MAKNA KHALÎFAH DALAM AL-QUR`AN:
Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
Oleh:
Wahyu Kurniawan
NIM. 215-13-015
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA (FUADAH)
JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR (IAT)
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ر ْسُْي ِ ْسُْعْلإ َعَم َّن
إ
ِ
إ
(QS. Al-Insyirāh [94]: 6)
PERSEMBAHAN
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
ا
alif tidak dilambangkan tidak dilambangkanب
ba’ b beت
ta’ t teث
ṡa ṡ es (dengan titik di atas)ج
jim j jeح
ḥa’ ḥ ha (dengan titik di bawah(خ
kha’ kh ka dan haد
dal d deذ
żal ż zet (dengan titik di atas)ر
ra’ r erز
zal z zetس
sin s esص
ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)ض
ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)ط
ṭa’ ṭ te (dengan titik di bawah)ظ
ẓa’ ẓ zet (dengan titik di bawah)ع
‘ain ‘ koma terbalik (di atas)غ
gain g geف
fa’ f efق
qaf q qiك
kaf k kaل
lam l elم
mim m emن
nun n enو
wawu w weه
ha’ h haء
hamzah ` apostrofي
ya’ y yeB. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap
ةدع
Ditulis ‘iddahC. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h
a. Bila dimatikan ditulis h
ةمكح
Ditulis Ḥikmahةيزج
Ditulis Jizyah(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya)
b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.
ءايلولاا ةمرك
Ditulis Karâmah al-auliyā`c. Bila Ta’ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah
ditulis t.
ةرطفلا ةاكز
Ditulis Zakat al-fiṭrahD. Vokal Pendek
__
_
Fatḥah Ditulis A__
_
Kasrah Ditulis I__
E. Vokal Panjang
Fatḥah bertemu Alif
ةيلهاج
Ditulis ĀJahiliyyah Fatḥah bertemu Alif Layyinah
ىسنت
Ditulis ĀTansa Kasrah bertemu ya’ mati
يمرك
Ditulis ĪKarīm Ḍammah bertemu wawu mati
ضورف
Ditulis ŪFurūḍ
F. Vokal Rangkap
Fatḥah bertemuYa’ Mati
مكنيب
Ditulis AiBainakum Fatḥah bertemu Wawu Mati
لوق
Ditulis AuQaul
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
متنأأ
Ditulis A`antumتدعأ
Ditulis U’iddatH. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah
ditulis dengan menggunkan “al”
نارقلا
Ditulis Al-Qur`ānسايقلا
Ditulis Al-Qiyāsءامسلا
Ditulis Al-Samā`سمشلا
Ditulis Al-SyamsI. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau pengucapannya
ضورفلا ىوذ
Ditulis Żawi al-furūḍا
KATA PENGANTAR
ميحرلا نحمرلا الله مسب
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah swt. yang telah mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna
Khalīfah Dalam al-Qur`an (Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu) ini.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah saw. beserta keluarga, sahabat serta pengikut-pengikutnya sampai di yaumul qiyāmah. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Kedua orangtua (Ayahanda Madiyono dan Ibunda Samiyem) yang tak pernah henti berjuang menyekolahkan anak-anaknya meskipun selalu mendapat ujian-ujian yang sangat menyulitkan. Do’a yang selalu terlantun di setiap malammu adalah pemeran terpenting dalam segala keberhasilanku. Seribu terimakasih mungkin tak cukup untuk membalas jasamu. Semoga dengan skripsi ini dapat menjadi sebuah kebanggaanmu terhadap anakmu.
3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir beserta staff-staffnya yang tak pernah menyerah memotivasi kami sebagai angkatan pertama untuk menyelesaikan skripsi kami. Terimakasih juga atsa fasilitas Lab FUADAH yang tlah dibuka beberapa saat sebelum penulis memulai skripsi ini, sehingga fasilitas tersebut sangat membantu proses penulisan skripsi ini.
4. Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A. selaku dosen pembimbing yang dengan kesabarannya berkenan memberikan petunjuk dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.
5. Teman-teman seperjuangan, Muhammad Sarifuddin, M Abdul Fatah, Rangga Pradikta, Husain Imaduddin, Laila Alfiyanti, M Choirurrohman, Mahfudz Fawzie dan Triyanah, terimakasih atas empat tahun perjuangan yang telah kita lewati bersama ini.
6. Saudara-saudaraku yang selalu giat memotivasi penulis dan menghibur penulis ketika menemui jalan susah dalam penulisan skripsi ini.
7. Adik-adik kelas yang juga selalu membantu dan memotivasi penulis, bahkan menemani penulis seharian di Lab FUADAH untuk menyelesaika skripsi ini.
8. Dan tak lupa pihak-pihak terkait yang lain yang tak sempat untuk disebutkan di sini.
Teriring do’a, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis
dilipat gandakan. Penulis menyadari bajwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skipsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Salatiga, 8 Maret 2017 Penulis,
ABSTRAK
Salah satu kemukjizatan Al Quran adalah sebuah kitab dengan sastra yang indah. Hal tersebut ditunjukkan dari keindahan susunan kata dalam ayat-ayat Al Quran yang mempesona. Karena hal tersebut tidaklah jarang ketika dalam memahami ayat Al Quran banyak perbedaan yang muncul baik dari para pakar maupun dari kalangan orang Islam pada umumnya. Dalam memahami nash Al Quran, seorang pengkaji dituntut untuk mempersiapkan diri. Sarana untuk untuk maksut tersebut diantaranya dengan menggunakan metode semantik atau kebahasaan. Seperti kata “Khalīfah ” dalam pengertian umum diartikan sebagai sebuah sistem politik yang mengharuskan seluruh komponennya adalah muslim, berbeda dengan pemaknaan ketika kata tersebut dikolaborasikan dengan metode semantik Toshihiko Izutsu yang memaknai kata “Khalīfah ” sebagai pengganti Allah di muka bumi atau pengganti pemimpin sebelumnya.
Berawal dari gagasan inilah Peneliti tertarik melakukan kajian ini. Penelitian ini berjudul “Makna Khalīfah Dalam Al-Qur`an: Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu”, ini merupakan sebuah kajian yang meneliti pemaknaan kata Khalīfah dalam Al Quran dengan menggunakan pendekatan metode semantik Toshihiko Izutsu. Izutsu adalah sarjana yang berasal dari jepang. Ia merupakan seorang tokoh yang memperkenalkan metode sematik sebagai metode memaknai sebuah kata. Ia juga termasuk ke dalam seorang mufassir dari golongan orientalis. Ia mempunyai beberapa karya tulis yang membahas tentang kajian makna kata dalam al-Qur`an dengan menggunkan metode semantiknya. Peneliti memilih kata “Khalīfah ” dalam Al Quran karena pendapat para pakar yang masih debetabel atas kata tersebut dan menarik jika kata Khalīfah dimaknai dengan metode semantik agar lebih jelas dalam penemuan maknanya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemaknaan kata Khalīfah dalam Al Quran menurut semantik Tosihiko Izutsu. Dalam penelitian ini Peneliti memilih menggunakan metode semantik, sebab Izutsu dalam mencari makna kata dalam Al Quran menggunakan semantik adalah sebuah alternatif memahami kata dan menjadi salah satu keunikan makna kata yang mendalam.
Peneliti menemukan pandangan Tosihiko Izutsu bahwa kata Khalīfah
dalam Al Quran tidak mempunyai makna sebagai sebuah sistem politik akan tetapi lebih kepada pengganti Allah dalam hal menjaga dan melestarikan bumi (Khalīfah fi al Ardh) dan sebagai pengganti pemimpin sebelumnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN KEASLIAN TULISAN ... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi
KATA PENGANTAR ... xi
ABSTRAK ... xiv
DAFTAR ISI ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Tinjauan Pustaka ... 11
E. Landasan Teori ... 13
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II TERM KHALĪFAH DALAM AL-QUR`AN ... 19
A. Ayat-Ayat Khalīfah Dalam Al-Qur`an ... 19
C. Ayat-Ayat Khulafā’ Dalam Al-Qur`an ... 24
D. Makna Khalīfah Menurut Para Mufassir ... 27
BAB III SEMANTIK AL-QUR`AN TOSHIHIKO IZUTSU ... 32
A. Biografi Singkat Toshihiko Izutsu ... 32
B. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu ... 36
C. Jenis-jenis Semantik ... 38
D. Semantik Al-Qur`an ... 40
E. Prinsip-Prinsip Metodologi Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu ... 42
BAB IV SEMANTIK KATA KHALĪFAH ... 50
A. Makna Dasar ... 50
B. Makna Relasional ... 53
C. Sinkronik dan Diakronik ... 54
D. Weltanschauung ... 66
BAB V PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 79
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realitas bahwa al-Qur`an memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
kehidupan umat Islam merupakan fakta yang tidak terbantah. Al-Qur`an adalah
inti (core) peradaban Islam. Ayat-ayat al-Qur`an sellu dibaca, ditulis dan
didendangkan. petunjuk, norma, dan bukti-bukti kebenarannya yang abadi, secara
terus-menerus dipahami dan didialogkan dengan realitas yang mengelilingi
kehidupan keseharian mereka. Bagi umat Islam, seluruh isi kandungan yang
terdapat dalam ayat-ayat al-Qur`an berlaku bagi siapa pun, kapan pun dan di mana
pun adanya. Penerapan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an
diyakini akan menghantakan umat manusia memperoleh kebenaran dan
kesejahteraan. Hampir-hampir tidak ada ruang dalam kehidupan muslim, baik
privat maupun public yang tidak bersentuhan dengan al-Qur`an. Tidak berlebihan
jika banyak intelektual baik muslim maupun non-muslim menyatakan bahwa
peradaban Islam adalah peradaban yang bersumber pada teks.1
Al-Qur`an adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di dalam bentuk mushaf
serta diriwayatkan secara mutawatir, membacanya termasuk ibadah, bahkan surat
tependeknya memiliki kemuliaan yang lebih tinggi daripada seluruh isinya.2
Al-1 A. Luthfi Hamidi, Pemikiran Toshihiko Izutsu tentang Semantik Al-Qur`an, Disertasi,
(Yogyakarta: UIN Sunn Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 2.
2Muhammad Abdul ‘Adzim Al-Zurqani,Manahil al—‘Irfan fi Ulumul Qu`an,Juz 2,
Qur`an merupakan kitab suci yang paling sakral bagi umat Islam, di dalamnya
terdapat semua sumber hukum yang berlaku dalam kehidupan umat tersebut.
Al-Qur`an sendiri diyakini sebagai kitab suci yang menyimpan banyak pengetahuan
dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, banyak akademisi yang berusaha untuk
memahami al-Qur`an dari berbagai sudut pandang. Pengetahuan yang terdapat di
dalam al-Qur`an kemudian diolah kembali sesuai dengan pemahaman sang
pembaca menjadi sebuah konsep pengetahuan tersendiri dalam pemikiran
pembaca tersebut. Konsep-konsep ini yang nantinya dikenal dengan sebutan tafsir.
Penafsiran terhadap al-Qur`an telah dimulai sejak era al-Qur`an diturunkan. Pada
masa tersebut metode yang dipakai adalah tafsir Qur`an dengan Qur`an yang
meliputi tafsir ayat dengan ayat. Selain itu dikenal juga tafsir Qur`an dengan
hadis, dimana penafsir tersebut adalah Nabi SAW sebagai orang yang juga
menyampaikan al-Qur`an kepada umatnya. Tafsir al-Qur`an mengalami
perkembangan yang cukup luas setelah masa Nabi SAW Ada beberapa aliran
tafsir yang muncul kemudian sesuai dengan disiplin ilmu yang dipakai dalam
metode penafsiran, antara lain: tafsir mauḍu’i, tafsir bi al-ma’tsūr, tafsir bi
al-ra’yi, tafsir sufi, tafsir ‘isyari, tafsir ilmiy dan tafsir sastra. Ragam model
penafsiran ini menunjukkan bahwa al-Qur`an bisa dipahami dari berbagai macam
pendekatan.
Salah satu sisi mukjizat dari al-Qur`an adalah sebuah kitab dengan sastra
yang indah. Para pakar bersepakat bahwa sisi keindahan bahasa dan susunan kata
dalam ayat-ayat al-Qur`an sangat mempesona. Aspek keistimewaan bahasa dalam
dan menyusun kosa kata, kemudahan pengucapannya serta kesesuaian nada
kalimatnya ke telinga pembaca dan pendengarnya dan tentu kedalaman pesan
yang dikandungnya.3
Pada masa turunnya al-Qur`an, sisi kebahasaan itulah yang dirasakan oleh
masyarakat Islam pertama. Namun, dari waktu ke waktu pengetahuan bahasa
tereduksi sehingga sisi itu tidak lagi memiliki kesan yang besar. Namun demikian,
tidak berarti bahwa keistimewaan al-Qur`an dalam aspek tersebut hilang atau
keistimewaan tersebut tidak lagi dapat menjadi bukti kebenaran. Al-Baqillani
mengatakan, al-Qur`an memiliki struktur yang sangat indah dan susunan yang
menakjubkan. Kualitas efisiensinya mencapai puncak tertinggi, hingga
membuatnya jelas tidak akan bisa dicapai oleh makhluk.4
Pada era kontemporer, para sarjana mulai mengalihkan pemikiran mereka
pada metode kebahasaan, salah satunya Toshihiko Izutsu yang lebih menekankan
pada semantik historis kebahasaan al-Qur`an. Sepeninggal Nabi Muhammad
SAW seiring dengan berjalannya waktu dan perbedaan ruang, terjadi pergeseran
makna al-Qur`an oleh penafsiran mufassirin. Di sinilah pentingnya metode untuk
mencapai ketepatan makna secara eksplisit dan implisit dalam ayat-ayat al-Qur`an
dan semantik merupakan salah satu alternatifnya. Gagasan analisis semantik
dalam konteks al-Qur`an ini, sebagaimana yang dipaparkan Islah Gusmian dalam
bukunya Khazanah Tafsir Indonesia bahwa mulanya semantik ini dipopulerkan
oleh Toshihiko Isutzu, semantik ini merupakan ilmu yang berhubungan dengan
fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata. Begitu luas,
3 Ismatillah dkk, Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur`an (Suatu Kajian dengan
Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu),(Diya al-Afkar, 4 [02], 2016), hlm. 39.
sehingga apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek
semantik.5
Pentingnya telaah semantik tersebut, dalam perkembangan di anak benua
Indo-Pakistan Sir Ahmad Khan dalam bukunya Taufik Adnan Amal menjelaskan
bahwa dalam tataran penelitian filologi, penetapan makna al-Qur`an harus
mendapat justifikasi rasionalistik. Metode rasionalistik ini sejalan dengan prinsip
conformity to nature. Inilah prinsip penafsiran al-Qur`an. Hal tersebut mendasari
pendekatan semantik ini juga dengan tidak bisa melepas peran rasio. Sebagaimana
juga di Indonesia pada dasawarsa 1990-an, semantik menjadi salah satu metode
pendekatan signifikan, di mana semantik ini pada dasarnya hendak menangkap
weltanschauung al-Qur`an searah dengan tujuan model penyajian tematik yang
hendak merumuskan pandangan al-Qur`an dalam suatu masalah tertentu secara
komprehensif.6
Sebelum Nabi Muhammad SAW wafat, ia mewasirkan dua pusaka kepada
umat Islam yang dengannya dapat mengantarkan pada keselamatan dunia dan
akhirat, yaitu al-Qur`an dan Hadis. Keduanya mengandung ajaran-ajaran Islam,
dan merupakan dua sumber ajaran-ajaran Islam yang paling utama, yang tidak
akan tersesat apabila mematuhi apa yang terkandung di dalam dua pusaka
tersebut.
Melihat wahyu terakhir yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, serta
jaminan tidak akan tersesatnya seorang muslim yang menjalankan apa yang ada di
dalam al-Qur`an dan Hadis ternyata tidak menjadi sebuah ketentuan bahwa setiap
5 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 230.
muslim dapat merepresentasikan Islam sebagai rahmat seluruh alam. Sejarah
mencatat, bahwa telah terjadi beberapa kali perpecahan di antara umat Islam ini.
Perpecahan ini dimulai dari peperangan antara pengikut Ali bin Abi Thalib
dengan pengikut Mu’awiyah, yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Pada
peperangan tersebut tentara Ali tewas 35.000 orang dan tentara Mu’awiyah tewas
45.000 orang. Kemudian disusul dengan peristiwa jatuhnya Baghdad, yang
diserang oleh bangsa Mongol (pasukan Tartar yang dikenal sebagai bangsa yang
bengis dan tidak berperikemanusiaan). Ini terjadi karena perbedaan pandangan
antara khalīfah yang orang Sunni dengan wasir besar (perdana menteri) yang
orang Syi’ah. Perkelahian penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi juga
telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan. Di
abad ke-15 M, terjadi pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan
terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang untuk
mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing. Turki dengan
Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah. Belum lagi ketika
menengok sejarah teologi/ilmu kalam dalam Islam, dimana akan nampak
banyaknya perpecahan-perpecahan umat Islam dalam memaknai Islam, di
samping juga dalam mengamalkannya. Padahal acuan dasar dalam beragama
adalah sama. Tidak hanya sekedar berselisih, mereka juga tidak segan-segan
mengklaim pihak yang tidak sesuai dengan ideologinya sebagai seorang kafir, dan
sebutan-sebutan negatif lainnya.
Seakan tidak belajar dari sejarah, umat Islam dewasa ini masih terjebak
dengan muslim lainnya. Bahkan tidak jarang, perpecahan ini berujung pada klaim
kafir (takfīr) yang dilakukan oleh kelompok Islam satu kepada kelompok lain
yang tidak sepaham dengan ideologinya.
Sejarah perpecahan ini juga menyajikan fakta bahwa tiap kelompok yang
saling berselisih, tetap mengacu pada al-Qur`an dan Hadis yang sama. Tiap
kelompok dapat menyajikan argumennya masing-masing baik itu berupa ayat
dalam al-Qur’an atau matan Hadis Nabi Muhammad SAW Pertanyaannya adalah
bagaimana bisa dari rujukan yang sama menimbulkan sikap yang berbeda dalam
umat Islam? Apakah kedua sumber utama tersebut terlalu ambigu ataukah
ketidakmampuan umat Islam dalam menangkap pesan yang terkandung di dalam
al-Qur`an dan hadis yang akhirnya menjadikan pemahaman yang tidak sejalan,
bahkan terkadang sangat bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya? Jika
merujuk pada firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah [5] ayat 48, maka
anggapan bahwa al-Qur`an dan Hadis adalah ambigu sangatlah tidak dapat dapat
diterima. Jika demikian, maka keterbatasan manusia dalam memahami Kalam
Ilahi inilah yang menjadikan perpecahan-perpecahan dalam Islam.
Persoalan yang pertama muncul ketika Rasulullah SAW wafat adalah
masalah khilāfah/kepemimpinan, mengenai siapa yang cocok menggantikan
kedudukan beliau sebagai kepala negara. Persoalan ini meskipun dapat diatasi
kembali ketika terbunuhnya ‘Usman bin Affan ra. dan naiknya ‘Ali bin Abi Thalib
sebagaikhalīfahmenggantikan ‘Usman ra.7
Secara historis, umat Islam tidak dapat dipisahkan dari masalah
khilāfah/kepemimpinan. Hal ini bukan hanya disebabkan karena kepemimpinan
itu merupakan suatu kehormatan besar, tetapi juga memegang peranan penting
dalam dakwah Islam. Kenyataan ini juga terbukti, di mana kepemimpinan tidak
hanya aktual pada tataran praktisnya, tetapi juga senantiasa aktual dalam wacana
intelektual muslim sepanjang sejarah. Namun demikian, yang perlu diingat ialah
Al-Qur`an dan hadis sebagai sumber otoritatif ajaran Islam tidak memberikan
sistem kepemimpinan dan ketatanegaraan yang cocok untuk umat Islam, kecuali
hanya memberikan prinsip-prinsip universal, mengenai masalah kepemimpinan.
Atas dasar prinsip-prinsip universal inilah, para cendikiawan muslim dan para
ulama, merumuskan sistem kepemimpinan Islam.8
Pada masa klasik, penafsiran tentang kepemimpinan dalam Al-Qur`an
relatif tidak dipermasalahkan, khususnya pada masa sahabat dan pada masa
Umaiyyah. Tetapi setelah penetrasi Barat masuk ke dalam negara Islam tertentu,
polemik tentang kepemimpinan dalam Islam muncul, sehingga menjadi ajang
korntroversi. Kontroversi ini menimbulkan berbagai aliran pemikiran yaitu:
pertama, aliran tradisionalis yang mengatakan bahwa dasar dan sistem
pemerintahan sudah diatur lengkap dalam Al-Qur`an; kedua, aliran sekuler yang
mengatakan bahwa Islam hanyalah agama spritual yang tidak memiliki hubungan
dengan pemerintahan khususnya politik; dan ketiga, aliran reformis yang
7Abd Rahim,Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, (Makassar: PPs UIN Alauddin
Makassar, 2012), hlm. 2.
mengatakan bahwa Islam hanyalah memberikan ajaran sebatas nilai-nilai moral
dalam praktek politik dan penyelenggaraan negara.9
Toshihiko Izutsu melihat fenomena perpecahan umat ini sebagai suatu
akibat dari tidak adanya weltanschauung10 dalam al-Qur`an, utamanya terhadap
kata-kata yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menandai catatan
dominan, menembus dan menguasai seluruh pemikiran al-Qur`an.11 Oleh karena
itu, Toshihiko Izutsu menawarkan pendekatan dengan tujuan untuk menemukan
weltanschauung al-Qur`an, sehingga diperolehlah itu apa yang menjadi world
view al-Qur`an, khususnya istilah-istilah yang oleh Toshihiko Izutsu disebut
sebagai kata kunci dalam al-Qur`an. Kata kunci inilah yang sering memicu
terjadinya perpecahan. Pendekatan yang ditawarkan oleh Toshihiko ini adalah
pendekatan semantik dalam rangka merumuskanWeltanschauungal-Qur`an.
Melihat beberapa kasus yang terjadi dewasa ini, salah satu problematika
yang dapat mengantarkan kepada perpecahan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya adalah masalah kepemimpinan. Secara umum, pemimpin merupakan
seseorang yang memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah organisasi atau
negara. Ia memiliki kuasa atas segala yang dipimpinnya, serta memiliki wilayah
kekuasaan. Dalam studi kebahasaan, di dalam al-Qur`an terdapat beberapa kata
yang bermakna pemimpin, di antaranya adalahkhalīfah.
9Abd Rahim,Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, hlm. 2.
10Yakni pandangan dunia masyarakat yang menggunakan Bahasa itu, tidak hanya sebagai
alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an,terj. Agus Fahri Husein,et al.,(Yogyakarta: TiaraWacana, 2003), hlm. 3.
Dengan menggunakan pendekatan semantik, penulis tertarik untuk
mengkaji makna dari term khalīfah bersama dua bentuk jamaknya, yaitukhalā`if
dankhulafā’ di dalam al-Qur`an. Diceritakan dalam al-Qur`an bahwa Allah SWT
menurunkan manusia di bumi dalam rangka menjadi khalīfah fi al-arḍ
sebagaimana dalam ayat berikut12;
Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi
sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS.
Yunus [10] : 14)
Kata khalā’if dalam ayat tersebut merupakan bentuk plural dari
khalīfah yang berarti pengganti. Dalam misi merawat dan menjaga bumi,
sebelum manusia diciptakan, Allah SWT memang telah mengutus makhluk
sebelum manusia untuk menghuni dan menjaga bumi. Namun makhluk-makhluk
tersebut justru menghancurkan bumi dan kemudian Allah SWT membinasakan
mereka.13
Selanjutnya, guna meneruskan misi tersebut Allah SWT mengutus
manusia, maka kata khalīfah yang dimaksud adalah manusia sebagai pengganti
makhluk sebelumnya untuk menjaga bumi. Dalam rangka misi tersebut, selain
menurunkan manusia di bumi, Allah SWT juga melengkapinya dengan beberapa
tuntunan dan ilmu kepada manusia pertama yakni Adam.14
12Alva Alvavi Makmuna,Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an (Analisis Semantik Kata
Libas, Siyab dan Sarabil dalam al-Qur`an Perspektif Toshihiko Izutsu), Thesis, (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2015), hlm. 5.
ُﻬَﺿَﺮَﻋ ﱠُﰒ ﺎَﻬﱠﻠُﻛ َءﺎَْﲰَْﻷا َمَدآ َﻢﱠﻠَﻋَو
ْﻢ
َﻠَﻋ
َﻼَﻤْﻟا ﻰ
َأ َلﺎَﻘَـﻓ ِﺔَﻜِﺋ
ِءﺎَْﲰَِ ِﱐﻮُﺌِﺒْﻧ
َﲔِﻗِدﺎَﺻ ْﻢُﺘْـﻨُﻛ ْنِإ ِء َﻻُﺆَﻫ
dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Dalam pengutusan itu Allah SWT memberikan bermacam ilmu kepada
Adam, hingga kemudian Allah SWT mengutus beberapa nabi setelah Adam
sebagai pembimbing manusia di bumi. Para Nabi mendapat petunjuk dan
bimbingan Allah SWT langsung melalui wahyu yang diembannya yang wajib
disampaikan kepada manusia, sampai kepada nabi terakhir yakni Muhammad
SAW yang dibekali al-Qur`an sebagai petunjuk hingga akhir zaman.15
Dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan lebih jauh lagi mengenai
makna khalīfah dalam Qur`an dengan menggunakan pendekatan semantik
al-Qur`an Toshihiko Izutsu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyebutan termkhalīfahdi dalam al-Qur`an?
2. Bagaimana pendekatan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu?
3. Bagaimana pemaknaan khalīfah menurut semantik al-Qur`an Toshihiko
Izutsu?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penyebutan termkhalīfahdi dalam al-Qur`an.
2. Untuk mengetahui pendekatan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu.
3. Untuk mengetahui pemaknaan khalīfah menurut semantik al-Qur`an
Toshihiko Izutsu.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai khalīfah bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia
akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai perspektif
juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian mengenai
khalīfah, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun disertasi, diantaranya
adalah:
1. Skripsi dengan judul Konsep Khalīfah Menurut M. Quraish Shihab dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam yang ditulis oleh seorang
mahasiswi jurusan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah yang bernama Khoirunnisa Fadlilah pada tahun 2014.
Skripsi ini mengkaji sekaligus menjelaskan konsep khalīfah menurut M.
Quraish Shihab, dan implikasinya terhadap pendidikan Islam. Tujuan
penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran M. Quraish Shihab
tentang konsep khalīfah.
2. Sebuah karya tulisan yang dimuat dalam jurnal TARBAWY, Vol. 2, Nomor 1,
(2015) oleh Yesi Lisnawati, Aam Abdussalam, dan Wahyu Wibisana yang
Tujuan Pendidikan Islam (Studi Mauḍu’i Terhadap Konsep Khalīfah dalam
Tafsir Al-Misbah). Dalam tulisan tersebut Yesi membahas tentang
penyebaran konsep Khalīfah dalam al-Qur`an dan pendapat Tafsir
Al-Mishbah terhadap konsep Khalīfah serta implikasi konsep Khalīfah terhadap
tujuan pendidikan.
Penelitian mengenai kajian semantik sebagai pendekatan dalam mengkaji
sebuah term dalam al-Qur`an juga bukan merupakan hal yang baru. Diantara
penelitian tentang semantik yang pernah dilakukan yaitu:
1. Skripsi berjudul Makna Tawakkul Dalam Al-Qur`an (Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu) yang ditulis oleh seorang mahasiswa Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Eko Budi Santoso pada tahun 2015.
Dalam penelitian ini penulis tersebut mengkaji makna kata tawakkul dengan
menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
2. Skripsi karya Muhammad Iqbal Maulana seorang mahasiswa Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2015 yang berjudul Konsep
Jihad Dalam Al-Qur`an (Kajian Analisis Semantik Toshihiko Izutsu). Skripsi
ini membahas tentang konsep jihādyang terdapat di dalam al-Qur`an dengan
menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
3. Skripsi berjudul Keadilan Dalam Qur`an (Kajian Semantik atas Kata
Al-‘Adl dan Al-Qisṭ) oleh seorang mahasiswi Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 2015. Skripsi ini juga menggunakan pendekatan
4. Sebuah penelitian oleh Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun
pada tahun 2016 yang berjudul Makna Wali dan Awliya’ Dalam Al-Qur`an
(Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu). Tulisan ini
mencoba mengungkap makna kata wali dan awliya' yang terdapat di dalam
al-Qur`an dan menemukan sebuah konsep dari kata tersebut sesuai yang
dimaksud oleh al-Qur`an.
Dari kajian pustaka di atas, signifikansi penelitian ini berbeda dengan
sebelum-sebelumnya. Penelitian ini menjelaskan tentang term khalīfah di dalam
al-Qur`an dengan ditinjau menggunakan pendekatan semantik al-Qur`an yang
dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
E. Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Semantik
Al-Qur`an Toshihiko Izutsu. Adapun teori beliau dalam menganalisis suatu
kosakata dalam al-Qur`an yaitu sebagai berikut:
1. Menetukan kaat fokus. Setelah menentukan kata fokus selanjutnya
mengumpulkan ayat-ayat yang menajdi obyek kajian, menyantumkan
asbabunnuzul, dan mengelompokkannya diantara ayat-ayat makkiyah dan
madaniyah.
2. Menganalisis makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut
yang meliputi:
Makna dasar adalah suatu kata yang melekat pada kata itu sendiri, yang
selalu terbawa dimana pun kata itu diletakkan. Sedangkan makna
relasional adalah suatu kata yang konotatif yang diberikan kata itu pada
posisi khusus dalam bidang khusus.16Ada dua langkah untuk mengetahui
makna relasional, yaitu:
1) Analisis sintagmatik yaitu suatu analisis yang berusaha menentukan
makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di
depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian
tertentu.
2) Analisis paradigmatik yaitu analisis yang mengkomparasikan kata
atau konsep tertentu dengan kata atau konsep yang lain yang mirip
atau bertentangan.
b. Sinkronik dan Diakronik
Aspek sinkronik adalah aspek kata yang tidak berubah dari konsep atau
kata dalam pengertian ini system kata bersifat statis. Sedangkan aspek
diakronik adalah aspek sekumpulan kata yang masing-masing tumbuh
dan berubah bebas dengan caranya sendiri yang khas. Toshihiko Izutsu
menyederhanakan persoalan ini dengan membagi periode waktu
penggunaan kosakata dalam tiga periode waktu yaitu Pra Qur`anik,
Qur`anik, dan Pasca Qur`anik.17
F. Metode Penelitian
Jenis dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersumber pada
data kepustakaan atau library research. Yaitu jenis penelitian yang menggunakan
data-data kepustakaan sebagai data penelitiannya, seperti buku, jurnal, artikel,
ensiklopedia, dan data-data pustaka yang terdapat di dalam internet. Sehingga
penelitian ini sepenuhnya didasarkan atas bahan-bahan kepustakaan yang terkait
dengan penelitian.
Peneliti akan menggunakan metode tafsir tematik term, yaitu model kajian
tematik yang secara khusus meneliti term(istilah-istilah) tertentu dalam
al-Qur`an.18 Dalam penelitian ini term khalīfah menjadi fokus utama untuk dikaji.
Maka peneliti akan menguraikan jumlah penyebutan kata khalīfah dan bentuk
jamaknya di dalam al-Qur`an, makna yang dikandungnya dan
konteks-konteksnya.
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi dari al-Qur`an,
buku-buku tentang semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu, kamus-kamus bahasa,
kitab-kitab tafsir, karya-karya ilmiah dan karya tulis lain yang terdapat dalam
internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Dari berbagai sumber diatas terbagi
menjadi dua kelompok berdasarkan perannya sebagai sumber data dalam
penelitian ini, yaitu:
Sumber utama yang dipakai yaitu buku berjudul Relasi Tuhan dan
Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur`an yang merupakan karya dari
18 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur`an dan Tafsir, (Yogyakarta:Idea Press
Toshihiko Izutsu. Karya-karyanya yang lain yang berkaitan dengan penelitian ini
juga menjadi sumber utama.
Sebagai data pendukung penulis memakai data-data dari buku seperti
Mu’jam al-Qur`an li al-Alfadz al-Qur`an, Ensiklopedia Al-Qur`an (Kajian
Kosakata), dan beberapa kitab tafsir seperti tafsir al-Misbah dan lainnya. Selain
itu penulis juga menggunakan data dari karya-karya ilmiah seperti skripsi, thesis
ataupun jurnal yang memiliki tema yang berkaitan dengan skripsi ini.
Data-data yang telah didapat dikumpulkan kemudian diolah dengan
cara-cara berikut: 1) Deskripsi, yaitu dengan mengumpulkan dan mengelompokkan
ayat-ayat yang mengandung term khalīfah, kemudian menguraikan makna-makna
kata khalīfah yang terdapat di dalam al-Qur`an. 2) Analisis, yaitu melakukan
analisis dengan menggunakan teori semantik. Analisis ini meliputi makna kata
khalīfah di dalam al-Qur`an, konsep-konsep yang terkait dengan konsep khalīfah
dan pemaknaankhalīfahdari sisi diakronik.19
Dalam pemaknaan kata khalīfah di dalam al-Qur`an ini penulis
menggunakan pendekatan semantik dari seorang mufassir orientalis bernama
Toshihiko Izutsu. Dengan pendekatan tersebut pemaknaan kata khalīfah dikupas
dengan mengetahui makna sinkronik dan diakroniknya, yakni makna kata tersebut
pada masa pra Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik.
19Eko Budi Santoso, Makna Tawakkul Dalam Al-Qur`an (Aplikasi Semantik Toshihiko
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi menjadi lima bab.
Kelima bab yang akan dibahas sesuai dengan outline yang telah ada dan berguna
memudahkan pembahasan.
Pada Bab yang pertama ini merupakan penjabaran awal, penulis mencoba
menerangkan latar belakang permasalahan, mengapa penulisan skripsi ini disusun,
batasan dan rumusan masalah. Selain itu, tujuan untuk menjawab permasalahan
penelitian juga dipaparkan dalam bab ini, disertai dengan manfaat penelitian
secara akademis. Dalam bab ini penulis juga menerangkan tentang karya-karya
terdahulu yang membahas tema yang sama disertai dengan perbedaannya dengan
skripsi ini. Penulis juga menerangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini
beserta sistematika dalam penulisan skripsi ini.
Bab Kedua berisi deskripsi ayat-ayat yang mengandung term khalīfah,
khala’if dan khulafa`. Bab ini terbagi menjadi empat sub bab, yaitu ayat-ayat
tentang khalīfah, ayat-ayat tentang khala’if, ayat-ayat tentang khulafa`, dan
penafsiran kata-kata tersebut menurut beberapa mufasir.
Bab ketiga memuat tentang semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu. Terbagi
menjadi beberapa sub bab, yaitu biografi singkat Toshihiko Izutsu, pengertian
semantik, dan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu.
Bab keempat, berisi analisis semanting makna khalīfah yang terdiri dari
dua sub bab, yaitu makna dasar, makna relasional, makna sinkronik, dan makna
sintagmatik dan paradigmatik. Dan makna diakronik terbagi menjadi 3 yaitu pra
Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik.
Bab kelima, berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Dalam bab ini
akan diterangkan tentang kesimpulan dari pembahasan penelitian di bab-bab
sebelumnya serta mengungkap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
penulisan ini dan memberikan saran-saran agar penulisan selanjutnya bisa
BAB II
TERM
KHALĪFAH
DALAM AL-QUR`AN
Di dalam al-Qur`an, katakhilāfdan turunannya disebutkan sebanyak 127 kali,
sedangkan kata khalīfahdisebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat Al-Baqarah
[2]: 30 dan surat Ṣād [38]:26. Katakhalīfahmemiliki dua bentuk jamak yaitukhalā`if
dan khulafā`. Kata khalā`if disebutkan sebanyak empat kali, yaitu dalam surat
Al-An’am [6]: 165, surat Yunus [10]: 14 dan 73, serta dalam surat Faṭir [35]: 39.
Kemudian kata khulafā` juga disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak tiga kali, yaitu
dalam surat Al-A’raf [7]: 69 dan 74, dan surat An-Naml [27]: 62.19
A. Ayat-ayatkhalīfahDalam Al-Qur`an
Ayat pertama yang menyebutkan kata khalīfah adalah surat al-Baqarah [2]
ayat 30. Surat ini masuk ke dalam surat madaniyah, terdiri dari 283 ayat. Berikut
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
19M. Fu’ad Abdul Baqi,Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Kairo: Dar el-Hadits, 2007),
Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Ayat yang kedua adalah surat Ṣād [38] ayat 26. Surat ini masuk ke dalam
kelompok surat makiyyah. Terdiri dari 88 ayat.
ْرَْﻷا ِﰲ ًﺔَﻔﻴِﻠَﺧ َكﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ ﱠِإ ُدوُواَد َ
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(QS. Ṣād [38]: 26)
Kata khalīfah dalam kedua ayat di atas memiliki arti yang sama yaitu yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar
ini, ada yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang menggantikan Allah
dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi
bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai
Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya
penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk
lain dalam menghuni bumi ini.20
20 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. 1,
Ayat yang pertama di atas menunjukkan bahwa ke-khalīfah-an terdiri dari
wewenang yang dianugerahkan Allah SWT, makhluk yang diserahi tugas, yakni
Adam AS dan anak cucunya, serta waliyah tempat bertugas, yakni bumi yang
terhampar ini.21 Sedangkan pada ayat yang kedua. Pada masa Daud AS terjadi
peperangan antara dua penguasa besar, Thalut dan Jalut. Daud AS adalah salah
seorang anggota pasukan talut. Kepandainnya menggunakan ketapel mengantarnya
berhasil membunuh Jalut dan, setelah keberhasilannya itu serta setelah meninggalnya
Talut, Allah SWT mengangkatnya sebagaikhalīfahmenggantikan Thalut.22
Dalam buku Membumikan Al-Qur`an, penulis mengemukakan bahwa terdapat
persamaan antara ayat yang berbicara tentang nabi Daud AS di atas dan ayat yang
berbicara tentang pengangkatan Nabi Adam AS sebagai khalīfah . Kedua tokoh itu
diangkat Allah SWT menjadi khalīfah di bumi dan keduanya dianugerahi
pengetahuan. Keduannya pernah tergelincir dan keduanya pernah memohon ampun
lalu diterima permohonannya oleh Allah SWT Sampai di sini, kita dapat memperoleh
dua kesimpulan. Pertama, kata khalīfah digunakan al-quran untuk siapa yang diberi
kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas Nabi Daud AS mengelola
wilayah Palestina dan sekitarnya, sedang Adam AS, secara potensial atau aktual,
mengelola bumi keseluruhannya pada masa awal kesejarahan manusia. Kedua,
seorang khalīfahberpotensi bahkan secara aktual dapat melakukan kekeliruan akibat
mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik adam maupun Daud AS diberi peringatan
agar tidak mengikuti hawa nafsu.23
B. Ayat-ayatkhalā`ifDalam Al-Qur`an
Menurut kamus Lisānul ‘Arab, bentuk jamak dari kata khalīfah adalah
khalā`if.24 Kata ini disebutkan sebanyak empat kali di dalam al-Qur`an, yaitu dalam
surat Al-An’am [6]:165, surat Yunus [10]: 14 dan 73, serta dalam surat Faṭir [35]:
39.25
Surat al-An’am merupakan surat ke enam di dalam Mushaf Utsmani.
Dijelaskan dalam tafsiral-Kasyafbahwa surat yang terdiri dari 165 ayat ini termasuk
ke dalam kelompok surat makkiyah, kecuali ayat 20, 23, 91, 93, 114, 141, 152, dan
153, ayat-ayat tersebut masuk ke dalam kelompok madaniyah.26 Dengan begitu maka
ayat berikut merupakan ayat makkiyah. meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
23Shihab,Tafsir Al-Misbah...,Vol. 11, hlm. 369.
24 Jamal Al-Din Abi Fadhl Muhammad bin Makram Ibnu Mandzur, Lisānul ‘Arab, jilid 9,
(Beirut: Dār Shādir, 1414 H), hlm. 82.
25Baqi,Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an..., hlm. 240.
26Abu Al-Qasim Muhammad bin ‘Amru bin Ahmad Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘An Haqaiq
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-An’ām [6]: 165)
Surat nomer ke 10 dalam al-Qur`an ini merupakan salah satu dari surat
makkiyah kecuali ayat 40, 94, 95 dan 96.27Ia terdiri dari 109 ayat.
َﻨْﻠَﻌَﺟ ﱠُﰒ
Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS. Yūnus [10]: 14) bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu. (QS. Yūnus [10]: 73)
Ayat ini juga termasuk ke dalam golongan makkiyah. Diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW Setelah surat al-Furqān. Surat ini terdiri dari 45 ayat.
َﻤَﻓ ِضْرَْﻷا ِﰲ َﻒِﺋ َﻼَﺧ ْﻢُﻜَﻠَﻌَﺟ يِﺬﱠﻟا َﻮُﻫ
Dia-lah yang menjadikan kamu khalīfah-khalīfah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.(QS. Faṭir [35]: 39)
Kata khalā`if adalah bentuk jamak dari kata khalīfah . Kata ini terambil dari
kata khalf yang pada mulanya berarti belakang. Dari sini, kata khalīfah sering kali
diartikan yang menggantikan atau yang datang di belakang (sesudah) siapa yang
datang sebelumnya. Maka dapat dikatakan makna kata khalā`if pada keempat ayat di
atas memiliki arti yang sama dengan ayat yang menggunakan katakhalīfah.
Al-Raghib al-ashfahani dalam mufrodat-nya menjelaskan bahwa
menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan,
baik bersama yang digantikan atau sesudahnya. Lebih lanjut, pakar bahasa al-Qur`an
itu menulis bahwa kekhalīfahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat,
kematian, atau ketidakmampuan yang digantikan itu, dan dapat juga karena yang
digantikan memberi kepercayaan dan penghormatan kepada yang menggantikannya.
Maka atas dasar ini, ada yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang
menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan
memberinya penghormatan. ada lagi yang memahaminya dalam arti yang
menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.28
C. Ayat-ayatkhulafā`Dalam Al-Qur`an
Kata khulafā` dalam kamus Lisaanul Arab merupakan bentuk jamak dari
khalif—tanpa ta’ marbutah—. Namun dalam kitab tersebut dikatakan juga bahwa
menurut imam Syibaweh, khulafā` adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata
tersebut disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak tiga kali, yaitu dalam surat Al-A’rāf
[7]:69 dan 74, dan surat An-Naml [27]: 62.29
Surat Al-A’rāf termasuk ke dalam golongan makkiyah, kecuali delapan ayat.
Surat ini terdiri dari 206 ayat.
Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-A’rāf [7]: 69)
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.(QS. Al-A’rāf [7]: 74)
Surat Al-An’am, merupakan surat ke 27 dengan jumlah ayat 93. Surat ini
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalīfah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).(QS. Al-Naml [27]: 62)
Kata khulafā` juga merupakan salah satu dari dua bentuk jamak dari kata
khalīfah yang digunakan di dalam al-Qur`an di samping kata khalā`if . Kata ini juga
memiliki arti yang sama dengan dua bentuk lainnya yaitu yang menggantikan atau
yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya.
Dalam buku Membumikan Al-Qur`an, antara lain dikemukakan bahwa bentuk
jamak yang digunakan dalam al-Qur`an untuk kata khalīfah adalah khalā`if dan
khulafā`. Setelah memperhatikan konteks ayat-ayat yang menggunakan kedua bentuk
jamak itu, dapat disimpulkan bahwa bila kata khulafā` digunakan al-Quran, itu
mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola satu wilayah, sedang
bila menggunakan bentuk jamak khalā`if, kekuasaan wilayah tidak termasuk dalam
maknaya. Tidak digunakannya bentuk tungal untuk makna ini, mengesankan bahwa
kekhalīfahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana, kecuali dengan
bantuan dan kerjasama dengan orang lain.30
D. MaknaKhalīfahMenurut Para Mufassir
1. Ibnu Katsir
Mengambil salah satu mufassir terkemuka pada zaman klasik yaitu Ibnu
Katsir, dalam kitabnya ia menjelaskan tentang makna khalīfah sebagai suatu kaum
yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi
generasi. Menurutnya konsep khalīfah mengharuskan secara pasti tiadanya pihak
yang digantikan, baik tiadanya itu secara total atau hanya sebagian, baik tiadanya itu
karena kematian, perpindahan, dicopot, mengundurkan diri, atau karena sebab lain
yang membuat pihak yang digantikan tidak dapat melanjutkan aktivitasnya.31
Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-An’ām ayat 165, “Dia-lah yang
menjadikanmu sebagai khalifah-khalifah di bumi.” Juga firman-Nya dalam surat
al-Zukhruf ayat 60, “Dan kalau Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai
gantimu di muka bumi ini malaikat-malaikat yang turun-temurun.”32
Dalam surat al-Baqarah ayat 30 malaikat bertanya kepada Allah, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi ini orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” Artinya, para malaikat itu bermaksud
bahwa di antara jenis makhluk ini (manusia) terdapat orang yang akan melakukan
kerusakan. Seolah-olah para malaikat mengetahui hal tersebut berdasarkan ilmu
khusus, atau mereka memahami kata khalīfah yaitu orang yang memutuskan perkara
31Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim,Jilid 3, (Dar thoyyibah, 1999), hlm. 384.
32Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004),
di antara manusia tentang kezhaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka, dan
mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikemukakan
oleh Qurtubi.33
Ucapan malaikat ini bukan sebagai penentangan terhadap Allah SWT atau
kedengkian terhadap anak cucu Adam. Mereka telah disifati oleh Allah SWT sebagai
makhluk yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan, yaitu tidak menanyakan sesuatu
yang tidak Dia izinkan. Di sini tatkala Allah memberitahukan kepada mereka bahwa
Dia akan menciptakan makhluk di bumi, Qatadah mengatakan, “Para malaikat telah
mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan dimuka bumi,” maka mereka
bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi ini orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya
dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang
terdapat di dalamnya. Maka untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu, Allah
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Artinya
dalam penciptaan manusia itu Allah lebih mengetahui bahwa terdapat kemashlahatan
yang lebih besar daripada kerusakan yang dikhawatirkan oleh para malaikat,
sedangkan mereka tidak mengetahui.34
Mengutip dari pendapat Ibnu Jarir, ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30
adalah bahwa Allah SWT Berfiman, “Aku akan menjadikan di muka bumi seorang
khalifah dari-Ku yang menjadi pengganti-Ku dalam memutuskan perkara secara adil
di antara semua makhluk-Ku. Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang
menggantikan posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambilan keputusan
secara adil di tengah-tengah umat manusia.”35
2. Bishri Mustafa
KH. Bishri Mustafa merupakan salah mufassir dan juga seorang ulama besar
di Indonesia. Lahir dari seorang Ulama besar pula dan memiliki saudara yang juga
seorang mufassir serta kiyai besar, yaitu Misbah Mustafa. Kitab tafsir yang
dikarangnya terkenal sebagai salah satu karya besar Islam di zaman klasik. Nama dari
kitab tafsirnya adalah Tafsir Al-Ibris.
Bishri Mustafa dalam memaknai kata khalīfah dapat ditemukan dalam
penafsirannya terhadap surat al-An’ām ayat 165, dimana beliau menjelaskan:
Iyo Allah ta’ala iku, dzat kang nitahake siro kabeh, katitahake dadi ganti manggon ono ing bumi. (iki mati, iku lahir, iku mati, iki lahir. Kene mati, kono lahir, kono mati, kene lahir).36
Jadi, menurutnya manusia dicipatkan oleh Allah di bumi sebagai pengganti,
yaitu menggantikan manusia yang lain. Misalnya ketika si A mati, maka akan
digantikan dengan lahirnya si B, atau sebaliknya ketika si B mati, maka akan
digantikan dengan lahirnya si A. Atau juga ketika disini ada orang yang meninggal,
maka akan ada seseorang yang lahir di tempat lain.
35Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004),
hlm. 101-102.
36Bisri Mustafa,Al-Ibris li Ma’rifat Tafsir al-Qur`an al-Aziz, Jilid 1, (Kudus: Menara Kudus,
Di zaman sekarang ini dengan jumlah penduduk bumi yang mencapai tujuh
miliyar lebih, dan banyak terjadinya perang ataupun pembunuhan, maka bukan hal
mustahil ketika terjadi kematian setiap hari. Dan juga dengan jumlah penduduk
seperti itu pun bukan hal yang mutahul juga ketika angka kelahiran terjadi setiap hari.
Maka dengan adanya kematian dan kelahiran tersebut dapat disimpulkan bahwa
setiap hari terjadi pergantian pada kehidupan manusia di bumi. Seorang manusia lahir
ke dunia untuk menggantikan manusia lain yang lebih dahulu menghuni bumi namun
telah habis masanya.
3. Quraish Shihab
Salah satu mufassir kontemporer dalam negeri yang memiliki karya tafsir yang
sangat sering menjadi referensi para peneliti dalam mengkaji sebuah tafsir tentang
suatu ayat adalah tafsir al-Misbah karya M Quraish Shihab. Di dalam kitab tersebut,
Quraish Shihab mengemukakan pendapat Asy-Sya’rawi mengenai ayat-ayat di atAS
Asy-sya’rawi mengemukakan kesannya tentang ayat ini melalui satu analisis yang
menarik. Ulama mesir kenamaan ini bertitik tolak juga dari makna kebahasaan kata
khalīfah, yakni yang menggantikan. Menurutnya, yang menggantikan itu boleh jadi
menyangkut waktu boleh jadi juga tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara
sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini, tetapi dapat juga berarti
ke-khalīfah-an manusia yang diterimanya dari Allah. Tetapi, di sini asy-Sya’rawi tidak
memahaminya dalam arti bahwa manusia yang menggantikan Allah dalam
memakmurkan bumi sesuai apa yang digariskannya—bukan dalam arti tersebut—
tetapi dia memahami ke-khalīfah-an tersebut berkaitan dengan reaksi dan ketundukan
bumi kepada manusia. Segala sesuatu tunduk dan bereaksi kepada Allah. Sekelumit
dari kekuasaan-Nya menundukkan dianugerahkan-Nya kepada manusia sehingga
sebagian dari ciptaan Alah pun tunduk dan bereaksi kepada manusia. Jika anda
menyalakan api, ia akan menyala; jika anda mnabur benih di tanah, ia akan tumbuh;
jika anda minum, reaksinya adalah rasa haus anda hilang; jika anda makan, reaksinya
adalah anda kenyang. Demikian seterusnya. “Nah, darimana kemampuan dan
ketundukan hal-hal tersebut, dari mana reaksinya engkau peroleh hai manusia? Tanya
Asy-Sya’rawi. Jelas dari Allah melalui perntah-Nya kepada benda-benda itu untuk
bereaksi terhadap anda. Jika demikian, anda adalah khalīfah Allah, yakni khalīfah
iradat atau kehendak. Maksudnya, Allah memberi anda sebagaian dari
kekuasaan-Nya sehingga sebagaimana apa yang dikehendaki Allah terjadi melalui reksi sesuatu,
anda pun—untuk batas-batas yang dianugerahkannya—dapat mewujudkan apa yang
anda kehendaki melalui perintah Allah kepada benda-benda itu untuk bereaksi
terhadap tindakan anda. Ini—menurut asy-sya’rawi—untuk membuktikan bahwa
Allah berkehendak. Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya.37
BAB III
SEMANTIK AL-QUR`AN TOSHIHIKO IZUTSU
A. Biografi Singkat Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di
Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993. Ia menjalani proses pendidikannya dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi di negaranya sendiri, Jepang. Ia menempuh
jenjang perguruan tingginya di Fakultas Ekonomi Universitas Keio, Tokyo.
Namun, sebelum ia selesai belajar di sana ia pindah ke Jurusan Sastra Inggris
karena ingin mdibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki.38
Tahun 1954, Izutsu selesai belajar di sana, kemudian mengabdikan dirinya
di lembaga tersebut sebagai seorang dosen. Selain mengabdi, di sana ia juga
mengembangkan karirnya sebagai seorang intelektual hingga pada tahun 1950 ia
mendapatkan gelar sebagai profesor. Kemudian atas permintaan Wilfred Cantwell
yang merupakan seorang direktur di Universitas McGil Montreal Kanada, Izutsu
diundang menjadi profesor tamu di universitas tersebut, pada tahun 1962 hingga
1968. Sepulang dari sana dia menjadi profesor penuh pada tahun 1969 hingga
1975.39
Perjalanannya dalam dunia intelektual berlanjut dengan undangan dari
Seyyed Hossein Nasr untuk megajar di Imperial Academy of Philosophy pada
38 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hlm. 51.
tahun 1975 dan berakhir pada tahun 1979 hingga kemudian ia kembali ke tanah
airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga akhir hayatnya.40
Selain itu, Izutsu juga aktif di beberapa lembaga keilmuan, seperti Nihon
Gakushin (The Japan Academy) pada tahun 1983, Institut International de
Philosophy di Paris pada tahun 1971 dan Academy of Arabic Language di Kairo,
Mesir pada tahun 1960. Ia juga pernah menjadi tamu di Rockefeller pada tahun
1959 sampai dengan 1961 di Amreika dan Eranos Lecturer on Oriental
Philosophy di Switzerland pada antara tahun 1967 sampai dengan 1982.41
Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak
bahasa dunia. Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara
spesifik substansi berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa
aslinya. Bidang kegiatan penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat
Yunani kuno, filsafat Barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan
Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme
China, dan filsafat Zen pengetahuannya memungkinkan untuk melihat
persoalan dari berbagai perpektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang
menyeluruh tentang satu masalah.42
Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang
sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh
yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam
40Fathurrahman,Al-Qur`an dan Tafsirnya ...,hlm. 52. 41Fathurrahman,Al-Qur`an dan Tafsirnya ...,hlm. 52.
Jalâl al-Dîn Ashtiyani, Consciousness and Reality; Studies in Memory of
Toshihiko Izutsu, (Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya
mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang
tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran
filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi
batas-batas kultural dan intelektual, Toshihiko Izutsu dapat dengan mudah memasuki
semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat. Dia adalah seorang
tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam,
tetapi juga warisan intelektualnya. Ia menulis dengan sangat kompeten tidak
hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn Arabi dan Mulla Sadra selain juga para ahli
filsafat Barat.43
Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh
utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak
hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya
melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan
serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara
pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.44
Sejak kecil keluarga Izutsu dibiasakan dengan cara berpikir Timur
yang berpijak pada ketiadaan (nothingness). Sebagai seorang guru Zen,
Ayahnya mengajarkan inti ajaran ini dengan menuliskan sebuah kata
‘kokoro’ yang berarti pengetahuan di atas sebuah kertas. Lalu, tulisan ini
diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu tertentu setiap hari.
43Fathurrahman,Al-Qur`an dan Tafsirnya ...,hlm. 53.
Kemudian setelah tiba waktunya, sang ayah memerintahkan untuk
menghapus tulisan itu dan meminta sang anak untuk melihat tulisan itu di
dalam pikirannya, bukan kata yang ada di atas kertas, seraya memusatkan
perhatian pada tulisan tersebut terus-menerus. Tidak lama kemudian, sang
ayah memerintahkan untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya
saat itu juga, dan menatap pengetahuan yang hidup di balik kata yang tertulis.
Dengan tegas diperingatkan bahawa Izutsu seharusnya tidak melakukan penelitian
intelektual terhadap pokok amalan Zen bahkan setelah menyelesaikan amalan
tersebut.45
Tetapi, dalam perjalanan hidupnya, Izutsu juga membaca karya-karya
yang ditulis oleh ahli mistik Barat. Pengalaman inilah yang mengantarkan
beliau pada pemahaman yang sangat bertentangan dengan keyakinan
sebelumnya. Kalau masa mudanya ia asyik dengan spiritualisme Timur,
kemudian beralih pada spiritualisme Barat dan mencurahkan perhatiannya
pada kajian filsafat Yunani. Dari pengalaman berpikir tentang filsafat
Yunani seperti Socrates, Aristoteles dan Plotinos, yakni sejenis mistisisme,
ditemukan sumber pemikiran filsafat dan sekaligus sebagai kedalaman
filsafatnya.46
Penemuan pengalaman mistikal sebagai sumber pemikiran filsafat
menjadi titik permulaan untuk seluruh filsafat Izutsu selanjutnya. Ia bukan
hanya sebuah penemuan di dalam ruang filsafat Yunani, tetapi juga menjadi
asal-usul pemikiran ketika beliau mengembangkan ruang lingkup aktivitas
penelitiannya pada filsafat Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India, filsafat
Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki dan Buddhisme Kegon dan filsafat Zen.47
Riwayat hidup singkat di atas dan perjalanan karir Izutsu menjadi
salah satu unsur penting untuk memahami lebih jauh terhadap pemikirannya.
Bagaimanapun juga, keutuhan pemahaman terhadap sarjana Jepang ini akan
sempurna apabila disertai dengan daftar karya dan bagaimana beliau memulai
sebuah pengkajian terhadap isu tertentu.
B. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu
Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang
sebagai puncak dari studi bahasa. Semantik dalam Bahasa Indonesia atau
semantics dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang
berarti tanda atau lambang atau semaino dalam bentuk verbal yang berarti
menandai atau melambangkan. Dalam sumber lain, disebutkan kata semantik
berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna to signify atau memaknai.
Sebagai istilah teknis, semantik memiliki pengertian studi tentang makna. Makna
adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama
kata-kata). Dan makna sebuah kata dapat meluas dan menyempit serta mengalami
pergeseran arti, tergantung cakrawala dan sudut pandang seseorang.
Semantik menurut Izutsu adalah kajian tentang sifat dan struktur pandangan
dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya, dengan
menganalisis konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri