• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep gangguan persepsi sensori: halusinasi 2.1.1 Pengertian

Halusinasi yaitu suatu keadaan hilangnya kemampuan individu dalam membedakan antara rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar) (Abdul Muhith, 2015). Halusinasi merupakan adanya gangguan atau adanya perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Prabowo, 2014). Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori persepsi : merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghidu (Dewi, 2012). Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan (Suriyati, 2020). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa halusinasi yaitu kondisi saat individu kehilahan kemampuannya untuk membedakan rangsangan baik secara pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, maupun perabaan.

2.1.2 Jenis-jenis halusinasi

Halusinasi dapat dibagi menjadi lima jenis, seperti yang diungkapkan oleh

(Stuart & Laraia, 2005), berikut merupakan jenis-jenisnya:

1. Halusinasi Pendengaran

Halusinasi pendengaran adalah perasaan dimana seseorang merasakan adanya suara-suara yang dianggapnya nyata misalnya suara kebisingan (mobil, motor, musik), suara hewan, dan yang terakhir yaitu suara yang paling sering muncul pada klien halusinasi yaitu suara percapakan dengan seseorang.

2. Halusinasi Penglihatan

Halusinasi penglihatan adalah stimulus dalam bentuk kelihatan cahaya, gambaran geometris, gambaran kartun, gambaran orang yang terdekat,

(2)

bahkan juga gambaran hal-hal yang menyeramkan, misalnya monster atau hantu.

3. Halusinasi penghidu

Halusinasi penghidu biasanya berupa bau-bauan yang tidak sedap misalnya darah, urine, feses atau kotoran. Halusinasi ini juga bisa muncul pada pengidap penyakit stroke, diabetes mellitus, kejang, tumor, dan demensia.

4. Halusinasi pengecapan

Halusinasi pengecapan menyebabkan seseorang merasakan sedang mengecap sesuatu yang tidak enak dimakan.

5. Halusinasi perabaan

Klien yang mengidap halusinasi perabaan biasanya akan mengeluh anggota badannya sakit atau nyeri, kenyataannya pada bagian anggota badan tersebut baik-baik saja.

Selain itu klasifikasi menurut Yosep, H. I., dan Sutini. 2014 dalam (Wahyuningsih, 2020) yaitu halusinasi terdiri dari beberapa jenis dengan karakteristik tertentu, diantaranya :

1) Halusinasi pendengaran

(audotorik) Gangguan stimulus dimana klien mendengar suara-suara terutama suara orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

2) Halusinasi pengelihatan (visual)

Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,gambaran geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang menakutkan.

3) Halusinasi penghidu (Olfaktori)

Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu bau harum.

4) Halusinasi peraba (taktil)

(3)

Gangguan stimulusyang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

5) Halusinasi pengecap (gustatorik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatuyang busuk, amis, dan menjijikan.

6) Halusinasi sinestetik

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentuan urine.

2.1.3 Fase-Fase Halusinasi

Halusinasi yang dialami klien bisa berbeda intensitas dan tingkat keparahannya. Menurut (Stuart & Laraia, (2005), membagi fase –fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas atau kecemasan yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat mengalami ansietas atau kecemasan dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.

Tabel 2.1 Fase-fase halusinasi menurut (Stuart & Laraia, (2005):

(4)

Fase Halusinasi Karakteristik Perilaku Klien Fase 1 : Comforting.

Ansietas sedang, Halusinasi menyenangkan

Klien mengalami perasaan yang mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, takut sehingga mencoba untuk berfokus pada fikiran menyenangkan untuk meredakan ansietasnya. Individu dapat mengenali bahwa fikiran –fikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat

dikendalikan.

NON PSIKOTIK

1. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.

2. Menggerakkan bibir tanpa suara.

3. Pergerakan mata yang cepat.

4. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.

5. Diam dan asyik sendiri.

Fase II : Condemning Ansietas berat. Halusinasi menjadi menjijikan.

1. Pengalaman sensori yang menjijikan dan menakutkan.

2. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang

1. Meningkatnya tanda –tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah.

2. Rentang perhatian menyempit.

3. Asyik dengan pengalaman

(5)

di

persepsikan.

3. Klien mungkin mengalami

dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.

4. Mulai merasa kehilangan kontrol.

5. Tingkat

kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati.

PSIKOTIK RINGAN

sensori dan kehilangan kemampuan membedakan antara halusinasi dengan realita.

4. Menyalahkan.

5. Menarik diri dari orang lain.

Konsentrasi terhadap

pengalaman sensori kerja

(6)

Fase III : Controliing.

Ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi berkuasa.

1. Klien berhenti melakukan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut.

2. Isi halusinasi menjadi menarik.

3. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.

PSIKOTIK

1. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.

2. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.

3. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.

4. Adanya tanda – tanda fisik ansietas berat : berkeringat, termor atau gemetar, dan tidak mampu mematuhi perintah.

5. Isi halusinasi menjadi atraktif.

6. Perintah halusinasi ditaati.

7. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

(7)

Fase IV : Conquering.

Panik.Umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya.

1. Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah

halusinasinya.

2. Halusinasinya berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi

therapeutik.

PSIKOTIK BERAT

1. Perilaku eror akibat panik.

2. Potensi kuat suicide atau homicide.

3. Aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku

kekerasan , agitasi, menarik diri, atau

katatonik.

4. Tidak mampu Merespon perintah yang kompleks.

5. Tidak mampu merespon lebih dari satu orang.

6. Agitasi atau katatonik.

2.1.4 Rentang Respon

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif dari seseorang yang berada dalam rentang neurologis (Stuart & Laraia, 2005). Jika klien sehat, persepsi klien akan tepat dan mampu mengidentifikasi atau menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan). Klien dengan halusinasi akan mempersepsikan suatu stimulus dengan panca indera walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada.

Rentang respon dapat dijabarkan seperti dibawah ini (Abdul Muhith, 2015):

(8)

A. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh orang disekitar berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dengan kata lain individu yang memiliki respon adaptif measih didalan rentang batas normal. Individu dengan respon adaptif akan mampu memecahkan suatu masalah dengan baik.

Respon adaptif meliputi:

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan yang terjadi.

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

3) Emosi konsisten dengan pengalaman adalah perasaan yang muncul berdasarkan pengalaman di masa lalu

4) Perilaku sesuai adalah tingkah laku dan sikap individu yang masih dalam batas wajar

5) Hubungan sosial ada;aj proses interaksi denan orang lain dan lingkungan dengan baik.

B. Respon psikososisal meliputi:

1) Proses pikir individu yang terganggu dan menyebabkan gangguan 2) Ilusi adalah kesalahan interpretasi atau penilaian yang kurang tepat

terhadap sesuat yang benar-benar terjadi (obyek nyata) akibat gangguan panca indera

3) Emosi yang berlebihan atau kurang

4) Perilaku tidak biasa dadalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas untuk menghindari interaksi dengan orang lain

5) Menarik diri adalah perilaku individu untuk menghindari interaksi dengan orang lain dan juga menghindari hubungan dengan orang lain C. Respon maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah

yang menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan, asapun respon maladaptif meliputi:

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secar kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial

(9)

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati 4) Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tdak teratur

5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan orang lain dan sebagai suatu kondisi yang dapat mengancam individu tersebut.

2.1.5 Proses Terjadinya Halusinasi

Halusinasi dipengaruhi oleh faktor (Stuart & Laraia, 2005), dibawah ini antara lain :

a. Faktor Predisposisi

Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat di bangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis, dan genetik. Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiology seperti pada halusinasi antara lain :

1. Faktor Genetik.

Telah diketahui bahwa secara genetik skizofrenia diturunkan melalui kromosom–kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50 % jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara dizygote peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satunya orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia,sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.

2. Faktor Perkembangan.

Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.

(10)

3. Faktor neurobiologi.

Ditemukan bahwa kortex pre frontal dan kortex limbic pada klien dengan skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klen skizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal.

Neurotransmitter juga tidak ditemukan tidak normal, khususnya dopamine, serotonin dan glutamat.

4. Faktor biokimia.

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh akan menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan imetytranferase (DMP).

5. Faktor Sosiokultural.

Berbagi faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien dibesarkan.

6. Psikologis.

Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia, antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya. Sementara itu hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yangtinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.

7. Teori Virus.

Paparan virus influenzae pada trimester ke -3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi skizofrenia.

8. Study neurotransmitter.

Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan neurotransmitter serta dopamine berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.

b. Faktor Presipitasi

Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi (Prabowo,2014) :

(11)

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektifmenanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2) Stress lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3) Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

2.1.6 Tanda dan gejala

Karakteristik perilaku yang dapat ditunjukan klien dan kondisi halusinasi menurut (Direja, 2011).

1. Halusinasi pendengaran

Data subyektif : Klien mendengarkan suara atau bunyi tanpa stimulus nyata, melihat gambaran tanpa stimulus yang nyata, mencium nyata stimulus yang nyata, merasa makan sesuatu, merasa ada sesuatu pada kulitnya, takut terhadap suara atau bunyi yang di dengar, ingin memukul dan melempar barang.

Data obyektif : Klien berbicara, senyum dan tertawa sendiri, pembicaraan kacau dan terkadang tidak masuk akal, tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata, menarik diri dan menghindar dari orang lain, disorientasi, tidak bisa memusatkan perhatian atau konsentrasi menurun, perasaan curiga, takut, gelisah, bingung, ekpresi wajah tegang, muka merah dan pucat, tidak mampu melakukan aktifitas mandiri dan kurang mengontrol diri, menunjukan perilaku, merusak diri dan lingkungan.

2. Halusinasi penglihatan

Data subyektif: Klien akan menunjuk- nunjuk kearah tertentu, akan merasa ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas.

Data obyektif: Klien melihat bayangan seperti melihat hal-hal yang lain hantu atau lainya yang sebenarnya tidak ada.

(12)

3. Halusinasi penghidu

Data Subyektif : Klien membau-bauan seperti merasakan bau darah, urine kadang- kadang bau terasa menyenangkan.

Data Objektif : Klien menghidung seperti sedang membaui bau-bauan tertentu klien akan menutup hidung.

4. Halusinasi pengecap

Data Subyektif : Klien merasakan seperti rasa darah, urin atau yang lainya dalam mulutnya.

Data Obyektif : Klien sering meludah, dan muntah- muntah tanpa sebab.

5. Halusinasi Perabaan

Data Subyektif : Klien mengatakan merasa ada hewan atau ada sesuatu yang melekat pada permukaan kulitnya.

Data Obyektif : Klien sering mengusap-usap kulitnya berharap hewan atau yang lainya pergi dari kulitnya.

2.1.7 Mekanisme Koping

Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi (Stuart &

Laraia, 2005) :

1. Regresi adalah perilaku menjadi malas beraktifitas sehari –hari.

2. Proyeksi adalah mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.

3. Menarik diri adalah sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.

4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.

2.1.8 Validasi informasi Tentang Halusinasi

Validasi informasi tentang halusinasi yang dilakukan meliputi :

1. Isi Halusinasi, yang dialami oleh klien Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siap yang didengar dan apa yang dikatakan berkata jika halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Bentuk bayangan bagaimana yang dilihat klien bila jenis alusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang

(13)

dicium jika halusinasinya adalah halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila mengalami halusinasi perabaan.

2. Waktu dan Frekuensi Halusinasi, ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa hari sekali, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.

3. Situasi pencetus Halusinasi, perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi ini muncul. Selain itu perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.

4. Respon klien, untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulasi halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi (Stuart & Laraia, 2005).

(14)

2.2 Skizofrenia Residual

Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang proses terjadinya sangat cepat dan sering kambuh atau relaps (Sinaga, 2007). Angka insiden skizofrenia di dunia adalah 1 dari 10.00 orang per tahun (Riskesdas, 2013). Salah satu jenis skizofrenia, seseorang dapat didiagnosa skizofrenia residual apabila ia pernah mengalami skizofrenia sebelumnya dan sekarang masih memiliki tanda gejala skizofrenia namun tidak memiliki tanda gejala psikosis. Skizofrenia residual juga dapat diartikan sebagai skizofrenia yang memiliki tanda gejala negatif jangka panjang (Yudhantara & Istiqomah, 2018). Menurut (Medica, 2019) tipe Redusial memiliki gambaran klinis tanpa ada gejala psikotik positif yang menonjol (seperti:

delusi, halusinasi, bicara tak karuan dan perilakunya). Namun ada pula bukti gangguan yang ditunjukkan adanya gejala negatif.

2.3 Penatalaksanaan Halusinasi

Penatalaksanaan pada klien halusinasi menurut (Wahyudi, A, I., Oktaviani, C., Dianesti, E, 2018) dengan cara sebagai berikut::

a) Menciptakan lingkungan yang terapeutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan klien akibat halusinasi sebaiknya pada permulaan dilakukan secara individu dan usahakan terjadi kontak mata jika perlu klien di sentuh atau dipegang

b) Terapi kejang listrik

Pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples. terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

c) Psikoterapi dan rehabilitasi

Psikoterapi suportif individual berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan klien kembali kemasyarakat, atau kelompok sangat membantu, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul dengan orang lain, perawat dan dokter. klien dapat mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti therapy modalitas yang terdiri dari:

1. Terapi aktifitas

(15)

a. Terapi music Focus ; mendengar ; memainkan alat musik ; bernyanyi.

yaitu menikmati dengan relaksasi music yang disukai klien.

b. Terapi seni Focus: untuk mengekspresikan perasaan melalui beberapa pekerjaan seni

c. Terapi menari Focus pada: ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh d. Terapi relaksasi belajar dan praktik relaksasi dalam kelompok e. Terapi social klien belajar bersosialisai dengan klien lain 2. Terapi kelompok

a. TAK Stimulus Persepsi; Halusinasi Sesi 1: Mengenal halusinasi

Sesi 2: Mengontrol halusinasi dengan menghardik

Sesi 3: Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan Sesi 4: Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap Sesi 5: Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat b. Terapi group (kelompok terapeutik)

c. Terapi aktivitas kelompok (adjunctive group activity therapy)

Terapi lingkungan Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana didalam keluarga sehingga klien bisa nyaman terhadap lingkungan. Pengobatan harus secepat mungkin diberikan,disini peran keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ klien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat (Eko Prabowo, 2014).

1. Penatalaksanaan Medis

Menurut (Abdul Muhith, 2015) penatalaksanaan klien skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah dengan pemberian obat-obatan sebagai berikut:

A. Clorpromazine (CPZ) Warna Orange a) Indikasi

Untuk sindrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realita, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan titik dari terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental : waham, halusinasi, gangguan perasaan dan prilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat

(16)

dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

b) Mekanisme kerja

Memblokade dopamine pada reseptor panca sinap diotak khususnya system ekstra pyramidal.

c) Efek samping

Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik /parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung), gangguan ekstrapyramidal (distonia akut, akatshia, sindroma parkinsontremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin (amenorhoe), ginekomasti), metabolic (jaundice), hematologi, agranulosis biasanya untuk pemakaian jangka panjang.

d) Kontra indikasi

Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris, ketergantungan obat.

B. Haloperidol (HLP) Warna Putih Besar a) Indikasi

Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.

b) Mekanisme kerja

Obat anti psikosis dalam memblokade dopamine pada reseptor paska sinaptik neuron diotak khususnya sistem limbik dan sistem ektrapiramidal.

c) Efek samping

Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik (hipotensi, anti kolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur,gangguan irama jantung).

d) Kontra indikasi

Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit sistem saraf pusat, gangguan kesadaran.

C. Trihexyphenidyl (THP) Warna Putih Kecil a) Indikasi

(17)

Segala jenis parkinson, termasuk paska ensepalitis dan idiopatik, sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpinadan fenotiazine.

b) Mekanisme kerja

Sinergis dengan kinidine, obat anti depresan trisiklik dan anti kolinergik lainnya.

c) Efek samping

Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, tachikardia, dilatasi, ginjal,retensi urine.

d) Kontra indikasi

Hipersensitif terhadap trihexyperidyl, glaukoma sudut sempit, psokosis berat, psikoneurosis, hipertropi prostat, dan obstruksi saluran cerna.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi Desain Sistem Kerusakan Jaringan Dermis dari Citra Mikroskop Digital Menggunakan Ekstraksi Fitur.

Dari data yang diperoleh dilapangan dengan teori yang ada terdapat kesinambungan, bahwa Peserta didik di smk sore tulungagung lebih tertarik dan bersemangat mengikuti mata

The result of the data analysis of this research revealed that the students taught using explicit teaching instruction of English phrases gained better improvement

In interview with the teacher, the writer will ask about suggestion of strategies that can be used by students who often make errors in reading comprehension

Data yang anda ketikan pada lembar kerja dapat ditampilkan dengan berbagai bentuk3. untuk memudahkan dan membuat variasi dalam lembar

Untuk menganalisis pengaruh variabel Kualitas Produk terhadap Keputusan Pembelian.

pekerjaan. Tanggal yang diusulkan untuk memperoleh bahan. Jam kerja yang diusulkan untuk bekerja. Dan lain-lain yang harus dirinci. b) Dalam pelaksanaan kemajuan pekerjaan yang

PENGEMBANGAN KOLEKSI ANAK DI BALAI LAYANAN PERPUSTAKAAN BADAN PERPUSTAKAAN DAN ARSIP DAERAH.. PROVINSI DAERAH