• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA KHALÎFAH DALAM AL-QUR`AN: Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MAKNA KHALÎFAH DALAM AL-QUR`AN: Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu - Test Repository"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA KHALÎFAH DALAM AL-QUR`AN:

Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir

Oleh:

Wahyu Kurniawan

NIM. 215-13-015

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA (FUADAH)

JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR (IAT)

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

ر ْسُْي ِ ْسُْعْلإ َعَم َّن

إ

ِ

إ

(QS. Al-Insyirāh [94]: 6)

PERSEMBAHAN

(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب

ba’ b be

ت

ta’ t te

ث

ṡa ṡ es (dengan titik di atas)

ج

jim j je

ح

ḥa’ ḥ ha (dengan titik di bawah(

خ

kha’ kh ka dan ha

د

dal d de

ذ

żal ż zet (dengan titik di atas)

ر

ra’ r er

ز

zal z zet

س

sin s es

(7)

ص

ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)

ض

ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)

ط

ṭa’ ṭ te (dengan titik di bawah)

ظ

ẓa’ ẓ zet (dengan titik di bawah)

ع

‘ain ‘ koma terbalik (di atas)

غ

gain g ge

ف

fa’ f ef

ق

qaf q qi

ك

kaf k ka

ل

lam l el

م

mim m em

ن

nun n en

و

wawu w we

ه

ha’ h ha

ء

hamzah ` apostrof

ي

ya’ y ye

B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap

(8)

ةدع

Ditulis ‘iddah

C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h

a. Bila dimatikan ditulis h

ةمكح

Ditulis Ḥikmah

ةيزج

Ditulis Jizyah

(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya)

b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.

ءايلولاا ةمرك

Ditulis Karâmah al-auliyā`

c. Bila Ta’ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah

ditulis t.

ةرطفلا ةاكز

Ditulis Zakat al-fiṭrah

D. Vokal Pendek

__

_

Fatḥah Ditulis A

__

_

Kasrah Ditulis I

__

(9)

E. Vokal Panjang

Fatḥah bertemu Alif

ةيلهاج

Ditulis Ā

Jahiliyyah Fatḥah bertemu Alif Layyinah

ىسنت

Ditulis Ā

Tansa Kasrah bertemu ya’ mati

يمرك

Ditulis Ī

Karīm Ḍammah bertemu wawu mati

ضورف

Ditulis Ū

Furūḍ

F. Vokal Rangkap

Fatḥah bertemuYa’ Mati

مكنيب

Ditulis Ai

Bainakum Fatḥah bertemu Wawu Mati

لوق

Ditulis Au

Qaul

G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

متنأأ

Ditulis A`antum

تدعأ

Ditulis U’iddat

(10)

H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah

ditulis dengan menggunkan “al

نارقلا

Ditulis Al-Qur`ān

سايقلا

Ditulis Al-Qiyās

ءامسلا

Ditulis Al-Samā`

سمشلا

Ditulis Al-Syams

I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau pengucapannya

ضورفلا ىوذ

Ditulis Żawi al-furūḍ

ا

(11)

KATA PENGANTAR

ميحرلا نحمرلا الله مسب

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah swt. yang telah mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna

Khalīfah Dalam al-Qur`an (Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu) ini.

Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah saw. beserta keluarga, sahabat serta pengikut-pengikutnya sampai di yaumul qiyāmah. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Kedua orangtua (Ayahanda Madiyono dan Ibunda Samiyem) yang tak pernah henti berjuang menyekolahkan anak-anaknya meskipun selalu mendapat ujian-ujian yang sangat menyulitkan. Do’a yang selalu terlantun di setiap malammu adalah pemeran terpenting dalam segala keberhasilanku. Seribu terimakasih mungkin tak cukup untuk membalas jasamu. Semoga dengan skripsi ini dapat menjadi sebuah kebanggaanmu terhadap anakmu.

(12)

3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir beserta staff-staffnya yang tak pernah menyerah memotivasi kami sebagai angkatan pertama untuk menyelesaikan skripsi kami. Terimakasih juga atsa fasilitas Lab FUADAH yang tlah dibuka beberapa saat sebelum penulis memulai skripsi ini, sehingga fasilitas tersebut sangat membantu proses penulisan skripsi ini.

4. Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A. selaku dosen pembimbing yang dengan kesabarannya berkenan memberikan petunjuk dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.

5. Teman-teman seperjuangan, Muhammad Sarifuddin, M Abdul Fatah, Rangga Pradikta, Husain Imaduddin, Laila Alfiyanti, M Choirurrohman, Mahfudz Fawzie dan Triyanah, terimakasih atas empat tahun perjuangan yang telah kita lewati bersama ini.

6. Saudara-saudaraku yang selalu giat memotivasi penulis dan menghibur penulis ketika menemui jalan susah dalam penulisan skripsi ini.

7. Adik-adik kelas yang juga selalu membantu dan memotivasi penulis, bahkan menemani penulis seharian di Lab FUADAH untuk menyelesaika skripsi ini.

8. Dan tak lupa pihak-pihak terkait yang lain yang tak sempat untuk disebutkan di sini.

Teriring do’a, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis

(13)

dilipat gandakan. Penulis menyadari bajwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skipsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Salatiga, 8 Maret 2017 Penulis,

(14)

ABSTRAK

Salah satu kemukjizatan Al Quran adalah sebuah kitab dengan sastra yang indah. Hal tersebut ditunjukkan dari keindahan susunan kata dalam ayat-ayat Al Quran yang mempesona. Karena hal tersebut tidaklah jarang ketika dalam memahami ayat Al Quran banyak perbedaan yang muncul baik dari para pakar maupun dari kalangan orang Islam pada umumnya. Dalam memahami nash Al Quran, seorang pengkaji dituntut untuk mempersiapkan diri. Sarana untuk untuk maksut tersebut diantaranya dengan menggunakan metode semantik atau kebahasaan. Seperti kata “Khalīfah ” dalam pengertian umum diartikan sebagai sebuah sistem politik yang mengharuskan seluruh komponennya adalah muslim, berbeda dengan pemaknaan ketika kata tersebut dikolaborasikan dengan metode semantik Toshihiko Izutsu yang memaknai kata “Khalīfah ” sebagai pengganti Allah di muka bumi atau pengganti pemimpin sebelumnya.

Berawal dari gagasan inilah Peneliti tertarik melakukan kajian ini. Penelitian ini berjudul “Makna Khalīfah Dalam Al-Qur`an: Tinjauan Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu”, ini merupakan sebuah kajian yang meneliti pemaknaan kata Khalīfah dalam Al Quran dengan menggunakan pendekatan metode semantik Toshihiko Izutsu. Izutsu adalah sarjana yang berasal dari jepang. Ia merupakan seorang tokoh yang memperkenalkan metode sematik sebagai metode memaknai sebuah kata. Ia juga termasuk ke dalam seorang mufassir dari golongan orientalis. Ia mempunyai beberapa karya tulis yang membahas tentang kajian makna kata dalam al-Qur`an dengan menggunkan metode semantiknya. Peneliti memilih kata “Khalīfah ” dalam Al Quran karena pendapat para pakar yang masih debetabel atas kata tersebut dan menarik jika kata Khalīfah dimaknai dengan metode semantik agar lebih jelas dalam penemuan maknanya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemaknaan kata Khalīfah dalam Al Quran menurut semantik Tosihiko Izutsu. Dalam penelitian ini Peneliti memilih menggunakan metode semantik, sebab Izutsu dalam mencari makna kata dalam Al Quran menggunakan semantik adalah sebuah alternatif memahami kata dan menjadi salah satu keunikan makna kata yang mendalam.

Peneliti menemukan pandangan Tosihiko Izutsu bahwa kata Khalīfah

dalam Al Quran tidak mempunyai makna sebagai sebuah sistem politik akan tetapi lebih kepada pengganti Allah dalam hal menjaga dan melestarikan bumi (Khalīfah fi al Ardh) dan sebagai pengganti pemimpin sebelumnya.

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN KEASLIAN TULISAN ... iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

KATA PENGANTAR ... xi

ABSTRAK ... xiv

DAFTAR ISI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Landasan Teori ... 13

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TERM KHALĪFAH DALAM AL-QUR`AN ... 19

A. Ayat-Ayat Khalīfah Dalam Al-Qur`an ... 19

(16)

C. Ayat-Ayat Khulafā’ Dalam Al-Qur`an ... 24

D. Makna Khalīfah Menurut Para Mufassir ... 27

BAB III SEMANTIK AL-QUR`AN TOSHIHIKO IZUTSU ... 32

A. Biografi Singkat Toshihiko Izutsu ... 32

B. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu ... 36

C. Jenis-jenis Semantik ... 38

D. Semantik Al-Qur`an ... 40

E. Prinsip-Prinsip Metodologi Semantik Al-Qur`an Toshihiko Izutsu ... 42

BAB IV SEMANTIK KATA KHALĪFAH ... 50

A. Makna Dasar ... 50

B. Makna Relasional ... 53

C. Sinkronik dan Diakronik ... 54

D. Weltanschauung ... 66

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 79

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Realitas bahwa al-Qur`an memiliki kedudukan yang sangat penting dalam

kehidupan umat Islam merupakan fakta yang tidak terbantah. Al-Qur`an adalah

inti (core) peradaban Islam. Ayat-ayat al-Qur`an sellu dibaca, ditulis dan

didendangkan. petunjuk, norma, dan bukti-bukti kebenarannya yang abadi, secara

terus-menerus dipahami dan didialogkan dengan realitas yang mengelilingi

kehidupan keseharian mereka. Bagi umat Islam, seluruh isi kandungan yang

terdapat dalam ayat-ayat al-Qur`an berlaku bagi siapa pun, kapan pun dan di mana

pun adanya. Penerapan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an

diyakini akan menghantakan umat manusia memperoleh kebenaran dan

kesejahteraan. Hampir-hampir tidak ada ruang dalam kehidupan muslim, baik

privat maupun public yang tidak bersentuhan dengan al-Qur`an. Tidak berlebihan

jika banyak intelektual baik muslim maupun non-muslim menyatakan bahwa

peradaban Islam adalah peradaban yang bersumber pada teks.1

Al-Qur`an adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di dalam bentuk mushaf

serta diriwayatkan secara mutawatir, membacanya termasuk ibadah, bahkan surat

tependeknya memiliki kemuliaan yang lebih tinggi daripada seluruh isinya.2

Al-1 A. Luthfi Hamidi, Pemikiran Toshihiko Izutsu tentang Semantik Al-Qur`an, Disertasi,

(Yogyakarta: UIN Sunn Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 2.

2Muhammad Abdul ‘Adzim Al-Zurqani,Manahil al—‘Irfan fi Ulumul Qu`an,Juz 2,

(18)

Qur`an merupakan kitab suci yang paling sakral bagi umat Islam, di dalamnya

terdapat semua sumber hukum yang berlaku dalam kehidupan umat tersebut.

Al-Qur`an sendiri diyakini sebagai kitab suci yang menyimpan banyak pengetahuan

dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, banyak akademisi yang berusaha untuk

memahami al-Qur`an dari berbagai sudut pandang. Pengetahuan yang terdapat di

dalam al-Qur`an kemudian diolah kembali sesuai dengan pemahaman sang

pembaca menjadi sebuah konsep pengetahuan tersendiri dalam pemikiran

pembaca tersebut. Konsep-konsep ini yang nantinya dikenal dengan sebutan tafsir.

Penafsiran terhadap al-Qur`an telah dimulai sejak era al-Qur`an diturunkan. Pada

masa tersebut metode yang dipakai adalah tafsir Qur`an dengan Qur`an yang

meliputi tafsir ayat dengan ayat. Selain itu dikenal juga tafsir Qur`an dengan

hadis, dimana penafsir tersebut adalah Nabi SAW sebagai orang yang juga

menyampaikan al-Qur`an kepada umatnya. Tafsir al-Qur`an mengalami

perkembangan yang cukup luas setelah masa Nabi SAW Ada beberapa aliran

tafsir yang muncul kemudian sesuai dengan disiplin ilmu yang dipakai dalam

metode penafsiran, antara lain: tafsir mauḍu’i, tafsir bi al-ma’tsūr, tafsir bi

al-ra’yi, tafsir sufi, tafsir ‘isyari, tafsir ilmiy dan tafsir sastra. Ragam model

penafsiran ini menunjukkan bahwa al-Qur`an bisa dipahami dari berbagai macam

pendekatan.

Salah satu sisi mukjizat dari al-Qur`an adalah sebuah kitab dengan sastra

yang indah. Para pakar bersepakat bahwa sisi keindahan bahasa dan susunan kata

dalam ayat-ayat al-Qur`an sangat mempesona. Aspek keistimewaan bahasa dalam

(19)

dan menyusun kosa kata, kemudahan pengucapannya serta kesesuaian nada

kalimatnya ke telinga pembaca dan pendengarnya dan tentu kedalaman pesan

yang dikandungnya.3

Pada masa turunnya al-Qur`an, sisi kebahasaan itulah yang dirasakan oleh

masyarakat Islam pertama. Namun, dari waktu ke waktu pengetahuan bahasa

tereduksi sehingga sisi itu tidak lagi memiliki kesan yang besar. Namun demikian,

tidak berarti bahwa keistimewaan al-Qur`an dalam aspek tersebut hilang atau

keistimewaan tersebut tidak lagi dapat menjadi bukti kebenaran. Al-Baqillani

mengatakan, al-Qur`an memiliki struktur yang sangat indah dan susunan yang

menakjubkan. Kualitas efisiensinya mencapai puncak tertinggi, hingga

membuatnya jelas tidak akan bisa dicapai oleh makhluk.4

Pada era kontemporer, para sarjana mulai mengalihkan pemikiran mereka

pada metode kebahasaan, salah satunya Toshihiko Izutsu yang lebih menekankan

pada semantik historis kebahasaan al-Qur`an. Sepeninggal Nabi Muhammad

SAW seiring dengan berjalannya waktu dan perbedaan ruang, terjadi pergeseran

makna al-Qur`an oleh penafsiran mufassirin. Di sinilah pentingnya metode untuk

mencapai ketepatan makna secara eksplisit dan implisit dalam ayat-ayat al-Qur`an

dan semantik merupakan salah satu alternatifnya. Gagasan analisis semantik

dalam konteks al-Qur`an ini, sebagaimana yang dipaparkan Islah Gusmian dalam

bukunya Khazanah Tafsir Indonesia bahwa mulanya semantik ini dipopulerkan

oleh Toshihiko Isutzu, semantik ini merupakan ilmu yang berhubungan dengan

fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata. Begitu luas,

3 Ismatillah dkk, Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur`an (Suatu Kajian dengan

Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu),(Diya al-Afkar, 4 [02], 2016), hlm. 39.

(20)

sehingga apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek

semantik.5

Pentingnya telaah semantik tersebut, dalam perkembangan di anak benua

Indo-Pakistan Sir Ahmad Khan dalam bukunya Taufik Adnan Amal menjelaskan

bahwa dalam tataran penelitian filologi, penetapan makna al-Qur`an harus

mendapat justifikasi rasionalistik. Metode rasionalistik ini sejalan dengan prinsip

conformity to nature. Inilah prinsip penafsiran al-Qur`an. Hal tersebut mendasari

pendekatan semantik ini juga dengan tidak bisa melepas peran rasio. Sebagaimana

juga di Indonesia pada dasawarsa 1990-an, semantik menjadi salah satu metode

pendekatan signifikan, di mana semantik ini pada dasarnya hendak menangkap

weltanschauung al-Qur`an searah dengan tujuan model penyajian tematik yang

hendak merumuskan pandangan al-Qur`an dalam suatu masalah tertentu secara

komprehensif.6

Sebelum Nabi Muhammad SAW wafat, ia mewasirkan dua pusaka kepada

umat Islam yang dengannya dapat mengantarkan pada keselamatan dunia dan

akhirat, yaitu al-Qur`an dan Hadis. Keduanya mengandung ajaran-ajaran Islam,

dan merupakan dua sumber ajaran-ajaran Islam yang paling utama, yang tidak

akan tersesat apabila mematuhi apa yang terkandung di dalam dua pusaka

tersebut.

Melihat wahyu terakhir yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, serta

jaminan tidak akan tersesatnya seorang muslim yang menjalankan apa yang ada di

dalam al-Qur`an dan Hadis ternyata tidak menjadi sebuah ketentuan bahwa setiap

5 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,

(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 230.

(21)

muslim dapat merepresentasikan Islam sebagai rahmat seluruh alam. Sejarah

mencatat, bahwa telah terjadi beberapa kali perpecahan di antara umat Islam ini.

Perpecahan ini dimulai dari peperangan antara pengikut Ali bin Abi Thalib

dengan pengikut Mu’awiyah, yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Pada

peperangan tersebut tentara Ali tewas 35.000 orang dan tentara Mu’awiyah tewas

45.000 orang. Kemudian disusul dengan peristiwa jatuhnya Baghdad, yang

diserang oleh bangsa Mongol (pasukan Tartar yang dikenal sebagai bangsa yang

bengis dan tidak berperikemanusiaan). Ini terjadi karena perbedaan pandangan

antara khalīfah yang orang Sunni dengan wasir besar (perdana menteri) yang

orang Syi’ah. Perkelahian penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi juga

telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan. Di

abad ke-15 M, terjadi pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan

terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang untuk

mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing. Turki dengan

Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah. Belum lagi ketika

menengok sejarah teologi/ilmu kalam dalam Islam, dimana akan nampak

banyaknya perpecahan-perpecahan umat Islam dalam memaknai Islam, di

samping juga dalam mengamalkannya. Padahal acuan dasar dalam beragama

adalah sama. Tidak hanya sekedar berselisih, mereka juga tidak segan-segan

mengklaim pihak yang tidak sesuai dengan ideologinya sebagai seorang kafir, dan

sebutan-sebutan negatif lainnya.

Seakan tidak belajar dari sejarah, umat Islam dewasa ini masih terjebak

(22)

dengan muslim lainnya. Bahkan tidak jarang, perpecahan ini berujung pada klaim

kafir (takfīr) yang dilakukan oleh kelompok Islam satu kepada kelompok lain

yang tidak sepaham dengan ideologinya.

Sejarah perpecahan ini juga menyajikan fakta bahwa tiap kelompok yang

saling berselisih, tetap mengacu pada al-Qur`an dan Hadis yang sama. Tiap

kelompok dapat menyajikan argumennya masing-masing baik itu berupa ayat

dalam al-Qur’an atau matan Hadis Nabi Muhammad SAW Pertanyaannya adalah

bagaimana bisa dari rujukan yang sama menimbulkan sikap yang berbeda dalam

umat Islam? Apakah kedua sumber utama tersebut terlalu ambigu ataukah

ketidakmampuan umat Islam dalam menangkap pesan yang terkandung di dalam

al-Qur`an dan hadis yang akhirnya menjadikan pemahaman yang tidak sejalan,

bahkan terkadang sangat bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya? Jika

merujuk pada firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah [5] ayat 48, maka

anggapan bahwa al-Qur`an dan Hadis adalah ambigu sangatlah tidak dapat dapat

diterima. Jika demikian, maka keterbatasan manusia dalam memahami Kalam

Ilahi inilah yang menjadikan perpecahan-perpecahan dalam Islam.

Persoalan yang pertama muncul ketika Rasulullah SAW wafat adalah

masalah khilāfah/kepemimpinan, mengenai siapa yang cocok menggantikan

kedudukan beliau sebagai kepala negara. Persoalan ini meskipun dapat diatasi

(23)

kembali ketika terbunuhnya ‘Usman bin Affan ra. dan naiknya ‘Ali bin Abi Thalib

sebagaikhalīfahmenggantikan ‘Usman ra.7

Secara historis, umat Islam tidak dapat dipisahkan dari masalah

khilāfah/kepemimpinan. Hal ini bukan hanya disebabkan karena kepemimpinan

itu merupakan suatu kehormatan besar, tetapi juga memegang peranan penting

dalam dakwah Islam. Kenyataan ini juga terbukti, di mana kepemimpinan tidak

hanya aktual pada tataran praktisnya, tetapi juga senantiasa aktual dalam wacana

intelektual muslim sepanjang sejarah. Namun demikian, yang perlu diingat ialah

Al-Qur`an dan hadis sebagai sumber otoritatif ajaran Islam tidak memberikan

sistem kepemimpinan dan ketatanegaraan yang cocok untuk umat Islam, kecuali

hanya memberikan prinsip-prinsip universal, mengenai masalah kepemimpinan.

Atas dasar prinsip-prinsip universal inilah, para cendikiawan muslim dan para

ulama, merumuskan sistem kepemimpinan Islam.8

Pada masa klasik, penafsiran tentang kepemimpinan dalam Al-Qur`an

relatif tidak dipermasalahkan, khususnya pada masa sahabat dan pada masa

Umaiyyah. Tetapi setelah penetrasi Barat masuk ke dalam negara Islam tertentu,

polemik tentang kepemimpinan dalam Islam muncul, sehingga menjadi ajang

korntroversi. Kontroversi ini menimbulkan berbagai aliran pemikiran yaitu:

pertama, aliran tradisionalis yang mengatakan bahwa dasar dan sistem

pemerintahan sudah diatur lengkap dalam Al-Qur`an; kedua, aliran sekuler yang

mengatakan bahwa Islam hanyalah agama spritual yang tidak memiliki hubungan

dengan pemerintahan khususnya politik; dan ketiga, aliran reformis yang

7Abd Rahim,Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, (Makassar: PPs UIN Alauddin

Makassar, 2012), hlm. 2.

(24)

mengatakan bahwa Islam hanyalah memberikan ajaran sebatas nilai-nilai moral

dalam praktek politik dan penyelenggaraan negara.9

Toshihiko Izutsu melihat fenomena perpecahan umat ini sebagai suatu

akibat dari tidak adanya weltanschauung10 dalam al-Qur`an, utamanya terhadap

kata-kata yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menandai catatan

dominan, menembus dan menguasai seluruh pemikiran al-Qur`an.11 Oleh karena

itu, Toshihiko Izutsu menawarkan pendekatan dengan tujuan untuk menemukan

weltanschauung al-Qur`an, sehingga diperolehlah itu apa yang menjadi world

view al-Qur`an, khususnya istilah-istilah yang oleh Toshihiko Izutsu disebut

sebagai kata kunci dalam al-Qur`an. Kata kunci inilah yang sering memicu

terjadinya perpecahan. Pendekatan yang ditawarkan oleh Toshihiko ini adalah

pendekatan semantik dalam rangka merumuskanWeltanschauungal-Qur`an.

Melihat beberapa kasus yang terjadi dewasa ini, salah satu problematika

yang dapat mengantarkan kepada perpecahan seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya adalah masalah kepemimpinan. Secara umum, pemimpin merupakan

seseorang yang memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah organisasi atau

negara. Ia memiliki kuasa atas segala yang dipimpinnya, serta memiliki wilayah

kekuasaan. Dalam studi kebahasaan, di dalam al-Qur`an terdapat beberapa kata

yang bermakna pemimpin, di antaranya adalahkhalīfah.

9Abd Rahim,Khalīfah dan Khilafah Menurut Al-Qur`an, hlm. 2.

10Yakni pandangan dunia masyarakat yang menggunakan Bahasa itu, tidak hanya sebagai

alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an,terj. Agus Fahri Husein,et al.,(Yogyakarta: TiaraWacana, 2003), hlm. 3.

(25)

Dengan menggunakan pendekatan semantik, penulis tertarik untuk

mengkaji makna dari term khalīfah bersama dua bentuk jamaknya, yaitukhalā`if

dankhulafā’ di dalam al-Qur`an. Diceritakan dalam al-Qur`an bahwa Allah SWT

menurunkan manusia di bumi dalam rangka menjadi khalīfah fi al-arḍ

sebagaimana dalam ayat berikut12;

Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi

sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS.

Yunus [10] : 14)

Kata khalā’if dalam ayat tersebut merupakan bentuk plural dari

khalīfah yang berarti pengganti. Dalam misi merawat dan menjaga bumi,

sebelum manusia diciptakan, Allah SWT memang telah mengutus makhluk

sebelum manusia untuk menghuni dan menjaga bumi. Namun makhluk-makhluk

tersebut justru menghancurkan bumi dan kemudian Allah SWT membinasakan

mereka.13

Selanjutnya, guna meneruskan misi tersebut Allah SWT mengutus

manusia, maka kata khalīfah yang dimaksud adalah manusia sebagai pengganti

makhluk sebelumnya untuk menjaga bumi. Dalam rangka misi tersebut, selain

menurunkan manusia di bumi, Allah SWT juga melengkapinya dengan beberapa

tuntunan dan ilmu kepada manusia pertama yakni Adam.14

12Alva Alvavi Makmuna,Konsep Pakaian Menurut Al-Qur`an (Analisis Semantik Kata

Libas, Siyab dan Sarabil dalam al-Qur`an Perspektif Toshihiko Izutsu), Thesis, (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2015), hlm. 5.

(26)

ُﻬَﺿَﺮَﻋ ﱠُﰒ ﺎَﻬﱠﻠُﻛ َءﺎَْﲰَْﻷا َمَدآ َﻢﱠﻠَﻋَو

ْﻢ

َﻠَﻋ

َﻼَﻤْﻟا ﻰ

َأ َلﺎَﻘَـﻓ ِﺔَﻜِﺋ

ِءﺎَْﲰَِ ِﱐﻮُﺌِﺒْﻧ

َﲔِﻗِدﺎَﺻ ْﻢُﺘْـﻨُﻛ ْنِإ ِء َﻻُﺆَﻫ

dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Dalam pengutusan itu Allah SWT memberikan bermacam ilmu kepada

Adam, hingga kemudian Allah SWT mengutus beberapa nabi setelah Adam

sebagai pembimbing manusia di bumi. Para Nabi mendapat petunjuk dan

bimbingan Allah SWT langsung melalui wahyu yang diembannya yang wajib

disampaikan kepada manusia, sampai kepada nabi terakhir yakni Muhammad

SAW yang dibekali al-Qur`an sebagai petunjuk hingga akhir zaman.15

Dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan lebih jauh lagi mengenai

makna khalīfah dalam Qur`an dengan menggunakan pendekatan semantik

al-Qur`an Toshihiko Izutsu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penyebutan termkhalīfahdi dalam al-Qur`an?

2. Bagaimana pendekatan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu?

3. Bagaimana pemaknaan khalīfah menurut semantik al-Qur`an Toshihiko

Izutsu?

(27)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penyebutan termkhalīfahdi dalam al-Qur`an.

2. Untuk mengetahui pendekatan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu.

3. Untuk mengetahui pemaknaan khalīfah menurut semantik al-Qur`an

Toshihiko Izutsu.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai khalīfah bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia

akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai perspektif

juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian mengenai

khalīfah, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun disertasi, diantaranya

adalah:

1. Skripsi dengan judul Konsep Khalīfah Menurut M. Quraish Shihab dan

Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam yang ditulis oleh seorang

mahasiswi jurusan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

Syarif Hidayatullah yang bernama Khoirunnisa Fadlilah pada tahun 2014.

Skripsi ini mengkaji sekaligus menjelaskan konsep khalīfah menurut M.

Quraish Shihab, dan implikasinya terhadap pendidikan Islam. Tujuan

penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran M. Quraish Shihab

tentang konsep khalīfah.

2. Sebuah karya tulisan yang dimuat dalam jurnal TARBAWY, Vol. 2, Nomor 1,

(2015) oleh Yesi Lisnawati, Aam Abdussalam, dan Wahyu Wibisana yang

(28)

Tujuan Pendidikan Islam (Studi Mauḍu’i Terhadap Konsep Khalīfah dalam

Tafsir Al-Misbah). Dalam tulisan tersebut Yesi membahas tentang

penyebaran konsep Khalīfah dalam al-Qur`an dan pendapat Tafsir

Al-Mishbah terhadap konsep Khalīfah serta implikasi konsep Khalīfah terhadap

tujuan pendidikan.

Penelitian mengenai kajian semantik sebagai pendekatan dalam mengkaji

sebuah term dalam al-Qur`an juga bukan merupakan hal yang baru. Diantara

penelitian tentang semantik yang pernah dilakukan yaitu:

1. Skripsi berjudul Makna Tawakkul Dalam Al-Qur`an (Aplikasi Semantik

Toshihiko Izutsu) yang ditulis oleh seorang mahasiswa Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Eko Budi Santoso pada tahun 2015.

Dalam penelitian ini penulis tersebut mengkaji makna kata tawakkul dengan

menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.

2. Skripsi karya Muhammad Iqbal Maulana seorang mahasiswa Ushuluddin

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2015 yang berjudul Konsep

Jihad Dalam Al-Qur`an (Kajian Analisis Semantik Toshihiko Izutsu). Skripsi

ini membahas tentang konsep jihādyang terdapat di dalam al-Qur`an dengan

menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.

3. Skripsi berjudul Keadilan Dalam Qur`an (Kajian Semantik atas Kata

Al-‘Adl dan Al-Qisṭ) oleh seorang mahasiswi Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta pada tahun 2015. Skripsi ini juga menggunakan pendekatan

(29)

4. Sebuah penelitian oleh Ismatillah, Ahmad Faqih Hasyim, dan M. Maimun

pada tahun 2016 yang berjudul Makna Wali dan Awliya’ Dalam Al-Qur`an

(Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu). Tulisan ini

mencoba mengungkap makna kata wali dan awliya' yang terdapat di dalam

al-Qur`an dan menemukan sebuah konsep dari kata tersebut sesuai yang

dimaksud oleh al-Qur`an.

Dari kajian pustaka di atas, signifikansi penelitian ini berbeda dengan

sebelum-sebelumnya. Penelitian ini menjelaskan tentang term khalīfah di dalam

al-Qur`an dengan ditinjau menggunakan pendekatan semantik al-Qur`an yang

dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.

E. Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Semantik

Al-Qur`an Toshihiko Izutsu. Adapun teori beliau dalam menganalisis suatu

kosakata dalam al-Qur`an yaitu sebagai berikut:

1. Menetukan kaat fokus. Setelah menentukan kata fokus selanjutnya

mengumpulkan ayat-ayat yang menajdi obyek kajian, menyantumkan

asbabunnuzul, dan mengelompokkannya diantara ayat-ayat makkiyah dan

madaniyah.

2. Menganalisis makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut

yang meliputi:

(30)

Makna dasar adalah suatu kata yang melekat pada kata itu sendiri, yang

selalu terbawa dimana pun kata itu diletakkan. Sedangkan makna

relasional adalah suatu kata yang konotatif yang diberikan kata itu pada

posisi khusus dalam bidang khusus.16Ada dua langkah untuk mengetahui

makna relasional, yaitu:

1) Analisis sintagmatik yaitu suatu analisis yang berusaha menentukan

makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di

depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian

tertentu.

2) Analisis paradigmatik yaitu analisis yang mengkomparasikan kata

atau konsep tertentu dengan kata atau konsep yang lain yang mirip

atau bertentangan.

b. Sinkronik dan Diakronik

Aspek sinkronik adalah aspek kata yang tidak berubah dari konsep atau

kata dalam pengertian ini system kata bersifat statis. Sedangkan aspek

diakronik adalah aspek sekumpulan kata yang masing-masing tumbuh

dan berubah bebas dengan caranya sendiri yang khas. Toshihiko Izutsu

menyederhanakan persoalan ini dengan membagi periode waktu

penggunaan kosakata dalam tiga periode waktu yaitu Pra Qur`anik,

Qur`anik, dan Pasca Qur`anik.17

(31)

F. Metode Penelitian

Jenis dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersumber pada

data kepustakaan atau library research. Yaitu jenis penelitian yang menggunakan

data-data kepustakaan sebagai data penelitiannya, seperti buku, jurnal, artikel,

ensiklopedia, dan data-data pustaka yang terdapat di dalam internet. Sehingga

penelitian ini sepenuhnya didasarkan atas bahan-bahan kepustakaan yang terkait

dengan penelitian.

Peneliti akan menggunakan metode tafsir tematik term, yaitu model kajian

tematik yang secara khusus meneliti term(istilah-istilah) tertentu dalam

al-Qur`an.18 Dalam penelitian ini term khalīfah menjadi fokus utama untuk dikaji.

Maka peneliti akan menguraikan jumlah penyebutan kata khalīfah dan bentuk

jamaknya di dalam al-Qur`an, makna yang dikandungnya dan

konteks-konteksnya.

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi dari al-Qur`an,

buku-buku tentang semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu, kamus-kamus bahasa,

kitab-kitab tafsir, karya-karya ilmiah dan karya tulis lain yang terdapat dalam

internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Dari berbagai sumber diatas terbagi

menjadi dua kelompok berdasarkan perannya sebagai sumber data dalam

penelitian ini, yaitu:

Sumber utama yang dipakai yaitu buku berjudul Relasi Tuhan dan

Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur`an yang merupakan karya dari

18 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur`an dan Tafsir, (Yogyakarta:Idea Press

(32)

Toshihiko Izutsu. Karya-karyanya yang lain yang berkaitan dengan penelitian ini

juga menjadi sumber utama.

Sebagai data pendukung penulis memakai data-data dari buku seperti

Mu’jam al-Qur`an li al-Alfadz al-Qur`an, Ensiklopedia Al-Qur`an (Kajian

Kosakata), dan beberapa kitab tafsir seperti tafsir al-Misbah dan lainnya. Selain

itu penulis juga menggunakan data dari karya-karya ilmiah seperti skripsi, thesis

ataupun jurnal yang memiliki tema yang berkaitan dengan skripsi ini.

Data-data yang telah didapat dikumpulkan kemudian diolah dengan

cara-cara berikut: 1) Deskripsi, yaitu dengan mengumpulkan dan mengelompokkan

ayat-ayat yang mengandung term khalīfah, kemudian menguraikan makna-makna

kata khalīfah yang terdapat di dalam al-Qur`an. 2) Analisis, yaitu melakukan

analisis dengan menggunakan teori semantik. Analisis ini meliputi makna kata

khalīfah di dalam al-Qur`an, konsep-konsep yang terkait dengan konsep khalīfah

dan pemaknaankhalīfahdari sisi diakronik.19

Dalam pemaknaan kata khalīfah di dalam al-Qur`an ini penulis

menggunakan pendekatan semantik dari seorang mufassir orientalis bernama

Toshihiko Izutsu. Dengan pendekatan tersebut pemaknaan kata khalīfah dikupas

dengan mengetahui makna sinkronik dan diakroniknya, yakni makna kata tersebut

pada masa pra Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik.

19Eko Budi Santoso, Makna Tawakkul Dalam Al-Qur`an (Aplikasi Semantik Toshihiko

(33)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi menjadi lima bab.

Kelima bab yang akan dibahas sesuai dengan outline yang telah ada dan berguna

memudahkan pembahasan.

Pada Bab yang pertama ini merupakan penjabaran awal, penulis mencoba

menerangkan latar belakang permasalahan, mengapa penulisan skripsi ini disusun,

batasan dan rumusan masalah. Selain itu, tujuan untuk menjawab permasalahan

penelitian juga dipaparkan dalam bab ini, disertai dengan manfaat penelitian

secara akademis. Dalam bab ini penulis juga menerangkan tentang karya-karya

terdahulu yang membahas tema yang sama disertai dengan perbedaannya dengan

skripsi ini. Penulis juga menerangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini

beserta sistematika dalam penulisan skripsi ini.

Bab Kedua berisi deskripsi ayat-ayat yang mengandung term khalīfah,

khala’if dan khulafa`. Bab ini terbagi menjadi empat sub bab, yaitu ayat-ayat

tentang khalīfah, ayat-ayat tentang khala’if, ayat-ayat tentang khulafa`, dan

penafsiran kata-kata tersebut menurut beberapa mufasir.

Bab ketiga memuat tentang semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu. Terbagi

menjadi beberapa sub bab, yaitu biografi singkat Toshihiko Izutsu, pengertian

semantik, dan semantik al-Qur`an Toshihiko Izutsu.

Bab keempat, berisi analisis semanting makna khalīfah yang terdiri dari

dua sub bab, yaitu makna dasar, makna relasional, makna sinkronik, dan makna

(34)

sintagmatik dan paradigmatik. Dan makna diakronik terbagi menjadi 3 yaitu pra

Qur`anik, Qur`anik, dan pasca Qur`anik.

Bab kelima, berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Dalam bab ini

akan diterangkan tentang kesimpulan dari pembahasan penelitian di bab-bab

sebelumnya serta mengungkap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam

penulisan ini dan memberikan saran-saran agar penulisan selanjutnya bisa

(35)

BAB II

TERM

KHALĪFAH

DALAM AL-QUR`AN

Di dalam al-Qur`an, katakhilāfdan turunannya disebutkan sebanyak 127 kali,

sedangkan kata khalīfahdisebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat Al-Baqarah

[2]: 30 dan surat Ṣād [38]:26. Katakhalīfahmemiliki dua bentuk jamak yaitukhalā`if

dan khulafā`. Kata khalā`if disebutkan sebanyak empat kali, yaitu dalam surat

Al-An’am [6]: 165, surat Yunus [10]: 14 dan 73, serta dalam surat Faṭir [35]: 39.

Kemudian kata khulafā` juga disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak tiga kali, yaitu

dalam surat Al-A’raf [7]: 69 dan 74, dan surat An-Naml [27]: 62.19

A. Ayat-ayatkhalīfahDalam Al-Qur`an

Ayat pertama yang menyebutkan kata khalīfah adalah surat al-Baqarah [2]

ayat 30. Surat ini masuk ke dalam surat madaniyah, terdiri dari 283 ayat. Berikut

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa

19M. Fu’ad Abdul Baqi,Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Kairo: Dar el-Hadits, 2007),

(36)

Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah [2]: 30)

Ayat yang kedua adalah surat Ṣād [38] ayat 26. Surat ini masuk ke dalam

kelompok surat makiyyah. Terdiri dari 88 ayat.

ْرَْﻷا ِﰲ ًﺔَﻔﻴِﻠَﺧ َكﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ ﱠِإ ُدوُواَد َ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(QS. Ṣād [38]: 26)

Kata khalīfah dalam kedua ayat di atas memiliki arti yang sama yaitu yang

menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar

ini, ada yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang menggantikan Allah

dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi

bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai

Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya

penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk

lain dalam menghuni bumi ini.20

20 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. 1,

(37)

Ayat yang pertama di atas menunjukkan bahwa ke-khalīfah-an terdiri dari

wewenang yang dianugerahkan Allah SWT, makhluk yang diserahi tugas, yakni

Adam AS dan anak cucunya, serta waliyah tempat bertugas, yakni bumi yang

terhampar ini.21 Sedangkan pada ayat yang kedua. Pada masa Daud AS terjadi

peperangan antara dua penguasa besar, Thalut dan Jalut. Daud AS adalah salah

seorang anggota pasukan talut. Kepandainnya menggunakan ketapel mengantarnya

berhasil membunuh Jalut dan, setelah keberhasilannya itu serta setelah meninggalnya

Talut, Allah SWT mengangkatnya sebagaikhalīfahmenggantikan Thalut.22

Dalam buku Membumikan Al-Qur`an, penulis mengemukakan bahwa terdapat

persamaan antara ayat yang berbicara tentang nabi Daud AS di atas dan ayat yang

berbicara tentang pengangkatan Nabi Adam AS sebagai khalīfah . Kedua tokoh itu

diangkat Allah SWT menjadi khalīfah di bumi dan keduanya dianugerahi

pengetahuan. Keduannya pernah tergelincir dan keduanya pernah memohon ampun

lalu diterima permohonannya oleh Allah SWT Sampai di sini, kita dapat memperoleh

dua kesimpulan. Pertama, kata khalīfah digunakan al-quran untuk siapa yang diberi

kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas Nabi Daud AS mengelola

wilayah Palestina dan sekitarnya, sedang Adam AS, secara potensial atau aktual,

mengelola bumi keseluruhannya pada masa awal kesejarahan manusia. Kedua,

seorang khalīfahberpotensi bahkan secara aktual dapat melakukan kekeliruan akibat

(38)

mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik adam maupun Daud AS diberi peringatan

agar tidak mengikuti hawa nafsu.23

B. Ayat-ayatkhalā`ifDalam Al-Qur`an

Menurut kamus Lisānul ‘Arab, bentuk jamak dari kata khalīfah adalah

khalā`if.24 Kata ini disebutkan sebanyak empat kali di dalam al-Qur`an, yaitu dalam

surat Al-An’am [6]:165, surat Yunus [10]: 14 dan 73, serta dalam surat Faṭir [35]:

39.25

Surat al-An’am merupakan surat ke enam di dalam Mushaf Utsmani.

Dijelaskan dalam tafsiral-Kasyafbahwa surat yang terdiri dari 165 ayat ini termasuk

ke dalam kelompok surat makkiyah, kecuali ayat 20, 23, 91, 93, 114, 141, 152, dan

153, ayat-ayat tersebut masuk ke dalam kelompok madaniyah.26 Dengan begitu maka

ayat berikut merupakan ayat makkiyah. meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu

23Shihab,Tafsir Al-Misbah...,Vol. 11, hlm. 369.

24 Jamal Al-Din Abi Fadhl Muhammad bin Makram Ibnu Mandzur, Lisānul ‘Arab, jilid 9,

(Beirut: Dār Shādir, 1414 H), hlm. 82.

25Baqi,Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an..., hlm. 240.

26Abu Al-Qasim Muhammad bin ‘Amru bin Ahmad Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘An Haqaiq

(39)

amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-An’ām [6]: 165)

Surat nomer ke 10 dalam al-Qur`an ini merupakan salah satu dari surat

makkiyah kecuali ayat 40, 94, 95 dan 96.27Ia terdiri dari 109 ayat.

َﻨْﻠَﻌَﺟ ﱠُﰒ

Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS. Yūnus [10]: 14) bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu. (QS. Yūnus [10]: 73)

Ayat ini juga termasuk ke dalam golongan makkiyah. Diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW Setelah surat al-Furqān. Surat ini terdiri dari 45 ayat.

َﻤَﻓ ِضْرَْﻷا ِﰲ َﻒِﺋ َﻼَﺧ ْﻢُﻜَﻠَﻌَﺟ يِﺬﱠﻟا َﻮُﻫ

Dia-lah yang menjadikan kamu khalīfah-khalīfah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.(QS. Faṭir [35]: 39)

(40)

Kata khalā`if adalah bentuk jamak dari kata khalīfah . Kata ini terambil dari

kata khalf yang pada mulanya berarti belakang. Dari sini, kata khalīfah sering kali

diartikan yang menggantikan atau yang datang di belakang (sesudah) siapa yang

datang sebelumnya. Maka dapat dikatakan makna kata khalā`if pada keempat ayat di

atas memiliki arti yang sama dengan ayat yang menggunakan katakhalīfah.

Al-Raghib al-ashfahani dalam mufrodat-nya menjelaskan bahwa

menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan,

baik bersama yang digantikan atau sesudahnya. Lebih lanjut, pakar bahasa al-Qur`an

itu menulis bahwa kekhalīfahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat,

kematian, atau ketidakmampuan yang digantikan itu, dan dapat juga karena yang

digantikan memberi kepercayaan dan penghormatan kepada yang menggantikannya.

Maka atas dasar ini, ada yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang

menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan

ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia

berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan

memberinya penghormatan. ada lagi yang memahaminya dalam arti yang

menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.28

C. Ayat-ayatkhulafā`Dalam Al-Qur`an

Kata khulafā` dalam kamus Lisaanul Arab merupakan bentuk jamak dari

khalif—tanpa ta’ marbutah—. Namun dalam kitab tersebut dikatakan juga bahwa

(41)

menurut imam Syibaweh, khulafā` adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata

tersebut disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak tiga kali, yaitu dalam surat Al-A’rāf

[7]:69 dan 74, dan surat An-Naml [27]: 62.29

Surat Al-A’rāf termasuk ke dalam golongan makkiyah, kecuali delapan ayat.

Surat ini terdiri dari 206 ayat.

Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-A’rāf [7]: 69)

Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.(QS. Al-A’rāf [7]: 74)

(42)

Surat Al-An’am, merupakan surat ke 27 dengan jumlah ayat 93. Surat ini

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalīfah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).(QS. Al-Naml [27]: 62)

Kata khulafā` juga merupakan salah satu dari dua bentuk jamak dari kata

khalīfah yang digunakan di dalam al-Qur`an di samping kata khalā`if . Kata ini juga

memiliki arti yang sama dengan dua bentuk lainnya yaitu yang menggantikan atau

yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya.

Dalam buku Membumikan Al-Qur`an, antara lain dikemukakan bahwa bentuk

jamak yang digunakan dalam al-Qur`an untuk kata khalīfah adalah khalā`if dan

khulafā`. Setelah memperhatikan konteks ayat-ayat yang menggunakan kedua bentuk

jamak itu, dapat disimpulkan bahwa bila kata khulafā` digunakan al-Quran, itu

mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola satu wilayah, sedang

bila menggunakan bentuk jamak khalā`if, kekuasaan wilayah tidak termasuk dalam

maknaya. Tidak digunakannya bentuk tungal untuk makna ini, mengesankan bahwa

kekhalīfahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana, kecuali dengan

bantuan dan kerjasama dengan orang lain.30

(43)

D. MaknaKhalīfahMenurut Para Mufassir

1. Ibnu Katsir

Mengambil salah satu mufassir terkemuka pada zaman klasik yaitu Ibnu

Katsir, dalam kitabnya ia menjelaskan tentang makna khalīfah sebagai suatu kaum

yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi

generasi. Menurutnya konsep khalīfah mengharuskan secara pasti tiadanya pihak

yang digantikan, baik tiadanya itu secara total atau hanya sebagian, baik tiadanya itu

karena kematian, perpindahan, dicopot, mengundurkan diri, atau karena sebab lain

yang membuat pihak yang digantikan tidak dapat melanjutkan aktivitasnya.31

Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-An’ām ayat 165, “Dia-lah yang

menjadikanmu sebagai khalifah-khalifah di bumi.” Juga firman-Nya dalam surat

al-Zukhruf ayat 60, “Dan kalau Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai

gantimu di muka bumi ini malaikat-malaikat yang turun-temurun.”32

Dalam surat al-Baqarah ayat 30 malaikat bertanya kepada Allah, “Mengapa

Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi ini orang yang akan membuat

kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” Artinya, para malaikat itu bermaksud

bahwa di antara jenis makhluk ini (manusia) terdapat orang yang akan melakukan

kerusakan. Seolah-olah para malaikat mengetahui hal tersebut berdasarkan ilmu

khusus, atau mereka memahami kata khalīfah yaitu orang yang memutuskan perkara

31Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim,Jilid 3, (Dar thoyyibah, 1999), hlm. 384.

32Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004),

(44)

di antara manusia tentang kezhaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka, dan

mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikemukakan

oleh Qurtubi.33

Ucapan malaikat ini bukan sebagai penentangan terhadap Allah SWT atau

kedengkian terhadap anak cucu Adam. Mereka telah disifati oleh Allah SWT sebagai

makhluk yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan, yaitu tidak menanyakan sesuatu

yang tidak Dia izinkan. Di sini tatkala Allah memberitahukan kepada mereka bahwa

Dia akan menciptakan makhluk di bumi, Qatadah mengatakan, “Para malaikat telah

mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan dimuka bumi,” maka mereka

bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi ini orang yang

akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya

dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang

terdapat di dalamnya. Maka untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu, Allah

berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Artinya

dalam penciptaan manusia itu Allah lebih mengetahui bahwa terdapat kemashlahatan

yang lebih besar daripada kerusakan yang dikhawatirkan oleh para malaikat,

sedangkan mereka tidak mengetahui.34

Mengutip dari pendapat Ibnu Jarir, ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30

adalah bahwa Allah SWT Berfiman, “Aku akan menjadikan di muka bumi seorang

khalifah dari-Ku yang menjadi pengganti-Ku dalam memutuskan perkara secara adil

(45)

di antara semua makhluk-Ku. Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang

menggantikan posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambilan keputusan

secara adil di tengah-tengah umat manusia.”35

2. Bishri Mustafa

KH. Bishri Mustafa merupakan salah mufassir dan juga seorang ulama besar

di Indonesia. Lahir dari seorang Ulama besar pula dan memiliki saudara yang juga

seorang mufassir serta kiyai besar, yaitu Misbah Mustafa. Kitab tafsir yang

dikarangnya terkenal sebagai salah satu karya besar Islam di zaman klasik. Nama dari

kitab tafsirnya adalah Tafsir Al-Ibris.

Bishri Mustafa dalam memaknai kata khalīfah dapat ditemukan dalam

penafsirannya terhadap surat al-An’ām ayat 165, dimana beliau menjelaskan:

Iyo Allah ta’ala iku, dzat kang nitahake siro kabeh, katitahake dadi ganti manggon ono ing bumi. (iki mati, iku lahir, iku mati, iki lahir. Kene mati, kono lahir, kono mati, kene lahir).36

Jadi, menurutnya manusia dicipatkan oleh Allah di bumi sebagai pengganti,

yaitu menggantikan manusia yang lain. Misalnya ketika si A mati, maka akan

digantikan dengan lahirnya si B, atau sebaliknya ketika si B mati, maka akan

digantikan dengan lahirnya si A. Atau juga ketika disini ada orang yang meninggal,

maka akan ada seseorang yang lahir di tempat lain.

35Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Juz 1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004),

hlm. 101-102.

36Bisri Mustafa,Al-Ibris li Ma’rifat Tafsir al-Qur`an al-Aziz, Jilid 1, (Kudus: Menara Kudus,

(46)

Di zaman sekarang ini dengan jumlah penduduk bumi yang mencapai tujuh

miliyar lebih, dan banyak terjadinya perang ataupun pembunuhan, maka bukan hal

mustahil ketika terjadi kematian setiap hari. Dan juga dengan jumlah penduduk

seperti itu pun bukan hal yang mutahul juga ketika angka kelahiran terjadi setiap hari.

Maka dengan adanya kematian dan kelahiran tersebut dapat disimpulkan bahwa

setiap hari terjadi pergantian pada kehidupan manusia di bumi. Seorang manusia lahir

ke dunia untuk menggantikan manusia lain yang lebih dahulu menghuni bumi namun

telah habis masanya.

3. Quraish Shihab

Salah satu mufassir kontemporer dalam negeri yang memiliki karya tafsir yang

sangat sering menjadi referensi para peneliti dalam mengkaji sebuah tafsir tentang

suatu ayat adalah tafsir al-Misbah karya M Quraish Shihab. Di dalam kitab tersebut,

Quraish Shihab mengemukakan pendapat Asy-Sya’rawi mengenai ayat-ayat di atAS

Asy-sya’rawi mengemukakan kesannya tentang ayat ini melalui satu analisis yang

menarik. Ulama mesir kenamaan ini bertitik tolak juga dari makna kebahasaan kata

khalīfah, yakni yang menggantikan. Menurutnya, yang menggantikan itu boleh jadi

menyangkut waktu boleh jadi juga tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara

sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini, tetapi dapat juga berarti

ke-khalīfah-an manusia yang diterimanya dari Allah. Tetapi, di sini asy-Sya’rawi tidak

memahaminya dalam arti bahwa manusia yang menggantikan Allah dalam

(47)

memakmurkan bumi sesuai apa yang digariskannya—bukan dalam arti tersebut—

tetapi dia memahami ke-khalīfah-an tersebut berkaitan dengan reaksi dan ketundukan

bumi kepada manusia. Segala sesuatu tunduk dan bereaksi kepada Allah. Sekelumit

dari kekuasaan-Nya menundukkan dianugerahkan-Nya kepada manusia sehingga

sebagian dari ciptaan Alah pun tunduk dan bereaksi kepada manusia. Jika anda

menyalakan api, ia akan menyala; jika anda mnabur benih di tanah, ia akan tumbuh;

jika anda minum, reaksinya adalah rasa haus anda hilang; jika anda makan, reaksinya

adalah anda kenyang. Demikian seterusnya. “Nah, darimana kemampuan dan

ketundukan hal-hal tersebut, dari mana reaksinya engkau peroleh hai manusia? Tanya

Asy-Sya’rawi. Jelas dari Allah melalui perntah-Nya kepada benda-benda itu untuk

bereaksi terhadap anda. Jika demikian, anda adalah khalīfah Allah, yakni khalīfah

iradat atau kehendak. Maksudnya, Allah memberi anda sebagaian dari

kekuasaan-Nya sehingga sebagaimana apa yang dikehendaki Allah terjadi melalui reksi sesuatu,

anda pun—untuk batas-batas yang dianugerahkannya—dapat mewujudkan apa yang

anda kehendaki melalui perintah Allah kepada benda-benda itu untuk bereaksi

terhadap tindakan anda. Ini—menurut asy-sya’rawi—untuk membuktikan bahwa

Allah berkehendak. Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya.37

(48)

BAB III

SEMANTIK AL-QUR`AN TOSHIHIKO IZUTSU

A. Biografi Singkat Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di

Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993. Ia menjalani proses pendidikannya dari

sekolah dasar hingga perguruan tinggi di negaranya sendiri, Jepang. Ia menempuh

jenjang perguruan tingginya di Fakultas Ekonomi Universitas Keio, Tokyo.

Namun, sebelum ia selesai belajar di sana ia pindah ke Jurusan Sastra Inggris

karena ingin mdibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki.38

Tahun 1954, Izutsu selesai belajar di sana, kemudian mengabdikan dirinya

di lembaga tersebut sebagai seorang dosen. Selain mengabdi, di sana ia juga

mengembangkan karirnya sebagai seorang intelektual hingga pada tahun 1950 ia

mendapatkan gelar sebagai profesor. Kemudian atas permintaan Wilfred Cantwell

yang merupakan seorang direktur di Universitas McGil Montreal Kanada, Izutsu

diundang menjadi profesor tamu di universitas tersebut, pada tahun 1962 hingga

1968. Sepulang dari sana dia menjadi profesor penuh pada tahun 1969 hingga

1975.39

Perjalanannya dalam dunia intelektual berlanjut dengan undangan dari

Seyyed Hossein Nasr untuk megajar di Imperial Academy of Philosophy pada

38 Fathurrahman, Al-Qur`an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hlm. 51.

(49)

tahun 1975 dan berakhir pada tahun 1979 hingga kemudian ia kembali ke tanah

airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga akhir hayatnya.40

Selain itu, Izutsu juga aktif di beberapa lembaga keilmuan, seperti Nihon

Gakushin (The Japan Academy) pada tahun 1983, Institut International de

Philosophy di Paris pada tahun 1971 dan Academy of Arabic Language di Kairo,

Mesir pada tahun 1960. Ia juga pernah menjadi tamu di Rockefeller pada tahun

1959 sampai dengan 1961 di Amreika dan Eranos Lecturer on Oriental

Philosophy di Switzerland pada antara tahun 1967 sampai dengan 1982.41

Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak

bahasa dunia. Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan

penyelidikan terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara

spesifik substansi berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa

aslinya. Bidang kegiatan penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat

Yunani kuno, filsafat Barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan

Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme

China, dan filsafat Zen pengetahuannya memungkinkan untuk melihat

persoalan dari berbagai perpektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang

menyeluruh tentang satu masalah.42

Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang

sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh

yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr,

sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam

40Fathurrahman,Al-Qur`an dan Tafsirnya ...,hlm. 52. 41Fathurrahman,Al-Qur`an dan Tafsirnya ...,hlm. 52.

(50)

Jalâl al-Dîn Ashtiyani, Consciousness and Reality; Studies in Memory of

Toshihiko Izutsu, (Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya

mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang

tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran

filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi

batas-batas kultural dan intelektual, Toshihiko Izutsu dapat dengan mudah memasuki

semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat. Dia adalah seorang

tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam,

tetapi juga warisan intelektualnya. Ia menulis dengan sangat kompeten tidak

hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn Arabi dan Mulla Sadra selain juga para ahli

filsafat Barat.43

Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh

utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak

hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya

melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan

serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara

pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.44

Sejak kecil keluarga Izutsu dibiasakan dengan cara berpikir Timur

yang berpijak pada ketiadaan (nothingness). Sebagai seorang guru Zen,

Ayahnya mengajarkan inti ajaran ini dengan menuliskan sebuah kata

kokoro’ yang berarti pengetahuan di atas sebuah kertas. Lalu, tulisan ini

diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu tertentu setiap hari.

43Fathurrahman,Al-Qur`an dan Tafsirnya ...,hlm. 53.

(51)

Kemudian setelah tiba waktunya, sang ayah memerintahkan untuk

menghapus tulisan itu dan meminta sang anak untuk melihat tulisan itu di

dalam pikirannya, bukan kata yang ada di atas kertas, seraya memusatkan

perhatian pada tulisan tersebut terus-menerus. Tidak lama kemudian, sang

ayah memerintahkan untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya

saat itu juga, dan menatap pengetahuan yang hidup di balik kata yang tertulis.

Dengan tegas diperingatkan bahawa Izutsu seharusnya tidak melakukan penelitian

intelektual terhadap pokok amalan Zen bahkan setelah menyelesaikan amalan

tersebut.45

Tetapi, dalam perjalanan hidupnya, Izutsu juga membaca karya-karya

yang ditulis oleh ahli mistik Barat. Pengalaman inilah yang mengantarkan

beliau pada pemahaman yang sangat bertentangan dengan keyakinan

sebelumnya. Kalau masa mudanya ia asyik dengan spiritualisme Timur,

kemudian beralih pada spiritualisme Barat dan mencurahkan perhatiannya

pada kajian filsafat Yunani. Dari pengalaman berpikir tentang filsafat

Yunani seperti Socrates, Aristoteles dan Plotinos, yakni sejenis mistisisme,

ditemukan sumber pemikiran filsafat dan sekaligus sebagai kedalaman

filsafatnya.46

Penemuan pengalaman mistikal sebagai sumber pemikiran filsafat

menjadi titik permulaan untuk seluruh filsafat Izutsu selanjutnya. Ia bukan

hanya sebuah penemuan di dalam ruang filsafat Yunani, tetapi juga menjadi

asal-usul pemikiran ketika beliau mengembangkan ruang lingkup aktivitas

(52)

penelitiannya pada filsafat Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India, filsafat

Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki dan Buddhisme Kegon dan filsafat Zen.47

Riwayat hidup singkat di atas dan perjalanan karir Izutsu menjadi

salah satu unsur penting untuk memahami lebih jauh terhadap pemikirannya.

Bagaimanapun juga, keutuhan pemahaman terhadap sarjana Jepang ini akan

sempurna apabila disertai dengan daftar karya dan bagaimana beliau memulai

sebuah pengkajian terhadap isu tertentu.

B. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu

Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang

sebagai puncak dari studi bahasa. Semantik dalam Bahasa Indonesia atau

semantics dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang

berarti tanda atau lambang atau semaino dalam bentuk verbal yang berarti

menandai atau melambangkan. Dalam sumber lain, disebutkan kata semantik

berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna to signify atau memaknai.

Sebagai istilah teknis, semantik memiliki pengertian studi tentang makna. Makna

adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama

kata-kata). Dan makna sebuah kata dapat meluas dan menyempit serta mengalami

pergeseran arti, tergantung cakrawala dan sudut pandang seseorang.

Semantik menurut Izutsu adalah kajian tentang sifat dan struktur pandangan

dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya, dengan

menganalisis konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri

Referensi

Dokumen terkait

dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan

Penelitian ini yaitu studi kepustakaan (Library Reseach), merupakan sebuah kegiatan riset yang dilakukan dengan mencari data dari koleksi kepustakaan. Metode yang

Pembatasan kajian pada penelitian ini adalah mengaplikasikan kata ifk dan buhtân yang terdapat di berbagai ayat dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode semantik

Ada regulasi pelayanan resusitasi yang tersedia dan diberikan selama 24 jam setiap hari di seluruh area rumah sakit, serta peralatan medis untuk resusitasi dan obat untuk

Untuk mengetahui konsep syura dengan menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu, diperlukan beberapa hal diantaranya adalah makna dasar, makna relasional, analisis

Modul Bimbel Kami selalu disesuikan dengan Kurikulum yang ada di sekolah, sehingga kegiatan Bimbingan tidak sia-sia karena soal-soal yang kita sediakan hampir sama dengan

Pada kata urutan terakhir ini yakni al-rahbi, berarti ‘katakutan’ pada surah al- Qashah ayat 32 berasal dari kata rahaba yang memiliki jenis kata isim masdhar atau

Semantik al-Qur’an menurut Toshihiko Izutsu berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’ān (Weltanschauung) melalui analisis semantik terhadap kosakata atau istilah-istilah