Nama : Ricko Valentino NIM : 1220410225 Kelas : MKPI-B
Topik : Pendidikan Islam Sebagai SubSistem Pendidikan Nasional
Review 6
Achmadi, Dekonstruksi Pendidikan Islam Sebagai Sub-Sistem Pendidikan Nasional, dalam Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam, Semarang: Rasail
Media, 2010; hal. 105-138.
Ali Riyadi, Pola risa si Lembaga Pendidikan Islam, dalam Politik Pendidikan, Yogyakarta: Arr-Ruz Media, 2006; hal. 80-85.
DEKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUB-SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pengantar
Fenomena yang terjadi di masyarakat, makna pendidikan Islam menjadi
sempit karena hanya berarti sebagai pendidikan agama saja (khusus keagamaan)
dan hanya terbatas pada lembaga pendidikan yang berpredikat Islam atau
pendidikan yang dikelola oleh umat Islam. Makna di atas bisa dilihat dari
penerapan kebijakan penyelenggaraan pendidikan pada wilayah ketatanegaraan,
Pendidikan umum oleh Departemen Pendidikan Nasional, dan pendidikan agama
oleh Departemen Agama. Padahal, sejatinya pendidikan Islam sendiri berarti
segala usaha untuk memelihara fitrah manusia dan mengembangkan SDM menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (beriman dan betakwa) sehingga mampu
mengemban perannya sebagai khalifatu fi al-ardl.
Pendidikan Islam cenderung dipahami secara sempit dan dikotomis, baik
secara keilmuan maupun kelembagaan. Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Pengelolaan
pendidikan Islam oleh Departemen Agama yang selama ini di pandang mapan
1. Refleksi Sejarah
Sejarah menunjukan adanya transformasi pendidikan Islam di Indonesa
dari waktu ke waktu sebagai produk interaksi misi Islam. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal-pra Islam- telah melahirkan pesantren; kedua, interaksi pesantren dengan tradisi Timur Tengah melahirkan madrasah; ketiga, interaksi pendidikan Islam dengan politik Hindia Belanda melahirkan lembaga
pendidikan sekolah. Walaupun berbeda, ketiga sistem tersebut memiliki
landasan yang sama, yaitu Islam dan untuk memberdayakan umat Islam.
Perbedaan tersebut terjadi hanya karena cara pandang mereka dalam
mengaktualisasikan nilai- nilai Islam ke dalam pendidikan yang dipandang
relevan dengan tuntutan zaman. Sesuai teori progresivitas sejarah, transformasi
pendidikan Islam akan terus berperoses menuju kesempurnaan sejalan dengan
tantangan yang dihadapi umat Islam.
Selanjutnya, pemerintah pada awal kemerdekaan menempuh pola
pemisahan antara pendidikan umum di bawah kementerian pendidikan dan
pendidikan Islam di bawah kementerian agama. Secara historis, pemisahan
tersebut akibat dari perdebatan dua golongan dalam perumusan sistem
pendidikan nasional. Golongan nasionalis sekuler yang menginginkan
pendidikan umum dan agama berada dalam satu sistem pendidikan nasional di
bawah Kementerian Pendidikan dan golongan Nasionalis Islam yang
berkeinginan mempertahankan lembaga pendidikan Islam (madrasah) sebagai
lembaga pendidikan yang independen namun diakui sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional.
2. Ambivalensi Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam (agama dan keagamaan) meskipun telah mendapatkan
tempat sebagai bagian dari sub-sistem pendidikan nasional berkat kaum
nasionalis islam, penyelenggaraannya masih diliputi kegamangan
(ambivelensi) menyangkut substansi isi pendidikan maupun kelembagaan.
Kegamangan ini dapat dipetakan demgam periodisasi dan karakterisasi
Pertama, awal kemerdekaan sampai akhir era Orde Lama adalah periode pergumulan politik. Wajah pendidikan Islam hanya terbatas dalam
pendidikan keagamaan yang difungsikan sebagai benteng ideologi. Padahal,
jauh sebelum kemerdekaan para tokoh umt Islam (modernis) sudah
mengembangkan pendidikan Islam bukan hanya pendidikan agama, tetapi
mencakup seluruh bidang ilmu. Contohnya Abdullah Ahmad Minangkabau dan
K.H.A Dahlan Yogyakarta yang memadukan pendidikan agama dengan
pendidikan umum dengan mengadopsi pendidikan Barat.
Selain itu sikap ambivalen kalangan nasionalis Islam yang
menginginkan agar pendidikan Islam menjadi bagian dari sistem pendidikan
nsional namun juga ingin memproteksi dari intervensi nasionalis sekuler yang
mendominasi Kemeterian Pendidikan, telah menyebabkan sempitnya lingk up
pendidikan Islam yang hanya dikelola oleh Departemen Agama saja. Memang,
satu sisi kebijakan tersebut dipandang tepat, di sisi lain berimbas pada
terabainya orientasi kependidikan dan keilmuan.
Kedua, awal sampai pertengahan era Orde Baru adalah periode deideologisasi. SKB tiga menteri menyebabkan wajah pendidikan Islam
tampak lebih berorientasi pada pedidikan umum. Kegamangan terlihat dari
sadarnya kalangan nasionalis Islam madrasah yang hanya menyelenggarakan
pendidikan Islam tidak akan mampu menyiapka n peserta didik berpartisipasi
dalam pembangunan. Akibatnya pun hasilnya setengah-setengah, ilmu agama
yang tidak mendalam dan ilmu pengetahuan umum yang juga tidak maksimal.
Ketiga, akhir Orde Baru sampai awal era Reformasi adalah puncak periode kegamangan yang ditandai dengan semangat memperluas cakupan
ilmu pengetahun umum dalam pendidikan Islam. Terlihat dari pembukaan
jurusan-jurusan umum dalam madrasah dan pengembangan IAIN/STAIN
dengan pola wider mandate serta munculnya wacana ingin pengembalikan pengelolan pendidikan ke Departemen Diknas sampai lahirnya Universitas
Islam Negeri. Semua itu seiring dengan banyaknya penilaian mutu pendidikan
madrasah yang tertinggal dari pendidikan umum dan semakin menurunnya
ikut menunjukan kegamangan ini, karena UIN berdiri di dua kaki yang
berbeda, satu kaki di Departemen Dikns dan kaki lain di Departemen Agama.
3. Strategi Pendidikan Islam
Pelurusan Makna Pendidikan Islam
Penyempitan makna pendidikan Islam perlu diluruskan. Pendidikan
Islam tidak terbatas pada pendidikan agama atau khusus keagamaan dan juga
bukan sekedar pendidikan yang diberi label Islam. Pendidikan Islam adalah
segala usaha untuk memelihara fitrah manusia dan mengembangkan SDM
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (beriman dan betakwa) sehingga
mampu mengemban perannya sebagai khalifatu fi al-ardl. Untuk menjadi khalifatullah tidak cukup hanya berbekal ilmu agama saja. Dalam hal ini, pendidikan agama walaupun memiliki peranan strategis dalam
mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh kegiatan pendidikan,
namun baru berfungsi sebagai bagian kecil dari pendidikan Islam.
Reposisi Pendidikan Islam
Selama Pancasila dipahami oleh umat Islam sebagaimana pemahaman
sekarang, bahwa kelima sila, dari ketauhidan sampai keadilan sosial dijunjung
tinggi sebagai pandangan hidup dan dasar pendidikan, maka secara substansif
prinsip-prinsip pendidikan nasional relevan dengan pendidikan Islam.
1. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak
bertentangan dengan nilai- nilai dasar Islam (Tauhid).
2. Pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-ruhani yang
berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia)
3. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah sumber daya
manusia) menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berbudi pekerti luhur (akhlak mulia) dan memiliki kemampuan untuk
memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.
Sudah saatnya Departemen Agama lebih memfokuskan perkembangan
pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama
diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan:
1. Situasi dan Kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Pancasila sebagai
ideologi sudah merupakan common platform. Departemen Agama bukan lagi sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosial-politik Islam dan
satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam.
2. Dualisme sistem kelembagaan dalam pendidikan (Depag dan Diknas) harus
diluruskan dengan dasar manajemen modern (efektifitas, efisiensi dan
fungsional).
3. Pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal mankala bebas dari tekanan
berbagai kepentingan terutama politik. Lembaga pend idikan sebagai
pranata ilmu pengetahuan harus terlepas dari tekanan institusi lain.
4. Garapan pendidikan yang dikelola Departemen Agama sudah keberatan
beban (overload). Jika diteruskan hanya akan menjadi pemaksaan diri karena memberikan beban tugas yang diluar batas kemampuan.
5. Inovasi dan kreativitas menjadi terbatas pada Departemen Agama. Karena
selama ini Departemen Agama hanya mengikuti kebijakan Departemen
Diknas sebagai pemegang otoritas utama.
6. Dengan menempatkan pendidikan agama seatap dengan pendidika n umum
(Departemen Diknas), berarti sudah menghilangkan pendidikan dikotomik
setidaknya pada aspek kelembagaan.
7. Diperlukan komitmen semua kekuatan sosial agar pendidikan
nondikotomik berjalan sehat. Sesuai amanat founding fathers Republik ini bahwa keterkaitan agama dan negara di Indonesia sangat tergantung pada
semangat para penyelenggara negara.
8. UU sisdiknas sebagai landasan yuridis yang mengandung penjelasan
mengenai tujuan dan fungsi pendidikan agama dan keagamaan harus
dikawal secara ketat oleh semua kekuatan sosial dan politik yang peduli
Mencermati Pendirian UIN
Beberapa catatan sebagai bahan pertimbangan UIN diantaranya:
1. Penyelenggara IAIN/STAIN agar terlebih dahulu mengutamakan
pemberdayaan umat ketimbang sekedar menyelamatkan institusi, sebelum
berkeinginan mengubah wajah menjadi UIN. Konsekuensinya, SDM dan
dana serta persyaratan lain guna memenuhi standar manajemen perguruan
tinggi modern harus terlebih dahulu diupayakan. Hal ini perlu demi
menghindari bumerang atas keberadaan Universitas dengan predikat Islam
namun tidak memelihara kredibilitsnya.
2. Menyikapi dualisme kelembagaan pada UIN, seyogyanya diserahkan
sepenuhnya pengelolaan pendidikan ke Departemen Diknas agar prinsip
efiktifitas, efisiensi dan fungsional dapat dijalankan.
3. UIN dengan predikat Islam-nya harus memiliki karakteristik yang dapat
ditawarkan yang secara eksplisit berbeda dengan perguruan tinggi lain.
4. Penyerahan UIN ke Departemen Diknas (seandainya terjadi) seharusnya
memberi peluang yang sama kepada universitas-universitas lain yang akan
membuka Fakultas Agama (Islam) untuk ikut memperdalam dan
mengembangkan ilmu pengetahuan agama Islam secara akademis.
4. Penutup
Kesimpulannya; a) pendidikan Islam tidak terbatas pada pendidikan
agama dan keagamaan, namun mencak up semua disiplin ilmu untuk
membekali peserta didik mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan, b)
posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukanlah
sebagai suplemen, namun sebagai komponen subtansial, c) terlepas dari
kontroversi isi pidato ini, diperlukan pikiran jernih semua pihak dengan
mengkaji kembali dampak ambivalensi penyelenggaraan pendidikan Islam dan
POLARISASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Sistem pendidikan nasional kita pada awalnya diakui sebagai bentuk
sistem yang terbentuk dari sistem pendidikan dualistis, sistem pendidikan modern
atau sekuler warisan Belanda pada sekolah-sekolah umum dan sistem pendidikan
agama Islam di kalangan umat Islam yang berlangsung di surau, pesantren, masjid
dan madrasah. Selanjutnya, sekolah-sekolah yang bersifat umum berada di bawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan sekolah-sekolah yang
bersifat Islm berada di bawah Departemen Agama.
Dampak dualisme tersebut secara operasional berimbas pada pengelolaan
pendidikan nasional yang tak punya dasar pijakan yang jelas. Pemerintah
Indonesia yang dalam pelaksanaannya mengikuti pola pendidikan orde lama
dengan pola kolonial Belanda menimbulkan kekaburan fungsi dan tumpang
tindihnya kewenngan dan pengawasan di tingkat departemen maupun
non-departemen. Kenyataan di atas kemudian membawa dampak yang kurang baik
dalam sejarah pendidikan agama Islam di Indonesia, yakni pendidikan agama
yang tertinggal jauh dari pendidikan umum.
Pendidikan agama di mata masyarakat selanjutnya dianggap pendidikan
kelas dua. Anggapan ini tak lepas dari eksistensi lembaga pendidikan Islam
seperti madrasah maupun pesantren yang tidak diakui secara kelembagaan oleh
pemerintah. Pemerintah menyatakan sistem pendidikan agama Islam didominasi
muatan- muatan agama yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan,
struktur tidak seragam dan manajemen yang kirang bisa dikontrol oleh
pemerintah. Sehingga, secar kelembagaaan menjadikan lulusan lembagaa
pendidikan agama Islam tidak mempunyai visi yang jelas di mata pemerintah.
Kemudian pemerintah berupaya menyintesiskan dua kutub pendidikan
nasional dan pendidikan Islam sebagai pencarian rumusan sistem pendidikan
nasional yang utuh. Muncullah SKB tiga Menteri yang menetapkan kebijakan
ijazah suatu lembaga pendidikan agama Islam (madrasah) sama nilainya dengan
ijazah sekolah umum yang kemudian disesuaikan dengan tingkatan sekolah
masing- masing. Salah satu titik penyesuaian tersebut terletak pada cakupan sistem
satuan dan pengelolaan pendidikan yang berbeda-beda diakui sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional di Indonesia. Selain itu, kurikulum pendidikan
nasional menempatkan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur
dan satuan pendidikan.
Upaya integrasi di atas dalam pelaksanaannya masih juga menimbulkan
persoalan klasik yang tetap aktual. Seperti dikotomisasi pendidikan secara
kelembagaan dan keilmuan. Pengelolaan pendidikan umum oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan pendidikan agama oleh Departemen Agama
menimbulkan kerancuan, misalnya: dikotomisasi kurikulum umum dan agama
yang selanjutnya menyebabkan dikotomisasi kelulusan antara lembaga Islam dan
non-Islam, lebih parahnya lagi dari sisi keahlian, dikotomisasi seolah-olah
menciptakan label Islam dan non-Islam terhadap kelulusan pendidikannya.
Kenyataan pendidikan di Indonesia tidak dapat menghilangkan paradigma
pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan nasional. Dikotomi atau
dualisme itu mengabsahkan dua wilyah berhadap-hadapan secara vis-a -vis. Dalam artian, departemen Agama sebagai otoritas pengelola pendidikan agama
berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola