• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Masa Depan Media Cetak dan Kin (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tantangan Masa Depan Media Cetak dan Kin (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Tantangan Masa Depan Media Cetak dan Kinerja Insan Media di Tengah

Konvergensi

Pendahuluan

Dalam dunia masa kini, media menjadi urutuan terdepan bagi kelangsungan hidup manusia dalam menerima dan mengembangkan informasi yang beredar. Seperti umumnya yang sering kita jumpai pada masyarakat luas yang mengkonsumsi informasi berupa iklan dan televisi. Kedua media ini bagaikan jiwa dan raga yang tidak bisa dipisahkan, dan bila terpisahka , aka ada ke atia . Fakta ya, jika tele isi s asta ta pa ikla pasti-lah akan

mati, dan sebaliknya iklan tanpa televisi seolah tak berdaya. Tidak juga kita melulu melihat dari media iklan dan televisi saja, dampak era globalisasi yang semakin booming setelah era orba berlalu menjadi titik acuan perkembangan regulasi media saat ini.

Meskipu pe guata pera da akti itas edia setelah le gser ya soeharto asih me pu yai da pak egatif, tapi telah terjadi perubaha ikli ya g se pat dirayaka

oleh para pelaku industri media di Indonesia1. Euphoria ini bertahan hingga sekarang, persaingan yang dibentuk oleh setiap korporat insan pertelevisian maupun insan media massa lainnya mengalami titik nadir keterbukaan informasi di Indonesia sendiri. Perubahan social politik yang meliputi keterbukaan, penonjolan tiga isu global (demokratisasi, hak asasi manusia, dan kelestarian lingkungan hidup) termasuk juga kebebasan pers sebagai bagian integral system komunikasi social masyarakat. Dampak buruk dari globalisasi media dapat kita lihat dari masyarakat yang semakin konsumeristik, apatis dan individualistik.

Kondisi dunia tanpa batas ini mengakibatkan apa yang sering disebut dengan penyeragaman secara global dalam system, pola dan budaya komunikasi dunia, hal ini disebut dengan istilah borderless world2. Lebih spesifik lagi jikalau kita melihat bagaimana Metro TV merujuk pada media besar CNN pada saat liputan untuk peristiwa WTC 11/09/2001, atau Indosiar yang bertumpuan juga dengan VOA TV, dan beberapa radio FM Jakarta yang mempunyai jaringan lokal daerah dengan merujuk radio BBC London-Voice of

1

Setelah reformasi dunia media massa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Beberapa televisi swasta (RCTI, SCTV, TPI kemudian menyusul yang lain) mempunyai jangkauan siaran nasional. Kehadiran televisi ini mengakibatkan persaingan antar televisi menjadi tajam. Persaingan yang tajam mempengaruhi pembentukan konglomerasi media seperti Media Nusantara Citra yang berubah menjadi Global Mediacom, kelompok Bakrie Brothers dan kelompok PT. Trans Corpora.

2

(2)

Amerika untuk El Shinta FM 90,05 atau Deutsche Welle untuk Jakarta News FM, dan sebagainya.

Mari kita menengok kembali Negara kita jika dihubungkan dengan dampak globalisasi, perputaran dan tingkat regulasi sejatinya tertitik beratkan pada system penyiaran dan system Negara ini. Mulai dari pembentukkan undang-undang, filter yang digunakan untuk menyaring segala bentuk penyiaran maupun informasi dari luar, hingga tingkat melek media masyarakatnya. Regulasi penyiaran yang lahir di tengah iklim reformasi tersebut, menjadi relevan bagi setiap orang untuk kembali merenung tentang sejauh mana semangat demokratisasi yang dibawa regulasi tersebut telah diimplementasikan.

Sejatinya, penyusunan UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran dijiwai oleh semangat demokratisasi dan desentralisasi3. Roh demokratisasi menghendaki pengelolaan penyiaran dikembalikan sebesar-besarnya bagi kemanfaatan masyarakat. Dengan begitu kekuatan masyarakat tentang penyiaran dapat ditegakkan. Kekuasaan rakyat yang termaksud dalam UU dipersonifikasikan dalam wadah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independent Regulatory Body, yakni badan independen yang berwenang penuh mengatur segala persoalan dunia penyiaran. Dengan adanya badan independen ini pengkontrolan dan penyelarasan penyiaran yang berfungsi sebagai edukasi, hiburan, dan informasi dapat lebih terakomodir. Tidak terlepas juga kita dalam menyikapi system tentang proximity (kedekatan), sehingga tidak ada lagi semisal; pemirsa di Papua yang bahkan belum pernah menjejakkan kaki di ibu kota yang dijejali berita kemacetan Jakarta.

Pasca reformasi yang menjunjung tinggi system demokrasi tentunya tidak hanya sekedar cita-cita belaka. Jika kita masih sepakat untuk menempatkan demokratisasi sebagai agenda inti (core agenda) kehidupan bangsa ke depan, dan jika demokrasi mengharuskan hadirnya suatu tatanan social yang memungkinkan setiap warga memiliki akses yang sama untuk melibatkan diri dalam setiap diskursus yang berkembang, maka demokratisasi penyiaran merupakan satu dari sekian anak tangga yang harus dilewati. Tanpa kemauan (political will) bersama, demokratisasi penyiaran menjadi mustahil.

3

(3)

Perkembangan yang ditunjukkan dari Indonesia tentang regulasi media juga tidak terpaku pada pasang surut media penyiarannya, terbukti dalam penyeragaman pemikiran yang dibentuk dalam berbangsa dan ber-Tanah air juga termaksud dalam regulasi dari media cetak tersendiri. Perbedaan yang tidak begitu jauh ditampilkan oleh media cetak, jika media penyiaran menyajikan tuntutan nilai-nilai moral bangsa secara lengkap mulai dari; audio-visual, teks, hingga pesan yang dimaknakan, maka media cetak justru lebih memilih jalan kearah yang lebih konvesional. Penyajian nilai-nilai moral melalui visual, teks, dan pesan teks menjadikan masyarakat lebih dituntun untuk terus melengkapi indrawi penglihatan dan imajinya.

Media cetak yang lebih dominan terakusisi oleh surat kabar, dan majalah menjadi ciri khas yang sudah menjadi pakem. Dari mana kita harus memulai menyikapi regulasi media cetak saat ini, sepertinya tidak perlu melihat jauh-jauh dari negri barat maupun timur. Surat kabar yang sejatinya dibawahi oleh keilmuan pers sudah diatur oleh dewan pers, mulai dari Kode Etik Pers, UU Pers No.40 tahun 1999, hingga Peraturan-Peraturan Pers menjadi pengawal untuk regulasi media cetak tersendiri.

Jikalau kita meninjau prespektif tentang system yang digunakan oleh media cetak Indonesia nampaknya menjadi sangat kompleks. Pembagian system pers yang terbagi menjadi berbagai macam bentuk, seperti; system pers Authoritarian, system pers Libertarian, system pers Tanggung Jawab Social, hingga system pers Demokrasi Pancasila.

(4)

I

Perkembangan yang begitu cepat dari teknologi komunikasi dan informasi telah membawa angin besar dan mengisi keberagamannya informasi yang semakin meletup ke ruang public (public sphere). Meningkatnya kuantitas pesan yang diperoleh khalayak melalui pelbagai saluran media membawa optimisme publik terhadap perkembangan peningkatan isi media tersebut. Beragam prespektif sebenarnya sudah banyak timbul seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi merebak, kemudian muncul pertanyaan apakah optimisme yang terpancar masih perlu dilihat sebagai sebuah realitas atau justru akan menjadi utopia semata, atau bahkan manajemen media telah terjerumus ke dalam ranah market driven journalism?

Konglomerasi yang sudah lama merebak di Indonesia menjadi isu bersama tentang tantangan media saat ini, sebelum peristiwa reformasi, penguasaan atas media-media besar yang ikut ambil dalam pembentukkan Negara sudah mengalami hegemoni yang luar biasa. Perluasan atas konsentrasi dan konglomerasi media ini juga paralel dengan konvergensi media. Di satu sisi tumbuh media dalam berbagai lini yang berbeda, namun di sisi yang lain kepemilikan dari media semakin memusat pada segelintir orang saja.

Eoin Devereux menuliskan kritiknya atas konglomerasi media. Pertama,secara progresif terjadi konsentrasi kepemilikan media massa oleh segelintir transnational multimedia conglomerates. Kedua, faktanya banyak dari konglomerat ini yang memiliki, mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalam perusahaan media dan non media. Ketiga, berlanjutnya perdebatan tentang peran ruang publik media yang muncul dari konsentrasi dan konglomerasi yang lebih besar. Peran ruang publik ini menjadi penting karena konsentrasi dan konglomerasi media menyebabkan penguasaan informasi di tangan segelintiran orang. Keempat, konsekuensi dari berita, current affairs dan jurnalisme investigasi kearah hibura , populis e da i fotai e t . Corak produksi dala a aje e

media yang mengabdi kepada kepentingan pemodal akan menjadikan pemberhalaan, sehingga selera pasar yang kemudian diikuti.

(5)

setara terhadap isi media dan teknologi media. Ketujuh, kekuatan ekonomi politik dari individu yang menguasai kekaisaran media (Devereux, 2003:54).

Melihat atas kritik yang dilontarkan oleh Devereux, timbul sebuah dugaan bahwa corak menajemen media di Indonesia saat ini sudah membentuk kearah itu. Meneropong lebih dalam tentang hubungan manajemen media dan regulasi media, tentunya dapat kita kaitkan melalui arah pembentukkan media itu dengan sistem pemerintahan saat ini, baik dari peraturan-peraturan, Undang-undang, serta kode etik yang berlaku. Badan independen yang mengatur dan mengontrol setiap perusahaan media juga tidak terlepas bagian dari perputaran persaingan media itu. Berbeda dengan di masa Orde lama, dimana kepentingan manajemen media lebih diarahkan pada kepentingan ideologis partai politik, seperti Bintang Timur yang menjadi corong partai komunis Indonesia, Indonesia Raya yang menjadi kepanjangan tangan partai sosialis Indonesia, Duta masyarakat yang menjadi representasi partai Nahdhatul Ulama, Abadi yang menjadi suara partai masyumi, kepemilikan media massa di orde baru mulai bergeser kearah kepentingan individu dan kepentingan yang berkuasa di masa itu. Kondisi pro pasar yang semakin berkembang saat ini menuai hasil manajemen media yang harus saling bertarung memperebutkan pangsa pasar yang berkembang pelan, padahal di sisi lain pertumbuhan media baik secara vertikal maupun horizontal berkembang secara pesat (Junaedi, 2010:183).

(6)

II

Bagaimana media dapat mempengaruhi masyarakat secara luas dapat kita bandingkan dengan bagaimana media itu berkerja. Media yang sering dikatakan sebagai kekuatan penuh dalam membentuk suatu perubahan itu juga dapat dibalikan dengan masyarakat yang mempunyai kuasa penuh dalam membentuk opini publik yang berkembang. Dari McQuail (2000) mengemukakan:

"Only by knowing how the media themselves operate can we understand how

so iety i flue es the edia a d i e ersa.

(Hanya dengan mengetahui bagaimana media bekerja maka kita dapat memahami bagaimana masayarakat mempengaruhi media atau sebaliknya).

Media massa yang pada masa lalu cendrung disalahkan, karena efek yang ditimbulkannya atau objektifitas beritanya yang diragukan, maka dewasa ini muncul pengertian lebih baik terhadap media massa. Secara bertahapan perhatian media oleh masyarakat saat ini mengalami lonjakan yang begitu signifikan. Meninjau tentang isi media saat ini menjadi begitu beragam. Kekuatan ini dapat dilihat dari faktor-faktor seperti proses globalisasi, konglomerasi, fragmentasi media serta munculnya teknologi baru dalam distribusi isi media seperti televisi kabel, satelit dan jaringan telekomunikasi.

Beberapa faktor tersebut menggambarkan secara singkat bahwa kinerja media saat ini bukan hanya sebagai agen perubahan, melainkan sebagai power distributor, moral guardian, dan leadership tester. Media yang menggambarkan posisinya sebagai elemen ke-empat dari trias politica. Kinerja media yang menjadi alat kontrol bagi pemerintah, masyarakat dan kehidupan berbangsa. Seperti yang sudah dikatakan pada sub bab sebelumnya, kepemilikan tidak bisa lepas juga dari kepentingan individu perusahaan media tersebut. Pekerja media yang diartikan selama ini sebagai power dalam media itu nampaknya telah tergerus arus konglomerasi media.

Gerbner (1969) menggambarkan komunikator massa bekerja dibawah tekanan yang berasal dari berbagai pera kekuata power roles) termasuk klien (pemasang iklan),

pesaing (dari media lain), pihak berwenang khususnya terkait dengan hukum dan politik, para ahli, lembaga lainnya dan audiens. Gerbner menyatakan bahwa:

hile a alyti ally disti t, o isiously either po er roles ot types of le erage are

(7)

teles ope… the a u ulatio of po er do i a t positio s i the ass

o u i atio of their so ieties .

(walau secara analisis berbeda, namun jelas peran kekuasaan dan jenis pengaruh dalam realitasnya tidak terpisah atau terisolir. Sebaliknya, mereka sering kali bergabu g, tu pa g ti dih da sali g e e bus… aku ulasi pera kekuasaa da

kemungkinan adanya pengaruh menjadikan organisasi media tertentu memiliki posisi dominan dalam komunikasi massa di masyarakat).

Secara garis besar Gerbner telah menampilkan bahwa awak media tidak hanya pekerja dari sebuah media itu saja, melainkan dari jaringan organisasi dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, akankah awak atau para insan media dapat bekerja dibawah tekanan? Gerak media tentunya sudah menjadi dasar utama agenda dari sang pemilik media tersebut, di bantu juga oleh lembaga-lembaga, klien, dan pesaing media dalam membentuk agenda setting itu. Penciptaan agenda setting tidak juga atas kuasa sang pemilik, adanya gesekan-gesekan opini publik, persaingan media, hingga lembaga terkait.

Di Indonesia, lemahnya manajemen media bisa dirujuk pada lansiran Dewan Pers yang menyebutkan bahwa hanya 30% manajemen media di Indonesia sehat secara bisnis, sedangkan 70% berada dalam konsisi yang sakit alias tidak sehat (Batubara, 2007:4).

Jika kita melihat di lingkungan manajemen media, pekerja media mungkin atau tidak mungkin mereproduksi wacana ideologi dominan dalam teks media yang mereka produksi. Dalam pandangan Michel Foucault, pekerja dalam manajemen media mereproduksi wacana dengan melakukan proses eksklusi maupun inklusi terhadap pengetahuan (knowledge) yang dianggap bersebrangan atau sesuai kuasa (power).

Beragam teks yang dikonsumsi oleh khalayak adalah hasil dari interaksi sejumlah besar pekerja media yang bekerja dalam organisasi spesifik. Misalkan, di halaman depan melibatkan editor, jurnalis, sub-editor, copywriters iklan, fotografer dan percetakan. Inilah relasi anatara pelaku (agency) atau kreativitas pekerja media dan struktur keadaan kerja yang menjadi proses dari perubahan sosial yang merebak di masyarakat luas.

(8)

Pertumbuhan media jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi politik dan cultural studies akan mendominasi mengenai bagaimana cara terbaik yang kita lakukan untuk mendekati (approach) dan menjelaskan tentang organisasi media. Tetapi kedua pemikiran besar ini perlu dikembangkan dalam memahami kekuatan ekonomi dan budaya yang melingkupi praktek diskursus dari organisasi media.

Penjelasan instrumental yang menyatakan bahwa operasi dan penampilan media dapat dijelaskan sebagai bentuk campur tangan dari kepentingan yang berkuasa, termasuk di dalamnya adalah kelas yang berkuasa atas manajemen tentunya. Structural determination yang mengambil focus pada agency. Pekerja media dalam varian ini dilihat sebagai entitas yang tidak lepas dari derterminasi ekonomi, teknologi dan ideology. Determinasi inilah yang memproduksi isi dan bentuk media secara tidak sadar dalam keseharian manajemen media berjalan (Cottle, 2003:5).

Karl Marx dalam German Ideology secara eksplisit menyatakan bahwa ide dari kelas berkuasa (ruling class ) akan menjadi ide yang berkuasa (ruling class), sebagai contoh kelas yang memiliki kekuatan material, serempak pula akan memiliki kekuatan intelektual. Kelas yang mempunyai alat-alat produksi serempak juga akan menguasi produksi mental (mental production). Pandangan ini artinya sangat menekankan perubahan yang ada dalam wacana yang berkembang berdasarkan faktor basis yang menyangga bangunan atas atau superstruktur (superstucture). Basis yang dimaksud oleh Marx adalah corak produksi dari suatu masyarakat, sedangkan superstruktur dapat berbentuk ideologi, politik, budaya, dan sebagainya.

Kesimpulannya adalah Marx menekankan pentingnya filsafat materialisme yang menegaskan bahwa keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran seseorang, dan bukan sebaliknya kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial seseorang (Marx dan Engel, 1994:196).

(9)

Penutup

Isu globalisasi tentunya bukan sekedar celoteh belaka, perkembangan teknologi yang meramaikan peradaban jaman juga akan mengisi ruan public di kehidupan mendatang. Bentuk-bentuk globalisasi juga tidak terlepas dari konstruksi pascakonolialisme, penyeragaman pemikiran termaksud dalam konstruksi pascakonolialisme. Efek dari globalisasi tidak hanya ditimbulkan dari perkembangan budaya saja, celakanya jaringan telekomunikasi dan media ikut-ikutan juga terkena efek tersebut. Memang tidak bisa kita pungkiri lagi, kemajuan teknologi telekomunikasi dan media kita tidak terlepas dari apa yang dimaksud pada keterbukaan informasinya. Jika pada pendahuluan sudah disinggung, bahwa Negara Indonesia pasca reformasi juga bertujuan dengan penonjolan isu terhadap demokratisasi, hak asasi manusia, dan kelestarian lingkungan hidup.

Padahal reformasi yang kita idam-idamkan itu sepertinya belum memberikan banyak perubahan terhadap Negara ini. Faktanya, media yang sebagai pilar keempat demokrasi tidak begitu timbul sebagai alat konrol pemerintah, masyarakat, dan kehidupan berbangsa. Justru media saat ini menjadi korporat-korporat yang membantu mengeruk kekayaan Negara ini. Pembagian besar atas tiga type berdasarkan kepemilikannya seperti; not-for-profit, public/state owned organizations, dan privately owned media organization sudah menjadi asumsi dasar kita melihat bagaimana regulasi yang diciptakan dari para insan media tersebut. Celakanya, ketiga bagian besar ini, sebagian besar yang sering digunakan di Indonesia sendiri adalah bagian terakhir (privately owned media organization). Hal ini sudah merujukkan kita pada pandangan media yang menjadi ladang bagi konglomerat sudah menjadi hal yang lumrah.

Tanpa panjang lebar, ketamakan yang dimunculkan dari sang pemilik media tentunya juga berdampak pada perkerja media itu sendiri. Penekanan-penekanan atas kepentingan wacana dari sang pemilik media yang dipaksakan untuk diproduksi menjadi tumpang tindih atas tujuan bersama yang dicanangkan pada pasca reformasi tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

tentang Evaluasi Penawaran, angka 26.4 tentang Evaluasi Administrasi pada huruf b angka 2.a menyatakan bahwa “jangka waktu berlakunya surat penawaran tidak

Dari penelitian sebelumnya 6 , dinyatakan bahwa kegagalan perlekatan antara pasak serat kaca yang telah diaplikasikan bahan adhesif dengan resin komposit adalah

Melalui diskusi kelompok siswa diharapkan dapat menunjukkan sikap disiplin, kerjasama, dan membangun sikap pro aktif dan responsif dalam pemecahan masalah dalam

4.3Menyajikan hasil analisis tentang posisi dan peran Indonesia dalam kerja sama di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, dan pendidikan dalam

Rancangan penelitian adalah Quasi eksperiment dengan menggunakan jenis penelitian kuntitatif, populasi yang diteliti semua wanita menopause yang memiliki kadar asam

Charoen Pokphand Indonesia Food Division merupakan industri yang.. bergerak dalam bidang pemotongan dan pengolahan daging

"Bagaimana, Paduka? Bisakah kami berdua merebut kecapi ajaib itu dari tangan putri jin?" tanya Tahir lohan Syah dengan harap-harap cemas. "langan khawatir!"