BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah
menciptakan dengan sempurna sehingga realitas ini dicetuskan oleh Aristoteles pada 300 tahun sebelum masehi mengucapkan bahwa manusia adalah suatu zoon politicon. Ucapan ini biasa diartikan sebagai manusia sebagai makhluk sosial, yang berarti manusia itu
mempunyai sifat untuk mencari kumpulannya dengan sesama manusia yaitu dengan suatu pergaulan hidup. Dimana pergaulan hidup yang akrab antara manusia dipersatukan
dengan cara-cara tertentu oleh hasrat kemasyarakatan mereka. Hasrat yang dimiliki oleh setiap manusia inilah yang mendorong masing-masing individu untuk mencari pasangan hidupnya yaitu dengan membentuk suatu kelompok manusia yang didasarkan atas ikatan
perkawinan, sehingga membentuk sebuah rumah tangga.
Perkembangan kehidupan dalam berkeluarga merupakan suatu proses yang harus
dijalani oleh setiap anggota keluarga. Perkembangan yang diharapkan adalah menuju suatu bentuk keluarga yang solid dan seimbang sehingga terbentuk keluarga yang harmonis (Facthiah 2009:52). Pada kenyataannya, kehidupan dalam keluarga tidak selalu
berjalan dengan mulus. Masalah akan selalu timbul selama kehidupan berjalan. Bermacam-macam masalah dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan keluarga yang mana dapat mempengaruhi stabilitas keluarga (Facthiah 2009:61).
Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap individu yang
namun tidak semua kehidupan keluarga berjalan seperti yang diharapkan. Dalam masyarakat ditemui juga rumah tangga yang diwarnai dengan peristiwa-peristiwa yang
tidak diharapkan oleh anggota keluarga. Salah satu contoh dari peristiwa yang tidak diharapkan ini adalah perceraian, sebagai bias akibat dari konflik yang terjadi di dalam rumah tangga sebuah keluarga dari suatu pasangan (Yusuf, 2004).
Angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan
ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa
perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya
perkawinan di UUP dijelaskan, yaitu: 1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusnya pengadilan
Fenomena perceraian tidak hanya berlangsung di negara maju tetapi juga di negara
berkembang seperti Indonesia. Data perceraian di Indonesia semakin mencemaskan dari waktu ke waktu. BKKBN menyatakan tingkat perceraian di Indonesia sudah menempati urutan tertinggi se Asia Pasifik. Jumlah perceraian setiap tahunnya tetap semakin
meningkat
Agama (Kemenag) yang disampaikan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan Anwar Saadi, menyatakan bahwa data tersebut bukanlah kabar yang menggembirakan bagi kesehatan
bangsa yang dimulai dari kesehatan rumah tangganya. Semua pihak harus bekerja sama menekan peningkatan angka perceraian tersebut. Sehingga, perlu dilakukan kajian lebih lanjut soal fenomena perceraian ini. Agar pada akhirnya diperoleh solusi menekan angka
perceraian, dan mendapatkan situasi rumah tangga Indonesia yang sehat.
Data pada tahun 2007 tercatat 6.218 kasus perceraian.Tahun 2008 tercatat 5.193
kasus perceraian. Pada tahun 2008 mencapai 2.519 pasangan ke Pengadilan Agama untuk bercerai (Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa 4 Maret 2008). Berdasarkan data, pada 2009 jumlah masyarakat yang menikah sebanyak 2.162.268. Di tahun yang sama, terjadi
angka perceraian sebanyak 10 persen yakni 216.286 peristiwa. Sementara, pada tahun berikutnya, yakni 2010, peristiwa pernikahan di Indonesia sebanyak 2.207.364. Adapun
peristiwa perceraian di tahun tersebut meningkat tiga persen dari tahun sebelumnya yakni berjumlah 285.184 peristiwa. Pada 2011, terjadi peristiwa nikah sebanyak 2.319.821 sementara peristiwa cerai sebanyak 158.119 peristiwa. Berikutnya pada 2012, peristiwa
nikah yang terjadi yakni sebanyak 2.291.265 peristiwa sementara yang bercerai berjumlah 372.577. Pendataan selanjutnya yakni 2013, jumlah peristiwa nikah menurun
dari tahun lalu menjadi sebanyak 2.218.130 peristiwa. Namun tingkat perceraiannya meningkat menjadi 14,6 persen atau sebanyak 324.527 peristiwa
Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) menyebutkan, angka perceraian di Indonesia lima tahun
terakhir terus meningkat. Pada 2010-2015, dari sekitar 2 juta pasangan menikah, 15 persen di antaranya bercerai. Angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia tahun 2014 mencapai 382.231, naik sekitar 100.000 kasus. Pada tahun
2015 kasus perceraian meningkat 1000 kasus dari tahun sebelumnya
diakses pada tanggal 03 Februari 2016 pukul 19.20 WIB).
Sementara angka perceraian di Kota Medan juga semakin meningkat. Pada tahun 2012, jumlah perceraian yang diputus Pengadilan Agama Medan sebanyak 1.518 perkara.
Jumlah itu melonjak pada 2013 yang mencapai 1.975 perkara. Kemudian tahun 2014, angka perceraian di Medan kembali menunjukkan peningkatan, dimana mencapai 2.025
kasus. Pada tahun ini, kata Jumri, hingga periode Oktober, kasus perceraian yang diputus Pengadilan Agama Medan mencapai 2.103 perkara. Dari semua kasus perceraian ini sekitar 60% itu adalah gugatan dari pihak istri. Jadi, gugatannya memang didominasi
pihak istr diakses pada tanggal 03 Februari 2016 pukul 19.45 WIB).
Opini atau tanggapan seseorang terhadap peristiwa atau kejadian perceraian dapat dipandang sebagai pernyataan sikap, khususnya terhadap perilakuyaitu penilaian yang dibuat seseorang mengenai baik atau buruknyadan sejauh mana ia mendukung atau
menyatakan ketidaksetujuan terhadap perceraian dan hanya 25,3 % yang menyatakan
Tabu, atau tidak boleh dilakukan apapun alasannya Sedapat mungkin dihindari karena sesuatu yang memalukan
Boleh saja dilakukan kalau istri / suami menginginkan sebagai jalan keluar terbaik Suatu hal yang biasa saja terjadi dalam kehidupan
Hampir keseluruhan responden yaitu 80% menyatakan bahwa sedapat mungkin
perceraian haruslah dihindari karena mereka menganggap suatu perceraian sebagai suatu hal yang masih memalukan, bahkan masih ada sebagian masyarakat (4% dari responden) yang memandang perceraian sebagai sesuatu hal yang tabu atau tidak boleh dilakukan.
Tampaknya jawaban ini merupakan konsistensi dari pandangan responden penelitian mengenai ketidaksetujuan terhadap perceraian itu sendiri. Sebaliknya hanya 9,3% yang
memandang perceraian sudah menjadi hal yang biasa terjadi dalam masyarakat dan 5,3% responden menyatakan bahwa perceraian boleh saja terjadi sebagai salah satu jalan keluar terbaik bagi pasangan tersebut
Bentuk keluarga ideal didalam masyarakat berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, karena latar belakang sosial budayanya berbeda. Sistem keluarga ideal
yaitu menyangkut hubungan suami dan istri, orang tua dan anak-anaknya, serta keluarga dan semua kerabat, dan hubungan ini telah banyak mengalami perubahan saat ini, karena pada awalnya hubungan-hubungan lebih diwarnai oleh kepentingan ekonomi belaka
(walau tidak semua), namun akhirnya semakin lama semakin dilandasi oleh rasa cinta dan kasih antara suami dan istri, serta terhadap anak-anaknya, maupun kerabat
(Sanderson 2002:481).
Meskipun perkawinan yang pada awalnya dilandasi oleh dasar cinta, tidak jarang perkawinan tersebut berakhir dengan cerai tanpa memikirkan dampak dari perceraian itu
sendiri bagi mereka, anak-anak, dan masyarakat sekeliling mereka. Banyak kasus kriminal yang dilakukan oleh anak-anak nakal disebabkan oleh kondisi keluarga yang
berantakan, gangual mental, psikologis, tingkah laku, dan selfesteem yang rendah pada anak sebagai akibat dari perceraian. Faktor penyebab perceraian itu sendiri terkadang bersumber dari persoalan yang kecil dan sepele yang masih mungkin bisa diselesaikan
namun perceraian sering dianggap sebagai solusi yang mengakibatkan ikatan suci seumur hidup itu harus diakhiri dengan perceraian. Faktor penyebab tersebut antara lain karena
faktor ekonomi atau keuangan yang mengharuskan istri bekerja, campur tangan orang tua terhadap rumah tangga anaknya, faktor hubungan seksual, faktor agama, faktor pendidikan dan faktor usia muda yang dialami oleh suatu pasangan sehingga berkonflik
Untuk menciptakan keluarga bahagia sejahtera membutuhkan beberapa hal diantaranya menyangkut aspek kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan hubungan yang
harmonis. Perkawinan juga membutuhkan kedewasaan, baik kedewasaan fisik maupun mental. Apabila hal-hal diatas tidak di penuhi maka tidak jarang perkawinan yang sakral akan berahir dengan perceraiaan. Perceraian jarang sekali direncanakan bahkan nyaris
tidak ada satu orang pun yang merencanakan perceraian dalam perkawinan. Tetapi perceraian selalu terjadi sebagai alteranatif terakhir bila pasangan suami istri tidak
mungkin lagi untuk hidup bersama.
Dalam suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah tangga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang terdapat
dalam UU No.1 tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua orang dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini dikarenakan adanya perceraian,baik cerai
mati, cerai talak, maupun cerai atas putusan hakim. Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, yang dilakukan di depan sidang Pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri untuk non muslim dan
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam pada tanggal 05 Februari 2016 pukul 16.40 WIB). Perceraian merupakan perpisahan yang
pahit antara pasangan suami istri yang bisa saja berakibat negatif bagi setiap individu, keluarga ataupun masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Berdasarkan data di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam pada tahun 2012-2015 ada
1156 perkawinan dan 61 kasus perceraian dengan 5 putusan kasus perceraian yang telah ditetapkan di Kabupaten Deli Serdang, adapun data perkawinan dan kasus perceraian di
Kecamatan Patumbak ialah sebagai berikut: Dusun I sebanyak 69 pasangan perkawinan dan 6 kasus perceraian, Dusun II sebanyak 88 pasangan perkawinan dan 19 kasus
perceraian, Dusun III A sebanyak 64 pasangan perkawinan dan 5 kasus perceraian, Dusun III B sebanyak 99 pasangan perkawinan dan 7 kasus perceraian pada periode tahun 2012-2015. Perceraian yang terjadi pada suatu keluarga tidak jarang dijadikan
pembahasan oleh sejumlah orang yang berada di sekitaran keluarga pasangan yang bercerai di Dusun III B Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang. Timbul bahasan
positif tentang sebuah perceraian dan tidak sedikit juga yang berkomentar negatif seperti misalnya membahas diluar dari kejadian yang sebenarnya, akibat respon negatif menjadikan suatu beban sosial bagi individu yang bercerai.
Maraknya fenomena perceraian dan banyaknya hal yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya perceraian setelah membina rumah tangga menjadi topik yang
sering diperbincangkan oleh masyarakat, yang menghasilkan berbagai persepsi dan opini yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Demikian halnya seseorang yang telah mengalami perceraian yang merupakan orangtua tunggal, masing-masing juga
memiliki pandangan yang berbeda mengenai perceraian. Hal ini membuat penulis tertarik untuk meneliti bagaimana persepsi orangtua tunggal terhadap perceraian.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penulis merumuskan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui Persepsi Orangtua Tunggal di Dusun III B Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang terhadap fenomena
perceraian.
1.3.2 Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam hal:
1. Secara Akademis, penelitian ini dapat memberikan tambahan literatur kajian terhadap
perkembangan ilmu kesejahteraan sosial.
2. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran yang jelas dan nyata tentang pandangan terhadap perceraian sekaligus memberi masukan
bagi masyarakat mengenai perceraian dan bagi pihak-pihak terkait khususnya bagi pihak pemberdayaan keluarga agar menjadikan hasil kajian persepsi orangtua tunggal terhadap perceraian sebagai solusi untuk meminimalisir terjadinya perceraian.
3. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam penelitian, khususnya untuk kajian
yang berhubungan dengan perceraian sekaligus menjadi acuan bagi peneliti berikutnya.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan secara teoritis tinjauan-tinjauan yang berkaitan
dengan penelitian yang dilakukan, kerangka pemikiran, definisi konsep, dan definisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan
sampel penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian
dan data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.
BAB V : ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian
beserta dengan analisisnya.
BAB VI : PENUTUP