• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG DENGAN LUPUS (ODAPUS) Pola Komunikasi Interpersonal Orang Dengan Lupus (Odapus) Dalam Masyarakat (Studi Fenomenologi Pola Komunikasi Interpersonal Odapus Pada Komunitas Griya Kupu Solo Dalam Masyarakat).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG DENGAN LUPUS (ODAPUS) Pola Komunikasi Interpersonal Orang Dengan Lupus (Odapus) Dalam Masyarakat (Studi Fenomenologi Pola Komunikasi Interpersonal Odapus Pada Komunitas Griya Kupu Solo Dalam Masyarakat)."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG DENGAN LUPUS (ODAPUS)

NASKAH PUBLIKASI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar Sarjana S-1

Program Studi Ilmu Komunikasi

ROOSVINA LASDAFI AHIMSHA L100100096

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)

POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG DENGAN LUPUS (ODAPUS) DALAM MASYARAKAT

Roosvina Lasdafi Ahimsha

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta 2014.

ABSTRAK

Komunikasi merupakan kebutuhan mutlak setiap manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat tidak berkomunikasi dengan sesamanya. Oleh karenanya, komunikasi terlebih komunikasi antarpribadi (interpersonal) menjadi kebutuhan yang esensial bagi setiap manusia untuk mencapai keharmonisan hubungan dan kesehatan mental manusia.

Subjek dalam penelitian ini adalah tiga Orang dengan Lupus (odapus). Pemilihan subjek ini berdasarkan pertimbangan bahwa belum ada informasi yang cukup dalam masyarakat mengenai penyakit lupus dan odapus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi interpersonal odapus dengan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Menggunakan pendekatan ini, peneliti berusaha memahami arti dari peristiwa dan situasi yang dialami oleh odapus.

Penelitian ini menemukan bahwa pola komunikasi interpersonal Orang dengan Lupus (odapus) terbentuk karena adanya konsep diri positif. Konsep diri positif tersebut dipengaruhi oleh faktor: usia, lingkungan sosial, kompetensi dan aktualisasi diri. Membaiknya pola komunikasi interpersonal subjek ditandai dengan muculnya Adanya keinginan untuk meneruskan keturunan, keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai makhluk sosial, Keyakinan untuk mempertahankan hidup, kepercayaan diri untuk berkomunikasi dengan sesama, dan rasa empati.

Kata kunci: pola komunikasi, komunikasi interpersonal, fenomenologi, lupus, odapus

A.PENDAHULUAN

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Mengutip istilah dari Paul Watzlawik, “we

(4)

berkomunikasi dan tidak mungkin tidak membutuhkan komunikasi.

Setiap manusia mengharapkan kehidupan sosial yang harmonis. Komunikasi yang lancar dengan noise (gangguan) yang minim menjadi harapan semua orang agar kehidupan terasa nyaman, menyenangkan dan bahagia. Namun, tidak semua orang mendapatkan hal tersebut, termasuk penderita penyakit lupus.

Penderita lupus ini sering disebut sebagai orang dengan lupus (odapus). Perubahan fisik yang terlihat jelas, serta perasaan takut akan penyakit yang belum ditemukan obatnya, membuat kebanyakan odapus minder untuk tampil bersosial di muka umum. Mereka merasa tidak percaya diri, sehingga sedikit demi sedikit odapus cenderung menarik diri dari kehidupan bersosial. Perasaan khawatir tidak terlihat cantik/ menarik, takut dicela, dan takut tidak diterima di pergaulan hingga takut ditinggalkan orang-orang terdekat kerapkali menghantui perasaan odapus.

Rasa sakit dan lelah yang berlebihan akibat serangan Lupus, perubahan fisik yang mencolok menambah masalah psikologis dan beban mental tersendiri bagi odapus yang sebagian besar adalah wanita. Sehingga, hal tersebut dapat memunculkan berbagai emosi yang beragam.

Rasa marah, kecewa, terkadang menutup diri, emosi, dan lebih sensitif lebih sering dialami odapus. Juga rasa takut akan perlakuan yang berbeda dari orang disekitar mereka pasti timbul pada odapus atau rasa takut akan kehilangan orang terdekat. Hal tersebut mengakibatkan mereka menarik diri dari kehidupan sosial. Mereka menjadi cenderung pendiam dan mengisolasi diri. Selain itu mereka juga merasa stress sehingga komunikasi dan interaksi dengan orang-orang di sekeliling menjadi berkurang.

(5)

pada seseorang yang baru didiagnosis terkena Lupus. Cemas dan emosional, marah, ketidaktahuan bagaimana memberitahukan diagnosis kesehatan pada keluarga, teman dan kerabat, hingga muncul perasaan takut tidak dapat hidup normal dan takut akan kematian kerapkali menyelimuti pikiran odapus. Tanggapan orang-orang sekitar yang memandang aneh dengan perubahan fisik hingga dicerca pertanyaan-pertanyaan mengenai perubahan fisik menambah kesedihan dan cenderung membuat odapus untuk menarik diri dari kehidupan bersosial. Ketidaktahuan dan minimnya informasi serta kurangnya kewaspadaan mengenai penyakit Lupus lah yang menjadi salah satu faktor penyebabnya.

(Sumber: republica.co.id)

Padahal, menurut data dari YLI yang dikutip dari republika.co.id, menunjukkan bahwa penderita Lupus meningkat dari

tahun ke tahun. Begitu pula penderita Lupus di Indonesia, meningkat dari 12.700 jiwa pada tahun 2012 menjadi 13.300 jiwa per April 2013. Disamping itu, sekitar lima juta orang diseluruh dunia terkena penyakit Lupus, dimana penyakit tersebut dominan menyerang wanita usia produktif (15-45 tahun).

Rasa rendah diri odapus untuk berinteraksi dengan lingkungan menyebabkan odapus cenderung menutup diri. Sehingga, odapus yang sebenarnya membutuhkan dukungan, semangat dan motivasi untuk terus menjalani hidup tidak bisa terpenuhi kebutuhan komunikasinya dan menyebabkan kondisi psikis menjadi terpuruk.

(6)

komunikasi interpersonal dengan masyarakat terasa lebih sulit.

Berangkat dari fenomena tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti pola komunikasi interpersonal odapus dengan masyarakat, mengingat mereka juga merupakan bagian dari masyarakat dan makhluk sosial yang sangat membutuhkan komunikasi dengan orang lain. Melalui komunikasi, manusia sebagai makhluk sosial dapat bertahan hidup. Selain itu juga berfungsi untuk memelihara hubungan melalui komunikasi antarpribadi (Mulyana, 2004: 73).

B.TINJAUAN PUSTAKA

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan berkomunikasi. Pada hakikatnya, manusia diciptakan untuk hidup bersama melalui interaksi dengan sesamanya. Dalam proses interaksi, komunikasi menjadi salah satu unsur penting dalam membangun terjadinya proses komunikasi tersebut.

Pada kenyataannya, komunikasi merupakan hal yang bersifat dinamis,

selalu berkembang. Melalui komunikasi, manusia diarahkan untuk tidak melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan selalu berhubungan dengan sesamanya. Hingga akan tiba saatnya pada titik saling pengertian untuk mencapai kehidupan sosial yang baik dan harmonis.

Esensi dalam komunikasi adalah untuk memperoleh kesamaan makna antara orang yang terlibat dalam proses komunikasi hingga terwujud rasa saling pengertian dan hubungan yang harmonis. De Vito (1999) menyatakan bahwasanya tingkatan yang paling penting dalam komunikasi adalah komunikasi interpersonal yang diartikan sebagai relasi individual dengan orang lain dalam konteks sosial. Individu menyesuaikan diri dengan orang lain melalui proses yang disebut pengiriman dan penerimaan.

(7)

understanding) dan empati. Dari proses ini terjadi rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial melainkan didasarkan pada anggapan bahwa masing-masing adalah manusia yang berhak dan wajib, pantas dan wajar dihargai dan dihormati sebagai sesama manusia (Pratikto, 1987: 45-18)

Untuk mewujudkan komunikasi interpersonal yang baik, selain faktor tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa diperlukan konsep diri (self concept) yang positif bagi setiap manusia. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Hal tersebut terjadi setelah kita menanggapi perilaku orang lain yang menerangkan sifat-sifatnya dan kemudian mengambil kesimpulan. (Rachmat, 2009: 105)

C.METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi. Fenomenologi sebagai metode penelitian dipandang sebagai studi tentang fenomena, sifat dan makna.

Penelitian ini lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada penjelasan aas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas dari hipoesis atau praduga (Fouche, 1993 dalam Sobur, 2013: xi)

Pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk memberikan kerangka bagaimana memahami realitas. Dalam pendekatan ini, realitas terletak pada perilaku, bukan terletak pada orang luar. Realitas tersebut kemudian digali lewat usaha memahami perliaku manusia melalui kerangka berpikir dan bertindak para pelaku. (Sobur, 2013: 10).

(8)

sudut pandang mereka masing-masing (Sobur, 2013: 427).

Subjek penelitian ini adalah tiga odapus yang tergabung dalam Komunitas Griya Kupu Solo dan sesuai dengan criteria yang telah ditetapkan peneliti. Pengambilan sample menggunakan teknik purposive sampling.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni observasi dan wawancara. Observasi disini disebut overt-participant, atau partisipan yang tampak. Subjek yang diteliti mengetahui kehadiran penulis, namun dalam situasi ini penulis seakan-akan tidak sedang mengobservasi, melainkan sebagai partisipan.

Wawancara menggunakan interview guide, agar alur wawancara tetap fokus pada tema yang akan dibahas sehingga tidak melebar dan keluar dari topik penelitian. Selain itu wawancara juga dilakukan dalam kondisi non-formal dimana pertanyaan-pertanyaan dilontarkan dalam setiap kesempatan yang

memungkinkan peneliti dan subjek untuk melakukan sesi Tanya-jawab secara santai dan akrab.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis data fenomenologi (Moustakas, 1994: 119-153 dalam Sudarsyah, 2013):

1. Mendaftar ekspresi-ekspresi yang relevan dengan pengalaman, yaitu daftar jawaban subjek penelitian (horizonalization)

2. Reduksi dan Eliminasi Menguji setiap ekspresi yang ada dengan dua syarat, yakni:

a. Apakah ekspresi tersebut mengandung pengalaman penting dan unsure pokok yang cukup baik untuk memahami fenomena?

(9)

3. Membuat klaster dan menuliskan tema terhadap ekspresi yang konsisten dan memperlihatkan kesamaan. Klaster dan pemberian tema merupakan tema inti pengalaman hidup subjek. 4. Melakukan validasi terhadap ekspresi-ekspresi, dengan cara:

a. Apakah ekspresi tersebut eksplisit pada transkrip wawancara? b. Jika tidak diekspresikan secara eksplisit, apakah sesuai dengan konteks dalam transkrip?

c. Apabila tidak dinyatakan secara eksplisit dan tidak cocok, maka dinyatakan tidak relevan dan harus dihapus (tidak digunakan).

5. Membuat Individual Textural Description (ITD) Memaparkan ekspresi-ekspresi yang tervalidasi sesuai dengan tema dilengkapi dengan kutipan verbatim hasil wawancara.

Teknik validitas data dalam penelitian ini menggunakan validitas intrasubjektif, peneliti menghadirkan beberapa uraian menenai perilaku maupun pengalaman yang sama dan muncul dalam situasi berbeda kemudian membandingkan uraian-uraian tersebut. Apabila gambaran pada uraian-uraian tersebut sama, maka bisa dikatakan valid (Sobur, 2013: 426).

(10)

merasa menjadi seseorang yang bernasib paling buruk. Berawal dari vonis lupus dari dokter, ketiga subjek tersebut mengalami fase dimana mereka merasa terpuruk kemudian diikuti dengan sikap tertutup serta menarik diri dari lingkungan. Walaupun usia, status dan lingkungan tempat tinggal mereka berbeda, namun ketiga subjek mengalami kondisi yang sama setelah vonis lupus tersebut.

Rasa sedih yang mendalam dan sikap menarik diri dari lingkungan yang dialami ketiga subjek ternyata tidak berlangsung sampai sekarang. Adanya dukungan dari orang-orang dekat membantu ketiga subjek untuk bangkit dari keterpurukannya. Calon suami YP yang bersikukuh untuk selalu mendampingi YP menjadi kekuatan bagi YP untuk kembali bersemangat dan membuka diri dengan masyarakat. Hal yang sama, NRT yang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan, kembali bersemangat dan mau berkomunikasi lagi berkat dukungan tiada henti dari suami dan anak

perempuannya. Begitu juga dengan WPD, dukungan yang mengalir dari sahabat dekat, keluarga dan teman-temannya memberikan pencerahan dari keterpurukan yang dialaminya.

Dari uraian tersebut, maka ditemukan pola komunikasi interpersonal ketiga subjek. Berawal dari vonis lupus, ketiga subjek mengalami kondisi psikologis yang lemah. Kemudian, pada saat kondisi tersebut, subjek menarik diri dari hubungan social sehingga komunikasi interpersonal subjek dengan masyarakat menjadi terganggu. Muncul reaksi macam-macam dari masyarakat terhadap subjek. Lebih lanjut, dari hal tersebut, terbentuk konsep diri positif di dalam diri subjek, sehingga subjek mampu bangkit dari keterpurukan dan komunikasi interpersonal membaik hingga terwujud hubungan sosial yang baik dengan masyarakat.

E.PENUTUP 1. Kesimpulan

(11)

dengan Lupus (odapus) terbentuk karena adanya konsep diri positif. Konsep diri positif tersebut dipengaruhi oleh faktor: usia, lingkungan sosial, kompetensi dan aktualisasi diri. Membaiknya pola komunikasi interpersonal subjek ditandai dengan muculnya Adanya keinginan untuk meneruskan keturunan, keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai makhluk sosial, Keyakinan untuk mempertahankan hidup, kepercayaan diri untuk berkomunikasi dengan sesama, dan rasa empati.

2. Saran a. Bagi subjek

1) Diharapkan dapat terus percaya diri dan semangat dalam menjalani kehidupan sosial.

2) Diharapkan dapat selalu menjaga komunikasi interpersonal yang baik dengan masyarakat sehingga dapat menjadi contoh dan inspirasi bagi masyarakat.

b. Bagi penelitian selanjautnya

Diharapkan dapat menambah tinjauan pustaka mengenai konsep diri untuk memperdalam analisis data c. Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat membina hubungan komunikasi yang baik dengan semua orang tanpa memandang status sosial, latar belakang, suku, ras, agama, dan lain-lain.

F. PERSANTUNAN

1. Ibu Rinasari Kusuma, M. Ikom, selaku pembimbing I yang telah membimbing dan membantu penyusunan skripsi hingga selesai. 2. Ibu Palupi, MA, selaku

pembimbing II yang telah membimbing dan membantu penyusunan skripsi hingga selesai. 3. Komunitas Griya Kupu Solo dan

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Littlejohn, Stephen W dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi (Edisi 9). Jakarta: Salemba Humanika.

Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Pratikto, Riyono. 1987. Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi. Bandung: Remadja Karya CV

Sobur, Alex. 2013. Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga H a diterima yaitu ada “ hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh orang tua baik otoriter, permissive dan demokratis dengan konsep diri anak usia 5-6 tahun

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI DENGAN JUDUL “KOMUNIKASI INTERPERSONAL KELUARGA SINGLE MOTHER DALAM MENGASUH ANAK PEREMPUAN UNTUK MEMBENTUK KONSEP DIRI POSITIF” STUDI FENOMENOLOGI

Seorang yang mempunyai rasa percaya diri terhadap lingkungan kampus memiliki kompetensi yakni terhadap kemampuannya melakukan kontak sosial yang baik, mempunyai kepribadian

Faktor ekstrenal, yaitu lingkungan keluarga ; ada kaitan yang positif antara keyakinan orang tua dengan keyakinan anak terhadap kemampuannya, iklim kelas ; konsep diri

Bagaimana fisik, sifat dan kepribadian, konsep diri, inteligensi, sosial, serta emosional anak tergantung dari orang tuanya.Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang