belakang atau karakteristik pegawai

adalah faktor utama dalam memengaruhi kinerja lembaga. Berikut ini akan diuraikan

beberapa karakteristik pegawai pada Pemerintah Kota Ambon berdasarkan dimensi

etnisitas/wilayah asal, agama yang dianut, pendidikan formal terakhir, kepangkatan/golongan,

dan jenis kelamin, serta tingkat umur :

45 Wawancara mendalam dengan Mantan Walikota Ambon, Kamis 02 Oktober 2014, antara lain menyebutkan

(25)

58

Sumber: 29 Dinas/Kantor/Badan/Bagian Pemkot Ambon, Maret 2006.46

Dari tabel di atas menunjukan bahwa etnis Ambon dan Lease secara kuantitas

mendominasi jumlah etnis asal Sulawesi yang berlatar belakang agama Islam. Persentase

jumlah pegawai yang tidak berimbang antar etnis ini juga menimbulkan kecemburuan, karena

anak-anak asli daerah yang berasal dari Lease lebih banyak. Kebanyakan yang berlatar

belakang etnis Lease adalah mayoritas beragama Kristen, tentu saja persentase jumlah yang

tidak berimbang menimbulkan kecemburan dari etnis sulawesi dan Maluku utara yang

sebagaian besar bergama Islam.

Tabel 1.2: Pegawai Pemkot Ambon Menurut Agama

No Agama Jumlah %

1. Islam 200 14,48

2. Kristen Protestan 1161 84,07

3. Kristen Katolik 18 1,3

4. Lainnya 2 00,14

Jumlah 1381 100

Dari tabel pegawai Pemkot menurut agama komunitas Kristen Protestan lebih

mendominasi dari segi kuantitas. Situasi seperti ini tentu saja menimbulkan persepsi negatif

publik atas posisi kantor Pemerintah Kota Ambon (Pemkot) yang sudah terbentuk sejak lama,

yakni sebagai institusi yang dikuasai komunitas Kristen. Dalam situasi konflik yang sangat

mendalam, fakta bahwa mayoritas staf Pemerintah Kota Ambon beragama Kristen sudah

lebih dari cukup untuk menyimpulkan adanya penguasaan kalau tidak mau disebut monopoli

satu kelompok atas kelompok lainnya. Hal ini menempatkan Pemerintah Kota Ambon secara

simbolik sebagai salah satu sumber ketidak-adilan yang merupakan salah satu akar

permasalahan konflik.

46 Sumber: 29 Dinas Kantor Badan Bagian Pemkot Ambon, Maret 2006,

(26)

59

3.6Persoalan perimbangan antara dua komunitas di Universitas Pattimura Ambon:

Di Universitas Pattimura (UNPATTI) misalnya, jumlah pejabat yang beragama

Krsten jauh lebih besar. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan jumlah guru besar dan sarjana

dalam berbagai strata yang menyebar pada berbagai fakultas dan bagian (jurusan) maupun di

lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, serta pusat-pusat studi. Hal ini wajar karena

umumnya orang-orang Ambon yang beragama Kristen lebih memilih berorintasi ke

Perguruan Tinggi, karena di tempat ini mereka lebih berpeluang mengembangkan karir dan

karyanya sebagai ilmuan dan pendidik.47

Tidak hanya itu, di kalangan pemuda dan mahasiswa pun sejak reformasi digulirkan

telah terjadi polarisasi kepentingan kelompok yang semakin menguat. Penentuan jabatan

rektor dan pembantu rektor, serta jabatan dekan di fakultas-fakultas menjadi sangat politis

dan dianggap sebagian dari proses kekuasaan. Muncul kubu-kubu yang saling berseberangan

dan mulai mempersoalkan relasi antar subjek dengan mengambil latar pebedaan Islam dan

Kristen. Presentase dosen pun dipersoalkan dan akhirnya mereka mulai mengambil jalan

keluar dengan melakukan perimbangan menurut agama.48

Melihat krisis leadership yang sedang terjadi dalam struktur fakultas ekonomi

UNPATTI, berdampak juga pada seluruh aktivitas kuliah UNPATTI. Persoalannya adalah

berlarut-larutnya pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi yang dianggap sangat tidak sesuai

dengan “Perjanjian Malino” yang sudah menjadi kesepakatan bersama pada waktu proses

penyelesaian konflik kekerasan di Ambon 11 tahun silam. Dalam point ke 11 perjanjian

malino tersebut berbunyi (mendukung rehabilitasi UNPATTI dengan asas untuk kemajuan

bersama di Maluku, oleh sebab itu rekrutmen yang dilaksanakan secara terbuka dengan asas

keadilan dan harus memenuhi syarat dan kualitas yang sudah ditentukan). Namun maksud itu

diabaikan oleh oknum calon dekan dari salah satu kelompok ini, dalam menghambat karena

47 Ibid John Pires, Tragedi Maluku Sebuah Krisis Peradaban hlm 171

(27)

60 tidak ingin memberi kesempatan untuk kelompok yang lain dalam medapatkan ruang untuk

pencalonan sebagai dekan Fkultas Ekonomi Universitas Pattimura. Persoalan ini diperkeruh

dengan perkataan yang terdengar sangat rasial dan hal itu dikatakan dari salah satu kandidar

Dekan, bahwasanya oknum yang mencalonkan dirinya sangat tidak pantas memimpin

fakultas ekonomi di UNPATTI, karena alasan perbedaan agama.49

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ambon Abdul Aziz Rumain

mengatakan, pertikaian tidak akan berlangsung jika pihak Rektorat menampung aspirasi

sejumlah mahasiswa yang berpedoman pada akta perjanjian malin, yang menjelaskan harus

ada suatu pemerataan dalam penerimaan mahasiswa baru di UNPATTI. Kenyataannya,

pemerataan antara du komunitas agama tidak terjadi pada penerimaan mahasiswa baru pada

waktu itu. Tentu kami sangat kecewa tentunya. Pemerataan dalam proses perjanjian malino

ini juga. Saat itu kami sangat kecewa dengan proses pemilihan pembantu Dekan di program

studi Fakultas Ekonomi. Peru diketahui proses Perjanjian malino 1999 adalah suatu

perjanjian dalam merajut kedamaian dalam menyudahi konflik kekerasa di Maluku.50

Mantan Ketua GMKI E.W Cabang Maluku ketika diwwancarai51 menjelaskan

persoalan ini akibat dari tidak berimbangnya komposisi agama dan etnis mahasiswa yang

ditunjukan oleh pihak rektorat dan jajarannya. Menurutnya jumlah mahasiswa yang diterima

di UNPATTI tidak berimbang. Bahkan presentasenya sangat jauh. Begitu juga dalam

lembaga mahasiswa. Akibatnya satu kelompok sanagt menjadi mendominasi di lingkup

kampus. Realisasi proses perjanjian malino setelah konflik kekerasan Ambon tidak

dilaksanakan pihak kampus. Bentuk-bentuk ketidakadilan akan satu komunitas kembali terus

dilakukan.

49 http://iainambon.wordpress.com/2010/03/25/rusuh-di-fakultas-ekonomi-unpatti-ambon/

50 Hasi Wawancara dengan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ambon Abdul Aziz Rumain,

Selasa 05 Oktober 2014

(28)

61 Selanjutnya penulis juga mencoba mewawancarai beberapa tokoh-tokoh sentral

perdamaian di Maluku untuk mengkofirmasi persoalan yang terjadi di lembaga tersebut:

Salah seorang deklarator dalam perjanjian Malino, Tony Pariella52 menjelaskan, point 11

dalam proses perjanjian malino sama sekali tidak mengatakan harus adanya pemerataan

dalam perekrutan Mahasiswa maupun pegawai-pegawai dalam birokrasi. Pariela mengatakan

point 11 dalam perjanjian malino berbunyi mendukung proses rehabilitasi UNPATTI dengan

prinsip dengan asas kemajuan bersama antara dua komunitas agama maupun suku, untuk itu

perekrutan harus dilakukan secara taransparan dalam prinsip yang harus tetap

menjunjung proses keadilan dan tetap memenuhi syarat-syarat dan kualitas yang ditetapkan.

Saya melihat isu pemerataan sengaja dipakai sebagai alat politisasi dan persoalan ini

jika terus terjadi akan menyebabkan krisis dalam masyarakat Maluku sebagai putera Maluku.

Pariela juga menekankan bahwa perimbangan bukan lagi hal yang relevan sehingga kini

saatnya anak-anak muda di Maluku beeupaya dalam upaya peningkatan kualitas supaya dapat

berkopetisi di daerah ini untuk perkembangan dan kemajuan di daerah ini. Menurut

akademisi UNPATTI ini dalam mengelola keragaman untuk itu diperlukan kapabilitas yang

harus teruji dalam proses kebijakan publik dan peran aktif dari para tokoh-tokoh masyarakat.

Pariela menjelaskan norma-norma hidup dalam komunitas masyaraka di daerah ini

perlu diketahui tidak mengenal tirani atau mayoritas maupun minoritas dalam proses saling

mendominasi. Untuk itu menurut Pariela, proses kebersamaan merupakan hal penting sebab

semua manusia berkedudukan yang sama dalam proses hukum dan sesuai dengan UUD 1945,

itu tidak ada perbedaan dan tidak akan ada proses pendekatan dalam setiap kebijakan maupun

di mana komunitas yang di bawah diperlakukan secara tidak adil, dilupakan dan sengaja

dihina dan diperlakukan sama dengan hak yang sama. Periela mengatakan proses-proses

kebijakan publik dan mengutamakan keadilan, mengutamakan perbedaan, dan

(29)

62 mengutamakan pemerataan, proses seperti ini paling tidak bisa mengurangi timbulnya konflik

dalam masyarakat sosial.

Tokoh Perdamaian Maluku Tamrin Ely,53 Menjelaskan Daerah Maluku setelah

konflik tidak lagi mempersoalkan perimbangan untu harus ditetapkan untuk menjadi pilihat,

tetapi harus melihat pada kualitas seseorang yang dikedepankan. Kalau masyarakat di

Maluku terus memperhitungkan proses perimbangan, maka saya melihat kualitas dan

kapabilitas pemimpin di Maluku cepat atau lambat akan mengalami kemunduran. Dengan

begitu Maluku tidak akan berkembang sampai kapanpun. Saya melihat strukur birokrasi di

Maluku masih saja melihat mempertimbangkan isu perimbangan yang diupayakan di atas

semuanya dan menjadi ukuran. Akhirnya saya melihaat banyak banyak figur-figur yang

berkompeten tidak perana akan bisa memperoleh jabatan penting dan dianggap strategis

dalam proses membangun daerah Mauku. Saya melihat bahkan dengan terjadinya konflik

kekerasan persoalan ini dilihat sebagai salah satu faktor pemicu.

Hal yang sama juga dikatakan M.T,54 yang juga seorang budayawan di Maluku

menagatakan semua komunitas masyarakat di Maluku harus mempunyai sikap berjiwa besar

supaya dapat meninggalkan sikap yang selalu cemburu karena terus berada dalam diri

komunitas masyarakat di Maluku. Sikap tersebut merupakan sikap kurang baik dan selalu

menjadi suatu alasan untuk memicu terjadinya konflik kekerasan yang ditenggarai untuk

tujuan-tujuan ekonomi, politik, dan berbagai kepentingan

Prof M.J Pattinama,55 yang juga merupakan Akademisi Unpatti mengatakan,

memakai persoalan perimbangan sebagai suatu alasan yang mendasar. Saya selalu

mengatakan isu perimbanagan sudah tidak lagi cocok dengan konteks persaingan secara sehat

di Maluku. Pattinama mengatakan masih terlihat berbagai sikap diskriminasi dalam

struktur-struktur yang berada dalam lingkup pemerintah maupun perguruan tinggi, namun persoalan

53 Hasil Wawancara dengan Tokoh Perdamain Maluuku Tamrin Ely, Sabtu 11 Oktober 2014 54 Hasil Wawancara dengan Budayawan Maluku Nour Tawainella, Senin 13 Oktober 2014

(30)

63 ini sudah harus diangkat dan dimediasi supaya tidak terjadi ketidakadilan yang terus terjadi di

Maluku. Saya mau mengajak semua anak muda di Maluku supaya tidak terjebak dengan

berbagai persoalan perimbangan yang dilakukan oleh beberapa oknum-oknum tertentu, tetapi

yang harus kita lakukan adalah bagaimana memajukan kapabilitas dan kualitas kita supaya

dapat bersaing secara sehat.

Saya melihat persoalan perimbangan merupakan bagian dari modus-modus politik

transaksional yang tidak berperan bagi peningkatan eksistensi dan kualitas anak negeri di

daerah ini dalam mewujudkan perdamaian di bumi Maluku. Saya melihat realitas yang terjadi

sangat memprihatikan malah justru mengakibatkan daerah Maluku tertinggal dalam karena

berbagai kepentingan agama dan etnis dengan memakai isu perimbangan sebagai alat

politisasi. Saya harus mengatakan kita harus berkata jujur ketika optimisme anak Maluku

dalam membangun kehidupan lebih harmonis, toleransi dan damai yang masih tersimpan

yang terkonstruksi karena benih-beni kecemburuan dan kebencian dan hilangnya

kepercayaan sesama anak Maluku. Saya melihat salah satu fakta di negeri ini adalah

penekanan pada dogmatisasi perimbangan yang bertolak dari perjanjian malino yang selalu

menjadi bom waktu yang akan terjadi kapan saja jika ada orang-orang yang tidak

bertanggungjawab menggunakan isu ini atas nama kelompok tertentu.

3.7Apakah Perebutan Kekuasaan di Sektor-Sektor Publik Menyebabkan Konflik?

Abidin Wakano,56 direktur Antar Iman Maluku mengatakan bahwa konfik sosial di

Maluku merupakan akibat dari permainan antara elit penguasa di dari pusat maupun di

daerah. Terkait dari bebrbagai penyebab timbulnya tragedi di Maluku tadi, konflik sosial

tersebut bermula dari ketidakadilan yang diberlakuakan oleh pemerintah Suharto pada masa

Orde Baru dengan kelompok Kristen di Maluku. Tentu saja kelompok Kristen menganggap

pemerintahan Orde Baru tidak menyalurkan kekuasaan dalam pemerintahan di Maluku

(31)

64 khususnya Ambon kepeda kelompok Kristen secara tidak adil, akibatnya keterwakilan

komunitas Kristen tidak sepadan dengan jumlah mereka yang relatif berimbang dengan

populasi Muslim di wilayah Ambon.Waktu zaman Orde Baru keanggotaan dalam organisasi

Islam tertentu memberikan jaminan kepada para anggotanya di Ambon untuk bisa

memenangkan berbagai kompetisi dalam koteks perebutan jabatan administratif maupun

politik dalam pemerintahan. Tentu yang didasarkan pada kepentingan agama ini akan

membuat kelompok Kristen di Ambon terpinggirkan dalam pemerintahan.

Selanjutnya Uskup Diosis Amboina, mengatakan 57 permainan politik agama dalam

kepentingan ekonomi dan politik mengakibatkan masyarakat menjadi sangat tersegregasi dan

dan terpolarisasi menjadi komunitas agama dan sukunya. Pada waktu muncul Isu

Pengkristenan dan Pengislaman sebagai “musuh masing-masing agama” akibatnya hidup

orang basudara di Maluku lebih dilihat sebagai persaudaraan dalam hubungan dengan

kepentingan politik-ekonomi, bukan hubungan persaudaraan dilihat sebagai masyarakat

Maluku.

H.S,58 Konflik Ambon dimulai dengan pertentangan antar kedua komunitas pada

waktu keadaan ekonomi-politik pemerintah yang tidak bagus dalam birokrasi pemerinth,

pertentangan ini kemudian dilihat sebagai sebuah perseteruan antar penmeluk agama

Islam-Kristen. Persoalan seperti ini memang sangat sulit dihindari, mengingat mereka yang ikut

terlibat dalam pertikaian telah memanipulasi simbol-simbol agama untuk dijadikan identitas

kelompok masing-masing agama. Yang lebih bahayanya lagi, para elit-elit ini kemudian ikut

memanfaatkan simbol tersebut untuk memicu sentimen dari setiap kelompok agama

masing-masing.

(32)

65

Studi dari Dr. G. Van Klinken,59 dengan memakai analisis sosiologis dan bertolak

dari masyarakat dia menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Ambon tidak bertolak dari

primordial kha Durkheim akan tetapi konflik sangat bertendensus instrumentalis. Kata kunci

yang dipakai oleh Klinken adalah patron-klien bahwa elit-elit lokal di Ambon sangat korup

dan saling berkompetisi untuk memperoleh jabatan dalam pemerintahan dan jata-jata

pembangunan, yang menarik orang-orang tertentu dalam suatu komunitas masyarakat dengan

cara membagi-bagi rejeki sehingga pola patron client menjadi penyambung antara negara dan

komunitas masyarakat di Maluku. Dengan pola patron-client itu juga elit Kristen dan Islam

di kepulauan maluku dapat memobilisir berbagai lapisan masyarakat untuk saling

menghancurkan demi kepentingan dan kekuasaan bagi elit-elit tersebut.

Konflik Sosial di Maluku menurut Gerry Van Klinken karena persaingan

politik-ekonomi yang ada kaitannya dengan clientalism. Seperti terjadi dalam pemilu 1997 di

Kepulauan Maluku. Penghitungan suara memperlihatkan bahwa PDIP cabang Ambon

menang mutlak dan menggusur partai-partai berlatar belakang Islam. Pada waktu itu PDIP

Ambon sesungguhnya merupakan unsur Parkindo dalam PNI dan kemenangan itu dilihat

sebagai kemenangan politikus Kristen. Perwakilan-perwakilan dari MPR dan DPR yang di

angkat juga dari orang-orang dari komunitas Kristen. Kemenangan PDIP Ambon tersebut

dianggap elit Muslim sebagai ancaman bagi mereka dalam birokrasi di Maluku.

Kasus-kasus yang memakai isu SARA, di antaranya adalah Kasus kerusuhan di

Maluku terkhususnya di beberapa wilaha di Ambon, yang sesungguhnya bukanlah kekerasan

atas nama agama murni, namun dimulai dengan persaingan politik-ekonomi antar-suku dalam

birokrasi yang kemudian dimaknai sebagai pertentangan antara kedua komunitas penganut

(33)

66

agama. Konflik semakin mengeskalsi ketika didukung dengan kerja crusade, akibatnya tensi

konflik dan kekerasan semakin memanas.

Tamrin Amal Tomagola,60 menjelaskan bahwa sesugguhnya konflik yang terjadi di

Maluku dipicu oleh ketidakadilan politik dan ekonomi kemudian masuk ke rana agama, yaitu

kelompok Kristen (lokal Ambon) dan kelompok Islam (pendatan Bugis, Buton, Makasar).

Kelompok yang dibilang sangat menguasai jaringan perdagangan dan di pasar-pasar dan juga

jabatan strategis dalam pemerintah di Maluku. Hal tersebut mengakibatkan kelompok Kristen

lokal Ambon menyimpan rasa tidak suka dan bahkan memiliki persepsi bahwa sudah terjadi

penghijauan “baca: islamisasi” di tingkat pemerintah Orede Baru, yang hal ini dianggap

membuat kesenjangan di maluku antar dua komunitas agama.

Dalam menjelaskan penyebab begitu mudahnya kekerasan menyebar kita perlu

melihat sejarah kemasyarakatan di Pulau Ambon. Awal tahun 1980, dengan kebijakan

Migrasi Akib sebagai Gubernu Maluku memasukan banyak sekali migran di wilayah

kepulauan Maluku untuk memenuhi produksi bidang pertanian. Banyak migran yang

didukung oleh Akib di daerah ini dalam waktu sekejab menguasai bidang pertanian dan

perekomomian, mereka adalah masyarakat Buton, Bugis, Makasar kemudian menjadi

komunitas sosial baru yang dalam waktu cepat bisa meningkatkan akslerasi ekonomi di

komunitas mereka. Dalam waktu singkat mereka mengisi kios-kios di pasar-pasar wilayah

sektoril di pasar Mardika. Persoalan ini menjadikan kelompok ekonomi baru di wilayah

Ambon.61

60 Thamrin A. Tomagola, Ambon Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, Prolog

Gambar

Tabel 1.1: Pegawai Ambon Menurut Asal Etnis/ Wilayah
Tabel 1.2: Pegawai Pemkot Ambon Menurut Agama

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

ada perbedaan hasil belajar untuk keempat media yang digunakan. Penggunaan handout dan job sheet dan jobsheet lebih efektif dari pada penggunaan handout dan tanpa

Jenis retribusi jasa umum salah satunya adalah retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum yang dijabarkan dalam Pasal 110 ayat (1) UU PDRD bahwa pelayanan

Sistem tambak hutan ini merupakan suatu aplikasi pemanfaatan ekosistem mangrove untuk dijadikan area tambak ramah lingkungan (Gambar 4) yang memadukan pohon atau hutan

siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan. penddikan

sorption and the increase in soil P availability due to addition of coal fly ash-chicken manure mixture (Hermawan et al ., 2014), resulting in the increase in P uptake by plant

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Palupi (2010) yang meneliti tentang pengaruh penerapan sistem administrasi perpajakan modern

ini adalah anak muda Sidoarjo telah berlomba dalam aksi peduli lingkungan dan melaksanakan kegiatan bersih-bersih lingkungan ( trashmob ) dengan tujuan dari Program

Berdasarkan hasil yang di peroleh dari literature, penulis dapat menyimpulkan bahwa biji turi dapat digunakan sebagai pengganti kedelai untuk pembuatan