A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Kejahatan dipandang sebagai bagian dari penyimpangan sosial sehingga tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan yang berbeda dari tindakan yang normal, serta adanya reaksi sosial yang negatif terhadap perbuatan itu.1 Kejahatan yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial
dapat menimbulkan ketegangan individu maupun ketengangan-ketegangan sosial, dan merupakan ancaman rill atau potensi bagi berlangsungnya ketertiban sosial.2
Saat ini korupsi sering juga disebut sebagai kejahatan kerah putih
(white collar crime). Salah satu ciri bentuk kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi, atau yang sering disebut dengan istilah pejabat.3 Pejabat yang dimaksud baik dari pejabat pemerintahan
yang berada di pusat, sampai kepada pejabat yang berada di daerah-daerah.
Diskresi (discretionary power) terdapat pada kewenangan menjalankan jabatan yang dimiliki pejabat publik. Diskresi adalah suatu wewenang yang diberikan kepada pejabat administrasi untuk bertindak atas inisiatif sendiri untuk melakukan tindakan yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan. Kondisi seperti itulah jabatan rawan untuk diselewengkan, karena 1 I.S Susanto, Kriminologi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), halaman 12
2 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), halaman 11
3 Benny Irawan, Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Mimbar, Vol. XXVII, No.2, 2011), halaman 143
bersamaan dengan menjalankan kebijakan untuk publik, dengan mudah terdapat niat untuk menarik keuntungan pribadi atau kelompok.4 Penggunaan
diskresi mempunyai syarat-syarat khusus, agar dalam menggunakan kewenangannya, para pejabat tidak berlaku sewenang-wenang dalam mengambil keputusan.
Beberapa kebijakan yang lahir atas dasar diskresi tidak sedikit yang bermasalah, bahkan ada beberapa kebijakan dianggap memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Hal ini menimbulkan polemik, polemik tentang dapat atau tidaknya kebijakan dijerat dengan pidana yang hingga kini masih menyisakan persoalan.5 Pejabat dapat menjadi seorang koruptor bukan karena melakukan
tindak pidana korupsi, melainkan karena menjalankan tugas dalam jabatannya yang berupa suatu kebijakan, yang mana ternyata kebijakan tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara, walau pun dana yang dihasilkan tidak dinikmati oleh pejabat tersebut.6
Apabila setiap kebijakan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, tentu akan dilematis. Padahal diketahui bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari suatu sistem, jika seorang pejabat pemerintah takut mengambil suatu kebijakan, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.7 Tidak jarang Pejabat Aparatur Negara dan
Pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami keraguan dalam 4Ibid
5 Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat di Kriminalisasi?, halaman 1-2. Makalah disampaikan dalam Seminar “Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA), di Hotel Bumi Karsa Bidakara – Jakarta, 11 Mei 2010
6 Benny Irawan..., Op.cit., halaman 143-144
menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang korup atau perbuatan korupsi yang berlindung dibalik kebijakan.8
Penegak hukum menggunakan dasar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Contohnya pada kasus Bullogte yang bermula dari kebijakan yang diambil mantan Presiden B.J.Habibie dalam menanggulangi kerawanan pangan dan dalam keadaan krisis kepercayaan kepada pemerintah yang meluas sebagai dampak pemerintah sebelumnya. Saat itu ada beberapa alasan tentang kebijakan yang diambil B.J.Habibie:9
1. Bantuan dari luar negeri tidak datang sesuai jadwal yang diharapkan; 2. Anggaran untuk penyelesaian masalah-masalah yang tak terduga, dalam
hal ini sembako dan penyalurannya pada Anggaran Pendapatan dan
8 Indriyanto Seno Adji, KORUPSI : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara? (Jakarta: 2010), halaman1-2. Makalah disampaikan dalam diskusi panel dengan topik “Kebijakan Aparatur Negara dan Pertanggungjawaban Pidana”, pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dengan tema “Revitalisasi Peran Gubernur Guna Menciptakan Sinergitas & Harmonisasi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah” pada hari Kamis, di Hotel Grand Preanger, Bandung, 2 Desember 2010
Belanja Negara (APBN) tahun 1998/1999, sangat terbatas dan anggaran sudah berjalan;
3. Pemerintah harus segera bereaksi untuk mengembalikan citra kepercayaan pemerintah yang waktu itu sedang merosot di kalangan masyarakat Indonesia.
Cara mengatasi hal tersebut, Presiden B.J.Habibie mengambil kebijakan cepat yakni mengundang Menteri Kooridnator Bidang Ekonomi, Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) / Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk menjajagi kemungkinan pemanfaatan dana non-budgeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp.40 miliar dan segera diserahkan kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk program pengadaan dan pembagian sembako kepada masyarakat miskin. Presiden B.J.Habibie memerintahkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) guna mengkoordinasikan pelaksanaan pengadaan dan pembagian sembako.10
budgeter Badan Urusan Logistik (Bulog), padahal dana tersebut seharusnya hanya diperuntukkan bagi keperluan, fungsi dan tugas Badan Urusan Logistik (Bulog).11
Akbar Tanjung selaku Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), menerima dua kali cheque dengan nilai seluruhnya sebesar Rp.40 miliar dari Badan Urusan Logistik (Bulog) tanpa membuat tanda terima atau berita acara serah terima yang melanggar dasar akuntansi Badan Urusan Logistik (Bulog). Akbar Tanjung kemudian menunjuk Yayasan Raudatul Jannah yang diketuai oleh Dadang Sukandar, kemudian juga menunjuk Winfried Simatupang selaku rekanan pelaksana dalam pengadaan dan pembagian sembako.12
Akbar Tanjung disebut menyerahkan cheque senilai Rp. 40 miliar kepada Dadang Sukandar tanpa tanda terima atau kontrak kerja, kemudian Dadang Sukandar menyerahkan cheque sebesar senilai Rp. 40 miliar kepada Winfried Simatupang selaku mitra kerjanya untuk melaksanakan pembelian dan pembagian sembako. Pembelian tersebut ternyata tidak terlaksana, hal tersebut ternyata mengakibatkan maksud dan tujuan perintah Presiden B.J.Habibie pada pertemuan terbatas tanggal 10 Februari 1999 tidak dapat dilaksanakan.13
Sebelum adanya perintah Presiden B.J.Habibie tanggal 10 Februari 1999, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan
kejanggalan dalam keuangan di Badan Urusan Logistik (Bulog). Mereka menemukan bahwa ada sejumlah dana yang tidak dicatatkan dalam neraca keuangan Badan Urusan Logistik (Bulog), padahal hal tersebut tidak sesuai dengan dasar akuntansi. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memberikan saran agar pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut dihentikan dan tidak dilaksanakan lagi, namun ketua Badan Urusan Logistik (Bulog) saat itu, Rahadi Ramelan memandang perlu untuk tetap melaksanakan pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut.
Rahadi Ramelan mengirim surat kepada Presiden B.J.Habibie yang intinya memohon agar pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut tetap dipertahankan. Presiden B.J.Habibie kemudian menyetujui permohonan tersebut dan meminta kepada sejumlah jajaran menterinya, salah satunya Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk membantu hal tersebut. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) menyetujui pendapat dari Rahardi Ramelan untuk tetap melaksanakan pengelolaan keuangan secara non-neraca, yang mana hal tersebut seharusnya bukan kewenangannya.14
Berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.449/Pid.B/2002/PN.Jkt.Pst dan diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.171/Pid/2002/PT.DKI, Akbar Tanjung, Dadang Sukandar, Winfried Simatupang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama: ”
“dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan / atau perekonomian negara, dalam hal ini menerima dan menggunakan uang Bulog sebesar Rp.40 miliar, tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu serta di luar kepentingan dan fungsi bulog atau menerima dan menggunakan uang tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara penggunaan uang negara”, yakni melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 34 C UU No.3 tahun 1971 jo. Pasal 43 A UU No.31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 65 KUHP.”
Putusan tersebut pada akhirnya diajukan kasasi dan diputus Vrijspraak
(putusan bebas). Putusan Mahkamah Agung No.572K/Pid/2003 atas nama Ir. Akbar Tandjung, dinyatakan tidak terbukti menyalahgunakan wewenang.15 Hal
demikian terlihat dari pertimbangan putusan yang disampaikan oleh Paulus Lotulung, Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, sekaligus sebagai Guru Besar dan Ahli Hukum mengenai relasi antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana (Korupsi). Paulus Lotulung memberikan pertimbangan atas Putusan Mahkamah Agung RI No.572 K/Pid/2003 tanggal 4 Feburari 2004 yang kesimpulannya menyatakan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di atas, Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan Terdakwa I, yaitu menerima dana budgeter sebesar Rp 40 milyar kemudian diserahkan kepada Terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada Terdakwa I baik selaku Mensesneg maupun selaku koordinator yang menangani program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut, tetapi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seorang Koordinator/Mensesneg dalam keadaan darurat sesuai dengan kewenangan diskresioner yang ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat
diharapkan menempuh prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal”.
Berdasarkan contoh kasus yang telah dipaparkan, pada putusan tingkat pertama dapat dilihat sebuah fenomena diskresi yang pada akhirnya diarahkan pada tindak pidana korupsi, meskipun kebijakan tersebt betul-betul ditujukan untuk mengatasi kondisi darurat dan tidak digunakan untuk kepentingan sendiri.16 Berbeda dengan putusan tingkat pertama, putusan tingkat kasasi
dalam hal ini Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, sehingga diskresi yang terdakwa lakukan bukan merupakan suatu tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti akan mengkaji permasalahan diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan dua permasalahan berikut:
1. Bagaimana diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat?
2. Apa batasan perbuatan melawan hukum yang berdampak hukum administrasi dan hukum pidana dalam melaksanakan tugas dalam situasi darurat?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Setiap mengadakan sebuah penelitian, tentunya ada hal yang ingin dicapai, demikian pula dengan penelitian yang peneliti lakukan pada permasalahan diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat. Tujuan dilakukan penelitian dengan judul “Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat”, yaitu:
1. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui dan menganalisis diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat;
2) Untuk mengetahui dan menganalisis batasan perbuatan melawan hukum yang berdimensi hukum administrasi dan hukum pidana dalam melaksanakan tugas dalam situasi darurat.
Selain tujuan yang ini dicapai dari sebuah penelitian, tentunya sebuah penelitian diharapkan dapat membawa kegunaan bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. Penelitian penulisan hukum ini diharapkan dapat membawa kegunaan di dalamnya. Kegunaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
2. Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Teoritis
a. Kegunaan teoritis ditujukan sebagai sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan diskresi pejabat publik;
b. Menambah wawasan untuk penelitian berikutnya. 2) Kegunaan Praktis
dalam perkembangan ilmu hukum Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara, yaitu mengenai diskresi yang diambil oleh pejabat publik yang saat ini seringkali memasuki grey area (hukum pidana dan hukum administrasi negara) dalam penyelesaiannya jika terjadi pelanggaran;
b. Hasil penelitian penulisan hukum ini diharapkan dapat memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti, yaitu mengetahui diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat dan mengetahui batasan perbuatan melawan hukum yang berdimensi hukum administrasi dan hukum pidana dalam melaksanakan tugas dalam situasi darurat;
D. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teori
Kerangka teoritik merupakan kerangka pikir yang intinya mencerminkan seperangkat proposisi yang berisi konstruksi pikir saling berhubungan atau kerangka pikir yang mencerminkan hubungan antar variabel penelitian.17
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya, dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling
dalam.18 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini berangkat dari permasalahan
diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat. Berdasarkan hal tersebut, kerangka teori yang dipakai dalam penelitian dengan judul Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik pada Pelaksanaan Tugas Dalam Situasi Darurat, sebagai berikut :
1. Pemerintahan
Pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurus pelaksanaan pemerintahan (disebut sebagai eksekutif), sedangkan pemerintahan dalam arti luas selain eksekutif termasuk juga lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan (disebut sebagai legislatif) dan yang melaksanakan peradilan (disebut sebagai yudikatif).19
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan pengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan (baik pusat dengan daerah, maupun rakyat dengan pemerintahnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar.20
Pengertian pemerintah dalam rangka hukum administrasi negara digunakan dalam arti “pemerintahan umum” atau “pemerintahan negara”. Pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian, yaitu dalam arti “fungsi
18Lawrence M. Friedman dalam Esmi Warasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), halaman 30
19 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Jatinangor : Refika Aditema, 2011), halaman 20
pemerintahan” (kegiatan memerintah), dan dalam artian “organisasi pemerintah” (kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan).21
2. Good Governance
Istilah governance tidak hanya berarti kepemimpinan sebagai suatu kegiatan, juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan.
Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan, kemudian berkembang dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktik terbaiknya disebut kepemerintahan yang baik (good governance).22 Good
governance adalah tata tingkah laku atau tindakan yang baik yang didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu untuk pengelolaan masalah-masalah publik dalam kehidupan sehari-hari.23 Good and governance berarti pemerintahan yang baik
dalam standar proses dan hasil-hasilnya, semua unsur perintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat mengahmbat proses pembangunan,24 sedangkan pengertian dari good government adalah
pemerintah, yaitu lebih kepada lembaga yang mengemban fungsi memerintah dan mengemban fungsi mengelola administrasi pemerintahan.
21 Philipus M. Hadjono dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2008), halaman 6
22 Jawade Hafid Arsyad..., Op.Cit., halaman 281
23 Asep Sahid Gatara dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan (Bandung: Fokus Media, 2011), halaman 83
Good governance memiliki prinsip-prinsip pokok, yaitu good and clean governance. Hal tersebut guna merealisasikan pemerintahan yang profesional serta akuntabel, yang bersandar pada prinsip-prinsip good governance lembaga administrasi negara dan masyarakat transparansi Indonesia.25 Good governance mempunyai aspek fundamental (asas) dalam
yang harus diperhatikan, yaitu:26
1) Partisipasi (participation);
2) Penegakan hukum (rule of law);
3) Transparansi (transparency);
4) Responsive (responsiveness);
5) Orientasi kesepakatan (consensus orientation);
6) Kesetaraan (equite);
7) Efiktivitas (effectivenness) dan efisiensi (eficiency);
8) Akuntabilitas (accountability);
9) Visi strategis (strategic vision)
3. Negara Hukum
Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu:27
1) Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2) Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi;
3) Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.
Muncul konsep rechtsstaat dari Friedrich Julius Stlah yang diilhami oleh Imanuel Kant pada abad ke 19 sistem hukum eropa kontinental. Menurut Stlah, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah:28
25 A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2015), halaman 199
26Ibdi
27 Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang,1992), halaman 66
1) Perlindungan hak asasi manusia;
2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu 3) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
4) Peradilan administrasi dalam perselisihan
Munculnya unsur peradilan administrasi dalam perselisihan pada konsep rechtstaat menunjukkan adanya hubungan historis antara negara hukum eropa kontinental dengan hukum romawi, Philipus M. Hadjono memberikan pendapat berikut ini :
“Konsep rechtstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut
civil law atau modern law sedangkan konsep hukum rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan rule of law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang dari pada kekuasaan raja. Zaman romawi kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administrasi yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya peran administratif, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut droit administratif dan inti dari droit administratif adalah hubungan antara administratif dengan rakyat.29
Saat yang hampir bersamaan muncul lagi konsep rule of law dari A.V.Dicey yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut:30
29 Philipus M.Hadjono, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), halaman 73
1) Supermasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku bagi orang biasa maupun pejabat;
3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Berdasarkan 2 (dua) tipe negara hukum di atas, ide negara hukum tentunya mengandung beberapa perbedaan, antara lain menyangkut isi dan pengertiannya. Namun demikian diantara keduanya mengandung persamaan yang bersifat prinsipil, yaitu menempatkan hukum pada kedudukan yang lebih tinggi dalam kehidupan bernegara, maka benar apa yang disampaikan oleh A.Hamid S Attamimi yang mengatakan bahwa dalam abad ke-20 (dua puluh) ini hampir tidak ada satu negara pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebutkan dirinya negara berdasarkan atas hukum.31
Konsep negara Indonesia sebagai negara hukum telah lama ada sejak bangsa Indonesia memasuki alam kemerdekaan yaitu dengan berlakunya Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Begitu pula saat diberlakukannya Undang-undang Dasar 1949 (konstitusi Republik Indonesia Serikat), Undang-undang Dasar Sementara 1950 dan sampai diberlakukannya kembali Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Hukum tetap menjadi konsep dasar yang dianut oleh negara Indonesia. Hal ini tercermin dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan kekuasaan belaka, sedangkan dalam
Konstitusi Republik Indonesia serikat bagian I mengenai Bentuk Negara dan Kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara tahun 1950 dikemukakan secara tegas: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.”32
Ketiga perubahan Undang-undang Dasar tersebut tetap berpegang pada konsep negara yang didasarkan atas hukum. Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sampai amandemennya terakhir Konsep Negara Hukum, Indonesia juga memiliki ciri suatu negara kesejahteraan. Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk mewujudkan negara kesejahteraan telah diamanatkan bahwa:33
1) Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap bangsa (warga negara Indonesia) Indonesia dan seluruh wilayan teritorial Indonesia;
2) Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum;
3) Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara tidak langsung hal ini menunjukkan Indonesia juga memiliki ciri konsep negara hukum yang modern, sebagaimana diterangkan pula oleh Muchsan. Muchsan juga meyakini bahwa negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 termasuk negara yang
32 Yopie Morya Immanuel Patrioo, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: CV Keni Media, 2011), halaman 7-8
bertipe welfare state, sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, menurut Muchsan fungsi Negara Republik Indonesia sebagai berikut:34
1) Tugas keamanan, pertahanan dan ketertiban (defence, security, and protectional function).
Penjabaran fungsi ini, negara harus mempertahankan apabila ada serangan luar atau rongrongan atau pemberontakan dari dalam, pencegahan terhadap pencurian kekayaan dilautan serta kekayaan alam lainnya baik di darat maupun di udara, pelanggaran wilayah oleh angkatan perang asing dan sebagainya. Termasuk juga dalam fungsi ini perlindungan terhadap kehidupan, hak milik dan hak-hak lainnya sesuai yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2) Tugas kesejahteraan atau welfare function.
Tugas ini pun dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk social service dan
social welfare, seperti bantuan bencana alam, kemiskinan, pengangguran, penentuan upah minimum, bantuan kesehatan, panti asuhan dan lain-lain. Seluruh kegiatan yang ditujukan untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat serta keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
3) Tugas pendidikan (educational functional).
Tugas ini pun harus ditafsirkan seluas-luasnya termasuk dalam tugas ini pendidikan bagi seluruh warga negara, penerangan umum, national and character building, peningkatan kebudayaan.
4) Tugas untuk turut serta mewujudkan ketertiban serta kesejahteraan dunia
(world peace and human welfare).
Politik bebas aktif negara Repulik Indonesia ikut menciptakan perdamaian yang kekal dan abadi bagi manusia pada umumnya.
4. Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara
Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara meliputi :35
1) Asas Kepastian Hukum
34 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Yogyakarta:Liberty,1992), halaman 8
Asas dalam negara hukum yang mengutamakan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam kebijakan Penyelenggara Negara.
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
5) Asas Proporsionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6) Asas Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Asas Akuntabilitas
7) Asas Permainan yang Layak (Fair Play); 8) Asas Keadilan atau Kewajaran;
9) Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar;
10) Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan yang Batal; 11) Asas Perlindungan Atas Pandangan Hidup Pribadi; 12) Asas Kebijaksanaan;
13) Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum.
AM Donner menetapkan lima asas umum pemerintahan yang baik, yang tidak hanya diterapkan dalam kasus-kasus tertentu saja, akan tetapi dalam persoalan secara umum di dalam administrasi. Lima asas tersebut yaitu37 :
1) Asas Kejujuran (fair play);
2) Asas Kecermatan (zorgvtlldigheid);
3) Asas Kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk);
4) Asas Keseimbangan (evenwichtigheid);
5) Asas Kepastian Hukum (recht zekerheid).
5. Diskresi
Menurut kamus Jerman Indonesia oleh Adolf Heuken S.J., istilah freies ermessen ini berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei
dan freie yang artinya bebas, merdeka, tidak terikat, lepas, dan orang bebas. Kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan.
Baik freies ermessen maupun pouvoir discretionnaire merupakan istilah yang sepadan, yang artinya menurut kebijaksanaan dan sebagai kata sifat berarti menurut wewenang atau kekuasaan. Pengaruh kemungkinan
penyalahgunaan kekuasaan aatu wewenang pada tahap pengambilan keputusan seperti pada aliran aktivitas berikut38
Selain itu, freies ermessen juga diartikan sebagai kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu atau keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan melalui sikap tindak administrasi negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan. Amrah Muslimin mengartikan freies ermessen
sebagai lapangan bergerak selaku kebijaksanaan atau kebebasan kebijaksanaannya.39
Pasal 1 Angka 9 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah disebutkan bahwa “diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat
Pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintah dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintah.”
Pakar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Benyamin Hossein mendefinisikan diskresi adalah kebebasan pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.
Menurut T.Gayus Lumbun diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar undang-undang, dengan tiga syarat:
38 F.A.Abby, Fungsionalisasi Hukum dalam Membangun Birokrasi Pada Era Indonesia Baru, dalam Ahmad Gunaryo, halaman 109
1) Demi kepentingan umum;
2) Masih dalam batas kewenangannya;
3) Tidak melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik.
Berikut rumusan pengertian diskresi dari pakar ilmu Hukum Administrasi Negara:
a) Amrah muslimin
Salah satu manifestasi delegasi dalam bentuk undang-undang yang meletakkan kerangka dan batas-batas tertentu (kaderwet atau raamwetten) kepada pemerintah, Amrah Muslimin berpendapat bahwa diskresi adalah kebebasan kebijaksanaan.
b) Thomas J.Aaron
Thomas J.Aaron di dalam bukunya yang berjudul The Control of Policy Discrettion, Thomas J.Aaron mendefinisikan diskresi: “...is a power or authority confered by the law to act on the basic of judgement or
conscience, and it usse more an idea of morals than law”.
c) Prajudi Atmosudirdjo
d) Stanley de Smith
Diskresi (discretion) menurut Stanley de Smith dimaksudkan sebagai: ”..., implies power to choose between alternative courses of action”.
e) Sjachran Basah
Diskresi adalah “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu” ataupun juga merupakan”…., keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dipertangungjawabkan, baik secara moral maupun hukum”.
Sjachran Basah mengatakan bahwa diperlakukannya freies ermessem
oleh administrasi Negara itu:40
….dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri… terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Administrasi Negara terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian, namun keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat dipertanggungjawabkan.
Berbagai rumusan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar ilmu Hukum Administrasi Negara tersebut, dapat kiranya diperoleh beberapa hal penting mengenai diskresi, freies ermessen atau pouvoir discretionnaire, yaitu:
1) Merupakan salah satu bentuk kekuasaan;
2) Bersumber pada ketentuan perundang-undangan atau peraturan yang sah; 3) Diterapkan dalam dan untuk mencapai tujuan tertentu pada
penyelenggaraan fungsi-fungsi keadministrasian Negara;
4) Tindak pelaksanaannya lebih dilandasi oleh pertimbangan moral dari pada hukum;
5) Tindak dan akibatnya harus dapa dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.
6. Penyalahgunaan Wewenang
Menurut hukum administrasi pengertian kewenangan (authority gezag)
adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang”
(competence, bevoegdheid) hanyalah mengenai suatu bidang tertentu saja. Berdasarkan hal tersebut, wewenang adalah kemampuan melakukan tindakan hukum publik, atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum.41
Menurut hukum administrasi negara, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada seorang pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud diberikannya wewenang itu. Kemudian, apabila penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” pemberian semula wewenang itu, maka wewenang yang diambil tersebut merupakan “penyalahgunaan wewenang (detournament de provoid)”.42
Sjachran Basah menilai detournement de pouvoir adalah perbuatan yang menggunakan wewenang untuk mencapai kepentingan umum yang lain dari pada kepentingan umum yang dimaksudkan oleh peraturan yang menjadi
41 SF. Marbun, Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung, (Yogyakarta: UII Press, 2004) halaman 576
dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak yang terkena atau perbuatan untuk kepentingan diri sendiri, kepentingan orang lain atau golongan lain.43
Willem Konijnenbelt mengatakan dalam praktek peradilan konsep penyalahgunaan wewenang itu kebanyakan diarahkan untuk pembatalan karena bertentangan dengan undang-undang; ketika wewenang dari undang-undang itu digunakan untuk tujuan yang menyimpang, ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan itu bertentangan dengan tujuan dari peraturan perundang-undangan.44
Organ pemerintah yang menggunakan wewenang untuk tujuan lain berarti telah menyalahgunakan wewenang. Jean Rivero dan Waline mengatakan bahwa pengertian penyalahgunaan wewenang itu dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:45
1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2) Penyalahgunan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
43 Sjachran Basah, Eksistensi.... dalam Ridwan, Diskresi dan Tanggung jawab Pemerintah, (Yogyakarta: FH UII Pres, 2014) halaman 176
44 Willem Konijnenbelt, Resume Hoofdlinen van Administratief Recht, Tweede Druk, Lemma B.V., Utrecht, 1990 halaman 54, dalam Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), halaman 177
Parameter yang digunakan untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang dengan penyimpangan prosedur dibedakan di negara Belanda dan di negara Indonesia. Parameter penyalahgunaan wewenang adalah asas spesialitas, sedangkan penyimpangan prosedur parameternya peraturan perundang-undangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, penyimpangan prosedur itu tergolong sebagai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural.
7. Pejabat Publik
Istilah pejabat publik terdiri dari dua suku kata, yaitu “pejabat” dan “publik”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberi pengertian pejabat dengan pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan), sementara, istilah publik diartikan dengan orang banyak (umum).
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme :
“Pejabat publik atau pun disebut penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.”
8. Situasi Darurat
dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera. Secara yuridis, di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana memang tidak ada pengertian mengenai situasi darurat, namun situasi darurat dapat dipahami sebagai daya paksa yang terdapat di dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 48 undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Keadaan demikian (keadaan darurat), yang haram menjadi halal, yang bukan hukum menjadi hukum, yaitu
onrecht word recht. Sebaliknya, yang semula haram menjadi halal, yang semula sah secara hukum menjadi tidak sah karena dalam keadaan yang luar biasa timbul hukum yang juga bersifat luar biasa atau abnormal recht in abnormal tijd.46
E. METODE PENELITIAN
Metodologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “methodos”,
sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.47
Mengenai pengertian penelitian yaitu penelitian (research), berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah) karena hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk
46 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat (Jakarta: Rajawali Pers, 2007)
menjawab permasalahan tertentu. Penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa dunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu, tetaplah bukan kebenaran mutlak. Masih perlu diuji kembali.48
Metodologi penelitian digunakan peneliti dengan maksud untuk memperoleh data yang lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.49
Mengingat terdapat berbagai macam keanekaragaman konsep hukum itu, dan sehubungan dengan itu juga tersedia banyak metode yang setepatnya dipakai, maka penelitian hukum dapatlah dibedakan antara penelitian hukum yang doktrinal dan penelitian hukum yang nondoktrinal. Adapun penelitian hukum yang doktrinal bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari atau dari preskripsi-preskripsi hukum yang tertulis di kitab-kitab undang-undang atau kitab-kitab agama (tergantung keyakinan yang dianut), berikut ajaran atau doktrin yang mendasarinya. Sementara, penelitian hukum yang non doktrinal bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari atau dari fakta-fakta sosial yang bermakna hukum sebagaimana tersimak dalam kehidupan sehari-hari, atau pula fakta-fakta tersebut sebagaimana yang
48 Amirudin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 19
telah terinterpretasi dan menjadi bagian dari dunia makna yang hidup di lingkungan suatu masyarakat tertentu.50
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini digunakan metode pendekatan penelitian hukum doktrinal. Penelitain hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembangnya. Metode doktrinal ini terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian yang normatif di Indonesia, untuk dilawankan dengan metode penelitian yang dikatakan empiris (yang di dalam literatur inernasional disebut penelitian nondoktrinal).51 Dalam penelitian
ini dilakukan pengkajian terhadap diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana dan sanksi administrasi negara dalam perundang-undangan di Indonesia, sedangkan analitis mengandung makna mengelompokkan, menghubungkan, membandingkan, dan memaknai dari aspek tindak pidana korupsi. Penelitian ini adalah penelitian yang berusaha
50 Soetandyo Wignjosoebroto, Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), halaman 121
memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti.52
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini adalah penelitian dalam bidang ilmu hukum, maka spesifikasi penelitian deskriptif analitisnya adalah menggambarkan masalah mengenai hukum, kemudian sistem hukum dan kemudian menganalisanya sesuai dengan penelitian yang ingin dituju.
Penelitian penulisan hukum ini tergolong spesifikasi penelitian deskriptif karena hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penelitian penulisan hukum dengan judul diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat.
Berdasarkan dari hal-hal yang telah diuraikan, dikajilah secara mendalam berdasarkan hukum tindak pidana korupsi dan hukum administrasi negara, sehingga penelitian ini termasuk spesifikasi penelitian analitis.
3. Sumber Data
Dalam rangka mencari kebenaraan ilmiah yang obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan, peneliti berusaha mengumpulkan sumber data serta fakta yang akurat dan aktual. Peneliti akan menggunkan data sekunder dan primer yang diperoleh dengan cara sebagai berikut:
1) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan di bidang hukum yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang di teliti guna memperoleh landasan ilmiah untuk menyusun penelitian hukum. Peraturan perundang-undangan yang digunakan meliputi:
a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
d) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
e) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
f) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
g) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah.
b. Bahan Hukum Sekunder
a) Buku-buku;
b) Hasil karya ilmiah para sarjana; c) Jurnal;
d) Artikel;
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan penjelasan secara rinci dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini meliputi:
a) Kamus Hukum;
b) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan langkah terakhir dalam suatu kegiatan penelitian. Analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu analisis data yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dari penelitian dan disusun secara sistematis, kemudian ditarik kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berfikir yang bersifat dedukatif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus.53
F. SISTEMATIKA PENULISAN
penelitian penulisan ini ke dalam lima bab, yang mana pada setiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab dengan sistematika yang diuraikan sebagai berikut:
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab I ini akan diuraikan mengenai latar belakang ketertarikan peneliti memilih judul penelitian penulisan hukum, permasalahan yang akan dikaji, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan dalam hasil penelitian ini.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini akan diuraikan tentang materi-materi yang berhubungan dengan judul penelitian penulisan hukum Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat, diantaranya mengenai Pemerintahan, Good Governance, Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang Baik, Diskresi, Penyalahgunaan Wewenang, Pejabat Publik, Hukum Administrasi Negara, Sanksi Administrasi, Hukum Pidana. Tinjauan Pustaka merupakan landasan yang mendasari analisis hasil penelitian yang mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang diteliti.
3. BAB III PEMBAHASAN
4. BAB IV PENUTUP
Bab terakhir, yaitu bab IV akan dijelaskan mengenai kesimpulan serta memberikan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ditelit dari penelitian penulisan hukum Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil pembahasan yang diuraikan dalam Bab III mengenai pembahasan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Hukum Pidana
1. Pengertian Hukum Pidana
Mezger memberikan definisi hukum pidana sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Hukum pidana berpokok kepada 2 (dua) hal, yaitu:
1) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larang itu.
2) Pidana
Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Pidana dalam hukum pidana modern meliputi tindakan tata tertib (tuchtmaatregel, Masznahme). Ter Haar di dalam ilmu pengetahuan hukum adat memakai istilah (adat) reaksi. KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP, dst.
Selain definisi tersebut, dapat dikemukakan definisi dari beberapa penulis seperti di bawah ini:
Simons :
1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati;
2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;
3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.
Van Hamel :
dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut).54
2. Fungsi Hukum Pidana
Fungsi hukum dibedakan menjadi fungsi hukum pidana yang umum dan fungsi hukum pidana yang khusus. Fungsi hukum pidana yang umum merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan hukum, ialah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sangat mungkin ada perbuatan seseorang yang sangat tercela dan bertentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum pidana tidak turun tangan, karena tidak dinyatakan tegas dalam hukum atau hukum yang hidup dalam masyarakat.55
Fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau harta (benda-benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda hukum itu. Hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.56
3. Sanksi Hukum Pidana
54 Sudarto, Hukum Pidana 1, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip Semarang, 1990), halaman 9-10
55Ibid., halaman 11-12
Pasal 10 undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat uraian tentang pidana yang terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok tersebut tercantum di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana huruf a, yang terdiri atas:
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Kurungan;
4) Denda;
Sedangkan untuk pidana tambahan tercantum di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana huruf b, yaitu :
1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim.
Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh pencegahan (preventif)
terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini tidak hanya ada apabila sanksi pidana itu benar-benar diterapkan terhadp pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada karena sudah tercantum dalam peraturan hukum (Theorie des psychichen Zwanges = ajaran daya paksa
psychis). Harus diingat, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah subsider, artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan, apabila usaha-usaha lain kurang memadai.57
Selain itu terdapat sanksi yang tajam dalam hukum pidana ini yang membedakan dari lapangan hukumnya. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap ultimum remedium, yaitu obat terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan, oleh karena itu, penggunaannya harus dibatasi. Janganlah mengunakan hukum pidana jika masih ada jalan lain.58
Saksi pidana juga terdapat suatu tragik (sesuatu yang menyedihkan), sehingga hukum pidana dikatakan sebagai mengiris dagingnya sendiri atau sebagai pedang bermata dua. Hukum pidana yang melindungi benda hukum (nyawa, harta benda, kemerdekaan,kehormatan) dalam pelaksanannya ialah apabila ada pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengadakan perlukaan terhadap benda hukum si pelanggar sendiri. Hal ini pun membedakan cabang hukum pidana dengan cabang hukum lainnya.59
Pendapat dari a.l. Van Kan bahwa hukum pidana itu merupakan hukum sanksi belaka. Hukum pidana tidak membuat norma-norma (kaidah-kaidah) baru. Norma-norma yang terdapat dalam cabang hukum lainnya (misalnya hukum perdata, hukum tata pemerintahan, hukum agraria, dsb) dipertahankan dengan ancaman pidana. Hukum pidana disebut sebagai accessoir (bergantung)
58Ibid., halaman 13
terhadap cabang hukum lainnya. Hal ini tidak disetujui Han Bing Sion, ia mengatakan bahwa hukum pidana mempunyai norma-norma sendiri.60
B. Tinjauan tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak pidana
Tindak Pidana merupakan suatu pengertian yang mendasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime atau verbeschen atau
misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis atau secara kriminologis.61
Pada dasarnya tindak pidana merupakan perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana.62 Hukum pidana berpokok
pada perbuatan yang dapat di pidana (verbrechen, crime, atau perbuatan jahat) dan pidana. Perbuatan jahat merupakan obyek dari ilmu pengetahuan pidana. Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti strafbaar feit oleh Soedarto.
Menurut Moeljatno, untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka, disamping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab.63 Hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang
60Ibid
61Ibid., halaman 40
62 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kessalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), halaman 15
meliputi suatu tindak pidana. Sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.64
C. Tinjauan Umum tentang Pemidanaan 1. Pengertian Sistem Pemidanaan
Pengertian sistem dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengandung dua arti, yaitu :65
1) Seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, dan
2) Susunan yang teratur dari pada pandangan, teori, asas dan sebagainya atau diartikan pula sistem itu “metode”.
L.H.C Hulsman mengemukakan mengenai pengertian sistem pemidanaan dapat mencakup pengertian yang sangat luas, bahwa sistem pemidanaan (the sentencing sistem) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules to penal sanctions and punishment).66
Pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana Hukum Pidana itu ditegakkan atau di operasionalkan secara konkret, sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana
64 Chairul Huda..., Loc.Cit.
65 Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung: Yrama Widya, 2003), halaman 565
substantive, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.67
2. Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidanaan dalam Bagian Kesatu Pemidanaan Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2012 yang menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan :
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma Hukum demi pengayoman masyarakat;
2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan 4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
D. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Korupsi
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin
corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Berasal dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu
corruption, corrupt, Prancis yaitu corruption, dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Berasal dari bahasa Belanda inilah kata corruptie itu turun ke Bahasa Indonesia, yaitu korupsi.68
Definisi lain dari korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang 67Ibid
yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturang-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.69 Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan tindak pidana korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.70 Secara umum, korupsi
dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara.71
Definisi lainnya adalah korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.72
2. Delik Pidana Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi, Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana yang Ada Padanya Karena Jabatan atau Kedudukan
69 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001) halaman 31
70 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, (Cimanggis Depok: Pena Mukti Media, 2008) halaman 2
71 Dwi Saputra dkk., Tiada Ruang Tanpa Korupsi, (Semarang: KP2KKN Jawa Tengah, 2004), halaman 27
yang dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan rumusan sebagai berikut:
“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (limah puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).”
Unsur-unsur dalam rumusan Pasal 3 ini adalah :
1) Setiap orang;
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
(wederrechtelijk bevoordeling) dengan mengurangi hak negara, mengambil keuangan atau keuntungan negara sehingga dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara maka hal ini merupakan delik perbuatan pidana, karena keuntungan yang diperoleh pendekatannya dengan melihat dampak yang terjadi dari pekerjaan tersebut apakah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau tidak.73
Kata kunci yang selanjutnya harus dijawab adalah kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Kata-kata tersebut mempunyai pengertian kewenangan yang diperoleh karena jabatan dan jabatan tersebut mempunyai akses terhadap keuangan negara. Banyak jabatan dan kewenangan walaupun disalahgunakan tidak berdampak pada perbuatan merugikan keuangan negara. Berarti bahwa jabatan tersebut mempunyai kekuasaan atau kewenangan langsung atau tidak langsung yang dapat mempengaruhi keputusan yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban keuangan negara.74
Pendekatan untuk melihat unsur penyalahgunaan kewenangan atau jabatan dalam hal teknis pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, dapat dilihat dari 2 (dua) aspek:75
1) Kewenangan delegatif berkaitan dengan jabatan yang dimiliki oleh pejabat tertentu seperti menteri/kepala lembaga atau kepala daerah sebagai pengguna anggaran, berdasarkan surat keputusan didelegasikan kepada 73 Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafa Media, 2014) halaman 35-36
74Ibid.,halaman 38
pejabat di bawahnya sebagai kuasa pengguna anggaran. Kewenangan yang diberikan hanya terbatas pada job description (rincian tugas) dan penugasan sesuai digariskan dalam surat keputusan pengangkatan (yang tertulis);
2) Kewenangan atributif yang diberikan berkaitan dengan jabatan pengelolaan keuangan negara, dasar memperoleh jabatan adalah surat keputusan, kewenangan yang diberikan tertuang dalam peraturan perundang-undangan seperti tugas Penggunaan Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran, Panitia Pengadaaan dan lain-lain.
Selanjutnya mengenai penjelasan kata “dapat” dalam ketentuan ini berarti tidak harus ada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara untuk menentukan suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan korupsi.
E. Tinjauan tentang Ajaran Sifat Melawan Hukum
1. Ajaran Sifat Melawan Hukum dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
telah terjadi. Praktiknya, hal ini masih menjadi multi tafsir bagi hakim atau aparat penegak hukum lainnya terhadap unsur melawan hukum.76
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan bahwa:
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lambat 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Selanjutnya, penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerangkan bahwa, dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) di atas memang merupakan delik formil, hal ini juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menerangkan “dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap di pidana.”
Rumusan tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.77
sedangkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 merupakan delik materiil, yaitu delik yang dianggap terbukti dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.78
Pembahasan unsur dapat menimbulkan kerugian dari Pasal 263 ayat (1) KUHP, P.A.F. Lamintang79 dengan mengikuti pendapat dari putusan Hoge Raad
tanggal 22 April 2007 dan tanggal 8 Juni 1997, mengemukakan pembentuk undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya kerugian yang timbul, melainkan hanya kemungkinan timbulnya kerugian seperti itu, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan timbulnya kerugian tersebut.
Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan oleh P.A.F. Lamintang, maka agar seorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), sudah cukup jika terdapat alat-alat bukti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tersebut.80
78ibid
79 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum terhadap Surat-Surat, Alat-alat Pembayaran, Alat-alat Bukti dan Peradilan, (Mandar Maju, Bandung, 1991), halaman 34.
2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korupsi Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara korupsi pasca
Constitutional Review terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 24 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 membahas mengenai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi telah ditentukan setiap orang yang secara melawan hukum. Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya syarat Pegawai Negeri yang harus menyertai setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud. Menurut R. Wiyono,81 pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal
2 ayat (1) dapat terdiri atas orang perseorangan, dan/ atau, korporasi.
Ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, akan ditemukan tiga unsur utama, yaitu:
1) Secara melawan hukum;
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.